BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Yuridis Penerbitan Surat Perintah Penghentian Penuntutan Oleh Kejaksaan Dikaitkan Dengan Asas Oportunitas Dan Undang-Undang No 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia diidealkan dicita-citakan oleh The Founding Fathers sebagai suatu

  negara hukum (rechts staat / the rule of law). Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, menyatakan bahwa : “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.Hal ini bermakna bahwa di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, hukum merupakan urat nadi seluruh aspek kehidupan. Hukum mempunyai posisi

  

  strategis dan dominan dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara. Untuk mewujudkan prinsip-prinsip negara hukum, diperlukan baik norma-norma atau peraturan perundang-undangan, juga aparatur pengemban dan penegak hukum yang profesional, berintegritas, dan disiplin yang didukung oleh sarana dan prasarana hukum serta perilaku hukum masyarakat. Oleh karena itu, idealnya setiap negara hukum termasuk negara Indonesia harus memiliki lembaga/institusi/aparat penegak

  

  hukum yang berkualifikasi demikian. Salah satu lembaga penegak hukum yang ada

1 Lihat : Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, mengatakan bahwa : “Negara Indonesia

  

adalah negara hukum (rechts staat) bukan negara kekuasaan (machtstaat). Hal ini membawa konsekuensi bahwa negara termasuk di dalamnya pemerintah dan lembaga-lembaga negara yang lain dalam melaksanakan tindakan apapun harus dipertanggung-jawabkan secara hukum, karena itu, setiap tindakan harus berdasarkan hukum. Sehingga konsekuensi dari negara hukum adalah hukum sebagai panglima yang tidak memandang siapapun, baik dari kalangan pejabat, pengusaha, maupun rakyat biasa mempunyai hak dan kedudukan yang sama dihadapan hukum. Sumber : M. Ali Mansyur,

“Pranata Hukum dan Penegakannya di Indonesia”,, diakses pada 12 November 2012. di Indonesia adalah Kejaksaan Republik Indonesia, disamping lembaga penegak hukum lainnya.

  Penegak hukum pada hakikatnya merupakan suatu proses untuk mewujudkan

  

  tujuan-tujuan hukum, ide-ide hukum menjadi kenyataan. Penegakan huukum merupakan proses kegiatan atau aktivitas yang salah satunya dijalankan oleh penegak hukum (Penyidik Kepolisian, Penyidik Pegawai Negeri Sipil – PPNS, Jaksa, dan Hakim). Untuk menghasilkan penegakan hukum yang baik maka proses setiap tahapan dalam penegakan hukum harus dilakukan dengan baik dan benar.

  Hukum dan penegakan hukum, menurut Soerjono Soekanto, merupakan sebagian faktor penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan sebagian faktor penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan, karena jika diabaikan akan

  

  menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan. Oleh karena itu, keberadaan Kejaksaan, sebagai institusi penegak hukum mempunyai kedudukan yang sentral dan peranan yang strategis di dalam suatu negara hukum karena institusi Kejaksaan sebagai filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan.

  Penegakan hukum pidana (criminal law enforcement) merupakan upaya untuk menegakkan norma hukum pidana beserta segala nilai yang ada di belakang norma tersebut (total enforcement), yang dibatasi oleh “area of no enforcement” melalui hukum acara pidana atau ketentuan khusus lainnya, untuk menjaga 3 Esmi Warasih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, (Semarang: Suryandaru Utama, 2005), hal. 83. keseimbangan antara kepentingan negara, kepentingan umum dan kepentingan

   individu (full enforcement).

  Proses penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana terdiri dari 4 (empat) tahapan, yaitu :

  1. Penyelidikan; Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara

  

  yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang

   untuk melakukan penyelidikan.

  2. Penyidikan; Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak

  

  pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk

   melakukan penyidikan.

  3. Penuntutan; Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut 5 Muladi, “Membangun “Grand Design” Kebijakan Penegakan Hukum yang

  

Mengakomodasi Keadilan di Era Demokrasi”, Makalah disampaikan dalam FGD “Reformasi

Penegakan Hukum di Indonesia” diselenggarakan oleh Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanandi Hotel Sari Pan Pacific, pada hari Rabu, 12 Oktober 2011, hal. 4-5. 6 7 Lihat : Pasal 1 angka 5, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

  Lihat : Pasal 1 angka 4, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. cara yang diatur dalam undang-undang dengan permintaan supaya diperiksa

  

  dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan

   melaksanakan penetapan hakim.

  4. Pemeriksaan di Pengadilan dan Putusan. Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam

  

  hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk

   mengadili.

  Kejaksaan merupakan salah satu institusi penegak hukum yang kedudukannya berada pada lingkungan kekuasaan eksekutif (pemerintah), sebagai Pengacara Negara. Fungsi kejaksaan mencakup fungsi preventif dan fungsi represif dalam bidang kepidanaan serta pengacara negara dalam keperdataan dan tata usaha negara. Fungsi preventif berupa peningkatan kesadaran hukum masyarakat, pengamanan kebijakan penegakan hukum, pengamanan peredaran barang cetakan, pengawasan aliran kepercayaan, pencegahan dan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama, penelitian dan pengembangan hukum serta statistic kriminal. Dalam fungsi represifnya, kejaksaan melakukan penuntutan dalam perkara pidana, melaksanakan 10 11 Lihat : Pasal 1 angka 7, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

  Lihat : Pasal 1 angka 2, Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. penetapan hakim dan putusan pengadilan, melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan lepas bersyarat, melengkapi berkas perkara tertentu yang berasal dari penyidik Kepolisian atau Penyidik PNS (PPNS).

   Kejaksaan mengemban misi yang harus disukseskan untuk kelanjutan

  pembangunan bangsa dan negara

   1.

  “Mengamankan dan mempertahankan Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa terhadap usaha-usaha yang dapat menggoyahkan sendi-sendi kehidupanbermasyarakat, berbangsa dan bernegara;

  : 2.

  Mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum keadilan dan kebenaran bedasarkan hukum-hukum kesusilaan, hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat; 3. Mampu terlibat sepeunhnya dalam proses pembangunan antara lain untuk menciptakan kondisi dan prasarana yang mendukung dan mengamankan pelaksanaan pembangunan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan pancasila dan UUD 1945;

4. Menjaga dan menegakkan kewibawaan pemerintah negara; 5.

  Melindungi kepentingan rakyat melalui penegakan hukum”.

  Dalam rangka supremasi hukum, fungsi kejaksaan sangat penting dalam mewujudkan hukum inconcreto. Menurut Bagir Manan, mewujudkan hukum in

  concreto bukan hanya fenomena pengadilan atau hakim, tetapi termasuk di dalam

  pengertian itu adalah pejabat administrasi pemberi pelayanan hukum, dan penegak hukum. Kejaksaan dan Kepolisian merupakan pranata publik penegak hukum, yang dalam sistem peradilan pidana justru merupakan sumber awal dari suatu proses peradilan.

   14 Lihat : Pasal 31 – 34, Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. 15 Mastra Liba, 14 Kendala Penegakan Hukum, Mahasiswa dan Pemuda Sebagai Pilar Reformasi Tegaknya Hukum dan HAM , (Jakarta: Yayasan Annisa, 2002), hal. 23. 16 Bagir Manan, “Pemikiran Negara Berkonstitusi di Indonesia”, makalah yang disampaikan Proses penegakan hukum dalam penanggulangan kejahatan atau tindak pidana yang terjadi dalam masyarakat adalah merupakan salah satu mata rantai dari fungsi jaksa, dimana fungsi tersebut tidak dapat terlepas dan dipisahkan dari proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan, dan eksekusi. Pelaksanaan penyidikan yang baik akan dapat menentukan keberhasilan penuntutan oleh jaksa

  

  penuntut umum di depan persidangan. Dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP) peranan jaksa sangat sentral karena Kejaksaan merupakan lembaga yang menentukan apakah seseorang harus diperiksa oleh pengadilan atau tidak. Jaksa pula yang menentukan apakah seorang tersangka akan dituntut untuk dijatuhi hukuman atau

  

  tidak melalui kualitas surat dakwaan dan tuntutan-tuntutan yang dibuat. Dengan demikian terlihat keterkaitan antara penyidikan dengan tugas penuntutan perkara yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum.

  Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi, kolusi dan nepositme, dalam melaksanakan fungsi, tugas, wewenangnya. Kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus mampu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan dan kebenaran berdasarkan hukum dan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan dan kesusilaan serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum dan keadilan yang 17 Djoko Prakoso, Eksistensi Jaksa (di Tengah-tengah Masyarakat), (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hal. 19. hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu, peran kejaksaan sebagai salah satu ujung tombak dalam penegakan hukum diharapkan dapat menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat.

19 Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

  sebagailandasan struktural dan piranti pengikat bagi eksistensi kejaksaan saat ini, memberikan rumusan secara global perihal tugas dan wewenangnya.

  Termaktubdalam Pasal 30 setidaknya-tidaknya ada 7 (tujuh) aspek tugas dan wewenang. Dalambukunya “Proses Penanganan Perkara Pidana”, Leden Marpaungmengemukakan perihal esensi kejaksaan :

  “Kejaksaan itu adalah suatu alat Pemerintah yang bertindak sebagai penuntutumum dalam suatu perkara pidana terhadap si pelanggar hukum pidana. Sebagaidemikian itu ia mempertaruhkan kepentingan masyarakat. Ialah yangmempertimbangkan apakah kepentingan umum mengharuskan supaya perbuatanyang dapat dihukum itu harus dituntut atau tidak. Kepadanya pulalah semata-matadiserahkan penuntutan perbuatan yang dapat dihukum”.

20 Demikian pula dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

  (KUHAP), pada Pasal 14 berikut Pasal 137 Jo. Pasal 84 ayat (1) KUHAP memberikan kejelasan mengenai kewenangan penuntut umum, diantaranya yang utama, pertama membuat surat dakwaan (letter of accusation), kedua, melakukan penuntutan (to carry out accusation), ketiga menutup perkara demi kepentingan

  19 http://www.komisihukum.go.id.article., diakses pada 25 Februari 2012. hukum, keempat mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab

   sebagai penuntut umum menurut ketentuan Undang-Undang Dasar.

  Jaksa penuntut dalam melakukan tugas penegakan hukum, pada umumnya bertindak untuk dan atas nama negara. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.Selain itu, sebagai alat penegak hukum, bukan hanya semata mata bertolak pada kekuasaan dan kewenangan yang ada padanya sesuai dengan ketentuan yang berlaku, tapi juga wajib melayani kebutuhan hukum individu dan kepentingan masyarakat/negara sebagai satu kesatuan secara serasi dan seimbang. Kejaksaan harus berani mengambil langkah-langkah secara tegas kepada setiap pelanggar hukum dan melindungi setiap orang dari tindakan pelanggar hukum.

  Pasal 35 huruf c Undang-UndangNo. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RepublikIndonesia, yang menyatakan bahwa : “Jaksa Agung mempunyaitugas dan wewenang mengesampingkan perkara demikepentingan umum”.Menurut penjelasannya,“Mengesampingkan perkara merupakan pelaksanaan asasoportunitas yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agungsetelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badankekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalahtersebut”. Hal ini berarti kewenangan mengesampingkan perkarahanya ada pada Jaksa Agung dan bukan pada Jaksa di bawahJaksa Agung (vide Penjelasan Pasal 77 KUHAP).

  Penjelasan Pasal 35 huruf c Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentangKejaksaan Republik Indonesia, menyebutkan bahwa : “Yangdimaksud dengan "kepentingan umum" adalah kepentinganbangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas”.Dalam mendasarkan pertimbangan dan penilaiannya,Jaksa Agung akan melihatnya pula dari segi kepentinganmasyarakat luas, terutama dari segi falsafah hidup bangsaIndonesia yaitu Pancasila. Pancasila sebagai dasar negara yangmengutamakan sikap dasar untuk mewujudkan keselarasan,keserasian, dan keseimbangan dalam hubungan sosial antaramanusia pribadi dengan manusia lainnya untuk mencapai ataumemperoleh kepentingannya. Jelas bahwa kebijakan penuntutanuntuk kepentingan umum dipercayakan dan dipertanggung-jawabkanpada Jaksa Agung sebagai Penuntut Umum Tertinggi,dan adanya asas oportunitas merupakan yangdibutuhkan dalam penegakan hukum demi menjamin stabilitasdalam suatu negara hukum.

  Salah satu kewenangan penting yang dimiliki oleh kejaksaan adalah penerbitan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2). Surat yang seharusnya merupakan surat ketetapan untuk menghentikan penuntutan yang diterbitkan ketika penuntut umum berpendapat bahwa berkas perkara setelah dilakukan penelitian ternyata tidak cukup alat bukti untuk membuktikan terdakwa telah melakukan tindak pidana seolah tidak hanya demi kepentingan hukum dan kepentingan umum, akan tetapi telah merembet menjadi semacam kartu sakti demi kepentingan tertentu agar lolos dari jeratan hukum.

  Contoh kasus dalam SKP2 ini dapat dilihat pada kasus terakhir yang melibatkan institusi penegak hukum Kejaksaan adalah perseteruan antara oknum

   Kepolisian Republik Indonesia dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

  Perseteruan ini melibatkan oknum Kejaksaan yang dikenal dengan istilah Cicak vs. Buaya dimana perseteruan tersebut dianggap seolah-olah upaya dari instansi Kepolisian dan atau Kejaksaan untuk mengkriminalisasi Pimpinan KPK, yakni Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto, dimana kasus ini bermula dari penyidikan yang dilakukan oleh Kepolisian terhadap Antasari Azhar (Mantan Ketua KPK) dalam dugaan kasus pembunuhan Nasruddin Zulkarnaen. Dalam proses penyidikan kasus tersebut Antasari Azhar mengeluarkan testimoni pada tanggal 16 Mei 2009 yang isinya tentang dugaan adanya penerimaan uang sebesar Rp. 6.700.000.000,- (enam miliar tujuh ratus juta rupiah) oleh sejumlah Pimpinan KPK

  

  (Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto). Hal inilah yang menjadi dasar Kepolisian untuk melakukan penyidikan terhadap Pimpinan KPK.

  Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri yang waktu itu dijabat oleh Susno Duaji, merasa telepon genggamnya disadap oleh KPK terkait dengan kasus penggelapan dana Bank Century yang ditangani Mabes Polri. Saat itulah meluncur istilah Cicak vs. Buaya, dalam jumpa persnya yang bersangkutan mengatakan : “Masak cicak kok berani lawan buaya”. Selanjutnya Bibit Samad Rianto memastikan KPK hanya menyadap pihak yang terindikasi korupsi dan pada 22 Harian Kompas, “Muhammad Abduh: Penghentian Penyidikan Tindak Pidana dan

  Penyelesaian di Luar Pengadilan Dugaan Pemerasan dan Penyalahgunaan Wewenang”, diterbitkan Selasa, 15 Mei 2012.

  

  saat itu, Susno Duaji masuk ke telepon yang sedang disadap. KPK juga menemukan surat pencabutan pencekalan palsu terhadap Anggoro Widjojo, selain itu

   3 (tiga) Pimpinan KPK dengan tegas menolak testimoni Antasari Azhar.

  Walaupun demikian, Polisi juga memperoleh fakta adanya tindak pidana penyalahgunaan wewenang oleh Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto

   terkait pencekalan dan pencabutan cekal yang tidak dilakukan secara kolektif.

  Chandra M. Hamzah mencekal AnggoroWidjojo, Bibit Samad Rianto mencekal Joko Tjandra. Lalu, Chandra M. Hamzah mencabut pencekalannya terhadap Joko Tjandra sehingga ada kejanggalan di dalamnya. Oleh karena itu, Polisi mulai memeriksa keempat Pimpinan KPK terkait dugaan penyalahgunaan wewenang dalam pencekalan Anggoro Widjojo dan Joko Tjandra. Sampai pada akhirnya tanggal 15 September 2009, Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah ditingkatkan statusnya dari saksi menjadi tersangka dalam kasus penyalahgunaan wewenang akan tetapi kuasa hukum KPK tidak menerima salinan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah dan dicurigai adanya indikasi rekayasa dalam kasus tersebut. Hal ini langsung dibantah Inspektorat Pengawasan Umum

24 Harian Koran Demokrasi Indonesia, “Susno Duaji: Sang Jenderal Kontroversial Ditangkap di Bandara”, diterbitkan Selasa, 13 April 2010.

  25 Mahendra Sucipto, Transkrip Rahasia Hasil Sadapan KPK (Membongkar Modus , (Yogyakarta: Narasi, 2009), hal. 16. Lihat juga : Harian Kompas, Operandi Para Makelar Kasus) “Kronologi Lengkap: Dari Anggoro, Bibit-Chandra Lalu ke Susno”, diterbitkan Kamis, 05 November 2009.

  (Itwasum) Mabes Polri, yang mengatakan bahwa : “Tidak ada penyalahgunaan

   wewenang terkait penanganan kasus Bibit Samad Rianto – Chandra M. Hamzah”.

  Setelah itu, Presiden merespon perubahan status tersangka tersebut dengan mengeluarkan Keputusan Presiden pemberhentian sementara Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto. Presiden juga menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Undang-Undang KPK yang memungkinkan Penunjukan Langsung Pelaksana Tugas Sementara (Plt.) Pimpinan KPK yang direspon oleh Pengacara Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto dengan mendaftarkan permohonan uji materil Pasal 32 ayat (1), Undang- Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan bahwa : “Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi berhenti atau diberhentikan karena

   menjadi Terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan”.

  Selanjutnya, berkas Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto dilimpahkan ke Kejaksaan, namun, dikembalikan oleh Kejaksaan kepada Mabes Polri sebanyak 2 (dua) kali karena alasan belum lengkap. Pada akhirnya transkrip rekaman rekayasa kriminalisasi KPK beredar di media massa. Isi dari rekaman tersebut di antaranya percakapan antara Anggodo Widjojo (adik Anggoro Widjojo) dengan mantan Jamintel Wisnu Subroto dan Wakil Jaksa Agung Abdul Hakim Ritonga. Percapakan pada Juli – Agustus 2009 itu merupakan praktek mafia 27 Harian Kompas, “Muhammad Abduh: Penghentian Penyidikan Tindak Pidana dan Penyelesaian di Luar Pengadilan Dugaan Pemerasan dan Penyalahgunaan Wewenang”, Op.cit. peradilan yang merancang kriminalisasi KPK. Nama petinggi Kepolisian dan Presiden juga disebut sehingga pada tanggal 29 Oktober 2009, Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah ditahan di Markas Komando Brimob Kelapa Dua Depok karena Polisi menilai kedua tersangka melakukan tindakan mempersulit jalannya pemeriksaan dengan menggiring opini publik melalui pernyataan-pernyataan di

   media serta forum diskusi.

  Pada tanggal 03 November 2009, Mahkamah Konstitusi memperdengarkan rekaman yang berdurasi 4,5 jam dalam persidangan uji materil terhadap Judicial

  Review

  Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan pemutaran alat bukti rekaman yang berisi percakapan antara Anggodo Widjojo dengan sejumlah petinggi di Kejaksaan Agung dan Mabes Polri. Setelah selesai persidangan, sejumlah pihak meminta Kapolri dan Jaksa Agung mengundurkan diri sebagai bentuk dari pertanggung-jawaban, dan menuntut agar Susno Duaji segera dicopot dari jabatannya, desakan tersebut datang dari sejumlah aktivis di antaranya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang melakukan demonstrasi terhadap Kepolisian agar Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto dibebaskan sehingga karena banyaknya desakan agar Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto maka pada waktu itu juga penahanan ditangguhkan. Keduanya dikeluarkan dari tahanan pada dini hari waktu itu juga. Melihat hal seperti ini, Presiden meminta agar kasus Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto diselesaikan di luar pengadilan (out of court settlement) walaupun pada saat itu, Kejaksaan telah menyatakan bahwa Kasus Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto telah P-21 (sudah lengkap dan siap untuk disidangkan), karena permintaan Presiden tersebut maka Kejaksaan menerbitkan Surat Keputusan Penghentian

30 Penuntutan (SKPP).

  Penghentian penuntutan yang dilakukan oleh Kejaksaan bukanlah hal yang pertama kali dilakukan karena sebelum adanya kasus ini, pernah dilakukan Penghentian Penuntutan dalam kasus dugaan korupsi Bantuan Likuidasi Bank Indonesia (BLBI) yang waktu itu diketuai oleh Jaksa Urip. Walaupun kemudian ditemukan bukti-bukti oleh KPK bahwa yang bersangkutan menghentikan perkara karena menerima suap sehingga dikeluarkannya Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3). Walaupun sebenarnya penghentian penyidikan ini bermasalah karena

   tidak sesuai dengan KUHAP.

  Penghentian penyidikan itu sendiri di dalam KUHAP dan berbagai peraturan perundang-undangan diatur sebagai berikut :

  1. Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) diatur dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP. SP3 dikeluarkan jika tidak terdapat cukup bukti, peristiwa itu bukan merupakan tindak pidana, atau dihentikan demi hukum. Merujuk KUHP dan doktrin yang dimaksudkan, jika perkara itu terkait seseorang yang tidak dapat dituntut lebih dari satu kali di depan pengadilan dengan perkara yang sama, 30 kadaluwarsa, atau terdakwa meninggal dunia. Dalam kasus Chandra M.

  Majalah Konstitusi, “Editorial: Jangan Melawan Kekuatan Rakyat”, Edisi 34 – November 2009, hal. 5. Hamzah dan Bibit Samad Rianto, instrumen ini tidak mungkin lagi ditempuh karena proses perkara telah sampai ke Kejaksaan yang berarti sudah masuk ke proses penuntutan; 2. Penghentian Perkara dengan instrumen Surat Ketetapan Penghentian

  Penuntutan (SKP2) berdasarkan Pasal 140 ayat (2) KUHAP. Alasan penghentian penuntutan sama persis dengan alasan penghentian penyidikan seperti uraian Poin 1 di atas; 3. Penghentian Perkara oleh Jaksa Agung melalui mekanisme Pasal 35 huruf c.

  Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang menyatakan bahwa : “Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum”. Hal ini merupakan asas oportunitas Jaksa Agung untuk tidak melakukan penuntutan suatu perkara pidana demi kepentingan umum. Asas ini adalah pengecualian dari asas legalitas dalam hukum acara pidana yang berarti setiap tindak pidana harus dituntut.

  4. Penghentian Perkara dengan instrumen abolisi sebagaimana yang terdapat di dalam Pasal 1 Undang-Undang Drt. No. 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi, menyatakan bahwa : “Presiden atas kepentingan negara, dapat memberikan amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang telah melakukan suatu tindak pidana. Presiden memberi amnesti dan abolisi ini setelah mendapat nasihat tertulis dari Mahkamah Agung yang menyampaikan nasihat itu atas permintaan Menteri Kehakiman dan Pasal 4 Undang-Undang Drt. No.

  11 Tahun 1954, menyatakan bahwa : “Dengan pemberian abolisi, maka penuntutan terhadap orang-orang yang termasuk dalam Pasal 1 dan 2 ditiadakan”. Penghentian penyidikan di dalam perkara Chandra M. Hamzah dan Bibit

  Samad Rianto, dilakukan oleh Kejaksaan dengan mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) atas permintaan Presiden yang meminta penyelesaian kasus ini dilakukan di luar pengadilan (out of court settlement). Padahal apabila dilihat dari kasusnya itu sendiri, maka sebenarnya kasus Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto merupakan kasus biasa. Namun, penanganannya sangatlah luar biasa karena melibatkan semua elemen yang ada baik itu organisasi mahasiswa, organisasi masyarakat, LSM, media massa baik cetak maupun elektronik yang membentuk opini masyarakat. Bahkan dengan menggunakan institusi Negara, sehingga Presiden (lembaga Eksekutif) mengeluarkan fatwa seperti telah dijelaskan sebelumnya. Selain itu, Presiden juga sampai membentuk Tim Pencari Fakta (Tim Delapan) dengan melibatkan 2 (dua) akademisi non-hukum (Anis Baswedan dan Komarudin), yang lainnya adalah (Letjend. Koesparmono Irsan), satu politikus dari advokat (Amir Syamsudin) dan satu akademisi hukum yang menjadi penasihat hukum Presiden (Denny Indrayana), satu orang Wantimpres (Adnan Buyung

   Nasution), serta advokat senior (Todung Mulya Lubis).

  Harus diakui bahwa selama ini seakan-akan institusi penegak hukum, baik itu Kepolisian, Kejaksaan, dan Lembaga Peradilan maupun Advokat, semuanya mengungkap kejahatan dalam jeratan formalisme dogmatika hukum. Padahal saat ini kejahatan tidak hanya terjadi di tempat-tempat lazimnya terjadi kejahatan, begitupun dengan kejahatan tindak pidana korupsi.Bahkan sekarang ini, korupsi seakan-akan menjadi trendsetter yang biasa dilakukan terlebih bagi mereka yang memiliki kekuasaan baik swasta maupun pegawai negeri. Dari ruang lingkup yang terkecil hingga ruang lingkup yang terbesar, korupsi tampil dengan model dan gaya yang beranekaragam. Tindak pidana korupsi selalu berusaha menemukan tempat melalui pencitraan yang disengaja oleh kekuatan tertentu sehingga korupsi yang dilakukan tidak terlihat bahkan bila perlu dianggap sebagai bukan kejahatan atau disebut

   simulasi kejahatan .

  Kasus Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto tersebut tentunya merupakan preseden yang buruk dalam sistem penegakan hukum di Indonesia. Hal ini dikarenakan selain tidak adanya kepastian hukum kasus tersebut juga menunjukkan kepada dunia bagaimana tidak profesionalismenya aparat penegak hukum di Indonesia untuk menjalankan tugas dan wewenangnya. Perkara pidana didekati dengan political interest (kepentingan publik). Ranah hukum masih bisa diintervensi oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Organisasi Masyarakat (ORMAS), Media Massa yang justru bertentangan dengan prinsip-prinsip penegakan hukum yang harus mandiri dan independen, tapi justru dalam kasus ini proses hukum dapat berubah hanya karena permintaan Presiden (lembaga eksekutif) dan atau

   desakan pihak tertentu.

  Pada tingkat seperti ini, benturan kepentingan antara profesionalisme dan ketaatan pada sistem dan atau atasan tidak dapat dihindarkan karena keduanya seakan-akan seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Secara teoritis komitmen memang berbeda dengan loyalitas, dimana loyalitas cenderung mengarah ke loyalitas mutlak dan berujung pada kecenderungan penguasa pimpinan untuk

  

  menyalahgunakan loyalitas tersebut (abuse of power). Oleh karena itu, pelaksanaan disiplin itu harus didasarkan pada persetujuan, kesadaran sebagai bagian dari integritas atau dedikasi dari rasa takut, dan didasarkan kepada komitmen dari

  

  loyalitas. Dewasa ini tidak ada batasan yang jelas antara kehidupan pribadi dan kehidupan pekerja sehingga seringkali jelas antara kehidupan pribadi dan kehidupan pekerja sehingga seringkali menimbulkan penyimpangan dengan melakukan

   Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).

  34 Tidak dapat dipungkiri bahwa kekuasaan para penegak hukum untuk menjalankan kepercayaan masyarakat, pasti akan sering berbenturan dengan kepentingan pribadi para penegak hukum. Justru dalam kondisi seperti itulah keluhuran penegak hukum dalam menjalankan tugas dan wewenang mendapatkan tantangannya. Melacurkan profesi demi memenuhi desakan kebutuhan atau karena alasan keserakahan belaka, sama-sama merupakan kejahatan dan pelanggaran atas janji setia untuk melayani masyarakat. Para penegak hukum dalam menjalankan profesi luhurnya harus memiliki keberanian moral untuk senantiasa setia terhadap hati nuraninya dan menyatakan kesediaan untuk menanggung risiko konflik pribadi. Lihat : Febiana Rima dalam Ade Saptomo, et.al., Dialektika , (Jakarta : Komisi Yudisial RI, 2012), hal. 104.

  Pembaharuan Sistem Hukum Indonesia 35 Agus Wijayanto, “Strategi Penegakan Hukum Disiplin Anggota Polri Guna Mewujudkan Good Governance dan Clean Government di Internal Polri Dalam Rangka Memantapkan Citra Polri”, (Semarang : Tesis, Program Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, 2010), hal. 45. 36 Lihat : Pasal 1 angka 2, Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara.

  Kesan yang muncul kemudian terhadap kasus Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto adalah bentuk penyelesaiannya berdasarkan pendekatan politis bukan berdasarkan pendekatan hukum, karena secara kasat mata dapat dilihat bagaimana proses penegakan hukum dalam kasus tersebut telah diintervensi oleh kepentingan

  

  tertentu. Padahal terhadap posisi tersangka, ada asas nullum crimen sine poena

  legali yang artinya tiada kejahatan dapat dihukum sebelum diatur dalam undang-

  undang. Selain asas ini, seorang tersangka perkara pidana juga dapat memakai asas yaitu minta diberlakukan pemeriksaan (Peradilan) yang berimbang. Sebagai

  fair trial

  seorang tersangka, Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto bersama para Kuasa Hukumnya dapat menuntut adanya asas kesamaan orang di depan hukum atau equality before the law.

  KUHAP mengatur tentang aturan main (rule of the game). Penegakan hukum dan terhadap KUHAP sangat sedikit celah yang diberikan untuk melakukan penafsiran hukum (hanya diperbolehkan penafsiran gramatikal dan penafsiran sejarah) hal ini bertujuan agar tidak terjadi anarkisme hukum dan menjamin terciptanya kepastian hukum karena hanya dengan cara inilah sebenarnya hukum akan menjadi panglima dalam menciptakan keamanan dan ketertiban serta kesejahteraan masyarakat, bukan sebagai alat penguasa untuk mencapai suatu hal

38 Harian Kompas, “Daniel HT : Menengok Kembali Cicak vs. Buaya Jilid I, dan

  tertentu dan atau tujuan tertentu, sehingga tidak diperbolehkan memberikan hukuman

   atau punishment terhadap seseorang tanpa melalui suatu persidangan.

  Dari uraian diatas, berupa akumulasi keprihatinan menyaksikan carut- marutnya penegakan hukum di Indonesia, penulis mencoba untuk menganalisis tentang kewenangan kejaksaan dalam penerbitan Surat Perintah Penghentian Penuntutan (SP3) ini dalam sebuah penelitian yang berjudul: “Analisis Yuridis Penerbitan Surat Perintah Penghentian Penuntutan Oleh Kejaksaan Dikaitkan Dengan Asas Oportunitas dan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia”.

B. Rumusan Masalah

  Berdasarkan uraian latar belakang di atas, selanjutnya dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :

  1. Bagaimanakah kewenangan jaksa dalam penghentian penuntutan perkara pidana jika dikaitkan dengan asas oportunitas danUndang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia? 2. Bagaimanakah pengaturan asas oportunitas pada KUHAP dan Undang-

  Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia? 3. Bagaimanakah hambatan-hambatan yang dialami oleh jaksa dalam penerbitan

  Surat Perintah Penghentian Penuntutan?

  C. Tujuan Penelitian

  Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui kepastian hukum terkait penerbitan SP3 oleh Jaksa. Bertolak dari rumusan masalah maka tujuan dari penelitian ini, antara lain : 1.

  Untuk mengetahui dan menganalisis kewenangan jaksa dalam penghentian penuntutan perkara pidana jika dikaitkan dengan asas oportunitas dan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia; 2. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan asas oportunitas pada

  KUHAP dan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia; 3. Untuk mengetahui dan menganalisis hambatan-hambatan yang dialami oleh jaksa dalam penerbitan Surat Perintah Penghentian Penuntutan.

  D. Manfaat Penelitian

  Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan praktis, yaitu :

1. Secara Teoritis

  Kegunaan Teoritis, penelitian ini diharapkan dapat mengidentifikasi dan mendiskripsikan permasalahan yang timbul serta memberikan sumbangan pemikiran tentang formulasi hukum terkait dengan penghentian penuntutan, pelaksanaan kebijakan penghentian penuntutan perkara pidana, serta mengembangkan khasanah ilmu hukumkhususnya Sistem Peradilan Pidana (SPP).

2. Secara Praktis

  Berkaitan dengan judul di atas, maka penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat sebagai berikut: a.

  Bagi pembaca, diharap dapat menjadi tambahan ilmu pengetahuan mengenai kewenangan kejaksaan yang salah satunya adalah menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penuntutan (SP3).

  b.

  Bagi lembaga pendidikan, dapat menjadi tambahan perbendaharaan kepustakaan.

  c.

  Bagi peneliti berikutnya, penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan dan masukan dalam melakukan penelitian berikutnya.

  d.

  Bagi lembaga penegak hukum, penelitian ini diharapkan dapat menjadi pedoman dalam pelaksanaan kewenangan kejaksaan terkait dengan penghentian penuntutan perkara pidana.

E. Keaslian Penelitian

  Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai “Analisis Yuridis Penerbitan Surat Perintah Penghentian Penuntutan Oleh Kejaksaan Dikaitkan Dengan Asas Oportunitasdan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia” belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di lingkungan Universitas Sumatera Utara maupun perguruan tinggi lainnya dan penelitian ini asli disusun oleh penulis sendiri dan bukan plagiat atau diambil dari penelitian orang lain. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya secara ilmiah. Apabila ternyata ada penelitian yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya.

  Namun untuk kajian mengenai Surat Perintah Penghentian Penuntutan dan Asas Oportunitas pernah dilakukan, yaitu : 1.

  “Pelaksanaan Kegiatan Lembaga Penuntutan Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Psikotropika di Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara”, tesis ditulis oleh Sedia Ginting, pada 28 April 2008; dan

  2.

  “Sinergi Antara Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia”, tesis ditulis oleh Hendar Rasyid Nasution, pada 08 Desember 2010.

  Oleh karena itu, penelitian ini dapat dipertanggung-jawabkan apabila dikemudian hari ternyata terdapat bukti bahwasanya penelitian ini merupakan plagiat atau duplikasi dengan penelitian yang sudah ada sebelumnya.

F. Kerangka Teori dan Konsep

1. Kerangka Teori

  Teori dipergunakan untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala

  

  spesifik atau proses tertentu terjadi. Sedangkan kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis. Kerangka teori dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat teori, tesis sebagai pegangan baik disetujui atau tidak

   disetujui.

  Fungsi teori dalam penelitian tesis ini adalah untuk memberikan

  

  arahan/petunjuk serta menjelaskan gejala yang diamati. Hal ini dikarenakan penelitian ini merupakan penelitian hukum, maka kerangka teori diarahkan secara ilmu hukum dan mengarahkepada unsur hukum.

  Suatu Negara akan mencapai keberhasilan pembangunan nasionalnya secara menyeluruh jika konsep penegakan hukum (law enforcement) dapat ditegakkan secara tepat dan benar. Menurut Bagir Manan, penegakan atau menegakkan hukum bukan hanya sebagai fungsi dan proses peradilan, apalagi sekedar fungsi dan proses di pengadilan. Secara keseluruhan, semestinya wajah penegakan hukum tidak hanya diukur dari wajah pengadilan, tetapi pada seluruh fungsi dan lembaga penegakan hukum. Selain pengadilan yang dianggap paling penting dan menentukan, sangatlah perlu untuk juga mengamati lembaga-lembaga penegak hukum di dalam dan luar proses peradilan di samping pengadilan. Pada proses di luar peradilan seperti

   keimigrasian, bea cukai, perpajakan, lembaga pemasyarakatan, dan lain-lain.

  Menurut Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana (criminal justice

  

system ) adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah

  41 42 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian,(Bandung: Mandar Madju, 1994), hal. 80.

  Snelbecker dalam Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), hal 35. kejahatan. Menanggulangi disini berarti untuk mengendalikan kejahatan agar berada

   dalam batas-batas toleransi masyarakat.

  Sistem Peradilan Pidana (SPP) pada hakikatnya identik dengan sistem penegakan hukum pidana. Sistem penegakan hukum pada dasarnya merupakan

  

  sistem kekuasaaan/kewenangan menegakkan hukum. Sistem peradilan pidana sebagai sistem pengendalian kejahatan yang teridiri dari lembaga-lembaga Kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan. Dalam penelitian ini yang menjadi perhatian adalah sub-sistem Kejaksaan yang salah satunya mempunyai kewenangan mencegah dan menangkal orang-orang tertentu untuk masukkedalam atau meninggalkan wilayah kekuasaan Negara Repubilk Indonesia karena

   keterlibatannya dalam perkara pidana.

  Dalam menjalankan tugas dan kewenangan sebagai penegak hukum, Kejaksaan tidak akan terlepas dari masalah yang mungkin terjadi. Soerjono Soekanto mengatakan :

  “Masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor

  

  yang mungkin mempengaruhi, yaitu 1.

  Faktor hukum sendiri 2. Faktor penegak hukum 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkanfaktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa 44 yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup”.

  Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Peran Penegak Hukum

Melawan Kejahatan) dalam Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana , (Jakarta: Pusat

Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI, 1997), hal. 84. 45 Barda Nawawi Arief, Sistem Peradilan Pidana Terpadu Dalam Kaitannya Dengan Pembaruan Kejaksaan , (Jakarta: Media Hukum, 2002), hal. 27. 46 Lihat : Pasal 35 huruf f. Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik

  Mengingat pencegahan dan penangkalan bersangkut paut dengan hak seseorang untuk bepergian, maka keputusan pencegahan dan penangkalan harus mencerminkan dan mengingat prinsip-prinsip Negara yang berdasarkan atas hukum dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

48 Menurut Mardjono Reksodiputro,pada dasarnya setiap manusia memiliki

  hak-hak yang telah melekat pada dirinya sejak lahir, yang tidak dapat dicabut dan tidak boleh dilanggar. Tanpa hak-hak tersebut, seorang manusia tidak mempunyai martabat sebagai manusia. Hak-hak tersebut adalah Hak Asasi Manusia (HAM).

   Larangan adanya diskriminasi dalam pemberian jaminan atau perlindungan

  HAM ini dibatasi untuk keadaan-keadaan tertentu seperti yang diuraikan di dalam

  Pasal 29 ayat (2) Deklarasi Universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia

  

  “Didalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasan setiap orang harus tunduk hanya kepada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang- undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penanaman nilai yang layak bagi hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain dan untuk memnuhi syarat-syarat benar dari kesusilaan, tata tertib umum dalam suatu masyarakat demokrasi”.

  : Negara berperan memberikan jaminan dan perlindungan HAM secara pasti terhadap warga negaranya. Salah satu bentuk hak asasi manusia yang harus 48 Bagian Umum Penjelasan Undang-Undang No. 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian. 49 Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta:

  Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) , (Jakarta: UI Press, 1999), hal. 7. 50 Menurut Muladi, hak-hak yang dapat dibatasi hanyalah hak-hak relatif (derogable rights), sendangkan hak-hak absolute (non derogable rights) seperti hak-hak untuk hidup, hak untuk tidak dalam hukum, kebebasan lain, tidak dapat dibatasi sekalipun negara dalam keadaan darurat. Sumber : dilindungi adalah hak kemerdekaan seorang warga negara. Penghargaan terhadap hak kemerdekaan seorang warga negara adalah penting, seperi pada saat seorang warga Negara menjadi tersangka atau terdakwa. Adanya pembatasan kemerdekaan membuat seseorang warga Negara mengalami penurunan status baik secara hukum maupun moral. Oleh karena itu untuk memberikan jaminan dan perlindungan hak asasi manusia, hak-hak seseorang warga negara yang menjadi tersangka atau

   terdakwa harus diatur dalam suatu konstitusi.

  Berdasarkan uraian-uraian penjabaran diatas,maka adapun teori yang penulis gunakan didalam penelitian ini adalah Teori Penegakan Hukum dan Teori Keadilan.Menurut Lawrence M. Friedman, dalam sebuah sistem hukum terdapat tiga komponen yang saling mempengaruhi, yaitu struktur (structure), substansi (substance) dan budaya hukum (culture).

  “(Legal culture) the structure of legal system consists of elements of this

  kinds: the number and size of courts, their jurisdiction (that is what kind of cases they and how and why), and modes of appeal from one court to another .... another aspect of the legal system is its substance. By this is meant the actual rules, norm, and behavior patterns of people inside the system ... legal culture is meant people’s attitude toward law and the legal system-their beliefs, values, it is that part of the general culture which concerns the legal system.

  Struktur hukum terdiri dari unsur-unsur jumlah dan ukuran pengadilan, yuridiksinya (yaitu jenis perkara dan mereka periksa dan bagaimana serta mengapa), serta cara banding dari suatu pengadilan ke pengadilan lain. Substansi hukum adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem tersebut, atau substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum tersebut, keputusan yang mereka keluarkan dan aturan baru yang mereka susun.

  Sedangkan budaya hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum tersebut, kepercayaan, nilai, pemikiran serta harapannya. Atau dengan kata lain, budaya social adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum dipergunakan, dihindari atau

   disalahgunakan.

  Dari ketiga unsur di atas, menurut Friedman, unsur yang terpenting adalah unsur budaya hukum yang menjadi penggerak bagi bekerjanya sistem hukum tersebut. Dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP)Indonesia terdapat sub-sistem – sub- sistem yang dipengaruhi oleh budaya hukum yang ada dalam sistem tersebut. Sub- sistem yang terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan secara keseluruhan bekerjasama membentuk Suatu Sistem Peradilan

  stem ini berusaha

  mentransformasikan masukan (input) menjadi keluaran (output) yang menjadi tujuan Sistem Peradilan Pidana.

  Teori Keadilan menurut John Stuart Mill dalam bukunya Utilitarianism, mengatakan bahwa : “Keadilan bukan hanya berisi apa yang benar untuk dilakukan atau tidak benar untuk dilakukan, namun juga sesuatu yang memperbolehkan orang

  

  lain mengklaim dari kita sesuatu sebagai hak moralnya”. Apa yang membedakan keadilan adalah konsep mengenai hak atau klaim itu sendiri.Darimana datangnya perasaan khusus yang melekat pada keadilan atau yang dimunculkan oleh kasus- kasus ketidakadilan. Menurut Mill, “sentimen keadilan” adalah “hasrat hewani untuk 52 Lawrence M. Friedman, American Law and Introduction, Edisi Kedua, (New York: W.W

  Norton & Company, 1998), diterjemahkan oleh Wisnu Basuki, Hukum Amerika, Sebuah Pengantar, (Jakarta: Tatanusa, 2001), hal. 7-9. 53 Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Op.cit., hal.

  85. menolak atau membalas sebuah rasa sakit atau kerusakan” yang menimpa dirinya

   atau orang lain.

  Masalah keadilan dan hak asasi manusia dalam kaitannya dengan penegakan hukum pidana memang bukan merupakan pekerjaan yang sederhana untuk direalisasikan. Banyak peristiwa dalam kehidupan masyarakat menunjukan bahwa

   kedua hal tersebut kurang memperoleh perhatian yang serius.

  Menurut Muladi, tujuan Sistem Peradilan Pidana tersebut dapat dibedakan menjadi 3(tiga), yaitu :

  1.

  “Tujuan jangka pendek berupa resosialisasi pelaku tindak pidana; 2. Tujuan jangka menengah berupa pengendalian kejahatan; dan

   3.

  Tujuan jangka panjang berupa kesejahteraan sosial”.

  Jadi dalam Sistem Peradilan Pidana yang terpadu, peranan kejaksaan dalam Sistem Peradilan Pidana khususnya dalam penghentian penuntutan, tidak dapat dipisahkan dengan sub-sistem lainnya.

Dokumen yang terkait

Analisis Yuridis Penerbitan Surat Perintah Penghentian Penuntutan Oleh Kejaksaan Dikaitkan Dengan Asas Oportunitas Dan Undang-Undang No 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI

1 67 171

Efektivitas Pengawasan Komisi Kejaksaan Terhadap Perilaku Jaksa Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia

0 3 38

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Yuridis Tentang Pembagian Kekayaan Dari Yayasan Kepada Organ Yayasan Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004

0 0 19

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Studi Tentang Penerbitan Akta Catatan Sipil Oleh Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil Kota Medan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan

0 0 17

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Yuridis Tentang Pembubaran Dan Likuidasi (Penyelesaian) Atas Pailitnya Koperasi

0 0 35

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Yuridis Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum Dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Dalam Pemberian Bantuan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Dan Korban Tin

1 1 42

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pemindahan Hak Atas Kekayaan Yayasan Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 JO Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Yayasan

0 0 26

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pelaksanaan Pemberi Bantuan Hukum Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum

0 0 27

Analisis Yuridis Penerbitan Surat Perintah Penghentian Penuntutan Oleh Kejaksaan Dikaitkan Dengan Asas Oportunitas Dan Undang-Undang No 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI

0 0 9

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM PENGHENTIAN PENUNTUTAN PERKARA PIDANA JIKA DIKAITKAN DENGAN ASAS OPORTUNITAS DAN UNDANG-UNDANG NO. 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA A. Pengertian Asas Oportunitas - Analisis Yuridis Penerbitan Surat Perintah

0 0 33