Eufemisme Pada Tuturan Perkawinan Masyarakat Batak Toba

(1)

SKRIPSI

OLEH:

YANTI FRISKA PURBA

NIM 090701029

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(2)

OLEH:

YANTI FRISKA PURBA NIM 090701029

Skripsi ini diajukan untuk melengkapi persyaratan memperoleh gelar sarjana sastra

dan telah disetujui oleh:

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Mulyadi, M.Hum. Dra. Salliyanti, M.Hum.

NIP 196407311989031004 NIP 130284308

Departemen Sastra Indonesia Ketua,

Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M. Si. NIP 196209251989031017


(3)

Penulis menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar sarjana di suatu perguruan tinggi. Sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang penulis perbuat ini tidak benar, penulis bersedia menerima sanksi berupa pembatalan gelar sarjana yang penulis peroleh.

Medan, Agustus 2013 Penulis,

Yanti Friska Purba NIM 090701029


(4)

(Fakultas Ilmu Budaya USU)

ABSTRAK

Penelitian ini mendeskripsikan tipe-tipe, fungsi, dan makna eufemisme pada tuturan perkawinan masyarakat Batak Toba. Data yang digunakan adalah data lisan dan data tulis. Data dikumpulkan dengan metode cakap dan metode simak. Kemudian, data dianalisis dengan metode agih dan hasilnya disajikan dengan metode formal dan informal. Teori yang digunakan adalah pandangan Allan dan Burridge (1991). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tuturan perkawinan masyarakat Batak Toba mengandung tujuh tipe eufemisme, yaitu ekspresi figuratif, metafora, sirkumlokusi, pelesapan, sebagian untuk keseluruhan, hiperbola, dan jargon. Eufemisme pada tuturan perkawinan masyarakat Batak Toba berfungsi sebagai sapaan/ penamaan (sapaan kepada Tuhan dan kepada orang). Selanjutnya, makna eufemisme pada tuturan perkawinan masyarakat Batak Toba adalah bermakna deklaratif (memberitahukan) dan imperatif (memerintah).


(5)

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena penulis diberi kesehatan dan kekuatan untuk menyelesaikan skripsi ini. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Syahron Lubis, M.A., Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, yang telah menyediakan fasilitas pendidikan bagi penulis. 2. Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si., Ketua Departemen Sastra

Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, yang telah mengarahkan penulis dalam menjalani perkuliahan dan membantu penulis dalam hal administrasi.

3. Drs. Haris Sutan Lubis, M.S.P., Sekretaris Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan motivasi serta memberikan informasi terkait perkuliahan kepada penulis.

4. Dr. Mulyadi, M.Hum., dosen Pembimbing I, yang telah meluangkan waktu untuk membimbing penulis dengan penuh tanggung jawab, memberikan saran dan ide kepada penulis, serta mengarahkan penulis dalam proses penulisan skripsi. Terima kasih juga karena telah bersedia memeriksa keseluruhan skripsi ini sampai bagian-bagian terkecil dan telah meminjamkan buku dan bahan referensi lainnya kepada penulis.


(6)

6. Drs. Asrul Siregar, M. Hum., dosen Penasihat Akademik, yang telah memberikan bimbingan serta perhatian kepada penulis selama menjalani perkuliahan.

7. Bapak dan Ibu staf pengajar Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan bimbingan dan pengajaran selama penulis menjalani perkuliahan.

8. Kak Tika yang telah membantu penulis dalam hal administrasi di Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

9. Kedua orang tua tersayang, Ayahanda W. Purba dan Ibunda R. Br. Sinaga, yang telah memberikan dukungan moral, material, dan kasih sayang tanpa batas kepada penulis dan doa yang tidak pernah berhenti untuk penulis. 10.Saudara-saudara yang terkasih, Bang Vika, Kak Rajin, Bang Lastri, Kak

Aldi, Kak Carly, Kak Nita, ipar, serta keponakan-keponakan yang luar biasa. Terima kasih atas doa dan dorongan yang diberikan kepada penulis selama perkuliahan dan penyelesaian skripsi ini.

11.Informan yang telah membantu penulis dalam menyediakan data penelitian.

12.Ibu D. Sinaga atas izin yang diberikan sehingga penulis boleh melakukan penelitian pada upacara pernikahan putra tercinta.


(7)

Merlyn, Tiur, Desi, Tio, Mays, Yoyo, Cris, Cloe, Intan, Supri, Norton, Andi) dan semua teman yang tidak mungkin disebutkan satu per satu. Terima kasih atas kebersamaan yang selama ini terjalin sangat baik.

15.Senior-senior 2007 dan 2008, khususnya kak Pesta yang selalu mengingatkan penulis untuk serius dalam menjalani kuliah.

16.Teman-teman tercinta (Septi Sinaga, Hermanto Marbun, dan Ardianto Marbun) yang bersedia membantu penulis selama penulis mengadakan penelitian di Desa Hutajulu.

Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang turut membantu dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga berkat Tuhan melimpah bagi kita semua.

Medan, Agustus 2013

Yanti Friska Purba


(8)

PERNYATAAN ... i

ABSTRAK ... ii

PRAKATA ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang ... 1

1.2Masalah ... 4

1.3Tujuan Penelitian ... 5

1.4Manfaat Penelitian ... 5

1.4.1 Manfaat Praktis ... 5

1.4.2 Manfaat Teoretis ... 5

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep ... 6

2.2 Landasan Teori ... 7

2.3 Tinjauan Pustaka ... 14

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 19


(9)

4.1 Tipe-tipe Eufemisme ... 27

4.1.1 Ekspresi Figuratif ... 27

4.1.2 Metafora ... 33

4.1.3 Sirkumlokusi ... 39

4.1.4 Pelesapan ... 44

4.1.5 Jargon ... 46

4.1.6 Sebagian untuk keseluruhan ... 50

4.1.7 Metafora ... 54

4.2 Fungsi Eufemisme... 57

4.2.1 Sapaan atau Penamaan kepada Tuhan ... 57

4.2.2 Sapaan atau Penamaan kepada Orang ... 59

4.3 Makna Eufemisme ... 61

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 65

5.2 Saran ... 65

DAFTAR PUSTAKA ... 67

LAMPIRAN 1: DATA PENELITIAN ... 69

LAMPIRAN 2: DATA INFORMAN... 101


(10)

(11)

(12)

‘ bar/palang

→ mendominasi

[] batas konstituen

DAFTAR SINGKATAN

AKT aktif

DEM demonstrativa

HG huhuasi di gareja

Jm jamak

KK kepala keluarga

Konj konjungsi

M mangulosi

Mis misalnya

PART partikel

PP patortor parumaen

Pos posesif

PPU pardalan ni pesta unjuk

PREP preposisi

PS panganon sibuha-buhai


(13)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Kajian mengenai makna (semantik) adalah kajian yang tidak pernah ada habisnya, khususnya di kalangan akademisi yang bergelut di bidang linguistik. Terlihat makin banyak tulisan ataupun buku-buku yang mengkaji masalah makna, termasuk masalah eufemisme (penghalusan bahasa) (lihat Djajasudarma, 1993:27; Pateda, 2001:238; dan Chaer, 2007:284). Hal ini dapat dimengerti karena makna atau maksud yang termuat dalam tuturan manusia, baik yang disampaikan secara eksplisit maupun yang disampaikan secara implisit, merupakan bagian dari aktivitas berkomunikasi manusia dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam menyampaikan maksud, setiap orang berusaha menggunakan kosakata yang baik supaya tidak menimbulkan kesalahpahaman orang lain. Tidak jarang digunakan juga istilah-istilah lain yang semakna agar terdengar lebih santun sesuai dengan nilai budaya yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan. Dalam literatur, istilah-istilah ini dinamakan eufemisme (Kridalaksana, 1984:48; Tarigan, 1985:143, Chaer, 1994:144; dan Ohoiwutun, 2007: 21) yang digunakan untuk ‘melembutkan’ arti suatu ungkapan/tuturan agar penuturnya dipandang lebih sopan dan berbudaya.

Penggunaan eufemisme dalam kehidupan masyarakat Batak Toba

merupakan suatu gejala umum. Dalam masyarakat Batak Toba terdapat sistem Dalihan na Tolu ‘tungku yang tiga’, yaitu hula-hula ‘orangtua istri’, dongan tubu


(14)

teman lahir’ atau ‘saudara yang semarga’, dan boru ‘anak perempuan’ atau ‘saudara perempuan ayah dan suami’, yang membatasi hubungan antarpenutur dan yang membatasi pilihan tutur dalam berkomunikasi, baik dalam situasi formal (misalnya di kantor) maupun dalam situasi nonformal (misalnya, di rumah). Sistem dalihan na tolu bahkan berperan penting dalam upacara adat, seperti pada peristiwa kematian dan peristiwa perkawinan, pada masyarakat Batak Toba.

Setiap penutur bahasa Batak Toba yang menghadiri upacara adat harus dapat menempatkan diri dengan baik pada situasi yang dihadapinya. Mereka juga mesti mampu memilih tuturan yang tepat untuk menghindari terjadinya salah pengertian. Bisa dipastikan bahwa pelaksanaan acara adat dalam masyarakat Batak Toba tidak terlepas dari penggunaan kata-kata eufemisme. Pertimbangkan tuturan perkawinan di bawah ini.

(1) […]; dengke si-mudurudur

[…]; ikan si-mudurmudur PART DEM Konj, Konj semoga bersama do i huhut, asa sai rap mudurudur ma hamu nian ma- nuju tu na uli dohot na serentak PART 2.Jm AKT-nuju PREP yang indah Konj yang denggan [….] (PS.210)

baik [….]

‘inilah ikan simudurudur, biarlah kalian senantiasa bersama/serentak menuju hal-hal yang baik’

(2) Hamu angka na - pinar- sangap-an, angka aman- ta raja 2.jm para yang- 1.Tg - mulia-kan, para bapak-1.Jm raja

dohot angka inan-ta

Konj para ibu- 1.Jm permaisuri

soripada. (HG.211)

‘Para tamu yang saya muliakan, bapak raja dan ibu permaisuri’.

(3) Bosur mangan na godang mokmok mangan na otik. (PPU.222)

kenyang makan yang banyak gemuk makan yang sedikit. ‘Kenyang jika makan banyak gemuk jika makan sedikit’


(15)

Ungkapan dengke simudurudur pada contoh (1) di atas merupakan eufemisme dari sifat manusia yang digambarkan melalui karakter sekelompok ikan. Orangtua pengantin perempuan yang mengungkapkan kalimat tersebut berharap kedua pengantin senantiasa bersama-sama untuk hal-hal yang baik. Kehidupan berumah tangga yang akur dan serasi dikiaskan dengan ungkapan

dengke simudurudur, yaitu sekelompok ikan yang berenang bersama-sama

(searah).

Pada contoh (2), ungkapan angka amanta raja dohot inanta soripada merupakan sebuah eufemisme. Penggunaan kata raja ‘raja’ dan soripada ‘permaisuri’ biasanya tidak digunakan oleh masyarakat Batak Toba dalam kehidupan sehari-hari (hanya digunakan pada berbagai upacara adat). Para tamu yang diundang, khususnya hula-hula (keluarga dari istri), pada suatu acara adat sangat dihormati. Tuan rumah menyebutnya raja dan permaisuri. Di antara ketiga elemen dalihan na tolu (hula-hula, dongan tubu, dan boru), hula-hula memiliki status sosial tertinggi dalam pergaulan dan adat istiadat Batak. Ini berarti bahwa penggunaan eufemisme dalam upacara perkawinan memiliki fungsi sosial yang dipahami oleh partisipan yang terlibat dalam tuturan.

Pada contoh (3), ungkapan Bosur mangan na godang mokmok mangan na

otik, mengandung eufemisme sebab menyiratkan makna tertentu di luar makna

harfiahnya. Dengan mengatakan mokmok mangan na otik ‘gemuk jika makan sedikit’, jelas bahwa tidak mungkin orang menjadi gemuk kalau makanan yang dikonsumsinya sedikit. Dengan demikian, penting disingkap jenis makna yang


(16)

Penggunaan eufemisme pada setiap tuturan tidak semata-mata untuk menghindari kesan kasar atau tabu. Dalam budaya masyarakat Batak Toba, eufemisme yang digunakan juga mempunyai fungsi tertentu. Misalnya sebagai sapaan atau penamaan terhadap seseorang ataupun Tuhan.

Dari beberapa contoh di atas terlihat jelas bahwa eufemisme digunakan dalam berbagai tuturan perkawinan. Pemakaian eufemisme ini sangat menarik untuk dikaji sebab terdapat dalam tuturan perkawinan, yang merupakan salah satu bentuk upacara adat yang masih dipertahankan oleh masyarakat Batak Toba.

Penelitian eufemisme sudah pernah dikerjakan; misalnya Faridah (2002) dalam tesisnya Eufemisme dalam Bahasa Melayu Serdang, Andayani (2005) dalam tesisnya “Eufemisme dalam Upacara Perkawinan Adat Jawa Nemokke di Medan”, Rubby dan Dardanila (2008) dalam artikel yang berjudul Eufemisme

pada Harian Seputar Indonesia. Sejauh yang diamati, eufemisme dalam bahasa

Batak Toba belum pernah diteliti, khususnya eufemisme pada tuturan perkawinan. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat mengungkapkan berbagai aspek eufemisme dalam bahasa Batak Toba.

1.2Masalah

Masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Tipe-tipe eufemisme apa sajakah yang terdapat dalam tuturan perkawinan masyarakat Batak Toba?

2. Bagaimanakah fungsi eufemisme dalam tuturan perkawinan masyarakat Batak Toba?


(17)

3. Apakah makna eufemisme dalam tuturan perkawinan masyarakat Batak Toba?

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi tipe-tipe eufemisme pada tuturan perkawinan masyarakat Batak Toba;

2. Menjelaskan fungsi eufemisme pada tuturan perkawinan masyarakat Batak Toba; dan

3. Mendeskripsikan makna eufemisme pada tuturan perkawinan masyarakat Batak Toba.

1.4Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoretis

Manfaat teoretis dalam penelitian ini ialah:

1. Menambah pengetahuan dan wawasan pembaca tentang penggunaan eufemisme pada tuturan perkawinan masyarakat Batak Toba.

2. Menjadi sumber masukan bagi peneliti lain dalam mengkaji eufemisme dalam masyarakat Batak Toba.

1.4.2 Manfaat Praktis

Manfaat praktis dalam penelitian ini ialah:

1 Sebagai sumber informasi bagi pemerintah daerah mengenai penggunaan eufemisme dalam bahasa Batak Toba.

2 Sebagai upaya pelestarian tuturan perkawinan dalam masyarakat Batak Toba.


(18)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1Konsep

Ada tiga konsep yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu eufemisme, tuturan, dan perkawinan. Ketiga konsep itu perlu dibatasi untuk menghindari salah tafsir bagi pembaca.

Allan dan Burridge (1991:14) mengatakan bahwa eufemisme adalah bentuk pilihan dalam mengungkapkan sesuatu yang tidak berkenan dan digunakan untuk menghindarkan rasa malu (kehilangan muka). Bentuk ungkapan yang tidak berkenaan tersebut dapat berupa tabu, ketakutan, tidak disenangi, atau alasan-alasan lain yang berkonotasi negatif untuk dipakai (dipilih) dengan tujuan berkomunikasi oleh penutur pada situasi tertentu (bdk Kridalaksana, 1984:48; Chaer, 1994:27; Pateda, 2001:238).

Eufemisme dibagi atas tiga kategori, yakni baik, buruk, dan manipulasi kenyataan (Sutarno dalam Andayani, 1988:15). Kategori baik berhubungan dengan sopan santun. Misalnya, jika seseorang kencing atau berak, lebih sopan jika dikatakan hendak ke belakang. Kategori buruk digunakan untuk memanipulasi makna sebenarnya dan bersifat politis. Contohnya, ungkapan harga naik diganti dengan disesuaikan atau kelaparan diganti dengan rawan gizi.

Kategori lain ialah manipulasi kenyataan. Kategori ini biasanya digunakan untuk menghindari kesan negatif dari lawan tuturnya. Contoh, seorang anak yang


(19)

nakal dikatakan bahwa anak itu hiperaktif. Kesan orang lain lebih positif terhadap istilah hiperaktif daripada langsung mengatakan bahwa si anak tersebut nakal.

Tuturan atau sering disebut peristiwa tutur adalah terjadinya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan penutur dan mitra tutur, dengan satu pokok tuturan di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu (Kridalaksana, 1984:200; Leech, 1993:20; Chaer dan Leonie Agustina, 1995:47).

Perkawinan merupakan saat peralihan dari tingkat hidup remaja ke tingkat hidup berkeluarga (Koentjaraningrat, 1985:90). Perkawinan termasuk masa peralihan hidup yang terpenting dari semua manusia di seluruh dunia. Hampir semua kelompok etnis mengakuinya dengan berpedoman kepada nilai, aturan dan kegiatan yang berhubungan dengan tahap tersebut. Pada beberapa etnis, masa ini ditandai dengan berbagai jenis upacara untuk mematangkan kepribadian si individu.

2.1Landasan Teori

Allan dan Burridge (1991) mengemukakan bahwa eufemisme mempunyai beberapa tipe. Tipe-tipe eufemisme itu adalah sebagai berikut:

1. Ekspresi figuratif, yaitu bersifat perlambangan, ibarat, atau kiasan. Contoh: go to the happy huntinggrounds ‘pergi ke tanah pekuburan yang menyenangkan’ → die ‘meninggal’

2. Metafora, yaitu perbandingan yang implisit di antara dua hal yang berbeda.


(20)

Contoh: the miraculous pitcher that holds water with the mouth

downwards ‘tempat air yang menakjubkan dengan mulut yang

menghadap ke bawah’ → vagina ‘vagina’

3. Flipansi (Flippancy), yaitu makna di luar pernyataan.

Contoh: kick the bucket ‘menendang ember’ → die ‘meninggal’ 4. Pemodelan ulang (Remodeling), yaitu pembentuk ulang.

Contoh: basket ‘keranjang’ → bastard ‘bajingan’

5. Sirkumlokusi (Cirkumlocutions), yaitu penggunaan beberapa kata yang lebih panjang atau bersifat tidak langsung.

Contoh: little girl’s room ‘ruang gadis kecil’ → toilet ‘toilet’ 6. Kliping (Clipping), yaitu pemotongan atau pemenggalan.

Contoh: brassiere ‘bh’ → bra ‘bh’

7. Akronim, yaitu penyingkatan atas beberapa kata menjadi satu.

Contoh: commfu ‘commfu’ → complete monumental military fuck up ‘monumen kemiliteran’

8. Abreviasi, yaitu penyingkatan kata-kata menjadi beberapa huruf. Contoh: S.O.B → son of bitch ‘anak seorang pelacur’

9. Pelesapan (Omission), yaitu penghilangan sebagian kecil.

Contoh: I need to go ‘saya mau pergi’ → I need to go to the lavatory ‘saya mau pergi ke kamar mandi’

10.Penggantian kata per kata (one for one substitutions). Contoh: bottom ‘dasar’ → ass ‘pantat’


(21)

11.Hipernim (general for specific), kata yang umum menjadi kata yang khusus.

Contoh: go to bed ‘pergi tidur’ → fuck ‘bersenggama’

12.Hiponim (part for whole eupheisms), yaitu kata yang khusus menjadi kata yang umum.

Contoh: stuffed up nose, postnasal drip running eyes ‘hidung tersumbat, ingusan, mata berair’→ I’ve got cough ‘saya demam’ 13.Hiperbola, yaitu ungkapan yang berlebihan.

Contoh: flight to glory ‘terbang ke tempat yang nyaman (surga)’ death ‘meninggal’

14.Makna di luar pernyataan (understatement), yaitu satu makna kata yang terlepas dari makna kata tersebut.

Contoh: genitals, bulogate etc ‘alat kelamin, kasus, dll’ → thing ‘sesuatu’

15.Jargon, yaitu kata yang memiliki makna yang sama tetapi berbeda bentuk.

Contoh: feces ‘kotoran (istilah medis)’ →shit ‘tahi’ 16.Kolokial, yaitu ungkapan yang dipakai sehari-hari.

Contoh: period ‘periode’ → menstruation ‘menstruasi’

Selanjutnya, Allan dan Burridge (1991) menyebutkan empat fungsi eufemisme, yaitu:


(22)

Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat selalu berhubungan dengan kata sapaan. Kata sapaan yang digunakan bergantung pada usia dan kedudukan penyapa dan pesapa. Kata sapaan yang lazim digunakan ditujukan untuk menyebutkan: nama Tuhan (mis: Adonai ‘Adonai’ → lord ‘Tuhan’), nama binatang buas (mis: bear ‘beruang’ → the honey eater ‘pemakan madu’), dan nama yang berhubungan dengan kegiatan berisiko (hazardous persuits) (mis: pro vovka pomovka a vovk u khatu

(2) Menghindari tabu

, “one speaks of the wolf and it runs into the house”).

Kata tabu merujuk pada tindakan yang dilarang atau dihindari. Dalam masyarakat kata-kata yang berkonotasi seks dianggap tabu sehingga tidak boleh digunakan di tengah-tengah masyarakat. Kata-kata tabu juga terdapat pada bagian tubuh(body-parts), bagian tubuh khusus (bodily effluvia), haid, penyakit, cacat mental dan tubuh, yang dikeluarkan tubuh (body’s waste products), kematian, dan seni.

(3) Pemarkah identitas (gender)

Kehidupan bermasyarakat tidak terlepas dari status sosial. Setiap masyarakat mempunyai kedudukan (jabatan) dan kemampuan ekonomi yang berbeda-beda. Oleh karena itu, dalam komunikasi sehari-hari juga ditemukan sebutan yang berbeda kepada setiap orang sesuai dengan kedudukannya masing-masing. Contohnya terdapat pada ungkapan di bawah ini.

underprivileged sounds much better than “poor and needy “diberi hak istimewa” kedengaran lebih baik daripada “miskin”


(23)

senior citizens rather than “old people

“warga negara yang paling tua” kedengaran lebih baik daripada “orang tua”

Selain berbicara mengenai tipe dan fungsi eufemisme, Allan dan Burridge (1991) juga menyinggung makna eufemisme. Adapun makna eufemisme yang dikemukakan oleh Allan dan Burridge berhubungan dengan makna atau tujuan sebuah tuturan. Di dalam mengatakan suatu kalimat, seseorang (penutur) tidak semata-mata mengatakan sesuatu dengan pengucapan kalimat itu. Di dalam pengucapan kalimat, ia (penutur) juga “menginginkan” sesuatu. Oleh karena itu, makna suatu ucapan atau kalimat tergantung pada pemakaiannya.

Searle (dalam Wijana, 1996) mengemukakan bahwa secara pragmatis setidak-tidaknya ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yaitu:

a. Lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan atau menginformasikan

sesuatu.

b. Ilokusi adalah tindak tutur yang tidak hanya digunakan untuk

menginformasikan sesuatu, tetapi juga melakukan sesuatu.

c. Perlokusi adalah tindak tutur yang pengutaraannya dimaksudkan untuk

mempengaruhi lawan tutur.

Tindak tutur lokusi memiliki makna secara harfiah, seperti yang dimiliki oleh komponen-komponen kalimat itu. Tindak tutur dengan kalimat yang sama mungkin dipahami secara berbeda oleh pendengar. Makna sebagaimana ditangkap oleh pendengar ini adalah makna tindak tutur ilokusi. Sebaliknya, penutur juga


(24)

mempunyai harapan bagaimana pendengar akan menangkap makna sebagaimana yang dimaksudkannya. Makna ini disebut tindak tutur perlokusi (Chaer dan Leonie Agustina, 1995: 54)

Dari ketiga jenis tindak tutur di atas, ilokusi adalah tindak tutur yang paling dekat dengan eufemisme. Dalam penelitian ini makna eufemisme difokuskan pada tindak ilokusi. Pada ilokusi, pendengar sering tidak memahami makna yang terkandung dalam tuturan yang diutarakan penutur. Hal ini terjadi karena makna kalimat yang diujarkan tergantung dari konteksnya. Makna kalimat tersebut berbeda dengan makna harfiah seperti yang dimiliki oleh komponen-komponen kalimat itu.

Kalau dilihat dari konteks situasinya ada dua macam tindak tutur, yaitu tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung. Tindak tutur langsung mudah dipahami oleh pendengar karena ujarannya bermakna lugas. Misalnya, kalimat berita difungsikan untuk memberitakan sesuatu, kalimat tanya untuk bertanya, dan kalimat perintah untuk menyuruh, mengajak, memohon, dsb. Dalam tindak tutur tidak langsung, kalimat perintah dapat digunakan dengan kalimat berita atau kalimat tanya untuk melembutkan tuturan. Tuturan yang diutarakan secara tidak langsung (mis, dengan kalimat tanya) biasanya tidak dapat dijawab secara langsung, tetapi harus segera dilaksanakan maksud yang terimplikasi di dalamnya (Wijana, 1996:31)

Berbicara mengenai kalimat terdapat tiga jenis kalimat berdasarkan tatabahasa tradisional, yaitu (1) kalimat deklaratif (kalimat berita), (2) kalimat interogatif (kalimat tanya), dan (3) kalimat imperatif (kalimat perintah).


(25)

Selanjutnya, Austin (dalam Chaer dan Agustina, 1995) membedakan kalimat deklaratif menjadi kalimat konstatif dan kalimat performatif. Kalimat konstatif adalah kalimat yang berisi pernyataan belaka, misalnya, “Kepala sekolah kami tampan sekali”. Kalimat performatif adalah kalimat yang berisi perlakuan. Misalnya, kalau seorang menteri perhubungan mengatakan, “Saya umumkan bahwa tarif angkutan lebaran tidak mengalami kenaikan”, makna kalimat itu adalah apa yang diucapkannya.

Selanjutnya, kalimat performatif dibagi atas lima kategori, yaitu (1) kalimat verdiktif adalah kalimat yang menyatakan keputusan atau penilaian, misalnya, Kami menyatakan terdakwa bersalah; (2) kalimat eksersitif adalah kalimat yang menyatakan perjanjian, nasihat, peringatan, dan sebagainya, misalnya, Kami harap kalian datang tepat waktu; (3) kalimat komisif adalah kalimat yang dicirikan dengan perjanjian, misalnya, Besok kita pergi berenang; (4) kalimat behatitif adalah kalimat yang berhubungan dengan tingkah laku sosial karena seseorang mendapat keberuntungan atau kemalangan, misalnya, Saya

mengucapkan selamat atas kelahiran anak Anda; (5) kalimat ekspositif adalah

kalimat yang memberi penjelasan, keterangan atau perincian kepada seseorang, misalnya, Saya jelaskan kepada Anda bahwa mereka bukan pencuri.

Kalimat seperti

(4a) “Saya kemarin tidak dapat hadir”,

apabila dipandang dari aspek lokusinya, memberitahukan bahwa kemarin ia tidak dapat menghadiri acara temannya tersebut. Kalau dipandang dari aspek ilokusinya, kalimat itu merupakan permohonan maaf karena telah diundang,


(26)

tetapi ia tidak dapat hadir pada saat yang sudah ditentukan. Perlokusidari ucapan itu dapat membuat pendengarnya memaafkannya (dengan berkata, “Ya, tidak apa-apa”) atau bersikap tak peduli (diam dan tidak menunjukkan ekspresi memaafkan).

Dari segi konteksnya kalimat di atas merupakan tindak tutur tidak langsung. Hal ini terlihat dari penggunaan kalimat tersebut (kalimat berita) yang seolah-olah hanya memberitahukan temannya bahwa kemarin ia tidak dapat hadir. Padahal, si penutur hendak memohon maaf dan seharusnya ia menggunakan kalimat perintah (imperatif). Untuk membuktikan kebenarannya, perhatikan contoh di bawah ini sebagai perluasan dari kalimat tersebut:

(4b) “Saya minta maaf, karena kemarin tidak dapat hadir.” atau seperti kalimat berikut.

(4c) “Saya kemarin tidak dapat hadir, ada urusan mendadak. Oleh karena itu, saya mohon maaf.”

2.3 Tinjauan Pustaka

Beberapa hasil penelitian yang ditinjau dalam penelitian ini diterangkan sebagai berikut. Faridah (2002) dalam tesisnya Eufemisme dalam Bahasa Melayu

Serdang menjelaskan bentuk, fungsi, dan makna eufemisme. Faridah

menggunakan pandangan Allan dan Burridge (1991) dalam menjawab permasalahan penelitiannya. Dalam penelitiannya, Faridah menggunakan data tulis dan data lisan. Data tulis diperoleh dari buku-buku pantun bahasa Melayu, sedangkan data lisan diperoleh dari percakapan penutur jati. Untuk mendapatkan data digunakan metode cakap atau metode wawancara dengan teknik dasar berupa


(27)

teknik pancing dan teknik cakap semuka, teknik rekam, dan teknik catat. Selanjutnya, dalam menganalisis data digunakan metode agih, metode padan dan metode pragmatik. Dalam menganalisis makna digunakan metode pragmatik, dengan alat penentu mitra wicara.

Menurut Faridah, bentuk-bentuk eufemisme dalam bahasa Melayu Serdang terdiri atas (1) ekspresi figuratif (mis: hujanlah hari rintik-rintik, tumbuh cendawan gelang kaki, kami seumpama telor itik, kasih ayam maka menjadi), (2) metafora (mis: angin lalu membawa berita), (3) satu kata untuk menggantikan kata yang lain (mis: penganten ‘lipan’) , (4) umum ke khusus (mis: burung salah name ‘burung punai), (5) hiperbola (mis: akan kubawe ke liang kubor ‘akan kubawa sampai ke liang kubur’), dan (6) kolokial (mis: bawe bulan ‘haid’).

Fungsi-fungsi eufemisme dalam bahasa Melayu Serdang berupa (1) sapaan dan penamaan (mis: Pakcik bapak’), (2) penghindaran tabu (mis: punai ‘alat kelamin laki-laki’), (3) menyatakan cara eufemisme digunakan (mis: awak

udah haus kali ne, bagilah minom ‘seorang tamu minta minum dengan cara

halus’, dan (4) menyatakan situasi (mis: nenek/datuk ‘harimau’). Makna eufemisme berkaitan dengan (1) penutur dan lawan tutur (mis: sireh besusun pinang belonggok, tepak bebaris memanggu sape, anak beru menunggu izin, dari keluarga Datok Husny mulie ‘sirih bersusun pinang berlonggok, tepak berbaris menunggu sapa, anak beru menunggu izin, dari keluarga Datuk Husny mulia), (2) konteks tuturan (mis: kalau rumah tide berpintu, dimane arah boleh disingkap, kalau puan kate begitu, inilah kunci due serangkap ‘kalau rumah tidak berpintu, di mana arah boleh disingkap, kalau puan kata begitu, inilah kunci dua


(28)

serangkap’), (3) tujuan tuturan (mis: same umor dah setahun jagung ‘sama umur sudah setahun jagung’, sama darah setampok pinang ‘sama darah setampuk pinang’, same akal tumboh ke luar ‘sama akal tumbuh ke luar’), (4) tuturan sebagai bentuk tindak atau aktivitas (mis: lancang kuning berlasyar malam, arus deras karangnye tajam, jika mualem kurang paham, alamat kapal akan

tenggelam ‘lancang kuning berlayar malam, arus deras karangnya tajam, jika

mualim kurang paham, alamat kapal akan tenggelam’), dan (5) tuturan sebagai bentuk tindak verbal (mis: Teruna sudah lelah ‘Teruna sudah lelah’).

Andayani (2005) dalam tesisnya “Eufemisme dalam Upacara Perkawinan Adat Jawa Nemokke di Medan” mengkaji tipe-tipe eufemisme, fungsi eufemisme, makna eufemisme, serta pola sosiolinguistik penggunaan eufemisme dalam prosesi Nemokke. Ia menggunakan pandangan Allan dan Burridge (1991) untuk menjelaskan masalah penelitian. Data dikumpulkan dengan metode wawancara yang didukung teknik rekam dan teknik catat, tetapi kurang jelas berapa jumlah desa yang dijadikan sebagai daerah pengamatan.

Menurut Andayani, tipe-tipe eufemisme dalam upacara perkawinan Jawa Nemokke terdiri atas (1) metafora (mis: golek sandang lan pangan ‘mencari pakaian dan makanan’ atau ‘nafkah’), (2) satu kata menggantikan kata yang lain (mis: wal lang ‘lepas hitungan’ atau ‘segala sesuatu harus diperhitungkan’), (3) hiperbola (mis: satrio bagus ‘ksatria baik’ atau ‘suami’), dan (4) ekspresi figuratif (mis: wes ngentok ake kembar mayang ponco worno ‘sudah bertemu dengan bunga lima warna’ atau ‘menikah’). Selanjutnya, eufemisme berfungsi sebagai


(29)

sapaan (mis: guru laki ‘suami’) dan menghindari tabu (mis: kembar sekar mayang ponco worno ‘perawan’.

Perlu dicatat bahwa Andayani tidak menetapkan satu teori yang pasti untuk mencari makna eufemisme. Makna metaforis dari setiap ungkapan dia jadikan sebagai makna eufemisme. Pola sosiolinguistik meliputi bentuk-bentuk keteraturan dalam penggunaan bahasa yang berhubungan dengan faktor-faktor seperti jenis kelamin, usia, dan pengalaman. Penggunaan eufemisme berdasarkan jenis kelamin tidak menghasilkan pola tertentu (perbedaan). Dari segi usia dan pengalaman, ahli nemokke yang tua (di atas 60 tahun) cenderung lebih berpengalaman daripada mereka yang masih muda dan ahli nemokke yang berpengalaman itu lebih banyak memberikan nasihat daripada yang belum berpengalaman.

Selanjutnya, Rubby dan Dardanila (2008) dalam artikel yang berjudul “Eufemisme pada Harian Seputar Indonesia” membahas bentuk-bentuk eufemisme dan frekuensi pemakaiannya. Rubby dan Dardanila juga menggunakan pandangan Allan dan Burridge (1991). Data penelitiannya bersumber dari harian Seputar Indonesia edisi Juni-Juli 2007, yang dikumpulkan dengan menggunakan metode simak. Selanjutnya, data dianalisis dengan menggunakan metode agih dan metode deskripsi.

Menurut Rubby dan Dardanila, ada tujuh bentuk eufemisme pada harian Seputar Indonesia, yaitu (1) ekspresi figuratif (mis: Nasib Mpseda di PSMS berada di ujung tanduk ‘berada dalam situasi yang kritis atau keadaan genting’), (2) flipansi (mis:…kader yang tidak mengindahkan peraturan organisasi ‘tidak


(30)

menaati peraturan yang telah ditetapkan’), (3) sirkumlokusi (mis: Pemain Timnas

Indonesia tak boleh terperangkap dalam permainan dan perang kata yang

dilontarkan Arab Saudi ‘terprovokasi atau terpancing emosi’), (4) singkatan (mis: PSK (Pekerja Seks Komersial) ‘pelacur’), (5) satu kata untuk menggantikan satu kata yang lain (mis: Lembaga Permasyarakat (LP) ‘penjara’, ‘bui’, atau ‘rumah tahanan’) , (6) umum ke khusus (mis: gugur ‘mati’, ‘meninggal’), dan (7) hiperbola (mis: Barna belum juga puas, kembali menghujani tubuh pria malang itu bertubi-tubi

Penelitian tentang jenis-jenis tuturan pada upacara adat perkawinan dilakukan oleh Hutapea (2007) dalam skripsinya Tuturan pada Upacara Adat

Perkawinan Masyarakat Batak Toba. Data penelitiannya bersumber dari penutur

jati bahasa Batak Toba dan sejumlah data tulis. Data dikumpulkan dengan metode simak dan dianalisis dengan metode padan pragmatik dengan alat penentu mitra wicara. Hutapea menyimpulkan bahwa tuturan yang paling dominan dalam upacara adat perkawinan masyarakat Batak Toba adalah tuturan direktif.

‘ditikam’ atau ‘dibacok’.

Penelitian di atas memberikan kontribusi dalam metode dan data bahasa Batak Toba. Metode wawancara atau metode simak juga diterapkan dalam penelitian ini. Data bahasa Batak Toba yang mengandung eufemisme misalnya,

nunga ojak parsaripeon i marhite ugamo, hot ma antong sipanganon na

hupasahat hami, uli ma roha muna manjalo” ‘sudah sah rumah tangga itu


(31)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini dilakukan sejak 25 Mei hingga 25 Juni 2013 di Desa Hutajulu, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan. Desa Hutajulu merupakan salah satu desa dari sepuluh desa yang terdapat di Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan. Desa lain di Kecamatan Pollung adalah Desa Ria-ria, Desa Parsingguran I,Desa Parsingguran II, Desa Pollung, Desa Huta Paung, Desa Pansur Batu, Desa Sipitu Huta, Desa Pandumaan, Desa Aek Nauli I, dan Desa Aek Nauli II. Desa Hutajulu berbatasan dengan Desa Hutagalung, Kecamatan Harian, Kabupaten Samosir di sebelah Utara, di sebelah Timur berbatasan dengan Desa Ria-ria, di sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Huta Paung Utara, dan di sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Parlilitan. Desa Hutajulu dibagi menjadi tiga dusun yang dihuni oleh 185 KK (dusun I), 90 KK (dusun II), dan 189 KK (dusun III) (BPS, 2011). Sampai saat ini penduduk Desa Hutajulu masih menggunakan bahasa Batak Toba sebagai sarana komunikasi. Bahasa yang digunakan masih murni dan belum terkontaminasi. Hal inilah yang melatarbelakangi peneliti untuk menetapkan desa tersebut sebagai lokasi dalam penelitian ini.

Desa Hutajulu memiliki luas 4.025,5 ha (termasuk pertanian, perkebunan, pemukiman, dan pekuburan). Jarak Desa Hutajulu ke ibu kota kecamatan adalah 4 km dan jarak Desa Hutajulu ke ibu kota kabupaten adalah 15 km. Perjalanan dari


(32)

ibu kota kabupaten dan ibu kota kecamatan ke Hutajulu dapat ditempuh dengan transportasi darat, seperti angkutan umum, mobil, sepeda motor, dan kendaraan roda tiga. Waktu tempuh dari ibu kota kabupaten ke Desa Hutajulu adalah 50 menit dan dari ibu kota kecamatan adalah 20 menit (BPS, 2011). Letak Desa Hutajulu dapat dilihat pada peta di bawah ini.

PETA KECAMATAN POLLUNG KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN

Gambar 3.1 Peta lokasi penelitian. (Kantor Camat, Hutapaung)


(33)

Gambar 3.2 Desa Hutajulu

Penduduk Desa Hutajulu berjumlah 2.217 orang atau sekitar 454 KK, 1.072 perempuan dan 1.145 laki-laki. Pekerjaan dan tingkat pendidikan penduduk Desa Hutajulu dapat dilihat dalam tabel berikut (BPS, 2011).

Tabel 3.1 Pekerjaan Penduduk

Pekerjaan Jumlah/jiwa

Petani 878

PNS 35

Montir 3

Bidan Swasta 3

Pensiunan 8


(34)

Penduduk Desa Hutajulu menjunjung tinggi nilai budaya. Hal ini dapat dilihat dari berbagai acara adat yang diselenggarakan mulai dari acara pernikahan, memasuki rumah baru, kelahiran anak, dan acara penguburan yang masih diadakan hingga saat ini. Desa Hutajulu termasuk desa yang belum maju. Penduduk desa Hutajulu belum mampu mengolah sumber daya alam yang ada dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari jumlah pendapatan penduduknya yang hanya berjumlah sekitar Rp12.000.000 per tahun. Namun, meskipun Desa Hutajulu belum begitu maju, desa ini sudah menggunakan listrik. Selain itu, di desa ini juga telah terdapat sekolah dan Puskesmas atau Polindes.

Penelitian ini menggunakan data lisan dan data tulisan. Data lisan dikumpulkan dari penutur jati bahasa Batak Toba. Untuk mengumpulkan data lisan digunakan metode cakap dan teknik dasar berupa teknik pancing. Teknik ini dilanjutkan dengan teknik cakap semuka. Dalam teknik ini dipersiapkan sejumlah daftar pertanyaan sebagai panduan dalam pengumpulan data. Teknik cakap semuka didukung oleh teknik rekam, dan teknik catat, yakni mencatat segala data yang dianggap perlu untuk menjadi data penelitian (Sudaryanto, 1993:135).

Informan dalam penelitian ini dipilih dari keluarga kedua belah pihak yang mengadakan upacara perkawinan khususnya mereka yang sering ditunjuk sebagai raja parhata ‘juru bicara’ dari pihak pengantin laki-laki maupun dari pihak pengantin perempuan dalam setiap upacara perkawinan masyarakat Batak Toba. Para tamu/undangan juga dapat dijadikan sebagai informan asalkan orang yang dipilih memenuhi kriteria sebagai informan yang baik dan mampu memberikan


(35)

informasi seperti yang diharapkan oleh peneliti. Informan dalam penelitian ini dipilih berdasarkan syarat-syarat berikut ini.

1. Berjenis kelamin pria atau wanita; 2. Berusia antara 25-65 tahun;

3. Jarang atau tidak pernah meninggalkan desanya;

4. Berpendidikan minimal tamat pendidikan dasar (SD-SLTP); 5. Menguasai bahasa dan budaya Batak Toba dengan baik;

6. Memiliki kebanggaan terhadap isolek dan masyarakat isoleknya; 7. Sehat jasmani dan rohani (Mahsun, 1995:106).

Informan dalam penelitian ini berjumlah tiga orang, dua laki-laki dan satu perempuan (lihat lampiran 2). Rumah informan berdekatan dengan rumah penulis hal ini bertujuan untuk mempermudah proses wawancara sebab wawancara tidak dapat diadakan tiap saat.

Data tulis diperoleh dari buku Jambar Hata Dongan tu Ulaon Adat (Sihombing, 1989) dan buku Sintaksis Bahasa Batak Toba (Sibarani, 1997). Untuk memperoleh data digunakan metode simak yang didukung oleh teknik catat (Sudaryanto, 1993: 133, 135).

3.2Metode dan Teknik Analisis Data

Data dianalisis dengan menggunakan metode agih, yang alat penentunya bagian dari bahasa. Teknik dasarnya berupa teknik bagi unsur langsung dan teknik lanjutan berupa teknik lesap, teknik ganti, dan teknik perluas (Sudaryanto, 1993:37). Penggunaan metode agih bertujuan untuk mengidentifikasi tipe-tipe,


(36)

fungsi, dan makna eufemisme. Salah satu cara untuk mengidentifikasi tipe eufemisme tampak pada contoh berikut:

(5a) Laos songon i do pangidoan nami mulai sadari on : Konj seperti DEM PART permintaan 1.Tg mulai hari DEM

si-satu hati PART 2.Jm, si-satu rencana si-satu kesepakatan si-sada roha ma hamu, si-sada tahi si-sada oloan

di saluhut siulaon dohot si-bahen-on-muna. PREP semua pekerjaan Konj si-buat-an-2.Jm.

(PS.209)

‘dan begitulah permintaan kami mulai hari ini: hendaklah kalian satu hati, satu tujuan, dan satu pendapat di setiap pekerjaan dan rencana kalian’

Kalimat di atas digolongkan ke dalam tipe sirkumlokusi, yaitu penggunaan beberapa kata yang lebih panjang atau bersifat tidak langsung. Pada contoh (5a) ungkapan sisada roha ma hamu, sisada tahi sisada oloan di saluhut siulaon dohot

sibahenonmuna bermakna pasangan pengantin senantiasa seia sekata dalam

segala keadaan. Apabila ungkapan itu diganti dengan maksud yang sebenarnya akan dihasilkan bentuk yang lebih singkat. Lihatlah perubahan berikut ini.

(5b) Laos songon i do pangidoan nami mulai sadari on : Konj seperti DEM PART permintaan 1.Tg mulai hari DEM sada ma roha muna

satu PART hati 2.Jm PREP semua pekerjaan Konj si-buat- an-2.Jm. di saluhut siulaon dohot si-bahen-on-muna. ‘dan begitulah permintaan kami mulai hari ini: hendaklah kalian satu hati

dalam setiap pekerjaan dan rencana kalian’. Bandingkan dengan contoh di bawah ini!

(6a) […] sai Tuhan-ta Parasi roha

[…] semoga Tuhan-1.Jm Pemurah hati DEM PART AKT-balas DEM i ma ma- malos i marlipat ganda tu hamu sude na

berlipat ganda PREP 2.Jm semua yang hu- parsangap-i hami.(HG.219)


(37)

‘biarlah Tuhan kita yang Mahakasih itu membalas berlipat ganda kepada kalian yang kami muliakan’.

Ungkapan Tuhanta parasi roha ‘Tuhan kita yang murah hati’ pada (6a) berfungsi sebagai sapaan dan penamaan. Ungkapan itu digunakan untuk menyapa Sang Pencipta (Tuhan). Bila ungkapan tersebut diganti bentuknya terlihat seperti di bawah ini.

(6b) […] sai Tuhan

[…] semoga Tuhan DEM PART AKT-balas DEM berlipat i ma ma- malos i marlipat ganda tu hamu sude na hu- parsangap-i hami. ganda PREP 2.Jm semua yang 1.Tg mulia- kan 2.Tg.

‘biarlah Tuhan membalas berlipat ganda kepada kalian yang kami muliakan’

Contoh lain seperti di bawah ini.

(7a) […] sai mar-neang ni langka dope hamu rap udur dohot hami […] semoga ber-ringan Pos langkah lagi 2.Jm bersama sejalan Konj 1.Jm

tu inganan parpestaan naung pi-narade ni hula-hulan-ta

PREP tempat pesta sudah di-sediakan Pos hula-hula- kita di [….] (HG.214)

PREP [….]

‘dengan senang hati ikut bersama-sama dengan kami ke tempat pesta diadakan’

Ungkapan sai mar-neang ni langka dope hamu rap udur

dohot hami tu….’(setelah acara dari gereja) masih ikut bersama-sama dengan

kami ke tempat acara pesta diadakan’ pada contoh di atas termasuk tindak tutur tidak langsung. Kalimat tersebut seolah-olah tidak bermaksud mengajak, tetapi hanya memberi tahu undangan bahwa setelah acara pemberkatan di gereja, masih ada acara selanjutnya yang akan dilaksanakan di rumah hula-hula ‘orangtua pengantin perempuan’. Padahal, penutur dalam kesempatan itu sebenarnya


(38)

mengharapkan kesediaan para undangan, mengajak, bahkan menyuruh mereka untuk tetap mengikuti setiap acara. Oleh karena itu, seharusnya penutur menggunakan kalimat eksersitif (kalimat yang menyatakan perjanjian, nasihat, peringatan, dan sebagainya). Jelasnya, perhatikanlah contoh di bawah ini sebagai perluasan dari kalimat di atas!

(7b) […] harap situtu roha-nami

[…] harap betul hati-1.Jm semoga ber-ringan Pos langkah lagi sai mar-neang ni langka dope hamu rap udur dohot hami

2.Jm bersama sejalan Konj 1.Jm PREP tempat pesta tu inganan parpestaan naung pi-narade ni hula-hulan-tadi [….]

sudah di-sediakan Pos hula-hula- kita PREP [….]

kami sangat berharap kesediaan kalian (undangan) untuk tetap ikut bersama dengan kami mengikuti acara selanjutnya’

3.3Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data

Metode dan teknik penyajian hasil analisis data dilakukan dengan dua cara, yakni metode formal dan metode informal. Metode informal adalah perumusan dengan kata-kata biasa, sedangkan metode formal adalah perumusan dengan tanda dan lambang-lambang (Sudaryanto, 1993:145). Penyajian secara formal tampak dalam penggunaan tanda di antaranya: tanda panah (→ ), tanda kurung biasa (()), dan tanda kurung siku ([]). Adapun lambang yang dimaksud di antaranya lambang huruf sebagai singkatan kata (AKT, DEM, PS, HHG), dan sebagainya.


(39)

BAB IV

EUFEMISME PADA TUTURAN PERKAWINAN MASYARAKAT BATAK TOBA

4.1 Tipe Eufemisme

Tipe-tipe eufemisme dalam bahasa Batak Toba dalam tulisan ini mengacu pada pandangan Allan dan Burridge (1991). Berikut dijelaskan tipe-tipe eufemisme pada tuturan perkawinan masyarakat Batak Toba.

4.1.1 Ekspresi Figuratif

Pada saat bertutur dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat selalu berusaha menanamkan kesan yang baik di mata orang lain (pendengar). Hal ini mendorong setiap orang untuk menggunakan kosakata yang baik dan tidak menyinggung perasaan pihak lain. Untuk itu, dalam menyampaikan gagasan/pendapatnya banyak orang sengaja menggunakan lambang-lambang atau kiasan agar lebih santun. Perhatikan contoh-contoh berikut.

(8a) Tangan ma- nomba ma dohot soara marhuhuasi

tangan AKT-sembah PART PREP suara bertutur PREP makanan di sipanganon na saotik na hu- boan hami on.(PS.204)

yang sedikit yang 1.Tg-bawa 1.Jm DEM.

‘berbicara dengan sangat hormat (menyembah) untuk menyampaikan makanan yang kami bawa ini’.

Pada contoh (8a) di atas, ungkapan tangan manomba ma dohot soara

marhuhuasi ‘tangan menyembah sambil berucap’ merupakan suatu lambang yang

digunakan untuk menyatakan bahwa paranak (pihak laki-laki) menyampaikan makanan kepada hulahula (pihak perempuan) dengan penuh hormat. Pada saat mengungkapkan kalimat tersebut, penutur tidak benar-benar berlaku seperti


(40)

digunakan sebagai gambaran kerendahan hati dan ketulusan penutur dalam menyampaikan makanan yang telah mereka sediakan sebelumnya. Apabila ungkapan tersebut diganti akan terlihat seperti bentuk berikut.

(8b) Dohot hormat

PREP hormat 1.Tg-sampaikan 1.Jm PART makanan hu- pasahat hami ma sipanganon na saotik na hu- boan hami on.

yang sedikit yang 1.Tg-bawa 1.Jm DEM

‘Dengan penuh rasa hormat kami menyampaikan makanan ini.’ Atau bisa juga disampaikan seperti bentuk berikut.

(8c) Dohot tangan manomba

PREP tangan menyembah 1.Jm serahkan 1.Jm PART makanan

hu- pasahat hami ma sipanganon na saotik na hu- boan hami on.

yang sedikit yang 1.Tg-bawa 1.Jm DEM

‘Dengan bersujud kami menyampaikan makanan ini.’ Contoh lain dapat kita lihat seperti berikut ini.

(9a) […] siala haroro muna tu bagas na badia […] sebab kedatangan 2.Jm PREP rumah yang kudus DEM

on mangadopi pamasumasuon ni anak dohot

menghadiri pemberkatan Pos anak Konj parumaen- nami.(HG.213)

menantu perempuan-1.Jm.

‘atas kedatangan kalian ke rumah ibadah ini untuk menghadiri pemberkatan anak dan menantu kami.’

Pada contoh di atas bagas na badia ‘rumah yang kudus’ digunakan untuk menggambarkan/menyebutkan gereja. Ungkapan ini tidak hanya digunakan pada acara perkawinan, dalam kehidupan sehari-hari juga sering digunakan oleh masyarakat Batak Toba. Oleh karena itu, ketika seseorang menggunakan frasa itu untuk menyebut gereja, pendengar telah mengerti maksud penuturnya. Apabila ungkapan tersebut diganti akan terbentuk seperti kalimat di bawah ini.


(41)

(9b) […] siala haroro muna tu gareja

[…] sebab kedatangan 2.Jm PREP gereja DEM menghadiri on mangadopi pamasumasuon ni anak dohot parumaen- nami. pemberkatan DEM anak Konj menantu perempuan-1.Jm.

‘atas kedatangan kalian ke gereja ini untuk menghadiri pemberkatan anak dan menantu kami.’

Selain ungkapan bagas na badia masyarakat Batak Toba juga sering menggunakan ungkapan bagas joro ni Tuhan ‘rumah Tuhan’ untuk menyebutkan gereja. Hal ini tampak pada contoh berikut.

(9c) […] siala haroro muna tu bagas joro ni Tuhan

[…] sebab kedatangan 2.Jm PREP rumah Pos Tuhan DEM menghadiri on mangadopi pamasumasuon ni anak dohot parumaen- nami.

pemberkatan Pos anak Konj menantu perempuan-1.Jm.

‘atas kedatangan kalian ke rumah Tuhan ini untuk menghadiri pemberkatan anak dan menantu kami’

Selanjutnya pada contoh (10a) berikut, ungkapan masiaminaminan songon

lampak ni gaol jala masitungkoltungkolan songon suhat di robean ‘saling

melengkapi seperti pelepah pisang dan saling menopang seperti keladi di pinggang bukit’ merupakan suatu perumpamaan yang digunakan hampir di setiap acara adat yang diselenggarakan oleh masyarakat Batak Toba. Dengan menyampaikan ungkapan ini, si penutur berharap di masa yang akan datang mereka (pendengar) berlaku seperti pokok pisang yang mampu tumbuh dan berdiri kokoh karena pelepahnya yang saling menutupi/berlapis-lapis (saling mendukung) dan seperti akar keladi yang mampu bertahan hidup di pinggang bukit karena akarnya tumbuh sambung menyambung (saling menopang).

(10a) […] tongtong ma hita sai

[…] selalu PART 1.Jm semoga saling memaafkan seperti pelepah Pos masiaminaminan songon lampak ni gaol jala masitungkoltungkolan songon suhat


(42)

di robean PREP tepi bukit

.(MS.331)

‘hendaklah kita senantiasa saling mendukung dan saling menopang’ Apabila diganti dengan makna yang sebenarnya akan terlihat seperti konstruksi di bawah ini.

(10b) […] tontong ma hita sai

[…] selalu PART 1.Jm semoga saling membujuk, saling menolong, masianjuan, masiurupan,

Konj saling mendoakan PREP setiap saat. jala masitangiangan di ganup tikki.

‘hendaklah kita senantiasa saling mendukung, saling menopang, dan saling mendoakan’

Masyarakat Batak Toba meyakini bahwa setiap pengantin baru yang telah resmi menjadi pasangan suami istri sesungguhnya telah menjadi satu. Mereka tidak lagi dua melainkan satu dalam segala hal dan satu untuk selamanya. Oleh karena itu, pada (11a) sada ma rohamuna songon daion aek unang mardua songon daion pola ‘hendaklah kalian sehati seperti rasa air tidak bermacam rasa seperti nira’ digunakan untuk melambangkan kehidupan pasangan pengantin baru agar tetap sehati dan sepikir seperti air yang hanya memiliki satu rasa yaitu tawar. (11a) […] asa

[…] Konj satu PART hati-2.Jm seperti rasa air jangan sada ma roha-muna songon daion aek unang mardua songon daion pola

berdua seperti rasa nira.

.(M.201)

‘supaya kalian satu hati seperti rasa air tidak bermacam rasa seperti nira’

Apabila ungkapan tersebut diganti dengan makna yang sebenarnya, akan terlihat seperti pada (11b) berikut.

(11b) […] asa

[…] Konj satu hati-2.Jm sada roha-muna ‘supaya kalian satu hati’


(43)

Upacara adat pada hampir setiap suku di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat, tak terkecuali pada masyarakat Batak Toba. Hampir setiap upacara perkawinan yang diadakan menggunakan alat musik, baik itu alat musik tradisional maupun modern. Dalam masyarakat Batak Toba alat musik biasanya digunakan untuk mengiringi tortor ‘tarian’ selama upacara berlangsung. Para tamu yang manortor ‘menari’ pada umumnya diberi bunga-bunga ni tangan ‘bunga tangan’ oleh pihak penyelenggara pesta sebagai ucapan terima kasih, begitu juga sebaliknya.

(12a) […] dipatupa hamu rongam marhitehon di angka […] disediakan 2.Jm tepat melalui Prep para

bungabunga ni

tangan-bungabunga Pos tangan-1.Jm.

nami.(PP.46)

‘kalian telah menyediakan bunga tangan bagi kami’

Ungkapan bunga-bunga ni tangan pada (12a) di atas menyatakan uang yang dalam bahasa Batak Toba sering juga disebut sihumisik seperti tampak pada (12b) di bawah ini.

(12b) […] dipatupa hamu marhitehon di angka sihumisik

[…] disediakan 2.Jm melalui Prep para uang yang diberi-2.Jm. na nilehon-muna. ‘kalian telah memberikan uang kepada kami’

Seperti pernah disinggung sebelumnya, bahwa dalam masyarakat Batak Toba hulahula ‘orangtua istri’ menduduki posisi tertinggi dalam dalihan na tolu ‘tungku yang tiga’. Hulahula dianggap orang yang paling berpengaruh, pelindung, dan sebagai saluran berkat bagi para boru ‘anak perempuan’. Sementara boru ‘anak perempuan serta keluarga dari pihak suami’ dianggap


(44)

tinongos ni tondi ni hulahula ‘titipan roh hulahula’ seperti terlihat pada contoh (13a) di bawah ini.

(13a) Di hami saluhutna

Prep 1.Jm semuanya para yang dikirim Pos angka na tinongos ni tondi-muna

roh-2.Jm DEM [….] on [….] (PP.157)

‘bagi kami semua anak-anak kalian ini’

Tinongos ni tondi pada contoh di atas juga lazim disebut dengan

pargellengon ‘anak-anak/keturunan’ dari hulahula seperti pada (13b) berikut. (13b) Di hami saluhutna pargellengon-muna

Prep 1.Jm semuanya anak-anak-2.Jm DEM [….] on [….] ‘bagi kami anak-anak kalian ini’

Seseorang yang diundang pada suatu acara biasanya akan mempertimbangkan banyak hal, baik itu dari segi waktu, materi maupun ha-hal lainnya sebelum ia memutuskan untuk hadir atau tidak dalam acara tersebut. Oleh karena itu, bisa dipastikan bahwa mereka yang hadir dalam suatu acara dianggap hadir dengan senang hati/ikhlas dan tidak ada unsur paksaan dari siapa pun. Demikian juga halnya pada (14a) marneang ni langka dohot las ni roha ‘ringan langkah dan senang hati’ berikut ini.

(14a) […] i ma na marneang ni langka dohot las ni roha […] DEM PART yang beringan Pos langkah Konj hangat Pos hati kita

hita di pesta perkawinan ni pahompu on.(PP.8)

Prep pesta perkawinan Pos cucu DEM

‘dengan senang hati kita telah hadir di acara perkawinan cucu ini’ Ungkapan di atas sesungguhnya menyatakan bahwa mereka (si penutur dan kawan-kawan) menghadiri pesta tersebut dengan penuh sukacita dan tidak terpaksa (ringan langkah) seperti terlihat pada konstruksi berikut ini.


(45)

(14b) […] i ma na marlas ni roha hita

[…] DEM PART yang bersukacita 1.Jm

di pesta perkawinan ni pahompu on.

Prep pesta perkawinan Pos cucu DEM ‘kita bersukacita pada acara perkawinan cucu ini’

Seperti telah kita ketahui, masyarakat Batak Toba mengenal tiga silsilah sebagai dasar sistem kekerabatan, yaitu hulahula ‘orangtua istri’, dongan tubu ‘saudara/semarga’, dan boru ‘anak perempuan beserta keluarga dari pihak suami’. (15a) […] i ma pangidoan-nami di hita na mardongan tubu

[…] DEM PART permohonan-1.Jm Prep 1.Jm yang berteman lahir di pestan-ta sadari on. (PP.124)

Prep pesta-1.Jm hari DEM.

‘itulah permintaan kami untuk kita yang bersaudara’

Pada (15a) di atas na mardongan tubu ‘yang berteman lahir’ memiliki makna yang sebenarnya, yaitu menyatakan bersaudara atau kakak beradik yang sudah tentu mempunyai marga yang sama bukan mengatakan teman waktu dilahirkan seperti makna harfiahnya. Hubungan abang dan adik dalam masyarakat Batak Toba disebut na marhamaranggi ‘yang bersaudara’ seperti berikut ini. (15b) […] i ma pangidoan-nami di hita na marhamaranggi

[…] DEM PART permohonan-1.Jm Prep 1.Jm yang bersaudara di pestan-ta sadari on.

Prep pesta-1.Jm hari DEM.

‘itulah permintaan kami untuk kita yang bersaudara’

4.1.2 Metafora

Saat berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari, kadang-kadang terdapat suatu kata atau istilah yang mungkin lebih mudah dipahami orang lain (pendengar) apabila dijelaskan dengan kata-kata lain atau digambarkan dengan menggunakan suatu benda yang mempunyai sifat yang sama dengan istilah yang


(46)

dimaksud. Selain itu, penggunaan keterangan lain untuk menggambarkan suatu istilah juga bertujuan agar kalimat yang diujarkan lebih eufemis.

Contoh :

(16a) Ima da raja-nami sipanganon sibuhabuhai ni pesta begitu PART raja-1.Jm makanan sibukabukai Pos pesta

sadari on [….] (PS.205)

hari DEM [….]

‘Begitulah raja kami makanan pembuka pesta hari ini’

Frasa sipanganon sibuhabuhai ni pesta ‘makanan sibuhabuhai pesta’ pada kalimat di atas merupakan nama makanan yang disajikan sebelum acara adat dimulai. Makanan yang disajikan pada saat makan sipanganon sibuhabuhai sebenarnya sama saja dengan makanan lainnya, namun karena makanan ini disajikan saat sebelum upacara perkawinan dimulai maka makanan ini dinamai

sipanganon sibuhabuhai. Makna sebenarnya yang terkandung dalam ungkapan

tersebut, yaitu makanan pembuka atau makanan yang disajikan pertama kali sebelum acara pemberkatan di gereja dimulai sebagai simbol doa dari kedua belah pihak (pihak pengantin laki-laki dan perempuan). Pada saat makan sipanganon sibuhabuhai kedua pengantin dihadirkan untuk didoakan agar acara pemberkatan yang akan diadakan berjalan lancar. Dengan memperluas kalimat di atas, akan tampak makna sebenarnya yang terkandung dalam ungkapan tersebut seperti terlihat pada (16b) berikut.

(16b) Ima da raja-nami

begitu PART raja-1.Jm makanan sibukabukai jalan pergi sipanganon sibuhabuhai dalan lao manangiakkon asa tulus ulaon-ta

mendoakan agar lancar acara-1.Jm hari DEM sadari on


(47)

‘Begitulah makanan pembuka sekaligus sebagai doa supaya acara pemberkatan dan upacara adat yang akan kita selenggarakan hari ini berjalan lancar.’

Pada setiap acara, baik itu acara adat maupun acara keagamaan, pasti terdapat interaksi ataupun dialog didalamnya. Demikian juga halnya pada acara perkawinan masyarakat Batak Toba. Pada saat acara berlangsung, apabila paranak ‘pihak pengantin laki-laki’ mengatakan suatu hal, sudah tentu parboru ‘pihak pengantin perempuan’ ingin tahu apa yang hendak disampaikan oleh si penutur (paranak) sehingga mereka bersedia mendengar/ memperhatikan dengan baik sebagai tanda bahwa mereka menghormati lawan tuturnya, demikian juga sebaliknya. Untuk lebih jelas, perhatikanlah konstruksi berikut!

(17a) […] jadi tangkas ma paboa hamu

[…] jadi jelas PART beri tahu 2.Jm sidengar Pos telinga sibegeon ni pinggol sipeopon ni roha

sipegangan Pos hati [….]

[….] (PPU.255)

‘jadi, dengan jelas beritahulah amanat itu’

Pada bentuk (17a) di atas, sibegeon ni pinggol sipeopon ni roha ‘yang hendak didengar dan disimpan di dalam hati’ digunakan untuk menyebutkan “bahan pembicaraan” atau topik yang akan dibahas. Ungkapan tersebut digunakan karena penutur belum mengetahui persis apa yang hendak disampaikan oleh lawan tuturnya.

(17b) […] jadi tangkas ma paboa hamu

[…] jadi jelas PART beri tahu 2.Jm para apa PART akka aha ma na naeng sidohonon-muna

yang hendak katakana- 2.Jm [….] [….]


(48)

Selanjutnya, di bawah ini terdapat frasa napuran sirata bulung ‘sirih sihijau daun’. Frasa tersebut digunakan untuk menyebutkan sehelai daun sirih yang dinamai sesuai dengan ciri-cirinya, yaitu berwarna hijau. Daun sirih yang berwarna hijau dimetaforakan dengan ungkapan sirata bulung ‘sihijau daun’ seperti berikut ini.

(18a) Peak di atasna napuran sirata bulung

terletak PREP atasnya sirih sihijau daun kesukaan hasoloan ni boru ni raja [….] (PPU.242)

Pos anak perempuan Pos raja [….]

‘Terdapat di atasnya sirih si hijau daun kesukaan putri raja’

Apabila ungkapan (sirata bulung) tersebut dilesapkan akan terbentuk makna sebenarnya seperti tampak pada kalimat di bawah ini.

(18b) Peak di atasna napuran

terletak PREP atasnya sirih kesukaan Pos anak perempuan hasoloan ni boru ni raja [….]

Pos raja [….]

‘Terdapat di atasnya sirih kesukaan putri raja’

Masyarakat Batak Toba, khususnya yang tinggal di daerah pedesaan, mayoritas berprofesi sebagai petani. Mereka membudidayakan berbagai macam tanaman tidak terkecuali padi. Hampir semua masyarakat Batak Toba yang tinggal di pedesaan menanam padi sebagai tanaman utama tiap tahunnya. Oleh karena itu, tidak heran kalau setiap upacara adat masyarakat Batak Toba selalu menggunakan beras. Pemberian beras bertujuan agar mereka (yang menerima) mampu menjalani hidup dengan jiwa yang teguh dan tidak mudah dipengaruhi hal-hal buruk sama seperti beras yang berbiji lebat dan keras walaupun ukurannya sangat kecil.


(49)

(19a) Adong do huhut di- son

ada PART juga PREP-sini biji santi, siramerame, parbue santi, siriburribur, parbue sipir ni tondi

biji sikeras Pos roh [….]

[….] (PPU.243)

‘Terdapat juga di sini biji beras’

Pada (19a) di atas parbue santi, siriburribur, parbue sipir ni tondi ‘biji yang lebat dan keras’ ditujukan untuk menyebutkan beras. Agar makna yang dikandung tampak lebih jelas, kalimat di atas dapat diganti menjadi seperti berikut ini.

(19b) Adong do huhut di- son boras ada PART juga PREP-sini beras [….]

[….] ‘Terdapat juga di sini biji beras’

Hal yang sama tampak pada (20a) berikut, ungkapan ringgit na marmata tinongos ni negaranta ‘ringgit bermata kiriman negara kita’ adalah metafora untuk kata sihumisik ‘uang’ atau sering juga disebut hepeng ‘uang’.

(20a) Laos adong do di- son

Konj ada PART PREP- sini ringgit yang bermata, kiriman ringgit na marmata, tinongos ni negaran-ta

Pos negara- 1.Jm [….]

[….] (PPU.244)

‘Dan adapun di sini ringgit yang bermata, kiriman negara kita’

Ungkapan pada (20a) di atas menggambarkan dengan jelas ciri-ciri uang.

Ringgit na marmata ‘ringgit yang bermata’ mengatakan mata uang sedangkan

tinongos ni negaranta ‘kiriman negara kita’ mengatakan bahwa uang merupakan

buatan/ciptaan suatu negara bukan milik atau hasil karya perseorangan. Untuk lebih jelas perhatikanlah bentuk berikut!

(20b) Laos adong do di-son sihumisik

Konj ada PART PREP-sini uang [….] [….] ‘Dan adapun di sini uang’


(50)

Seperti telah dibicarakan sebelumnya, bahwa pada umumnya masyarakat Batak Toba selalu membawa beras pada setiap acara adat yang dihadirinya. Beras dibawa dengan cara dihutti ‘dijinjing’.

(21a) Molo pe humurang di angka huttihuttian

bila PART kurang Prep para jinjingan Pos para ni angka nantulang-muna [….] (PP.41)

tante-2.Jm [….]

‘kalaupun beras yang mereka bawa sedikit’

Tradisi (membawa beras dengan cara dijinjing) ini berlangsung turun temurun hingga sekarang. Oleh karena itu, apabila seseorang membawa sesuatu dengan cara dijinjing, tamu-tamu yang lain sudah tahu benar apa yang dibawa orang tersebut, yaitu beras. Dengan demikian, dengan makna yang sama, kalimat di atas dapat diubah seperti contoh (21b) berikut.

(21b) Molo pe humurang di angka boras

bila PART kurang Prep para beras yang dibawa na binoan ni angka nantulang-muna [….]

Pos para tante-2.Jm [….]

‘kalaupun beras yang mereka bawa sedikit’

Setiap manusia membutuhkan banyak hal untuk bisa bertahan hidup. Sifat manusia yang tidak pernah merasa puas akan apa yang dimilikinya juga menuntut setiap orang untuk mencari lebih dan lebih banyak lagi. Untuk memenuhi kebutuhan manusia yang sangat banyak dan beragam tersebut dibutuhkan penghasilan/rejeki yang banyak juga. Dalam masyarakat Batak Toba, manusia digambarkan seperti domba yang akan hidup dan tumbuh dengan baik apabila hidup di padang rumput yang hijau (ampapaga na lomak). Semakin lebat rumput yang didapat maka domba tersebut akan tumbuh lebih cepat pula.


(51)

(22a) […] anggiat dapot-nami ampapaga na lomak

[…] semoga peroleh-1.Jm ampapaga (sejenis rumput) yang lebat Prep di tano parserahan i tu joloan ni ari on.(PP.132)

tanah rantau DEM Prep depan Pos hari DEM.

‘semoga di rantau sana kami memperoleh rejeki yang banyak di masa mendatang’

Dengan kata lain, dalam kehidupan masyarakat Batak Toba ampapaga na

lomak digunakan untuk menyebutkan penghasilan yang banyak seperti terlihat

pada (22b) berikut.

(22b) […] anggiat dapot-nami pandapotan na godang […] semoga dapat-1.Jm pendapatan yang banyak Prep

di tano parserahan i tu joloan ni ari on. tanah rantau DEM Prep depan Pos hari DEM.

‘semoga di rantau sana kami memperoleh rejeki yang banyak di masa mendatang’

4.1.3 Sirkumlokusi

Berbicara dengan singkat dan jelas sesungguhnya sudah cukup efektif untuk menyampaikan suatu hal kepada lawan tutur. Namun, kadang-kadang dibutuhkan penggunaan kosakata yang lebih untuk menjelaskan suatu maksud agar si pendengar mudah memahaminya. Seseorang yang mampu berbicara dengan kosakata yang banyak sering dianggap pintar dan berbakat, apalagi kalau berbicara di depan khalayak ramai. Akan tetapi, tak jarang juga orang tersebut dianggap berbicara terlalu panjang/bertele-tele sehingga maksud yang disampaikan menjadi kabur. Berikut beberapa tuturan yang disampaikan dengan kalimat yang cukup panjang yang seharusnya bisa disampaikan dengan bentuk yang lebih singkat.

(23a) […]

[…] makan nasi yang hangat Konj minum air si-jernihjernih mangan indahan na las dohot minum aek si-tiotio


(52)

laos man- jalo adat sian parboruon- ta [….] (HG.220)

Konj AKT-terima adat dari anak perempuan-1.Jm [….] ‘makan sekaligus menerima adat dari mertua anak kita.’

Pada (23a) mangan indahan na las dohot minum aek si-tiotio ‘makan nasi yang hangat dan minum air sijernihjernih’ sesungguhnya hanya mengatakan kata “makan”. Oleh karena itu, beberapa unsur dari kalimat yang cukup panjang tersebut dapat dilesapkan sehingga membentuk kalimat yang lebih singkat tetapi mempunyai maksud yang sama seperti berikut.

(23b) […] mangan

[…] makan Konj AKT-terima adat dari anak perempuan-1.Jm [….] laos man- jalo adat sian parboruon- ta [….]

‘makan sekaligus menerima adat dari mertua anak kita.

Demikian juga pada (24a) di bawah ini. Frasa mauliate malambok pusu ‘terima kasih melembut jantung’ sebenarnya mempunyai maksud yang sama dengan kata mauliate ‘terima kasih’, yaitu untuk menyatakan rasa terima kasih. Dalam kehidupan sehari-hari kedua bentuk tersebut bisa digunakan dan tetap berterima di tengah-tengah masyarakat.

(24a) Jumolo ma hu- dok hami

Pertama PART 1.Tg-katakan 1.Jm terima kasih melembut jantung mauliate malambok pusu siala haroro- muna tu pestan-ta on. (PPU.227)

atas kedatangan-2.Jm PREP pesta- 1.Jm DEM.

‘Pertama-tama kami ucapkan terima kasih atas kesediaan saudara untuk menghadiri pesta kita ini.’

Namun, di antara kedua bentuk tersebut penggunaan frasa mauliate

malambok pusu dianggap lebih santun dan kualitas rasa terima kasihnya lebih

besar daripada hanya mengatakan mauliate seperti pada kalimat (24b) berikut. (24b) Jumolo ma hu- dok hami

Pertama PART 1.Tg-katakan 1.Jm terima kasih mauliate


(53)

siala haroro- muna tu pestan-ta on. atas kedatangan-2.Jm PREP pesta- 1.Jm DEM.

‘Pertama-tama kami ucapkan terima kasih atas kesediaan saudara untuk menghadiri pesta kita ini.’

Contoh lain tampak seperti berikut ini.

(25a) […] tung pe songon i na boi tarpasahat hami

[…] walaupun seperti DEM yang bisa berikan 1.Jm hangat PART hati las ma roha ni badan-mu las nang roha ni tondi-mu

Pos badan-2.Jm hangat Konj hati Pos roh-2.Jm [….]

[….] (M.103)

‘walaupun hanya itu yang dapat kami berikan, biarlah hati dan jiwamu ikhlas/senang menerimanya’

Pada (25a) di atas las ma roha ni badanmu las nang roha ni tondimu ‘biarlah hati dan jiwamu ikhlas/senang menerimanya’ sebenarnya dapat disampaikan dengan singkat seperti pada (25b) di bawah ini tanpa mengubah makna yang terkandung di dalamnya.

(25b) […] tung pe songon i na boi tarpasahat hami las ma […] walaupun seperti DEM yang bisa berikan 1.Jm hangat PART

rohamunamanjalo i

hati-2.Jm menerima DEM [….] [….]

‘walaupun hanya itu yang dapat kami berikan, semoga kalian senang menerimanya’

Bentuk (26a) jabumuna sibaganding tua na martua na marsangap sigomgom nasa tondi nasida ‘rumah sibaganding tua pelindung setiap jiwa’ di atas hanya menyatakan kata “rumah”. Ungkapan yang panjang ini digunakan untuk menggambarkan fungsi rumah, yaitu sebagai pelindung bagi penghuninya. (26a) […] i ma apala di

[…] DEM PART tepatnya Prep rumah-2.Jm sibaganding tua yang mulia jabu-muna sibaganding tua na martua na marsangap sigomgom nasa tondi nasida

yang berwibawa pelindung segala roh 3.Jm.

. (PP.37)


(54)

Dengan makna yang sama, ungkapan tersebut dapat diganti dengan bentuk yang lebih singkat seperti (26b) berikut.

(26b) […] i ma apala di

[…] DEM PART tepatnya Prep rumah-2.Jm jabu-muna ‘tepatnya di rumah kalian’

Dalam masyarakat Batak Toba sepasang pengantin baru dianggap resmi sebagai suami-istri apabila sudah menerima berkat pernikahan di gereja melalui pendeta. Penerimaan berkat pernikahan ini sering disebut dengan kalimat manjalo pasupasu pardongansaripeon sian bagas joro ni Tuhanta marhite naposo-Na ‘menerima berkat pernikahan dari gereja melalui hamba-Nya’ seperti pada contoh di bawah ini.

(27a) […] i ma na

[…] DEM PART yang AKT-terima berkat rumah tangga man-jalo pasupasu pardongansaripeon

Prep rumah Pos Tuhan-1.Jm melalui hamba-Nya. sian bagas joro ni Tuhan-ta marhite naposo-Na.(PP.68)

‘yaitu acara pemberkatan pernikahan melalui hamba-Nya’

Kalimat yang cukup panjang pada (27a) di atas sebenarnya hanya mengatakan bahwa mereka (pengantin) telah memulai hidup baru/menikah atau dalam bahasa Batak Toba disebut mamungka parbagason.

(27b) […] i ma na ma-mungka parbagason […] DEM PART yang AKT-rintis rumahtangga.

. ‘yakni memulai hidup baru’

Selain beras, pada beberapa upacara adat masyarakat Batak Toba, juga terdapat penggunaan dengke ‘ikan mas’ yang biasanya diserahkan oleh parboru ‘orangtua istri’ kepada boru ‘anak perempuan’. Jenis ikan yang digunakan tidak boleh sembarangan, hanya ikan mas yang pantas digunakan. Parboru


(55)

menyerahkan dengke kepada borunya dengan harapan supaya pada masa yang akan datang mereka (boru) memperoleh umur yang panjang serta mempunyai banyak keturunan seperti banyaknya sisik ikan tersebut.

(28a) […] di-son ro do hami pasahathon

[…] Prep-sini datang PART 1.Jm menyerahkan ikan yang panjang, dengke na ganjang, dengke si-godang sisik

ikan si-banyak sisik yang terletak Prep nasi yang hangat. na peak di indahan na las. (PP.65)

‘saat ini kami datang menyerahkan ikan yang panjang dan bersisik banyak yang ditaruh di atas nasi hangat’

Pada (28a) dengke na ganjang, dengke si godang sisik ‘ikan yang panjang, ikan yang bersisik banyak’ adalah gambaran/ciri-ciri seekor ikan mas. Ungkapan tersebut sebenarnya hanya ingin menyebutkan kata dengke ‘ikan’ sehingga kalimat di atas dapat disampaikan seperti konstruksi (28b) berikut.

(28b) […] di-son ro do hami pasahathon dengke […] Prep-sini datang PART 1.Jm menyerahkan ikan

, na peak di indahan na las.

yang terletak Prep nasi yang hangat.

‘di sini kami datang menyerahkan ikan (ikan mas) yang ditaruh di atas nasi hangat’

Sama seperti contoh (28) di atas, berikut juga terdapat penggunaan ungkapan yang cukup panjang yang sesungguhnya bisa disampaikan dengan bentuk yang lebih singkat.

(29a) […] marhite sian angka tangiang-muna dohot […] melalui Prep para doa-2.Jm Prep

ulos na ganjang ulos na hapal sitorop rambu i [….] ulos yang panjang ulos yang tebal sirame renda DEM [….]

(M.95)


(56)

Pada (29a) ulos na ganjang ulos na hapal sitorop rambu i ulos yang panjang, tebal, dan berenda banyak’ bisa disampaikan dengan hanya menyebutkan kata ulos seperti tampak pada (29b).

(29b) […] marhite sian angka tangiang dohot ulos-muna […] melalui Prep para doa Prep ulos-2.Jm DEM

i ‘atas doa dan ulos yang kalian berikan itu’

Seperti telah dijelaskan pada contoh (22) bahwa setiap manusia membutuhkan banyak hal untuk mampu bertahan hidup. Kebutuhan manusia sangat beragam dan tidak ada batasnya sehingga tidak bisa disebutkan satu per satu. Pada contoh (30a) berikut, kebutuhan manusia yang tidak terbatas tersebut disebut dengan istilah na niluluan dan na jinalahan ‘yang dicari dan yang dikejar’ (30a) […] asa anggiat

[…] konj semoga dapat yang dicari-2.Jm ketemu yang na niluluan-muna jumpang na jinalahan-muna

dikejar-2.Jm Prep para hari yang akan datang DEM tu angka ari na mangihut on.(M.191)

‘semoga di masa mendatang kalian mendapatkan apa yang kalian inginkan’

Ungkapan yang cukup panjang tersebut juga dapat disampaikan dengan bentuk yang lebih singkat, yaitu na pinarsitt ni roha ‘yang dicita-citakan’ seperti tampak pada (30b) berikut.

(30b) […] asa anggiatdapot na pinarsitta ni roha

[…] konj semoga dapat yang dicita-citakan Pos hati-2.Jm -muna tu angka ari na mangihut on.

Prep para hari yang akan dating DEM.

‘semoga di masa yang akan datang kalian mendapatkan apa yang kalian inginkan’


(57)

4.1.4 Pelesapan

Dalam berkomunikasi di tengah-tengah masyarakat, kadang-kadang terdapat penggunaan kalimat atau kata yang kurang lengkap bahkan ada juga yang mengungkapkan suatu kata dengan hanya menyebutkan beberapa huruf saja sebagai singkatan dari kata yang dimaksud. Pelesapan beberapa unsur kalimat/kata adakalanya disengaja oleh si penutur yang mungkin disebabkan oleh keterbatasan waktu, tetapi ada juga yang tidak sengaja bahkan tidak menyadari bahwa kalimat yang diujarkannya kurang lengkap.

Contoh:

(31a) Mauliate ma hahang doli

terima kasih PART saudara lakilaki Konj Prep ibu-1.Jm dohot di inan-ta soripada saluhutna [….] (PP.10)

permaisuri semuanya [….]

‘terima kasih kepada abang/adik (laki-laki) dan juga kakak/adik ipar semuanya

Hampir setiap suku bangsa yang ada di Indonesia mengenal sistem kekerabatan tak terkecuali dalam masyarakat Batak Toba. Sistem kekerabatan biasanya ditandai dengan adanya penggunaan kata-kata tertentu yang berfungsi sebagai sapaan. Misalnya, penggunaan kata “kakak/abang” untuk menyapa saudara yang lebih tua dari si penyapa dan kata “adik” untuk saudara yang lebih muda. Dalam bahasa Batak Toba “kakak” disapa dengan kata haha sementara “adik” disapa dengan kata anggi sehingga hubungan kakak-adik disebut dengan istilah hahaanggi ‘kakak-adik’ atau marhaha maranggi ‘bersaudara’. Misalnya pada contoh (31a) di atas hahang doli ‘saudara laki-laki’ seharusnya diucapkan


(58)

dengan kata hahaanggi doli ‘ kakak-adik laki-laki’ atau ‘saudara laki-laki seperti berikut ini.

(31b) Mauliate ma hahaanggi doli

terima kasih PART saudara lakilaki Konj Prep ibu-1.Jm permaisuri dohot di inan-ta soripada saluhutna [….]

semua [….]

‘terima kasih kepada abang/adik (laki-laki) dan juga kakak/adik ipar semuanya’

Hal yang sama juga terdapat pada contoh berikut.

(32a) On ma tutu na nidokna dos ni roha i DEM PART betul yang dikatakan sama Pos hati DEM di angka na marhamaranggi

Prep para yang berabang/adik.

.(PP.11)

‘inilah yang dinamakan kesatuan hati di antara orang yang bersaudara.’ Pada (32a) kata marhamaranggi ‘bersaudara’seharusnya diucapkan dengan lengkap, yaitu dengan kata marhaha maranggi ‘kakak beradik/ bersaudara’ seperti pada (32b) berikut.

(32b) On ma tutu na nidokna dos ni roha i DEM PART betul yang dikatakan sama Pos hati DEM di angka na marhamaranggi

Prep para yang berabang/adik.

.(PP.11)

‘inilah yang dinamakan kesatuan hati di antara orang yang bersaudara.’ Begitu juga dengan contoh (33a), kata marhulamarboru seharusnya diucapkan dengan kata marhulahula marboru seperti pada (33b).

(33a) […] asa anggiat tu joloan on dos rohan-ta […] Konj semoga Prep depan DEM sama hati-1.Jm

di angka na marhulamarboru Prep para yang marhulamarboru DEM

i (PP.43)

‘supaya ke depannya kita (orangtua dan anak perempuannya) tetap sehati/sepikir.


(1)

(299) “Hamu raja ni parboruonnami, mangkatai ma hita. (300) Tadok ma mauliate tu Amanta Debata, ai didongani do hita di saluhut ulaonta sadari on. (301) Nunga sun mardalan sude angka adatadat sibahenonta sadari on. (302) Jadi nuaeng pe sauran ma i tutu. (303) Asa dohononnami ma tu hamu hata sigabegabe dohot hata pasupasu. (304) Jalo hamu ma.

Balintang ma pagabe, tumUndalhon sitadoan; Ingkon saut do angka ianakkonta I horas jala gabe, ai nunga denggan hita masiolooloan.

(305) Sai asi ma roha ni Tuhanta sai dibahen ma nasida gabe ripe na uli jala na denggan sibahen las ni rohanta jala sibahen pujipujian di Tuhanta Pardenggan basa i.

Bintang ma na rumiris tu ombun na sumorop; Anak pe dinasida sai riris, boru pe torop.

(306) Sahat ma na uli sahat na denggan dihamu sude parboruonnami. Boti ma.

(307) Hata sitambaan do i. (308) Jadi tar songon on ma di rohangku asa maratur. (309) Parjolo ma dongan sahuta manambai, dungi sada sian boru dohot bere, udut tusi ba sada ma sian hulahulanami, jala diujungi hasuhuton ma i.

Boti ma. (310) Ditambai dongan sahuta ma.”

Hata sigabegabe sian dongan sahuta :

(311) “Na patut do hita parjolo mandok mauliate tu Tuhanta Pardenggan basa i na mandongani hita manipat sadari on. (312) Nunga tutu mardalan sude angka paradatan na patut bahenon ni paranak tu parboru, laos songon i na patut bahenon ni parboru tu paranak. (313) Nunga dapot songon nidok ni umpasa:

Aek Siurukuruk tu siallan Aek Toba;

Ndang adong be hita na marungutungut, nunga sude marlas ni roha.

(314) Pangidoan tu Tuhanta di hamu na dua pihak, unang be nian holan dibagasan sadari on hamu rap marlas ni roha, alai satorusna ma songon i. (315) Songon i ma dohot angka ianakkon i, sai gabe ripe halomoan ni rohanta ma nasida, tarlobilobi tahe na gabe halomoan ni roha ni Tuhanta.

Situbu laklak ma i situbu singkoru di dolok ni Purbatua; Sai tubuan anak ma nasida tubuan boru donganna saurmatua. Boti ma. Ditambai dongan.”


(2)

Hata sigabegabe sian bagian boru dohot bere.

(316) “Ala nunga marujung sude paradatan sadari on, ba ampara nama dohononnami tu hamu bagian paranak, ai rap boru nama hita nuaeng di hulahulanta on. (317) Jadi di hamu amparaniba on ma dohononnami : suang do songon nidok ni angka amanta na parjolo nangkin, parjolo ma tasombahon hamauliateon tu Tuhanta Parasi roha na mamasumasu ulaonta sadari on, ai dilehon do di hita dame dohot roha na masipauneunean dohot hulahulanta. (318) Tu joloansa on pe antong sai mian ma dame i di hita dohot di angka hulahulanta. (319) Taringot di anakta dohot parumaenta, sai asi ma roha ni Tuhanta, sai na marrongkap ma nasida songon bagot marsibar songon ambalang, na mardomu ma nasida songon buhu tu ruas.

Tangki ma jala ualang, galinggang ma jala garege; Sai tubu ma di nasida angka anak partahi jala ulubalang, dohot angka boru parmas jala pareme.

Boti ma. Hatangki hata sitambaan.”

Hata gabegabe sian hulahula :

(320) “Olo ma tutu, tambaannami ma hata sigabegabe dohot pasupasu di hamu parboruon ni borunmai. (321) Nang hami pe dohononnami do, parjolo ma hita mandok mauliate dohot pujipujian tu Tuhanta Parasi roha i, na mangalehon roha bisuk dohot holong di hamu nadua pihak manipat sadari on, gabe boi marujung ulaonta dibagasan dame dohot las ni roha. (322) Tu joloansa on pe sai tongtong ma mian dame dohot holong di hamu na marhula marboru, asa sai dapotan pasupasu hamu sian Amanta Pardenggan basa i. (323) Tu hamu raja ni boru dohononnami ma : nunga sahat be berenami gabe parumaenmuna, ba sai parumaen siboan tua ma i dohot las ni roha di hamu. (324) Sai tibu ma berenami :

Dangka ni hariara ma pinangaitaithon;

Sai tubu ma anak dohot boru, sitongka panahitnahiton. Boti ma. Dipaujung hasuhuton ma.”

Hata pasupasu panimpuli sian hasuhuton parboru :

(325) “Hamu lae, ito dohot sude hamu raja ni parboruonnnami. (326) Tapuji ma Amanta Debata Parasi roha i na mandongani hita di sude ulaonta sadari on. (327) Diurupi do hita gabe boi hita masipauneunean di sude sibahenonta. (328) Tu hamu lae dohot hamu ito, dohononku ma : Gomgom ma parumaenmuna


(3)

i. (329) Sai marpanganju hamu huhut di ibana, nanget ajarajari hamu asa gabe parumaen silas ni rohamuna ibana. (330) Sai manumpak ma Amanta Debata di parsaripeon ni angka ianakkonta i, asa sihalomohonon ni Tuhanta nasida jala sibahen las ni rohanta saluhutna. (331) Songon i ma nang hita natorasnasida, tontong ma hita sai masiaminaminan songon lampak no gaol jala masitungkoltungkolan songon suhat di robean.

(332) Tu hamu lae dohot hamu ito dohononku ma : Andor halumpang togutogu ni lombu;

Sai saur ma hamu saurmatua pairingiring pahompu. (333) Taringot di angka ianakkonta :

Na hinunti hirang, marisi gadong sipapua;

Badan nasida ma na so olo sirang sahat ro din a saurmatua. (334) Tu hita saluhutna dohononku ma :

Siambora gukguk, rarak di atas amak;

Horas ma hita jala mamora apala luhut, sai torop ma boru Boti ma. I ma sahat ni hatanami. Ampu hamu ma.”

Raja parhata ni paranak paampuhon hata sigabegabe dohot hata pasupasu tu hasuhuton :

(335) “Rajanami raja ni hulahulanami. (336) Manomba hami jolo dohot jarijari sampulu pasampulu sada simanjujung laho manjalo hata na uli hata na denggan tarlobilobi hata pasupasumuna rajanami. (337) Mauliate malambok pusu ma angka rajanami dohononnami saluhutna tu hamu. (338) Ampe ma i antong saluhutna di sambubunami tarlobi di hasuhutonnami dohot di anak nang parumaennami, tuak di abaranasida jala ampu diabingannasida.

Turtu ma ninna anduhur tio ma ninna lote;

Saluhut hatamuna na uli i tarlobilobi pasupasumuna, sai unang muba, unang mose.

(339) Sahali nari huulahi ma mandok mauliate angka rajanami di hamu saluhutna. (340) Sai Tuhanta Pardenggan basa i ma mambalos lagumuna na uli i marlipat ganda. Boti ma. (Dung i didompakkon ma bohina tu hasuhutonna jala didok) : (341) Nuaeng pe ampara, nunga ria angka hulahulanta mandok hata sigabegabe dohot hata pasupasu tu hita, ba diampu amparangku ma i sude. Boti ma.”


(4)

(342) “I ma tutu angka rajanami, raja ni hulahulanami, nunga marliat hamu mandok hata nauli hata na denggan songon i dohot hata pasupasu tu hami parboruonmuna, ba sai liat ma hami parboruonmuna gabe sai liat ma dohot horas laos songon i dohot hamu raja ni hulahulanami tumpahon ni Amanta Debata. (343) Sai ampe ma i antong sude di simanjujungnami tuak di abaranami, jala abing di ampuannami, tarlobilobi di helamuna dohot parumaennami.

Doding ni doding tu doding ni mandalasena;

Hata na uli dohot angka pasupasu i, sai unang muba unang sesa.

(344) Jala tu hamu hulahulanami pe dohononku do hata ni umpasa, alai ndada na laho mamasumasu hamu rajanami, ai hamu do silehon pasupasu di hami asa songon tangiangnami do on di hamu :

Andor has ma andor his tu andor Purbatua;

Sai horas ma hamu sude hulahulanami jala torkis, sai gabe jala saur matua. (345) Huulahi ma mandok mauliate godang di hamu angka rajanami.


(5)

LAMPIRAN 2: DATA INFORMAN

1. Nama : Parukkilon Sinaga

Umur : 59 tahun

Pekerjaan : Petani Pendidikan : SMP Alamat : Hutajulu

2. Nama : Derita Sinaga

Umur : 53 tahun

Pekerjaan : Petani Pendidikan : SD Alamat : Hutajulu

3. Nama : Hiras Sihombing

Umur : 62 tahun

Pekerjaan : Petani Pendidikan : SMP Alamat : Hutajulu


(6)