Hukum Asal Segala Sesuatu adalah Suci

Macam-Macam Najis
Pengertian Najis
Najis adalah sesuatu yang dianggap kotor oleh orang yang memiliki tabi’at yang selamat (baik) dan selalu menjaga diri darinya .
Apabila pakaian terkena najis –seperti kotoran manusia dan kencing- maka harus dibersihkan. (Lihat Rhoudhotun Nadiyah Syarh
Ad Durorul Bahiyyah, Shidiq Hasan Khon, 1/22, Darul ‘Aqidah,cetakan pertama, 1422 H)
Perlu dibedakan antara najis dan hadats. Najis kadang kita temukan pada badan, pakaian dan tempat. Sedangkan hadats
terkhusus kita temukan pada badan. Najis bentuknya konkrit, sedangkan hadats itu abstrak dan menunjukkan keadaan seseorang.
Ketika seseorang selesai berhubungan badan dengan istri (baca: jima’), ia dalam keadaan hadats besar. Ketika ia kentut, ia dalam
keadaan hadats kecil. Sedangkan apabila pakaiannya terkena air kencing, maka ia berarti terkena najis. Hadats kecil dihilangk an
dengan berwudhu dan hadats besar dengan mandi. Sedangkan najis, asalkan najis tersebut hilang, maka sudah membuat benda
tersebut suci. Mudah-mudahan kita bisa membedakan antara hadats dan najis ini. (Faedah dari pembahasan di Shahih Fiqh
Sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal bin Sayid Saalim, 1/71, Al Maktabah At Taufiqiyah)
Hukum Asal Segala Sesuatu adalah Suci
Terdapat suatu kaedah penting yang harus diperhatikan yaitu segala sesuatu hukum asalnya adalah mubah dan suci. Barangsiapa
mengklaim bahwa sesuatu itu najis maka dia harus mendatangkan dalil. Namun, apabila dia tidak mampu mendatangkan dalil atau
mendatangkan dalil namun kurang tepat, maka wajib bagi kita berpegang dengan hukum asal yaitu segala sesuatu itu pada
asalnya suci. (Lihat As Sailul Jaror, Asy Syaukani, 1/31, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan pertama, tahun 1405 H) Menyatakan
sesuatu itu najis berarti menjadi beban taklif, sehingga hal ini membutuhkan butuh dalil. (Lihat Rhoudhotun Nadiyah Syarh Ad
Durorul Bahiyyah, 1/24)

1

Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/

Macam-Macam Najis
1,2 – Kencing dan kotoran (tinja) manusia
Mengenai najisnya kotoran manusia ditunjukkan dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Jika
salah seorang di antara kalian menginjak kotoran (al adza) dengan alas kakinya, maka tanahlah yang nanti akan menyucikannya. ”
(HR. Abu Daud no. 385. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Al adza (kotoran) adalah segala sesuatu yang mengganggu yaitu benda najis, kotoran, batu, duri, dsb. (Lihat ‘Aunul Ma’bud,
Muhammad Syamsul Haq Al ‘Azhim Abadi Abu Ath Thoyib, 2/32, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, Beirut, cetakan kedua, 1415 H)
Yang dimaksud al adza dalam hadits ini adalah benda najis, termasuk pula kotoran manusia.(Lihat ‘Aunul Ma’bud, 2/34) Selain dalil
di atas terdapat juga beberapa dalil tentang perintah untuk istinja’ yang menunjukkan najisnya kotoran manusia. (Lihat Shahih Fiqh
Sunnah, 1/71)
Sedangkan najisnya kencing manusia dapat dilihat pada hadits Anas, “(Suatu saat) seorang Arab Badui kencing di masjid. Lalu
sebagian orang (yakni sahabat) berdiri. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Biarkan dan jangan henti kan
(kencingnya)”. Setelah orang badui tersebut menyelesaikan hajatnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas meminta satu em ber
air lalu menyiram kencing tersebut.” (HR. Muslim no. 284)
Shidiq Hasan Khon rahimahullah mengatakan, “Kotoran dan kencing manusia sudah tidak samar lagi mengenai kenajisannya,
lebih-lebih lagi pada orang yang sering menelaah berbagai dalil syari’ah.” (Lihat Ar Roudhotun Nadiyah, 1/22)
3,4 - Madzi dan Wadi
Wadi adalah sesuatu yang keluar sesudah kencing pada umumnya, berwarna putih, tebal mirip mani, namun berbeda

kekeruhannya dengan mani. Wadi tidak memiliki bau yang khas.

2
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/

Sedangkan madzi adalah cairan berwarna putih, tipis, lengket, keluar ketika bercumbu rayu atau ketika membayangkan jima’
(bersetubuh) atau ketika berkeinginan untuk jima’. Madzi tidak menyebabkan lemas dan terkadang keluar tanpa terasa yaitu keluar
ketika muqoddimah syahwat. Laki-laki dan perempuan sama-sama bisa memiliki madzi.( Lihat Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil
Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, 5/383, pertanyaan kedua dari fatwa no.4262, Mawqi’ Al Ifta’)
Hukum madzi adalah najis sebagaimana terdapat perintah untuk membersihkan kemaluan ketika madzi tersebut keluar. Dari ‘Ali
bin Abi Thalib, beliauradhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku termausk orang yang sering keluar madzi. Namun aku malu menanyakan hal
ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallm dikarenakan kedudukan anaknya (Fatimah) di sisiku. Lalu aku pun memerintahkan
pada Al Miqdad bin Al Aswad untuk bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau memberikan jawaban pada Al
Miqdad, “Perintahkan dia untuk mencuci kemaluannya kemudian suruh dia berwudhu”.”(HR. Bukhari no. 269 dan Muslim no. 303)
Hukum wadi juga najis. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Mengenai mani, madzi dan wadi; adapun mani, maka
diharuskan untuk mandi. Sedangkan wadi dan madzi, Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Cucilah kemaluanmu, lantas berwudhulah
sebagaimana wudhumu untuk shalat.” (HR. Al Baihaqi no. 771. Syaikh Abu Malik -penulis Shahih Fiqh Sunnah- mengatakan
bahwa sanad riwayat ini shahih)
5 – Kotoran hewan yang dagingnya tidak halal dimakan
Contohnya adalah Kotoran keledai jinak: Keledai jinak termasuk hewan yang diharamkan untuk dimakan. Inilah pendapat

mayoritas ulama. Di antara dalilnya adalah hadits Jabir bin ‘Abdillah, beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang pada perang Khoibar memakan daging keledai jinak, dan beliau mengizinkan memakan daging kuda. ” (HR. Bukhari no.
4219 dan Muslim no. 1941)
Kotoran anjing: Anjing termasuk hewan yang haram dimakan karena ia termasuk hewan buas (yang dapat menyerang manusia)
dan bertaring. Padahal Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap hewan buas yang bertaring haram untuk dimakan.”
(HR. Muslim no. 1933, dari Abu Hurairah)

3
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/

Kotoran babi (Babi termasuk hewan yang haram dimakan sebagaimana disebutkan dalam Surat Al An’am ayat 145 ). Abdullah bin
Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bermaksud bersuci setelah buang hajat. Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Carikanlah tiga buah batu untukku.” Kemudian aku mendapatkan dua batu dan kotoran keledai.
Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil dua batu dan membuang kotoran tadi. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
lantas bersabda, “Kotoran ini termasuk najis”.” (HR. Ibnu Khuzaimah no. 70)
Hal ini menunjukkan bahwa kotoran hewan yang tidak dimakan dagingnya semacam kotoran keledai jinak adalah najis.
6 – Darah haidh
Dalil yang menunjukkan hal ini, dari Asma’ binti Abi Bakr, beliau berkata, “Seorang wanita pernah mendatangi Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallamkemudian berkata, “Di antara kami ada yang bajunya terkena darah haidh. Apa yang harus kami perbuat?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Gosok dan keriklah pakaian tersebut dengan air, lalu percikilah. Kemudian

shalatlah dengannya.” (HR. Bukhari no. 227 dan Muslim no. 291)
Shidiq Hasan Khon rahimahullah mengatakan, “Perintah untuk menggosok dan mengerik darah haidh tersebut menunjukkan akan
kenajisannya.”( Ar Roudhotun Nadiyah, hal. 30)
7 – Jilatan anjing
Dari Abu Hurairah, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Cara menyucikan bejana di antara
kalian apabila dijilat anjing adalah dicuci sebanyak tujuh kali dan awalnya dengan tanah.”(HR. Muslim no. 279) Yang dipilih oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, bagian anjing yang termasuk najis adalah jilatannya saja. Sedangkan bulu dan anggota tubuh
lainnya tetap dianggap suci sebagaimana hukum asalnya.( Lihat Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 21/616-620,
Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H)

4
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/

8 – Bangkai
Bangkai adalah hewan yang mati begitu saja tanpa melalui penyembelihan yang syar’i.(Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/73) Najisnya
bangkai adalah berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Abdullah bin ‘Abbas, “Apabila kulit bangkai tersebut
disamak, maka dia telah suci.”
Bangkai yang dikecualikan adalah :
a – Bangkai ikan dan belalang
Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kami dihalalkan

dua bangkai dan darah. Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan belalang. Sedangkan dua darah tersebut adalah hati dan
limpa.”( HR. Ibnu Majah no. 3314. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Ibnu Majah mengatakan bahwa hadits
ini shohih)
b – Bangkai hewan yang darahnya tidak mengalir
Contohnya adalah bangkai lalat, semut, lebah, dan kutu. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Apabila seekor lalat jatuh di salah satu bejana di antara kalian, maka celupkanlah lalat tersebut seluruhnya,
kemudian buanglah. Sebab di salah satu sayap lalat ini terdapat racun (penyakit) dan sayap lainnya terdapat penawarnya .”(HR.
Bukhari no. 5782)
c – Tulang, tanduk, kuku, rambut dan bulu dari bangkai
Semua ini termasuk bagian dari bangkai yang suci karena kita kembalikan kepada hukum asal segala sesuatu adalah suci.
Mengenai hal ini telah diriwayatkan oleh Bukhari secara mu’allaq (tanpa sanad), beliau rahimahullah berkata, “Hammad
mengatakan bahwa bulu bangkai tidaklah mengapa (yaitu tidak najis). Az Zuhri mengatakan tentang tulang bangkai dari gajah dan
semacamnya, ‘Aku menemukan beberapa ulama salaf menyisir rambut dan berminyak dengan menggunakan tulang tersebut.
Mereka tidaklah menganggapnya najis hal ini’.” (Lihat Shohih Bukhari pada Bab ‘Benda najis yang jatuh pada minyak dan air’)

5
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/

Tersisa pembahasan beberapa hal yang sebenarnya tidak termasuk najis -menurut pendapat ulama yang lebih kuat- yaitu mani,
darah (selain darah haidh), muntah, dan khomr. Dan juga masih tersisa pembahasan bagaimana cara membersihkan najis.


Cara Membersihkan Najis
Berikut beberapa penjelasan mengenai cara membersihkan najis sebagai kelanjutan dari pembahasan macam-macam
najis dalam tulisan sebelumnya. Semoga bermanfaat.
1 – Menyucikan kulit bangkai dengan disamak
(Bangkai adalah hewan yang mati begitu saja tanpa melalui penyembelihan yang syar’i) Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
beliau berkata bahwa beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kulit bangkai apa saja yang telah
disamak, maka dia telah suci.” (HR. An Nasa’i no. 4241, At Tirmidzi no. 1728, Ibnu Majah no. 3609, Ad Darimi dan Ahmad. Syaikh
Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shogir wa Ziyadatuhu no. 4476 mengatakan bahwa hadits ini shohih)
Namun hadits di atas tidak berlaku umum. Perlu dibedakan antara:
[1] kulit bangkai yang sebenarnya jika hewannya mati dengan jalan disembelih menjadi halal, maka kulit bangkai tersebut bisa suci
dengan disamak.
[2] kulit bangkai yang jika hewannya disembelih tidak membuat hewan tersebut halal (artinya: hewan tersebut haram dimakan),
maka kulitnya tetap tidak bisa suci dengan disamak (Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat ulama. Ada sebagian ulama
yang menganggap bahwa hewan yang haram sekali pun jika kulitnya disamak tetap menjadikan kulitnya suci. Mereka berdalil
dengan keumuman hadits tentang kulit yang disamak. Namun pendapat yang dipilih oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin
itulah yang lebih tepat, sebagaimana alasan yang beliau sebutkan di atas). Inilah pendapat yang lebih kuat dari pendapat ulama
yang ada.
Contoh pertama: Kulit kambing yang mati dalam keadaan bangkai, misalnya kambingnya mati ditabrak dan tidak sempat
disembelih, maka bisa menjadi suci dengan disamak.

6
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/

Contoh kedua: Serigala mati, lalu kulitnya diambil, walaupun kulit tadi disamak, tetap kulit tersebut tidak suci (najis). Alasannya,
jika serigala tersebut disembelih tidak bisa membuat hewan tersebut jadi halal, maka jika kulit hewan tersebut disamak lebih -lebih
lagi tidak membuat jadi suci. Kulit serigala ini masih tetap najis berbeda dengan kulit kambing tadi. Namun kulit ini boleh digunakan
untuk keadaan kering saja. Karena dalam keadaan kering, najisnya tidak menyebar luas. Demikian penjelasan dari Al Faqih Syaik h
Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah dengan perubahan redaksi. (Lihat Fathu Dzil Jalaali wal Ikrom Syarh Bulughil
Marom, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, 1/159, Madarul Wathon Lin Nasyr, cetakan pertama, tahun 1425 H)
Serigala adalah hewan yang haram dimakan karena termasuk hewan buas. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap
hewan buas yang bertaring haram untuk dimakan.” (HR. Muslim no. 1933, dari Abu Hurairah)
2 – Menyucikan bejana yang dijilat anjing
Adapun mengenai najis pada anjing terdapat tiga pendapat di kalangan para ulama :
Pertama, seluruh tubuhnya najis bahkan termasuk bulu (rambutnya). Ini adalah pendapat Imam Syafi’i dan salah satu dari dua
riwayat (pendapat) Imam Ahmad.
Kedua, anjing itu suci termasuk pula air liurnya. Inilah pendapat yang masyhur dari Imam Malik.
Ketiga, air liurnya itu najis dan bulunya itu suci. Inilah pendapat Imam Abu Hanifah dan pendapat lain dari Imam Ahmad.
Yang terkuat adalah pendapat ketiga sebagaimana pernah kami terangkan pada tulisan sebelumnya. (Lihat Majmu’ Al Fatawa,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 21/616-620, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H)
Dari Abu Hurairah, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Cara menyucikan bejana di antara

kalian apabila dijilat anjing adalah dicuci sebanyak tujuh kali dan awalnya dengan tanah.” (HR. Muslim no. 279)
Sebagaiman diterangkan oleh An Nawawi rahimahullah, mengenai cara membersihkan jilatan anjing ada beberapa riwayat. Ada
riwayat yang menyebut “
”, yaitu tujuh kali. Ada riwayat lain menyebut “
”, yaitu tujuh kali dan awalnya
dengan tanah. Ada lagi yang menyebut “
”, yaitu yang terakhir atau pertamanya. Ada riwayat menyebut, “
7
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/

”, yaitu tujuh kali dan yang ketujuh dengan tanah.Ada yang menyebut, “
kedelapan dilumuri dengan tanah.”

”, yaitu tujuh kali dan yang

Selanjutnya An Nawawi mengatakan, “Al Baihaqi dan selainnya telah mengeluarkan seluruh riwayat ini. Ini menunjukkan bahwa
penggunaan kata “yang pertama” dan penyebutan urutan lainnya bukanlah syarat, namun yang dimaksudkan adalah “salah
satunya dengan tanah”. Adapun riwayat terakhir yang menyatakan “yang terakhir dilumuri tanah, maka menurut madzhab
Syafi’iyah dan madzhab mayoritas ulama bahwa yang dimaksud adalah cucilah tujuh kali, salah satu dari yang tujuh itu dengan
tanah bersama air. Maka seakan-akan tanah tadi mengganti cara mencuci sehingga disebut kedelapan. Wallahu a’lam. ” (Al Minhaj

Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Yahya bin Syarf An Nawawi, 3/185, Dar Ihya’ At Turots, cetakan kedua, 1392)
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa yang dimaksud “pertamanya dengan tanah” ada tiga
pilihan: [1] Awalnya disiram air, lalu dilumuri tanah, [2] Dilumuri tanah terlebih dahulu, lalu disiram air, atau [3] Mencamp uri tanah
dan air, lalu dilumuri pada bejana yang dijilat anjing. (Lihat Fathu Dzil Jalaali wal Ikrom Syarh Bulughil Marom, 1/95)
3 – Menyucikan pakaian yang terkena darah haidh
Dari Asma’ binti Abi Bakr, beliau berkata, “Seorang wanita pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian dia
berkata, “Di antara kami ada yang bajunya terkena darah haidh. Apa yang harus kami perbuat?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab, “Singkirkan darah haidh dari pakaian tersebut kemudian keriklah kotoran yang masih tersisa dengan air,
lalu cucilah( Makna cuci (al ghuslu) di sini sebagaimana diterangkan oleh Al Faqih Syaikh Muhammad bin Sholih Al
‘Utsaimin rahimahullah. Lihat Fathu Dzil Jalaali wal Ikrom Syarh Bulughil Marom , 1/219) Kemudian shalatlah dengannya.” (HR.
Bukhari no. 227 dan Muslim no. 291)

8
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/

Kalau masih ada bekas darah haidh yang tersisa setelah dibersihkan tadi, maka hal ini tidaklah mengapa.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Khaulah binti Yasar berkata pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai
Rasulullah, aku hanya memiliki satu pakaian. Bagaimana ketika haidh saya memakai pakaian itu juga?” Lantas Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika engkau telah suci, cucilah bagian pakaianmu yang terkena darah lalu shalatlah dengannya .”
Lalu Khaulah berujar lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimana kalau masih ada bekas darah?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa

sallam menjawab, “Air tadi sudah menghilangkan najis tersebut, sehingga bekasnya tidaklah membahayakanmu.” (HR. Ahmad.
Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Jika wanita ingin membersihkan darah haidh tersebut dengan menggunakan kayu sikat atau alat lainnya atau dengan
menggunakan air plus sabun atau pembersih lainnya untuk menghilangkan darah haidh tadi, maka ini lebih baik (Lihat Shahih Fiqh
Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/84, Al Maktabah At Taufiqiyah).
Dalilnya adalah hadits Ummu Qois binti Mihshon, beliau mengatakan, “Aku bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengenai darah haidh yang mengenai pakaian. Beliau menjawab, “ Gosoklah dengan tulang hean dan cucilah dengan air dan sidr
(sejenis tanaman)”.” (HR. Abu Daud no. 363, An Nasai no. 292, 395, dan Ahmad (6/355). Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini shahih)
4 – Menyucikan ujung pakaian wanita
Dari ibunya Ibrohim bin Abdur Rahman bin ‘Auf bahwasanya beliau bertanya pada Ummu Salamah –salah satu istri Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Beliau berkata, “Aku adalah wanita yang berpakaian panjang. Bagaimana kalau aku sering berjalan
di tempat yang kotor?” Ummu Salamah berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tanah yang berikutnya
akan menyucikan najis sebelumnya.” (HR. Abu Daud no. 383, Tirmidzi no. 143, dan Ibnu Majah no. 531. Syaikh Al Albani
dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud mengatakan bahwa hadits ini shohih)
Sebagian ulama menyatakan bahwa yang dimaksud najis dalam hadits di atas adalah najis yang sifatnya kering, seperti Imam
Ahmad (Al Atsrom pernah mendengar Ahmad bin Hambal ditanya mengenai hadits Ummu Salamah “tanah berikutnya akan
9
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/


menyucikan najis sebelumnya”. Beliau rahimahullah menjawab, “Menurutku wanita tersebut bukanlah terkena kencing, lalu
disucikan dengan tanah selanjutnya. Akan tetapi, ia melewati tempat yang kotor (bukan najis yang basah, pen) kemudian ia
melewati tempat yang lebih suci, lalu tempat tersebut menyucikan najis sebelumnya.” (Lihat Al Istidzkar, Ibnu ‘Abdil Barr, 1/171,
Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan pertama, 1421 H) dan Imam Malik. Menurut mereka, jika ujung pakaian wanita terkena najis yang
sifatnya basah, maka tidak bisa disucikan dengan tanah berikutnya, namun harus dengan cara dicuci.
Al Baghowi rahimahullah mengatakan, “Ada yang memahami bahwa najis yang dimaksud dalam hadits ini adalah najis yang
sifatnya kering saja. Ini pendapat yang sebenarnya perlu dikritisi. Karena najis yang mengenai pakaian wanita pada umumnya
didapat ketika berjalan di tempat yang kotor dan di sana umumnya ditemukan kotoran yang sifatnya basah. Inilah yang biasa kit a
perhatikan dalam keseharian. Jadi, jika seseorang mengeluarkan maksud kotoran yang sifatnya basah ini dari maksud hadits
tersebut –padahal ini umumnya atau seringnya kita temui-, maka ini adalah anggapan yang teramat jauh.” (Lihat Tuhfatul Ahwadzi,
Muhammad Abdurrahman Al Mubarakfuri, 1/372, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah)
Al Imam Muhammad rahimahullah mengatakan, “Tidak mengapa jika ujung pakaian wanita terkena kotoran (najis) selama kotoran
tersebut tidak seukuran dirham yang besar (artinya: kotorannya banyak, pen). Jika kotoran tersebut banyak, maka tidak boleh
shalat dengan menggunakan pakaian tersebut sampai dibersihkan (dicuci).” Demikian pula pendapat dari Imam Abu
Hanifah rahimahullah. (Idem)
5 – Membersihkan pakaian dari kencing bayi yang belum mengonsumsi makanan
Dari Abus Samhi –pembantu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, beliau berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Membersihkan kencing bayi perempuan adalah dengan dicuci, sedangkan bayi laki -laki cukup dengan diperciki.” (HR. Abu Daud
no. 376 dan An Nasa’i no. 304. Syaikh Al Albani dalam Al Jami Ash Shogir wa Ziyadatuhu mengatakan bahwa hadits ini shohih)
Yang dimaksudkan di sini adalah bayi yang masih menyusui dan belum mengonsumsi makanan. Kencing bayi laki -laki dan
perempuan sama-sama najis, namun cara menyucikannya saja yang berbeda. (Lihat Tawdhihul Ahkam, Syaikh Ali Basam, 1/176177, Darul Atsar)
10
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/

Dalil kenapa yang dimaksud di sini adalah bayi yang belum mengonsumsi makanan adalah hadits berikut. “Dari Ummu Qois binti
Mihshon (saudara dari ‘Ukkasyah bin Mihshon), ia berkata, “Aku pernah masuk menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dengan membawa puteraku –yang belum mengonsumsi makanan-. Kemudian anakku tadi mengencingi Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Beliau pun meminta air untuk diperciki (pada bekas kencing tadi, pen). ” (HR. Bukhari no. 5693 dan Muslim no. 287)
Apa yang dimaksud dengan bayi yang belum mengonsumsi makanan? Al Faqi h Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin
rahimahullah menjelaskan, “Bukanlah yang dimaksud bahwa bayi tersebut tidak mengonsumsi makanan sama sekali. Karena
seandainya kita katakan demikian, bayi ketika awal-awal lahir, ia pun sudah mencicipi sedikit makanan. Akan tetapi yang
dimaksudkan tidak mengonsumsi makanan adalah makanan sudah menjadi pengganti dari ASI atau ia mengonsumsi makanan
sudah lebih banyak dari ASI. Namun jika ASI masih jadi konsumsi utamanya, maka sudah jelas. Adapun jika makanan sudah
menjadi mayoritas yang ia konsumsi, maka kita menangkan mayoritasnya (yaitu dianggap dia sudah mengonsumsi makanan,
pen).” (Fathu Dzil Jalali wal Ikrom Syarh Bulughil Marom, 1/214)
6 – Membersihkan pakaian yang terkena madzi
Dari Sahl bin Hunaif, beliau berkata, “Dulu aku sering terkena madzi sehingga aku sering mandi. Lalu aku menanyakan hal ini pada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai kejadian yang menimpaku ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda,
‘Cukup bagimu berwudhu ketika mendapati seperti ini.’ Aku lantas berkata lagi, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana jika ada sebagian
madzi yang mengenai pakaianku?’. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Cukup bagimu mengambil air seukuran telapak
tangan, lalu engkau perciki pada pakaianmu ketika engkau terkena madzi ’.” (HR. Abu Daud no. 210, Tirmidzi no. 115, dan Ibnu
Majah no. 506. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Asy Syaukani rahimahullah menjelaskan, “Hadits ini menjelaskan bahwa jika madzi cuma diperciki saja, maka itu sudah cukup
untuk menghilangkan najisnya. … Ini menunjukkan bahwa memercikinya termasuk kewajiban. Madzi adalah najis yang ringan,
sehingga diberi keringanan cara menyucikannya.” (As Sailul Jaror, Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad Asy Syaukani, 1/35, Darul
Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan pertama, tahun 1405 H)

11
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/

Ini adalah perilaku terhadap pakaian yang terkena madzi, yaitu cukup diperciki. Sedangkan kemaluannya cukup dibersihkan dan
bersucinya adalah dengan berwudhu, tanpa perlu mandi besar.
7 – Menyucikan bagian bawah alas kaki (sandal)
Dari Abu Sa’id Al Khudri, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat bersama para sahabatnya. Ketika
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melepas kedua sandalnya dan meletakkannya di sebelah kirinya, tatkala para sahabat melihat
hal itu, mereka pun ikut mencopot sandal mereka. Ketika selesai shalat, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Kenapa
kalian melepas sandal kalian?”. Mereka menjawab, “Kami melihat engkau mencopot sandalmu, maka kami juga ikut mencopot
sandal kami.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas memberitahu mereka, “Sesungguhnya Jibril shallallahu ‘alaihi wa sallam
mendatangiku dan memberitahu aku bahwa di sandalku itu terdapat kotoran .” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda,
“Apabila salah seorang di antara kalian pergi ke masjid, maka lihatlah, jika terdapat kotoran (najis) atau suatu gangguan di sandal
kalian, maka usaplah sandal tersebut (ke tanah) dan shalatlah dengan keduanya.” (HR. Abu Daud no. 650. Syaikh Al Albani
mengatakan dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud bahwa hadits ini shohih)
Ash Shon’ani rahimahullah menjelaskan, “Hadits ini menunjukkan disyariatkannya shalat dengan menggunakan sendal (Dengan
catatan, shalat dengan sandal boleh dilakukan jika memungkinkan disesuaikan dengan kondisi tempat shalat. Jika zaman
sekarang ini, masjid dilengkapi dengan lantai keramik, maka sudah seharusnya tidak menggunakan sendal di dalam masjid.
Sunnah ini bisa dilakukan ketika di luar masjid seperti ketika bersafar). Hadits ini menunjukkan pula bahwa mengusap sendal yang
terkena najis (ke tanah), itu sudah menyucikannya. Kotoran (najis) yang dimaksud di sini mencakup yang basah atau pun yang
kering. Sebab cerita hadits ini adalah bahwasanya Jibril mengabarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa di sendal
beliau terdapat kotoran ketika beliau shalat. (Lalu beliau pun mencopot sendalnya) dan terus melanjutkan shalat. Oleh karena itu,
jika seseorang berada dalam shalat dan ia terkena najis tanpa ia ketahui atau lupa, kemudian ia mengetahuinya ketika di
pertengahan shalat, maka ia wajib menghilangkan najis tersebut. Kemudian ia pun terus melanjutkan shalatnya.” (Subulus Salam,
Muhammad bin Isma’il Ash Shon’ani, 1/137, Maktabah Musthofa, ce takan keempat, tahun 1379)

12
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/

8 – Menyucikan tanah
Dari Abu Hurairah, beliau radhiyallahu ‘anhu berkata, “Seorang arab badui pernah kencing di masjid, lalu para sahabat ingin
menghardiknya. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada para sahabatnya, “Biarkan dia! (Setelah dia kencing),
siramlah kencing tersebut dengan seember air. Kalian itu diutus untuk mendatangkan kemudahan dan bukan bukan untuk
mempersulit”.” (HR. Bukhari no. 220)
Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh menyiram tanah yang terkena kencing tadi dengan air dengan
maksud untuk mempercepat sucinya tanah dari najis. Seandainya tanah tersebut dibiarkan hingga kering, lalu hilang bekas
najisnya, maka tanah tersebut juga sudah dinilai suci. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma mengenai anjing
yang keluar-masuk masjid dan kencing di sana, namun dibiarkan begitu saja tanpa disiram atau diperciki dengan air. Beliau
berkata, “Beberapa ekor anjing sering kencing dan keluar-masuk masjid pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Namun mereka (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya) tidak memerciki kencing anjing tersebut. ” (HR.
Bukhari no. 174)
Apakah Menghilangkan Najis Harus dengan Menggunakan Air?
Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Yang masyhur dalam madzhab Imam Malik, Imam Ahmad dan pendapat baru
dari Imam Asy Syafi’i, juga Asy Syaukani bahwa untuk menghilangkan najis disyaratkan dengan menggunakan air, tidak boleh
berpaling pada yang lainnya kecuali jika ada dalil.
Sedangkan menurut madzhab Imam Abu Hanifah, pendapat lain dari Imam Malik dan Imam Ahmad, pendapat yang lama dari
Imam Asy Syafi’i(Lihat penjelasan Syaikh Abu Malik dalam Shahih Fiqh Sunnah, 1/86), pendapat Ibnu Hazm(Lihat Al Muhalla, Ibnu
Hazm, 1/92, Mawqi’ Ya’sub), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah(Lihat Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 21/475, Darul
Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H) dan pendapat Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin(Lihat Fathu Dzil Jalali wal Ikrom,
hal. 176) bahwa diperbolehkan menghilangkan najis dengan cara apa pun dan tidak dipersyaratkan menggunakan air. Pendapat
kedua inilah yang lebih tepat.

13
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/

Alasan-alasan yang mendukung pendapat kedua ini:
Pertama: Jika air boleh digunakan untuk menyucikan yang lain, maka demikian pula setiap benda atau cairan yang bisa
menyucikan dan menghilangkan najis benda lain juga berlaku demikian.
Kedua: Syari’at memerintahkan menghilangkan najis dengan air pada beberapa perkara tertentu, namun syariat tid ak
memaksudkan bahwa setiap najis harus dihilangkan dengan air.
Ketiga: Syari’at membolehkan menghilangkan najis dengan selain air. Seperti ketika istijmar yaitu membersihkan kotoran ketika
buang air dengan menggunakan batu. Contoh lainnya adalah menyucikan sendal yang terkena najis dengan tanah. Begitu pula
membersihkan ujung pakaian wanita yang panjang dengan tanah berikutnya. Sebagaimana dalil tentang hal ini telah kami
sebutkan.
Keempat: Membersihkan najis bukanlah bagian perintah, namun menghindarkan diri dari sesuatu yang mesti dijauhi. Jika najis
tersebut telah hilang dengan berbagai cara, maka berarti najis tersebut sudah dianggap hilang.
Terakhir, yang menguatkan hal ini lagi: khomr (menurut ulama yang menganggapnya najis) jika telah berubah menjadi cuka, maka
ia dihukumi suci dan ini berdasarkan kesepakatan para ulama. (Lihat penjelasan dalam Shahih Fiqh Sunnah, 1/86-87)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Pendapat yang terkuat dalam masalah ini bahwasanya najis kapan saja
ia hilang dengan cara apa pun, maka hilang pula hukum najisnya. Karena hukum terhadap sesuatu jika illah (sebab)-nya telah
hilang, maka hilang pula hukumnya. Akan tetapi tidak boleh menggunakan makanan dan minuman untuk menghilangkan najis
tanpa ada keperluan karena dalam hal ini menimbulkan mafsadat terhadap harta dan juga tidak boleh beristinja’ dengan
menggunakan keduanya.” (Majmu’ Al Fata wa, 21/475)

14
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/

Fiqih Wudhu
Tanya: Niat apakah yang dimaksudkan dalam berwudhu dan mandi (wajib)? Apa hukum perbuatan yang dilakukan tanpa niat dan
apa dalilnya?
Jawab: Niat yang dimaksud dalam berwudhu dan mandi (wajib) adalah niat untuk menghilangkan hadats atau untuk menjadikan
boleh suatu perbuatan yang diwajibkan bersuci, oleh karenanya amalan-amalan yang dilakukan tanpa niat tidak diterima. Dalilnya
adalah firman Allah, “Dan mereka tidaklah diperintahkan melainkan agar beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.”(QS. Al-Bayyinah: 5)
Dan hadits dari Umar bin al-Khaththab, bahwa Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya segala amalan itu tidak lain tergantung pada
niat; dan sesungguhnya tiap-tiap orang tidak lain (akan memperoleh balasan dari) apa yang diniatkannya. Barangsiapa hijrahnya
menuju (keridhaan) Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya itu ke arah (keridhaan) Allah dan rasul-Nya. Barangsiapa hijrahnya karena
(harta atau kemegahan) dunia yang dia harapkan, atau karena seorang wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu ke arah
yang ditujunya.” (HR. Bukhari: Jami’ush Shahih, no. 45, 163. Muslim: Jami’ush Shahih, no. 1907)
Tanya: Apakah wudhu itu? Apa dalil yang menunjukkan wajibnya wudhu? Dan apa (serta berapa macam) yang mewajibkan
wudhu?
Jawab: Yang dimaksud wudhu adalah menggunakan air yang suci dan mensucikan dengan cara yang khusus di empat anggota
badan yaitu, wajah, kedua tangan, kepala, dan kedua kaki. Adapun sebab yang mewajibkan wudhu adalah hadats, yaitu apa saja
yang mewajibkan wudhu atau mandi [terbagi menjadi dua macam, (Hadats Besar) yaitu segala yang mewajibkan mandi dan
(Hadats Kecil) yaitu semua yang mewajibkan wudhu].

15
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/

Adapun dalil wajibnya wudhu adalah firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat,
maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua
mata kaki.” (QS. Al-Maidah: 6)
Tanya: Apa dalil yang mewajibkan membaca basmalah dalam berwudhu dan gugur kewajiban tersebut kalau lupa atau tidak tahu?
Jawab: Dalil yang mewajibkan membaca basmalah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dari Nabi, beliau
bersabda, “Tidak sah shalat bagi orang yang tidak berwudhu dan tidak sah wudhu orang yang tidak menyebut nama Allah atas
wudhunya.”
Adapun dalil gugurnya kewajiban mengucapka n basmalah kalau lupa atau tidak tahu adalah hadits, “Dimaafkan untuk umatku,
kesalahan dan kelupaan.” Tempatnya adalah di lisan dengan mengucapkan bismillah.
Tanya: Apa sajakah syarat-syarat wudhu itu?
Jawab: Syarat-syarat (sahnya) wudhu adalah sebagai berikut:
(1). Islam, (2). Berakal, (3). Tamyiz (dapat membedakan antara baik dan buruk), (4). Niat, (5). Istishab hukum niat, (6). Tid ak
adanya yang mewajibkan wudhu, (7). Istinja dan istijmar sebelumnya (bila setelah buang hajat), (8). Air yang thahur (suci lagi
mensucikan), (9). Air yang mubah (bukan hasil curian -misalnya-), (10). Menghilangkan sesuatu yang menghalangi air meresap
dalam pori-pori.
Tanya: Ada berapakah fardhu (rukun) wudhu itu? Dan apa saja?
Jawab: Fardhu (rukun) wudhu ada 6 (enam), yaitu:
1. Membasuh muka (temasuk berkumur dan memasukkan sebagian air ke dalam hidung lalu dikeluarkan).
2. Membasuh kedua tangan sampai kedua siku.
3. Mengusap (menyapu) seluruh kepala (termasuk mengusap kedua daun telinga).
16
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/

4. Membasuh kedua kaki sampai kedua mata kaki.
5. Tertib (berurutan).
6. Muwalah (tidak diselingi dengan perkara-perkara yang lain).
Tanya: Sampai dimana batasan wajah (muka) itu? Bagaimana hukum membasuh rambut/bulu yang tumbuh di (daerah) muka
ketika berwudhu?
Jawab: Batasan-batasan wajah (muka) adalah mulai dari tempat tumbuhnya rambut kepala yang normal sampai jenggot yang
turun dari dua cambang dan dagu (janggut) memanjang (atas ke bawah), dan dari telinga kanan sampai telinga kiri melebar. Waji b
membasuh semua bagian muka bagi yang tidak lebat rambut jenggotnya (atau bagi yang tidak tumbuh rambut jenggotnya) beserta
kulit yang ada di balik rambut jenggot yang jarang (tidak lebat). Karena anda lihat sendiri, kalau rambut jenggotnya lebat ma ka
wajib membasuh bagian luarnya dan di sunnahkan menyela -nyelanya. Karena masing-masing bagian luar jenggot yang lebat dan
bagian bawah jenggot yang jarang bisa terlihat dari depan sebagai bagian muka, maka wajib membasuhnya.
Tanya: Apa yang dimaksud dengan tertib (urut)? Apa dalil yang mewajibkannya dari al-Qur’an dan As-Sunnah?
Jawab: Yang dimaksud dengan tertib (urut) adalah sebagaimana yang tertera dalam ayat yang mulia. Yaitu membasuh wajah,
kemudian kedua tangan (sampai siku), kemudian mengusap kepala, kemudian membasuh kedua kaki.
Adapun dalilnya adalah sebagaimana tersebut dalam ayat di atas (ayat 6 surat al -Maidah). Di dalam ayat tersebut telah
dimasukkan kata mengusap diantara dua kata membasuh. Orang Arab tidak melakukan hal ini melainkan untuk suatu fa edah
tertentu yang tidak lain adalah tertib (urut).
Kedua, sabda Rasulullah, “Mulailah dengan apa yang Allah telah memulai dengannya.”
Ketiga, hadits yang diriwayatkan dari ‘Amr bin ‘Abasah. Dia berkata, “Wahai Rasulullah beritahukan kepadaku tentang wudhu?”
Rasulullah berkata, “Tidaklah salah seorang dari kalian mendekati air wudhunya, kemudian berkumur -kumur, memasukkan air ke
hidungnya lalu mengeluarkannya kembali, melainkan gugurlah dosa-dosa di (rongga) mulut dan rongga hidungnya bersama air
17
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/

wudhunya, kemudian (tidaklah) ia membasuh mukanya sebagaimana yang Allah perintahkan, melainkan gugurlah dosa -dosa
wajahnya melalui ujung-ujung janggutnya bersama tetesan air wudhu, kemudian (tidaklah) ia membasuh kedua tangannya sampai
ke siku, melainkan gugurlah dasa-dosa tangannya bersama air wudhu melalui jari-jari tangannya, kemudian (tidaklah) ia mengusap
kepalanya, melainkan gugur dosa-dasa kepalanya bersama air melalui ujung-ujung rambutnya, kemudian (tidaklah) ia membasuh
kedua kakinya, melainkan gugur dosa-dasa kakinya bersama air melalui ujung-ujung jari kakinya.” (HR. Muslim)
Dan dalam riwayat Ahmad terdapat ungkapan, “Kemudian mengusap kepalanya (sebagaimana yang Allah perintahkan),…
kemudian membasuh kedua kakinya sampai mata kaki sebagaimana yang Allah perintahkan.”
Dan di dalam riwayat Abdullah bin Shanaji terdapat apa yang menunjukkan akan hal itu. Wallahu A’lam.
Tanya: Apa yang dimaksud dengan muwalah dan apa dalilnya?
Jawab: Maksudnya adalah jangan mengakhirkan membasuh anggota wudhu sampai mengering anggota sebelumnya setelah
beberapa saat.
Dalilnya, hadits yang diriwayatkan Ahmad dan Abu Dawud dari Nabi, bahwa beliau melihat seorang laki -laki di kakinya ada bagian
sebesar mata uang logam yang tidak terkena air wudhu, maka beliau memerintahkan untuk mengulangi wudhunya.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Umar bin al-Khathab bahwa seorang laki-laki berwudhu, tetapi meninggalkan satu bagian sebesar
kuku di kakinya (tidak membasahinya dengan air wudhu). Rasulullah melihatnya maka beliau berkata, “Ber wudhulah kembali,
kemudian shalatlah.” Sedangkan dalam riwayat Muslim tidak menyebutkan lafal, “Ber wudhulah kembali.”
Tanya: Bagaimana tata cara wudhu yang sempurna? Dan apa yang dibasuh oleh orang yang buntung ketika berwudhu?
Jawab: Hendaknya berniat kemudian membaca basmalah dan membasuh tangannya sebanyak tiga kali, kemudian berkumurkumur dan memasukkan air ke dalam hidung (lalu mengeluarkannya) sebanyak tiga kali dengan tiga kali cidukan. Kemudian,
18
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/

membasuh mukanya sebanyak tiga kali, kemudian membasuh kedua tangannya beserta kedua sikunya sebanyak tiga kali,
kemudian mengusap kepalanya sekali, dari mulai tempat tumbuh rambut bagian depan sampai akhir tumbuhnya rambut dekat
tengkuknya, kemudian mengembalikan usapan itu (membalik) sampai kembali ketempat semula memulai, kemudian memasukkan
masing-masing jari telunjuknya ke telinga dan menyapu bagian daun telinga dengan kedua jempolnya, kemudian membasuh
kedua kakinya beserta mata kakinya tiga kali, dan bagi yang cacat membasuh bagian-bagian yang wajib (dari anggota tubuhnya)
yang tersisa. Jika yang buntung adalah persendiannya maka memulainya dari bagian lengan yang terputus. Demikian pula jika
yang buntung adalah dari persendian tumit kaki, maka membasuh ujung betisnya.
Tanya: Apa dalil dari tata cara wudhu yang sempurna? Sebutkan dalil-dalil tersebut secara lengkap?
Jawab: Adapun niat dan membaca basmalah, telah disebutkan dalilnya di atas. Dan dalam riwayat Abdullah bin Zaid tentang
tatacara wudhu (terdapat lafal), “Kemudian Rasulullah memasukkan tangannya, kemudian berkumur dan memasukkan air ke
dalam hidung dengan satu tangan sebanyak tiga kali.” (Mutafaq ‘alaih)
“Dan dari Humran bahwa Utsman pernah meminta dibawakan air wudhu, maka ia membasuh kedua telapak tangannya tiga kali,
…kemudian membasuh tangan kanannya sampai ke siku tiga kali, kemudian tangan kirinya seperti itu pula, kemudian mengusap
kepalanya, kemudian membasuh kaki kanannya sampai mata kaki tiga kali, kemudian kaki kirinya seperti itu pula, kemudian
berkata, ‘Aku melihat Rasulullah berwudhu seperti wudhuku ini.’” (Mutafaq alaih)
Dan dari Abdullah bin Zaid bin Ashim dalam tatacara wudhu, ia berkata, “Dan Rasulullah mengusap kepalanya, menyapukannya
ke belakang dan ke depan.” (Mutafaq alaih)
Dan lafal yang lain, “(Beliau) memulai dari bagian depan kepalanya sampai ke tengkuk, kemudian menariknya lagi ke bagian
depan tempat semula memulai.”

19
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/

Dan dalam riwayat Ibnu Amr tentang tata cara berwudhu, katanya, “Kemudian (Rasulullah) mengusap kepalanya, dan
memasukkan dua jari telunjuknya ke masing-masing telinganya, dan mengusapkan kedua jari jempolnya ke permukaan daun
telinganya.” (HR. Abu Dawud, Nasa’i dan disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah)
Tanya: Apa saja yang termasuk sunnah-sunnah wudhu beserta dalilnya?
Jawab: Yang termasuk sunnah-sunnah wudhu adalah:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Menyempurnakan wudhu.
Menyela-nyela antara jari jemari.
Melebihkan dalam memasukkan air ke dalam hidung kecuali bagi yang berpuasa.
Mendahulukan anggota wudhu yang kanan.
Bersiwak.
Membasuh dua telapak tangan sebanyak tiga kali.
Mengulangi setiap basuhan dua kali atau tiga kali.
Menyela-nyela jenggot yang lebat.

Dalil tentang siwak telah lalu penjelasannya. Adapun tentang membasuh dua telapak tangan sebelum berwudhu, yaitu apa yang
diriwayatkan oleh Ahmad dan Nasa’i dari Aus bin Aus ats-Tsaqafi ia berkata, “Aku melihat Nabi berwudhu, maka beliau mencuci
dua telapak tangannya sebanyak tiga kali.”
Adapun tentang menyempurnakan wudhu, menyela-nyela jari jemari dan melebihkan (dalam memasukkan air ke hidung) kecuali
bagi yang berpuasa, sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Laqith bin Shabrah, katanya, “Aku berkata: ‘Wahai
Rasulullah, kabarkan kepadaku tentang wudhu?’” Nabi berkata, “Sempurnakan wudhu -mu, dan sela-selalah antara jari-jemarimu,
dan bersungguh sungguhlah dalam memasukkan air ke dalam hidung kecuali jika kamu dalam keadaan berpuasa.” (Diriwayatkan
oleh lima imam, dishahihkan oleh Tirmidzi)

20
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/

Dan dari ‘Aisyah, ia berkata, “Nabi suka mengawali sesuatu dengan yang kanan, dalam memakai terompah, bersisir, bersuc i dan
dalam segala sesuatu.”(Mutafaq alaih)
Adapun menyela-nyala jenggot, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Utsman, “Bahwa Nabi ada menyela-nyala jenggotnya.” (HR.
Ibnu Majah dan Turmudzi dan ia menshahihkannya). Cara menyela-nyela jenggot ini dengan mengambil seraup air dan
meletakkannya dari bawahnya dengan jari-jemarinya atau dari dua sisinya dan menggosokkan keduanya. Dan dalam riwayat Abu
Dawud dari Anas, “Bahwa Nabi jika berwudhu mengambil seraup air, kemudian meletakkannya di bawah dagunya dan b erkata,
‘Demikianlah yang diperintahkan oleh Tuhan kepadaku.’”
Tanya: Berapa takaran air yang dibutuhkan ketika berwudhu atau mandi (junub)?
Jawab: Takaran air dalam berwudhu adalah satu mud (Satu mud sama dengan 1 1/3 liter menurut ukuran orang Hijaz da n 2 liter
menurut ukuran orang Irak. (Lihat Lisanul Arab Jilid 3 hal 400). Adapun untuk mandi sebanyak satu sha’ sampai lima mud.
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Anas, katanya, “Adalah Rasulullah ketika berwudhu dengan (takaran air sebanyak)
satu mud dan mandi (dengan takaran sebanyak) satu sha’ sampai lima mud.” (HR. Muttafaq alaih). Dan makruh (dibenci) berlebihlebihan, yaitu yang lebih dari tiga kali dalam berwudhu.
Tanya: Bacaan apa yang disunnahkan ketika selesai berwudhu?
Jawab: Bacaan yang disunnahkan adalah mengucapkan sebagaimana yang diriwayatkan oleh Umar, katanya, “Berkata
Rasulullah, ‘Tidaklah salah seorang diantara kalian berwudhu dan menyempurnakan wudhunya, kemudian mengucapkan: asyhadu
anlaa ilaaha illalloohu wahdahu laa syariikalahu wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa Rosuuluh (Aku bersaksi bahwa tidak
ada Ilah yang berhak disembah selain Allah semata; yang tidak ada sekutu baginya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah
hamba-Nya dan utusan-Nya), melainkan dibukakan untuknya delapan pintu syurga, ia dapat masuk dari mana saja yang ia
kehendaki.’” (HR. Muslim)

21
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/

Dan Tirmidzi menambahkan: “Alloohummaj’alni minat tawwabiina waj’alnii minl mutathohhiriin (Ya Allah jadikan aku termasuk
orang-orang yang bertaubat dan jadikan aku termasuk orang-orang yang suka mensucikan diri).”

Nawaqidul Wudhu
Tanya: Apa arti nawaqidul wudhu?
Jawab: Nawaqidul wudhu artinya yang membatalkan wudhu, seperti sesuatu yang keluar dari dua jalan (kencing dan berak),
makan daging unta, tidur lama, menyentuh kemaluan dengan syahwat, semua yang mewajibkan mandi, gila, mabuk, pingsan,
obat-obat yang menghilangkan kesadaran, dan murtad/keluar dari Islam -semoga Allah melindungi kita darinya-.
Tanya: Apa dalilnya bahwa kencing dan berak membatalkan wudhu?
Jawab: Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah. Dia berkata bahwa Rasulullah bersabda, “Allah tidak akan
menerima shalat salah seorang dari kamu apabila telah berhadats hingga dia berwudhu.” (Bukhari, hadits no. 132. Muslim, hadits
no. 225)
Lalu ada seorang laki-laki dari penduduk Hadhramaut yang bertanya, “Apa yang dimaksud hadats, wahai Abu Hurairah?” Beliau
menjawab, “Yaitu kentut.” (Mutafaq alaih)
Demikian pula hadits Shafwan bin Assal, “Akan tetapi yang temasuk perkara yang membatalkan wudhu adalah buang air besar,
buang air kecil, dan tidur.”
Tanya: Apa dalil yang menjelaskan bahwa makan daging unta itu termasuk yang membatalkan wudhu?
Jawab: Dalilnya adalah hadits riwayat dari Jabir bin Samurah, Bahwa ada seorang laki -laki yang bertanya kepada Nabi, “Apakah
kami harus wudhu karena makan daging kambing?” Beliau bersabda, “Kalau kamu mau (silakan berwudhu lagi).” Laki -laki itu
22
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/

bertanya lagi, “Apakah kami (harus) wudhu karena makan daging onta?” Beliau bersabda, “Ya.” Laki -laki itu bertanya, “Bolehkah
shalat di kandang kambing?” Beliau bersabda, “Ya boleh.” Laki -laki itu bertanya lagi, “Bolehkah shalat di kandang onta?” Nabi
bersabda, “Tidak boleh.” (Ahmad, hadits no. 20287 dan Muslim, hadits no. 360)
Dari al-Barra’ bin ‘Azib berkata, “Rasulullah telah ditanya tentang wudhu karena makan daging unta, maka beliau bersabda,
‘Berwudhulah karenanya.’” Dan ketika ditanya tentang wudhu karena makan daging kambing, beliau bersabda, “Janganlah
berwudhu karenanya.” (Ahmad Hadits no. 18067 dan Abu Dawud hadits no. 184)
Ada yang berpendapat bahwa tidak membatalkan wudhu kalau makan unta selain dagingnya seperti, makan hati, limpa, jeroan,
lemak, lidah, kepala, punuk, kikil, usus, kuah. Sementara pendapat yang kedua menyatakan tetap batal, karena daging di sini
sebagai ungkapan yang menunjukan seluruh apa yang ada dalam binatang. Sesungguhnya pengaharaman babi itu secara
keseluruhan (tidak hanya dagingnya saja), maka demikian pulalah halnya mengenai hukum memakan daging onta ini, dagingnya
saja atau selain dagingnya tetap membatalkan, dan ini adalah pendapat yang paling kuat dan paling berkah. Wallahu ‘alam.
Tanya: Apa dalil yang menunjukan bahwa tidur sebentar tidak membatalkan wudhu sementara tidur lama (pulas) membatalkan
wudhu?
Jawab: Dalilnya adalah riwayat dari Ali bin Abi Thalib beliau berkata, “Telah bersabda Rasulullah, ‘Mata adalah tali pengikat dubur,
maka barangsiapa telah tidur hendaklah berwudhu.’” (Ibnu Majah Hadits no. 477, Ahmad Hadits no. 16437. Abu Dawud Hadits no.
203)
Demikian pula dalam hadits Shafwan bin Assal, “Akan tetapi (yang termasuk membatalkan wudhu) adalah buang air besar, buang
air kecil dan tidur.”
Adapun dalilnya, yang menyatakan bahwa tidur sebentar tidak membatalkan wudhu adalah sebagaimana yang diriwaya tkan oleh
Anas bin Malik,“Adalah para sahabat Rasulullah menunggu-nunggu waktu isya hingga larut malam, hingga kepala mereka
23
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/

berkulaian (terantuk-antuk). Kemudian mereka melakukan shalat tanpa wudhu lagi.” (Abu Dawud, hadits no. 200 dan telah
dishahihkan Daruqutni dan asalnya dalam riwayat Muslim)
Juga berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Aku bermalam di tempat bibiku, Maimunah. Tatkala Rasulullah berdiri untuk
shalat, maka aku pun berdiri di samping kirinya. Lalu beliau memegang tanganku dan m enarikku supaya berada di samping
kanannya. Lalu aku pun berada di samping kanannya. Apabila aku mengantuk, beliau memegang daun telingaku.” Ibnu Abbas
berkata, “Dan Rasulullah shalat dengan sebelas rakaat.”
Tanya: Apa dalil yang menjelaskan bahwa hilang ingatan dengan sebab pingsan, gila, mabuk, atau memakai obat-obatan yang
menghilangkan akal itu termasuk membatalkan wudhu?
Jawab: Hilang ingatan itu ada dua jenis, pertama karena tidur. Mengenai dalilnya telah lalu penjelasannya. Kedua hilang akal
karena gila, pingsan, mabuk atau yang sejenisnya. Pembatalan wudhunya karena