BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep - Eufemisme Pada Tuturan Perkawinan Masyarakat Batak Toba

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

  Ada tiga konsep yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu eufemisme, tuturan, dan perkawinan. Ketiga konsep itu perlu dibatasi untuk menghindari salah tafsir bagi pembaca.

  Allan dan Burridge (1991:14) mengatakan bahwa eufemisme adalah bentuk pilihan dalam mengungkapkan sesuatu yang tidak berkenan dan digunakan untuk menghindarkan rasa malu (kehilangan muka). Bentuk ungkapan yang tidak berkenaan tersebut dapat berupa tabu, ketakutan, tidak disenangi, atau alasan- alasan lain yang berkonotasi negatif untuk dipakai (dipilih) dengan tujuan berkomunikasi oleh penutur pada situasi tertentu (bdk Kridalaksana, 1984:48; Chaer, 1994:27; Pateda, 2001:238).

  Eufemisme dibagi atas tiga kategori, yakni baik, buruk, dan manipulasi kenyataan (Sutarno dalam Andayani, 1988:15). Kategori baik berhubungan dengan sopan santun. Misalnya, jika seseorang kencing atau berak, lebih sopan jika dikatakan hendak ke belakang. Kategori buruk digunakan untuk memanipulasi makna sebenarnya dan bersifat politis. Contohnya, ungkapan harga naik diganti dengan disesuaikan atau kelaparan diganti dengan rawan gizi.

  Kategori lain ialah manipulasi kenyataan. Kategori ini biasanya digunakan untuk menghindari kesan negatif dari lawan tuturnya. Contoh, seorang anak yang nakal dikatakan bahwa anak itu hiperaktif. Kesan orang lain lebih positif terhadap istilah hiperaktif daripada langsung mengatakan bahwa si anak tersebut nakal.

  Tuturan atau sering disebut peristiwa tutur adalah terjadinya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan penutur dan mitra tutur, dengan satu pokok tuturan di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu (Kridalaksana, 1984:200; Leech, 1993:20; Chaer dan Leonie Agustina, 1995:47).

  Perkawinan merupakan saat peralihan dari tingkat hidup remaja ke tingkat hidup berkeluarga (Koentjaraningrat, 1985:90). Perkawinan termasuk masa peralihan hidup yang terpenting dari semua manusia di seluruh dunia. Hampir semua kelompok etnis mengakuinya dengan berpedoman kepada nilai, aturan dan kegiatan yang berhubungan dengan tahap tersebut. Pada beberapa etnis, masa ini ditandai dengan berbagai jenis upacara untuk mematangkan kepribadian si individu.

2.1 Landasan Teori

  Allan dan Burridge (1991) mengemukakan bahwa eufemisme mempunyai beberapa tipe. Tipe-tipe eufemisme itu adalah sebagai berikut:

1. Ekspresi figuratif, yaitu bersifat perlambangan, ibarat, atau kiasan.

  Contoh: go to the happy huntinggrounds ‘pergi ke tanah pekuburan yang menyenangkan’ → die ‘meninggal’ 2.

  Metafora, yaitu perbandingan yang implisit di antara dua hal yang berbeda.

  Contoh: the miraculous pitcher that holds water with the mouth

  downwards ‘tempat air yang menakjubkan dengan mulut yang

  menghadap ke bawah’ → vagina ‘vagina’ 3.

   Flipansi (Flippancy), yaitu makna di luar pernyataan.

  Contoh: kick the bucket ‘menendang ember’ → die ‘meninggal’ 4.

  Pemodelan ulang (Remodeling), yaitu pembentuk ulang.

  Contoh: basket ‘keranjang’ → bastard ‘bajingan’ 5.

  Sirkumlokusi (Cirkumlocutions), yaitu penggunaan beberapa kata yang lebih panjang atau bersifat tidak langsung.

  Contoh: little girl’s room ‘ruang gadis kecil’

  → toilet ‘toilet’ 6.

  Kliping (Clipping), yaitu pemotongan atau pemenggalan.

  Contoh: brassiere ‘bh’ → bra ‘bh’ 7.

  Akronim, yaitu penyingkatan atas beberapa kata menjadi satu.

  Contoh: commfu ‘commfu’ → complete monumental military fuck up

  ‘monumen kemiliteran’ 8. Abreviasi, yaitu penyingkatan kata-kata menjadi beberapa huruf.

  Contoh: S.O.B

  

→ son of bitch ‘anak seorang pelacur’

9.

  Pelesapan (Omission), yaitu penghilangan sebagian kecil.

  Contoh: I need to go ‘saya mau pergi’

  → I need to go to the lavatory

  ‘saya mau pergi ke kamar mandi’ 10. Penggantian kata per kata (one for one substitutions).

  Contoh: bottom ‘dasar’

  → ass ‘pantat’

  11. Hipernim (general for specific), kata yang umum menjadi kata yang khusus.

  Contoh: go to bed ‘pergi tidur’

  → fuck ‘bersenggama’ 12.

  Hiponim (part for whole eupheisms), yaitu kata yang khusus menjadi kata yang umum.

  Contoh: stuffed up nose, postnasal drip running eyes ‘hidung tersumbat, ingusan, mata berair’

  → I’ve got cough ‘saya demam’ 13.

  Hiperbola, yaitu ungkapan yang berlebihan.

  Contoh: flight to glory ‘terbang ke tempat yang nyaman (surga)’

   death ‘meninggal’

  14. Makna di luar pernyataan (understatement), yaitu satu makna kata yang terlepas dari makna kata tersebut.

  Contoh: genitals, bulogate etc ‘alat kelamin, kasus, dll’

  → thing

  ‘sesuatu’ 15. Jargon, yaitu kata yang memiliki makna yang sama tetapi berbeda bentuk.

  Contoh: feces ‘kotoran (istilah medis)’ → shit ‘tahi’ 16.

  Kolokial, yaitu ungkapan yang dipakai sehari-hari.

  Contoh: period ‘periode’

  → menstruation ‘menstruasi’

  Selanjutnya, Allan dan Burridge (1991) menyebutkan empat fungsi eufemisme, yaitu: (1)

  Penamaan dan sapaan

  Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat selalu berhubungan dengan kata sapaan. Kata sapaan yang digunakan bergantung pada usia dan kedudukan penyapa dan pesapa. Kata sapaan yang lazim digunakan ditujukan untuk menyebutkan: nama Tuhan (mis: Adonai ‘Adonai’

  → lord ‘Tuhan’), nama binatang buas (mis: bear ‘beruang’ → the honey eater ‘pemakan madu’), dan nama yang berhubungan dengan kegiatan berisiko (hazardous persuits) (mis: pro

  

vovka pomovka a vovk u khatu , “one speaks of the wolf and it runs into the

house” ).

  (2) Menghindari tabu

  Kata tabu merujuk pada tindakan yang dilarang atau dihindari. Dalam masyarakat kata-kata yang berkonotasi seks dianggap tabu sehingga tidak boleh digunakan di tengah-tengah masyarakat. Kata-kata tabu juga terdapat pada bagian tubuh(body-parts), bagian tubuh khusus (bodily effluvia), haid, penyakit, cacat mental dan tubuh, yang dikeluarkan tubuh (body’s waste products), kematian, dan seni.

  (3) Pemarkah identitas (gender)

  Kehidupan bermasyarakat tidak terlepas dari status sosial. Setiap masyarakat mempunyai kedudukan (jabatan) dan kemampuan ekonomi yang berbeda-beda. Oleh karena itu, dalam komunikasi sehari-hari juga ditemukan sebutan yang berbeda kepada setiap orang sesuai dengan kedudukannya masing- masing. Contohnya terdapat pada ungkapan di bawah ini.

  underprivileged sounds much better than “poor and needy ”

  “diberi hak istimewa” kedengaran lebih baik daripada “miskin”

  senior citizens rather than “old people

  “warga negara yang paling tua” kedengaran lebih baik daripada “orang tua”

  

  Selain berbicara mengenai tipe dan fungsi eufemisme, Allan dan Burridge (1991) juga menyinggung makna eufemisme. Adapun makna eufemisme yang dikemukakan oleh Allan dan Burridge berhubungan dengan makna atau tujuan sebuah tuturan. Di dalam mengatakan suatu kalimat, seseorang (penutur) tidak semata-mata mengatakan sesuatu dengan pengucapan kalimat itu. Di dalam pengucapan kalimat, ia (penutur) juga “menginginkan” sesuatu. Oleh karena itu, makna suatu ucapan atau kalimat tergantung pada pemakaiannya.

  Searle (dalam Wijana, 1996) mengemukakan bahwa secara pragmatis setidak-tidaknya ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yaitu: a.

  Lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan atau menginformasikan sesuatu.

  b.

   Ilokusi adalah tindak tutur yang tidak hanya digunakan untuk menginformasikan sesuatu, tetapi juga melakukan sesuatu.

  c.

   Perlokusi adalah tindak tutur yang pengutaraannya dimaksudkan untuk mempengaruhi lawan tutur.

  Tindak tutur lokusi memiliki makna secara harfiah, seperti yang dimiliki oleh komponen-komponen kalimat itu. Tindak tutur dengan kalimat yang sama mungkin dipahami secara berbeda oleh pendengar. Makna sebagaimana ditangkap oleh pendengar ini adalah makna tindak tutur ilokusi. Sebaliknya, penutur juga mempunyai harapan bagaimana pendengar akan menangkap makna sebagaimana yang dimaksudkannya. Makna ini disebut tindak tutur perlokusi (Chaer dan Leonie Agustina, 1995: 54)

  Dari ketiga jenis tindak tutur di atas, ilokusi adalah tindak tutur yang paling dekat dengan eufemisme. Dalam penelitian ini makna eufemisme difokuskan pada tindak ilokusi. Pada ilokusi, pendengar sering tidak memahami makna yang terkandung dalam tuturan yang diutarakan penutur. Hal ini terjadi karena makna kalimat yang diujarkan tergantung dari konteksnya. Makna kalimat tersebut berbeda dengan makna harfiah seperti yang dimiliki oleh komponen- komponen kalimat itu.

  Kalau dilihat dari konteks situasinya ada dua macam tindak tutur, yaitu tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung. Tindak tutur langsung mudah dipahami oleh pendengar karena ujarannya bermakna lugas. Misalnya, kalimat berita difungsikan untuk memberitakan sesuatu, kalimat tanya untuk bertanya, dan kalimat perintah untuk menyuruh, mengajak, memohon, dsb. Dalam tindak tutur tidak langsung, kalimat perintah dapat digunakan dengan kalimat berita atau kalimat tanya untuk melembutkan tuturan. Tuturan yang diutarakan secara tidak langsung (mis, dengan kalimat tanya) biasanya tidak dapat dijawab secara langsung, tetapi harus segera dilaksanakan maksud yang terimplikasi di dalamnya (Wijana, 1996:31)

  Berbicara mengenai kalimat terdapat tiga jenis kalimat berdasarkan tatabahasa tradisional, yaitu (1) kalimat deklaratif (kalimat berita), (2) kalimat interogatif (kalimat tanya), dan (3) kalimat imperatif (kalimat perintah). Selanjutnya, Austin (dalam Chaer dan Agustina, 1995) membedakan kalimat deklaratif menjadi kalimat konstatif dan kalimat performatif. Kalimat konstatif adalah kalimat yang berisi pernyataan belaka, misalnya, “Kepala sekolah kami tampan sekali”. Kalimat performatif adalah kalimat yang berisi perlakuan.

  Misalnya, kalau seorang menteri perhubungan mengatakan, “Saya umumkan bahwa tarif angkutan lebaran tidak mengalami kenaikan”, makna kalimat itu adalah apa yang diucapkannya.

  Selanjutnya, kalimat performatif dibagi atas lima kategori, yaitu (1) kalimat verdiktif adalah kalimat yang menyatakan keputusan atau penilaian, misalnya, Kami menyatakan terdakwa bersalah; (2) kalimat eksersitif adalah kalimat yang menyatakan perjanjian, nasihat, peringatan, dan sebagainya, misalnya, Kami harap kalian datang tepat waktu; (3) kalimat komisif adalah kalimat yang dicirikan dengan perjanjian, misalnya, Besok kita pergi berenang; (4) kalimat behatitif adalah kalimat yang berhubungan dengan tingkah laku sosial karena seseorang mendapat keberuntungan atau kemalangan, misalnya, Saya

  mengucapkan selamat atas kelahiran anak Anda ; (5) kalimat ekspositif adalah

  kalimat yang memberi penjelasan, keterangan atau perincian kepada seseorang, misalnya, Saya jelaskan kepada Anda bahwa mereka bukan pencuri.

  Kalimat seperti (4a) “Saya kemarin tidak dapat hadir”, apabila dipandang dari aspek lokusinya, memberitahukan bahwa kemarin ia tidak dapat menghadiri acara temannya tersebut. Kalau dipandang dari aspek ilokusinya, kalimat itu merupakan permohonan maaf karena telah diundang, tetapi ia tidak dapat hadir pada saat yang sudah ditentukan. Perlokusi dari ucapan itu dapat membuat pendengarnya memaafkannya (dengan berkata, “Ya, tidak apa- apa”) atau bersikap tak peduli (diam dan tidak menunjukkan ekspresi memaafkan).

  Dari segi konteksnya kalimat di atas merupakan tindak tutur tidak langsung. Hal ini terlihat dari penggunaan kalimat tersebut (kalimat berita) yang seolah-olah hanya memberitahukan temannya bahwa kemarin ia tidak dapat hadir. Padahal, si penutur hendak memohon maaf dan seharusnya ia menggunakan kalimat perintah (imperatif). Untuk membuktikan kebenarannya, perhatikan contoh di bawah ini sebagai perluasan dari kalimat tersebut: (4b) “Saya minta maaf, karena kemarin tidak dapat hadir.” atau seperti kalimat berikut.

  (4c) “Saya kemarin tidak dapat hadir, ada urusan mendadak. Oleh karena itu, saya mohon maaf.”

2.3 Tinjauan Pustaka

  Beberapa hasil penelitian yang ditinjau dalam penelitian ini diterangkan sebagai berikut. Faridah (2002) dalam tesisnya Eufemisme dalam Bahasa Melayu

  Serdang menjelaskan bentuk, fungsi, dan makna eufemisme. Faridah

  menggunakan pandangan Allan dan Burridge (1991) dalam menjawab permasalahan penelitiannya. Dalam penelitiannya, Faridah menggunakan data tulis dan data lisan. Data tulis diperoleh dari buku-buku pantun bahasa Melayu, sedangkan data lisan diperoleh dari percakapan penutur jati. Untuk mendapatkan data digunakan metode cakap atau metode wawancara dengan teknik dasar berupa teknik pancing dan teknik cakap semuka, teknik rekam, dan teknik catat. Selanjutnya, dalam menganalisis data digunakan metode agih, metode padan dan metode pragmatik. Dalam menganalisis makna digunakan metode pragmatik, dengan alat penentu mitra wicara.

  Menurut Faridah, bentuk-bentuk eufemisme dalam bahasa Melayu Serdang terdiri atas (1) ekspresi figuratif (mis: hujanlah hari rintik-rintik, tumbuh

  cendawan gelang kaki, kami seumpama telor itik, kasih ayam maka menjadi), (2)

  metafora (mis: angin lalu membawa berita), (3) satu kata untuk menggantikan kata yang lain (mis: penganten ‘lipan’) , (4) umum ke khusus (mis: burung salah

  name ‘ burung punai), (5) hiperbola (mis: akan kubawe ke liang kubor ‘akan kubawa sampai ke liang kubur’), dan (6) kolokial (mis: bawe bulan ‘haid’).

  Fungsi-fungsi eufemisme dalam bahasa Melayu Serdang berupa (1) sapaan dan penamaan (mis: Pakcik bapak’), (2) penghindaran tabu (mis: punai ‘alat kelamin laki-laki’), (3) menyatakan cara eufemisme digunakan (mis: awak

  

udah haus kali ne, bagilah minom ‘seorang tamu minta minum dengan cara

  halus’, dan (4) menyatakan situasi (mis: nenek/datuk ‘harimau’). Makna eufemisme berkaitan dengan (1) penutur dan lawan tutur (mis: sireh besusun

  pinang belonggok, tepak bebaris memanggu sape, anak beru menunggu izin, dari

keluarga Datok Husny mulie ‘sirih bersusun pinang berlonggok, tepak berbaris

  menunggu sapa, anak beru menunggu izin, dari keluarga Datuk Husny mulia), (2) konteks tuturan (mis: kalau rumah tide berpintu, dimane arah boleh disingkap,

  

kalau puan kate begitu, inilah kunci due serangkap ‘kalau rumah tidak berpintu,

  di mana arah boleh disingkap, kalau puan kata begitu, inilah kunci dua serangkap’), (3) tujuan tuturan (mis: same umor dah setahun jagung ‘sama umur sudah setahun jagung’, sama darah setampok pinang ‘sama darah setampuk pinang’, same akal tumboh ke luar ‘sama akal tumbuh ke luar’), (4) tuturan sebagai bentuk tindak atau aktivitas (mis: lancang kuning berlasyar malam, arus

  

deras karangnye tajam, jika mualem kurang paham, alamat kapal akan

tenggelam ‘lancang kuning berlayar malam, arus deras karangnya tajam, jika

  mualim kurang paham, alamat kapal akan tenggelam’), dan (5) tuturan sebagai bentuk tindak verbal (mis: Teruna sudah lelah ‘Teruna sudah lelah’).

  Andayani (2005) dalam tesisnya “Eufemisme dalam Upacara Perkawinan Adat Jawa Nemokke di Medan” mengkaji tipe-tipe eufemisme, fungsi eufemisme, makna eufemisme, serta pola sosiolinguistik penggunaan eufemisme dalam prosesi Nemokke. Ia menggunakan pandangan Allan dan Burridge (1991) untuk menjelaskan masalah penelitian. Data dikumpulkan dengan metode wawancara yang didukung teknik rekam dan teknik catat, tetapi kurang jelas berapa jumlah desa yang dijadikan sebagai daerah pengamatan.

  Menurut Andayani, tipe-tipe eufemisme dalam upacara perkawinan Jawa

  Nemokke terdiri atas (1) metafora (mis: golek sandang lan pangan ‘mencari

  pakaian dan makanan’ atau ‘nafkah’), (2) satu kata menggantikan kata yang lain (mis: wal lang ‘lepas hitungan’ atau ‘segala sesuatu harus diperhitungkan’), (3) hiperbola (mis: satrio bagus ‘ksatria baik’ atau ‘suami’), dan (4) ekspresi figuratif (mis: wes ngentok ake kembar mayang ponco worno ‘sudah bertemu dengan bunga lima warna’ atau ‘menikah’). Selanjutnya, eufemisme berfungsi sebagai sapaan (mis: guru laki ‘suami’) dan menghindari tabu (mis: kembar sekar mayang ponco worno ‘perawan’.

  Perlu dicatat bahwa Andayani tidak menetapkan satu teori yang pasti untuk mencari makna eufemisme. Makna metaforis dari setiap ungkapan dia jadikan sebagai makna eufemisme. Pola sosiolinguistik meliputi bentuk-bentuk keteraturan dalam penggunaan bahasa yang berhubungan dengan faktor-faktor seperti jenis kelamin, usia, dan pengalaman. Penggunaan eufemisme berdasarkan jenis kelamin tidak menghasilkan pola tertentu (perbedaan). Dari segi usia dan pengalaman, ahli nemokke yang tua (di atas 60 tahun) cenderung lebih berpengalaman daripada mereka yang masih muda dan ahli nemokke yang berpengalaman itu lebih banyak memberikan nasihat daripada yang belum berpengalaman.

  Selanjutnya, Rubby dan Dardanila (2008) dalam artikel yang berjudul “Eufemisme pada Harian Seputar Indonesia” membahas bentuk-bentuk eufemisme dan frekuensi pemakaiannya. Rubby dan Dardanila juga menggunakan pandangan Allan dan Burridge (1991). Data penelitiannya bersumber dari harian

  Seputar Indonesia edisi Juni-Juli 2007, yang dikumpulkan dengan menggunakan

  metode simak. Selanjutnya, data dianalisis dengan menggunakan metode agih dan metode deskripsi.

  Menurut Rubby dan Dardanila, ada tujuh bentuk eufemisme pada harian Seputar Indonesia, yaitu (1) ekspresi figuratif (mis: Nasib Mpseda di PSMS

  berada di ujung tanduk ‘berada dalam situasi yang kritis atau keadaan genting’),

  (2) flipansi (mis:…kader yang tidak mengindahkan peraturan organisasi ‘tidak menaati peraturan yang telah ditetapkan’), (3) sirkumlokusi (mis: Pemain Timnas

  Indonesia tak boleh terperangkap dalam permainan dan perang kata yang dilontarkan Arab Saudi ‘terprovokasi atau terpancing emosi’), (4) singkatan (mis: PSK (Pekerja Seks Komersial) ‘pelacur’), (5) satu kata untuk menggantikan satu

  kata yang lain (mis: Lembaga Permasyarakat (LP) ‘penjara’, ‘bui’, atau ‘rumah tahanan’) , (6) umum ke khusus (mis: gugur ‘mati’, ‘meninggal’), dan (7) hiperbola (mis: Barna belum juga puas, kembali menghujani tubuh pria malang itu bertubi-tubi ‘ditikam’ atau ‘dibacok’.

  Penelitian tentang jenis-jenis tuturan pada upacara adat perkawinan dilakukan oleh Hutapea (2007) dalam skripsinya Tuturan pada Upacara Adat

  Perkawinan Masyarakat Batak Toba . Data penelitiannya bersumber dari penutur

  jati bahasa Batak Toba dan sejumlah data tulis. Data dikumpulkan dengan metode simak dan dianalisis dengan metode padan pragmatik dengan alat penentu mitra wicara. Hutapea menyimpulkan bahwa tuturan yang paling dominan dalam upacara adat perkawinan masyarakat Batak Toba adalah tuturan direktif.

  Penelitian di atas memberikan kontribusi dalam metode dan data bahasa Batak Toba. Metode wawancara atau metode simak juga diterapkan dalam penelitian ini. Data bahasa Batak Toba yang mengandung eufemisme misalnya, “nunga ojak parsaripeon i marhite ugamo, hot ma antong sipanganon na

  

hupasahat hami, uli ma roha muna manjalo ” ‘sudah sah rumah tangga itu

menurut agama, tetaplah makanan yang kami beri, terimalah dengan senang hati’.