BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep - Interferensi Dalam Majalah Gadis

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

  Konsep merupakan gambaran mental dari objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan akal budi memahami hal-hal lain (KBBI, 2007:588).

2.1.1 Interferensi

  Hockett (dalam Chaer dan Leoni Agustina, 1995:125-127) mengatakan bahwa interferensi merupakan gejala perubahan terbesar, terpenting dan paling dominan dalam perkembangan bahasa. Bahasa yang kaya akan kosakata seperti bahasa Inggris dan Arab pun, dalam perkembangannnya tidak dapat terlepas dari interferensi, terutama untuk kosakata yang berkenaan dengan budaya dan alam lingkungan bahasa donor. Gejala interferensi dari bahasa yang satu kepada bahasa yang lain sulit untuk dihindari. Terjadinya gejala interferensi juga tidak lepas dari perilaku penutur bahasa penerima. Dari segi kemurnian bahasa, interferensi pada tingkat apa pun (fonologi, morfologi dan sintaksis) merupakan penyakit yang merusak bahasa, jadi perlu dihindari.

  Kontribusi utama dari interferensi adalah dalam bidang kosakata. Bahasa- bahasa yang mempunyai latar belakang sosial budaya dan pemakaian yang luas seperti bahasa Inggris dan Arab mempunyai kosakata yang secara relatif sangat banyak dan banyak memberi kontribusi kosakata kepada bahasa-bahasa yang berkembang dan mempunyai kontak dengan bahasa tersebut. Dalam interferensi terdapat tiga unsur pokok, yaitu

  1. bahasa sumber atau bahasa donor, yaitu bahasa yang menyusup unsur- unsurnya atau sistemnya ke dalam bahasa lain

  2. bahasa penerima atau bahasa resipien, yaitu bahasa yang menerima atau yang disisipi oleh bahasa sumber

3. Adanya unsur bahasa yang terserap (importasi) atau unsur serapan.

  Dalam komunikasi bahasa yang menjadi sumber serapan pada saat tertentu akan beralih peran menjadi bahasa penerima pada saat yang lain, dan sebaliknya.

  Begitu juga dengan bahasa penerima dapat berperan sebagai bahasa sumber. Dengan demikian interferensi dapat terjadi secara timbal balik (Chaer dan Leoni Agustina, 1995:126)

2.1.2 Majalah Gadis

  Majalah merupakan terbitan berkala yang isinya meliputi berbagai liputan jurnalistik, pandangan tentang topik aktual yang patut diketahui pembaca, dan menurut waktu penerbitannya dibedakan atas majalah bulanan, tengah bulanan, mingguan dan sebagainya dan menurut pengkhususan isinya dibedakan atas majalah berita, wanita, remaja, olahraga, sastra, ilmu pengetahuan tertentu dan sebagainya (KBBI, 2007:699).

  Majalah Gadis adalah majalah remaja. Majalah ini ditujukan untuk para remaja yang berusia sekitar 12-20 tahun. Majalah Gadis merupakan salah satu majalah yang berisikan tentang informasi gaya hidup para remaja. Mayoritas pembaca majalah Gadis adalah remaja wanita karena majalah ini lebih banyak memberi informasi tentang wanita. Walaupun demikian remaja pria juga membacanya. Selain informasi gaya hidup para remaja, majalah ini juga berisi tentang kehidupan para artis luar negeri dan dalam negeri yang kehidupannya penuh dengan sensasi. Majalah ini banyak memuat berita singkat dan bergambar yang dengan mudah dapat dibaca dan dipahami oleh semua kalangan khususnya para remaja. Majalah ini didesain khusus untuk remaja dengan tampilan dan isi yang menarik.

  Tulisan yang terdapat pada majalah ini bukan tulisan formal melainkan ragam bahasa santai yang digunakan oleh remaja di daerah metropolitan seperti Jakarta. Banyak terdapat perpaduan unsur bahasa asing dan dialek Jakarta yang bercampur dengan bahasa Indonesia dalam tulisannya. Bahasa asing dan bahasa dialek Jakarta digunakan agar tulisan terlihat lebih menarik dan tidak membosankan ketika dibaca sehingga banyak diminati oleh para pembaca khususnya remaja. Dari perpaduan itu dapat dikatakan bahwa tulisan dan informasi akan lebih menarik untuk dibaca. Hal ini terlihat dalam penggunaan bahasa sebagai sarana informasi. Perpaduan dua unsur itulah yang menyebabkan interferensi bahasa.

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Sosiolinguistik

  Istilah sosiolinguistik jelas terdiri dari dua unsur yaitu, sosio- dan linguistik. Kita mengetahui arti linguistik, yaitu ilmu yang mempelajari atau membicarakan bahasa, khususnya unsur-unsur bahasa (fonem, morfem, kata, dan kalimat) dan hubungan antara unsur-unsur itu (struktur), termasuk hakikat dan pembentukan unsur-unsur itu. Unsur sosio- adalah seakar dengan sosial, yaitu yang berhubungan dengan masyarakat, kelompok-kelompok masyarakat, dan fungsi-fungsi kemasyarakatan. Jadi, sosiolinguistik ialah studi atau pembahasan dari bahasa sehubungan dengan penutur bahasa itu sebagai anggota masyarakat.

  Boleh juga dikatakan bahwa sosiolinguistik mempelajari dan membahas aspek- aspek kemasyarakatan bahasa, khususnya perbedaan-perbedaan (variasi) yang terdapat dalam bahasa yang berkaitan dengan faktor-faktor kemasyarakatan (sosial) (Nababan, 1984:2).

  Abdul Chaer mengatakan bahwa sosiolinguistik merupakan ilmu antar disiplin sosiologi dan linguistik, dua bidang ilmu empiris yang mempunyai kaitan sangat erat. Sosiologi berusaha mengetahui bagaimana masyarakat itu terjadi, berlangsung dan tetap ada. Dengan mempelajari lembaga sosial dan segala masalah sosial dalam satu masyarakat, akan diketahui cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, bagaimana mereka bersosialisasi, dan menempatkan diri pada tempatnya masing-masing di dalam masyarakat. Sedangkan linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari bahasa atau bidang ilmu yang mengambil bahasa sebagai objeknya. Dengan demikian sosiolinguistik adalah bidang ilmu antar disiplin yang mempelajari bahasa dengan kaitannya dalam penggunaan bahasa itu di dalam masyarakat. Menurut Kridalaksana sosiolinguistik adalah ilmu yang mempelajari ciri berbagai variasi bahasa, serta hubungan di antara para bahasawan dengan ciri fungsi variasi bahasa itu dalam suatu masyarakat bahasa (Chaer dan Leoni Agustina, 1995:3).

  J.A. Fishman (dalam Chaer dan Leoni Agustina, 1995:5) pakar sosiolinguistik yang andilnya sangat besar dalam kajian sosiolinguistik, mengatakan kajian sosiolinguistik lebih bersifat kualitatif, sedangkan kajian sosiologi bahasa bersifat kuantiatif. Jadi, sosiolinguistik lebih berhubungan dengan perician-perincian penggunaan bahasa yang sebenarnya, seperti deskripsi pola-pola pemakaian bahasa atau dialek dalam budaya tertentu, pilihan pemakaian bahasa atau dialek tertentu yang dilakukan penutur, topik, dan latar pembicaraan. Sedangkan sosiologi bahasa lebih berhubungan dengan faktor-faktor sosial, yang saling bertimbal balik dengan bahasa atau dialek.

2.2.2 Bilingualisme

  Istilah bilingualisme atau disebut juga dengan kedwibahasaan. Mackey (dalam Chaer, 1995) berpendapat bahwa bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian. Untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya seseorang harus menguasai kedua bahasa itu. Pertama, bahasa ibunya sendiri atau bahasa pertamanya (disingkat B1), dan yang kedua adalah bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya (disingkat B2). Orang yang dapat menggunakan kedua bahasa itu disebut orang yang bilingual, dalam bahasa Indonesia disebut dwibahasawan. Sedangkan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas, dalam bahasa Indonesia disebut kedwibahasawan (Chaer dan Leoni Agustina, 1995:84).

  Berbeda dengan Mackey, Oksaar (dalam Chaer dan Leoni Agustina, 1995:91) berpendapat bahwa bilingualisme bukan hanya milik individu, tetapi juga milik kelompok, sebab bahasa itu penggunaannya tidak terbatas antara individu dan individu saja, melainkan juga digunakan sebagai alat komunikasi antar kelompok. Bahasa itu bukan sekadar alat komunikasi saja, melainkan juga sebagai alat untuk menunjukkan identitas kelompok.

  Haugen (dalam Tarigan dan Djago Tarigan, 1995:9) mengatakan bilingualisme kemampuan menghasilkan ujaran yang bermakna di dalam bahasa kedua. Dari definisi-definisi tersebut dapat dilihat bahwa bilingualisme mempermasalahkan dua bahasa dalam penggunaannya. Maka sudah tentu terjadilah kontak antara dua bahasa. Kontak bahasa ini terjadi dalam masyarakat pemakai bahasa atau terjadi dalam situasi kemasyarakatan tempat seseorang mempelajari unsur-unsur sistem bahasa yang bukan merupakan bahasanya sendiri. Bilingualisme merupakan masalah bahasa, oleh karena itu bilingualisme ini pun bukan hanya masalah perseorangan, tetapi juga masalah yang ada dalam suatu kelompok pemakai bahasa.

2.2.3 Campur Kode dan Alih kode

  Suatu keadaan berbahasa adalah bilamana orang mencampur dua atau lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut percampuran bahasa itu. Dalam keadaan demikian, hanya kesantaian penutur dan kebiasaannya yang dituruti. Tindak bahasa yang demikian kita sebut campur kode. Ciri yang menonjol dalam campur kode ini adalah kesantaian atau situasi informal (Nababan, 1984:32).

  Hymes (dalam Chaer dan Leoni Agustina, 1995:108) menyatakan alih kode itu bukan hanya terjadi antarbahasa, tetapi dapat juga terjadi antara ragam- ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa. Dalam berbagai kepustakaan linguistik secara umum penyebab alih kode itu disebutkan antara lain adalah (1) pembicara atau penutur, (2) pendengar atau lawan tutur, (3) perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga, (4) perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya, dan (5) perubahan topik pembicaraan.

  Thelander (dalam Chaer dan Leoni Agustina, 1995:115)mencoba menjelaskan perbedaan alih kode dan campur kode. Bila di dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode. Tetapi apabila di dalam peristiwa tutur, klausa-klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran (hybrid clauses, hybrid phrases), dan masing-masing klausa atau frase itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah campur kode, bukanlah alih kode. Dalam hal ini menurut Thelander selanjutnya memang ada kemungkinan terjadinya perkembangan dari campur kode ke alih kode. Perkembangan ini misalnya dapat dilihat kalau ada usaha untuk mengurangi kehibridan klausa-klausa atau frase-frase yang digunakan, serta memberi fungsi-fungsi tertentu sesuai dengan keotonomian bahasanya masing- masing.

  Fasold (dalam Chaer dan Leoni Agustina, 1995:115) menawarkan kriteria gramatika untuk membedakan campur kode dan alih kode. Kalau seseorang menggunakan satu kata atau frase dari satu bahasa, dia telah melakukan campur kode. Tetapi apabila satu klausa jelas-jelas memiliki struktur gramatika satu bahasa, dan klausa berikutnya disusun menurut struktur gramatika bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode.

2.2.4 Interferensi

  Istilah interferensi pertama kali digunakan oleh Weinreich (dalam Chaer dan Leoni Agustina, 1995:120) untuk menyebutadanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur- unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur bilingual. Penutur yang bilingual adalah penutur yang menggunakan dua bahasa secara bergantian yaitu antara bahasa ibu (B1) dan bahasa lain (B2). Kemampuan terhadap B1 dan B2 sangat bervariasi.

  Chaer dan Agustina mengidentifikasi interferensi bahasa menjadi empat macam.

1. Interferensi Fonologis

  Interferensi fonologis terjadi apabila penutur mengungkapkan kata-kata dari suatu bahasa dengan menyisipkan bunyi-bunyi bahasa dari bahasa lain.

  Interferensi dibedakan menjadi dua macam, yaitu interferensi fonologis pengurangan atau penghilangan huruf (fonem) dan interferensi fonologis pergantian atau perubahan huruf (fonem).

  Contoh: a. pengurangan atau penghilangan huruf (fonem)

  Slalu : selalu Ama : sama Smua : semua b. pergantian atau perubahan huruf (fonem). Cayang : sayang Adek : adik Rame : ramai 2.

  Interferensi Morfologis Interferensi morfologis terjadi apabila dalam pembentukan kata suatu bahasa menyerap afiks-afiks bahasa lain. Penyimpangan struktur itu terjadi kontak bahasa antara bahasa yang sedang diucapkan (bahasa Indonesia) dengan bahasa lain yang juga dikuasainya (bahasa daerah atau bahasa asing).

  Contoh: Kepukul : terpukul Neonisasi : peneonan Dipindah : dipindahkan Menanyai : bertanya 3.

  Interferensi Sintaksis Interferensi sintaksis terjadi apabila struktur bahasa lain (bahasa daerah, bahasa asing dan bahasa gaul) digunakan dalam pembentukan kalimat bahasa yang digunakan. Interefernsi ini terdiri dari interferensi struktur kalimat dan tingkat kalimat yang penyerapan unsur kalimatnya dapat berupa kata, frase, dan klausa. Interferensi sintaksis seperti ini tampak jelas pada peristiwa campur kode. Contoh : Di sini toko yang laris yang mahal sendiri (kalimat bahasa Indonesia yang berstruktur Jawa).

  Toko laris adalah toko yang paling mahal di sini (kalimat yang sudah baku). Mereka akan married bulan depan Karena saya sudah kadhung apik sama dia, ya saya tanda tangan saja.

4. Interferensi Semantis

  Interferensi yang terjadi dalam bidang tata makna. menurut bahasa resipiennya, interferensi semantik dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu interferensi ekspansif dan interferensi aditif.

  a.

  Interferensi Ekspansif Interferensi Ekspansif, yaitu interferensi yang terjadi jika bahasa yang tersisipi menyerap konsep kultural beserta namanya dari bahasa lain.

  Contoh : Teman-temanku tambah gokil saja.

  b.

  Interferensi Aditif Interferensi Aditif, yaitu interferensi yang muncul dengan penyesuaian dan interferensi yang muncul berdampingan dengan bentuk lama dengan makna yang agak khusus.

  Contoh :

  Mbak Ari cantik sekali.

  unduh pada tanggal 02 Juni 2013).

2.3 Tinjauan Pustaka

  Sangapta Limbeng (2000) dalam skripsinya yang berjudul Interferensi

  

Retroaktif Bahasa Batak Karo Pada Bahasa Indonesia Lisan Murid Sekolah

Dasar Kecamatan Sibiru – biru Kabupaten Deli Serdang, membicarakan tentang

  kelas kata bahasa Batak Karo, kosa kata bahasa Batak Karo, struktur kalimat bahasa Batak Karo pada bahasa Indonesia.

  Nurcaya (1988) dalam skripsinya Interferensi Bahasa Batak Karo

  

Terhadap Bahasa Indonesia di Kotamadya Medan , membicarakan tentang

  masalah interferensi fonologi, morfologi, sintaksis, dan bidang leksikal bahasa Batak Karo pada bahasa Indonesia di kotamadya medan.

  Hotlan Siahaan (1989) dala skripsinya Interferensi Bahasa Daerah Terhadap Perkembangan Bahasa Indonesia, membicarakan tentang masalah interferensi di bidang morfologi, kosa kata, sintaksis pada bahasa daerah dalam perkembangan bahasa Indonesia.

  Januari Tamba (1987) dalam skripsinya yang berjudul Interferensi Bahasa

  Batak Toba Terhadap Bahasa Indonesia , membicarakan tentang masalah –

  masalah interferensi dalam bidang fonologi, morfologi, sintaksis, dan interferensi dalam bidang leksikal pada bahasa Batak Toba.

  Peneliti ingin mendeskripsikan jenis-jenis interferensi dalam majalah Gadis dan pengaruhnya terhadap bahasa Indonesia. Interferensi yang merupakan penyimpangan bahasa dapat memberi pengaruh yang tidak baik bagi perkembangan bahasa Indonesia.