Pembuatan Keputusan Rekrutmen politik : Suatu Studi Terhadap Pembuatan Keputusan Rekrutmen Politik Partai Politik PDI Perjuangan Dalam Rangka Pilkada Kota Pematangsiantar 2005

(1)

PEMBUATAN KEPUTUSAN REKRUTMEN POLITIK:

SUATU STUDI TERHADAP PEMBUATAN KEPUTUSAN REKRUTMEN POLITIK PARTAI POLITIK PDI PERJUANGAN DALAM RANGKA

PILKADA KOTA PEMATANGSIANTAR 2005

SKRIPSI

DIAJUKAN GUNA MEMENUHI SALAH SATU SYARAT UNTUK MEMPEROLEH GELAR SARJANA ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Oleh

RAHMAWANA SARAGIH 030906009

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2008


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk diperbanyak oleh : Nama : Rahmawana Saragih

Nim : 030906009

Departemen : Ilmu Politik

Judul : Pembuatan Keputusan Rekrutmen politik : Suatu Studi Terhadap

Pembuatan Keputusan Rekrutmen Politik Partai Politik PDI Perjuangan Dalam Rangka Pilkada Kota Pematangsiantar

2005

Medan, 20 Februari 2008

Ketua Departemen

(Drs. Heri Kusmanto, M.A) Nip. 132215084

Pembimbing I Pembaca

(Drs. P. Anthonius, M.Si) (Drs.Zakharia Taher)

Nip. 131485245 Nip. 131568358

Dekan FISIP USU

(Prof. DR. M. Arief Nasution, M.A) Nip. 131757010


(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan dihadapan panitia penguji skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara :

Dilaksanakan pada : Hari/Tanggal : Pukul : Tempat :

Tim Penguji

Ketua Penguji : ___________________ (_____________________) Nip.

Anggota : Drs. P. Anthonius, M.Si (_____________________) Nip. 131485245

Anggota : Drs. Zakharia Taher (_____________________) Nip. 131568358


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Yesus Kristus atas kasih dan karunianya, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Adapun yang menjadi judul skripsi ini adalah “PEMBUATAN KEPUTUSAN REKRUTMEN

POLITIK: SUATU STUDI TERHADAP PEMBUATAN KEPUTUSAN REKRUTMEN POLITIK PARTAI POLITIK PDI-P DALAM RANGKA PILKADA KOTA PEMATANGSIANTAR 2005” skripsi ini disusun

berdasarkan penelitian dengan bentuk diskripsi kwalitatif yaitu menggambarkan keadaan yang sebenarnya dengan sumber atau fakta yang berasal dari Dewan Pimpinan Cabang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Pematangsiantar dan KPUD Pematangsiantar.

Sejak tahun 2005 Kepala Daerah dipilih secara langsung oleh rakyat hal ini merupakan perwujudan dari sebuah demokrasi di daerah dimana calon Kepala Daerah diusung oleh partai politik yang telah ditetapkan oleh UU No 32 tahun 2004 dan PP No.6 tahun 2005 sebagai satu-satunya jalan untuk dapat mencalonkan Kepala daerah. Dalam menentukan calon Kepala Daerah yang diusung tentunya setiap Partai Politik memiliki mekanisme pengambilan keputusan yang berbeda-beda. PDIP sebagai salah satu partai politik yang turut berperan dalam mencalonkan Walikota dan Wakil Walikota Pematangsiantar tentunya juga memiliki mekanisme pengambilan keputusan.

Penulisan skripsi ini menyajikan tentang proses pembuatan keputusan dan rekrutmen politik yang dilakukan oleh PDIP dalam menentukan calon Walikota dan Wakil Walikota yang akan diusung dalam Pilkada Pematangsiantar tahun 2005. Adapun mekanisme pengambilan keputusan pada PDIP yang harus dilalui oleh pasangan bakal calon adalah penjaringan, verifikasi, penyaringan dan penetapan oleh DPP PDIP.

Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak sehingga dalam kesempatan ini penulis merasa berkewajiban untuk mengucapkan terimakasih kepada:


(5)

1. Drs. Anthonius Sitepu, Msi selaku Dosen Pembimbing Skripsi 2. Drs. Zakaria Taher selaku Dosen Pembaca

3. Drs. Heri Kusmanto,MA selaku Ketua Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

4. Prof. DR. M. Arif Nasution, M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

5. Staf pengajar dan Pegawai di Departemen Ilmu Politik.

6. Ronsen Purba selaku Sekretaris DPC PDI P Pematangsiantar, Saidi Lubis selaku Wakil Sekretaris DPC PDI P Pematangsiantar, Imaran Simanjutak selaku Wakil Ketua Bidang Komunikasi dan Informasi DPC PDI P Pematangsiantar, Sahat Simangunsong selaku Wakil Ketua Keanggotaan dan Organisasi DPC PDI P Pematangsiantar dan seluruh DPC PDI Perjuangan Pematangsiantar yang memberikan informasi dan data-data untuk penyelesaian skripsi ini.

7. KPU Kodya Pematangsiantar yang memberikan informasi dan data-data untuk penyelesaian skripsi ini.

8. Kedua orangtua yang sangat dikasihi penulis Henry Saragih dan Roselina Tondang serta Adek-adekku Wita, Ridho ‘n Dea yang selalu menyertai penulis dalam doa dan yang tak henti-hentinya memberikan nasehat dan motifasi you’re my life and spirit ……..

9. Kepada Sumbayak ‘n Tondang Family thank you for love and support 10.B’Mean Thanks atas masukan dan bantuannya dari awal hingga selesainya

penulisan skripsi ini.

11.Sarjani, Novita ‘n Ervi atas kebersamaannya selama ini yang bagi penulis sangat berarti Thanks for all……

12.Rekan-rekan saya di GMKI Komisariat FISIP Serthu, Sas 3, Nzus, dO2, Martin, Jhon, Heri, Nando, Lusi, Icha, b’Zidane(atas masukkan judulnya), b’Ganda, b’charles, k’eva, k’ronna, k’santi deelel yang tidak dapat dituliskan penulis satu persatu UT OMNES UNUM SINT Chaiooooo……..

13.Kepada Team R29 atas semangatnya.


(6)

Penulis sudah berusaha maksimal dalam penulisan skripsi ini, namun demikian penulis sadar masih banyak ketidak sempurnaan di dalamnya oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi perbaikan kedepannya dan sebagai pertimbangan untuk penulisan ilmiah dimasa yang akan datang. Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih.

Medan, 20 Februari 2008 Penulis


(7)

PEMBUATAN KEPUTUSAN REKRUTMEN POLITIK:

SUATU STUDI TERHADAP PEMBUATAN KEPUTUSAN REKRUTMEN POLITIK PARTAI POLITIK PDI PERJUANGAN DALAM RANGKA

PILKADA KOTA PEMATANGSIANTAR 2005

Nama : Rahmawana Saragih Nim : 030906009

ABSTRAKSI

Dengan ditetapkan dan dilaksanakannya UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan PP no 6 tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan dan Pemberhentian Kepala Daerah, maka Kepala Derah dipilih secara langsung oleh rakyat hal ini menandai babak baru dalam sejarah politik di Indonesia. Dalam UU No.32 tahun 2004 dan PP no 6 tahun 2005 diatur tentang mekanisme pemilihan kepala daerah yang hanya mengenal satu jalur yakni pencalonan melalui atau oleh partai politik dan atau gabungan partai politik. Partai politik sangat berperan dalam pemilihan kepala daerah hal ini disebabkan bahwa partai politik berfungsi sebagai alat rekrutmen politik.

PDIP sebagai partai pemenang dalam Pemilu legislatif 2004 di kota Pematangsiantar ikut berpartisipasi dalam pelaksanaan Pilkada tahun 2005. PDIP merupakan partai pemenang pada pemilu legislatif 2004 di Kota Pematangsiantar sehingga dalam Pilkada 2005 PDIP sudah representatif dalam mencalonkan calonnya tanpa melakukan koalisi dengan partai politik lain. Pada proses penetapan calonnya PDIP memiliki mekanisme yang sangat berdinamika, mekanisme keputusan tersebut diatur pada Surat Keputusan DPP PDIP No. 024/KPTS/DPP/VII/2005 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemilihan Calon Bupati Dan/Atau Wakil Bupati Dan/Atau Walikota Dan/Atau Wakil Walikota, proses mekanisme pengambilan keputusan tersebut terdiri dari tahapan penjaringan, penyaringan, dan penetapan bakal calon oleh DPP PDIP.

Penelitian ini mengkaji tentang mekanisme pengambilan keputusan dan pola rekrutmen bakal calon Walikota dan Wakil Walikota Pematangsiantar melalui DPC PDIP Pematangsiantar. Bentuk penelitian yang digunakan adalah deskriptif kwalitatif yaitu dengan cara menggambarkan fakta sebagaimana adanya melalui data yang diperoleh dari DPC dan KPUD Pematangsiantar.

Dari hasil penelitian ini diperoleh gambaran bahwa aspirasi arus bawah atau grassroot yang diputuskan melalui Rakercab bukanlah menjadi patokan terhadap bakal calon yang akan ditetapkan. Kewenangan tersebut justru berada ditangan DPP PDIP untuk memutuskan nama bakal calon yang akan ditetapkan.

Kata-kata kunci (Key Words): Partai Politik, Dewan Pimpinan Cabang, Pengambilan Keputusan dan Rekrutmen Politik dalam Pilkada 2005.


(8)

DAFTAR ISI

Halaman Persetujuan ... i

Halaman Pengesahan ... ii

Kata Pengantar ... iii

Abstraksi ... vi

Daftar Isi ... vii

Daftar Tabel ... ix

I. BAB I: PENDAHULUAN 1. Latar Belakang ... 1

2. Rumusan Masalah ... 13

3. Tujuan Penelitian ... 13

4. Manfaat Penelitian ... 13

5. Kerangka Teori... 14

5.1. Pembuatan Keputusan ... 14

5.1.1. Pengertian Keputusan ... 14

5.1.2. Komponen Keputusan ... 16

5.1.3. Proses Pembuatan Keputusan ... 16

5.1.4. Teknik Pembuatan Keputusan... 20

5.1.5. Pendekatan Terhadap Pembuatan Keputusan ... 21

5.1.6. Penyempurnaan Petunjuk pelaksanaan Pemilihan Calon Bupati Dan/ Atau Wakil Bupati, Walikota Dan/Atau Wakil Walikota Dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ... 23

5.2. Partai Politik ... 25

5.2.1. Pengertian Partai Politik ... 25

5.2.2. Fungsi Partai politik ... 26

5.2.3. Sistem Kepartaian ... 33

5.2.4. Rekrutmen Pada Partai Politik ... 36

5.3. Pemilihan Kepala Daerah Langsung ... 40

5.3.1. Pilkada Langsung Ditinjau dari UU No.22 Tahun 1999 dan UU No. 32 tahun 2004 ... 41


(9)

5.3.3. Jenis Sistem Pencalonan ... 45

5.3.4. Rekrutmen Bakal Calon ... 46

6. Metodologi Penelitian ... 48

7. Sistematika Penulisan... 50

II. BAB II: DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 1. Sejarah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ... 51

2. Struktur Organisasi PDI Perjuangan ... 71

3. Kewenangan DPC PDI Perjuangan ... 74

4. Pengambilan Keputusan Pada PDI Perjuangan ... 75

5. Gambaran Umum Pilkada Pematangsiantar... 79

5.1. Tinjauan Umum Kotamadya Pematangsiantar ... 79

5.2. Pelaksanaan Pilkada Pematangsiantar... 80

5.3. Hasil Pilkada Pematangsiantar ... 82

III. BAB III: PENYAJIAN DAN ANALISA DATA 1. Rekrutmen Bakal Calon ... 85

2. Penjaringan Bakal Calon Walikota/ Wakil Walikota ... 87

3. Verifikasi Bakal Calon Walikota/ Wakil Walikota ... 91

4. Penyaringan Bakal Calon Walikota/ Wakil Walikota ... 98

5. Penetapan Bakal Calon Walikota/ Wakil Walikota ... 101

6. Peta Kekuatan PDI P dalam Pilkada Pematangsiantar ... 104

7. Pemilihan Walikota/ Wakil Walikota Kota Pematangsiantar ... 105

IV. BAB IV: KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan ... 111

2. Saran…… ... 112


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 ... 82

Tabel 2 ... 92

Tabel 3 ... 95

Tabel 4 ... 96

Tabel 5 ... 97

Tabel 6 ... 100

Tabel 7 ... 101

Tabel 8 ... 106

Tabel 9 ... 107

Tabel 10 ... 108


(11)

PEMBUATAN KEPUTUSAN REKRUTMEN POLITIK:

SUATU STUDI TERHADAP PEMBUATAN KEPUTUSAN REKRUTMEN POLITIK PARTAI POLITIK PDI PERJUANGAN DALAM RANGKA

PILKADA KOTA PEMATANGSIANTAR 2005

Nama : Rahmawana Saragih Nim : 030906009

ABSTRAKSI

Dengan ditetapkan dan dilaksanakannya UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan PP no 6 tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan dan Pemberhentian Kepala Daerah, maka Kepala Derah dipilih secara langsung oleh rakyat hal ini menandai babak baru dalam sejarah politik di Indonesia. Dalam UU No.32 tahun 2004 dan PP no 6 tahun 2005 diatur tentang mekanisme pemilihan kepala daerah yang hanya mengenal satu jalur yakni pencalonan melalui atau oleh partai politik dan atau gabungan partai politik. Partai politik sangat berperan dalam pemilihan kepala daerah hal ini disebabkan bahwa partai politik berfungsi sebagai alat rekrutmen politik.

PDIP sebagai partai pemenang dalam Pemilu legislatif 2004 di kota Pematangsiantar ikut berpartisipasi dalam pelaksanaan Pilkada tahun 2005. PDIP merupakan partai pemenang pada pemilu legislatif 2004 di Kota Pematangsiantar sehingga dalam Pilkada 2005 PDIP sudah representatif dalam mencalonkan calonnya tanpa melakukan koalisi dengan partai politik lain. Pada proses penetapan calonnya PDIP memiliki mekanisme yang sangat berdinamika, mekanisme keputusan tersebut diatur pada Surat Keputusan DPP PDIP No. 024/KPTS/DPP/VII/2005 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemilihan Calon Bupati Dan/Atau Wakil Bupati Dan/Atau Walikota Dan/Atau Wakil Walikota, proses mekanisme pengambilan keputusan tersebut terdiri dari tahapan penjaringan, penyaringan, dan penetapan bakal calon oleh DPP PDIP.

Penelitian ini mengkaji tentang mekanisme pengambilan keputusan dan pola rekrutmen bakal calon Walikota dan Wakil Walikota Pematangsiantar melalui DPC PDIP Pematangsiantar. Bentuk penelitian yang digunakan adalah deskriptif kwalitatif yaitu dengan cara menggambarkan fakta sebagaimana adanya melalui data yang diperoleh dari DPC dan KPUD Pematangsiantar.

Dari hasil penelitian ini diperoleh gambaran bahwa aspirasi arus bawah atau grassroot yang diputuskan melalui Rakercab bukanlah menjadi patokan terhadap bakal calon yang akan ditetapkan. Kewenangan tersebut justru berada ditangan DPP PDIP untuk memutuskan nama bakal calon yang akan ditetapkan.

Kata-kata kunci (Key Words): Partai Politik, Dewan Pimpinan Cabang, Pengambilan Keputusan dan Rekrutmen Politik dalam Pilkada 2005.


(12)

BAB I PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Setiap hari ataupun setiap menit manusia mengambil keputusan. Membuat keputusan berarti memilih alternatif terbaik dari berbagai alternatif yang ada, sedangkan alternatif itu tidak selalu semua mengandung akibat-akibat yang positif. Dalam menentukan apakah suatu alternatif terbaik daripada alternatif lain harus ada patokannya. Yang dapat menjadi patokan dalam pengambilan keputusan politik misalnya ideologi dan konstitusi, undang-undang, tersedia anggaran dan sumber daya manusia, efektifitas dan efisiensi, etika dan moral yang hidup dalam masyarakat dan agama. Alternatif keputusan politik secara umum dibagi menjadi dua, yaitu program-program perilaku untuk mencapai tujuan masyarakat negara (kebijakan umum) dan orang-orang yang akan menyelenggarakan kebijakan umum (pejabat pemerintah). Dengan demikian kebijakan umum merupakan bagian dari keputusan politik.Ciri khas dari keputusan yang keluar dari proses politik bersifat mengikat (otoritarif), dan dimaksudkan untuk kebaikan bersama masyarakat umum. Dengan demikian keputusan politik ialah keputusan yang mengikat, meyangkut dan mempengaruhi masyarakt umum. Hal-hal yang menyangkut dan mempengaruhi masyarakt umum biasanya diurus dan diselenggarakan dengan lembaga-lembaga pemerintahan1.

Pembuatan keputusan berada diantara perumusan kebijakan dan implementasi kedua hal tersebut saling terkait satu sama lain. Keputusan

1


(13)

mempengaruhi implementasi dan implementasi tahap awal mempengaruhi pembuatan keputusan selanjutnya yang pada gilirannya akan mempengaruhi implememtasi selanjutnya. Pembuatan keputusan bukanlah merupakan proses pasif, keputusan adalah proses dan keputusan awal seringkali hanya merupakan penunjuk arah. Pendefenisian pembuatan keputusan sebagai proses penentuan pilihan atau pemilihan opsi-opsi maka gagasan tentang keputusan akan menyangkut satu poin atau serangkaian poin dalam ruang dan waktu ketika pembuat kebijakkan mengalokasikan nilai-nilai. Pembuatan keputusan dalam pengertian ini ada diseluruh siklus kebijakan: misalnya keputusan mengenai apa yang bisa digolongkan sebagai problem, informasi apa yang harus dipilih, pemilihan strategi untuk mempengaruhi agenda kebijakan, pemilihan cara mengevaluasi kebijakan. Pada masing-masing poin tersebut terdapat proses pembuatan keputusan. Beberapa keputusan melibatkan alokasi nilai dan distribusi sumberdaya melalui perumusan kebijakan atau melalui pelaksanaan program2.

Semua organisasi formal dibentuk oleh kekuatan-kekuatan yang menyimpang dari struktur dan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Setiap organisasi formal berusaha memobilisasi manusia dan sumberdaya teknis sebagai alat untuk mencapai tujuannya (Selznick, 1957:251). Selznick menunjukkan dengan jelas bahwa organisasi adalah alat yang netral dan rasional adalah gagasan yang jauh dari kenyataan dimana tekanan informal dan linkungan lebih berpengaruh terhadap pembuatan keputusan ketimbang struktur formalnya. Keputusan seringkali dibuat lebih demi kepentingan organisasi dari pada mengejar tujuan kebijakan formal. Beberapa organisasi membentuk dan beberapa lainya

2

Wayne Parson, Public Policy, Pengantar Teori dan praktek Analisis Kebijakan, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2005, hal. 247-248.


(14)

dibentuk. Beberapa organisasi memiliki kapasitas atau sumberdaya untuk menetukan agenda sendiri, membuat keputusan sendiri akan tetapi beberapa organisasi lainya memiliki ketergantungan terhadap lingkungan sekitarnya3.

Partai politik merupakan ikon utama demokrasi. Partai politik merupakan organisasi yang berkecimpung dalam proses politik. Partai politik memiliki tujuan untuk menaklukkan kekuasaan atau menggambil bagian dalam pelancaran kekuasaan. Pengisian setiap jabatan politik dilakukan oleh dan melalui partai politik. Rekrutmen jabatan publik dilakukan melalui seleksi oleh anggota partai politik yang berada di lembaga perwakilan. Adanya pelaksanaan Pilkadasung di Indonesia yang pertama sekali diterapkan sejak bulan Juni 2005 memang menjadi ujian bagi partai politik untuk lebih terbuka atau membuka diri terhadap dinamika masyarakat. Pemberdayaan masyarakat sipil sebenarnya ditumbuh kembangkan melalui kemampuan partai politik dalam menarik dukungan dan minat rakyat untuk berpolitik, dalam arti menjadi bagian dari proses pengambilan keputusan secara langsung4.

Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Pilkadasung) merupakan sebuah langkah besar proses demokratisasi yang memberikan ruang yang luas bagi partisipasi masyarakat untuk menentukan Kepala Daerah sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan daerah masing-masing, sehingga diharapkan kebijakan-kebijakan dari pemerintah nantinya sesuai dengan harapan dan keinginan rakyat pada umumnya atau dengan kata lain lebih mendekatkan pemerintah kepada rakyat.

Perubahan sistem pemilihan juga telah membawa perubahan hubungan tata pemerintahan antar pusat dan daerah. pendelegasian kekuasaan dari pusat

3

Parsons., Ibid., hal 326-327.

4


(15)

kedaerah tidak lagi terbatas pada kewenangan yang bersifat administratif tapi telah bergeser kearah yang lebih maju yaitu kewenangan politik. Pemimpin daerah tidak lagi menjadi pemimpin yang bersifat administratif perwakilan pemerintah pusat tapi juga menjadi pemimpin politik diderah karena dipilih dan mendapatkan legitimasi politik yang kuat dari rakyat. Kenyataan ini sejalan dengan pengertian bahwa desentralisasi adalah transfer kekuasaan politik tidak hanya terbatas pada pendelegasian sebagai otoritas pusat kepada daerah secara adminstratif. Pilkadasung menjadi isu sentral dalam diskursus politik nasional dan dipandang sebagai bagian dari proses perwujudan otonomi daerah. Pelaksanaannya menjadi momentum yang sangat penting bagi proses demokratisasi politik di tingkat lokal. Rakyat dan lembaga daerah akan terlibat langsung dalam menggelola Pilkada nantinya5.

Tujuan dari diselenggarakannya Pilkada adalah untuk menciptakan tertib politik dan konsolidasi demokrasi ditingkat lokal. Konsolidasi demokrasi sering diilustrasikan sebagai transisi politik yang diidentifikasi melalui berfungsinya rezim politik baru hasil pemilu demokratis secara terlembaga. Konsolidasi diawali pada saat lembaga-lembaga dan tata politik yang baru diorganisir menurut aturan permainan. Dalam demokrasi yang terkonsolidasi para pemain politik, elit atau masyarakat pada umumnya harus bermain dalam lingkaran demokrasi6. Selain itu tujuan Pilkadasung juga adalah mewujudkan otonomi daerah. Carut-marutnya pelaksanaan Otonomi Daerah sejak 1999 terutama dalam kaitanya dengan pemilihan kepala daerah oleh DPRD seringkali menjerumuskan politik lokal dalam kubangan politik uang di antara partai politik. Pilkadasung kemudiaan

5

Phenie Chalid(ed), Pilkada Langsung, Demokratisasi Daerah Dan Mitos Good

Governance, Jakarta, Partnership Kemitraan, 2005, hal. 2. 6


(16)

dianggap sebagai solusi untuk mengeleminir masalah tersebut. Dengan memberikan hak pilih secara langsung kepada masyarakat, setidaknya beberapa aspek demokratisasi politik lokal terpenuhi yaitu: meningkatnya partisipasi politik rakyat, meningkatnya kompetisi politik, meningkatnya legitimasi politik kepala daerah, serta meningkatnya akuntabilitas politik.

Implementasi otonomi daerah telah membawa kemajuan bagi pekembangan demokrasi di tingkat lokal. Pelaksanaan Pilkada langsung secara optimistik dapat dikatakan sebagai bentuk pengukuhan terhadap otonomi rakyat di daerah dalam menentukan kepala pemerintahan. Idealnya pemerintahan yang dipilih langsung dan memiliki legitimasi politik yang kuat akan melaksanakan fungsi sesuai dengan aspirasi masyarakat, karena spirit dari Pilkada langsung adalah mendekatkan pemerintah kepada rakyat7. Salah satu aspek yang diharapkan dengan diselenggarakanya Pilkada secara langsung adalah peningkatan kualitas good governance. Asumsinya adalah dengan Pilkada secara langsung diharapkan akan terbangun eksekutif didaerah yang tidak saja representative dan aspiratif tetapi juga akuntabel terhadap publik di daerah.

Dalam sejarah perundangan di Indonesia, paling tidak tercatat ada tiga buah Undang-undang yang memiliki makna penting dalam otonomi daerah dan Pilkada di Indonesia. Ketiga Undang-Undang tersebut yaitu:

Pertama: UU No.5 Tahun 1974 tentang pemerintahan daerah merupakan

aturan legal menjadi acuan dalam hubungan pusat-daerah selama pemerintahan orde baru. Undang-undang itu membangun suatu defenisi penting mengenai daerah otonom dan mungkin hanya itu keunggulan yang dimiliki olehnya.

7


(17)

Kerancuan mengenai apa yang dimaksud dengan pemerintahan daerah sudah tampak dari defenisinya yang menempatkan DPRD sebagai bagian dari pemerintah daerah. Logika seperti dikatakan rancu karena dalam pembagian kekuasaan politik, tidak ada lembaga legislatif yang disatukan dengan lembaga eksekutif dan memang itulah yang terjadi selama orde baru. Kuatnya peran pemerintah terlihat dari peran yang dimiliki oleh Departemen Dalam Negeri yang melakukan kontrol secara umum terhadap berjalannya pemerintahan daerah dan Gubernur dari setiap provinsi yang diangkat secara langsung oleh presiden, melaporkan segala sesuatunya melalui Menteri Dalam Negeri. Dalam pasal 22 dinyatakan bahwa Kepala Daerah sebagai pemimpin sebuah daerah otonom menjalankan hak, wewenang dan kewajiban pemerintahan daerah dan menurut hirarki bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. DPRD sebagai lembaga legislatif yang seharusnya melakukan kontrol terhadap Kepala Daerah, justru hanya diberikan keterangan pertanggungjawaban sekurangnya satu tahun sekali oleh Kepala Daerah8.

Yang kedua UU No.22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah ini lebih memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan daerahnya. Proses Pilkada menurut UU 22 Tahun 1999 diatur dalam Pasal 35 yang menyebutkan bahwa: penyelenggara Pilkada adalah panita pemilihan yang pada dasarnya memiliki tugas pokok yaitu: melakukan pemeriksaan berkas identitas mengenai bakat calon berdasarkan persyaratan yang telah ditetapkan: melakukan kegiatan teknis pemilihan calon; dan menjadi penanggung jawab pemilihan. Bakal calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang memenuhi

8


(18)

persyaratan sesuai dengan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh panitia pemilihan, diajukan kepada DPRD untuk di tetapkan sebagai calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah9.

Yang ketiga: UU No32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan PP No.6 tahun 2005 tentang tatacara pemilihan, pengesahan, pengangkatan dan pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah ditetapkan dan dilaksanakan dimana kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat hal ini menandai babak baru dalam sejarah politik di Indonesia. Lahirnya mekanisme pemilihan kepala daerah langsung merupakan salah satu wujud dari upaya untuk membangun kembali prinsip-prinsip demokrasi. Melalui pilkada diharapkan perubahan arus politik menuju kearah demokrasi yang sesungguhnya.

Syaiful Azhar10 Pilkada merupakan perwujudan kedaulatan rakyat dalam memilih Kepala Daerah di Indonesia. Kota Medan merupakan salah satu daerah yang menyelenggarakan Pilkadasung pada tahun 2005. Secara umum pelaksanaan Pilkadasung berjalan lancar, meskipun partisipasi masyarakat untuk menggunakan hak pilih mengalami penurunan. Terkait dengan hal diatas penelitian tentang proses sosialisasi politik yang dilakukan oleh KPU Kota Medan sangat dibutuhkan. Syaiful Azhar mencoba untuk mengaitkan antara sosialisasi kegiatan Pilkadasung kepada masyarakat dengan mengharapkan meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan Pilkadasung. Sosialisasi politik ini bertujuan agar seluruh penyelenggara memahami tugas dan fungsinya dalam mensukseskan Pilkadasung dan mengharapkan meningkatnya partisipasi masyarakat.

9

Ahmad Nadir, Pilkada Langsung dan Masa Depan Demokrasi, Yogyakarta, Averroes Press, 2005, hal 112.

10

Syaiful Azhar, Sosialisasi Politik Komisi Pemilihan Umum Kota Medan dalam

Pemilihan Kepala Daerah Langsung Kota Medan Tahun 2005 (Skripsi diajukan untuk memenuhi


(19)

Yudi Arfan Harahap11 Pilkadasung yang mulai diterapkan pada Juni 2005 pada dasarnya merupakan perwujudan dari sebuah demokrasi ditingkat lokal. Dengan adanya gagasan pemilihan langsung ini masyarakat bisa secara bebas memilih Kepala Daerahnya sendiri tanpa ada intervensi dari pihak manapun. Pilkadasung berdasarkan UU.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengacu pada PP No.6 Tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan, pengangkatan dan pemberhantian Kepala Daerah ini bisa bersifat positif dan negatif. Yang dimaksud positif disini bahwa masyarakat terlibat langsung dalam memilih Kepala Daerahnya sendiri bukan lagi melalui DPRD yang pada akhirnya sering terjadi praktik politik uang (money politics) sedangkan sifat negatifnya bahwa Pilkadasung membuka untuk terjadinya konflik yang berkepanjangan.

Ada persamaan antara hasil penelitian di atas dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis yaitu bahwa Pilkadasung adalah perwujudan dari kedaulatan rakyat dalam memilih sendiri kepala daerahnya dan perwujudan dari demokratisasi di tingkat nasional penelitian diatas membahas tentang sosialisasi politik KPU tentang Pilkadasung dan seringnya terjadi konflik kepentingan yang dilakukan oleh calon Kepala Daerah maupun dari massa pendukungnya dalam memperebutkan jabatan yang ada. Yang membedakan antara penelitian ini dengan hasil penelitian yang terdahulu adalah bahwa dalam Pilkadasung ada rekrutmen yang dilakukan oleh partai politik.

Dalam UU No.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah juga diungkapkan mengenai mekanisme pemilihan langsung terhadap Kepala Daerah yaitu pada pasal 59ayat (1) yaitu:“ peserta pemilihan kepala daerah dan wakil

11

Yudi Arfan Harahap, “ Konflik ElitPolitik Lokal Dalam Pilkada: Studi

TerhadapPemilihan Bupati Langsung Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2005” (Skripsi diajukan


(20)

kepala daerah adalah pasangan calon yang diusulkan secara berpasangan oleh oleh partai politik”

Pasal 59 ayat (2) menggariskan bahwa: “partai politik atau gabungan partai politik dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi di DPRD atau 15% (lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan”.

Pasal 59 ayat (3) menyebutkan bahwa:” partai politik atau gabungan partai politik wajib membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat”.

Dengan ketentuan tersebut hanya partai politik atau gabungan partai politik yang dapat mendaftarkan pasangan calon dan dalam pencalonan tentunya tidak hanya mempersiapkan kadernya untuk duduk menjadi Kepala Daerah akan tetapi juga harus membuka kesempatan kepada calon perseorangan yang memenuhi syarat. Dalam hal ini partai politik harus menyeleleksi bakal calon yang mendaftarkan diri kepartai.

Selanjutnya partai politik dan gabungan partai politik memproses bakal calon melalui mekanisme yang demokratis dan transparan. Maka tentunya setiap partai politik memiliki suatu mekanisme pengambilan keputusan tentang pemilihan Kepala Daerah. Pelaksanaan Pilkada bermuara pada pemilihan Kepala Daerah yang dapat menjalankan tugas sebagai Kepala Daerah dengan baik hingga harapan terbentuknya good governace benar-benar terwujud. Partai politik sebagai satu-satunya pintu bagi pencalonan tersebut tentunya memiliki peranan dan kepentingan partai dalam setiap proses pelakasanaan Pilkada. Oleh karenanya


(21)

proses perekrutan yang di lakukan partai politik tersebut sangat menentukan bagi partai itu sendiri.

Seleksi partai politik sangatlah menentukan sosok calon Kepala Daerah yang tampil dan akan dipilih oleh rakyat. Hal ini menjadikan kehendak partai politik lebih dominan dan belum tentu sama dengan kehendak konstituen pada umumnya. Selama ini proses internal partai politik cenderung tertutup dari keterlibatan konstituen secara langsung. Persaingan elit partai lebih dominan sehingga kerap kali mengabaikan proses rekrutmen yang terbuka dan memberi kesempatan sosok potensial di luar partai untuk berpartisipasi.

Menurut Gabriel Almond, proses rekrutmen merupakan kesempatan rakyat untuk menyeleksi kegiatan-kegiatan politik dan jabatan pemerintahan melalui penampilan dalam media komunikasi, menjadi anggota organisasi, mencalonkan diri untuk jabatan tertentu, pendidikan dan latihan. Jack C. Plano mengartikan proses rekrutmen sebagai pemilihan orang-orang untuk mengisi peranan dalam sistem sosial. Sedangkan rekrutmen politik menunjuk pada pengisian posisi-posisi formal dan legal seperti pengisian jabatan presiden dan anggota DPRD, serta peranan-peranan yang tidak formal adalah aktivis partai atau propaganda. Untuk melakukan rekrutmen biasanya dilakukan oleh institusi-institusi atau agen-agen tertentu. Untuk jabatan-jabatan politik salah satu yang melakukan rekrutmen politik adalah partai. Sesuai dengan fungsi yang dimilikinya, partai politik melakukan rekrutmen untuk mengisi jabatan-jabatan politik, anggota partai, pemimpin partai dan jabatan politik lainnya. Sehubungan dengan itu Almond dan Powel mengatakan bahwa partai politik melakukan seleksi terhadap orang-orang berbakat atau orang-orang pilihan untuk mengisi posisi-posisi politik tertentu dan


(22)

kemudian memotivasi mereka untuk bekerja dalam kerangka kepentingan dan tuntutan partai politik yang bersangkutan. Senada dengan itu Budiardjo (1989)12mengatakan bahwa partai politik berfungsi untuk mencari dan mengajak orang berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan politik. Sedangkan Surbakti mengatakan rekrutmen politik adalah seleksi atau pemilihan dan pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melakukan sejumlah peranan dalam sistem politik pada umumnya dan pemerintah pada khususnya. Rekrutmen politik merupakan hal yang sangat penting bagi kelangsungan sistem politik, sebab tanpa elite yang mampu melaksanakan peranannya, kelangsungan hidup sistem politik akan terancam. Ada dua cara dalam pelaksanaan rekrutmen politik yaitu secara terbuka dan tertutup. Rekrutmen terbuka artinya seluruh warganegara tanpa kecuali mempunyai kesempatan yang sama untuk direkrut apabila yang bersangkutan telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan. Sedangkan rekrutmen tertutup adalah proses rekrutmen secara terbatas, yaitu hanya individu-individu tertentu saja yang dapat direkrut untuk menduduki jabatan politik atau jabatan pemerintahan. Dalam konteks rekrutmen politik secara tertutup ini, maka individu-individu yang dekat dengan penguasa atau pemimpin politiklah yang mempunyai kesempatan untuk masuk dalam partai politik atau menduduki jabatan politik13.

Keinginan Partai Politik untuk dapat meraih suara terbanyak dalam Pilkada mengharuskan partai yang dengan sendirinya membuat mekanisme ataupun strategi untuk dapat memenangi Pilkada. Partai politik atau gabungan

12

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, PT. Gramedia, 1989, hal.164.

13

Syamsuddin Haris (ed), Pemilu Langsung di Tengah Oligarki Partai Proses Nominasi

dan Seleksi Calon Legislatif Pemilu 2004, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005, hal.


(23)

partai politik yang mencalonkan pasangan Kepala Daerah dalam Pilkada memiliki rangkaian alur strategi untuk dapat meraih suara terbanyak dalam Pilkada partai tersebut diperhadapkan dengan proses pembuatan keputusan dan pengrekrutan bakal calon Kepala Daerah yang hendak diusung dalam proses Pilkada. Proses pembuatan keputusan ini tentunya bukan hal yang mudah bagi Partai atau gabungan partai. Setiap partai yang mencalonkan pasangan calon kepala daerah tentunya menginginkan agar pasangan calon yang di usung oleh partai tersebut dapat memenangi Pilkada.

PDI-P merupakan partai pemenang pemilu di Kotamadya Pematangsiantar tentunya memiliki keinginan untuk tampil sebagai pemenang dalam Pilkada di Pematangsiantar. Pembuatan keputusan politik partai dan bagaimana perekrutan politik yang dilakukan oleh DPC PDI Perjuangan dalam setiap proses penjaringan dan penyaringan bakal calon Walikota dan Wakil Walikota secara transparan, adil dan demokratis adalah hal yang menarik untuk dikaji lebih luas lagi hal ini disebabkan karena sisi lain yang perlu dicermati pada Pilkada adalah mekanisme penjaringan bakal calon Kepala Daerah yang diusulkan oleh partai politik. Setiap partai politik yang mengusung nama pasangan calon Kepala Daerah tentunya tidak sembarangan dalam membuat keputusan untuk melakukan perekrutan, penjaringan dan penyaringan bakal calon.

Dari uraian diatas penulis merasa tertarik untuk melakukan kajian terhadap

Pembuatan Keputusan Rekrutmen Politik: Suatu Studi Terhadap Pembuatan Keputusan Rekrutmen Politik Partai Politik PDI Perjuangan Dalam Rangka Pilkada Kota Pematangsiantar Tahun 2005.


(24)

2. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang maka rumusan masalah penelitian ini adalah:

1. Bagaimana Pilkada dalam suatu sistem politik dan Pembuatan Keputusan dan Rekrutmen Politik pada partai politik DPC PDI-P Pematangsiantar. 2. Bagaimana proses pembuatan keputusan pada partai politik PDI-P dalam

Pilkada kota Pematangsiantar 2005

3. Bagaimana sistem Rekrutmen Politik bakal calon Walikota dan Wakil Walikota pada PDI-P dalam Pilkada Kota Pematangsiantar 2005.

3. TUJUAN PENELITIAN

1. Untuk mengetahui sejauh mana pengaruh Pilkada sebagai suatu sistem politik terhadap pembuatan keputusan dan rekrutmen pada partai politik DPC PDI-P Pematangsiantar

2. Untuk mengetahui mekanisme pembuatan keputusan pada partai politik PDI-P dalam pilkada Pemtangsiantar 2005

3. Untuk mengetahui faktor apakah yang paling determinan dalam mempengaruhi keputusan pada PDI-P

4. MANFAAT PENELITIAN

1. Bagi penulis penelitian ini berguna untuk meningkatkan serta mengembangkan kemampuan berpikir secara sistematis dan sebagai media bagi penulis untuk menghasilkan suatu karya ilmiah.


(25)

2. Penelitian ini dapat memperkaya kajian ilmiah tentang mekanisme pengambilan keputusan pada kajian ilmu politik.

3. Bagi partai-partai politik penelitian ini dapat menambah informasi tentang mekanisme pengambilan keputusan pada partai politik.

5. KERANGKA TEORITIS 5.1. Pembuatan Keputusan

5.1.1. Pengertian Keputusan.

Pengertian keputusan (decision) dari pilihan (choice) yaitu pilihan dari dua atau lebih kemungkinan. Namun ia hampir tidak merupakan pilihan antara yang benar dan yang salah tetapi yang justru sering terjadi adalah pilihan anatara yang hampir salah dan yang mungkin salah.

Mc Knazie14 melihat bahwa keputusan adalah pilihan nyata karena pilihan diartikan sebagai pilihan tentang tujuan termasuk pilihan tentang cara untuk mencapai tujuan itu apakah pada tingkatan perseorangan atau pada tingkatan kolektif.

Mc Grew dan Wilson (1984)15 lebih melihat pada kaitannya dengan prosesnya, yaitu pada bahwa suatu keputusan ialah keadaan akhir dari suatu proses yang lebih dinamis, yang diberi label pengambilan keputusan. Ia dipandang sebagai proses karena terdiri atas satu seri

14

Mc Knazie.” Decision Making”, dalam J.Salusu, Pengambilan Keputusan Strategik

Untuk Organisasi Publik dan Organisasi Nonprofit, Jakarta, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia,

1996, hal. 51.

15

McGrew,Anthony G., dan Wilson.”Decision Making:Approaches and Analysis”, dalam J.Salusu, Pengambilan Keputusan Strategik Untuk Organisasi Publik dan Organisasi Nonprofit, Jakarta, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 1996, Loc.it.


(26)

aktivitas yang berkaitan dan tidak hanya dianggap sebagai tindakan bijaksana.

Morgan dan Cerullo(1984)16 mendefenisikan keputusan sebagai sebuah kesimpulan yang dicapai sesudah dilakukan pertimbangan, yang terjadi setelah satu kemungkinan dipilih, sementara yang lain dikesampingkan. Dalam hal ini yang dimaksud dengan pertimbangan ialah menganalisis beberapa kemungkinan atau alternatif, sesudah itu dipilih satu diantaranya. Kalau begitu kapankan dikatakan tidak ada keputusan atau bukan keputusan? Non-keputusan bisa terjadi apabila pengambilan keputusan tidak menyadari atau tidak memahami situasi, atau dapat juga menyadari tetapi pilihan itu tidak dilakukan. Seiring dalam situasi seperti itu ada kekuatan lain yang campur tangan dalam proses pemilihan alternatif tersebut. Situasi yang memperlihatkan campur tangan terjadi hampir tidak mengenal batas waktu, yaitu situasi politik.

Menurut Ralph.C. Davis17 keputusan merupakan jawaban pasti terhadap suatu pertanyaan. Keputusan harus dapat menjawab pertanyaan: tentang apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang dibicarakan dalam hubungannya dengan perencanaan. Keputusan dapat meruapakan tindakan terhadap pelaksanaan yang sangat menyimpang dari rencana semula keputusan yang baik dapat digunakan untuk membuat perencanaan yang baik pula.

16

Morgan, Robert G, dan Cerullo.” Decision Making, Management Science Techniques and the Corporate Controller”, dalam Salusu, Pengambilan Keputusan Strategik Untuk Organisasi

Publik dan Organisasi Nonprofit, Jakarta, PT.Garmedia Widiasarana Indonesia, 1996, Loc.Cit. 17

Ralph C.Davis. ” The Fundamental of Top Management ”, dalam Ibnu Syamsi,


(27)

5.1.2. Komponen keputusan

Martin Starr18 menyebutkan unsur-unsur atau komponen-komponen keputusan yang berlaku secara umum adalah sebagai berikut:

1. Tujuan harus ditegaskan dalam pengambilan keputusan

2. Identifikasi alternatif, untuk mencapai tujuan tersebut kiranmya perlu dibuat beberapa altenatif, yang nantinya perlu dipilih salah satu yang dianggap paling tepat.

3. Faktor yang tidak dapat diketahui sebelumnya faktor yang semacam ini juga harus diperhitungkan (Uncontrollable events). Keberhasilan pemilihan alternatif tersebut baru dapat diketahui setelah keputusan ini dilaksanakan. Waktu yang akan datang tidak akan diketahui dengan pasti. Inilah yang dikatakan dengan uncontrollable events.

4. Dibutuhkan sarana untuk mengukur hasil yang dicapai. Masing-masing alternatif perlu di sertai akibat positif dan negatifnya, termasuk sudah diperhitungkan didalamnya uncontrollable events-nya.

5.1.3. Proses Pembuatan Keputusan

Menurut Herbert A. Simon19 seperti yang dikutip oleh M.Iqbal Hasan proses pembuatan keputusan terdiri atas tiga fase keputusan yaitu sebagai berikut:

18

Martin K. Starr.” Mangement Science, An Introduction”, dalam Ibnu Syamsi,

Pengambilan Keputusan, Jakarta, Bina Aksara, 1989,hal 15-16. 19

M. Iqbal Hasan, M.M., Pokok-Pokok Materi Teori Pengambilan Keputusan, Jakarta, Ghalia Indonesia, 2002, hal.24.


(28)

1. Fase Intelegensia

Merupakan fase penelusuran informasi untuk keadaan yang memungkinkan dalam rangka pengambilan keputusan. Jadi merupakan pengamatan lingkungan dalam pengambilan keputusan. Data dan informasi diperoleh, diproses dan diuji untuk mencari bukti-bukti yang dapat diidentifikasikan, baik yang permasalahan pokok peluang untuk memecahkannya.

2. Fase Desain

Merupakan fase pencarian atau penemuan, pengembangan serta analisis kemungkinan-kemungkinan suatu tindakan. Jadi merupakan kegiatan perancangan dalam pengambilan keputusan. Fase ini terdiri atas sebagai berikut:

a) Identifikasi masalah

Merupakan langkah pencarian perbedaan antara situasi yang terjadi dengan situasi yang ingin dicapai.

b) Formulasi masalah

Merupakan langkah dimana masalah di pertajam sehingga kegiatan desain dan pengembangan sesuai dengan permasalah yang sebenarnya. Cara yang dilakukan dalam formulasi permasalahan sebagai berikut:

 Menentukan batasan-batasan permasalahan

 Menguji perubahan-perubahan yang dapat menyebabkan permasalahan dapat dipecahkan.


(29)

3. Fase pemilihan

Merupakan fase seleksi alternatif atau tindakan yang dilakukan dari alternatif-alternatif tersebut. Alternatif yang dipilih kemudian diputuskan dan dilaksanakan. Jadi merupakan kegiatan memilih tindakan atau alternatif-alternatif tertentu dari bermacam-macam kemungkinan yang dapat ditempuh.

Pembuatan keputusan ialah proses memilih suatu alternatif cara bertindak dengan metode yang efisien sesuai dengan situasi. Proses ini untuk menemukan dan menyelesaikan masalah organisasi. Pernyataan ini menegaskan bahwa mengambil keputusan memerlukan satu seri tindakan, membutuhkan beberapa langkah. Dapat saja langkah-langkah itu terdapat dalam pikiran seseorang yang sekaligus mengajaknya berpikir sistematis. Dalam dunia manajemen atau dalam kehidupan organisasi, baik swasta maupun pemerintah, proses atau seri tindakan itu lebih banyak tampak dalam barbagai diskusi.

Suatu aturan kunci dalam pembuatan keputusan ialah “sekali kerangka yang tepat sudah diselesaikan, keputusan harus dibuat” (Brinckloe,et

al.,1977)20. Dan sekali keputusan dibuat sesuatu mulai terjadi. Dengan kata lain, keputusan mempercepat diambilnya tindakan, mendorong lahirnya gerakan dan perubahan (Hill, et al.,1979)21. Jadi, aturan ini menegaskan bahwa harus ada tindakan yang dibuat kalau sudah tiba

20

Brinckloe, William D., dan Coughlin, Mary T.”Managing Organization”, dalam Salusu,

Pengambilan Keputusan StrategikUntuk Organisasi Publik dan Organisasi Nonprofit, Jakarta,

PT.Gramedia Widiasarana Indonesia,1996, hal.48.

21

Percy, Hill.” Making Decisions”, dalam Salusu, Pengambilan Keputusan

StrategikUntuk Organisasi Publik dan Organisasi Nonprofit, Jakarta, PT.Gramedia Widiasarana


(30)

saatnya dan tindakan itu tidak dapat ditunda. Sekali keputusan dibuat, harus diberlakukan dan kalau tidak, sebenarnya ia bukan keputusan, tetapi lebih tepat dikatakan suatu hasrat, niat yang baik (Drucker, 1967: Hoy,1978)22.

Untuk suksesnya pembuatan keputusan ini maka “sepuluh hukum” hubungan kemanusiaan (Siagian,1988)23 hendaknya menjadi acuan dari setiap pembuatan keputusan yaitu:

1. Harus ada sinkronisasi antara anggota organisasi tersebut. 2. Harus ada suasana dan iklim kerja yang menggembirakan

3. Interaksi antara atasan dan bawahan hendaknya memadu informalitas dengan formalitas

4. Manusia tidak boleh diperlakukan seperti mesin

5. Kemampuan bawahan harus dikembangkan terus hingga titik yang optimum.

6. Pekerjaan dalam organisasi hendaknya bersifat menantang.

7. Hendaknya ada pengakuan dan penghargaan terhadap mereka yang berprestasi.

8. Kemudahan-kemudahan dalam pekerjaan hendaknya diusahakan untuk memungkinkan setiap orang melaksanakan tugasnya dengan baik.

22

Peter, Drucker.” Eksekutif Yang Efektif”, dalam Salusu, Pengambilan Keputusan

StrategikUntuk Organisasi Publik dan Organisasi Nonprofit, Jakarta, PT.Gramedia Widiasarana

Indonesia,1996, Loc.Cit.

23

Sondang Siagian.” Teori dan Praktek Pengambilan Keputusan”, dalam Salusu,

Pengambilan Keputusan StrategikUntuk Organisasi Publik dan Organisasi Nonprofit, Jakarta,


(31)

9. Sehubungan dengan penempatan, hendaknya di gunakan prinsip

the right man on the right place.

10.Tingkat kesejahteraan hendaknya juga diperhatikan antara lain dengan pemberian balas jasa yang setimpal.

5.1.4. Teknik Pembuatan Keputusan

Pembuatan keputusan meliputi antara lain hal-hal yang berhubungan dengan pengumpulan fakta. Berbagai teknik dapat digunakan untuk mengumpulkan informasi mengenai suatu masalah, tetapi dapat juga dengan menggantungkan diri para ahli atau konsultan. Cara apapun dipakai tidak ada yang murni objektif, tetapi selalu mengandung unsur bias pada pihak pembuat keputusan karena tergantung pada nilai keputusan dan pada penerimaan informasi tertentu sebagai fakta.

Teknik pembuatan keputusan yang diperkenalkan didalam berbagai literatur cukup bervariasi tetapi pada umumnya dapat dikelompokkan kedalam dua jenis, yaitu teknik tradisional dan teknik modern. Untuk setiap klasifikasi keputusan yang sudah dijelaskan terlebih dahulu, dapat digunakan teknik – teknik yang berbeda sebagai mana yang di kemukakan oleh McGrew sebagai berikut24:

1. Keputusan terprogram Tradisional :

a) Kebiasaan

b) Pekerjaan rutin sehari – hari: Prosedur operasional yang baku

24


(32)

c) Struktur organisasi: ada harapan bersama melalui perumusan sub – sub tujuan dengan menggunakan saluran informasi yang terumus dengan jelas.

Modern :

a) Risert operasional, analisis metematik, model-model, simulasi komputer

b) Proses data elektronik 2. Keputusan tidak terprogram. Tradisional:

a) Heuristic yaitu mendorong seseorang untuk mencari dan menemukan

sendiri intuisi, kreativitas.

b) Rule of thumbs yaitu suatu prosedur praktis yang tidak menjamin

penyelesaian optimal.

c) Dengan seleksi dan latihan bagi para eksekutif. Modern:

a) Menyelenggarakan pelatihan bagi para pengambil keputusan. b) Dengan menciptakan program – program computer.

5.1.5. Pendekatan Terhadap Pembuatan Keputusan

Hingga saat ini berbagai model tentang pendekatan terhadap pembuatan keputusan telah di perkenalkan oleh para ahli teori pengambilan keputusan. Diantaranya model McGrew yang melihat ada tiga pedekatan yaitu25 :

25


(33)

1. Pedekatan proses pengambilan keputusan rasional memberikan perhatian utama pada hubungan antara keputusan dengan tujuan dan sasaran dari pengambilan keputusan. Suatu keputusan dapat dikatakan rasional bila ia dapat dijelaskan dan dibenarkan dengan berusaha mengaitkannya dengan sasaran dari pengambilan keputusan. Dengan kata lain, keputusan itu dibuat untuk memenuhi maksud dari pengambilan keputusan. Individu sebagai pengambil keputusan akan menyusun urut-urutan tujuan dan sasaran yang dikehendaki sebelum ia membeberkan alternatif yang akan dipilih. Prinsip ini juga akan berlaku dalam satu kelompok yang bertugas mengambil keputusan, seperti sering terlihat dalam kalangan pemerintah. Kelompok merupakan satu kesatuan kohesif yang bertugas merancang keputusan untuk memaksimalkan kebahagiaan dari masyarakat terhadap tujuan keputusan.

2. Model proses organisasional menangani masalah yang jelas tampak perbedaannya antara pengambilan keputusan individu dan organasai. Disini organisasi tidak dapat disamakan dengan individu bahkan tidak dapat dianggap sebagai super-individu yang memiliki kemampuan yang lebih besar dalam menangani informasi. Depertemen atau bagian dalan satu organisasi tidak akan pernah menyusun peringkat yang sama tentang tujuan dan sasaran bahkan mereka juga berbeda dalam mempertimbangkan cara-cara untuk mencapai tujuan masing-masing. Oleh karena itu, diperlukan aturan dan prosedur sehingga


(34)

ketidakpastian dapat dikurangi dan agar mereka yang bekerja dalam organisasi itu dapat melaksanakan pekerjaan secara rutin.

3. Model tawar-menawar politik melihat kedua pendekatan itu mengatakan bahwa pengambilan keputusan kolektif sesungguhnya dilaksanakan melalui tawar-menawar. Memang dalam suatu kelompok, tiap-tiap individu mungkin sudah memberi alasan-alasan atau perhitungan rasional dan berbagai pedoman dan aturan organisasi sudah ditampilkan. Namun patut diketahui bahwa hasil akhir dari keputusan itu sesungguhnya tergantung pada proses “ memberi dan menerima ” diantara individu dalam kelompok tersebut. Dengan demikian, keputusan sebagai hasil akhir lebih merupakan keputusan politik.

5.1.6. Penyempurnaan Petunjuk Pelaksanaan Pemilihan Calon Bupati Dan/Atau Wakil Bupati, Walikota Dan/Atau Wakil Walikota Dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.

Adapun yang menjadi petunjuk pelaksanaan Pemilihan Calon Bupati Dan/Atau Wakil Bupati, Walikota Dan/Atau Wakil Walikota Dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan adalah keputusan DPP PDI-P Nomor. 024/KPTS/DPP/VII/2005 yaitu sebagai berikut:

1. Yang dimaksud dengan petunjuk pelaksanaan dalam surat keputusan ini adalah aturan partai tentang tata cara penjaringan, verifikasi, penyaringan, dan penetapan calon Bupati Dan/Atau Wakil Bupati,


(35)

Walikota Dan/Atau Wakil Walikota Dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.

2. Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota adalah pemilihan Bupati dan wakil Bupati dan Walikota dan Wakil Walikota sebagaimana yang dimaksud dengan UU 32 tahun 2004 dan peraturan pelaksanaannya.

3. Penjaringan adalah penampungan aspirasi masyarakat yang dilakukan oleh partai untuk menghimpun nama-nama bakal calon Bupati Dan/Atau Wakil Bupati, Walikota Dan/Atau Wakil Walikota berdasarkan kriteria peraturan perundangan dan peraturan partai yang berlaku.

4. Verifikasi adalah penelitian terhadap seluruh kelengkapan persyaratan bakal calon Bupati Dan/Atau Wakil Bupati, Walikota Dan/Atau Wakil Walikota, berdasarkan ketentuan UU RI No. 32 tahun 2004 dan peraturan partai dilakukan oleh tim verifikasi yang dibentuk oleh DPD dan DPC partai sebelum pelaksanaan Rakercabsus.

5. Penyaringan adalah seleksi bakal calon Bupati Dan/Atau Wakil Bupati, Walikota Dan/Atau Wakil Walikota melalui mekanisme rakercabsus partai.

6. Rakercabsus adalah rapat kerja cabang yang khusus diselenggarakan untuk menyaring bakal calon Bupati Dan/Atau Wakil Bupati, Walikota Dan/Atau Wakil Walikota dari PDI-P.


(36)

7. Penetapan bakal calon Bupati Dan/Atau Wakil Bupati, Walikota Dan/Atau Wakil Walikota ditetapkan oleh DPP partai melalui rapat DPP partai.

8. Rapat DPC partai adalah rapat pengurus DPC partai yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya lebih dari setengah jumlah pengurus partai, diselenggarakan khusus untuk membahas proses pencalonan bakal calon Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota di wilayahnya.

9. Rapat DPD partai adalah rapat pengurus DPD partai yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya lebih dari setengah jumlah pengurus partai, diselenggarakan khusus untuk membahas proses pencalonan bakal calon Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota di wilayahnya.

10.Rekomendasi DPP adalah keputusan DPP partai tentang persetujuan dan penetapan calon Bupati Dan/Atau Wakil Bupati, Walikota Dan/Atau Wakil Walikota.

5.2. Partai Politik

5.2.1. Pengertian Partai Politik

Pengertian partai politik menurut Carl J. Friedrich adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintah bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun materiil.


(37)

Kemudian lebih lanjut R. H. Soltau mendefenisikan partai politik adalah sekelompok warga Negara yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan yang dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih bertujuan untuk menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebijaksanaan umum mereka.

Defenisi partai politik juga dikemukakan oleh Sigmund Neuman. Partai politik menurut Neuman adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan dengan suatu golongan atau golobngan-golongan lainnya yang mempunyai pandangan berbeda26.

Huszar dan Stevenson mengemukakan bahwa partai politik adalah sekelompok orang yang terorganisir serta berusaha untuk mengendalikan pemerintahan agar supaya dapat melaksanakan program-programnya dan menempatkan anggota-anggotanya dalam jabatan-jabatan pemerintahan27.

5.2.2. Fungsi Partai Politik

Setelah mengetahui defenisi partai politik menurut beberapa tokoh maka dapat pula dirumuskan tentang fungsi-fungsi partai politik. Fungsi utama partai politik ialah mencari dan mempertahankan kekuasaan guna mewujudkan program-program yang disusun berdasarkan ideologi tertentu. Cara yang digunakan oleh suatu partai politik dalam sistem politik demiokratis untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan ialah ikut serta dalam pemilihanan umum. Ketika melaksanakan fungsi itu

26

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992, hal. 161-162.

27


(38)

partai politik dalam sistem politik demokrasi melakukan tiga kegiatan. Adapun ketiga kegiatan itu meliputi seleksi calon-calon, kampanye dan melaksanakan fungsi pemerintahan (legislative dan/atau eksekutif). Apabila kekuasaan untuk memerintah telah diperoleh maka partai politik itu berperan pula sebagai pembuat keputusan politik. Partai politi yang tidak mencapai mayoritas di badan perwakilan rakyat akan berperan sebagai pengontrol terhadap partai mayoritas. Berikut ini dikemukakan sejumlah fungsi partai politik28 :

5.2.2.1. Fungsi Sosialisai Politik..

Yang dimaksud dengan sosialisasi politik ialah proses pembentukan sikap dan orientasi politik para anggota masyarakat. Melalui proses sosialisasi politik inilah para anggota masyarakat memperoleh sikap dan orientasi terhadap kehidupan politik yang berlangsung dalam masyarakat. Proses ini berlangsung seumur hidup yang diperoleh secara sengaja melalui pendidikan formal, nonformal dan informal. Dari segi metode penyampaian pesan, sosialisasi politik dibagi dua yaitu pendidikan politik dan indoktrinasi politik. Pendidikan politik merupakan suatu proses dialog diantara penerima dan pemberi pesan melalui proses para anggota masyarakat mengenal dan mempelajari nilai-nilai, norma-norma dan symbol-simbol politik negaranya dari berbagai pihak dalam sistem politik dan indoktrinasi politik ialah proses sepihak ketika penguasa memobilisasi dan memanipulsi warga masyarakat untuk menerima

28


(39)

nilai, norma dan simbol yang dianggap pihak berkuasa sebagai ideal dan baik.

5.2.2.2. Fungsi Rekrutmen Politik

Rekrutmen politik adalah seleksi dan pemilihan atau seleksi dan pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam sistem politik pada umumnya dan pemerintah pada khususnya. Fungsi ini semakin besar porsinya manakala partai politik itu merupakan partai tunggal seperti dalam sistem politik totaliter, atau manakalapartai ini merupakan partai mayoritas dalam badan perwakilan rakyat sehingga berwenang membentuk pemerintahan dalam sistem politik demokrasi. Fungsi rekrutmen merupakan kelanjutan dari fungsi mencari dan mempertahankan kekuasaan. Selain itu, fungsi rekrutmen politik sangat penting bagi kelangsungan sistem politik sebab tanpa elit yang mampu melaksanakan peranannya kelangsungan hidup sistem politik akan terancam.

5.2.2.3. Fungsi Partisipasi Politik

Partisipasi politi ialah kegiatan warga Negara biasa dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan umum dan dalam ikut menentukan pemimpin pemerintahan. Dalam hal ini, partai politik mempunyai fungsi untuk membuka kesempatan, mebdorong dan mengajak para anggota dan anggota masyarakat yang lain untuk menggunakan partai politik sebagai saluran kegiatan mempengaruhi proses politik. Jadi partai politik


(40)

merupakan wadah partisipasi politik. Fungsi ini lebih tinggi porsinya dalam sistem politik demokrasi daripada dalam sistem politik totaliter karena dalam sistem politik yang terakhir ini lebih mengharapkan ketaatan dari para warga daripada aktifitas mandiri. 5.2.2.4. Fungsi Pemadu Kepentingan

Dalam masyarakat terdapat sejumlah kepentingan yang berbeda bahkan acap kali bertentangan. Untuk menampung dan memadukan berbagai kepentingan yang berbeda bahkan bertentangan maka partai politik dibentuk. Kegiatan menampung, menganaliasis dan memadukan berbagai kepentingan yang berbeda bahkan bertentangan menjadi berbagai alternatif kebijakan umum, kemudian diperjuangkan dalam proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Itulah yang dimaksud dengan fungsi pemadu kepentingan. Sebagaimana dikemukakan diatas fungsi ini merupakan salah satu fungsi utama partai politik sebelum mencari dan mempertahankan kekuasaan. Fungsi ini sangat menonjol dalam sistem politik demokrasi karena dalam sitem politik totaliter kepentingan dianggap seragam maka partai politil dalam sistem ini kurang melaksanakan fungsi pemadu kepentingan. Alternatif kebijakan umum yang diperjuangkan oleh partai tunggal dalam sistem politik totaliter lebih banyak merupakan tafsiran atas ideology digunakan sebagai cara memandang permasalahn dan perumusan penyelesaian permasalahan.


(41)

5.2.2.5. Fungsi Komunikasi Politik

Komunikasi politik ialah proses penyampaian informasi mengenai politik dari pemerintah kepada masyarakat dan dari masyarakat kepada pemerintah. Dalam hal ini, partai politik berfungsi sebagai komunikator politik yang tidak hanya menyampaikan segala keputusan dan penjelasan pemerintah kepada masyarakat sebagaimana diperankan oleh partai politik di negara totaliter tetapijuga menyampaikan aspirasi dan kepentingan berbagai kelompok masyarakat kepada pemerintah. Keduanya dilaksanakan oleh partai politik dalam sistem politik demokrasi. Dalam melaksanakan fungsi ini partai politik tidak menyapikan begtitu saja segala informasi dari pemerintah kepada masyarakat atau dari masyarakat kepada pemerintah, tetapi merumuskan sedemikian rupa sehingga penerima informasi ( komunikan) dapat dengan mudah memahami dan memanfaatkan. Dengan demikian, segala kebijakan pemerintah yang biasanya dirumuskan dalam bahsa teknis dapat diterjemahkan oleh partai politik ke dalam bahasa yang dapat dipahami oleh pemerintah dan masyarakat. Jadi proses komunikasi politik antara pemerintah dan masyarakat dapat berlangsung secara efektif melalui partai politik.

5.2.2.6. Fungsi Pengendali Konflik

Konflik yang dimaksud disini dalam arti yang luas, mulai dari perbedaan pendapat sampai pada pertikaian fisik antar individu atau kelompok dalam masyarakat. Dalam negara demokrasi setiap


(42)

warga negara atau kelompok masyarakat berhak menyampaikan dan memperjuangkan aspirasi dan kepentingannya sehingga konflik merupakan gejala yang sukar dielakkan. Akan tetapi suatu sistem politik hanya akan mentoloerir konflik yang tidak menghancurkan dirinya sehingga permasalahannya bukan menghilangkan konflik itu, melainkan mengendalikan konflik melalui lembaga demokrasi untuk mendapatkan penyelesaian dalam bentuk keputusan politik. Partai politik sebagai salah satu lembaga demokrasi berfungsi untuk mengendalikan konflik melalui cara berdialog dengan pihak-pihak yang berkonflik, menampung dan memadukan berbagai aspirasi dan kepentingan dari pihak-pihak yang berkonflik dan membawa permasalahan kedalam musyawarah badan perwakilan rakyat untuk mendapatkan penyelesaian berupa keputusan politik. Untuk mencapai penyelesaian berupa keputusan itu diperlukan kesediaan berkompromi diantar para wakil rakyat, yang berasal dari partai-partai politik. Apabila partai-partai-partai-partai politik keberatan untuk mengadakan kompromi maka partai politik bukan hanya mengendalikan konflik, melainkan menciptakan konflik dalam masyarakat.

5.2.2.7. Fungsi Kontrol Politik

Kontrol politik ialah kegiatan untuk menunjukkan kesalahn, kelemahan dan penyimpangan dalam isi suatu kebijakan atau dalampelaksanaan kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah. Dalam melakukan suatu kontrolpolitik atau pengawasan


(43)

harus ada tolak ukur yang jelas sehingga kegiatan itu berifat relatif objektif. Tolak ukur suatu control politik berupa nilai-nilai politik yang dianggap ideal dan baik yang dijabarkan dalam berbagai kebijakan atau peraturan perundang-undangan. Tujuan kontrol politik, yakni meluruskan kebijakan atau pelaksanaan kebijakan yang menyimpang dan memperbaiki yang keliru sehingga kebijakan dan pelaksanaannya sejalan dengan tolak ukur tersebut. Fungsi kontrol ini merupakan salah satu mekanisme politik dalam sistem politik demokrasi untuk memperbaiki dan memperbaharui dirinya secara terus-menerus. Dalam melaksanakan fungsi kontrol politikl juga harus menggunakan tolak ukur itu pada dasarnya merupakan hasil kesepakatan bersama sehingga seharusnya menjadi pegangan bersama. Dalam sistem cabinet parlementer, kontrol dilakukan oleh partai politik oposisi terhadap kebijakan partai yang tidak percaya mendapat dukungan mayoritas dari parlemen.

S. Neumann mengemukakan fungsi-fungsi partai politik yang terdiri dari tiga tingkatan: first, at the level of the society as a

whole, political parties are general mechanism by which conflicts are handled,…second, at the level of political system, parties are the institusions within which policies can be formulated…finaly, at the level of dailly political life, parties play a major part in recruitment of the “political class” (

pertama, pada tingkatan masyarakat secara keseluruhan, partai politik adalah sebuah mekanisme umum yang berupaya menagani konflik yang terjadi di dalam masyarakat,…kedua, pada tingkatan sistem politik, partai politik adalah institusi yang berfungsi menformulasikan kebijakan publik,…ketiga, pada tingkatan kehidupan politik, partai politik memainkan peran utama dalam rekrutmen politik bagi kandidat-kandidat terpilih agar menempati jabatan-jabatan publik )29.

29

Deden Faturohman dan Wawan Sobari, Pengantar Ilmu Politik, Malang, Penerbit Universitas Muhammadiyah Malang(UMM Pers), 2004, hal 277-278.


(44)

5.2.3. Sistem Kepartaian

Sistem kepartai ada kaitannya dengan judul skripsi dimana dalam judul tersebut dipaparkan pembuatan keputusan pada partai politik dalam Pilkada. Dimana dalam hal ini partai politik merupakan kendaraan politik yang mengusung calon Kepala Daerah.

Sistem kepartain adalah pola perilaku dan interaksi di antara sejumlah partai politik dalam suatu sistem politik. Maurice Duverger30 menggolongkan sistem kepartaian menjadi tiga, yaitu sistem partai tunggal, sistem dwi partai dan sistem banyak partai. Penggolongan sistem kepartaian berdasarkan jumlah partai dapat dikemukakan seperti berikut. Bentuk partai tunggal (totaliter,otoriter dan dominant), sistem dua partai dominan dan bersaing dan sistem banyak partai. Dalam Negara yang menerapkan bentuk partai tunggal totaliter terdapat satu partai yang tak hanya memegang kendali atas militer dan pemerintahan, tetapi juga mengguasai seluruh aspek kehidupan masyarakat. Partai tunggal totaliter biasanya merupakan partai doktriner dan diterapkan di negara-negara komunis dan fasis.

Bentuk partai tunggal otoriter ialah suatu sistem kepartaian yang didalamnya terdapat lebih dari satu partai tetapi terdapat satu partai besar yang digunakan oleh penguasa sebagai alat memobilasi masyarakat dan mengesahkan kekuasaannya, sedangkan partai-partai lain kurang dapat menampilkan diri karena ruang gerak dibatasi penguasa. Bentuk partai tunggal otoriter biasanya diterapkan dinegara-negara berkembang yang

30

Maurice Duverger.1967” Political Parties: Their Organization and Activites in Modern State” dalam Ramlah Surbakti. “Memahami Ilmu Politi” Jakarta, PT. Gramedia, 1992, hal 124-127.


(45)

menghadapi masalah intergrasi nasional dan keterbelakangan ekonomi. Partai tunggal yang otoriter digunakan sebagai wadah persatuan segala lapisan dan golongan masyarakat, dan sebagai wadah persatuan segala lapisan dan golongan masyarakat dan sebagai alat memobilisasi masyarakat untuk mendukung kebijakan yang dibuat penguasa. Apabila dalam bentuk partai tunggal otoriter, partailah yang menguasai partai. Partai Uni Nasional Tanzania ( UNAT), Partai Aksi Rakyat Singapura merupakan contoh partai totaliter.

Bentuk partai tunggal dominan tetapi demokratis ialah suatu sistem kepartaian yang di dalamnya terdapat lebih dari satu partai, namun satu partai saja yang dominan ( secara terus menerus mendapat dukungan untuk berkuasa), sedangkan partai-partai lain tidak mampu menyaingi partai yang dominan, walaupun terdapat kesempatan yang sama untuk mendapatkan dukungan melalui pemilihan umum. Partai yang dominan itu biasanya lebih dahulu muncul untuk membina bangsa dan mengorganisasikan pembangunan ekonomi, dibandingkan dengan partai-partai lain yang muncul beberapa dekade kemudian untuk megoreksi dan menyaingi partai dominan. Ketika partai-partai oposisi muncul, partai dominan sudah berakar dalam masyarakat dan organisasinya sudah melembaga. Partai Liberal di Jepang merupakan contoh partai dominant tetapi demokratik.

Sistem dua partai bersaing merupakan suatu sistem kepartaian yang didalamnya terdapat dua partai yang bersaing untuk mendapatkan dan mempertahankan kewenangan memerintah melaului Pemilu. Dalam


(46)

sistem ini terdapat pembagian tugas yaitu partai yang memenangkan pemilu memerintah dan partai yang kalah beroperan sebagai kekusaan oposisi yang loyal sebagai control atas partai yang menag. Negara yang menerapkan sistem dua partai bersaing adalah Amerika (Partai Republik dan Partai Buruh) dan Australia ( Partai Liberal dan Partai Buruh).

Sistem banyak partai merupakan suatu sistem yang terdiri atas lebih dari dua partai yang dominan. Sistem ini merupakan produk dari masyarakat yang majemuk, baik cultural maupun social ekonimi.karena bnayak partai yang bersaing dalam Pemilu maka yang sering terjadi adalah pemerintahan koalisi dengan dua atau lebih partai secara bersama-sama mencapai mayoritas di parlemen. Untuk mencapai konsensus diantara partai yang berkoalisi itu memerlukan tawar menawar dalam hal program dan kedudukan menteri.

Selain itu partai politik juga dapat diklasifikasikan menurut komposisi anggotanya yaitu31:

a. Partai Massa

Partai massa mengutamakan kekuatan berdasarkan keunggulan jumlah anggota, oleh karena itu biasana terdiri dari pendukung-pendukung dari berbagai aliran politik dalam masyarakat yang memiliki ideology dan tujuan yang sama. Kelemahan darai partai massa adalah bahwa masing-masing aliran atau kelompok yang menjadi anggotanya cenderung untuk memaksakan kepentingan masing-masing sehingga persatuan partai menjadi lemah atau

31


(47)

hilang sama sekali sehingga salah satu golongan memisahkan diri dan mendirikan partai baru.

b. Partai Massa

Kekuatan partai ini adalah terletak pada keketatan organisasi dan disiplin kerja dari anggota-anggotanya. Pimpinan partai biasanya menjaga kemurnian doktrin politik yang dianut dengan jalan mengadakan seleksi terhadap calon anggotanya dan memecat anggota yang menyeleweng dari garis partai yang telah ditetapkan.

5.2.4. Rekrutmen Pada Partai politik

Rekrutmen politik merupakan proses dimana partai mencari anggota baru dan mengajak orang yang berbakat untuk berpartisipasi dalam proses politik melalui organisasi-organisasi massa yang melibatkan golonggan-golonggan tertentu, seperti golonggan buruh, petani, pemuda dan sebagainya. Hal ini seperti yang ditegaskan oleh Mochtar Mas’oed bahwa rekrutmen politik merupakan fungsi penyeleksi rakyat untuk kegiatan politik dan jabatan pemerintah melalui penampilan dalam media komunikasi, menjadi anggota oeganisasi, mencalonkan diri untuk jabatan tertentu, pendidikan dan ujian32.

Sistem rekrutmen politik menurut Nazaruddin Syamsudin dibagi menjadi dua cara33: pertama, rekrutmen terbuka yaitu dengan menyediakan dan memberikan kesempatan yang sama bagi seluruh warga negara untuk ikut bersaing dalam proses penyeleksian. Dasar

32

Hesel Nogi Tangkilisan, Kebijakan Publik Yang Membumi, Yayasan Pembaruan Adminstrasi Publik Indonesia & Lukman Offset, 2003, hal. 188

33


(48)

penilaian dilaksanakan melalui proses dengan syarat-syarat yang telah ditentukan, melalui pertimbangan-pertimbangan yang objektif rasional, dimana setiap orang yang memenuhi syarat untuk mengisi jabatan politik yang dipilih oleh rakyat mempunyai peluang yang sama dalam melakukan kompetisi untuk mengisi jabatan baik jabatan politik maupun administrasi atau pemerintah. Kedua, rekrutmen tertutup, yaitu adanya kesempatan untuk masuk dan dapat menduduki posisi politik tidaklah sama bagi setiap warga negara, artinya hanya individu-individu tertentu yang dapat direkrut untuk menempati posisi dalam politik maupun pemerintah. Dalam cara yang tertutup ini orang mendapatkan posisi elit melalui cara-cara yang tidak rasional seperti pertemanan, pertalian keluarga dan lain-lain.

Menurut Miftah Thoha34 bahwa ada tiga sistem yang sering digunakan dalam proses rekrutmen yaitu:

1. Sistem Patronit (patronage system)

Sistem patronit dikenal sebagai sistem kawan, karena dasar pemikirannya dalam proses rekrutmen berdasarkan kawan, diaman dalam mengangkat seseorang untuk menduduki jabatan, baik dalam bidang pemerintahan maupun politik dengan pertimbangan yang bersangkutan masih kawan dekat, sanak famili dan ada juga karena asal daerah yang sama. Sistem kawan ini juga didasarkan atas dasar perjuangan politik karena memiliki satu aliran politik, ideologi dan keyakinan yang sama tanpa memperhatikan keahlian dan keterampilan.

34


(49)

2. Sistem Merita (merit system)

Sistem ini berdasarkan atas jasa kecakapan seseorang dalam usaha mengangkat atau menduduki pada jabatan tertentu sehingga sistem ini lebih bersifat obyektif karena atas dasar pertimbangan kecakapan. Dengan dasar pertimbangan seperti ini, maka acapkali sistem ini di Indonesia dinamakan sistem jasa. Penilaian obyektif tersebut pada umumnya ukuran yang dipergunakan adalah ijazah pendidikan, sistem seperti ini dikenal dengan “spoil system”.

3.Sistem Karir (career system)

Sistem ini sudah lama dikenal dan dipergunakan secara luas untuk menunjukkan pengertian suatu kemajuan seseorang yang dicapai lewat usaha yang dilakukan secara dini dalam kehidupannya baik dunia kerja maupun politik.

Sistem rekrutmen politik memiliki keseragaman yang tiada terbatas, namun pada dasarnya ada dua cara khusus seleksi pemilihan yakni, melalui kriteria universal dan kriteria partikularristik. Pemilihan dengan kriteria universal merupakan seleksi untuk memainkan peranan dalam sistem politik berdasarkan kemampuan dan penampilan yang ditunjukkan lewat tes atau ujian dan prestasi. Sedangkan yang dimaksud dengan kriteria partikularistik adalah pemilihan yang bersifat primordial yang didasarkan pada suku, ras, keluarga, almamater atau faktor status.

Berkait dengan itu maka untuk menciptakan rekrutmen yang sehat berdasarkan sistem politik yang ada sehingga membawa pengaruh


(50)

pada elit poltik terpilih, membutuhkan adanya mekanisme yang dapat menyentuh semua lapisan, golongan serta kelas social masyarakat. Oleh karena itu, Seligman dalam Kebijakan Publik Yang Membumi memandang rekrutmen sebagai suatu proses yang terdiri dari35:

1. Penyaringan dan penyaluran politik yang mengarah pada eligibilitas (pemenuhan syarat calon).

2. Pencalonan atau proses dua tahap yang mensyaratkan inisiatif dan penguatan.

3. Seleksi, yakni pemilihan calon elit politik yang sebenarnya. Rekrutmen politik diharapkan agar memperhatikan mekanismeberlaku karena penting dalam hal pengambilan keputusan atau pembuatan kebijaksanaan. Pada umumnya elit politik yang direkrut biasanya orang-orang yang memiliki latarbelakang sosial, budaya disamping memiliki kekuatan ekonomi yang memadai menjadi persyaratan. Walaupun prosedur-prosedur yang dilaksanakan oleh tiap-tiap sistem polituik berbeda satu dengan lainnya, namun terdapat suatu kecenderungan bahwa individu-individu yang berbakat yang dicalonkan menduduki jabatan-jabatan politik maupun jabatan pemerintahan.

35


(51)

5.3. Pemilihan Kepala Daerah Langsung

David Easton teoritisi pertama yang memperkenalkan pendekatan sistem dalam Ilmu Politik menyatakan bahwa suatu sistem selalu memiliki sekurangnya tiga sifat. Ketiga sifat tersebut adalah:

1. Terdiri dari banyak bagian-bagian.

2. Bagian-bagaian itu saling berinteraksi dan saling bergantung

3. Mempunyai perbatasan (bounderies) yang memisahkannya dari lingkungannya yang juga terdiri dari sistem-sistem lain.

Sebagai suatu sistem pilkada langsung mempunyai bagian-bagian yang merupakan sistem sekunder (secondary system) atau sub-sub sistem (sub

system). Bagian-bagian tersebut electoral regulation, electoral process,

dan electoral law enforcement. Electoral regulation adalah segala ketentuan atau aturan mengenai pilkada langsung yang berlaku, bersifat mengikat dan menjadi pedoman bagi penyelenggaraan calon dan pemilih dalam menunaikan peran dan fungsi masing-masing. Electoral process dimaksudkan seluruh kegiatan yang terkait secara langsung dengan pilkada yang merujuk pada ketentuan perundang-undangan baik yang bersifat legal maupun yang bersifat teknikal. Electoral law enforcement yaitu penegakan hukum terhadap aturan-aturan pilkada baik yang politis, administratif atau pidana. Ketiga bagian pilkada langsung tersebut sangat menetukan sejauh mana kapasitas sistem dapat menjembatani pancapaian tujuan dari proses awalnya36.

36

Joko.J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung Filosofi, Sistem dan


(52)

Pilkada merupakan rekrutmen politik yaitu penyeleksian rakyat terhadap tokoh-tokoh yang mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah. Asas yang dipakai dalam pilkada langsung dituangkan dalam pasal 56 ayat(1) UU No.32 tahun 2004 dan ditegaskan kembali pada pasal 4 ayat (3) PP No. 6 tahun 2005 yaitu :

“ Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil”.

5.3.1. Pilkada Ditinjau dari UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No.32 Tahun 2004.

Berbicara tentang Pilkada ada dua Undang-Undang yang harus diperhatikan yaitu:

5.3.1.1. Undang-Undang No.22 Tahun 1999

UU No.22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah ditetapkan pada Mei 1999 dan berlaku efektif sejak tahun 2000. Undang-Undang ini dibuat untuk memenuhi tuntutan reformasi, yaitu mewujudkan suatu Indonesia baru. Indonesia yang lebih demokratis, lebih adil dan lebih sejahtera. Semenjak dilaksanakannya undang-undang ini secara efektif, telah banyak perubahan yang timbul pada penyelenggaraan pemerintahan di daerah. perubahan ini tidak hanya terjadi di daerah, tetapi juga pada hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Selama ini hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah sangat bersifat sentralistik. Dengan


(53)

diberlakukannya UU No.22 Tahun 1999 ini hubungan antara pemerintah pusat dan daerah menjadi lebih desentralisasi dalam arti sebagian besar wewenang dibidang pemerintahan diserahkan kepada daerah. Untuk mendorong peningkatan dan pemerataan kesejahteraan masyarakat, undang-undang ini memberi peluang kepada daerah-daerah yang memenuhi syarat dan memiliki potensi untuk dijadikan daerah otonom, melaui pemekaran daerah. Disamping itu guna meningkatkan peranan DPRD sebagai badan legislatif daerah, DPRD selama ini di tempatkan sebagai bagian dari pemerintahan daerah dan dikembalikan fungsi yang seharusnya sehinga mempunyai kedudukan sederajat dengan pemerintahan daerah sebagai badan eksekutif daerah37.

Dalam UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah terdapat ketentuan mengenai tugas, fungsi dan kewenangan DPRD dalam pelaksanaan Pilkada tertuang dalam pasal 34 ayat (1)yang menyebutkan bahwa:“ Pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilakukan oleh DPRD melalui pemilihan secara bersamaan”. Selanjutnya ayat (2) “ Calon Kepala Daerah dan calon Wakil Kepala Daerah ditetapkan oleh DPRD melalui tahapan pencalonan dan pemilihan”. Kedudukan DPRD dalam UU No.22 Tahun 1999 sangat sentral pemerintah pusat hanya bertugas untuk mengesahkan hasil yang telah diputuskan oleh DPRD38.

37

H.Rozali Abdullah,S.H. Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah

Secara Langsung, Jakarta, Rajawali Pers, 2005, hal.1-2. 38


(54)

5.3.1.2. Undang-Undang No.32 Tahun 2004.

Pada dasarnya ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UU No.32 Tahun 2004 sama dengan apa yang diatur dala UU No.22 Tahun 1999. Hanya saja UU No.32 Tahun 2004 lebih memperjelas dan mempertegas hal-hal yang sudah diatur dalam UU NO.22 Tahun 1999, guna menutupi kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam UU No.22 Tahun 1999 dimaksud terutama mengenai hubungan hirarkis antara pemerintah pusat dan daerah, hubungan ini berkaitan dengan masalah kesatuan administratif dan kesatuan wilayah. Disamping itu hubungan kemitraan dan sejajar antara kepala daerah dan DPRD semakin dipertegas dan diperjelas pula. Hal ini terlihat dengan dipilih langsungnya kepala daerah oleh rakyat, sehingga DPRD tidak dapat lagi menjatuhkan kepala daerah, sebelum masa jabatanya berakhir melalui suatu putusan politik (pemungutan suara) semata-mata, tetapi melalui proses hukum dipengadilan. Perubahan yang sangat signifikan terhadap perkembangan demokrasi di daerah, sesuai dengan tuntutan reformasi adalah Pilkadasung. Pilkadasung ini merupakan konsekuensi perubahan tatanan kenegaraan kita akibat amandemen UUD 1945. Undang-undang baru ini pada dasarnya mengatur mengenai penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam rangka melaksanakan kebijakan desentralisasi. Penerapan otonomi daerah berdasarkan UU No.32 Tahun 2004 ini tetap dengan prinsip otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab39.

39


(55)

5.3.2. Tahapan Pilkada Langsung

Kegiatan pilkada langsung dilaksanakan dalam 2 tahap, yakni masa persiapan dan tahap pelaksanaan. Sebagaimana dikatakan dalam pasal 65 ayat (1), pilkada dilaksanakan melalui masa persiapan dan tahap pelaksanaan. Masing-masing tahap dilakukan berbagai kegiatan yang merupakan proses pilkada langsung. Pelaksanaan kegiatan ini tidak dapat melompat-lompat. Dalam pasal 65 ayat (2) disebutkan kegiatan-kegiatan yang tercakup dalam masa persiapan yakni;

1. Pemberitahuan DPRD kepada Kepala Daerah mengenai berakhirnya masa jabatan.

2. Pemberitahuan DPRD kepada KPUD mengenai berakhirnya masa jabatan Kepala Daerah.

3. Perencanaan penyelenggaraan, meliputi penetapan tata cara dan jadwal tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah.

4. Pembentukan panitia pengawas, PPK,PPS dan KPPS. 5. Pembentukan dan pendaftaran pemantau.

Dalam kegiatan masa persiapan, keterlibatan rakyat sangat menonjol dalam pembentukan panitia pengawas, PPK, PPS dan KPPS. Rakyat memiliki akses untuk menentukan melalui mekanisme uji publik namun mendaftarkan diri sebagai anggota panitia pengawas, PPK, PPS dan KPPS. Sementara itu tahapan tahap pelaksanan terdiri dari 6 kegiatan, yang masing-masing merupakan rangkaian yang saling terkait. Sesuai dengan pasal 65 ayat (3) tahap pelaksanaan pilkada meliputi:


(56)

1. Penetapan daftar pemilih.

2. Pendaftaran dan penetapan calon Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah.

3. Kampanye

4. Pemungutan suara 5. Penghitungan suara

6. Penetapan pasangan calon Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah terpilih, pengesahan dan pelantikan.

5.3.3. Jenis Sistem Pencalon

Dalam pilkada lngsung dikenal 2 jenis pencalonan yaitu40: 5.3.3.1. Sistem pencalonan terbatas

Sistem pencaloan terbatas adalah sistem pencalonan yang hanya membuka akses bagi calon-calon dari partai politik.paradigma berpikir yang dianut sistem pencalonan terbatas adalah bahwa hanya partai-partai politik saja yang memiliki sumber daya manusia yang layak memimpin pemerintahan atau hanya partai-partai politik saja yang menjadi sumber kepemimpinan.sistem pencalonan terbatas dikenal sebagai salah satu ciri demokrasi elitis, yang biasa dianut di negara-negara otoritarian dan sosialis. Misalnya, sistem ini pernah digunakan di Uni Soviet tahun 1990-an sehingga seluruh kepala daerah adalah pengurus partai komunis.

40


(1)

Dari penyajiana dan analisa data maka dapat disimpulkan pembuatan keputusan dan rekrutmen politik calon Kepala Daerah yang dilakukan oleh PDI P dalam Pilkada Kota Pematangsiantar 20005 melalui skema berikut:

Dewan Pimpinan Cabang (DPC)

PDI P Kotamadya

Rakercabsus yang di adakan oleh DPC Kotamadya. Rapat dihadiri oleh perwakilan dari Ranting Kecamatan dan DPC Kotamadya Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Provinsi Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI P PENJARINGAN (Pendaftaran Kandidat, Survei, Pendekatan Calon Potensial dsb VERIFIKASI (Memeriksa Kelengkapan, Persyaratan, Kriteria dsb) PENYARINGAN ( Seleksi nama-nama

yang masuk, mendaftar/ telah

dijaring)

PENETAPAN (Memilih 1 pasangan

Kepala Daerah yang diusung oleh partai)


(2)

BAB IV

PENUTUP

KESIMPULAN DAN SARAN

I. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian dan analisa data yang dilakukan penulis mengenain pembuatan keputusan dan rekrutmen politikdalam rangka pemilihan kepala daerah langsung ( Study terhadap DPC PDI Perjuangan Kodya Pematangsiantar). Maka dapat diambil kesimpulan :

1. Mekanisme Pemilihan Kepala Daerah yang diatur dalam UU No. 32/2004 dan PP No. 6 dan No. 17 tahun 2005, hanya mengenal satu jalur, yakni pencalonan melalui atau oleh partai politik dan atau gabungan partai politik.

2. Lahirnya UU No.32/2004 Tentang Otonomi Daerah memberikan perubahan yang cukup besar, perubahan tersebut terlihat dari peran partai politik dimana Partai Politik adalah satu-satunya jalan bagi kader ataupun masyarakat luas untuk dapat mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah.

3. Mekanisme Pengambilan Keputusan, perekrutan Bakal calon hingga penetapan calon Kepala Daerah yang terjadi di DPC PDI P Pematangsiantar sudah dapat dikatakan berjalan demokratis. Hal ini disebabkan karena PDI P dalam melakukan seleksi dan penyaringan bakal calon masih memperhatikan aspirasi dari arus bawah yakni dengan melibatkan Ranting-Ranting,PAC dan DPC dalam rangkain proses


(3)

tersebut dan hanya melalui proses di DPC nama-nama ataupun usulan bakal calon Walikota/Wakil Walikota dapat di godok dan kemudian diperjuangkan dalam pemilihan.

4. Hasil Pemilihan ataupun Penyaringan yang dilakukan DPC pada RAKERCAB dengan melibatkan unsur Ranting, PAC, DPC dan DPD bukanlah merupakan keputusan akhir karena Hasil RAKERCAB tersebut masih akan di ajukan ke DPD dan DPP yang terdiri dari minimal 4 Pasangan Bakal Calon dan kemudian DPD melakukan rapat DPD untuk memberikan gambaran umum dan memberikan rekomendasi nama kepada DPP untuk mentukan pasangan calon yang layak untuk di usung dan diperjuangkan. Hasil akhir diputuskan oleh DPP melalui rapat DPP, DPP memberikan rekomendasi nama pasangan calon yang akan diperjuangkan melalui DPD dan kemudian ke DPC.

5. Kegagalan PDI P dalam memenangkan Pilkada di Pematangsiantar bukanlah disebabkan pada Alur Mekanisme Pengambilan Keputusan tetapi lebih disebakan oleh kurang solidnya kader partai tersebut dan Tim Pemenang yang kurang bekerja dan kurang memiliki integritas pada partai PDI P.

II. Saran

Dari hasil penelitian ini penulis menemukan beberapa point penting yang harus diperhatikan oleh PDI P untuk perbaikan pada masa yang akan datang terutama hal-hal yang menyangkut pemilihan kepala daerah. Point-point tersebut antara lain :


(4)

1. Sistem kaderisasi di DPC Kotamadya Pematangsiantar harus sungguh-sungguh diperhatikan, sebab perilaku para DPC yang sebagian besar tidak memiliki militasi dan loyalitas hal ini disebabkan karena kurangnya sistem pengkaderan yang jelas dan baku.

2. Sumber Daya Manusia para kader harus ditingkatkan baik mulai dari Anak Ranting, PAC dan sampai kepada DPC PDI P Kotamadya Pematangsiantar. Kelemahan ini terutama terlihat pada pemahaman mereka tentang Visi dan Misi Partai serta kemampuan untuk mempengaruhi Partai lain, oleh karena itu perlu dilakukan pendidikan politik, pelatihan serta pembinaan terhadap para kader-kader PDI P di Kotamadya Pematangsiantar.

3. Untuk memenangkan Pilkada di masa yang akan datang, DPC PDI P Pematangsiantar harus benar-benar menyiapkan Tim Pemenang yang benar-benar kuat dan memiliki loyalitas yang tinggi terhadap partai, dan mulai merancang strategi pemenangan jauh sebelum diadakannya pilkada.

4. Solidaritas dan semangat kebersamaan hendaknya perlu ditingkatkan diantara sesama anggota PDI P di Kotamadya Pematangsiantar karena dengan demikian DPC PDI P dapat benar-benar menjalankan kerja-kerja Colective, karena pada hakekatnya visi, misi dan tujuan memerlukan kerja sama yang kuat dan semangat kebersamaan yang kuat.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Negara

UU No.32 tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah PP No. 6 tahun 2005

Daftar Buku

Abdullah, Rozali. 2005. Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung. Jakarta: Rajawali Pers.

Budiardjo, Miriam. 1992. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Bungin, Burhan. 2001. Metode Penelitian Sosial Format-Format Kuantitatif dan Kualitatif, Surabaya: Airlangga University Perss.

Chalid, Pheni. 2005. Pilkda Langsung Demikrasi Daerah dan Mitos Good Governance, Jakarta: Partnership kemitraan.

Faturohman, Deden dan Wawan Sobari. 2004. Pengantar Ilmu Politik. Malang: Penerbit Universitas Muhammadiyah Malang (UMM Pers).

Haris, Syamsuddin. 2005. Pemilu Langsung di Tengah Oligarki Partai Proses Nominasi dan seleksi Calon Legislatif Pemilu 2004. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Hasan, M. Iqbal.M.M. 2002. Pokok-Pokok Materi Teori Pengambilan Keputusan. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Nadir, Ahmad. 2005 , Pilkada Langsung dan Masa Depan Demokrasi, Yogyakarta, Averroes Press

Nawawi, Hadari. 1995. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Nogi, Hesel. S. Tangkilisan. 2003. Kebijakan Publik Yang Membumi, Yogyakarta: Kerjasama Lukman Offset & Yayasan Pemburuan Administrasi Publik Indonesia.

Parsons, Wayne. 2005. Public Policy Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan, Jakarta: Kencana Perdana Media Group.


(6)

Putra. Fadillah. 2003. Partai Politik Dan Kebijakan Publik:Analisis Terhadap Kongruensi Janji Partai Politikdan Realisasi Produk Kebijakan Publik Di Indonesia 1999-2003. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rahman, A. H.I. 2007. Sitem Politik Indonesia. Graha Ilmu.

Rusli, M. 1993. Perjalanan Partai Politik Di Indonesia Sebuah Potret Pasang-Surut. Jakarta:Rajawali Pers.

Salusu, J., M.A. 1996. Pengambilan Keputusan Strategik Untuk Organisasi Publik dan Organisasi Nonprofit. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

Sukarna. 1979. Sistem Politik. Bandung: Penerbit Alumni.

Syamsi, Ibnu Syamsi, S.U. 1989. Pengambilan Keputusan (Decision Making). Jakarta: Bina Aksara Jakarta.

Zulkifli, Arif. 1996. PDI dimata Golongan Menengah Indonesia: Studi Komunitas Politik. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Skripsi

Arfan, Yudi Harahap, Konflik ElitPolitik Lokal Dalam Pilkada: Studi

TerhadapPemilihan Bupati Langsung Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2005.

Azhar, Syaiful, Sosialisasi Politik Komisi Pemilihan Umum Kota Medan dalam Pemilihan Kepala Daerah Langsung Kota Medan Tahun 2005.

Internet

Aktor Pro Demokrasi Dalam Pilkada: Kasus Mangarai, dapat diakses di: www. Komunitas Demokrasi. or. id

Pilkada Secara Langsung: Konteks, Proses dan Implikasi, dapat diakses di: www. IRE YOGYA. go.id

Kecenderungan Pencalonan Dan Koalisi Partai Dalam Pilkada, dapat diakses di: www. Syamsudin Haris Pilkada. go. Id