BAB II BIOGRAFI DATUK BADIUZZAMAN SURBAKTI 2. Biografi Datuk Badiuzzaman Surbakti - Konflik Dan Kekuasaan Suatu Studi Perjuangan Politik Datuk Badiuzzaman Surbakti Dalam Perang Sunggal (1872-1895)

BAB II BIOGRAFI DATUK BADIUZZAMAN SURBAKTI

2. Biografi Datuk Badiuzzaman Surbakti

  Datuk Badiuzzaman Surbakti adalah tokoh yang lahir dari kerajaan Sunggal, Serbanyaman, dengan nama lengkap Datuk Sri Diraja Badiuzzaman Sri indera Pahlawan Surbakti. Beliau lahir di Sunggal, Kecamatan Medan Sunggal, pada tahun 1845. Ia merupakan seorang putera dari hasil perkawinan antara Raja Sunggal pada masa itu yakni Datuk Abdullah Ahmad Sri Indera Pahlawan Surbakti dengan seorang perempuan yang bernama Tengku Kemala Inasun Bahorok. Ketika beliau menginjak usia yang cukup matang untuk berkeluarga, maka beliau memperistri seorang perempuan yang bernama Ajang Olong Besar Hamparan Perak, dan dari hasil perkawinan tersebut belia mendapat keturunan lima orang anak laki-laki dan dua oran anak perempuan, antara lain yaitu Datuk Muhammad Mahir Surbakti, Datuk Muhammad Lazim Surbakti, Datuk Muhammad Darus Surbakti, Datuk Alang Muhammad Bahar Surbakti, Datuk Muhammad Alif, Amah/Olong Br. Surbakti, dan Aja Ngah Haji Surbakti.

  Semasa hidupnya Datuk Badiuzzaman Surbakti merupakan seorang yang rasa keingintahuannya sangat besar. Beliau belajar kepada siapa saja dan kemana saja demi menempuh ilmu yang dia ingin pelajari. Dalam perjalanannya beliu belajar Bahasa Melayu di Sunggal dengan guru kerajaan dibawah bimbingan pamannya Datuk Muhammad Abdul Jalil Surbakti dan Datuk Muhammad Dini Surbakti. Mendalami ilmu agama Islam diberbagai tempat, seperti di daerah Sunggal, Kota Bangun, dan Aceh. Ia menguasai Bahasa Arab dan Ilmu Tauhid, serta hukum syariat Islam, belajar pada beberapa guru dan ulama, salah satunya bernama Syekh Maulana Muchtar penasihat spiritual kerajaan Sunggal zaman Datuk Abdullah Ahmad Sri Indera Pahlawan Surbaki. Menguasai Bahasa Melayu dengan baik dan Bahasa Karo sebagai bahasa leluhurnya. Datuk Badiuzzaman Sri Indera Pahlawan Surbakti sebagai putra seorang penguasa tanah Sunggal sangat tekun mempelajari adat istiadat Karo/Melayu di daerah Sunggal, Jejabi, Kinangkung, dan Desa Gajah dibawah bimbingan tokoh-tokoh adat Melayu dan Karo yang sebagian merupakan keturunan dari Ator Surbakti dan Adir Surbakti.

  Prinsip dasar seorang pemimpin rakyat dan jiwa seorang kesatria/pahlawan yang dimiliki oleh ayahnya, Datuk Ahmad Sri Indera Pahlawan Surbakti Raja Urung Sunggal Serbanyaman VIII selalu mengajarinya tentang sifat-sifat seorang pahlawan yang harus dimilikinya, yakni :

  Bila ia bersungut maka ia bersungut dawai Bila ia memandang maka ia bermata kucing Bila ia memegang maka ia bertangan besi Bila ia merasa maka ia berhati waja Bila ia berkarib setia ia tiada bertukar Bila ia berjuang maka ia pantang surut ia biar selangkah Bila ia menjumpai maut, mati ia berkapan cindai

  Pesan itu hendak mengatakan bahwa seorang pahlawan harus bersikap pantang menyerah, pantang surut biar selangkah pun, tetap setia sikap dan prinsip hidupnya. Bila ia mati maka namanya akan tetap harum, karena hidupnya ditaburi dengan semangat pengorbanan, rela berkorban, sikap tanpa pamrih pribadi yang diwujudkan dalam perjuangannya.

  Datuk Badiuzzaman Surbakti merupakan putera terbaik pada masa Kerajaan Sunggal (Serbanyaman), ia merupakan keturunan ke-11 dari pemerintahan Tradisional Sunggal. Daftar keturunan pemerintahan Sunggal yang merupakan keturunan dari tanah Karo adalah sebagai berikut : 1.

  Jolol Karo-Karo Surbakti 2. Sirukati Surbakti 3. Sirsir/Sesser Surbakti 4. Gadjah Surbakti 5. Adir Surbakti (1629-1651) yang merupakan pendiri pertama Kerajaan

  Sunggal 6. Mahbub Surbakti (1661-1667)

7. Bubud Surbakti (1667-1792) 8.

  Andan Surbakti (1792-1821) 9. Amar Laut Surbakti (1821-1845) 10.

  Datuk Abdullah Ahmad Surbakti (1845-1857) 11. Datuk Badiuzzaman Surbakti (1866-1895) 12. Datuk Muhammad munai (1901-1907) 13. Datuk Muhammad Jalih (1914-1923) 14. Datuk Muhammad Hasan (1923-1945)

  Selain hal tersebut, sebagai sosok tokoh masyarakat, Datuk Badiuzzaman Surbakti dalam kehidupan sehari-harinya juga dikenal sebagai seseorang yang berjiwa besar dan rela berkorban dan memberi teladan kepada masyarakatnya diantaranya seperti menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, seperti keadilan, keselamatan, dan kesejahteraan rakyat Sunggal. Selalu membina persatuan dan kesatuan lintas etnis, yakni Karo, Melayu, Aceh, Gayo, dan lainnya dalam upaya mempertahankan wilayah Sunggal dari penjajahan Belanda. Menerapkan prinsip musyawarah dan mufakat dalam pencapaian suatu tujuan Konsisten dalam perjuangan untuk mencapai kebebasan. Menjaga persatuan bangsa atau kaumnya.

  Pantang menyerah dalam perjuangan dan rela mengorbankan hidupnya dalam perjuangan, membela kebebasan dan kesejahteraan rakyat dan masyarakatmya.

  Datuk Badiuzzaman Surbakti merupakan Raja ke-7 dari Kerajaan Sunggal. Ketika ayahnya yaitu Datuk Abdullah Ahmad Surbakti meninggal pada tahun 1857 ia masih berumur 12 tahun dan belum bisa memegang kendali Kerajaan Sunggal. Oleh sebab itu, melalui kesepakatan bersama, pemegang kendali sementara diberikan kepada pamannya yaitu Datuk Muhammad Kecil Surbakti. Datuk Muhamad Kecil Surbakti memimpin Kerajaan Sunggal dari tahun 1857 sampai dengan tahun 1866. Kemudian pada tahun 1866 kepemimpinan Kerajaan Sunggal dilanjutkan Oleh Datuk Badiuzzaman Surbakti dan ia sudah berumur 21 tahun. Setelah enam tahun ia menjadi pemimpin rakyat Sunggal tepatnya pada tahun 1872 disitulah awal mula terjadinya Perang Sunggal.

  Datuk Badiuzzaman Sri Indera Pahlawan Surbakti adalah pahlawan dan pejuang yan berjuang lebih dari 23 tahun lamanya. Perjuangan yang dipimpinnya adalah perjuangan mengusir penjajah Belanda yan merebut tanah perkebunan rakyat untuk dijadikan perkebunan tembakau kolonial yang sangat menyengsarakan rakyat Sunggal. Sejak berkuasa ketika berumur 26 tahun, Datuk Badiuzzaman Sri Indera Pahlawan Surbakti bersama-sama dengan pejuang lainnya, yakni Datuk Muhammad Jalil Surbakti, Datuk Muhmmad Dini Surbakti, berhasil mempersatukan masyarakat Sunggal, masrayakat Gayo dan Aceh untuk bersatu padu melawan Belanda, melalui rintangan yang sangat berat, karena selain harus berhadapan langsung dengan pihak belanda yang mempunyai persenjatan yang sangat canggih juga harus berhadapan dengan suku bangsa sendiri, yakni Deli dan Langkat yang memihak kepada Belanda.

  Pola perjuangan yang dipimpinya adalah pola perjuangan gerilya dengan menghindari konfrontasi langsung dengan pihak musuh, dengan menggunakan daerah pegunungan sebagai medan pertempuran , aksi-aksi sabotase dilakukannya dengan cara membakar bangsal-bangsal atau pbrik-pabrik perkebunan yang dimiliki oleh Belanda setelah terlebih dahulu menempelkan tanda/cap “Musuh Berngi”. Sedangkan koordinasi dengan komandan laskar pejuang dilapangan lainnya dilakukan melalui perantara kurir (Suku Karo) dari Istana Kerajaan Sunggal. Perlawanan rakyat yang dipimpinnya sangat sulit dipadamkan oleh oleh pihak musuh. Seperti halnya dengan pejuang-pejuang lain yang secara licik dengan tipu muslihat dibuang oleh Belanda, maka Datuk Badiuzzaman Sri Indera Phlawan Surbakti mengalami hal yang sama. Beliau dihianati dan ditipu dengan tawaran berunding oleh Belanda. Kegagalan Belanda melawan perlawanan rakyat Sunggal terlihat dengan besarnya upaya yang dilakukannuntuk memadamkan perlawanan yang dipimpin oleh Beliau, mulai dari pengiriman pasukan secara besar-besaran, penyebaran mayya-mata, politik devide at impera (membagi dan manguasai) yang disebarkan untuk memecah belah rakyat Sunggal, memasukkan Zending Kristen dari Nederland, sampai tipuan muslihat tawaran damai.

  Surbakti telah berhasil membuka akses perjuangan Karo dan Aceh, dengan sistem pembagian daerah pertahanan, dimana pasukan Aceh berkedudukan di sepanjang pesisir Langkat hingga ke pulau Kampai dan mengawasi Kejuruan Bahorok sampai memanjang di lereng Bukit. Pasukan Sunggal menempati daerah Timbang Langkat, memanjang sampai ke Hamparan Perak, Tanduk Banua, Sapo Uruk sampai Sunggal, sedangkan pasukan Karo memanjang dari Bukum-Buluhawar- Pariama-Tuntungan-Padang Bulan sampai Sunggal. Pola pembagian zona ini tidak hanya berhasil menghempang gerak maju pasukan musuh, tetapi kemudian menjalari rasa nasionalisme dan persatuan senasib serta sepenanggungan dalam mengusir penjajah Belanda. Saat ini setelah ratusan tahun berlalu, sejarah perjuangan politik Datuk Badiuzzaman Sri Indera Pahlawan Surbakti dan kawan- kawan menjadikan pelajaran yang sangat berharga bagi bangsa Indonesia, sejarah perjuangan anak bangsa dalam mempersatukan kedaulatan rakyat.

2.1. Datuk Badiuzzaman Surbakti dan Kerajaan Sunggal

  Kerajaan Sunggal Serbanyaman yang didirikan oleh keluarga puak Sunggal yang diawali dengan tokoh Jolol Karo-Karo Surbakti yang mempunyai anak Sirukati Surbakti. Seperti diketahui, suku bangsa di Sumatera Utara yang mendiami daerah mulai dari Langkat, Deli, Serdang, dan Asahan bagian pegunungan dataran sejak paro pertama abad ke-19 datang dari Minangkabau sampai daerah Mandailing, karena penduduk Tapanuli di sebelah utara Mandailingsudah terpengaruh agama Kristen yang sejak pertengahan abad ke-19 logat Angkola, Karo, Toba, Dairi, Simalungun, dan Mandailing.

  Desa adat di tanah Batak (Huta dalam bahasa Toba) terdiri dari sekelompok rumah besar sebanyak 6-10 rumah yang berdiri diatas tiang-tiang besar dan yang masing-masing didiami oleh keluarga-keluarga luas yang patrilokal. Kelompok-kelompok kekerabatan yang juga sangat penting dalam masyarakat Bataka adalah klen-klen patrilineal yang kecil maupun yang besar disebut marga. Konstruksi rumah Batak Toba terdiri dari tiang-tiang Gelondongan yang memberi kesan kokoh. Dulu pertikaian antarsuku masih terjadi, rumah- rumah itu dibangun dalam kelompok-kelompok yang dapat berfungsi sebagai benteng di atas bukit dan lingkungan belakangnya adalah pagar-pagar pohon yang rapat. Di dalam lingkungan perumahan tersebut berjajar berhadapan dua tipe rumah, yaitu rumah jantan yang masuknya dari kolom rumah dan rumah betina yang masuknya dari depan. Kolong rumah yang setinggi orang dipakai sebagai kandang ternak. Berbeda dengan Batak Toba, Batak Karo memiliki tipe rumah pegunungan yang pintu depannya dihadapkan ke arah hulu sungai (julu) dan pintu belakangnya ke arah muara (jahe). Bentuk atap rumah kepala marga berbeda dengan bentuk atap rumah-rumah lainnya, yaitu bermahkota tingkat. Umumya denah rumah Batak Karo direncanakan untuk keluarga Jamak. Rumah tersebut mempunyai lorong tengah yang lantai-lantainya lebih rendah dari bagian sisi rumah lainnya. Di dalamnya terdapat kamar-kamar untuk masing-masing keluarga. Pria yang beranjak dewasa memiliki ruang sendiri. Di perkampungan Batak Simalungun biasanya terdapat “Balau Butu” yang berfungsi sebagai gardu

   Surbakti tadi, Sirukati Surbakti mempunyai dua orang anak, yakni Kebal Surbakti,

  dan Sirsir/Serser Surbakti. Sirsir/Serser Surbakti mempunyai saudara empat orang, salah satu bernama Kebal Surbakti yang berasal dari Pak Pak (Dairi).

  Keduanya melakukan perjalanan dari Pak Pak (Dairi) turun gunung ke Tanah Karo dan Gayo Alas. Kebal Surbakti kemudian membuat perkampungan di Lingga dan Sirsir mengembara sampai ke Tanah Alas di Lingg Raja, terus ke Torong dan membuat perkampungan di sana. Sirsir kemudian menikah dengan

25 Proseding Seminar Nasional Datuk Badiuzaman Sri Indera Pahlawan Surbakti Pejuang Penentang Penjajahan Belanda 1872-1895. 2006. PT. Sentrajaya Utama. Jakarta. Hal. 8.

  seorang putri yang dipercayai sebagai penjelmaan dari seekor gajah sehingga kemudian anaknya dinamai Gadjah Surbakti.

  Gadjah Surbakti kemudian membuat kampuing di Sitelu Kuru dan dinamakan Kampung Gadjah. Dengan demikian tidak heran apabila terjadi hubungan erat anatara masyarakat Sitelu Kuru, Penghulu Gadjah, Penghulu Lingga dan marga Surbakti. Gadjah Surbakti mempunyai tiga orang anak, yakni Ator Surbakti, Nangmelias Br. Surbakti, dan Adir Surbakti. Adir Surbakti kemudian mendirikan kampung di Sumbuaikan di kaki Gunung Sibayak dan dinamakan Sunggal. Atas pengaruh Datuk Kota Bangun, ia kemudian memeluk agama Islam tahun 1632. Adir Surbakti mempunyai anak sepuluh orang, yaitu sembilan laki-laki dan seorang perempuan yang bernama Nang Baluan Br. Surbakti. Adir Surbakti adalah pendiri Kerajaan Sunggal yang ketika itu kekuaaannya cukup kuat meliputi bekas wilayah kerajaan Aru II di Deli Tua. Ia Sultan Aceh menempatkan seorang wakilnya di Deli, yaitu Gotjah Pahlawan. Melihat Sunggal begitu kuat pengaruhnya di daerah Deli Tua dan orang-orang Karo di pegunungan, maka ia menikahi Nang Baluan Br. Surbakti sebagai akses untuk mempengaruhi raja-raja Urung di Tanah Karo. Dari perkawinannya itu kemudian lahir raja-raja Deli dan Serdang. Pada masa itu dibuatlah kesepakatan yang dinamakan Konfederasi Deli. Masing-masing raja Urung (Datuk berempat) merdeka dalam wilayahnya masing-masing. Deli menjadi Anak Beru Sunggal dan Sunggal berperan sebagai Ulon Janji. Di antara anak laki-laki Adir Surbakti adalah Mahbub Surbakti yang menggantikannya sebagai raja. Pusat kekuasaan Kerajaan Sunggal pindah ke Kinangkung. Ia mempunyai dua orang anak, yaitu Bubud Surbakti dan Tobo Surbakti. Mahbub Surbakti memerintah dari tahun 1651-1667 yang kemudian digantikan oleh anaknya, Bubud Surbakti. Bubud Surbakti memerintah unggal dari tahun 1667-1792. Ia memindahkan pusat kekuasaannya ke Tanjung Selamat. Bubud Surbakti mempunyai dua orang anak, Andan/Undan Surbakti dan Nng/Dayan Sermaini Br. Surbakti. Nang Sermaini menikah dengan Panglima Mangedar Alam dari Deli. Pada tahun 1723 terjadi perebutan tahta di Kesultanan Deli, setalah Panglima Paderap meninggal dunia. Seorang puteranya terusir dari Deli dan kemudian menemui Raja Sunggal yang merupakan Kalimbubu untuk melaporkan situasi di Deli. Raja Sunggal kemudian memanggil Raja Urung Sinembah, Tanjung Morawa, dan utusan Aceh. Dari musyawarah itu ditetapkan bahwa Umar menjadi Raja Serdang dengan Gelar Tuanku Umar. Oleh karena itu, baik bangsawan Deli maupun Serdang adalah mengantikan ayahnya Bubud Surbakti yang telah meninggal dunia, ia memerintah dari tahun 1792-1821, dan memindahkan pemerintahannay ke Tanjung Selamat. Ia mempunyai enam orang anak laki-laki, Datuk Amar Laut Surbakti, Datuk Jalaludin Surbakti, Datuk Keteng Surbakti, Datuk Kojat Surbakti, Datuk Bajing Surbakti, Datuk Nahu Surbakti, dan dua orang anak perempuan, yaitu Aja Manyak Br. Surbakti dan Aja Gadih Br. Surbakti.

  Datuk Amar laut Surbakti adalah penerus tahta Sunggal yang memindahkan pusat pemerintahannya ke Jejabi. Datuk Amar Laut Surbakti mempunyai empat orang anak, tiga laki-laki dan seorang anak perempuan. Mereka adalah Datuk Abdullah Ahmad Surbakti, Datuk Abdul Jalil Surbakti, Datuk Muhammad Dini Surbakti. Datuk Abdul Jalil Surbakti mempunyai sembilan orang anak, yaitu Datuk Sulong Barat Surbakti, Datuk Riaw Surbakti, Datuk Lintang Siak Surbakti, Datuk Lingga Surbakti, Datuk Segel Surbakti, Datuk Long Putra Surbakti, Aja Demban Br. Surbakti, Aja Noor Br. Surbakti, dan Aja Intan Lara Br. Surbakti. Datuk Abdulah Ahmad Surbakti mempunyai delapa orang anak. Datuk Muhammad Dini dengan Gelar Datuk Kecil mempunyai anak Olong Hasyim Surbakti, Datuk Ali Syafar Surbakti, Datuk Ali Usman Surbakti (Datuk Torong) dan Aja Iting Br. Surbakti. Pada masa pemerintahannya, Sunggal melepakan semua ikatan yang pernah dibuat dengan Deli dan Aceh. Sunggal mempunyai bendera sendiri, yaitu merah dan kuning, dengan cap berlambang gajah. Datuk Amar Laut meresmikan Sunggal merdeka. Pada masa ini Panglima Mangedar Alam berusaha menaklukkan tetapi usaha tersebut gagal. Datuk Amar memindahkan pusat pemerintahan Sunggal yang letaknya sekarang adalah disekitar Jalan PAM Tirtanadi, Kecamatan Medan Sunggal, Medan. ia diberi Gelar Datuk Indera Pahlawan. Datuk itu mempunyai delapan orang anak, enam laki-laki dan dua perempuan, yakni Datuk Muhammad Mahir Surbakti, Datuk Muhammad Lazim Surbakti, Datuk Muhammad Darus Surbakti, Datuk Badiuzzaman Surbakti, Datuk Muhammad Alang Bahar Surbakti, Datuk Muhammad Alif Surbakti, Aja Amah/Olong Br. Surbakti, Datuk Aja Ngah Haji Br. Surbakti.pada masa inilah Sunggal diresmikan dengan nama lain yaitu Serbanyaman. Ikatan dengan Deli dan Aceh dibuka kembali termasuk Institut

26 Ulon Janji . Ketika Datuk Ahmad Surbakti meninggal dunia pada tahun 1857,

  Datuk Badiuzzaman Surbakti masih berusia 12 tahun, sehingga beliau dianggap belum sanggup untuk memerintah Kerajaan Sunggal, maka atas musyawarah keluarga, Datuk Kecil ditugaskan untuk memangku Kerajaan Sunggal sampai Datuk Badiuzzaman Surbakti dewasa. Datuk Muhammad Dini Surbakti (Datuk Kecil) memimpin Sunggal sampai pada tahun 1866, yaitu pada saat Datuk Badiuzzaman Surbakti diangkat menjadai Raja Sunggal Serbanyaman dengan Gelar Datuk Sri Diraja Indera Pahlawan. Pada saat diangakat menjadi Raja Sunggal umur Datuk Badiuzzaman Surbakti masih 21 tahun, dan enam tahun kemudian barulah terjadi Perang Sunggal dan umurnya sudah memasuki 27 tahun.

  Datuk Badiuzzaman Surbakti memerintah Sunggal hingga tahun 1895, ketika ia ditipu oleh Belanda dan dibuang ke Jawa seumur hidup.

  Perak, Suka Piring dan Kesultanan Deli

  Dalam kehidupan Suku karo yang bertempat tinggal di Sunggal dan sekitarnya pada masa itu ada beberapa istilah yang mereka gunakan untuk pemerintahan tradisional serta hubungan-hubungan dengan kerajaan lain. Seperti misalnya ada istilah perbapaan, yaitu jika suatu Kuta baru didirikan oleh orang- orang dari Kuta (kampung) induk, maka kampung induk itu disebut perbapaan yang artinya tempat dimana bapak/ayah tinggal, dan kuta yang baru itu tidaklah 26 merdeka sepenuhnya karena itu jika ada perkara atau suatau masalah dan

  Arti harfiahnya “Janji Hati”. Dalam tradisi Raja (Datuk) Sunggal yang berwenang untuk melantik dan mengangkat Sultan Deli atau Datuk di wilayah Urung lain. Tanpa kehadiran dan pengangkatan Datuk Sunggal, pengangkatan itu tidak sah. penduduknya merasa ada sesuatu yang harus diselesaikan, bisa naik banding kepada putusan kampung perbapaan yang disebut Balai. Suatu perbapan membentuk bersama-sama anak kampungnya satu negeri yang disebut Urung. ada juga beberapa kepala kampung yang berjasa kepada Datuk dan diberi gelar “Penghulu Kitik”, sedangkan perbapan diberi gelar “Penghulu Belin”.

  Pada masa itu ada beberapa bebrapa wilayah dari Datuk (Urung) 4 Suku, yaitu Sunggal, Sepuluh Dua Kuta, Hamparan Perak, dan Suka Piring, dan wilayah ini di bagi lagi menjadi dua bagian wilayah : 1.

  Sinuan Bunga (di mana kapas ditanam). Ini adalah daerah-daerah yang berbatasan dengan dataran pesisir dimana Suku Melayu tinggal.

  2. Sinuan Gambir (di mana gambir ditanam). Ini adalah wilayah-wilayah penduduk Karo yang berbatasan dan bersatu dengan daerah hulu sampai

   ke Dataran Tinggi Karo.

  Dari beberapa Urung yang disebutkan diatas, selain mereka merdeka dalam wilayah masing-masing, Sunggal adalah wilayah Urung yang terkuat pada masa itu karena daearah kekuasaannya yang sangat luas apabila dibandingkan dengan wilayah Urung lainnya. Meskipun demikian, hubungan antara keempat Urung tersebut sangat erat dan selalu melakukan hubungan-hubungan diplomatik yang saling menguntungkan bagi Urung-Urung tersebut. Dan tentunya Datuk Sunggal yang memperoleh posisi Ulon Janji karena kekuasaannya yang lebih 27 dibanding yang lainnya dan raja-raja Urung yang lain juga sangat menghormati Ibid, Tengku Lukman Sinar. SH. Hlm. 18. akan hal itu. Hubungan diplomatik yang dilakukan oleh para raja-raja Urung tersebut berlangsung sampai Datuk Badiuzzaman Surbakti menjadi Raja Sunggal.

  Hubungan yang saling menguntungkan tersebut dapat dirasakan langsung oleh masyarakat Sunggal. Ditambah kepemimpinan Datuk Badiuzaaman Surbakti yang bijaksana selaku penguasa Tanah Sunggal, kehidupan masyarakatnya menjadi lebih baik, dilihat dari segi kehidupan ekonomi, masyarakat mampu terampil dan mandiri dalam mengelola kebunnya sehingga menghasilkan sesuatu yang positif untuk menopang kehidupan masing-masing warganya. Beliau juga merupakan sosok yang sangat dekat dengan masyarakatnya, beliau berkeliling ke beberapa daerah dan mendengar keluh kesah dari kehidupan masyarakatnya, sehingga itu memberikan contoh teladan yang baik bagi masyarakat lainnya untuk hidup saling menghargai. Pada akhirnya hubungan-hubungan yang baik tersebut menghasilkan pola interaksi sosial yang bersifat positif, selain antarmasyarakatnya yang hidup lebih makmur, hubungan antara seorang raja dan masyarakat juga timbul dalam memberikan dukungan-dukungan terhadapa masyrakatnya dan tentunya masyarakat juga mentaati peraturan-peraturan yang ada sehingga ini semua menibmulkan rasa kecintaan warga dengan seorang raja yang berujung kepada kehidupan yang damai dan sejahtera.

  Pada masa kepemimpinannya, beliau juga membangun sebuah masjid untuk tempat peribadatan masyarakatnya yang beragama Islam. Selain untuk tempat peribadatan, mesjid tersebut juga sering digunakan oleh Datuk Badiuzzaman Surbakti bersama masyarakat untuk bermusyawarah dalam memecahkan suatu masalah. Menurut Datuk Amansyah Surbakti, yang merupakan keturanan ke empat pendiri mesjid ini menjelaskan, pada masa itu pemerintah Belanda melarang semen masuk ke wilayah sunggal karena khawatir warga pribumi mendirikan benteng pertahanan untuk melawan penjajahan. Tetapi larangan itu tidak menghentikan niat Datuk Badiuzzaman Surbakti untuk mendirikan masjid ini. Tak habis akal, beliau terpikir mendirikan mesjid dengan telur ayam yang saat itu sangat banyak jumlahnya di wilayah sunggal. Ribuan telur itu dicampur dengan pasir sebagai perekat bangunan. Mesjid yang berada persis disebelah kantor PDAM Tirtanadi ini berasitektur campuran antara budaya Jawa dan Melayu. Meskipun tidak terlalu besar, masjid yang didominasi warna hijau ini dapat menampung sekitar 3 ratus jamaah dan sudah direnovasi pada tahun 2010. Namun sangat disayangkan, dari sejak berdiri sampai sekarang mesjid bersejarah ini belum juga memiliki menara karena ketidakadaan biaya.

  Masjid Datuk Badiuzzaman Surbakti Kemudian mengenai hubungan antara Kerajan Sunggal dan Kesultanan

  Deli, Sunggal dan Deli sebetulnya bukanlah dua kerajaan yang terpisah sama sekali. Hubungan kedua kerajaan itu dapat dirunut mulai dari Adir Surbakti si pendiri kerajaan Sunggal. Kekuasaan Kerajaan Sunggal ketika itu cukup kuat, meliputi bekas wilayah kerajaan Haru II di Deli Tua. Ia memerintah dari 1629- 1651. Ketika Aceh menaklukkan Deli tahun 1612, Sultan Aceh menempatkan seorang wakilnya di Deli, yaitu Gotjah Pahlawan. Sebenarnya, sebelum Aceh menempatkan Gotjah Pahlawan di Deli, di daerah Deli ada kekuasaan empat wilayah hukum Suku Karo yang dikenal dengan Urung (federasi beberapa kampung). Keempat Urung itu adalah Sunggal, Sinembah, XII kota, dan Suka Piring. Melihat Sunggal begitu kuat pengaruhnya di daerah Deli Tua dari orang- orang Karo di Pegunungan, maka ia mengawini Nang Baluan Surbakti sebagai akses untuk dapat mempengaruhi Raja-raja Urung di Tanah Karo. Dan perkawinannya ini kemudian lahir raja-raja Deli dari Serdang. Sesuai dengan adat Karo, maka Deli adalah “anak beru” dan Sunggal dan sebagai hadiah perkawinan diserahkan Raja Urung Sunggal jalur wilayah yang terletak di tepi pantai antara Kuala Belawan dan Kuala Percut sebagai daerah yang diperintah langsung oleh Deli. Secara ketatanegaraan Deli setaraf dengan wilayah-wilayah Urung, tetapi karena Deli menguasai pantai dan muara-muara sungai yang vital bagi impor dan ekspor hasil bumi, ditambah posisi Gotjah Pahlawan sebagai wakil Aceh di Deli, maka posisi Deli akhirnya menjadi lebih menonjol.

  Pada masa itu dibuatlah kesepakatan semacam konfederasi antarkerajaan itu. Pertama, Sri Paduka Gotjah Pahlawan dan kemudian keturunan keturunannya raja-raja Deli bertindak sebagai “Yang Dipertuan Agung” dan “Arbiter” (hakim tertinggi) yang memutus semua sengketa keluar dan ke dalam. Kedua, diberi posisi sebagai “Ulon Janji” (De Voornamaste Onderhandelaar) sekaligus mertua dan Mahapatih. Oleh karena ia yang paling utama di antara raja-raja Urung di Deli, maka ia berhak membacakan penabalan atau pengesahan raja-raja Deli. Ketiga, masing-masing raja Urung (Datuk berempat) merdeka dalam wilayah masing-masing.

  Dalam perjalanannya, hubungan Deli dan Sunggal mengalami pasang surut. Pada tahun 1822, Deli di bawah Sultan Panglima Magedar Alam merasa kuat dan berusaha menalukkan Sunggal dengan cara melakukan perkawinan politik, yakni menyunting Dajan Sermaidi (Sermaini) anak Datuk Undan Surbakti, raja Sunggal saat itu. Akan tetapi, cara seperti ini tidak membuat Sunggal menjadi bawahan Deli hinga akhirnya pada tahun 1822 Deli menyerang Sunggal.

  Tindakan Sultan Deli menyerang Sunggal sangat menjengkelkan Datuk Amar Laut Surbakti sebagai Raja Urung Sunggal masa itu. Serangan ini bukan membuat Sunggal menjadi lemah, tapi malah berakibat buruk bagi Deli, yakni Deli kehilangan pengaruh atas keempat raja-raja Urung di Deli dan pedalaman Karo.

  Akibatnya, hubungan menjadi semakin buruk dan Sunggal di bawah Datuk Amar Laut (1823) memutuskan untuk menonaktifkan konfederasi Deli (ketika itu pun Deli takluk pada Kerajaan Siak). Datuk Amar Laut kemudian memproklamasikan Sunggal merdeka dengan mengeluarkan bendera sendiri berwarna merah dan kuning, dengan cap/lambang gajah.

  Tindakan Sultan Deli menyerang Sunggal sangat menjengkelkan Datuk Amar Laut Surbakti sebagai Raja Urung Sunggal masa itu. Dalam pertemuannya dengan John Anderson di Sunggal, Datuk Amar Laut Surbakti yang telah berusia 45 tahun ditemani ketiga putranya, masing-masing Datuk Abdul Hamid Surbakti , Datuk Abdullah Ahmad Surbakti, dan Datuk Mahini Surbakti, menjelaskan bahwa ia baru saja selesai berperang melawan Sultan Deli dan ia menyalahkan tindakan Sultan Deli. Ia merasa tidak senang dengan Sultan Deli. Oleh karena itu, meski telah ada perdamaian, menurut Anderson, konflik akan kembali terjadi antara Sunggal dan Deli. Ketika itu Sunggal merupakan pusat aktivitas perdagangan yang ramai dikunjungi orang-orang Batak Karo dari gunung yang menjual hasil- hasil buminya. Datuk Amar Laut mengusulkan pada Anderson, bila Inggris hendak membuka perdagangan dengan Sunggal, maka perlu dibuat Pos Pengamanan di Pulau Pangkor untuk mencegah aksi bajak laut yang selalu merampok perahu-perahu dagang dari Sunggal menuju Penang. Dengan begitu, Sunggal memang sebuah negeri yang merdeka dan menjadi tempat transit hasil- hasil pertanian yang akan diekspor ke Pulau Penang di Semenanjung Malaysia.

  Posisi Sunggal yaag strategis ini menarik perhatian utusan Inggris itu sehingga perlu dibangun hubungan perdagangan dan politik. Namun, ketika Sunggal di bawah kepemimpinan Datuk Abdullah Ahmad Surbakti (1845-1857) dan Deli di bawah Sultan Mahmud, hubungan Deli-Sunggal berubah lagi. Konfederasi Deli diaktifkan kembali. Sejalan dengan semakin kuatnya pengaruh Belanda di daerah Sumatera Timur (Deli), ambisi Deli untuk menaklukkan Sunggal terbuka lebar.

  Datuk Ahmad bahkan diberi gelar Datuk Indera Pahlawan Wazir Serbanyaman Ulon Janji. Pada masa inilah diresmikan nama Serbanyaman sebagai pengganti Sunggal. Ketika Sultan Deli menyewakan tanah-tanah subur di daerah Sunggal bagi kepentingan industri perkebunan pemerintah kolonial Belanda, maka hubungan Deli Sunggal kembali memburuk, hingga meletuslah perlawanan rakyat Sunggal tahun 1872-1895. Perang itu, bagi Deli adalah upaya klasik untuk melemahkan kekuasaan Datuk Sunggal. Sebaliknya, bagi Sunggal adalah upaya mempertahankan hak dan kedaulatannya atas wilayah dan kemerdekaan rakyat Sunggal yang sudah dimiliki sejak lama, bahkan sebelum adanya Kerajaan Deli.

  Datuk Abdullah Ahmad Surbakti menggantikan ayahnya sebagai raja Sunggal pada 1845-1857. Ia memindahkan pusat pemerintahannya ke Sunggal (sekarang terletak di Jalan PAM Tirtanadi, Kecamatan Medan Sunggal, Medan). Datuk Abdullah Ahmad Surbakti mempunyai saudara Datuk Jalil Surbakti, Datuk Muhammad Mahini Surbakti (Datuk Kecil) dan seorang perempuan. Datuk Jalil menikah dengan puteri Kejeruan Selesai dari Langkat dan mempunyai anak bernama Sulong Barat, Sulong Putra, dan seorang perempuan. Sementara, Datuk Muhammad Dini (Kecil) menikah dengan puteri Selesai dan mempunyai dua orang anak laki-laki dan seorang perempuan. Ketika Datuk Abdullah Ahmad Surbakti meninggal dunia pada tahun 1857, anaknya Datuk Badiuzzaman Surbakti masih berusia 12 tahun, maka atas musyawarah keluarga, Datuk Kecil ditugaskan untuk memangku kerajaan Sunggal sampai Datuk Badiuzzaman dewasa. Karena lingkungan keluarga yang sangat anti Belanda atau anti penjajahan maka memiliki pengaruh yang kuat pada diri Datuk Badiuzzaman Surbakti yang didampingi Datuk Kecil hingga tahun 1866.

  Sebagaimana sudah dijelaskan, perluasan penanaman tembakau demikian cepat dan membutuhkan begitu banyak lahan subur di wilayah kekuasaan Urung Sunggal. Dengan dukungan perangkat hukum Undang-Undang Agraria, pihak perusahaan perkebunan secara sah menurut hukum bisa menyewa tanah dengan jangka waktu yang sangat lama, yakni 99 tahun (kemudian diubah menjadi 75 tahun). Undang-undang ini memang sengaja diciptakan untuk mengantisipasi perkembangan cepat penanaman tembakau di Deli yang sudah mulai terkenal di pasaran Eropa. Daun tembakau Deli merupakan yang terbaik mutunya di dunia saat itu sebagai pembalut cerutu. Budidaya tembakau memang membutuhkan lahan yang luas dan subur dengan masa rotasi tanam yang lama. Sebab lahan yang habis dipanen harus dihutankan kembali agar menjadi subur untuk kemudian ditanami kembali. Oleh karena itu, dalam masa rotasi ini diperlukan lahan yang lain agar produksi perkebunan tembakau tidak berhenti. Bila berhenti, maka pasokan untuk ekspor akan kekurangan dan itu pada gilirannya akan mengurangi arus pemasukan dalam kas keuangan pemerintah Hindia Belanda.

  Pihak pemerintah kolonial Belanda karena kekurangan dana, ketika melakukan gerakan pasifikasi (usaha memperdamaikan dari kekacauan, baik karena ada pihak-pihak yang bertikai dan berseteru maupun pembudayaan karena penduduk pribumi masih dianggap terbelakang) ke Deli, sangat membutuhkan bantuan investor asing untuk membangun daerah yang baru dikuasainya itu. Akibatnya, perusahaan perkebunan menjadi bertindak semena-mena karena didukung oleh kebijakan politik kolonial dan tradisional dari Sultan Deli.

  Perubahan cepat yang terjadi di Deli akibatnya mencemaskan para penguasa Sunggal. Oleh karena itu, pada bulan Desember 1871 Datuk Badiuzaman Surbakti sebagai Raja Urung Sunggal Serbanyaman beserta seluruh kerabat dan orang- orang dekatnya, termasuk orang-orang Batak Karo dan pegunungan mengadakan rapat di sebuah kebun lada. rapat itu dihadiri oleh Datuk Kecil (Mahini), Datuk Jalil, Datuk Sulong Barat, Nabung Surbakti sebagai komandan pasukan Karo dan pegunungan, dan Tuanku Hasyim mewakili Panglima Nyak Makam sebagai komandan Laskar Aceh, Alas, Gayo.

  Hasil rapat itu memutuskan untuk melakukan perlawanan terhadap Sultan Deli dan Pemerintah Belanda. Datuk Sunggal Badiuzzaman Surbakti mengatakan bahwa “perselisihan sesama kita selama ini lenyapkan dari pikiran dan marilah kita bersama-sama melawan Belanda yang hendak merampas tanah kita”. Sementara Datuk Kecil berkata, “kalau kita tak turut kita akan diusir Belanda”. Lalu putranya Sulong Barat menimpalinya bahwa “Belanda dan Sultan Deli setali tiga uang belaka, merampas tanah rakyat demi kepentingannya sendiri”. Rapat itu memutuskan beberapa hal, antara lain yang pertama bahwa Sunggal, Karo, dan Aceh (Alas, Gayo) sepakat membina persatuan dan kesatuan dari segala perselihan yang dilakukan Belanda dengan politik pecah belahnya harus dilenyapkan, yang kedua bahwa Sunggal, Karo, dan Aceh (Alas, Gayo) sepakat menentang Belanda serta mempertahankan setiap jengkal tanah warisan leluhur untuk masyarakat Sunggal, Karo, dan Aceh (Alas, Gayo) secara bersama-sama mengusir setiap penjajah yang menjajah daerahnya.

  Untuk merealisasikan hasil pertemuan itu, dibentuklah sebuah Badan yang dipusatkan di Kampung Gadjah yang terletak di kawasan Sitelu Kuru, Tanah Karo. Badan ini berfungsi untuk memobilisasi pasukan perang yang terdiri dan orang yang kuat dan mempunyai ilmu dengan kebatinan yang tinggi dan mempersiapkan logistik lainnya. Badan ini dipimpin oleh Datuk Mahini (Kecil) dengan mendudukkan wakilnya di Tanah Karo. Badan ini bertanggung jawab langsung kepada Datuk Badiuzzaman. Orang-orang Sunggal yang ditugaskan mengurusi badan ini di Kampung Gadjah adalah beragama Islam. Selama bertugas di Kampung Gadjah, mereka bertemu dengan saudara-saudaranya marga Surbakti. Hingga sekarang masih ada tempat pemandian mereka yang dikenal dengan “tapian jawi” (pemandian orang Islam).