Solidaritas Pada Masyarakat Marginal di Perkotaan (Studi deskriptif Pada Anggota Lembaga Keuangan Masyarakat Kota (LKMK) Keska Kelurahan Sei Mati, Lingkungan XII Medan Maimun)

(1)

SOLIDARITAS PADA MASYARAKAT MARGINAL

DI PERKOTAAN

Studi deskriptif Pada Anggota Lembaga Keuangan Masyarakat Kota (LKMK) Keska Kelurahan Sei Mati, Lingkungan XII Medan Maimun

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial

Disusun Oleh A F R I Y A N I

100901019

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N 2 0 1 4


(2)

ABSTRAK

Penulisan skripsi yang berjudul “ Solidaritas pada Masyarakat Marginal di Perkotaan” (Studi Deskriptif Masyarakat Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang), berawal dari ketertarikan penulis terhadap warga Sei Mati yang memiliki karakteristik penghasilan dan pendidikan rendah, keadaan lingkungan yang tidak layak huni berdesakan di pemukiman liar, akan tetapi warga Sei Mati masih memiliki rasa solidaritas yang tinggi dalam kehidupan bermasyarakat ditengah permasalah yang komplek tersebut. Keberadaan Kelompok LKMK Keska juga menjadi salah satu ketertarikan peneliti untuk melihat bagaimana bentuk solidaritas anggota dengan anggota, anggota dengan pengurus serta pengurus dengan pengurus dalam menjalankan visi dan misi kelompok LKMK Keska.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi deskriptif dimana peneliti ingin menggambarkan bagaimana tingkat solidaritas masyarakat marginal di daerah Sei Mati Medan Maimun serta didalam kelompok LKMK Keska dengan menggunakan informan sebanyak 10 orang yaitu 7 orang diantaranya informan kunci dan 3 orang informan tambahan. Pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan data primer dan data skunder.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar masyarakat memiliki rasa solidaritas yang tinggi antara sesama warga di kelurahan Sei Mati lingkungan XII. Ini terlihat dengan adanya rasa kepercayaan antara warga dengan warga yang lain, masih terjalinnya kegiatan bakti sosial dalam rangka membersihkan lingkungan, terbentuknya serikat tolong menolong antar sesama warga, perkumpulan ibu-ibu dan bapak-bapak sudah terbentuk sejak lama seperti pengajian dan perkumpulan marga-marga. Tingkat solidaritas yang terjadi didalam Lembaga Keuangan Masyarakat Kota (LKMK) Keska juga dapat digambarkan pengurus dan anggota kelompok memiliki kepedulian secara bersama yang menunjukkan pada suatu keadaan hubungan yang didasarkan pada persamaan moral, kolektif yang sama serta kepercayaan yang di anut dengan diperkuat oleh pengalaman emosional. Bentuk solidaritas mekanik dan organik dapat dilihat pada kelompok LKMK Keska dimana anggota kelompok memiliki tujuan yang sudah diikat dengan nilai dan norma pada kelompok LKMK tersebut.


(3)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Skripsi yang berjudul “Solidaritas Pada Masyarakat Marginal di Perkotaan (Studi deskriptif Pada Anggota Lembaga Keuangan Masyarakat Kota (LKMK) Keska Kelurahan Sei Mati, Lingkungan XII Medan Maimun), disusun sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Secara ringkas skripsi ini menceritakan tentang Solidaritas Masyarakat Marginal di Perkotaan.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa dukungan dari berbagai pihak skripsi ini tidak akan terselesaikan. Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu dengan sepenuh hati, baik berupa ide, semangat, do’a, bantuan moril maupun materil sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.Penghargaan yang tinggi dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya dan tiada henti-hentinya penulis ucapkan kepada kedua orangtua tercinta Alm. Subandrio Purba dan Farida Hanum yang telah merawat dan membesarkan serta mendidik penulis dengan penuh kasih sayang dan kesabaran.

Dalam penulisan ini penulis menyampaikan penghargaan yang tulus dan ucapan terimakasih yang mendalam kepada pihak-pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.


(4)

2. Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.Si, Selaku ketua Departemen Sosiologi dan Drs. Muba Simanihuruk, M. Si, selaku Sekretaris Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara yang selalu memberikan masukan-masukan dalam penulisan skripsi ini, memberikan segenap ilmu pengetahuan semasa perkuliahan, dan nasehat serta pengarahan yang telah diberikan.

3. Rasa hormat dan terimakasih yang tidak akan dapat penulis ucapkan dengan kata-kata kepada Ibu Dra. Linda Elida, M.Si, selaku dosen pembimbing sekaligus dosen wali penulis yang telah banyak mencurahkan waktu, tenaga, ide-ide dan pemikiran dalam membimbing penulis dari awal perkuliahan hingga penyelesaian penulisan skripsi ini.

4. Terima kasih kepada Ibu Dra. Ria Manurung, M.Si, selaku dosen penguji pada ujian proposal yang telah memberikan masukan, ide-ide dan pemikiran dalam mengerjakan skripsi ini.

5. Segenap dosen, staff, dan seluruh pegawai Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. Kak Fenni Khairifa, dan Kak Betty yang telah cukup banyak membantu penulis selama masa perkuliahan dalam hal administrasi.

6. Paling teristimewa penulis ucapkan salam sayang terhangat dan terima kasih bahkan tak terucap rasa bangga penulis kepada kedua orang tua penulis, Ayahanda dan Ibunda tercinta yang telah membesarkan saya dengan mencurahkan kasih sayangnya tiada terhingga dan tiada batasnya kepada saya, selalu memberikan doa’ dan nasehat, dan mendidik saya serta dukungan moril maupun materil kepada saya.

7. Secara khusus dan istimewa kepada Adik saya Widya Putri Purba yang selalu memberikan semangat agar saya cepat menyelesaikan skripsi ini. 8. Terima Kasih saya ucapkan kepada Abang Syahrul payan yang selalu

memberikan semangat dan motivasi kepada saya agar fokus dalam menyelesaikan skripsi ini.


(5)

9. Terima kasih banyak penulis ucapkan kepada keluarga Ibu Rima Dani, Ibu Eli Marlina, Ibu Khodijah, Ibu Ana Mardiana, Ibu Endang dan Ibu Cinta di Kelurahan Sei Mati yang selalu memberikan do’a, semangat, nasehat kepada saya serta kepada adik-adik murid bimbingan belajar komunitas ganbare yang selalu membuat kecerian dan semangat.

10.Kawan-kawan sosiologi angkatan 2010, kawan-kawan kost 31 yang sudah memberikan dukungan dalam penulisan skripsi ini dan ketika bersama menuntut ilmu di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

11.Kepada para informan yang ada di kelurahan sei mati khususnya lingkunganXI dan XIIyang telah banyak membantu dalam memberi-kan informasi penelitian ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi terdapat berbagai kekurangan dan keterbatasan, untuk itu penulis mengharapkan masukan dan saran-saran yang sifatnya membangun demi kebaikan tulisan ini. Demikianlah yang dapat penulis sampaikan, semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi para pembaca, dan akhir kata dengan kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada semua pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini.

Medan, Agustus 2014

AFRIYANI NIM. 100901019


(6)

DAFTAR ISI

Hal.

LEMBAR PERSETUJUAN

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 8

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Manfaat Penelitian ... 9

1.5 Defenisi Konsep ... 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Solidaritas Sosial ... 14

2.2 Masyarakat Marginal ... 19

2.3 Masyarakat Marginal Akibat dari Pertumbuhan di Perkotaan ... 22

2.4 Masyarakat Kota dan Desa sebagai Kelompok Sosial ... 28

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 34

3.2 Lokasi Penelitian ... 35

3.3 Unit Analisis dan Informan ... 35

3.3.1 Unit Analisis ... 35


(7)

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 36

3.4.1 Data Primer ... 36

3.4.2 Data Skunder ... 37

3.5 Interpretasi Data ... 38

3.6 Jadwal Kegiatan ... 38

3.7 Keterbatasan Penelitian ... 39

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah Gang Ksatria Kelurahan Sei Mati ... 40

4.2 Profil Gang Ksatria Kelurahan Sei Mati ... 41

4.2.1 Letak Geografis ... 41

4.2.2 Kependudukan ... 43

4.2.2.1 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jumlah Kepala Keluarga ... 43

4.2.2.2 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jumlah Jiwa ... 44

4.2.2.3 Komposisi Penduduk Berdasarkan Usia ... 45

4.2.3 Prasarana Ibadah ... 46

4.2.4 Prasarana Kesehatan ... 47

4.2.5 Penganut Agama ... 47

4.2.6 Mata Pencaharian ... 48

4.2.7 Pendidikan ... 49

4.2.8 Aset Ekonomi ... 51

4.2.9 Pengangguran ... 52

4.2.10 Sumber Air ... 53

4.2.11 Industri Kecil dan Menengah ... 54


(8)

BAB V INTERPRETASI DATA

5.1 Karakteristik Informan ... 56

5.2 Solidaritas Masyarakat Marginal ... 70

5.3 Kelompok Sosial dalam Masyarakat Marginal ... 77

5.4 Kekerasan dalam Masyarakat Marginal ... 79

BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan ... 88

6.2 Saran ... 91 DAFTAR PUSTAKA


(9)

DAFTAR TABEL

TABEL Hal.

4.1 Komposisi Penduduk Berdasarkan Jumlah Kepala

Keluarga ... 43 4.2 Komposisi Jumlah Penduduk Berdasarkan Jumlah Jiwa... 44 4.3 Komposisi Penduduk Berdasarkan Usia di Kelurahan

Sei Mati ... 45 4.4 Komposisi Prasarana Ibadah di Kelurahan Sei Mati ... 46 4.5 Komposisi Prasarana Kesehatan di Gang Ksatria Kelurahan

Sei Mati ... 47 4.6 Komposisi Penganut Agama di Kelurahan Sei Mati ... 48 4.7 Komposisi Mata PencaharianPokok di Gang Ksatria Kelurahan Sei Mati ... 49 4.8 Komposisi Pendidikan Menurut Usia di Gang Ksatria Kelurahan Sei Mati ... 50 4.9 Komposisi Aset Ekonomi di Gang Ksatria Kelurahan

Sei Mati ... 51 4.10 Komposisi Pengangguran Berdasarkan Usia di Gang Ksatria

Kelurahan Sei Mati ... 52 4.11 Komposisi Jenis Sumber Air di Gang Ksatria Kelurahan

Sei Mati ... 53 4.12 Komposisi Industri Kecil dan Menengah di Gang Ksatria

Kelurahan Sei Mati ... 54 4.13 Komposisi Etnis di Gang Ksatria Kelurahan Sei Mati ... 55


(10)

ABSTRAK

Penulisan skripsi yang berjudul “ Solidaritas pada Masyarakat Marginal di Perkotaan” (Studi Deskriptif Masyarakat Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang), berawal dari ketertarikan penulis terhadap warga Sei Mati yang memiliki karakteristik penghasilan dan pendidikan rendah, keadaan lingkungan yang tidak layak huni berdesakan di pemukiman liar, akan tetapi warga Sei Mati masih memiliki rasa solidaritas yang tinggi dalam kehidupan bermasyarakat ditengah permasalah yang komplek tersebut. Keberadaan Kelompok LKMK Keska juga menjadi salah satu ketertarikan peneliti untuk melihat bagaimana bentuk solidaritas anggota dengan anggota, anggota dengan pengurus serta pengurus dengan pengurus dalam menjalankan visi dan misi kelompok LKMK Keska.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi deskriptif dimana peneliti ingin menggambarkan bagaimana tingkat solidaritas masyarakat marginal di daerah Sei Mati Medan Maimun serta didalam kelompok LKMK Keska dengan menggunakan informan sebanyak 10 orang yaitu 7 orang diantaranya informan kunci dan 3 orang informan tambahan. Pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan data primer dan data skunder.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar masyarakat memiliki rasa solidaritas yang tinggi antara sesama warga di kelurahan Sei Mati lingkungan XII. Ini terlihat dengan adanya rasa kepercayaan antara warga dengan warga yang lain, masih terjalinnya kegiatan bakti sosial dalam rangka membersihkan lingkungan, terbentuknya serikat tolong menolong antar sesama warga, perkumpulan ibu-ibu dan bapak-bapak sudah terbentuk sejak lama seperti pengajian dan perkumpulan marga-marga. Tingkat solidaritas yang terjadi didalam Lembaga Keuangan Masyarakat Kota (LKMK) Keska juga dapat digambarkan pengurus dan anggota kelompok memiliki kepedulian secara bersama yang menunjukkan pada suatu keadaan hubungan yang didasarkan pada persamaan moral, kolektif yang sama serta kepercayaan yang di anut dengan diperkuat oleh pengalaman emosional. Bentuk solidaritas mekanik dan organik dapat dilihat pada kelompok LKMK Keska dimana anggota kelompok memiliki tujuan yang sudah diikat dengan nilai dan norma pada kelompok LKMK tersebut.


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Salah satu masalah yang dihadapi Indonesia sebagai negara berkembang adalah pertumbuhan dan konsentrasi penduduk di kota-kota besar yang pesat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), penduduk Indonesia pada tahun 2010 berjumlah 238.518.800 dan diproyeksikan pada tahun 2015 akan berjumlah

255.461.7000 (Data Statistik Penduduk Indonesia,

49,8 % berada di perkotaan dan 50,2% berada di wilayah pedesaan. Diproyeksikan penduduk perkotaan akan bertambah menjadi 53,3% pada tahun 2015 dan menjadi 66,6 % pada tahun 2035. Diyakini bahwa urbanisasi menjadi salah satu penyebab utama pesatnya peningkatan persentase penduduk perkotaan. Walau proyeksi BPS ini sedikit berbeda dengan prediksi Janianton Damanik yang memperkirakan pada tahun 2000 bahwa penduduk kota menjadi 66 %(dalam jurnal Janianton Damanik. 2003. Urbanisasi TanpaTransformasi Sosial Ekonomi? Hal.1), namun trend peningkatan persentase jumlah penduduk kota di banding desa diakui oleh kedua pihak. Peningkatan jumlah penduduk perkotaan ini disebabkan oleh peningkatan fertilitas dan urbanisasi.

Janianton (2003) mengungkapkan bahwa urbanisasi di negara berkembang seperti halnya Indonesia terjadi karena adanya tekanan perubahan secara signifikan di-pedesaan dan mendorong pergeseran mata pencaharian dari sektor


(12)

pertanian langsung menuju kesektor jasa di daerah perkotaan tanpa melalui fase perkembangan industri manufaktur. Sementara di negara maju pada lain pihak, urbanisasi terjadi sebagai akibat dari pergeseran struktur mata pencaharian penduduk dari sektor pertanian di pedesaan ke sektor jasa di kota melalui sektor industri manufaktur. Di negara berkembang kecepatan urbanisasi lebih tinggi dibanding ekspansi industri manufaktur. Karakteristik penduduk desa yang datang ke kota adalah rendahnya tingkat pendidikan, keterampilan serta kemampuan sosio-ekonomi, sehingga urbanisasi yang terjadi mempengaruhi penurunan kualitas hidup penduduk perkotaan.

Sejak penduduk pendatang adalah golongan masyarakat yang memiliki penghasilan rendah, kurang daya keterampilan dan pendidikan, namun memaksakan diri untuk tinggal di kota maka mereka tinggal berdesakan di permukiman liar tidak layak huni dan padat penduduk yang kemudian berkembang menjadi daerah-daerah kumuh (slum) di perkotaan. Penduduk pendatang ini bukan saja bersaing dengan penduduk pendatang lainnya namun juga dengan penduduk setempat yang terpinggirkan karena kalah dalam persaingan ekonomi dan memaksa mereka untuk hidup di wilayah Slum. Slum area secara umum dicirikan dengan dihuni oleh jumlah penduduk yang padat, dihuni oleh pengangguran, warga miskin dan berpenghasilan rendah, bangunan rumah kebanyakan gubug dan semi permanent, lingkungan yang jorok, kotor, tidak sehat, dan tidak teratur, fasilitas publik sangat tidak memadai dan kondisi rawan lingkungan fisik, yaitu rawan banjir, sulit sumber air bersih, dan kurang layak huni.


(13)

Kemiskinan merupakan satu faktor utama munculnya slum area yang secara mayoritas dihuni oleh penduduk pendatang di perkotaan. Kemiskinan yang terjadi di pedesaan memaksa penduduk untuk masuk ke wilayah perkotaan untuk dapat memperbaiki kehidupan mereka. Namun Riskannya Nugroho (2003) mengungkapkan permasalahan kemiskinan tidak hanya terdapat di pedesaan saja, karena perkotaan juga mempunyai masalah yang sama. Hal ini dikarenakan negara Indonesia pada umumnya masih mengalami pembangunan yang tidak merata serta persoalan keterbelakangan hampir di segala bidang, seperti teknologi, kurangnya akses-akses ke sektor ekonomi, pendidikan, kesehatan, sosial dan lain sebagainya (Riant Nugroho Dwijdowijoto, 2003: 45). Kedua kelompok masyarakat desa dan kota yang mengalami pemiskinan ini masuk ke dalam wilayah masyarakat marginal.

Data BPS DKI Jakarta menunjukkan hunian kelompok marginal, dimana luas kawasan kumuh mencapai angka 20.000 Ha atau 35% total kawasan kumuh Indonesia. (BPS DKI, 2011). Sekretaris Menteri Negara Perumahan Rakyat (Sesmenpera) Noer Soetrisno mengatakan bahwa jika satu hektar ditempati oleh sekitar 500 jiwa penduduk Indonesia seperti ditunjukkan oleh data Badan Pusat Statistik (BPS), maka total 42.500 hektar dikali 500 jiwa jumlahnya 21,25 juta jiwa atau hampir sekitar 18 persen dari total penduduk Indonesia yang sekitar 120 juta jiwa tinggal di kawasan permukiman kumuh. (dalam AnataraNews.com terbit 31 Desember 2013). Diakses melalui 2014. Pukul 20.30 Wib .

Menurut Sugeng Sarjadi (dalam Justin : 2005) Kelompok marginal merupakan kelompok masyarakat yang tersisih atau disisihkan dari pembangunan,


(14)

sehingga tidak mendapat kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan. Pada umumnya masyarakat marginal ini tinggal di daerah pemukiman kumuh, bantaran sungai serta jalan kereta api bahkan ada yang bermukim dikolong jembatan pada daerah perkotaan. Ciri lain dari kehidupan masyarakat marginal adalah timbulnya ketergantungan yang kuat dari pihak si miskin terhadap kelas sosial-ekonomi di atasnya. Misalnya antara majikan dan buruh. Buruh tidak mempunyai kemampuan untuk menetapkan upah, pedagang kecil tidak bisa mendapatkan harga layak atas barang yang mereka jual, para pemulung tidak bisa menaikan harga barang bekas meraka. Hal tersebut menjelaskan si miskin tidak dapat berbuat banyak atas eksploitasi dan proses marginalisasi yang di alami karena mereka tidak memiliki alternative lain untuk menentukan nasib sendiri kearah yang lebih baik.

Dari pendapat di atas, peneliti melihat paradigma dasar cara melihat masyarakat marginal, bahwa masyarakat marginal di slum areaumumnya merupakan masyarakat yang tidak mampu beradaptasi dengan pola kehidupan kota, namun pada sisi yang lain tidak mau juga kembali ke desa atau berpindah ke pinggiran kota. Masyarakat kumuh perkotaan ini juga terhimpit dan terisolasi baik dalam hubungan sosial masyarakat kota maupun terisolasi dalam akses pelayanan publik perkotaan seperti kesehatan, pendidikan dan juga kelembagaan ekonomi. Dalam situasi terisolasi itu maka masyarakat marginal di wilayah kumuh perkotaan membuka public sphere atau ruang publik sendiri yang memunculkan budaya baru. Budaya baru yang muncul umumnya adalah budaya kemiskinan termasuk prilaku apatisme, curiga, ketergantungan, rendah diri, orientasi masa kini, fatalistik dan sulit berintegrasi dengan kehidupan perkotaan. Budaya ini terintegrasi dan tersosialisasi secara turun temurun. Budaya kemiskinan ini


(15)

pulalah yang menyebabkan kecenderungan disorganisasi kelompok di dalam masyarakat marginal tersebut karena kurang menyatunya antar individu dalam kelompok.

Melihat lebih jauh pada level propinsi, maka propinsi Sumatera Utara memiliki persentase penduduk perkotaan mencapai 49,2 % dan diprediksi akan menjadi 52,6% pada tahun 2015 (Persentase Penduduk Daerah Perkotaan menurut Provinsi, 2010-di Sumatera Utara dengan jumlah penduduk pada tahun 2010 berjumlah 2.121.053. Dibanding hasil Sensus Penduduk 2000, terjadi pertambahan penduduk sebesar 216.780 jiwa (11,38%). Dengan luas wilayah mencapai 265,10 km², kepadatan penduduk mencapai 8.001 jiwa/km² (BPS Kota Medan, 2014). Peningkatan jumlah penduduk di Medan, dapat dilihat cukup pesat berdasarkan pernyataan kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil kota Medan, pada 28 Agustus 2012, dimana jumlah penduduk Kota Medan telah mencapai 2.949.830 jiwaper Agustus 2012 kepadatan penduduk.

Pesatnya pertumbuhan penduduk kota Medan, menyebabkan prasarana dan infrastruktur juga dibangun dengan cepat. Kegiatan-kegiatan baru bermunculan dan perlahan-lahan menggeser kegitan tradisional. Rumah-rumah sederhana berdiri berdesak-desakan di tepi kota, kegiatan industri jasa meningkat ditengah-tengah kota, pedagang kaki lima menjajakan dagangan di jalan-jalan serta meningkatnya jumlah angkutan transportasi massal, menyebabkan tapal batas kota makin mundur ke pedalaman. Semua perubahan ini mulai terjadi ketika


(16)

penduduk dari masyarakat pedesaan yang biasa berdiri sendiri mulai pindah ke kota, mengubah kecendrungan sejarah lama yang mempertahankan mereka dalam keadaan terpencil. Masri (dalam Hernando de Santos, 1991: 3-8).

Salah satu konsentrasi masyarakat marginal dan pemukimannya di Kota Medan berada di Kecamatan Medan Maimon tepatnya di Kelurahan Sei-Mati. Di kelurahan ini keberadaan masyarakat marginal dapat dilihat dengan mudah, dimana berdasarkan pra-observasi yang dilakukan peneliti muncul beberapa indikator masyarakat marginal, diantaranya; di kelurahan ini sudah banyak berdiri pemukiman liar warga di lahan milik swasta yang sewaktu-waktu dapat digusur, rendahnya pendapatan per-keluarga, minimnya sarana dan prasarana yang dimiliki, kebersihan lingkungan tidak terjaga, merupakan daerah rawan banjir dikarenakan pemukiman warga berdiri di bantaran sungai, sektor ekonomi masyarakat bergerak dibidang ekonomi informal, produk kerajinan tidak dapat bersaing di pasar dikarenakan rendah modal dan SDM, sarat dengan masalah-masalah sosial (kejahatan, terlantarnya anak-anak, kemiskinan, obat-obatan terlarang, alkoholisme, dan gelandangan) serta rawan pemanfaatan kepentingan politik oleh berbagai oknum.

Dalam kehidupan sosial keagamaan masyarakat Sei-Mati terlihat kegiatan rutin masyarakat dalam mempererat diri antar masyarakat dan kepada Tuhan-Nya.Solidaritas sosial-agama terdapat pada acara-acara seperti pernikahan salah seorang masyarakat dan kemalangan seperti sakit dan kematian. Sedangkan sosial ekonomi mengarah kepada suatu keadaan atau kedudukan yang diatur secara sosial. Seseorang dalam posisi tertentu memiliki kedudukan yang lebih tinggi atau sederajat dengan warga masyarakat. Kesediaannya membantu warga lain yang


(17)

kesulitan ekonomi seperti kekurangan modal, memberi pinjaman, membantu kebutuhan ekonomi, saling membantu dalam urusan keamanan lingkungan, mendirikan rumah, dan lain sebagainya.

Solidaritas sosial-keagamaan dan sosial-ekonomi serta keberadaannya didalam masyarakat sering dijumpai baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam berkelompok. Sementara solidaritas sosial ekonomi lainnya dapat ditelaah dari tumbuhnya Lembaga Keuangan yang berdiri di tengah masyarakat Sei-Mati, dimana masyarakat sebagai anggota kelompok tersebut dapat bekerja sama dengan yang lainnya mengatasi masalah sosial ekonomi melalui sektor ekonomi informal yang terbentuk dari Lembaga Keuangan tersebut berupa kerajinan keset kaki untuk para ibu-ibu. Selain memberdayaan ibu-ibu lembaga keuangan ini juga memilliki program bimbingan belajar bagi anak-anak agar dapat mengurangi waktu bermain anak-anak, mengurangi anak-anak turun kejalan menjadi peminta-minta atau pengamen jalanan, serta penyalahan gunaan narkoba.

Phenomena solidaritas masyarakat marginal di kelurahan Sei-Mati baik dari solidaritas sosial maupun ekonomi tentu saja menarik untuk ditelaah lebih lanjut. Masyarakat yang memiliki keberagaman latar belakang termasuk etnisitas, memiliki rasa solidaritas yang tinggi antar warganya, walaupun mereka berada di tengah-tengah himpitan ekonomi dan masalah sosial yang tinggi. Mereka masih memiliki empati dan solidaritas yang bisa di katakan baik. Situasi ini menjadi anomali dari paradigma dasar masyarakat marginal yang berada dipemukiman kumuh dimana budaya kemiskinan akan memicu disorganisasi sosial di dalam


(18)

masyarakat tersebut.Hal itu juga yang membuat peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut proses dan bentuk solidaritas yang terbentuk di masyarakat Kelurahan Sei-Mati baik dalam sosial–agama maupun sosial-ekonomikhususnya menelaah solidaritas kelompok masyarakat di kelompok Lembaga Keuangan Masyarakat Kota (LKMK) dalam pemberdayaan masyarakat Sei-Mati.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah bentuk solidaritas sosial yang terjadi pada masyarakat marginal di Kelurahan Sei-Mati, Kecamatan Medan Maimon, Kota Medan?

2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi terjadinya solidaritas sosial di masyarakat khususnya pada kelompok Lembaga Keuangan Masyarakat Kota (LKMK) dalam pemberdayaan masyarakat Sei-Matidi Kelurahan Sei-Mati,Kecamatan Medan Maimon, Kota Medan?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah diatas maka yang menjadi tujuan yang diharapkan dan dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui solidaritas sosial yang terjadi pada masyarakat marginal di Kelurahan Sei Mati.


(19)

2. Untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya solidaritas sosial di Masyarakat Marginal khususnya di Kelurahan Sei Mati.

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dan dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Secara teoritis, diharapkan penelitian ini dapat memberikan konstribusi baik secara langsung ataupun tidak langsung bagi kepustakaan Departemen Sosiologi khususnya untuk menambah kajian tentang Pengembangan Masyarakat serta Sosiologi Perkotaan, dan Kependudukan.

2. Secara praktis, diharapkan penelitian ini dapat meningkatkan kemampuan penulis dalam membuat suatu karya ilmiah dan dapat menjadi bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya, serta diharapkan dapat memberikan sumbangan kepada pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat menjadi lebih baik.

1.5. Definisi Konsep

Dalam penelitian ilmiah, disamping berfungsi untuk memfokuskan dan mempermudah suatau penelitian, konsep juga berfungsi sebagai panduan yang nantinya digunakan peneliti untuk menindak lanjuti sebuah kasus yang di teliti dan menghindari terjadinya kekacauan akibat kesalahan penafsiran dalam sebuah


(20)

penelitian. Adapun konsep yang digunakan sesuai dengan konteks penelitian ini, antara lain adalah :

1. Solidaritas sosial

Durkheim menyatakan bahwa solidaritas sosial merupakan suatu keadaan hubungan antara individu dan atau kelompok yang didasarkan pada kepercayaan yang dianut bersama dan diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Solidaritas menekankan pada keadaan hubungan antar individu dan kelompok dan mendasari keterikatan bersama dalam kehidupan dengan didukung nilai-nilai moral dan kepercayaan yang hidup dalam masyarakat. Wujud nyata dari hubungan bersama akan melahirkan pengalaman emosional, sehingga memperkuat hubungan antar mereka. Berkaitan dengan perkembangan masyarakat, Durkheim melihat bahwa masyarakat berkembang dari masyarakat sederhana menuju masyarakat modern.

Salah satu komponen utama masyarakat yang menjadi pusat perhatian Durkheim dalam memperhatikan perkembangan masyarakat adalah bentuk solidaritas sosialnya. Masyarakat sederhana memiliki bentuk solidaritas sosial yang berbeda dengan bentuk solidaritas sosial pada masyarakat modern. Masyarakat sederhana mengembangkan bentuk solidaritas sosial mekanik, sedangkan masyarakat modern mengembangkan bentuk solidaritas sosial organik. Jadi, berdasarkan bentuknya, solidaritas sosial masyarakat terdiri dari dua bentuk yaitu: a. Solidaritas sosial mekanik.


(21)

Pada saat solidaritas mekanik memainkan peranannya, kepribadian tiap individu boleh dikatakan lenyap, karena ia bukanlah diri indvidu lagi, melainkan hanya sekedar mahluk kolektif. Jadi, masing-masing individu diserap dalam kepribadian kolektif.

b. Solidaritas sosial organik

Solidaritas organik berasal dari semakin terdiferensiasi dan kompleksitas dalam pembagian kerja yang menyertai perkembangan sosial. Durkheim merumuskan gejala pembagian kerja sebagai manifestasi dan konsekuensi perubahan dalam nilai-nilai sosial yang bersifat umum.

2. Masyarakat Marginal

Masyarakat adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan antar entitas-entitas. Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur.

Masyarakat marginal adalah kelompok masyarakat yang tersisih atau disisihkan dari pembangunan, sehingga tidak mendapat kesempatan untuk menikmati indahnya pembangunan, dan biasanya lebih dekenal di kalangan umum,masyarakat marginal adalah kelompok-kelompok sosial yang di miskinkan oleh pembangunan,


(22)

sehingga biasanya masyarakat marginal pun sering mendapatkan tindak kekerasan dari elemen masyarakat lainnya dan juga sering mendapatkan kekerasan sistematik yang di lakukan oleh negara (penguasa).

3. Perkotaan

Masyarakat perkotaan sering disebut juga urban community. Pengertian masyarakat kota lebih ditekankan pada sifat-sifat kehidupannya serta ciri-ciri kehidupannya yang berbeda dengan masyarakat pedesaan.

Kota merupakan kawasan pemukiman yang secara fisik ditunjukkan oleh kumpulan rumah-rumah yang mendominasi tata ruangnya dan memiliki berbagai fasilitas untuk mendukung kehidupan warganya secara mandiri. Pengertian kota sebagaimana yang

diterapkan ditown dan city dalam

merupakan satuan administrasi negara di baw dibedakan secara kontras dari ukurannya, kepadatan penduduk, kepentingan, atau status hukum. Desa atau kampung didominasi oleh lahan terbuka bukan pemukiman.

4. Kelompok Sosial

Kelompok merupakan konsep yang sangat umum dipakai dalam sosiologi dan antropologi. Sebenarnya kelompok merupakan kumpulan


(23)

manusia yang memiliki syarat-syarat tertentu, dengan kata lain tidak semua pengumpulan manusia dapat disebut sebagai kelompok.

5. LKMK Keska

Merupakan Lembaga keuangan masyarakat kota yang hadir ditengah masyarkat dalam meringankan masalah sosial ekonomi dan masalah sosial lainnya, seperti pemberdayaan ibu-ibu dan anak-anak di masyarakat miskin kota.


(24)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Solidaritas Sosial

Salah seorang sosiolog yang menaruh perhatian dan menjadikan fokusteoritis dalam membaca masyarakat adalah Emile Durkheim. Bahkan, persolan solidaritas sosial merupakan inti dari seluruh teori yang dibangun Durkheim. Ada sejumlah istilah yang erat kaitannya dengan konsep solidaritas sosial yang dibangun Sosiolog berkebangsaan Perancis ini, diantarnya integrasi sosial (social integration) dan kekompakan sosial. Secara sederhana, fenomena solidaritas menunjuk pada suatu situasi keadaan hubungan antar individu atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. (Taufik Abdullah & A.C.Van Der Leeden, 1986 : 81-125).

Dalam analisis Durkheim, diskursus tentang solidaritas dikaitkan dengan persoalan sanksi yang diberikan kepada warga yang melanggar peraturan dalam masyarakat. Bagi Durkhem indikator yang paling jelas untuk solidaritas mekanik adalah ruang lingkup dan kerasnya hukum-hukum dalam masyarakat yang bersifat menekan(represif). Hukum-hukum ini mendefinisikan setiap perilaku penyim-pangan sebagai sesuatu yang jahat, yang mengancam kesadaran kolektif masyarakat. Hukuman represif tersebut sekaligus bentuk pelanggaran moral oleh individu maupun kelompok terhadap keteraturan sosial (social order). Sanksi


(25)

dalam masyarakat dengan solidaritas mekanik tidak dimaksudkan sebagi suatu proses yang rasional. (John Scott, 2002: 78)

Hukuman tidak harus merepresentasikan pertimbangan rasional dalam masyarakat. Hukum represif dalam masyarakat mekanik tidak merupakan petimbangan yang diberikan yang sesuai dengan bentuk kejahatannya. Sanksi atau hukuman yang dikenakan kepada orang yang menyimpang dari ketaraturan, tidak lain merupakan bentuk atau wujud kemarahan kolektif masyarakat terhadap tindakan individu tersebut.

Pelanggaran terhadap kesadaran kolektif merupakan bentuk penyimpangan dari homogenitas dalam masyarakat. Karena dalam analisa Durkheim, ciri khas yang paling penting dari solidaritas mekanik itu terletak pada tingkat homogenitas yang tinggi dalam kepercayaan, sentimen, dan kerja sama. Homogenitas serupa itu hanya mungkin kalau pembagian kerja (division of labor) bersifat terbatas. Model solidaritas seperti ini biasa ditemukan dalam masyarakat primitif atau masyarakat tradisional yang masih sederhana. Dalam masyarakat seperti ini pembagian kerja hampir tidak terjadi. Seluruh kehidupan dipusatkan pada sosok kepala suku. Pengelolaan kepentingan kehidupan sosial bersifat personal. Keterikatan sosial terjadi karena kepatuhan terhadap nilai-nilai tradisional yang dianut oleh masyarakat. Demikian juga sistem kepemimpinan yang dilaksanakan berjalan secara turun-temurun. (John Scott, 2002 : 81-83)

Potret solidaritas sosial dalam konteks masyarakat dapat muncul dalam berbagai kategori atas dasar karakteristik sifat atau unsur yang membentuk solidaritas itu sendiri. Veeger, K.J. (1992) mengutip pendapat Durkheim yang


(26)

membedakan solidaritas sosial dalam dua kategori/tipe; Pertama, solidaritas mekanis, terjadi dalam masyarakat yang diciri-khaskan oleh keseragaman pola-pola relasi sosial, yang dilatarbelakangi kesamaan pekerjaan dan kedudukan semua anggota. Jika nilai-nilai budaya yang melandasi relasi mereka, menyatukan mereka secara menyeluruh, maka akan memunculkan ikatan sosial diantara mereka kuat sekali yang ditandai dengan munculnya identitas sosial yang demikian kuat. Individu meleburkan diri dalam kebersamaan, hingga tidak ada bidang kehidupan yang tidak diseragamkan oleh relasi-relasi sosial yang sama. Individu melibatkan diri secara penuh dalam kebersamaan pada masyarakat hingga tidak terbayang bahwa hidup mereka masih berarti atau dapat berlangsung, apabila salah satu aspek kehidupan diceraikan dari kebersamaan.

Solidaritas mekanik memperlihatkan berbagai komponen atau indikator penting, seperti; adanya kesadaran kolektif yang didasarkan pada sifat ketergantungan individu yang memiliki kepercayaan dan pola normatif yang sama. Individualitas tidak berkembang karena dilumpuhkan oleh tekanan aturan/hukum yang bersifat represif. Sifat hukuman cenderung mencerminkan dan menyatakan kemarahan kolektif yang muncul atas penyimpangan atau pelanggaran kesadaran kolektif dalam kelompok sosialnya. Solidaritas mekanik didasarkan pada suatu “kesadaran kolektif” (collective consciousness) yang dipraktikkan masyarakat dalam bentuk kepercayaan dan sentimen total diantara para warga masyarakat. Individu dalam masyarakat seperti ini cenderung homogen dalam banyak hal. Keseragaman tersebut berlangsung terjadi dalam seluruh aspek kehidupan, baik sosial, politik bahkan kepercayaan atau agama.Kedua solidaritas organik, solidaritas initerjadi dalam masyarakat yang


(27)

relatif kompleks kehidupan sosialnya namunterdapat kepentingan bersama atas dasar tertentu. Dalam kelompok sosial terdapat pola antar-relasi yang parsial dan fungsional, terdapat pembagian kerja yang spesifik, yang pada gilirannya memunculkan perbedaan kepentingan, status, pemikiran dan sebagainya. Perbedaan pola relasi-relasi, dapat membentuk ikatan sosial dan persatuan melalui pemikiran perlunya kebutuhan kebersamaan yang diikat dengan kaidah moral, norma, undang-undang, atau seperangkat nilai yang bersifat universal. Oleh karena itu ikatan solider tidak lagi menyeluruh, melainkan terbatas pada kepentingan bersama yang bersifat parsial.

Solidaritas organik muncul karena pembagian kerja bertambah besar. Solidaritas ini didasarkan pada tingkat saling ketergantungan yang tinggi. Ketergantungan ini diakibatakan karena spesialisasi yang tinggi diantara keahlian individu. Spesialisasi ini juga sekaligus merombak kesadaran kolektif yang ada dalam masyarakat mekanis. Akibatnya kesadaran dan homogenitas dalam kehiduan sosial tergeser. Karena keahlian yang berbeda dan spesialisasi itu, munculah ketergantungan fungsional yang bertambah antara individu-idividu yang memiliki spesialisasi dan secara relatif lebih otonom sifatnya. Menurut Durkheim itulah pembagian kerja yang mengambil alih peran yang semula disandang oleh kesadaran kolektif.

Karl Manheim lebih mencermati pandangan Durkheim, dimana dalam solidaritas organik diciptakan pembagian kerja dalam kelompok sosial. Pembagian kerja sebenarnya membagi aktivitas yang tadinya digabungkan ke dalam suatu proses kerja yang dilaksanakan oleh seorang manusia menjadi sejumlah besar bagian-bagian yang saling melengkapi satu sama lain. Pembagian


(28)

kerja akan menimbulkan sebuah integrasi sosial yang kuat, secara fungsional dibutuhkan untuk saling melengkapi. Oleh karena itu memunculkan sebuah solidaritas sosial dalam kelompok mereka atas dasar kepentingan bersama yang sifatnya tertentu. (Taufik Abdullah & A. C. Van Der Leeden, 1986 : 81-125)

Nampak bahwa pada solidaritas organik menekankan tingkat saling ketergantungan yang tinggi, akibat dari spesialisasi pembagian pekerjaan dan perbedaan di kalangan individu. Perbedaan individu akan merombak kesadaran kolektif, yang tidak penting lagi sebagai dasar untuk keteraturan sosial. Kuatnya solidaritas organik menurut Durkheim ditandai eksistensi hukum yang bersifat restitutif/memulihkan, melindungi pola ketergantungan yang kompleks antara pelbagai individu yang terspesialisasi atau kelompok-kelompok dalam masyarakat.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa masyarakat bukanlah semata-mata merupakan penjumlahan individu-individu belaka. Sistem yang dibentuk oleh asosiasinya merupakan suatu realitas khusus dengan karakteristik tertentu. Adalah benar bahwa sesuatu yang bersifat kolektif tidak akan mungkin timbul tanpa kesadaran individual; namun syarat tersebut tidak akan mungkin timbul tanpa adanya kesadaran individual; namun syarat itu tidaklah cukup. Kesadaran itu harus dikombinasikan dengan cara tertentu; kehidupan sosial merupakan hasil kombinasi itu dan dengan sendirinya dijelaskan olehnya. Jiwa-jiwa individual yang membentuk kelompok, melahirkan sesuatu yang bersifat psikologis, namun berisikan jiwa individualistis yang baru.


(29)

Kadang kala terbentuknya solidaritas dalam suatu masyarakat tidak hanya dipengaruhi oleh kesamaan dalam nasib, namun karena keadaan ekstrim yang sedang mereka hadapi seperti konflik. dalam jurnal-Nya Jacky (2013) yang membicarakan pada seputar konflik antara pemulung dan kaum Industri di surabaya jawa timur. Dalam jurnalnya di jelaskan bahwa pemulung Indonesia di satukan dalam sebuah ikatan yang di beri nama (IPI) Ikatan Pemulung Indonesia yang menjadi katup penyelamat (Lowis A. Coser) bagi kedua belah pihak. Efek dari pembentukan IPI tersebut meluas menjadi ikatan persaudaraan yang kuat dan meninggikan tingkat solidaritas sesama pemulung. Solidaritas terbentuk karena adanya kesamaan senasib dan sepenanggungan baik di lihat dari persamaan budaya, profesi, atau lainnya.

Menurut Zulkarnaen (2009:10) salah satu sumber solidaritas adalah gotong royong. Istilah gotong royong mengacu pada kegiatan saling menolong atau saling membantu dalam masyarakat. Tradisi kerjasama tersebut tercermin dalam berbagai bidang kegiatan masyarakat, antara lain: kegiatan dalam membangun rumah, memperbaiki sarana umum, mengadakan perhalatan atau hajatan, dalam bencana alam, kematian, dan lain-lain.

2.2. Masyarakat Marginal

Pembangunan kota besar seperti kota Medan ini hanya menekankan aspek pertumbuhan ekonomi secara fisik ternyata dalam banyak hal justru melahirkan orang-orang miskin baru, masyarakat pinggiran di perkotaan atau lazim disebut dengan istilah masyarakat marginal. Di dalam kamus sosiologi dan kependudukan istilah marginal memiliki dua makna, yaitu pertama, suatu kelompok yang


(30)

terasimilasi tidak sempurna. Kedua, kelompok yang terdiri dari orang-orang yang memiliki kedudukan rendah. (Hartini dalam Irawati, 2008).

Kelompok yang terasimilasi tidak sempurna maksudnya kelompok yang terdiri dari orang-orang yang tinggal dalam satu lingkungan kota tidak memiliki akses yang sama terutama yang berkaitan dengan kehidupannya. Atau dengan bahasa lain telah terjadi ketimpangan pembangunan, satu sisi ada orang sakit perut karena kekenyangan di lain sisi ada orang yang sakit perut karena kelaparan.

Kelompok marginal termasuk kaum miskin yang bercirikan miskin dari segi pangan, ekonomi, pendidikan, dan tingkat kesehatan yang rendah. Menurut Pasurdi dalam Irwati (2008) bahwa kelompok marginal adalah mereka yang tidak memiliki tempat tinggal yang tetap, pekerjaan yang tidak layak seperti pemulung, pedagang asongan, pengemis dan lain sebagainya.

Broto Soemedi dalam Johanes (1995: 20) Kemiskinan dapat dilihat dari dua sisi. Pertama dari sisi kualitatif memiliki maksud kemiskinan ialah suatu kondisi yang di dalamnya hidup manusia tidak bermartabat manusia atau dengan kata lain, hidup manusia tidak layak sebagai manusia. Kedua, secara kuantitatif. Kemiskinan itu suatu keadaan di mana hidup manusia serba kekurangan, atau dengan bahasa lazim tidak berhata benda.

Banyak bukti menunjukkan bahwa yang disebut masyarakat marginal pada umumnya selalu lemah dalam kemampuan berusaha dan terbatas aksesnya pada kegiatan ekonomi sehingga sering kali makin tertinggal jauh dari masyarakat lain yang memiliki potensi lebih tinggi. sebuah keluarga yang mengalami proses marginalisasi, mereka umumnya tidaklah banyak berdaya, ruang geraknya serba


(31)

terbatas, dan cenderung sulit untuk terserab dalam sektor-sektor yang memungkinkan mereka dapat mengembangkan usahanya. Bisa di katakana jangankan untuk mengembangkan diri menuju taraf sejahtera, untuk bertahan menegakkan hidup fisiknya pada taraf yang subsistem saja bagi keluarga miskin hampir-hampir merupakan hal yang mustahil bila tidak di topang oleh jaringan dan pranata social di lingkungan sekitarnya.

Golongan masyarakat yang mengalami proses marginalisasi umumnya adalah kaum migran, seperti pedagang kaki lima, penghuni permukiman kumuh, dan pedagang asongan yang umumnya tidak terpelajar dan tidak terlatih, ataudengan kata asing disebut unskilled labour, Soejatmoko dalam ( Ali, 2005: 167).Karena yang menjadi tolak ukur ialah kemampuan dalam meningkatkan taraf ekonomi maka yang menjadi ciri masyarakat marginal ialah sangat sulit/lamban dalam melakukan mobilitas social vertical. Mereka yang miskin tetap hidup dalam kemiskinannya, sedangkan yang kaya akan tetap menikmati kekayaannya. Menurut Johannes (1995:24) hal tersebut terjadi karena dilatar belakangi oleh dua kemungkinan. a) mereka miskin di karenakan struktur yang tidak adil atau mengabaikan mereka. Hal ini memiliki arti bahwa mereka tetap miskin bukan karena mereka tidak mau memperbaiki nasibnya, tetapi usaha yang mereka lakukan selalu kandas dan terbentur pada system atau struktur masyarakat yang berlaku. b) mereka miskin di karenakan kultur (budaya) masyarakat rela miskin karena di yakini sebagai upaya untuk membebaskan diri dari sikap serakah yang pada akhirnya akan membawa ketamakan.

Robert Chambers dalam Ali (2005: 168) pengertian masyarakat marginal sebetulnya sama dengan apa yang disebut deprivation trap atau perangkap


(32)

kemiskian. Secara rinci terdiri dari lima unsur, yaitu: (1) kemiskinan itu sendiri; (2) kelemahan fisik; (3) keterasingan atau kadar isolasi; (4) kerentanan; (5) ketidakberdayaan. Kelima unsure ini sering saling mengait sehingga merupakan perangkat kemiskinan yang benar-benar mematikan peluang hidup orang atau keluarga miskin. Dan pada akhirnya menimbulkan marginalisasi.

Sedangkan Irawati (2008) dalam jurnalnya masyarakat yang identik sebagai masyarakat miskin kota adalah yang berprofesi sebagai pemulung, pengemis, gelandangan, atau pun buruh pekerja kasar. Lebih lanjut David Berry mengatakan bahwa marginal adalah suatu situasi dimana orang yang bercita-cita atau berkeinginan pindah dari kelompok sosial yang satu ke kelompok sosial yang lain, akan tetapi di tolak keduanya.

2.3. Masyarakat Marginal akibat dari Pertumbuhan di Perkotaan

Dikatakan Elly M. Setiadi & Usman Kolip (2011:856) Masyarakat perkotaan adalah sekelompok orang yang hidup di dalam suatu wilayah yang membentuk komunitas yang heterogen karena kebanyakan anggota-anggotanya berasal dari berbagai daerah yang membentuk komunitas baru. Secara sosiologis pengertian kota memberikan penekanan pada kesatuan masyarakat industri, bisnis, dan wirausaha lainnya dalam struktur sosial yang kompleks. Berdasarkan penjelasan diatas dapat di katakan bahwa masyarakat perkotaan identik dengan kehidupan modern, lebih mudah menerima perubahan serta lebih mudah menyerap dan menerima informasi, kehidupan kota secara fisik juga dapat digambarkan dengan banyaknya gedung-gedung tinggi, kesibukan warga masyrakatnya dan juga tingkat persaingan yang tinggi.


(33)

Tidak mampunya daya dukung lingkungan perkotaan, industrialisasi yang lebih berorientasi kepada kebutuhan ekonomi, dan urbanisme yang tidak terkendali akan melahirkan berbagai masalah-masalah sosial berkaitan dengan pertumbuhan suatu wilayah menjadi kota, antara lain:

1. Urbanisasi.

Perpindahan penduduk dari pedesaan menuju daerah perkotaan. Yang menjadi masalah adalah warga dari daerah pedesaan yang ingin mengadu nasib di perkotaan, namun hanya memiliki kemampuan keahlian yang terbatas atau rendah, dan karena itu hidup sebagai pekerja kasar atau buruh dipabrik-pabrik dengan upah yang relatif rendah. Para pekerja pendatang ini pada umumnya laki-laki dan perempuan dengan rata-rata usia produktif atau orang-orang muda bujangan atau bujangan lokal yang tinggal berdesakan di sekeliling tempat mereka bekerja dengan cara menyewa atau kontrak kamar-kamar secara bergotong royong untuk meringankan beban pembayaran sewa kontrak sesuai dengan gaji buruh yang diterima dari pabrik. Oleh karena itu mereka hidup rata-rata pada perkampungan yang kumuh dan berbagai keterbatasan atas air, sanitasi serta fasilitas lainnya untuk pemukiman. Keberadaan perkampungan kumuh, disamping akan menimbulkan masalah bagi lingkungan atas pemakaian air, tanah, sungai, sanitasi, sampah dan tata ruang, juga akan memproduksi masalah-masalah sosial dan kejahatan. Masalah lain dari urbanisasi adalah penambahan penduduk kota yang tidak terkontrol sehingga sulit untuk melakukan pengawasan kependudukan.


(34)

2. Kemiskinan dan daerah kumuh atau liar.

Kemiskinan muncul dan semakin nampak mencolok keberadaannya di daerah perkotaan karena kontras dengan kekayaan yang menjadi ciri dari kehidupan perkotaan. Secara garis besar para penderita kemiskinan dikota adalah mereka yang berpendidikan rendah dan tidak memiliki keterampilan keahlian yang berguna dalam kegiatan industri dan perekonomian di perkotaan. Golongan ini dapat berasal dari penduduk asli setempat dan para pendatang. Penduduk asli setempat yang sudah tergolong miskin sebelum berkembangnya kota menjadi pusat industri dan ekonomi pasar, hanya memiliki pendidikan rendah dan pas-pasan, serta tidak memiliki keahlian yang dibutuhkan sesuai dengan perkembangan industri dan pasar. Kemampuan bertahan para penduduk asli setempat untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya adalah dengan menjual tanah warisan kepada para pendatang atau orang kaya, belum lagi untuk keperluan ibadah keagamaan seperti naik haji, upacara lingkaran kehidupan seperti mengawinkan anak atau untuk usaha keluarga berdagang atau jasa yang bercorak tradisional, dan karena lemahnya kemampuan manajemen menyebabkan bangkrutnya usaha dagang atau jasa tersebut. Belum lagi diantara mereka ada yang terlilit hutang kepada kepada rentenir dengan menggunakan jaminan rumah atau tanah mereka. Habisnya tanah warisan mengharuskan mereka tersingkir dari pusat kota kepinggiran dan terlibat dalam lingkungan pemukiman kumuh.

3. Transportasi dan jaringan jalan.

Tidak ada satu kotapun di Indonesia yang tidak mengalami kemacetan lalu lintas dan tidak mengalami kesukaran transportasi umum bagi warganya. Hal ini


(35)

disebabkan perencanaan perkotaan dan transportasi yang tidak akomodatif dan antisipatif terhadap perkembangan perkotaan. Dampak negatif dari kemacetan dan kesemarawutan transportasi serta tidak cukupnya jaringan jalan serta angkutan umum adalah (1) kendaraan umum berisi penumpang yang padat, kondisi ini mewujudkan terjadi berbagai kejahatan dan pelanggaran norma-norma kesopanan dan susila, (2) kepadatan kendaraan umum menyebabkan kemacetan yang panjang akibat antrian penumpang, berhenti disembarang tempat dan rusaknya jaringan jalan, (3) kemacetan yang panjang juga menghabiskan energi dan merusak perekonomian kota itu sendiri, (4) kurangnya angkutan umum layak yang disediakan oleh pemerintah dan tingginya kebutuhan masyarakat atas angkutan umum, menyebabkan warga menerima apa saja jenis angkutan umum yang tersedia meskipun tidak layak jalan dan layak pandang lagi, dan (5) kurangnya angkutan umum juga menyebabkan warga lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi, seperti sepeda motor yang dapat menyebabkan tingginya angka kecelakaan lalulintas dan pencurian kendaraan bermotor, tingginya penggunaan kendaraan roda empat pribadi yang semakin menambah beban sarana transportasi dan kemacetan.

4. Penyerobotan tanah.

Tanah-tanah diperkotaan bukan lagi bernilai alamiah tetapi telah menjadi komoditi dan bahkan menjadi aset atau kapital. Karena itu tidaklah mengherankan bahwa kasus-kasus penyerobotan tanah-tanah milik negara, perusahaan atau perorangan sering terjadi di kota. Para penyerobot dapat dibedakan atas para pemukim liar (squatter) yang rata-rata sangat miskin dan menduduki tanah milik


(36)

orang lain karena kepentingan untuk bermukim bukan untuk dijadikan aset atau kapital.

5. Stress serta frustrasi berkepanjangan.

Sebuah kota dengan berbagai permasalahannya dari aspek politik, ekonomi, sosial, kebudayaan dan keamanan terwujud secara nyata dalam kehidupan warganya seperti kepadatan hunian, kebisingan, kemacetan, jalan rusak, masalah air, listrik, gas, sanitasi, MCK, banjir, polusi air-tanah dan udara, naiknya harga sembako, pedagang kaki lima, penyerobotan tanah, penggusuran pemukiman, sempitnya ruang publik, sulitnya mendapatkan minyak, kesulitan mendapatkan sekolah, pekerjaan, pengangguran, kejahatan jalanan sampai dengan kewajiban berbagai retribusi dan pajak dan masalah-masalah sengketa dalam bisnis. Sementara itu dalam waktu yang bersamaan dan tempat yang berdampingan, sebagian kelompok orang kaya dan pejabat pemerintahan dengan mudah mendapatkan berbagai sarana dan kemewahan serta kekuasaan untuk mengusai sumber-sumber ekonomi dan politik. Kesenjangan atau gap atas kondisi ini yang mewujudkan potensi konflik komunal disatu sisi dan berbagai permasalahan pribadi seperti stress, frustrasi dan masa bodoh disisi yang lain.

Kota umumnya dipandang sebagai tempat yang cocok untuk mencari pekerjaan dan tempat untuk orang meraih sukses dan juga kota dianggap sebagai pusat peradaban ilmu pengetahuan. Masyarakat perkotaan juga dianggap sebagai masyarakat yang pintar, tidak mudah tertipu, cekatan dalam berfikir dan bertindak namun anggapan itu tidak selamanya sesuai dengan kenyataan yang ada di lapangan seperti yang ingin di teliti penulis, bahwa keadaan masyarakat perkotaan


(37)

seperti hal diatas berbeda dengan keadaan yang terdapat dilapangan, masih banyak kelompok masyarakat yang tinggal di diwilayah pemukiman kumuh, bekerja pada sektor informal, mereka bermukim di sepanjang bantaran sungai, di tepi jalan kereta api bahkan ada juga yang tinggal dikolom jembatan. Mereka tentu saja merupakan sekelompok orang marginal yang tidak mampu mengakses perubahan sosial budaya dan tidak berdaya menyerap arus modernisasi. Kemunculan kapitalime juga mempengaruhi terjadinya marginalisasi terhadap oarang-orang yang tidak memiliki skill atau keahlian, dikarenakan hanya orang-orang yang memiliki skill saja yang dapat bekerja di sektor formal. Hal ini menyebabka mereka menjadi terpinggirkan dan tiak diberi kesempatan untuk melakukan mobilitas.

Masyarakat marginal yang hidup diperkotaan sarat dengan masalah-masalah sosial yang terjadi akibat pesatnya pertumbuhan di perkotaan, masalah-masalah sosial tersebut adalah :

1. Kejahatan

Menurut Justin (dalam Sahetapy, 1989: 98), kejahatan yang tumbuh subur di dalam masyrakat marginal adalah kejahatan yang disertai oleh kekerasan fisik. Kejahatan ini dipengaruhi oleh kemiskinan yang dialami anggota masyarakat marginal. Faktor lain adalah perubahan sikap hidup yang dialami anggota masyarakat marginal akibat perpindahan dari desa ke kota. Di daerah baru mereka seperti kehilangan pegangan hidup karena tiadanya pegangan norma serta status sosial di dalam masyarakat tersebut.


(38)

Dalam pandangan Arief Gosita (dalam Justin, 2005: 76), kejahatan sebenarnya bukan hanya kriminalitas biasa, sebagaimana yang seringkali tumbuh didalam masyarakat marginal. Kejahatan bisa pula mencakup bentuk-bentuk halus yang biasa dikenal dengan istilah kejahatan kerah putih (White collar crime). Jenis kejahatan ini dilakukan oleh warga masyrakat yang tingkat pendidikan maupun kehidupan ekonominya lebih baik dibandingkan warga masyarakat marginal.

2. Gelandangan

Munculnya gelandangan secara struktural dipengaruhi oleh sistem ekonomi yang menimbulkan dampak berupa tersingkirnya sebagian kelompok masyarakat dari sistem kehidupan ekonomi. Kaum gelandangan membentuk sendiri sistem kehidupan baru yang kelihatanya berbeda dari sistem kehidupan kapitalistis. Munculnya kaum gelandagan inni diakibatkan oleh pesatnya perkembangan kota yang terjadi secara paralel dengan tingginya laju urbanisasi. Pada umumnya kaum gelandangan tersebut mencari sumber kehidupan di jalanan, baik sebagai pengumpul barang bekas (pemulung), pengemis, pelacuran, pengamen maupun penyemir sepatu. (Justin, 2005: 79)

2.4. Masyarakat Kota dan Desa sebagai Kelompok Sosial

Masyarakat perkotaan sering disebut urban community kehidupannya yang berbeda dengan masyarakat pedesaan. Ada beberap ciri yang menonjol pada masyarakat kota yaitu :

1. Kehidupan keagamaan berkurang bila dibandingkan dengan kehidupan keagamaan di desa.


(39)

2. Orang kota pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus bergantung padaorang lain. Yang penting disini adalah manusia perorangan atau individu.

3. Pembagian kerja di antara warga-warga kota juga lebih tegas dan mempunyai batas-batas yang nyata.

4. Kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan juga lebih banyak diperoleh warga kota dari pada warga desa.

5. Interaksi yang terjadi lebih banyak terjadi berdasarkan pada faktor kepentingan dari pada faktor pribadi.

6. Pembagian waktu yang lebih teliti dan sangat penting, untuk dapat mengejar kebutuhan individu.

7. Perubahan-perubahan sosial tampak dengan nyata di kota-kota, sebab kota biasanya terbuka dalam menerima pengaruh dari luar.

Dalam masyarakat modern, sering dibedakan antara masyarakat pedesaan (rural community) dan masyarakat perkotaan (urban community). Menurut Soekanto (2003), perbedaan tersebut sebenarnya tidak mempunyai hubungan dengan pengertian masyarakat sederhana, karena dalam masyarakat modern, betapa pun kecilnya suatu desa, pasti ada pengaruh-pengaruh dari kota. Perbedaan masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan, pada hakekatnya bersifat gradual.

Masyarakat pedesaan dan perkotaan bukanlah dua komunitas yang terpisah sama sekali satu sama lain. Bahkan dalam keadaan yang wajar diantara


(40)

keduanya terdapat hubungan yang erat. Bersifat ketergantungan, karena diantara mereka saling membutuhkan. Kota tergantung pada dalam memenuhi kebutuhan warganya akan bahan bahan pangan seperti beras sayur mayur , daging dan ikan.

Desa juga merupakan sumber tenaga kasar bagi bagi jenis jenis pekerjaan tertentu dikota. Misalnya saja buruh bangunan dalam proyek proyek perumahan. Proyek pembangunan atau perbaikan jalan raya atau jembatan dan tukang becak. Mereka ini biasanya adalah pekerja pekerja musiman. Pada saat musim tanam mereka, sibuk bekerja di sawah. Bila pekerjaan dibidang pertanian mulai menyurut, sementara menunggu masa panen mereka merantau ke kota terdekat untuk melakukan pekerjaan apa saja yang tersedia. “Interface”, dapat diartikan adanya kawasan perkotaan yang tumpang-tindih dengan kawasan perdesaan, nampaknya persoalan tersebut sederhana, bukankah telah ada alat transportasi, pelayanan kesehatan, fasilitas pendidikan, pasar, dan rumah makan dan lain sebagainya, yang mempertemukan kebutuhan serta sifat kedesaan dan kekotaan.

Hubungan kota-desa cenderung terjadi secara alami yaitu yang kuat akan menang, karena itu dalam hubungan desa-kota, makin besar suatu kota makin berpengaruh dan makin menentukan kehidupan perdesaan. Secara teoristik, kota merubah atau paling mempengaruhi desa melalui beberapa cara, seperti:

1. Ekspansi kota ke desa, atau boleh dibilang perluasan kawasan perkotaan dengan merubah atau mengambil kawasan perdesaan. Ini terjadi di semua kawasan perkotaan dengan besaran dan kecepatan yang beraneka ragam;


(41)

2. Invasi kota, pembangunan kota baru seperti misalnya Batam dan banyak kota baru sekitar Jakarta merubah perdesaan menjadi perkotaan. Sifat kedesaan lenyap atau hilang dan sepenuhnya diganti dengan perkotaan; 3. Penetrasi kota ke desa, masuknya produk, prilaku dan nilai kekotaan ke

desa. Proses ini yang sesungguhnya banyak terjadi;

4. Ko-operasi kota-desa, pada umumnya berupa pengangkatan produk yang bersifat kedesaan ke kota.

Dari keempat hubungan desa-kota tersebut kesemuanya diprakarsai pihak dan orang kota. Proses sebaliknya hampir tidak pernah terjadi, oleh karena itulah berbagai permasalahan dan gagasan yang dikembangkan pada umumnya dikaitkan dalam kehidupan dunia yang memang akan mengkota. (Soekanto, 2003:123 ).

Ferdinand Tonnies berpendapat bahwa masyarakat adalah karya ciptaan manusia itu sendiri. Hal ini ditegaskan oleh Tonnies dalam kata pembukaan bukunya. Masyarakat bukan organisme yang dihasilkan oleh proses-proses biologis. Juga bukan mekanisme yang terdiri dari bagian-bagian individual yang masing-masing berdiri sendiri, sedang mereka didorong oleh naluri-naluri spontan yang bersifat menentukan bagi manusia. Masyarakat adalah usaha manusia untuk memelihara relasi-relasi timbal balik yang mantap. Kemauan manusia mendasari masyarakat, Ferdinand Tonnies dua tipe masyarakat. Pertama Gemeinschaft atau paguyuban adalah bentuk hidup bersama yang lebih bersesuaian dengan Triebwille. Kerjasama dan kebersamaan tidak diadakan untuk mencapai tujuan diluar melainkan dihayati sebagai tujuan dalam dirinya. Orangnya merasa dekat satu sama lain dan memperoleh kepuasan karenanya. Suasanalah yang dianggap


(42)

lebih penting daripada tujuan. Spontanitas diutamakan di atas undang-undang atau keteraturan. Tonnies menyebut sebagai contoh keluarga, lingkungan tetangga, sahabat-sahabat, serikat pertukangan dalam abad pertengahan, gereja, desa dll.

Para anggota disemangati dan dipersatukan dalam perilaku sosial mereka oleh ikatan persaudaraan, simpati dan perasaan lainnya, sehingga mereka terlibat secara psikis dalam suka duka hidup bersama. kita boleh mengatakan bahwa mereka sehati dan sejiwa. Menurut pandangan Tonnies, prototipe semua persekutuan hidup dinamakan “Gemeinschaft “ itu keluarga. Orang memasuki jaringan relasi-relasi kekeluargaan karena lahir. Walaupun kemauan bebas dan pertimbangan rasional dapat menentukan apakah orangnya akan tetap tinggal dalam keluarganya atau tidak, namun relasi itu sendiri tidak tergantung seluruhnya dari kemauan dan pertimbangan itu. Ketiga soko guru yang menyokong Gemeinschaft ialah: darah, tempat tinggal atau tanah dan jiwa atau rasa kekerabatan, ketetanggaan dan persahabatan. Ketiga unsur ini diliputi oleh keluarga.

Tonnies membedakan Gemeinschaft menjadi 3 jenis, yaitu:

a. Gemeinschaft by Blood (ikatan darah) yaitu gemeinschaft yang

mendasar-kan diri pada ikatan darah atau keturunan. Contohnya: kekerabatan, masyarakat-masyarakat daerah.

b. Gemeinschaft of Place (tempat), yaitu gemeinschaft yang mendasarkan

diri pada tempat tinggal yang saling berdekatan sehingga dimungkinkan untuk dapat saling tolong menolong. Contoh : RT, RW, arisan.


(43)

c. Gemeinschaft of Mind (jiwa-pikiran) yaitu gemeinschaft yang mendasar-kan diri pada ideology atau pikiran yang sama. Contoh :rasa kekerabatan, ketetanggaan dan persahabatan. (Soekanto, Soerjono, 2009: 116-120)

Gesellschaft atau patembayan itu tipe asosiasi dimana relasi-relasi

kebersamaan dan kebersatuan anatara orang berasal dari faktor-faktor lahiriah seperti persetujuan, peraturan dan undang-undang. Tonnies mengatakan teori Gesselshcaft berhubungan dengan penjumlahan atau kumpulan orang yang dibentuk atas cara buatan. Kalau dilihat sepintas lalu saja, kumpulan itu mirip dengan Gemeinschaft, yaitu sejauh para anggota individual hidup bersama dan tinggal bersama secara damai. Tetapi dalam Gemeinschaft mereka pada dasarnya terus bersatu sekalipun ada faktor-faktor yang memisahkan, sedang Gesellschaft pada dasarnya mereka tetap berpisah satu dengan yang lain meskipun ada faktor-faktor lain yang menyatukan.


(44)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Dalam mengumpulkan data lapangan, Penelitian yang penulis angkat adalah penelitian kualitatif dengan metode deskriptif. Dalam penelitian kualitatif rumusan masalah merupakan fokus penelitian yang bersifat sementara dan berkembang setelah peneliti masuk lapangan atau situasi sosial tertentu dengan maksud untuk memahami gejala sosial yang kompleks. Dengan menggunakan penelitian kualitatif peneliti akan memperoleh informasi atau data yang lebih mendalam mengenai Solidaritas pada Masyarakat Marginal di Perkotaan.

Menurut Sugiyonoo (2008: 139-140) penelitian dengan metode deskriptif adalah menggambarkan dan menafsirkan keadaan sekarang ini berkenaan dengan kondisi yang ada dan memusatkan pada pemecahan masalah-masalah yang ada pada masa sekarang, terhadap masalah-masalah yang aktual. Menurut Moleong(2006: 3) metode deskriptif adalah berupa kata-kata tertulis atau lisan dari fenomena ssosial yang diamati baik dengan observasi, wawancara maupun dokumentasi yang relevan. Berdasarkan uraian tersebut dapat dikemukakan bahwa penelitian deskriptif ini berusaha menggambarkan objek penelitian berdasarkan fakta dan data serta kejadian berusaha menghubungkan kejadian-kejadian atau objek peneliti sekaligus menganalisnya berdasarkan konsep-konsep yang telah dikembangakan sebelumnya sehingga memudahkan peneliti dalam memecahkan masalah.


(45)

3.2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini di Kelurahan Sei Mati Ling. XII, Medan Maimon. Adapun yang menjadi alasan pemilihan lokasi tersebut, karena di daerah ini merupakan kawasan masyarakat miskin berpenghasilan rendah serta merupakan kawasan perkotaan yang dijadikan tempat tinggal bagi masyarakat slum area. DiLokasi penelitianberdiri Lembaga Keuangan Masyarakat Kota (LKMK) Keska. Ini yang menarik peneliti untuk melihat solidaritas masyarakat dalam kelompok tersebut.Jarak antara lokasi penelitian dengan tempat penelitian berdomisili juga dekat sehingga memudahkan dalam mengakses data yang diperlukan.

3.3. Unit Analisis dan Informan

3.3.1. Unit Analisis

Adapun yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah: 1. Warga Kelurahan Sei Mati, Ling. XII

2. Pola solidaritas warga Kelurahan Sei Mati.

3. Pola solidaritas anggota kelompok LKMK Keska.

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya solidaritas antar warga. 5. Pengaruh solidaritas warga terhadap kehidupan sosial di dalam


(46)

3.3.2. Informan

Dalam penelitian ini penulis menggunakan informan. Dimana kriteria informan adalah orang yang dianggap paling tahu tentang informasi dan data yang diharapkan, sehingga mempermudah peneliti menjelajahi obyek atau situasi sosial yang sedang diteliti. Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah:

1. Informan kunci

1) Masyarakat Sei-Mati yang sudah berdomisili selama ± 5 Tahun 2) Ibu rumah tangga yang memiliki pekerjaan di sektor ekonomi

informal

3) Masyarakat yang terdaftar sebagai anggota LKMK Keska ± 2 Tahun

2. Informan tambahan

1) Aparatur pemerintah 2) Tokoh masyarakat

3) Masyarakat yang tidak terdaftar sebagai anggota LKMK Keska

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini adalah:

3.4.1. Data Primer


(47)

1. Observasi

Metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan penginderaan. (Bungin,2007:115). Dalam observasi ini yang diamati adalah Bagaimana Solidaritas Masyarakat Marginal di Perkotaan.

2. Wawancara

Bentuk wawancara yang dilakukan adalah wawancara mendalam (dept interview) mengadakan tanya jawab secara langsung dan ditambah dengan menggunakan instrumen berupa pedoman wawancara (interview guide) agar menjadi terarah. Wawancara dilakukan untuk mengetahui Bagaimana proses, dan bentuk Solidaritas pada Masyarakat Marginal di Sei-Mati.

3.4.2. Data Sekunder

Pengumpulan data dapat diambil dengan cara penelitian kepustakaan dan pencatatan dokumen dari beberapa literatur seperti buku-buku referensi, surat kabar, majalah, karya ilmiah, jurnal dan mengakses internet yang berkaitan langsung dengan masalah penelitian serta dapat dianggap relevan dengan masalah yang diteliti. Oleh karena itu, sumber data sekunder diharapkan berperan membantu, mengungkap data yang diharapkan, membantu memberi keterangan sebagai pelengkap dan bahan perbandingan. (Bungin, 2001: 129)


(48)

3.5. Interpretasi Data

Data-data yang sudah dikumpulkan akan diinterpretasikan dengan menggunakan teori dalam kajian pustaka, sampai pada akhirnya akan berbentuk laporan yang sudah di atur, diurutkan, di kelompokkan ke dalam kategori. Disini peneliti akan mengelompokkan data-data yang diperoleh dari hasil wawancara, selanjutnya akan dipelajari sehingga menghasilkan kesimpulan yang baik. (Hasan, 2002:137) Sehingga pada akhirnya dapat memahami dan menemukan jawaban dari rumusan masalah penelitian.

3.6. Jadwal Kegiatan

No. Kegiatan Bulan Ke -

1 2 3 4 5 6 7 8 9

1 Pra Observasi

2 ACC Judul

3 Penyusunan Proposal Penelitian

4 Seminar Proposal

5 Revisi Proposal

6 Penelitian Ke Lapangan

7 Pengumpulan dan Analisis Data

8 Bimbingan Skripsi

9 Penulisan Laporan Akhir


(49)

3.7. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini fokus pada masyarakat Gang Ksatria, kelurahan Sei-Mati. Sehingga temuan dan interpretasi data dari bentuk solidaritas sosial dan faktor pendorongnya tidak dapat digeneralisasi untuk seluruh konteks solidaritas sosial masyarakat marginal. Terbatasnya waktu observasi dan wawancara juga akan mempengaruhi kedalaman data yang diinterpretasikan untuk menemukan jawaban-jawaban dari rumusan masalah.


(50)

BAB IV

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah Gang Ksatria Kelurahan Sei Mati

Sejarah berdirinya daerah Sei Mati ini diawali ketika pada zaman penjajahan Belanda. Perkebunan yang dikelola Belanda memerlukan tenaga kerja dalam mengerjakan perkebunan tersebut, oleh karena itu banyak pekerja yang berdatangan ke kota Medan. Diantara para pekerja tersebut terdapat pekerja-pekerja yang berasal dari daerah Mandailing.

Seiring berjalannya waktu, maka semakin bertambah jumlah tenaga kerja yang diperlukan pada sektor perkebunan milik Belanda tersebut. Hal ini juga mengakibatkan semakin bertambahnya jumlah tenaga kerja yang berasal dari daerah Mandailing. Karena mayoritas berasal dari Mandailing dan sebagian besar beragama islam, maka mereka pergi menghadap Sultan Deli. Mereka beranggapan tentunya Sultan Deli yang beragama Islam juga akan membantu mereka. Sultan Deli kemudian memberikan pinjaman wilayah sebagai tempat tinggal para pekerja yang berasal dari daerah Mandailing tersebut. Wilayah tersebut merupakan lahan kosong yang ada di sekitar Sungai Mati dan posisinya berada dekat dengan istana kesultanan. Keberadaannya yang dekat dengan aliran Sungai Mati, maka pada saat sekarang ini wilayah tersebut dikenal dengan wilayah Sei Mati dan berada di bawah naungan kecamatan Medan Maimoon.

Kelurahan Sei Mati ini terdiri dari 12 lingkungan. Gang Ksatria yang merupakan daerah fokus penelitian berada di lingkungan XII, , Gang Ksatria hanya memiliki luas 7 hektar , dimanapemanfaatan areal ini adalah 2,5 Ha untuk


(51)

areal perkuburan dan 3,5 Ha untuk hunian warga. Gang Ksatria memiliki penduduk yang berasal dari berbagai suku. Suku yang paling dominan adalah suku Minang. Suku Minang pada masyarakat Gang Ksatria sangat menonjol dan berkuasa baik di bidang sosial dan agama. Agama mayoritas di Gang Kstaria adalah agama Islam. Penuturan salah satu tokoh masyarakat yaitu Ibu Nurbaiti (Mak Inong) mendeskripsikan nama gang kesatria berawal dari penduduk yang menetap di gang ini pada umumnya merupakan penjaga istana maimun pada zaman penjajahan belanda, serta penduduknya yang berjiwa kesatria. Gang ksatria sebelumnya bernama pawang lela dimana penduduknya bekerja di usaha sektor ekonomi informal atau pekerja home industri seperti kuli sendok. Kemudian masyarakat gang ini yang memiliki jiwa kesatria menjadikan gang ini bernama kesatria yang artinya penduduk penjaga istana maimun berjiwa kesatria.

(Sumber wawancara dengan Mak Inong 16 Juni 2014)

4.2 Profil Gang Ksatria Kelurahan Sei Mati

4.2.1. Letak Geografis

Kelurahan Sei Mati terletak di kecamatan Medan Maimun Kota Medan. Secara orbitasi dari data statistik kantor kelurahan Sei Mati jarak dari kelurahan Sei Mati ke Kecamatan Medan Maimoon sekitar 250 meter dengan jarak tempuh 10 menit. Jarak dari kelurahan Sei Mati ke Kotamadya Medan berjarak kurang lebih 5 Km dengan jarak tempuh 30 Menit. Luas pemukiman kelurahan Sei Mati sekitar 23 Hektar/m². Kelurahan Sei Mati ini memiliki 12 lingkungan yang jaraknya berjauhan. Di kecamatan Medan Maimoon, kelurahan Sei Mati ini


(52)

berada di tengah atau diapit oleh Kelurahan lain. Batas wilayah kelurahan Sei Mati yaitu:

1. Sebelah utara berbatasan dengan kelurahan Suka Raja kecamatan Medan Maimun.

2. Sebelah selatan berbatasan dengan kelurahan Kampung Baru kecamatan Medan Maimun.

3. Sebelah timur berbatasan dengan kelurahan Teladan Barat kecamatan Medan Teladan,

4. Sebelah barat berbatasan dengan kelurahan Suka Damai kecamatan Medan Maimun. Jarak antara kelurahan Sei Mati dengan kelurahan Kampung Baru tidak ada jarak, karena kelurahan ini berdampingan.

Gang Ksatria merupakan lingkungan yang terakhir dari 12 ( dua belas ) lingkungan yang ada di kelurahan Sei Mati. Maka tidak jarang juga disebut sebagai lingkungan XII. Gang Ksatria letaknya bersebelahan dengan Gang Perwira. Kemudian, spesifiknya Gang Ksatria ini sangat mudah untuk ditemui, karena di depan halaman Gang terdapat areal perkuburan Mandailing.

Gang Ksatria termasuk wilayah yang padat penduduknya, hal ini ditandai dengan keberadaan rumah–rumah penduduk yang rapat dan rumah yang satu dengan yang rumah yang lain dindingnya menyatu. Permukiman masyarakat di Gang Ksatria ini dipisah oleh Jalan Brigjen Katamso. Gang ini memiliki wilayah permukiman yang letaknya dekat dengan sungai. Gang Ksatria ini dapat ditemui saat memasuki jalan kecil yang berada di pinggiran jalan Brigjen Katamso. Jalan kecil yang menuju daerah permukiman penduduk tersebut sebagian terbuat dari


(53)

aspal dan ukuran jalan kecil, kira-kira lebarnya hanya 2-2,5 meter dan saat dilalui kendaraan roda empat jalan tidak dapat dilalui lagi oleh kendaraan lain, meskipun hanya kendaraan roda dua. Rumah–rumah penduduk berdiri disetiap pinggiran jalan kecil tersebut. Permukiman yang berdekatan langsung dengan aliran Sungai Deli merupakan daerah yang datarannya lebih rendah dari dataran di Jalan Brigjen Katamso, sehingga untuk menuju ke daerah permukiman kondisi jalan berbentuk turunan.

4.2.2. Jumlah Penduduk

4.2.2.1. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jumlah Kepala Keluarga

Setiap tahun berganti pertumbuhan penduduk pun bertambah. Seperti halnya, di Gang Ksatria kelurahan Sei Mati, jumlah penduduk berdasarkan jumlah kepala keluarga di Gang Ksatria kelurahan Sei Mati, dapat terlihat dalam tabel 4.1

Tabel 4.1

Komposisi Jumlah Penduduk Berdasarkan Jumlah Kepala Keluarga

No Uraian

Laki-laki (KK) Persentase Laki-laki (%) Perempuan (KK) Persentase Perempuan (%) Jumlah Total

1 Jumlah penduduk tahun 2012

26 54. 16 22 45. 84 48

2 Jumlah penduduk tahun 2013

50 28. 41 38 21. 59 176

Sumber : Data Statistik Kantor Kelurahan Sei Mati, untuk Gang Ksatria Tahun 2012


(54)

Berdasarkan tabel 4.1, terlihat jumlah penduduk di Gang Ksatria kelurahan Sei Mati berdasarkan jumlah kepala keluarga. Bila dilihat dari data tersebut dapat diketahui bahwa jumlah kepala keluarga Gang Ksatria kelurahan Sei Mati tahun 2013 berjumlah 176 KK dan jumlah kepala keluarga Gang Ksatria kelurahan Sei Mati tahun 2012 berjumlah 48 KK, jadi penduduk Gang Ksatria kelurahan Sei Mati bertambah 128 KK dalam selang waktu 1 tahun.

4.2.2.2. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jumlah Jiwa

Setiap tahun, jumlah penduduk terkadang meningkat maupun menurun. Seperti halnya, di Gang Ksatria kelurahan Sei Mati, jumlah penduduk berdasarkan jumlah jiwa di Gang Ksatria kelurahan Sei Mati, dapat terlihat dalam tabel4.2.

Tabel 4.2

Komposisi Jumlah Penduduk Berdasarkan Jumlah Jiwa

No Uraian

Laki-laki

Perempuan Jumlah Total

Persentase Laki-laki (%)

Persentase Perempuan (%)

1 Jumlah penduduk tahun 2012

415 594 1009 41. 12 58. 87

2 Jumlah penduduk tahun 2013

446 538 984 45. 32 54. 67

Sumber : Data Statistik Kantor Kelurahan Sei Mati, untuk Gang Ksatria Tahun 2013

Berdasarkan tabel 4.2, terlihat jumlah penduduk di Gang Ksatria, kelurahan Sei Mati berdasarkan jumlah jiwa. Bila dilihat dari data tersebut dapat diketahui bahwa jumlah jiwa di kelurahan Sei Mati tahun 2013 berjumlah 984 jiwa dan jumlah jiwa di Gang Ksatria kelurahan Sei Mati tahun 2012 berjumlah


(55)

1009 jiwa, jadi penduduk Gang Ksatria kelurahan Sei Mati berkurang 25 jiwa dalam selang waktu 1 tahun. Pada tabel 3 dapat dilihat bahwa persentase penduduk perempuan lebih besar dari laki-laki yakni 54,67% berbanding 45,32%. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan sementara juga bahwa sektor ekonomi bagi perempuan lebih banyak dibutuhkan dibandingkan kaum laki-laki

4.2.2.3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Usia

Semakin meningkatnya jumlah penduduk setiap tahunnya. Seperti halnya, di Gang Ksatria kelurahan Sei Mati, jumlah penduduk di Gang Ksatria kelurahan Sei Mati, bila dilihat dari jumlah penduduk dapat dibedakan bserdasarkan usia. Jumlah penduduk berdasarkan usia yang ada di Gang Ksatria kelurahan Sei Mati dapat terlihat dalam tabel 4.3

Tabel 4.3

Komposisi Penduduk Berdasarkan Usia di Kelurahan Sei Mati

No Usia

Laki-Laki (Jiwa)

Perempuan (Jiwa)

Persentase (%)

1 0-11 Bulan 17 38 5.58

2 1–10 Tahun 11 Bulan 85 91 17.88

3 11-20 Tahun 11 Bulan 56 72 13.00

4 21-30Tahun 11 Bulan 89 95 18.69

5 31-40 Tahun 11 Bulan 54 70 12.60 6 41-50 Tahun 11 Bulan 53 59 11.38


(56)

8 61-70 Tahun 11 Bulan 24 31 5.58

9 71-80 Tahun 11 Bulan 16 24 4.06

Total 446 538 100

Sumber : Data Statistik Kantor Kelurahan Sei Mati, untuk Gang Ksatria Tahun 2013

Berdasarkan tabel 4.3, terlihat jumlah penduduk di Gang Ksatria kelurahan Sei Mati berdasarkan usia. Bila dilihat dari data dapat diketahui bahwa jumlah penduduk berdasarkan usia di Gang Ksatria kelurahan Sei Mati berjumlah 984 jiwa dan jumlah paling banyak terletak pada usia 21-30 Tahun 11 Bulan yaitu 184 jiwa dengan persentase 18. 69 %.

4.2.3. Prasarana Ibadah

Masyarakat Gang Ksatria kelurahan Sei Mati walaupun berasal dari berbagai daerah akan tetapi mereka memiliki satu agama. Prasarana ibadah tersebut digunakan untuk berbagai macam kegiatan keagamaaan di Gang Ksatria kelurahan Sei Mati. Prasarana ibadah ini dapat terlihat dalam tabel 4.4.

Tabel 4.4

Komposisi Prasarana Ibadah di Kelurahan Sei Mati

No Jenis Jumlah Persentase ( % )

1 Mesjid 1 50

2 Mushola 1 50

Total 2 100

Sumber : Data Statistik Kantor Kelurahan Sei Mati, untuk Gang Ksatria Tahun 2013


(57)

Berdasarkan tabel 4.4, terlihat bahwa semua masyarakat di Gang Ksatria kelurahan Sei Mati beragama Islam. Hal ini terlihat dari jumlah prasarana ibadah yaitu Mushola dengan jumlah 1 buah ( 50% ) dan Mesjid dengan jumlah 1 buah ( 50 % ).

4.2.4. Prasarana Kesehatan

Kesehatan sangat di perlukan dalam setiap masyarakat, hal ini juga terlihat pada masyarakat di Gang Ksatria kelurahan Sei Mati yang mempunyai satu prasarana kesehatan. Prasarana kesehatan ini terlihat dalam tabel 4.5.

Tabel 4.5

Komposisi Prasarana Kesehatan di Gang Ksatria Kelurahan Sei Mati

No Jenis Jumlah (Unit) Presentase (%)

1 Posyandu 1 100

Total 1 100

Sumber : Data Statistik Kantor Kelurahan Sei Mati Tahun 2013

Berdasarkan tabel 4.5, terlihat bahwa prasarana kesehatan yang di miliki Gang Ksatria kelurahan Sei Mati yaitu posyandu dengan jumlah 1 unit ( 100% ).

4.2.5. Penganut Agama

Masyarakat di Gang Ksatria kelurahan Sei Mati semua beragama islam. Hal ini terlihat dari banyaknya jumlah musholla dan mesjid yang ada di Gang Ksatria kelurahan Sei Mati sebagai sarana ibadah. Hal ini dapat dengan jelas terlihat dalam tabel 4.6.


(58)

Tabel 4.6

Komposisi Penganut Agama di Kelurahan Sei Mati

No Agama Laki - laki Perempuan Persentase (%)

1 Islam 446 538 100

Total 446 538 100

Sumber : Data Statistik Kantor Kelurahan Sei Mati Tahun untuk Gang Ksatria 2013

Berdasarkan tabel 4.6, terlihat jumlah penganut agama di Gang Ksatria kelurahan Sei Mati. Bila dilihat dari data di atas dapat diketahui bahwa jumlah penganut agama di Gang Ksatria kelurahan Sei Mati berjumlah 984 jiwa dengan pembagian laki-laki 446 jiwa dan perempuan 538 jiwa dengan persentase 100 % yang semuanya beragama islam.

4.2.6. Mata Pencaharian

Di Gang Ksatria kelurahan Sei Mati, masyarakatnya tidak hanya tergantung pada satu jenis mata pencaharian saja, melainkan ada berbagai jenis mata pencaharian di Gang Ksatria kelurahan Sei Mati. Namun dengan berbagai jenis mata pencaharian yang ada di Gang Ksatria kelurahan Sei Mati, masyarakat Gang Ksatria kelurahan Sei Mati mayoritas bermata pencaharian sebagai buruh bangunan. Banyak jenis mata pencaharian di Gang Ksatria kelurahan Sei Mati yang sesuai dengan jumlah penduduk yang bekerja di dalamnya, dapat dilihat dari tabel 4.7.


(59)

Tabel 4.7

Komposisi Mata Pencaharian Pokok di Gang Ksatria Kelurahan Sei Mati No Jenis Pekerjaan Laki-laki Perempuan Presentase (%)

1 Buruh Bangunan 126 - 71.18

2 Pegawai negeri sipil 5 - 2.82

3 Pengrajin industri rumah tangga

7 25 18.07

4 Pedagang keliling 6 8 7.90

Total 144 33 100

Sumber : Data Statistik Kantor Kelurahan Sei Mati Tahun, untuk Gang Ksatria 2013

Berdasarkan tabel 4.7, terlihat jumlah mata pencarian di Gang Ksatria kelurahan Sei Mati. Bila dilihat dari data di atas dapat diketahui bahwa jumlah mata pencaharian sebagai buruh bangunan lebih banyak dari mata pencaharian yang lain di Gang Ksatria kelurahan Sei Mati dengan jumlah 126 jiwa dengan persentase 71.18 %.

4.2.7. Pendidikan

Tingkat pendidikan dibagi juga berdasarkan usia. Berikut tingkat pendidikan berdasarkan usia yang dapat dilihat dalam tabel 4.8.


(60)

Tabel 4.8

Komposisi Pendidikan Menurut Usia di Gang Ksatria Kelurahan Sei Mati

No Tingkatan Pendidikan Laki – laki Perempuan

Persentase (%)

1 Usia 3–6 tahun yang belum masuk TK 20 37 5.79 2 Usia 3-6 tahun yang sedang TK/play

Group

10 9 1.93

Usia 7-18 tahun yang tidak pernah sekolah

2 3 0.50

4 Usia 7-18 tahun yang sedang sekolah 150 166 32.11 5 Usia 18-56 tahun tidak pernah sekolah 4 5 0.91

6 Usia 18-56 tahun tidak tamat SD 1 1 0.20

7 Usia 18-56 tahun tidak tamat SLTP 3 9 1.11 8 Usia 18-56 tahun tidak tamat SLTA 7 20 2.74

9 Tamat SD/sederajat 6 12 1.82

10 Tamat SMP/sederajat 125 148 27.74

11 Tamat SMA/sederajat 118 125 24.69

12 Tamat D-1/sederajat - - -

13 Tamat D-2/sederajat - - -

14 Tamat D-3/sederajat - - -

15 Tamat S-1/sederajat 8 2 1.01

16 Tamat S-2/sederajat - - -


(1)

bersama yang menunjukkan pada suatu keadaan hubungan yang didasarkan pada persamaan moral, kolektif yang sama serta kepercayaan yang dianut dengan diperkuat oleh pengalaman emosional. Bentuk dari solidaritas Kelompok LKMK Keska mengarah kepada solidaritas organik dimana dalam kepengurusan Kelompok LKMK Keska baik anggota dan pengurus harian menanamkan azas kekeluargaan. Dalam kegiatan kelompok tersebut pengurus harian bertugas mendata anggota kelompok yang meminjam pada Kelompok LKMK Keska. Bila ada anggota yang menunda pembayaran maka petugas harian akan mengingatkan dan memberitahu langsung kepada anggota tersebut. Meskipun berazaskan kekeluargaan kegiatan dan hubunngan antara pengurus dan anggota sudah terikat nilai dan norma yang sudah diatur didalam kelompok tersebut.

Tingkat pendidikan masyarakat marginal yang rendah mengakibatkan rendahnya tingkat partisipasi angkatan kerja suatu indikator keterlibatan sumber daya manusia dalam dunia kerja.Pada umumnya di perkotaan tingkat pengganguran begitu tinggi.Kemiskinan, kompleksitas ekses yang timbul oleh problem pengangguran, serta lingkungan kehidupan yang kumuh, menghiasi komunitas masyarakat marginal di perkotaan. Anggota masyarakat marginal tersebut, pada umumnya bekerja di sektor formal dan informal, dengan tingkat pendapatan yang relatif rendah dan resiko kecelakaan kerja yang tinggi. Hal ini merupakan permasalahan yang selalu muncul dalam kehidupan masyarakat miskin kota ditambah dengan kurangnya peran pemerintah terhadap per-kembangan dan kesejahteraan masyarakat miskin kota.


(2)

Pesatnya perkembangan sektor informal di perkotaan merupakan gejala adanya ketidak seimbangan kebijakan pembangunan akan tetapi tinggi perkembangan sektor informal merupakan sumber ekonomi masyarkat marginal. Kehadiran sektor informal dipandang sebagai akibat kebijakan pembangunan yang dalam banyak hal lebih berat pada sektor industri dari pada sektor tradisional. Sebagai dampaknya, arus migran mengalir dari pedesaan ke perkotaan. Dengan keberadaan masyarakat marginal perlu adanya peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat kota khususnya masyarakat marginal diperkotaan.

Keadaan masyarakat yang tinggal di daerah kumuh dan termarginalkan oleh pemerintah dari pembangunan dan peningkatan taraf hidup menjadikan warga sei mati memiliki solidaritas yang tinggi antar sesama warga dalam bertahan hidup. Dengan keterbatasan yang ada, warga sei mati memiliki tenggang rasa yang tinggi terhadap warga yang mengalami kesulitan dalam kehidupan sehari-hari. Pada kelompok LKMK Keska juga dapat dilihat bahwa adanya kesamaan nasib antara anggota yang satu dengan lainnya, yaitu tidak memiliki modal usaha, lemahnya kemampuan dalam mengelola keuangan usaha dan manajemen pemasaran produk. Dengan terbentuknya Kelompok LKMK Keska masalah-masalah yang dihadapi anggota kelompok tersebut dapat ditanggulangi dengan pemberian modal usaha, pelatihan dan peningkatan kepengurusan kelompok dengan melakukan evaluasi kinerja pengurus.


(3)

6.2 Saran

Berikut merupakan saran-saran yang bisa dikemukakan, yaitu :

1. Perlunya pemberdayaan terhadap masyarakat marginal agar dapat mengatasi masalah ekonomi yang dihadapai oleh kebanyakan masyarakat marginal yang berada di perkotaan.

2. Diharapkan agar pemerintah tidak lupa memperhatikan kesejahteraan masyarakat yang ada di pinggiran kota, daerah kumuh dan masyarakat marginal yang ada di perkotaan agar kiranya permasalahan yang sering muncul di perkotaan dapat di atasi dengan baik dan bijak.

3. Diharapkan juga kepada masyarakat marginal agar senantiasa menjaga kenyamaanan dan ketentram bermasyarakat di dalam kehidupan sehari-hari, meskipun tidak ada konflik yang terjadi didalam masyarakat tetapi sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi nilai kebersamaan dan rasa solidaritas yang tinggi, selalu menjaga kenyamaan-an dan ketentram didalam bermasyarakat


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Arif, M. 2008. Metodologi penelitian Sosial. Medan: Fisip Usu Pers

Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Prenada Media Group Elly m. Setiadi & Usman Kolip. 2011. Pengatar Sosiologi Pemahaman Fakta dan

Gejala Permasalahan Sosial; Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya. Jakarta: Kencana Media Group

Gilbert, Alan dan Gugler, Josep, 1996, Urbanisasi dan Kemiskinan di Dunia Ketiga, Yogyakarta : P.T.Tiara Wacana.

Hasan, Iqbal. 2002. Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Jakarta: Ghalia Indonesia

M. Justin, Sihombing. 2005. Kekerasan Terhadap Masyaraka Marginal. Yogyakarta: Narasai Kelompok Media Pressindo

Moleong, Lexi. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda Karya

Nawawi, Ismail. 2009. Pembangunan dan Problema Masyarakat: Kajian,Konsep, Model, Teori, dari Aspek Ekonomi dan Sosiologi. Surabaya: Putra Media Nusantara.

Riant Nugroho Dwijdowijoto. 2003. Reinventing Pembangunan Menata Ulang Paradigma Pembanguan untuk Membangunan Indonesia Baru dengan

Keunggulan Globa. Jakarta: Kelompok Gramedia.

Siagian, Sondang P. 2008. Administrasi Pembangunan: Konsep, Dimensi, dan Strateginya. Jakarta: Bumi Aksara.


(5)

Soekanto, Soerjono. 2003. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kunatitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:Alfabeta.

Taufik Abdullah & A. C. Van Der Leeden. 1986. Durkheim dan Pengantar Sosiologi Moralitas. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Sumber Lain: Jurnal

An-Naf, Julissar. "Pembangunan berkelanjutan dan relevansinya untuk Indonesia." Jurnal FISIP: MADANI 2.02 (2012).

Damanik, Janianton . 2003. Urbanisasi TanpaTransformasi Sosial Ekonomi?. USU digital library.

Ismail, Zarmawis, 1999, Masalah Kemiskinan Masyarakat Perkampungan

Jimilah, Irwati. 2008.

(diakses 8 Okteber 2013)

Kamil, Gunawan. 2012. Gotong Royong dalam kehidupan

masyarakat.sosiologi.upi.edu/artikelpdf/gotongroyong.pdf di akses 8

Oktober 2013. Kumuh di Perkotaan: Kasus Yogyakarta dan Surabaya PUSLITBANG

EKONOMI DAN PEMBANGUNAN , LIPI , Jakarta.

Maryam, Siti, dkk. 2008. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberfungsian Pasca Gempa dan Tsunami di Nangroe Aceh Darussala.


(6)

Ricky. M. 2013. Konflik dan Integrasi Dalam Perspektif Pemulung di Surabaya. 30 September 2013)

Subandri. 2003. Solidaritas Sosial Masyarakat Madura Dalam Tradisi Sandur di Desa Bunten Barat Kecamatan Ketapang Kabupaten Sampang. pta.trunojoyo.ac.id/uploads/journals/090521100077/090521100077. (di akses 9 Oktober 2013).

BPS Kota Meda 2013)

Internet

(diakses 21 September 2013, pukul 20.00 WIB)

(di akses 8 Januari, 2014. Pukul 20.30 WIB)


Dokumen yang terkait

Pergeseran Solidaritas Sosial Pada Masyarakat Yang Terkena Banjir (Studi Deskriptif Pada Masyarakat Sekitar Sungai Deli, Kelurahan Sukaraja, Kecamatan Medan Maimun)

4 81 144

Pola Interaksi Internal Masyarakat Pemukiman Kumuh (Studi deskriptif: Jl. Juanda Kelurahan Jati Kecamatan Medan Maimun)

8 103 119

Reaksi Sosial Terhadap Normalisasi Sungai Deli: (Studi Kasus di Kelurahan Sei Mati, Kecamatan Medan Maimun)

4 38 91

Spekulasi Tanah Dalam Pembangunan CBD (Central Bussiness District) di Kota Medan (Studi Deskriptif di Kelurahan Sei Mati Kecamatan Medan Maimun)

2 36 120

Persepsi Penyintas Banjir Terhadap Pergeseran Solidaritas Sosial (Studi Deskriptif Pada Masyarakat Sekitar Sungai Deli, Kelurahan Sukaraja, Kecamatan Medan Maimun).

1 66 190

Spekulasi Tanah Dalam Pembangunan CBD (Central Bussiness District) di Kota Medan (Studi Deskriptif di Kelurahan Sei Mati Kecamatan Medan Maimun)

0 11 120

Pergeseran Solidaritas Sosial Pada Masyarakat Yang Terkena Banjir (Studi Deskriptif Pada Masyarakat Sekitar Sungai Deli, Kelurahan Sukaraja, Kecamatan Medan Maimun)

0 2 16

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Solidaritas Sosial - Solidaritas Pada Masyarakat Marginal di Perkotaan (Studi deskriptif Pada Anggota Lembaga Keuangan Masyarakat Kota (LKMK) Keska Kelurahan Sei Mati, Lingkungan XII Medan Maimun)

0 0 20

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Solidaritas Pada Masyarakat Marginal di Perkotaan (Studi deskriptif Pada Anggota Lembaga Keuangan Masyarakat Kota (LKMK) Keska Kelurahan Sei Mati, Lingkungan XII Medan Maimun)

0 1 13

SOLIDARITAS PADA MASYARAKAT MARGINAL DI PERKOTAAN

0 0 9