BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter - Analisis Pengaruh Resiko dan Kebijakan Moneter Terhadap Kemampuan Perbankan Dalam Penyaluran Kredit

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter

  Mekanisme transmisi kebijakan moneter pada dasarnya menggambarkan bagaimana kebijakan moneter yang ditempuh bank sentral mempengaruhi berbagai aktivitas ekonomi dan keuangan sehingga pada akhirnya dapat mencapai tujuan akhir yang ditetapkan, yaitu pertumbuhan ekonomi dan inflasi (Warjiyo, 2004). Tahap awal mekanisme transmisi moneter dimulai dengan tindakan bank sentral menggunakan instrumen moneter dalam melaksanakan kebijakan moneternya. Tindakan tersebut bergerak melalui 6 saluran transmisi kebijakan moneter, diantaranya saluran uang, kredit, suku bunga, nilai tukar, harga aset, dan ekspektasi yang akan mempengaruhi kondisi keuangan dan aktivitas ekonomi.

  Di bidang keuangan, kebijakan moneter berpengaruh terhadap perkembangan suku bunga, kredit yang disalurkan bank kepada dunia usaha, penanaman dana pada obligasi, saham maupun sekuritas lainnya. Sementara itu, pada aktivitas ekonomi rill, kebijakan moneter mempengaruhi perkembangan konsumsi, investasi, hingga pertumbuhan ekonomi dan inflasi yang merupakan sasaran akhir kebijakan moneter. Dalam pelaksanaannya, mekanisme transmisi kebijakan moneter merupakan proses yang kompleks, oleh sebab itu dalam teori ekonomi moneter sering disebut dengan ”black box” seperti digambarkan pada

Gambar 2.1. Kompleksnya transmisi kebijakan moneter terutama dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu perubahan perilaku pihak-pihak dalam transmisi moneter, perubahan pada saluran-saluran transmisi moneter.

Gambar 2.1 Mekanisme Transmisi Moneter sebagai “Black Box”

2.1.2 Mekanisme Transmisi Melalui Jalur Kredit (Credit Channel)

  Mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui saluran kredit didasarkan pada asumsi bahwa tidak semua simpanan masyarakat dalam bentuk uang beredar oleh perbankan selalu disalurkan sebagai kredit kepada dunia usaha (Warjiyo, 2004). Intinya adalah fungsi intermediasi perbankan tidak selalu berjalan normal.

  Interaksi antara bank sentral dengan perbankan dan para pelaku ekonomi dalam tahapan proses perputaran uang dalam ekonomi, mekanisme transmisi moneter melalui jalur kredit dapat dijelaskan melalui gambar 2.2

Gambar 2.2 Mekanisme Transmisi Saluran Kredit dengan perbankan terjadi di pasar uang rupiah. Interaksi ini terjadi karena di satu sisi bank sentral melakukan operasi moneter untuk pencapaian sasaran operasionalnya baik berupa uang primer ataupun suku bunga jangka pendek, sementara di sisi lain perbankan melakukan transaksi di pasar uang untuk pengelolaan di pasar uang untuk pengelolaan likuiditasnya. Interaksi ini akan mempengaruhi tidak saja perkembangan suku bunga jangka pendek di pasar uang tetapi juga besarnya dana yang akan dialokasikan bank-bank dalam bentuk instrumen likuiditas maupun untuk penyaluran kreditnya (Andriyani, 2008). Jalur kredit menekankan pentingnya pasar kredit dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter yang tidak selalu berada dalam kondisi keseimbangan yang disebabkan oleh perilaku bank yang cenderung melakukan seleksi kredit. Penyeleksian tersebut terjadi karena adanya asymetric information atau sebab-sebab lain. Dalam kaitan ini, terdapat dua jenis saluran kredit yang akan mempengaruhi transnmisi moneter dari sektor keuangan ke sektor rill, yaitu jalur pinjaman bank (bank

  lending channel ) dan jalur neraca perusahaan (balance sheet channel).

2.1.2.1 Jalur Pinjaman Bank (Bank Lending Channel)

  Jalur pinjaman bank menekankan pengaruh kebijakan moneter pada kondisi keuangan bank baik pada sisi aset maupun liabilitasnya. Jika bank sentral melakukan kebijakan moneter ekspansif, misalnya dengan menambah jumlah uang beredar, maka suku bunga SBI akan turun. Penurunana ini akan menurunkan kuantitas SBI dan sebaliknya akan meningkatkan deposito. Disebabkan oleh penurunan biaya dana (cost of fund), maka suku bunga pinjaman/kredit juga akan perusahaan. Keadaan ini akan mendorong peningkatan pinjaman/kredit untuk perusahaan melakukan investasi yang pada akhirnya akan menigkatkan output.

  Skema kebijakan moneter dalam bank lending channel digambarkan sebagai berikut (Mishkin, 2001): M

  ↑ → bank deposits ↑ → bank loan ↑ → investasi ↑ → output ↑ Ada dua hal yang menjadi syarat bagi berlakunya jalur ini, yaitu : 1.

  Kredit dan surat berharga bukan merupakan substitusi sempurna bagi sebagian peminjam atau sebagian peminjam bergantung pada kredit bank 2. Bank sentral harus mampu mempengaruhi ketersediaan kredit bank. Kebijakan moneter akan memiliki efek yang lebih besar pada perusahaan kecil dibandingkan pada perusahaan besar (Mishkin, 2001). Hal ini dikarenakan perusahaan kecil lebih bergantung pada kredit bank, sedangkan perusahaan besar dapat mengakses pasar modal secara langsung melalui penerbitan saham dan obligasi.

2.1.2.2 Jalur Neraca Perusahaan (Balance Sheet Channel)

  Jalur neraca perusahaan menekankan pengaruh kebijakan moneter pada kondisi keuangan perusahaan, dan selanjutnya mempengaruhi akses perusahaan untuk mendapatkan kredit (Andriyani, 2008). Dalam jalur ini, jika bank Sentral melakukan tindakan kebijakan moneter yang ekspansif, maka suku bunga di pasar uang akan turun, lalu mendorong harga saham mengalami peningkatan. Sejalan dengan peningkatan tersebut, nilai bersih perusahaan (networth) akan meningkat tindakan adverse selection dan moral hazard oleh perusahaan. Kondisi ini mendorong peningkatan pemberian kredit oleh bank, selanjutnya meningkatkan investasi, dan pada akhirnya meningkatkan output. Jalur tersebut dapat digambarkan sebagai berikut (Mishkin, 2001): M

  ↑ → P equity ↑ → adverse selection dan moral hazard ↓ → Lending ↑ → investasi ↑ → output ↑

2.1.3 Resiko Bank

  Escandon dan Diaz-Bautista (2000) melakukan pengembangan model teoritis untuk memasukan peran risiko sektor keuangan khususnya dari sektor perbankan dalam menganalisis keberadaan jalur risiko dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter. Model yang dikemukakan oleh kedua peneliti tersebut mengandung makna yaitu kondisi keseimbangan dalam pasar kredit perbankan ditunjukkan melalui mekanisme penyesuian tingkat bunga kredit. Pada sisi permintaan kredit ditentukan oleh tingkat bunga kredit perbankan, tingkat bunga pasar pada bonds, tingkat perekonomian riil, dan risiko kredit dari sisi permintaan sedangkan dari sisi penawaran kredit perbankan dipengaruhi oleh tingkat bunga kredit perbankan, tingkat bunga pasar bonds dan tingkat risiko alokasi kredit perbankan. Dalam analisisnya Escandon dan Diaz-Bautista tidak menjelaskan landasan teoritis untuk memasukan variabel risiko permintaan dan penawaran kredit dalam modelnya. Penjelasan lebih lanjut untuk menjustifikasi dimasukannya variabel risiko sebagai komponen yang mempengaruhi penawaran dikembangkan oleh Freixas dan Jorge (2008).

  Guncangan eksogen yang bersumber pada perubahan risiko dari penawaran dan permintaan kredit perbankan dalam model Escandon dan Diaz-Bautista memiliki implikasi penting terhadap perekonomian yang ditransmisikan melalui pergeseran kondisi keseimbangan dalam pasar kredit perbankan. Jika terjadi peningkatan risiko yang dihadapi oleh perbankan, maka risiko di sisi penawaran kredit perbankan akan meningkat, meningkatkan biaya kredit perbankan, sehingga menurunkan tingkat produksi (PDB atau output) perekonomian dalam jangka panjang.

  Menurut Altunbas et al. (2009), posisi resiko bank dari jenis resiko kreditnya dapat dilihat dari 2 faktor ,yaitu:

  • Loan-Loss Provisons (Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif)

  Sebagai bagian dari dari manajemen resiko kredit, maka bank diwajibkan mencadangkan biaya provisi sebagai cadangan penempatan investasi atau pinjaman yang disebut juga sebagai beban atau Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) atau Loss-Loss Provisons (LLP), yang ditentukan besarnya berdasarkan kriteria tertentu. Berdasarkan kriteria umum, besarnya biaya ini mencerminkan besarnya penempatan dan permasalahan yang ada pada investasi dan pinjaman. Semakin buruk kualitas investasi atau pinjaman, maka semakin besar pula biaya penghapusan aktiva produktif.

  • Expected Default Frequency (probabilitas kegagalan)

  1974 dengan menggunakan Model Black-Scholes (Model BS). Merton menyatakan bahwa kegagalan perusahan dapat diestimasi dengan menggunakan indikator total asset, ekuitas dan hutang perusahaan. Hutang yang semakin besar dan aset yang tidak mampu membayar hutang tersebut mengakibatkan perusahaan gagal melakukan pembayaran hutang tersebut. Model Merton dimodifikasi dan dikembangkan oleh Oldrich Vasicek dan Stephen Kealhofer dikenal dengan model VK.

  Model ini menyatakan bahwa nilai ekuitas perusahaan adalah sebuah nilai opsi perpetual dengan adanya titik default yang mengabsorb barrier untuk nilai aset perusahaan. Ketika aset menyentuh titik default, perusahaan diasumsikan menjadi default. VK model dikembangan oleh KMV dikenal dengan KMV model. Model ini menghitung Expected

  Default Frequency (EDF) yaitu probabilitas kegagalan selama tahun-

  tahun mendatang atau tahun untuk perusahaan yang obligasinya diperdagangkan (Manurung, 2005).

2.1.4 Karakteristik Spesifik-Spesifik bank

  Athanasoglou et al. (2005) mengemukakan bahwa karakteristik spesifik- spesifik bank merupakan faktor-faktor yang berasal dari kondisi internal perusahaan yang dilihat dari neraca dan laporan laba rugi bank. Karakteristik spesifik-spesifik bank ini dapat dilihat dari tingkat permodalan bank (kapital), ukuran bank (size), likuiditas dan lain-lain.

  • Size (Ukuran Bank)
ukuran perusahaan terlihat dari dari jumlah aset atau aktiva perusahaan, bertambahnya aktiva perusahaan menunjukkan bertambah besar investasi yang dilakukan.

  • Liquidity (Likuiditas)

  Terdapat berbagai berbagai teori mengenai manajemen likuiditas, salah satunya adalah the shiftability theory (teori tentang aktiva yang dapat dipindahkan). Teori ini menjelaskan likuiditas suatu bank tergantung pada kemampuan bank tersebut untuk memindahkan aktivanya ke pihak/orang lain dengan harga yang dapat diramalkan. Bank sentral biasanya melakukan suatu tindakan membeli surat-surat berharga dari semua bank pada saat perbankan meningkatkan likuiditasnya. Teori ini umunya cukup efektif terhadap negara-negara yang pasar uangnya sudah cukup berkembang dan kegiatan operasi terbuka oleh bank sental sudah berjalan dengan baik.

  • Capital (Modal)

  Bank memiliki modal (equity) yang sangat kecil dibandingkan dengan total asetnya, karena itu bank dikatakan memiliki tingkat financial

  

leverage yang sangat tinggi jika dibandingkan dengan jenis industri lain.

  Modal bank terdiri dari modal disetor dan hasil akumulasi dari laba operasional. Bank Indonesia selaku otoritas moneter dan pengawas perbankan didorong oleh terjadinya krisis 1997 yang menunjukkan bahwa industri perbankan belum memiliki kondisi yang kuat sehingga bank Indonesia membuat sebuah konsep yang disebut Asitektur Perbankan Indonesia (API). API mengadopsi pedoman industri perbankan yang dikeluarkan oleh BCBS (Basel Commite on Banking

  

Supervision ) yang berada di Basel, Swiss. Konsep API mempumyai enam pilar,

  yaitu : (1) struktur perbankan yang sehat; (2) sistem pengaturan yang efektif; (3) sistem pengawasan yang independen dan efektif; (4) industri perbankan yang kuat; (5) infrastruktur pendukung yang mencukupi; dan (6) perlindungan konsumen.

  Sesuai ketentuan bank sentral yang tertera dalam API, perbankan diwajibkan untuk menambah modal inti secara bertahap. Tahap pertama pada akhir 2007, bank harus bermodal minimal Rp 80 miliar dan akhir tahun 2010 minimal Rp 100 miliar. Persyaratan modal minimal Rp 100 miliar tersebut sebenarnya masih kecil bila dibandingkan dengan best pratices di beberapa negara Asia lainnya. Tingkat permodalan bank-bank di Indonesia saat ini masih lemah sehingga dalam jangka panjang perlu ditingkatkan secara bertahap. Di lain hal didapati bank-bank kecil masih lemah dari segi kinerja operasional.

2.2 Tinjauan Penelitian Terdahulu

  • Alfaro, Garcia, dan Jara (2004) dalam studinya berjudul Bank Lending

  Channel in Chile, hendak membuktikan keberadaan jalur transmisi moneter

  melalui jalur kredit bank di negara Chile. Salah satu pendekatan yang analisis data panel dari bank yang digunakan untuk mengidentifikasi perubahan penawaran kredit bank akibat perubahan kebijkan moneter dengan tetap memperhatikan perbedaan karakteristik bank dalam hal likuiditas, ukuran bank, dan kapitalisasi bank. Variabel dependen terdiri dari pertumbuhan tahunan jumlah pinjaman kredit, komersil dan konsumsi. Variabel moderating terdiri variabel makro ekonomi termasuk didalamnya tingkat suku bunga sebagai penanda kebijakan moneter. Variabel independennya adalah karakteristik spesifik bank. Hasil pengujian pendekatannya menunjukkan bahwa jalur pinjaman bank (bank lending channel) terjadi di negara Chile dan bahwa tingkat likuiditas, ukuran, dan kapitalisasi bank berpengaruh terhadap penyaluran kredit yang terdiri dari pinjaman komersil dan konsumsi.

  • Dalam studinya yang berjudul Financial Regulation and the Bank Lending

  Channel in Developing Countries: The Case of Indonesia , Agung (1998)

  didalam salah satu dari bagian penelitiannya hendak meneliti apakah kebijakan moneter berpengaruh terhadap struktur neraca perbankan.

  Penelitian ini menggunakan pendekatan vektor autoregressive (VAR) terhadap data disagregat neraca bank dan dengan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia sebagai indikator kebijakan moneter. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan moneter secara signifikan dapat mempengaruhi struktur neraca bank secara keseluruhan. Agung (1998) juga menemukan bahwa transmisi kebijakan moneter melalui bank lending

  Bank lending channel terjadi di Indonesia, setidaknya pada periode observasi yang digunakan. Hal ini ditunjukkan oleh pengaruh negatif dari variabel kebijakan moneter terhadap variabel penyaluran kredit, yang berarti bahwa pada saat kontraksi moneter penawaran kredit perbankan akan mengalami penurunan, sementara ekspansi moneter akan meningkatkan penawaran kredit perbankan.

  swasta) dari pada bank-bank besar milik pemerintah disebabkan adanya akses terhadap sumber dana asing dan kepemilikan line commitment yang dimiliki bank pemerintah tersebut.

  • Penelitian Ridho (2007) yakni Pengaruh Konsentrasi Pasar Terhadap Efektivitas Transmisi Kebijakan Moneter Melalui Jalur Pinjaman Bank di Indonesia. Penelitiannya hendak membuktikan bank lending channel sebagai salah satu saluran transmisi kebijakan moneter di Indonesia dan pengaruh kebijakan moneter terhadap jumlah kredit yang disalurkan. Variabel-variabel yang digunakan hampir sama dengan penelitian Alfaro et al. (2004) Hasil dari penelitiannya antara lain : 1.

  2. Konsentrasi industri memiliki pengaruh yang negatif terhadap output perbankan dalam bentuk kredit sesuai dengan teori. Sedangkan untuk karateristik spesifik-spesifik bank yaitu pertama, modal berpengaruh secara positif terhadap kredit bank, yang menandakan bahwa modal dapat digunakan bank untuk menanggung resiko dari operasional bank. Kedua, ukuran bank memiliki pengaruh yang positif. Hal ini intermediasi yang dijalankan bank tersebut.

3. Koefisien variable size yang dimoderasikan dengan suku bunga

  Sertifikat Bank Indonesia (SBI) bernilai negatif, yang berarti bahwa kebijakan moneter melalui bank lending channel akan lebih efektif pada bank-bank besar, dan koefisien variable modal dimoderasikan dengan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia bernilai positif, yang berarti bahwa kebijakan moneter melalui bank lending channel akan lebih efektif pada bank dengan modal kecil (dalam hal ini modal dibawah Rp 100 milyar).

  • Penelitian Altunbas, Gambacorta dan Marquez (2009) yakni Bank Risk and

  Monetary Policy . Penelitiannya mengenai dampak resiko bank terhadap

  kemampuan perbankan untuk melindungi penyaluran kredit dari pengaruh perubahan kebijakan moneter. Dengan enam variabel independen terhadap satu variabel dependen dengan satu variabel moderating, untuk melihat dan membuktikan pengaruh probabilitas kegagalan, loan-loss provisions, capital, likuiditas dan ukuran perusahaan, GDP terhadap penyaluran kredit dengan kebijakan moneter sebagai variabel moderating. Hasil penelitian terhadap hipotesis yang dilakukan adalah sama yakni resiko bank yang rendah dapat lebih baik melindungi penyaluran kredit bank dari gunjangan kebijakan moneter. Dilain hal, resiko bank yang terdiri dari probabilitas kegagalan dan

  loan-loss provisions berpengaruh negatif terhadap penyaluran kredit

  sedangkan 2 variabel yang mewakili karakteritik spesifik bank (likuiditas dan negatif terhadap penyaluran kredit.

  • Selanjutnya Freixas dan Jorge (2008), mengembangkan model teoritis bekerjanya mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui risiko dengan menggunakan pendekatan partial equilibrium dalam pasar uang antar bank. Secara garis besar dalam model ini dijelaskan kebijakan moneter yang dijalankan oleh Bank Sentral akan mempengaruhi ketersediaan likuiditas di pasar uang antar bank, selanjutnya memaksa bank yang kekurangan likuiditas merasionalisasi kredit yang diberikan kepada nasabahnya (terjadi credit

  rationing ), sehingga akan menyebabkan peningkatan ataupun penurunan

  produksi di sektor riil. Informasi yang tidak sempurna dalam pasar uang antar bank merupakan sumber munculnya risiko yang ada dalam pasar uang antar bank. Model teoritis ini memberikan justifikasi bekerjanya mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur kredit perbankan tanpa harus menggunakan asumsi tidak ada perilaku credit rationing dalam pasar kredit perbankan.

  • Penelitian Doni dan Solikin (2011) yaitu Perilaku Resiko Dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter. Kesimpulan pokok yang dihasilkan dari penelitian ini adalah bahwa persepsi risiko pelaku ekonomi dan tingkat risiko di sektor perbankan memiliki peran yang signifikan dalam mentransmisikan kebijakan moneter melalui jalur kredit di Indonesia. Variabel persepsi risiko pelaku ekonomi dan tingkat risiko di sektor perbankan saat berinteraksi dengan stance kebijakan moneter menyebabkan pembalikan arah dampak
dapat merupakan sinyal bagi pelaku ekonomi di sektor perbankan sebagai kondisi perekonomian sedang menuju perkembangan yang kurang baik.

2.3 Kerangka Konseptual Penelitian

  Resiko Bank :

  • Expected Default Frequency - Loan-Loss Provisons

  Penyaluran kredit bank (Bank Lending Channel)

  Karakteristisk Spesifik Bank :

  • Capital to asset ratio
  • - Liquidity - Size

  Kebijakan Moneter Variabel Dummy

Gambar 2.3 Kerangka Konseptual

  Kerangka konseptual tersebut menjelaskan pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen yang dimoderasi dengan variabel moderating. Melalui jalur kredit diyakini bahwa kebijakan moneter bisa mempengaruhi perkonomian melalui penawaran kredit dari sektor perbankan atau bank lending channel. Peran risiko sektor keuangan khususnya dari sektor perbankan mempunyai pengaruh dalam menganalisis mekanisme transmisi kebijakan moneter. Mekanisme risiko berperan sebagai faktor pendorong dan penarik dari ekspansi kredit perbankan. Perbankan di Indonesia umumnya mempunyai expexted default frequency lebih tinggi diantara perusahaan industri lain (Manurung, 2005). Sehingga dengan tinggiya EDF akan mempengaruhi penyaluran kredit perbankan tersebut. Variabel mempengaruhi penyaluran kredit perbankan, penjelasan akan pernyataan ini terdapat pada hasil penelitian Doni dan Solikin (2011). Posisi resiko lain yaitu

  

loan-loss provisions mempunyai pengaruh terhadap penyaluran kredit bank.

  Pengaruh tersebut berdasarkan hasil penelitian Altunbas et al. (2009) yang menyatakan bahwa keberisikoan dari portofolio kredit memiliki pengaruh negatif pada kemampuan bank untuk memberikan pinjaman. Faktor lainnya sama, semakin tinggi loan-loss provisions (LLP) maka akan mengurangi keuntungan, permodalan bank dan, karenanya, memiliki konsekuensi negatif pada pasokan kredit. LLP memiliki makna sebagai persentase dari kredit di dalam menilai resiko kredit.

  Karakteristik spesifik bank juga memiliki hubungan terhadap bank lending

  

channel dengan kebijakan moneter sebagai variabel interaksi. Sesuai penelitian

  Ridho (2007) yakni, modal pengaruhnya positif terhadap kredit bank, yang menandakan bahwa modal dapat digunakan bank untuk menanggung resiko dari operasional bank. Kedua, ukuran bank memiliki pengaruh yang positif, yang berarti bahwa semakin besar bank, semakin baik pula fungsi intermediasi yang dijalankan bank tersebut. Berhubungan dengan likuiditas, penelitian Altunbas et al. (2009) menyatakan bahwa pengaruh likuiditas pada penyaluran kredit mengandung arti bank yang likuid lebih berkesempatan untuk memperluas pinjaman atau kreditnya. Kebijakan moneter mempengaruhi struktur neraca bank secara keseluruhan (Agung, 1998), artinya terdapat interaksi antara karakteristik spesifik bank dengan kebijakan moneter. Hal ini dikarenakan karakteristik perusahaan yang dilihat dari neraca dan laporan laba rugi bank. Hal pendukung lainnya, penelitian oleh Agung (1998) yang menyatakan bahwa efek kebijakan moneter terhadap jalur pinjaman bank lebih kuat untuk bank-bank yang bermodal rendah. Dan juga transmisi kebijakan moneter melalui bank lending channel hanya terjadi pada ukuran bank-bank yang lebih kecil (bank-bank swasta) dari pada bank-bank besar milik pemerintah.

2.4 Hipotesis

  Berdasarkan landasan teori dan empiris di atas, maka hipotesis penelitian yang dapat dirumuskan adalah: H1: Resiko bank dan karakteristisk spesifik bank berpengaruh terhadap penyaluran kredit bank.

  H2: Resiko bank dan karakteristisk spesifik bank berpengaruh terhadap penyaluran kredit bank dengan kebijakan moneter sebagai variabel moderasi.