Negara Dan Kesetaraan Gender : Suatu Studi Wacana Perempuan Indonesia Dalam Politik Indonesia

(1)

NEGARA DAN KESETARAAN GENDER :

SUATU STUDI WACANA PEREMPUAN INDONESIA

DALAM POLITIK INDONESIA

SKRIPSI

OLEH :

ROSPITA NDK

050906047

Dosen Pembimbing : Drs. P. Anthonius Sitepu, M.Si Dosen Pembaca : Dra. Evi Novida Ginting

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(2)

KATA PENGANTAR

Segala Puji dan Syukur dan atas kerendahan hati penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas Rahmat dan Karunia-Nya akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai tugas akhir, yang merupakan salah satu syarat yang harus penulis laksanakan untuk memenuhi persyaratan akademis sebagai mahasiswa Ilmu Politik di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara guna memperoleh gelar sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Adapun yang menjadi judul skripsi ini adalah NEGARA DAN KESETARAAN GENDER : SUATU STUDI WACANA PEREMPUAN INDONESIA DALAM POLITIK INDONESIA.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari telah banyak mendapat dorongan, bimbingan, bantuan serta saran-saran dari berbagai pihak, sehingga penulis akhirnya dapat merampungkan hasil skripsi ini. Tetapi penulis juga menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih ada kekurangan, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari siapa saja yang membaca skripsi ini sangat diharapkan.


(3)

UCAPAN TERIMA KASIH :

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan skripsi ini, yaitu:

1. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA, sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Drs. Heri Kusmanto, MA, sebagai Ketua Departemen Ilmu Politik 3. Bapak Drs.P.Anthonius Sitepu, M.Si, sebagai Dosen Pembimbing yang

telah banyak meluangkan banyak waktu dalam membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyusun skripsi ini

4. Ibu Dra. Evi Novida Ginting, sebagai Dosen Pembaca yang banyak memberikan saran dan kritikan yang bersifat membangun, yang sangat bermanfaat bagi penulis dalam merampungkan skripsi ini menjadi lebih baik.


(4)

DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN ... 1

1. Latar Belakang Masalah ... 1

2. Perumusan Masalah ... 12

3. Tujuan Penelitian ... 12

4. Manfaat Penelitian ... 13

5. Kerangka Teori... 14

5.1. Teori Gender ... 14

5.2. Teori Negara ... 20

6. Metodologi Penelitian ... 25

6.1. Sifat Penelitian ... 25

6.2. Teknik Pengumpulan Data ... 25

6.3. Teknik Analisa Data ... 25

7. Sistematika Penulisan ... 27

II. NEGARA DAN PEREMPUAN... 28

1. Konfigurasi Politik dan Karakter Produk Hukum ... 28

Periode 1945-1959 ... 31

Periode 1959-1966 ... 31

Periode 1966-1998 ... 32

Periode 1998-sekarang ... 32

2. Kebijakan Negara terhadap Perempuan ... 33

2.1. Diskriminasi Perempuan ... 33


(5)

A. Masa Soekarno ... 39

B. Masa Suharto ... 44

C. Masa Reformasi ... 62

BAB III. ANALISIS ... 87

1. Gender ... 87

1.1. Gender Pada Masa Orde Lama ... 90

1.2. Gender Pada Masa Orde Baru ... 91

1.3. Gender Pada Masa Reformasi ... 97

2. Negara ... 98

2.1.Kebijakan Negara Terhadap Perempuan ... 99

2.1.1. Bidang Hukum ... 99

2.1.2. Bidang Politik ... 104

2.1.3. Bidang Tenaga Kerja... 106

2.1.4. Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 ... 107

2.2. Kedudukan Perempuan dalam Negara ... 108

BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN ... 113

1. Kesimpulan ... 113

2. Saran ... 115 DAFTAR PUSTAKA


(6)

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Keberadaan perempuan dalam pergerakan kebangsaan memiliki sejarah yang panjang dan peran yang signifikan bagi perkembangan kemajuan bangsa. Peran perempuan ini sejak semula telah berakar menurut adat di Indonesia pada tiga ciri : sistem matrilineal, sistem patrilineal, sistem bilineal.

Semua sistem kekerabatan itu bersintesis dengan Islam dan yang kemudian mem(re)produksi hukum yang mengatur perkawinan. Perempuan yang menikah, yang disebut ibu, membentuk posisi khusus dalam struktur kekerabatan dengan fungsi dan peran yang secara permanen diatur oleh adat, terutama melalui hukum perkawinan ( dan perceraian ) yang merujuk pada fiqih Islam. Ketiga ciri sistem kekerabatan itu sama-sama menempatkan perempuan sebagai “ penjaga rumah “, tetapi tidak berarti mempunyai pengambilan keputusan atas properti, yakni harta kekayaan, termasuk anak, yang memberi status sosial sebuah keluarga. Dalam fungsi dan peranannya sebagai “ penjaga rumah “ di ketiga sistem kekerabatan itu, ada dua problem yang krusial dialami oleh kaum perempuan. Pertama, berhubungan dengan berbagai soal di seputar perkawinan dan yang Kedua, berkenaan dengan tak adanya hak untuk bisa sekolah. Maka, gambaran tentang perempuan ialah buta huruf, bodoh dan hidup sebagai “ penjaga rumah “.

Hukum perkawinan prinsipnya mengatur mas kawin, akad perkawinan, perceraian dan pewarisan. Dicontohkan sistem matrilineal pada masyarakat minang, perempuan menikah tidak ke luar dari rumah atau mengikuti keluarga


(7)

suaminya. Ia beranak-pinak sambil menjaga rumah gadang yang diwariskan keluarga ibunya. Para ” penjaga rumah gadang ” itu dipimpin oleh ninik-mamak, ialah saudara mereka yang laki-laki. Karena perempuan Minang itu yang menarik masuk laki-laki ke dalam kekerabatnya, maka mas kawin dibayar oleh perempuan. Sedangkan dalam sistem patrilineal, perempuan itu masuk ke keluarga suaminya dan si suami ini membayar mas kawin kepada isterinya. Sering terjadi, jika suaminya meninggal, maka adik suaminya yang laki-laki menikahi janda abangnya itu. Dalam patrilineal, fungsi dan peran perempuan penjaga rumah warisan keluarga suaminya.

Dalam sistem bilineal, contohnya di Jawa, perempuan yang kawin bisa ikut suaminya. Akan tetapi, bisa juga perempuan itu menarik masuk suaminya ke dalam keluarganya. Dengan demikian, fungsi dan peran perempuan tetaplah ”penjaga rumah” warisan suaminya atau warisan bapaknya untuk dia dan saudara laki-lakinya. Titik krusial dari urusan perkawinan tersebut ialah poligami dan hak perempuan yang tersingkir jauh dari pengambilan keputusan untuk kawin, cerai dan pewarisan. Terdapat asumsi, bahwa jika perempuan itu sekolah maka usia perkawinannya dapat ditunda, sekaligus mereka tahu dimana kedudukannya dalam hukum perkawinan. Problem itulah yang mengawali pertumbuhan organisasi perempuan awal abad ke-20.1

Maka berdasarkan sejarah tradisi dan budaya Indonesia, kedudukan perempuan sangat terbatas, mulai dari diri perempuan itu sendiri yang telah ditempa sedemikian rupa di sekitar lingkungan yaitu didominasi sistem patriarki yang menjadikannya sebagai perempuan dengan kepribadian ’ ngemoh ’ atau

1Cora Vreede-De Stuers, Sejarah Pergerakan Perempuan Indonesia : Gerakan dan


(8)

menerima apa adanya sampai faktor eksternal yang juga memainkan peran yang cukup signifikan dalam membatasi peran perempuan di ruang publik dan di parlemen.

Merujuk peran perempuan di atas maka perempuan dikatakan sebagai the “Second Human Being“ (manusia kelas kedua), yang berada di bawah superioritas laki-laki yang membawa implikasi luas dalam kehidupan sosial di masyarakat.2

Sebenarnya, sudah banyak upaya dilakukan untuk memerangi ideologi patriarki ini, dimulai sejak zaman Kartini hingga zaman reformasi sekarang ini. Sehingga perempuan Indonesia telah mengalami banyak kemajuan, meskipun pada tingkat tertentu masih terjadi ketimpangan gender. Hal ini dapat dilihat dari pencapaian Indeks Pembangunan Manusia ( IPM ) dan Indeks Pembangunan Gender ( IPG ). Pada tahun 2002 angka IPM nasional adalah 65,8 sementara angka IPG adalah 59,2. kenyataan bahwa angka IPG lebih rendah dibandingkan dengan IPM menunjukkan bahwa pada tingkat tertentu di Indonesia masih terjadi ketimpangan gender. Berdasarkan Human Development Report 2003, IPM Indonesia hanya menempati urutan ke-112 dari 175 negara. Posisi Indonesia berada di bawah Malaysia, Thailand, Filipina, bahkan juga Vietnam pada tahun Sejarah sistem politik di sebagian besar negara menunjukkan adanya diskriminasi terhadap perempuan dalam proses politik mulai di tingkat lokal sampai tingkat nasional. Adanya pembagian antara peran publik dan domestik menjadikan perempuan terpotong aksesnya dalam partisipasi politik dan terdiskriminasi dalam sistem politik.

2 Siti Musdah Mulia, Perempuan dan Politik, Jakarta : PT.Gramedia Pustaka Umum, 2005, hal.5.


(9)

2001 yang pendapatan per kapitanya lebih rendah dibandingkan dengan Indonesia. 3

3Hatmadji, “ Pembangunan Sumber Daya Manusia ( SDM ) dalam perspektif Kependudukan”, 2004, hal.1.

Dalam bidang pendidikan terjadi kemajuan yang berarti. Secara umum, laki-laki dan perempuan mempunyai akses yang sama untuk sekolah, namun perataan pendidikan berdasarkan gender sebenarnya belum sepenuhnya tercapai. Dari segi kemampuan baca tulis, perempuan sudah terbebas dari masalah buta huruf. Kemajuan perempuan juga dapat di ukur dari partisipasi perempuan di dunia kerja. Jika pada masa lampau sebagian besar perempuan terpenjara di ranah domestik dan berfungsi sebatas ibu rumah tangga, maka saat ini semakin sedikit perempuan peran satu-satunya adalah menjadi ibu rumah tangga dan lebih banyak perempuan bekerja di luar rumah.

Dapat dikatakan bahwa pada masa ini khususnya Indonesia perempuan bisa lebih memaksimalkan diri dengan minat dan bakatnya. Segala kesempatan terbuka walaupun belum semuanya bisa diakses dengan mudah, tetapi paling tidak jalan untuk berkembang itu telah terbuka. Dalam bidang politik masalah keterwakilan politik ( political representativeness ) bagi perempuan adalah satu hal yang cukup penting, khususnya dalam peristiwa besar seperti pemilihan umum ( pemilu ). Alasan mendasar bagi tuntutan representase politik yang lebih adil ini dinyatakan, seperti ” Gender sebagai suatu kategori politik yang penting yang harus terwakili secara penuh dalam institusi-istitusi pemerintahan.” Apapun pilihan politiknya, kaum perempuan mempunyai hak untuk diwakili hanya oleh wakil perempuan.


(10)

Dalam kerangka perpolitikan demokrasi saat ini maka peningkatan jumlah representasi perempuan dalam lembaga perwakilan hanya dapat dilakukan melalui dua jalur, yakni partai politik ataupun utusan golongan. Dari dua kemungkinan di jalur tersebut maka partai politik merupakan jalur yang paling efektif yang dapat digunakan untuk meningkatkan jumlah keterwakilan perempuan secara signifikan ( partai politik merupakan satu-satunya organisasi politik yang secara sah dapat ikut dalam pemilihan umum ). Sehingga saat ini partai politik sudah membuka diri untuk perempuan bisa masuk dan peran lebih. Sepertinya partai politik sadar bahwa selain jumlah perempuan secara kuantitas besar, secara kualitas perempuan tidak kalah dengan pria. Kaum terpelajar dari kaum perempuan sudah sedemikian banyak, keberanian untuk berperan di ranah publik pun semakin besar.4

Oleh karena itu, masyarakat kita sudah terbuka tentang wacana gender, namun persoalan perempuan tidak akan pernah tuntas untuk dibahas. Dibandingkan era sebelumnya, sesungguhnya persoalan perempuan pada saat ini memiliki bentuk yang serupa, hanya dengan warna dan wajah yang berbeda. Berangkat dari hal tersebut diatas, mari kita bersama-sama melakukan oto kritik Di era sekarang hampir semua ranah publik perempuan sudah bisa mengakses dengan lebih terbuka. Dari lembaga pemerintah, lembaga pendidikan, lembaga sosial sampai lembaga internasional pun perempuan sudah tidak asing lagi. Di Tata Kelola Negara tidak sekedar anggota partai politik yang pasif. Perempuan tidak jadi sekedar penambah suara, tetapi juga penentu suara dan layak jadi wakil rakyat.


(11)

pada diri sendiri. Sebagai kaum perempuan, sampai dimanakah perjuangan kita selama ini ?

Sekalipun perempuan telah mendapatkan kesempatan di ranah publik namun pada kenyataannya sekarang ini perempuan berada di bawah himpitan globalisasi, kapitalisme dan modernisasi. Tuntutan akan perubahan gaya hidup, tingginya kebutuhan akan keping-keping uang, konsumtivisme, memunculkan tekanan-tekanan hebat bagi individu dalam keluarga, yang berakhir dengan munculnya bermacam bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Demikian pula dengan persoalan yang dihadapi para buruh perempuan. Kekerasan fisik, kekerasan ekonomi, kekerasan seksual dan PHK sepihak yang mereka alami merupakan bentuk nyata penjajahan dari para pemilik modal.

Secara spesifik, tindak kekerasan muncul atas dasar perbedaan etnis, suku, religi bahkan berbasis gender. Andrew Karmen ( 1984 ) menjelaskan bahwa viktimasi terjadi pada kasus-kasus pembunuhan, perkosaan, perampokan dan berbagai bentuk serangan kejahatan secara tiba-tiba. Viktimasi dapat dikenali dari adanya unsur-unsur penderitaan yang cukup menonjol dan serius.

Khusus mengenai korban kejahatan dan tindak kekerasan yang berkhas dan ditujukan pada perempuan karena mereka bertubuh perempuan yang biasa disebut kekerasan berbasis gender ( gender based violence ). Kekerasan berbasis gender ( gender based violence ) merupakan tindak kekerasan diakibatkan oleh relasi yang timpang antara perempuan dengan laki-laki dan ditandai dengan relasi yang powerless dan powerful antara keduanya.5

5Romany Sihite, Perempuan, Kesetaraan, Keadilan, Suatu Tinjauan Berwawasan


(12)

Kekerasan yang dialami oleh perempuan baik di ranah domestik maupun di ranah publik, dapat lebih parah manakala negara tidak mempunyai keberpihakan yang kuat terhadap perempuan. Ketika negara secara tidak disadari terbangun oleh kultur patriarkis yang sejak lama telah mengakar di masyarakat, negara menjadi tidak sensitif terhadap fenomena kekerasan yang dialami oleh perempuan. Hukum negara yang patriarkis cenderung memberi sanksi yang ringan kepada pelaku kekerasan terhadap perempuan, dan tidak memberi perlindungan serta pelayanan yang memadai kepada perempuan korban kekerasan.

Berbicara tentang kekerasan dan negara maka sekarang kita akan menjelaskan ” Adakah hubungan negara dengan kekerasan ?” Menurut Gadis, negara pada dasarnya adalah kekerasan. Keberadaan negara ditopang oleh kekerasan. Artinya, negara menghidupi dirinya dengan cara mengatur dan mengolah kekerasan. Adapun sumber dari kemampuan negara mengolah kekerasan bermuara pada kekuasaan politik. Jadi kekerasan dikokohkan untuk mempertahankan kekuasaan.

Jika pemahaman terhadap kekerasan negara tidak hanya berhenti pada ”hakekat” tetapi pada ” politik ”, maka bisa dimengerti bagaimana negara merekayasa suatu sistem ” nilai ” ( values ) dan ” kepercayaan ” ( beliefs ) dalam sistem Aturan Simbolis masyarakat tersebut. Legitimasi kekerasan pertama harus dilakukan lewat ideologi dominan dengan pokok pikiran bahwa ideologi berfungsi untuk melegitimasikan kekuasaan politik tertentu. Kekerasaan terhadap perempuan yang dilakukan oleh negara adalah tamparan keras bagi perempuan Indonesia, terutama bagi feminisme.


(13)

Gadis menjelaskan juga dalam artikelnya mengenai ” Logika Kekerasan Negara terhadap Perempuan ” bahwa negara melalui aparatnya secara langsung atau tidak ’ merestui ’/ ’ mendiamkan ’ kekerasan-kekerasan yang khususnya ditujukan kepada perempuan.

Sedang menurut Kartini Syahrir dalam buku ” Negara dan Kekerasan terhadap Perempuan ” menjelaskan bahwa negara Indonesia telah mengalami evolusi dari negara yang sederhana ( Tribe ), ke bentuk negara yang memiliki strata sosial ( Huta/Nagari ), lalu memasuki fase penjajahan Belanda, yang ’mengajarkan’ bangsa kita menjadi negara modern dan diatur dengan sistem birokrasi tertentu. Selama proses ini berlangsung kesinambungan pengaturan nilai yang mengatur hubungan pria dan wanita. Namun sayangnya tidak tercermin dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang malah amat bercorak militerisme pada masa Orde Baru.

Selain itu, menurut Kartini, kekerasan dan negara menjadi dua hal yang identik satu sama lain, terutama negara yang dipimpin secara militer. Negara yang bersifat lebih tradisional memiliki masyarakat yang rasional. Dalam arti, di dalam masyarakat seperti ini hak-hak perempuan lebih terjaga dan menurunkan kecenderungan kekerasan yang dilakukan negara terhadap kaum perempuan. Kartini lalu menjelaskan mengenai perempuan dan gender.

Menurutnya, gender sendiri merupakan istilah barat yang didapat dari Revolusi Industri, dimana terjadi pembedaan pekerjaan untuk pria dan wanita. Apa yang terjadi dari revolusi ini menjadi pilar utama peradaban Barat dan secara otomatis mempengaruhi Indonesia, yang mengalami jajahan kolonialisme Belanda. Misal dalam proses produksi peranan perempuan dibatasi, yang secara


(14)

hukum diperkuat dengan pencantuman GBHN pada rezim Orde Baru. Adanya rezim ini menumbuh-suburkan kekerasan terhadap perempuan. Negara ’membiarkan’ kekerasan terhadap perempuan karena perempuan tidak dianggap hal penting bagi proses produksi, contoh konkritnya, reproduksi pada perempuan dianggap ancaman yang harus diantisipasi dengan program Keluarga Berencana yang dilaksanakan oleh BKKBN ( Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional ).6

6http://situs .kesrepro.info/gendervaw/okt/2002/gendervaw03.htm Negara dan Kekerasan

Tehadap Perempuan oleh Gisella Tani Pertiwi.

Banyak masalah sosial yang terkait dengan kesejahteraan perempuan bermuara kepada kultur patriarki. Untuk menyebut beberapa diantaranya adalah angka kematian ibu yang masih tinggi, keluarga berencana dan aborsi yang tidak aman, ketidakcukupan konsumsi nutrisi perempuan, khususnya perempuan hamil dan menyusui; pengiriman TKW yang sarat dengan penipuan, eksploitasi, pelecehan, kekerasan seksual, perdagangan terhadap perempuan dan buruknya sanitasi air bersih. Masalah-masalah tadi tidak akan terpecahkan dengan baik jika akar permasalahannya, yaitu ketidakadilan dan ketimpangan gender di masyarakat, tidak diatasi terlebih dahulu.

Konsep pembakuan peran gender yang mengkotak-kotakkan peran laki-laki/suami dan perempuan/istri ini hanya memungkinkan perempuan berperan di wilayah domestik ( domestikasi ), yakni sebagai pengurus rumah tangga sementara laki-laki di wilayah publik sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah utama. Peran gender yang memilah-milah peran perempuan dan laki-laki pada kenyataannya telah dibakukan oleh negara dalam berbagai kebijakan yang dilahirkan oleh Pemerintah Orde Baru.


(15)

Kebijakan-kebijakan itu akhirnya menyisakan ketidakadilan bagi kaum perempuan. Reformasi yang sedang berlangsung menuju proses demokratisasi hendaknya juga melibatkan pula proses reformasi dalam rangka mewujudkan ”Jender Equality” dalam berbagai aspek kehidupan negara. Era reformasi sepatutnya juga adalah masa untuk melakukan revisi hukum dan aturan main politik yang bisa menyuarakan berbagai kepentingan termasuk perempuan.7 Dengan demikian, melalui hukum, negara melakukan peran gender. Hukum dengan demikian dipandang sebagai agen yang menguatkan nilai-nilai gender yang dianut oleh masyarakat. Hal ini berkaitan dengan kebutuhan negara untuk menjaga dan menjamin kepentingannya.8

Landasan hukum yang menjamin keadilan dan kesetaraan gender dirumuskan dalam UUD 1945 pada BAB XA tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 28C ayat 1 yang menyatakan setiap orang berhak mengembangkan diri melalui

Secara umum ada bukti empiris bahwa negara telah mengambil peran penting untuk memajukan perempuan. Kepedulian negara terhadap perempuan dapat dirunut sejak masa pemerintahan Presiden RI pertama, Soekarno. Pada masa itu, perempuan telah diakui haknya dalam politik, baik hak pilih dalam pemilihan umum 1955 maupun untuk duduk sebagai anggota parlemen. Pada masa itu juga telah ada Undang-undang yang bernuansa keadilan gender, yaitu UU No.80 Tahun 1958. Pada masa Soeharto ada juga kemajuan penting dicapai perempuan, salah satunya dibentuknya Kementerian Muda Urusan Peranan Wanita pada Kabinet Pembangunan ( 1974 ).

7 T.O.Ihromi, Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita, Bandung : PT.Alumni, 2006, hal.300.


(16)

pemenuhan kebutuhan dasarnya, mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya serta meningkatkan mutu hidup dan kesejahteraan umat manusia. Landasan hukum lainnya yang memastikan terciptanya kesetaraan dan keadilan gender adalah UU No.7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Instruksi Presiden No.9 Tahun 2000 tentang Pengarustamaan gender dalam kebijakan, program dan kelembagaan serta peraturan lainnya yang berkaitan.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ) tidak mampu melindungi perempuan korban kekerasan, seperti pelecehan seksual, perkosaan, pornografi dan pornoaksi. UU No.23 Tahun 2004 tentang penghapusan tindak kekerasan dalam rumah tangga merupakan langkah maju dan jika terimplementasi dengan baik, seharusnya dapat melindungi perempuan dari perlakuan dan ancaman kekerasan yang dialaminya.9

Kebijakan-kebijakan yang dibangun negara kita akan membantu kaum perempuan meningkatkan segala bakat dan kemampuan yang merupakan hak-hak

Merujuk deskripsi di atas maka penulis tertarik untuk mengangkat wacana perempuan yang selama ini telah menjadi isu gender yang dilihat dari aspek hukumnya yaitu bagaimana negara Republik Indonesia menjamin keadilan dan kesetaraan gender di era reformasi ini. Apakah kebijakan-kebijakan itu telah diterapkan dengan baik ? Apakah dengan adanya kebijakan tersebut perempuan bisa menggunakan hak-haknya di segala bidang kehidupan ?

9Muhadjir M. Darwin, Negara dan Perempuan, Reorientasi Kebijakan Publik, Yogjakarta :Graha Guru, 2005, hal.172-173.


(17)

asasi mereka di luar peran mereka sebagai ibu rumah tangga. Kebijakan-kebijakan ini juga membantu kita meningkatkan peran perempuan dalam pembangunan negara kita.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan di atas, maka rumusan permasalahan yang dibangun penulis dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana deskripsi kebijakan yang dibangun oleh negara dalam wacana perempuan Indonesia dari masa pemerintahan Soekarno hingga sekarang ini

2. Bagaimana refleksi setiap kebijakan yang dibangun oleh negara dari masa pemerintahan Soekarno hingga sekarang ini terhadap perempuan

3. Tujuan Penelitian

Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, pertama bersifat formal akademis dan yang kedua adalah bersifat ilmiah.

Adapun tujuan yang bersifat formal akademis adalah untuk menambah wawasan mahasiswa dalam bidang politik, khususnya mengenai Negara dan Kesetaraan Gender.

Tujuan yang bersifat ilmiah adalah

1. untuk menggambarkan kebijakan yang dibangun oleh negara dalam wacana perempuan Indonesia dari masa pemerintahan Soekarno hingga sekarang ini


(18)

2. untuk menjelaskan atau menguraikan setiap kebijakan yang dibangun negara dari masa pemerintahan Soekarno hingga sekarang ini terhadap perempuan

4. Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini ada tiga jenis manfaat penelitian yaitu :

1. Manfaat bagi Penulis, dapat menambah wawasan penulis tentang wacana perempuan pada masa pemerintahan Soekarno hingga sekarang ini

2. Manfaat Akademis dari penelitian ini adalah sebagai suplemen baru dalam pengembangan studi bagaimana relevansi teori-teori politik gender, negara demi mewujudkan suatu kesetaraan gender.

3. Manfaat Praktis dari penelitian ini adalah agar hasil penelitian ini menjadi sebuah bahan informasi bagi Pemerintah dan praktisi hukum terutama Biro Pemberdayaan Perempuan dalam membuat kebijakan yang berkaitan dengan kesetaraan gender serta masukan bagi kaum perempuan untuk memperjuangkan hak-haknya.


(19)

5. Kerangka Teori

Adapun kerangka teori yang menjadi landasan berpikir penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

5.1.Teori Gender

Dalam wacana perempuan dan analisis tentang isu-isu hubungan antara pria dan perempuan dalam mengupayakan terwujudnya hasil-hasil pembangunan nasional, telah lahir kebutuhan untuk menggunakan suatu istilah yaitu gender. Secara historis, konsep Gender pertama kali dibedakan oleh sosiolog asal Inggris yaitu Ann Oakley yaitu ia membedakan antara gender dan seks. Perbedaan seks berarti perbedaan atas dasar ciri-ciri biologis yaitu yang menyangkut prokreasi (menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui). Perbedaan gender adalah perbedaan simbolis atau sosial yang berpangkal pada perbedaan seks tetapi tidak selalu identik dengannya. Jadi kelihatan di sini gender lebih mengarah kepada simbol-simbol sosial yang diberikan pada suatu masyarakat tertentu.10

Fakih ( 1996 ) mengemukakan konsep gender yakni suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Misal: Perempuan itu dikenal lemah-lembut, cantik, emosional atau keibuan sedang laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri dan sifat itu sendiri merupakan sifat yang dapat dipertukarkan. Semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki yang bisa berubah dari waktu

10Harmona Daulay, Perempuan dalam Kemelut Gender, Medan : USU Press, 2007,hal.3-4.


(20)

ke waktu serta berbeda dari tempat ke tempat lainnya, maupun berbeda dari satu kelas ke kelas lain itulah yang dikenal sebagai konsep gender.11

Gender adalah suatu bangunan konstruksi sosial yang mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga atau masyarakat yang terbentuk melalui proses sosialisasi. Kata gender ering dikaitkan sebagai kelompok laki-laki atau kelompok perempuan yang dibentuk bukan oleh karena perbedaan biologis manusia tetapi karena konstruksi sosial. Gender juga sering diartikan sebagai perbedaan-perbedaan sifat, peran, fungsi, tugas, status dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang dibentuk, dibuat dan dikonstruksikan oleh masyarakat yang tumbuh dan disepakati dalam masyarakat tersebut serta dapat berubah sesuai dengan zamannya.12

Kata gender berarti jenis kelamin, sedangkan gene mengandung arti plasma pembawa sifat di dalam keturunan. Saptari & Holzner

13

Pendapat di atas didukung oleh Christensen yang menyatakan bahwa perempuan dan laki-laki berbeda secara biologis dan kepribadian. Secara biologis yang sering disebut seks, ciri seperti prostat, berpenis, berjakun adalah ciri-ciri yang terdapat pada laki-laki dan tidak dimiliki perempuan. Begitu pula vagina, hamil, menyusui adalah ciri-ciri dari perempuan yang tidak dimiliki laki-laki. Sedangkan kepribadian, ciri-ciri seperti kuat, gagah, berani, lemah lembut, halus, menjelaskan bahwa gender adalah keadaan individu yang lahir secara biologis sebagai laki-laki dan perempuan, memperoleh ciri-ciri sosial sebagai laki-laki dan perempuan melalui atribut-atribut maskulinitas dan femininitas yang sering didukung oleh nilai-nilai atau sistem symbol masyarakat yang bersangkutan.

11 Harmona Daulay, Ibid., hal.6.

12 Leo Agustino, Perihal Ilmu Politik, Yogjakarta : Graha Ilmu, 2007, hal.227-228. 13 I. Abdullah, Sangkan Peran Gender, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1997,hal.13.


(21)

sabar, peka, merupakan ciri-ciri kepribadian pada masing-masing individu sesuai jenis kelaminnya.

Jadi gender adalah pembedaan antara laki-laki dan perempuan (maskulin dan feminin) yang diciptakan oleh manusia, dapat ditukar atau diubah sesuai tempat, waktu dan lingkungan sosial. Maka Menurut Kementerian UPW ( 1994 ), Gender adalah hubungan dalam bentuk pembagian kerja serta alokasi peranan, kedudukan dan tanggung jawab serta kewajiban dan pola hubungan yang berubah dari waktu ke waktu dan berbeda antar budaya.14

Dari ketiga pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa peran gender adalah sekumpulan pola-pola tingkah laku atau sikap-sikap yang dituntut oleh

Sementara itu definisi peran menurut Theodore Sarbin adalah tingkah laku yang diharapkan dan ditampilkan oleh seseorang dalam interaksi sosial dimana individu berada. Ward merumuskan peran gender dengan pernyataan bahwa peran jenis kelamin yang ditentukan secara budaya mencerminkan perilaku dan sikap yang umumnya disetujui sebagai maskulin atau feminin dalam suatu budaya tertentu.

Menurut Berk, peran gender saling berkaitan dengan stereotip jenis kelamin yang membedakan secara jelas bahwa peran perempuan berlawanan dengan peran laki-laki. Sejalan dengan pendapat di atas, Ruble & Ruble menjelaskan bahwa peran gender adalah stereotip jenis kelamin yang mengacu kepada kepercayaan yang dianut masyarakat luas tentang karakteristik jenis kelamin laki-laki yang berlawanan dengan karakteristik jenis kelamin perempuan.


(22)

lingkungan dan budaya tempat individu itu berada untuk ditampilkan secara berbeda oleh laki-laki dan perempuan sesuai jenis kelaminnya.

Sejalan dengan perkembangan kematangan individu dari masa remaja hingga dewasa, menurut tahapan psikososial Erikson, pandangan terhadap peran gender secara bertahap mulai terbentuk menjadi lebih terbedakan, lebih tidak ekstrim dan lebih unik bagi setiap pribadi, yaitu perkembangan ke arah individualitas yang mantap.

Menurut William dan Best, pandangan peran gender merupakan kepercayaan normatif tentang bagaimana seharusnya penampilan seorang laki-laki atau perempuan, apa yang seharusnya dikerjakan oleh laki-laki atau perempuan, dan bagaimana keduanya berinteraksi.

Pembentukan arti dan pembagian tugas antara dua individu dalam suatu pasangan suami-isteri, secara langsung dipengaruhi oleh pandangan peran gender pasangan tersebut. Scanzoni membedakan pandangan peran gender menjadi dua bagian yaitu peran gender tradisional dan peran gender modern

.

a. Peran gender tradisional Pandangan ini membagi tugas secara kaku berdasarkan jenis kelamin. Laki-laki yang mempunyai pandangan peran gender tradisional, tidak ingin perempuan menyamakan kepentingan dan minat diri sendiri dengan kepentingan keluarga secara keseluruhan, sedangkan isteri diharapkan mengakui kepentingan dan minat suami adalah untuk kepentingan bersama. Kekuasaan kepemimpinan dalam keluarga berada ditangan suami. Perempuan secara tradisional tinggal di


(23)

rumah, setelah menikah perempuan mencurahkan tenaga untuk suami dan keluarga.

b. Peran gender modern

Dalam peran gender modern, tidak ada lagi pembagian tugas yang berdasarkan jenis kelamin secara kaku, kedua jenis kelamin diperlakukan sejajar atau sederajat. Laki-laki mengakui minat dan kepentingan perempuan sama pentingnya dengan minat laki-laki, menghargai kepentingan pasangannya dalam setiap masalah rumah tangga dan memutuskan masalah yang dihadapi secara bersama-sama. Perempuan yang berpandangan modern, berusaha memusatkan perhatiannya untuk mencapai minatnya sendiri yang tidak lebih rendah dari minat suami.

Oleh karenanya, perubahan peran gender sering terjadi sebagai respon terhadap perubahan kondisi sosial ekonomi, budaya, politik dan sumber-sumber daya strategis, termasuk perubahan yang diakibatkan oleh upaya-upaya pembangunan atau penyesuaian program struktural ( structural adjustment

program ) maupun pengaruh dari kekuatan-kekuatan ditingkat nasional maupun

global.15

15 Leo Agustino, Op.cit., hal.228

Untuk lebih memahami peran gender itu maka dapat dilihat gambar di bawah ini :


(24)

PEMAHAMAN GENDER DAN PERAN GENDER16

5.2. Teori Negara

16 Materi Pokok Kesetaraan Dan Keadilan Gender, Kementeriaan Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, Tahun 2001, hal.13.

Ciri Laki-laki dan Perempuan Menurut Pandangan Masyarakat

Ciri Laki-laki dan Ciri Perempuan Yang Sesungguhnya

Beda

Gagah Lemah Lembut

Kaisar Halus

Lebih rasional Emosional

Berani Penakut

Berotot Gemulai

Tabah Cengeng

Mudah Selingkuh Setia

Suka berkelahi Senang Ngerumpi

Ciri Laki-laki dan Ciri Perempuan Yang Sesungguhnya

Primer Primer

*Penis/ Zakar *Vagina (Liang Senggama)4 M: *Kantong zakar

(Scatrum) *Ovarium (Indung Telur) Menstruasi *Buah Zakar

(Testis) *Ovum (Sel Telur) Mengandung *Sperma/ mani *Uterus (Rahim) Melahirkan *Prostat/ Kelenjar

Pengatur

*Pengeluaran sperma dan air seni

*Kelenjar kemih

Sekunder Sekunder *Bulu dada *Kulit halus *Jakun *Suara lermbut *Suara berat *Buah dada *Berkumis

Gender

Konstruksi/ bntk sosial

Tdk dimiliki sejak lahir

Bisa dibentuk/ bisa berubah

Dipengaruh: * Tempat Waktu/ zaman Suku/ ras/ bangsa Budaya Status social Agama Nagara, ideologi Karenanya Bukan kodrat Bukan takdir Dibuat manusia Bisa dipertukar- kan Relatif

Ciri-ciri tsb, bias Terdapat pd laki-laki maupun perempuan, bisa disebut Jenis Kelamin Sosial – Nature

(Pengasuhan / Lingkungan)

Gender

Konstruksi/ bntk sosial

Tdk dimiliki sejak lahir

Bisa dibentuk/ bisa berubah

Dipengaruh: * Tempat Waktu/ zaman Suku/ ras/ bangsa Budaya Status social Agama Nagara, ideologi Karenanya Bukan kodrat Bukan takdir Dibuat manusia Bisa dipertukar- kan Relatif

Ciri-ciri tsb, bias Terdapat pd laki-laki maupun perempuan, bisa disebut Jenis Kelamin Sosial – Nature

(Pengasuhan / Lingkungan)

Peran Gender

Berpengaruh dan tercermin pd seluruh kegiatan, sikap, perilaku, pilihan profesi,

status

Jenis Kelamin Biologis (Seks)

Bawaan

Kodrat

Buatan Tuhan

Taldir

Mutlak

Tidak dipengaruhi:

*Tempat *Wkt/ Zaman *Takdir

*Ras/ Suku/ Bangsa *Budaya

*Agama

*Negara, Ideologi *Status social Karenanya :

Tidak bias berubah, menetap dan hanya dimiliki laki-laki atau perempuan (Nature)


(25)

5.2. Teori Negara

Menurut kodratnya manusia adalah seorang pribadi sosial yang harus hidup dalam suatu masyarakat bersama dengan manusia yang lain sehingga dapat berkembang. Dengan demikian mau tidak mau seorang pribadi harus hidup bersama dengan orang lain. Perkembangan peradaban telah membuat konstruksi sosial sekelompok orang hidup bersama dalam kesatuan. Kesatuan hidup yang fundamental dan terkecil adalah keluarga.

Keluarga-keluarga yang tergabung sebagai masyarakat, baik yang berdasarkan alamiah ( suku, bangsa ) maupun yang berdasarkan kehendak bebas untuk hidup ( di desa, kota, berorganisasi dan sebagainya ) tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang besar. Dengan demikian dalam tingkat perkembangan tertentu masyarakat membutuhkan suatu organisasi kemasyarakatan yang mampu mengatur segala hal secara bersama (respublika) dan memusatkan perhatian serta kegiatannya pada kesejahteraan umum semua anggota. Organisasi ini disebut negara. Oleh sebab itu dalam arti luas negara adalah alat dari suatu masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat di samping itu juga menertibkan gejala-gejala kekuasaan yang timbul oleh karena hubungan-hubungan tersebut dalam masyarakat.17

Kata Negara sendiri diterjemahkan dari kata-kata asing yaitu ” Staat ” (Bahasa Belanda dan Jerman), selanjutnya berasal dari bahasa Inggris yaitu ”State” dan juga bahasa Perancis yaitu ” Etat ”. Istilah ” Staat ” mula-mula dipergunakan dalam abad ke-15 di Eropa Barat. Anggapan umum yang diterima


(26)

adalah bahwa kata “Staat“ ( State, Etat ) dialihkan dari kata bahasa Latin “Status“ atau “ Statum “.18

Secara etimologis kata “ Status “ dalam bahasa Latin klasik adalah suatu istilah yang abstrak yang menunjukkan keadaan yang tegak dan tetap atau sesuatu yang memiliki sifat-sifat yang tegak dan tetap.19 Negara mempunyai arti formil dan material. Negara dalam arti formil dimaksud negara ditinjau dari aspek kekuasaan, negara sebagai organisasi kekuasaan dengan suatu pemerintahan pusat.20

Menurut Roger Soultau, Negara adalah alat atau wewenang yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama atas nama masyarakat.

Pemerintah menjelmakan aspek formil dari negara. Karakteristik dari negara formil adalah wewenang dari pemerintah untuk menjalankan paksaan fisik secara legal. Negara dalam arti formil adalah sebagai pemerintah (Staat-Overhed). Negara dalam arti material adalah negara sebagai masyarakat

(Staat-Gamenschop).

21

Juga demikian halnya apa yang diutarakan oleh Harold J. Laski bahwa, ”Negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai Sehingga dapat kita maklumi bahwa semua perikehidupan warga dalam suatu teritori tertentu amat dipengaruhi oleh peran negara yang mengelolanya. Tidak heran apabila negara akan membuat suatu aturan yang tegas ( sanksi-sanksi ) kepada setiap warga masyarakat agar persoalan-persoalan kolektif yang dirasa dapat diselesaikan dengan baik menuju kebaikan bersama seperti apa yang dirasakan dalam kontrak sosial ketika negara dibentuk.

18 F.Isjawara, Pengantar Ilmu Politik, Bandung : Bina Cipta, 1980, hal.90. 19 F.Isjawara, Ibid.,hal.90.

20 F.Isjawara, Pengantar Ilmu Politik, Bandung : Bina Cipta, 1966, hal.82. 21 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia, 2005, hal.39.


(27)

kewenangan yang bersifat memaksa dan secara sah lebih agung daripada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu. Masyarakat adalah suatu kelompok manusia yang hidup dan bekerjasama untuk mencapai terkabulnya keinginan-keinginan mereka bersama. Masyarakat merupakan negara kalau cara yang harus ditaati baik oleh individu-individu maupun asosiasi-asosiasi ditentukan oleh suatu wewenang yang bersifat memaksa dan mengikat.“22

Merujuk pada defenisi di atas maka Miriam Budiardjo

Dari ungkapan Laski tergambar bahwa Negara merupakan integrasi dari kekuasaan politik yang diamanatkan oleh masyarakat kepada sekelompok kecil warga masyarakat itu sendiri untuk mengatur hubungan-hubungan antar manusia guna penciptaan ketertiban.

23

Negara perlu memiliki sifat-sifat khusus yang merupakan manifestasi dari kedaulatan ( serta legitimasi ) diantaranya, Pertama, Negara memiliki sifat

memahami Negara sebagai integrasi dari kekuasaan politik di mana ia adalah organisasi pokok dari kekuasaan rezim politik. Negara, menurutnya lebih lanjut, merupakan instrumen dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan mengatur hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat dalam rangka menciptakan ketertiban dari gejala-gejala perebutan kekuasaan inskonstitusional dalam masyarakat.

Untuk menghadirkan tujuan tersebut, maka negara menetapkan cara-cara dan batas-batas sampai di mana interelasi kekuasaan dapat digunakan dalam kehidupan bersama, entah antara individu dengan individu, atau individu dengan golongan atau asosiasi, maupun negara sendiri dengan institusi yang berada di wilayahnya.

22 Miriam Budiardjo, Ibid., hal.39-40. 23 Miriam Budiardjo, Ibid., hal.38-39.


(28)

memaksa. Hal ini dimaksudkan untuk menuntun warga pada pelbagai aturan perundang-undangan guna menciptakan ketertiban dalam masyarakat. Kedua, negara memiliki sifat memonopoli. Ketiga, bahwa negara mencakup semua (

all-encompassing ; all-embarcing ), maksudnya semua peraturan

perundang-undangan berlaku untuk semua orang tanpa terkecuali.

Merujuk pada defenisi negara seperti tersebut diatas, tampak bahwa negara bukan hanya sebagai pemerintah. Namun negara juga merupakan sebuah fakta dominasi dari suatu kelompok masyarakat untuk mencapai suatu tujuan yang ditetapkan secara politis. Karena itu, tidak heran apabila negara memerlukan pemerintah, birokrasi, lembaga peradilan, lembaga penjaga keamanan dan ketertiban, lembaga pertahanan dan macam sebagainya. Edward Greenberg24

24 Leo Agustino, Op.cit., hal.29 .

menjelaskan bahwa ada elemen-elemen yang dianggap penting untuk merealisasikan tujuan negara dalam bentuk konkret, yakni : negara ( itu sendiri ), rezim, aparatur birokrasi atau pemerintahan serta kebijakan.

Negara, menurut Greenberg, adalah organisasi yang paling tinggi dan mencakup pemahaman yang luas. Negara tidak saja merupakan fakta dominasi atas warga masyarakatnya, tetapi lebih dari itu. Dalam konteks ini Greenberg menjelaskan, elemen utama dari suatu negara adalah -karena proyeksinya adalah

welfare state- property rules ( atau pengaturan kekayaan ). Artinya dalam hal ini

negara mengatur bagaimana kekayaan diproduksi dan bagaimana kekayaan didistribusikan sesuai aturan yang telah ditetapkan. Dengan demikian, negara merupakan sistem kekuasaan untuk suatu tujuan tertentu, dalam hal ini, penguasaan sumberdaya ekonomi dan politik.


(29)

Elemen penting kedua dalam negara adalah rezim. Dalam pengertian umum, rezim diartikan sebagai individu atau kelompok orang yang menguasai negara. Dalam konteks teoritikal rezim diartikan sebagai prinsip-prinsip, norma-norma, aturan-aturan dan prosedur-prosedur pengambilan keputusan yang dianut oleh penguasa sebuah negara.25

25 Leo Agustino, Ibid.,hal.29.

Karena itu, ketika terjadi pergantian prinsip, norma, aturan serta prosedur pengambilan keputusan, maka sebenarnya telah terjadi pergantian rezim walau individu atau kelompok orang yang berkuasa masih tetap sama.

Elemen ketiga, yakni, aparat birokrasi atau pemerintahan. Dalam pengertian yang popular bahwa birokrasi adalah pelaksana keputusan-keputusan politik yang ditetapkan oleh negara. Elemen terakhir yang juga penting menurut Greenberg adalah kebijakan. Kebijakan, secara sederhana, adalah masalah-masalah publik dan keputusan-keputusan publik yang diambil oleh negara untuk dilaksanakan oleh aparatur birokrasi.

Bila dilihat secara mendalam, maka akan diperoleh ungkapan bahwa kebijakan merupakan suatu proses politik yang tidak sederhana. Ada pergulatan kepentingan dan nilai di sana. Sebagai sebuah proses, kebijakan sendiri, meliputi banyak orang yang terlibat dengan pelbagai macam latar belakang dan nilai yang mempengaruhi cara pandang mereka, belum lagi bagaimana kebijakan ditetapkan berdasar pada alternatif-alternatif kebijakan yang telah dirumuskan, banyak hal tertuang dalam konteks kebijakan. Namun pada dasarnya bahwa kebijakan merupakan suatu langkah nyata dalam proses politik suatu negara.


(30)

6. Metodologi Penelitian 6.1. Sifat Penelitian

Berdasarkan pada perumusan masalah dan tujuan dari penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, walaupun pada beberapa sisi akan ditunjang oleh data empiris. Sedangkan sifat penelitian ini akan menuju deskriptif analitis dengan pendekatan data yang dipergunakan.

Bersifat deskriptif karena berusaha mengetahui dan memaparkan informasi faktual secara sistematis dan akurat mengenai kebijakan yang berkaitan dengan kesetaraan gender.

Bersifat analisis karena akan dilakukan analisa terhadap kebijakan-kebijakan dan dari segi penerapannya guna mengetahui hal-hal yang berkaitan kesetaraan gender.

6.2. Teknik Pengumpulan Data

Dalam upaya mengumpulkan data yang dibutuhkan dilakukan beberapa teknik pengumpulan data, yaitu studi kepustakaan dengan cara pengumpulan data dengan menghimpun buku-buku, makalah-makalah dan dokumen-dokumen serta sarana info lainnya berhubungan dengan teks kebijakan.26

6.3. Analisa Data

Data dikumpulkan melalui pendekatan yang disesuaikan dengan jenis data yang diperlukan, yaitu data sekunder diperoleh melalui studi teks / wacana. Analisis wacana melihat pada ” bagaimana ” ( how ) dari pesan atau teks

26 Hadari Nawawi, Metode Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Jakarta : PT.Gramedia, 1992, hal.30.


(31)

komunikasi. Melalui Analisis wacana kita bukan hanya mengetahui bagaimana isi teks berita, tetapi juga bagaimana pesan itu disampaikan lewat kata, frase, kalimat, metafora macam apa berita disampaikan. Dengan melihat bagaimana bangunan struktur kebahasaan tersebut, analisis wacana lebih melihat makna yang tersembunyi dari suatu teks.27

Menurut Van Dijk, penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisa atas teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi yang harus juga diamati.

Analisis wacana terutama menyerap sumbangan dari studi linguistik- studi untuk menganalisis bahasa seperti aspek leksikal, gramatikal, sintaksis, semantik dan sebagainya. Analisis wacana tidak berhenti pada aspek tekstual, tetapi juga konteks dan proses produksi dan konsumsi dari suatu teks.

28

Segala teks bisa dianalisis dengan menggunakan elemen-elemen diantaranya adalah topik, skema, latar, detail, maksud, praanggapan, nominalisasi, bentuk kalimat, koherensi, kata ganti, leksikon, grafis, metafora dan ekspresi.

Adapun kerangka analisis wacana menurut Van Dijk adalah Pertama, Apa yang dikatakan ( Tematik ) ; Kedua, Bagaimana pendapat disusun dan dirangkai (Skematik) ; Ketiga, Makna yang ingin ditekankan dalam teks ( Semantik ) ; Keempat, Bagaimana pendapat disampaikan ( Sintaksis ) ; Kelima, Pilihan kata apa yang digunakan ( Stilistik ) ; Keenam, Bagaimana dan dengan cara apa penekanan dilakukan ( Retoris ).

27 Eriyanto, Analisis Wacana : Suatu Pengantar Analisis Teks Media, Yogyakarta : LKis, 2001, hal.xv.


(32)

Meski terdiri atas berbagai elemen, semua elemen itu merupakan suatu kesatuan, saling berhubungan dan mendukung satu sama lainnya. 29

29 Eriyanto, Ibid., hal.228-229 7. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pembahasan, maka penulisan penelitian akan dijabarkan dalam tiga bab penyajian data dan satu bab sebagai penutup, yaitu :

BAB I Pendahuluan ini berisikan latar belakang maslah mengapa penulis tertarik mengangkat masalah tentang negara dan kesetaraan gender untuk dibahas dalam penelitian, terdapat juga mengenai perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori yang menjadi acuan penulis dalam membuat penulisan penelitian, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II Masalah-masalah perempuan, kebijakan yang telah dibangun negara pada masa pemerintahan Soekarno hingga sekarang ini untuk mewujudkan kesetaraan gender.

BAB III Analisis Data ini menguraikan atau menjelaskan secara garis besar hasil penelitian sekaligus menganalisis data yang diperoleh untuk menjawab permasalahan dalam penelitian.

BAB IV Kesimpulan dan Saran merupakan bab terakhir dari penuliasan skripsi, yang berisi kesimpulan yang diperoleh dari hasil-hasil pembahasan pada bab-bab sebelumnya, serta berisi saran-saran yang berguna bagi penulis secara khusus dan berguna bagi para aktivis perempuan secara umum.


(33)

BAB II

NEGARA DAN PEREMPUAN

1.KONFIGURASI POLITIK DAN KARAKTER PRODUK HUKUM Fungsi dan peran hukum sangat dipengaruhi dan kerapkali diintervensi oleh kekuatan politik. Sepanjang sejarah Indonesia ternyata telah terjadi tolak-tarik atau dinamika antara konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi politik otoriter ( non demokratis ). Demokrasi dan otoriterisme muncul secara bergantian dengan kecenderungan linear di setiap periode pada konfigurasi otoriter.30 Sejalan dengan tolak-tarik konfigurasi politik itu, perkembangan karakter produk hukum memperlihatkan keterpengaruhannya dengan terjadinya tolak-tarik antara produk hukum yang berkarakter responsif dan produk hukum yang berkarakter konservatif dengan kecenderungan linear yang sama.31

30

Moh.Mahfud, “ Tampilnya Negara Kuat Orde Baru, Studi Teoretis dan Konstitusional tentang Perkembangan Peranan Negara di Indonesia,” tesis S-2 Ilmu Politik, Fakultas Pascasarjana UGM, 1989, hal.169.

31Moh.Mahfud, Pergulatan Poliik dan Hukum di Indonesia,Yogyakarta : Gama Media, 1999, hal.11.

Konsep demokratis dan otoriter ( non-demokratis ) diidentifikasi berdasarkan tiga indikator yaitu sistem kepartaian, dan peranan badan perwakilan, peranan eksekutif, dan kebebasan pers sedangkan konsep hukum responsif/otonom diidentifikasi berdasarkan proses pembuatan hukum, pemberian fungsi hukum dan kewenangan menafsirkan hukum.


(34)

Berdasarkan indikator-indikator tersebut, konsep-konsep itu kemudian diberi pengertian konseptual yang khusus dipakai tulisan yaitu32

1. Konfigurasi Politik Demokratis adalah konfigurasi yang membuka

peluang bagi berperannya potensi rakyat secara maksimal untuk turut menentukan kebijakan negara. Di dalam konfigurasi yang demikian pemerintah lebih merupakan “ komite “ yang harus melaksanakan kehendak-kehendak masyarakatnya, yang dirumuskan secara demokratis, badan perwakilan rakyat dan partai politik berfungsi secara proporsional dan lebih menentukan dalam pembuatan kebijakan negara.

:

2. Konfigurasi Politik Otoriter adalah konfigurasi yang menempatkan

pemerintah pada posisi sangat dominan dengan sifat yang intervensi dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan negara sehingga potensi dan aspirasi masyarakat teragregasi dan terartikulasi secara proporsional. Bahkan, dengan peran pemerintah yang sangat dominan, badan perwakilan rakyat dan partai politik tidak berfungsi dengan baik dan lebih merupakan justifikasi ( rubber stamps ) atas kehendak pemerintah.

3. Produk Hukum Responsif/Otonom adalah produk hukum yang karakternya

mencerminkan pemenuhan atas tuntutan-tuntutan baik individu maupun berbagai kelompok sosial di dalam masyarakat sehingga lebih mampu mencerminkan rasa keadilan di dalam masyarakat. Proses pembuatan hukum responsif ini mengundang secara terbuka partisipasi dan aspirasi masyarakat dan lembaga peradilan, hukum diberi fungsi sebagai alat pelaksana bagi kehendak masyarakat, sedangkan rumusannya biasanya

32Moh.Mahfud, Ibid.,hal.8-9.


(35)

cukup rinci sehingga tidak terbuka untuk dapat diinterpretasi berdasarkan kehendak dan visi pemerintah sendiri.

4. Produk Hukum Konservatif/Ortodoks adalah produk hukum yang

karakternya mencerminkan visi politik pemegang kekuasaan dominant sehingga pembuatannya tidak mengundang partisipasi dan aspirasi masyarakat secara sungguh-sungguh. Biasanya bersifat formalitas sehingga hukum diberi fungsi dengan sifat positivis instrumentalis atau menjadi alat bagi pelaksanaan ideologi dan program pemerintah

Semua konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia menjadikan “demokrasi“ sebagai salah satu asasnya yang menonjol tetapi tidak semua konstitusi mampu melahirkan konfigurasi politik yang demokratis. Artinya, sebuah konstitusi yang jelas-jelas menganut paham demokrasi dapat melahirkan konfigurasi politik yang tidak demokratis atau otoriter. Bahkan, di bawah sebuah konstitusi yang sama dapat lahir konfigurasi politik yang berbeda-beda pada periode yang berbeda-beda pula.

UUD 1945 yang berlaku pada periode 1945-1949 melahirkan konfigurasi yang jauh berbeda dengan konfigurasi politik pada saat UUD tersebut berlaku pada periode 1959-1966 untuk selanjutnya melahirkan konfigurasi politik yang berbeda lagi pada periode setelah 1966. Secara lebih rinci, perkembangan konfigurasi politik dari periode-periode adalah sebagai berikut33

33Moh.Mahfud, Ibid., hal.11-12.


(36)

PERIODE 1945-1959

Pada periode 1945-1959 konfigurasi politik yang tampil adalah konfigurasi politik yang demokratis. Kehidupan politik pada periode ini dicirikan sebagai demokrasi liberal.34 Di dalam konfigurasi yang demikian tampak bahwa partai-partai memainkan peranan yang sangat dominan dalam proses perumusan kebijakan negara melalui wadah konstitusionalnya ( parlemen ).35 Seiring dengan itu lembaga eksekutif berada pada posisi yang ” kalah kuat ” dibandingkan dengan partai-partai sehingga pemerintah senantiasa jatuh bangun dan keadaan politik berjalan secara tidak stabil.36

Konfigurasi politik yang demokratis berakhir pada tahun 1959, ketika tanggal 5 Juli Presiden Sukarno mengeluarkan dekrit yang kemudian dianggap sebagai jalan bagi tampilnya demokrasi terpimpin. Pada era demokrasi terpimpin yang berlangsung tahun 1959 sampai 1966 konfigurasi politik yang ditampilkan adalah konfigurasi politik yang otoriter. Di dalamnya Sukarno menjadi aktor utama dalam agenda politik nasional sehingga pemerintahan Sukarno dicirikan sebagai rezim yang otoriter.

PERIODE 1959-1966

37

34Moeljarto T., Beberapa Pokok Pikiran tentang Sistem Kepartaian di Indonesia, Yogyakarta : Fakultas Sosiologi UGM, 1969, hal.7.

35

Yahya Muhaimin, Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980, terj.Hasan Basari dan Muhadi Sugiono, Jakarta : LP3ES, 1990, hal.43.

36Moeljarto, op.cit., hal.7.

37Sutan Takdir Alisjahbana, Indonesia : Social and Cultural Revolution, terj. Benedict R. Anderson, Kuala Lumpur : Oxford University Press, 1966, hal.173.

Tiga kekuatan politik yaitu Sukarno, Angkatan Darat, Partai Komunis Indonesia. Presiden Sukarno mengatasi lembaga-lembaga konstitusional, menekan partai-parati dengan menutup kebebasan pers sambil


(37)

sering membuat peraturan perundang-undangan yang secara konstitusional tidak dikenal seperti Penpres dan Perpres.

PERIODE 1966 – 1998

Pada periode ini, atas dasar logika pembangunan yang menekankan pada bidang ekonomi dan paradigma pertumbuhan,38 konfigurasi politik didesain untuk negara kuat yang mampu menjamin dan membentuk negara kuat. Pada awalnya Orde Baru memulai langkahnya secara demokratis39

Pada periode ini, konfigurasi politik yang ditampilkan adalah demokrasi. Demokrasi yang dianut oleh Indonesia adalah demokrasi pancasila, masih dalam taraf perkembangan dan mengenai sifat-sifat dan ciri-cirinys terdapat pelbagai tafsiran dan pandangan. Tetapi tidak dapat disangkal bahwa beberapa nilai tidak poko dari demokrasi konstitusional cukup jelas tersirat dalam Undang-undang Dasar 1945. Sesuai dengan apa makna yang tertuang dalam demokrasi, dimana rakyat menjadi subyek dalam pengambilan kebijakan negara ( Undang-undang ) dan pengambilan keputusan pemerintah. Pemerintah berasal dari rakyat yang

tetapi secara pasti lama-kelamaan membentuk konfigurasi politik yang cenderung otoriter. Eksekutif sangat dominan, kehidupan pers dikendalikan, legislatif dicirikan sebagai lembaga yang lemah karena di dalamnya telah ditanamkan tangan-tangan eksekutif melalui Golongan Karya dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.

PERIODE 1998- SEKARANG

38Moeljarto T., Politik Pembangunan Sebuah Analisis Konsep, Arah dan Strategi, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1987, hal.106.

39Amir Effendi Sitegat, Pers Mahasiswa Indonesia, Patah Tumbuh Hilang Berganti, Jakarta : Karya Unipress, 1983, hal.32,


(38)

dipilih melalui proses pemilihan umum dituntut harus dapat melaksanakan apa yang menjadi kehendak rakyat. Jadi dalam hal ini pemerintah bertindak sesuai dengan apa yang menjadi keinginan rakyat yang telah memilihnya.

2. KEBIJAKAN NEGARA TERHADAP PEREMPUAN 2.1.DISKRIMINASI PEREMPUAN

Kemiskinan merupakan salah satu masalah sosial penting yang perlu ditangani negara dan juga sangat membutuhkan partisipasi dari semua elemen masyarakat untuk terlibat menanganinya. Dalam arti yang luas kemiskinan dapat meliputi ketidakcukupan yang lain, seperti rendahnya kesempatan kerja dan berusaha, lemahnya kapasitas sumber daya manusia, situasi rentan yang membuat orang jatuh miskin, lemahnya dukungan kelembagaan, atau lemahnya akses mengartikulasikan suara dan kepentingannya dalam proses-proses politik.40

Laki-laki dan perempuan memiliki pengalaman kemiskinan yang berbeda. Dampak yang diakibatkan oleh kemiskinan terhadap kehidupan laki-laki juga berbeda daripada perempuan. Sumber dari permasalahan kemiskinan perempuan terletak pada budaya patriarki, yaitu nilai-nilai yang hidup di masyarakat yang memosisikan laki-laki sebagai superior dan perempuan sebagai subordinat. Budaya patriarki seperti ini tercermin dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, maupun bernegara dan menjadi sumber Dalam hal ini, situasi kemiskinan sebenarnya dapat dialami oleh siapa saja, kapan saja dan dimana saja.

40Muhadjir , Op.cit.,hal.161.


(39)

pembenaran terhadap sistem distribusi kewenangan, sistem pengambilan keputusan, sistem pembagian kerja, sistem kepemilikan dan sistem distribusi risorsis yang bias gender. Muara dari masalah kultural ini adalah kecenderungan terjadinya pelecehan, diskriminasi, marginalisasi, eksploitasi dan kekerasan terhadap perempuan. 41 1. Marginalisasi ( Pemiskinan ekonomi ) perempuan

Proses marginalisasi ( pemiskinan ekonomi ) yang mengakibatkan kemiskinan, banyak terjadi dalam masyarakat di negara berkembang seperti penggusuran dari kampung halamannya, eksplotasi dan lain sebagainya. Namun pemiskinan atas perempuan maupun laki-laki yang disebabkan karena jenis kelaminnya adalah salah satu bentuk ketidakadilan yang disebabkan gender.

Sebagai contoh, banyak pekerja perempuan tersingkir dan menjadi miskin akibat dari program pembangunan seperti intensifikasi pertanian yang hanya memfokuskan pada laki-laki. Perempuan dipinggirkan dari beberapa jenis kegiatan pertanian dan industri yang lebih memerlukan keterampilan yang biasanya lebih banyak dimiliki oleh laki-laki. Selain itu, perkembangan teknologi telah menyebabkan apa yang semula dikerjakan secara manual oleh perempuan diambil alih oleh mesin yang pada umumnya dikerjakan oleh tenaga laki-laki. Sebaliknya, banyak pula lapangan pekerjaan yang menutup pintu bagi laki-laki karena anggapan bahwa mereka kurang teliti dalam melakukan pekerjaan yang memerlukan kecermatan dan kesabaran.

41Muhadjir, Ibid., hal.166.


(40)

2. Subordinasi

Subordinasi pada dasarnya adalah keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding jenis kelamin lainnya. Banyak kasus bahwa masih ada nilai-nilai masyarakat yang membatasi ruang gerak terutama perempuan diberbagai kehidupan. Sebagai contoh, apabila seorang istri yang hendak mengikuti tugas belajar atau hendak bepergian ke luar negeri, ia harus mendapat izin dari suami. Tetapi apabila suami yang akan pergi, ia bisa mengambil keputusan sendiri tanpa harus mendapat izin dari istri. Kondisi semacam ini telah menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting sehingga karena kemampuannya perempuan bisa menempati posisi penting sebagai pemimpin, bawahannya yang berjenis kelamin laki-laki seringkali merasa tertekan.

3. Pandangan Stereotip

Pelabelan atau penadaan ( stereotip ) yang sering kali bersifat negatif secara umum selalu melahirkan ketidakadilan. Salah satu jenis stereotip yang melahirkan ketidakadilan dan diskriminasi bersumber dari pandangan gender, karena menyangkut pelabelan atau penandaan terhadap salah satu jenis kelamin tertentu. Misalnya, pandangan terhadap perempuan bahwa tugas dan fungsinya hanya melaksanakan pekerjaan yang berkaitan dengan kerumahtanggaan atau tugas domestik, sebagai akibatnya ketika berada di ruang publik maka jenis pekerjaan, profesi atau kegiatannya di masyarakat bahkan di tingkat pemerintahan dan negara hanyalah merupakan ’perpanjangan’ peran domestiknya itu.


(41)

4. Kekerasan

Berbagai kekerasan terhadap perempuan sebagai akibat perbedaan peran muncul dalam berbagai bentuk. Kata ” kekerasan ” yang merupakan terjemahan dari ” violence ” artinya suatu serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Oleh karena itu, kekerasan tidak hanya menyangkut serangan fisik saja seperti pemerkosaan, pemukulan dan penyiksaan tetapi juga yang bersifat non fisik seperti pelecehan seksual, ancaman dan paksaan sehingga secara emosional perempuan atau laki-laki yang mengalaminya akan merasa terusik batinnya.

Kekerasan yang dialami oleh perempuan baik di ranah domestik maupun di ranah publik, dapat lebih parah manakala negara tidak mempunyai keberpihakan yang kuat terhadap perempuan. Ketika negara secara tidak disadari terbangun oleh kultur patriarkis yang sejak lama telah mengakar di masyarakat, negara menjadi tidak sensitif terhadap fenomena kekerasan yang dialami oleh perempuan. Hukum negara yang patriarkis cenderung memberi sanksi yang lebih ringan kepada pelaku kekerasan terhadap dan tidak memberi perlindungan serta pelayanan yang memadai kepada perempuan korban kekerasan.

Sistem pemerintahan yang hirarkis, hegemonis dan patriarkis telah meminggirkan perempuan secara sistematis melalui kebijakan, program dan lembaga yang tidak responsif gender. Data statistik tidak mampu mengungkap dinamika kehidupan perempuan – laki-laki sehingga kebijakan, program dan lembaga yang dirancang menjadi buta gender ( gender blind ) dan menimbulkan kesenjangan gender di berbagai bidang kehidupan. Peminggiran perempuan oleh


(42)

negara ini pada gilirannya akan dapat menghambat optimalisasi pencapaian kesejahteraan rakyat secara keseluruhan.42

Peraturan undangan bias gender adalah peraturan perundang-undangan yang pendulumnya berat sebelah dan tidak mentransformasikan

Banyak masalah sosial yang terkait dengan kesejahteraan perempuan bermuara pada kultur patriarki. Untuk menyebut diantaranya adalah angka kematian ibu yang masih tinggi, keluarga berencana dan aborsi yang tidak aman, ketidakcukupan konsumsi nutrisi perempuan, khususnya perempuan hamil dan menyusui, pengiriman TKW yang sarat dengan penipuan, eksploitasi, pelecehan seksual, perdagangan perempuan dan buruknya sanitasi air bersih.

Masalah-masalah tadi tidak akan terpecahkan dengan baik jika akar permasalahannya yaitu ketidakadilan dan ketimpangan gender di masyarakat, tidak di atasi terlebih dahulu.

2.2.TINJAUAN KEBIJAKAN

Apabila konsep gender telah dipahami, maka kriteria peraturan perundang-undangan yang berwawasan gender adalah kriteria yang tidak bias gender yang dimana salah satu jenis kelamin tidak dirugikan karena pemberlakukan sistem dan/atau struktur tersebut. Peraturan perundang-undangan bias gender adalah peraturan perundangan-undangan yang pendulumnya berat sebelah dan tidak mentransformasikan keadilan kepada perempuan, sekalipun perempuan adalah pihak yang berhak atas keadilan tersebut.

42Muhadjir, Ibid.,hal.167.


(43)

keadilan kepada perempuan, sekalipun perempuan adalah pihak yang berhak atas keadilan tersebut.

Untuk menentukan apakah suatu peraturan perundang-undangan tersebut bias gender tertentu diperlukan pengkajian yang komprehensif obyektif dengan menggunakan tolak-ukur minimal sebagai berikut :

1. Faktor Akses

Apakah perempuan dan laki-laki memperoleh akses dan dapat mempergunakannya dengan cara yang sama pula dalam implementasi peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

2. Faktor Kontrol

Apakah perempuan dan laki-laki memiliki kontrol ( penguasaan ) yang sama terhadap sumber-sumber daya guna implementasi dan/atau pelaksanaan suatu peraturan perundang-undangan.

3. Faktor Partisipasi

Apakah partisipasi atau peran serta perempuan dan laki-laki telah dibuka dengan peluang-peluang yang sama sejak rumusan awal ( rancangan ), pembahasan, pengesahan dan kemudian pelaksanaan peraturan perundang-undangan tersebut.

4. Faktor Manfaat

Apakah perempuan dan laki-laki memperoleh dan/atau menikmati manfaat yang sama dengan pemberlakuan suatu peraturan perundang-undangan. Metode Penafsiran Peraturan Perundang-undangan yang Berperspektif Gender adalah tool atau alat yang dapat digunakan sebagai tolok ukur untuk melakukan penafsiran terhadap peraturan perundang-undangan.


(44)

A. MASA SOEKARNO

Kepedulian negara terhadap perempuan dapat dirunut sejak masa pemerintahan Presiden Republik Indonesia pertama, Soekarno. Pada masa itu, perempuan telah diakui haknya dalam Politik, baik hak pilih dalam pemilihan umum 1955, maupun untuk duduk sebagai anggota parlemen. Sesudah kemerdekaan, pemilihan umum mula-mula diatur dalam UU No.27 Tahun 194843

Keputusan 19 Tahun 1952

berhubung dengan UU No.12 Tahun 1949 kemudian dalam UU No.7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat ( DPR ).

Hasil Pemilihan Umum 1955 :

Anggota : DPR 17 Wanita; 255 Pria

Konstituante 30 Wanita; 490 Pria

44

Pada masa itu juga telah ada Undang-undang yang bernuansa keadilan gender, yaitu UU No.80 Tahun 1958.

tentang Tunjangan Pensiun diberikan dua kali bagi janda-jandanya yang tidak lebih dari empat ( 4 ) orang.

45

43Nani Soewondo, Kedudukan Wanita Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984, hal.159-160.

44Muhadjir, Op.cit., hal.47. 45Muhadjir, Ibid., hal.47.

Undang-undang tersebut menentukan prinsip pembayaran yang sama untuk pekerjaan yang sama. Perempuan dan laki-laki tidak dibedakan dalam sistem penggajian.


(45)

UU NO.68 Tahun 1958 tentang Hak Politik Perempuan46

Undang-undang Kerja No. 12 Tahun 1948 Pasal 1 menetapkan bahwa:

Wanita mempunyai hak untuk memilih dalam semua pemilihan atas dasar yang sama dengan pria tanpa diskriminasi

Pasal 2 menentukan bahwa :

Wanita mempunyai hak untuk dipilih dalam semua “ publicly elected

bodies “ yang dibentuk berdasarkan perundang-undangan nasional, atas

dasar yang sama dengan pria, tanpa diskriminasi apa pun. Pasal 3 menentukan bahwa :

Wanita mempunyai hak untuk duduk dalam jabatan pemerintahan dan melaksanakan semua fungsi pemerintahan, tanpa diskriminasi apa pun, sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional.

47

46Achie Sudiarti Luhulima, Bahan Ajar Tentang Hak Perempuan, Jakarta : Yayasan Obor, 2007, hal.198.

47Nani Soewondo, Op.cit., hal.296-298.

Republik Indonesia yang kemudian dinyatakan berlaku dengan Undang-undang No.1 Tahun 1951. Disamping itu ditetapkan Peraturan Pemerintah No.4 Tahun 1954 tentang pernyataan berlakunya beberapa pasal dari Undang-undang Kerja Tahun 1948 untuk seluruh Indonesia. Adapun pasal-pasal tentang pekerjaan wanita adalah : Pasal 7 UUK : Wanita tidak boleh menjalankan pekerjaan pada malam

hari, kecuali jikalau pekerjaan itu menurut sifat, tempat dan keadaan seharusnya dijalankan oleh seorang wanita.


(46)

Pasal 8 UUK : Wanita tidak boleh menjalankan pekerjaan di dalam tambang, lubang di dalam tanah atau tempat lain untuk mengambil logam dan bahan-bahan lain dari tanah.

Pasal 9 UUK : Wanita tidak boleh menjalankan pekerjaan yang berbahaya bagi kesehatan atau keselamatan, demikian pula pekerjaan yang menurut sifat, tempat dan keadaannya berbahaya bagi kesusilaannya.

Pasal 13 ayat ( 1 ) UUK : Wanita tidak boleh diwajibkan bekerja pada hari pertama dan kedua haid ( datang bulannya )

Mengenai hal itu majikan dianggap tidak mengetahui tentang keadaan haid dari buruhnya wanita, bilamana yang berkepentingan tidak memberitahukan hal itu kepadanya. ( Pasal ayat ( 1 ) PP No.4 Tahun 1954 ).

Pasal 13 Ayat ( 2 ) UUK : Wanita harus diberi istirahat selama satu setengah bulan sebelum saatnya ia menurut perhitungan akan melahirkan anak dan satu setengah bulan sesudah melahirkan anak atau gugur kandungan.

Pasal 13 Ayat ( 3 ) UUK : Waktu istirahat sebelum saat pekerja menurut perhitungan akan melahirkan anak, dapat

diperpanjang sampai selama-lamanya tiga bulan, jikalau di dalam suatu keterangan dokter

dinyatakan, bahwa hal itu perlu untuk menjaga kesehatannya.

Pasal 1 Ayat ( 4 ) PP No.4 Tahun 1954 : Kepada wanita yang diberi istirahat menurut aturan-aturan tersebut diberi upah penuh


(47)

untuk waktu istirahat itu, kecuali jika dalam pada itu untuk wanita tadi berlaku peraturan khusus tentang kedudukan dan gaji pegawai/pekerja negeri.

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata buku ketiga titel 7A48

1. Terhadap perjanjian kerja yang diadakan oleh seorang wanita yng bersuami sebagai buruh, undang-undang menganggap bahwa ia telah mendapat izin dari suaminya.

tentang perjanjian untuk melakukan pekerjaan terdapat pasal-pasal sebagai berikut:

2. Oleh karena itu, ia dapat melakukan sendiri semua tindakan yang berkenaan dengan perjanjian itu, termasuk pula memberi tanda pelunasan dan menghadap di pengadilan tanpa bantuan suaminya.

3. Ia berhak menggunakan apa yang diterimanya atau apa yang ia berhak menuntut berdasarkan perjanjian kerja tersebut, guna kepentingan keluarga ( Pasal 1601 f )

Namun berbeda lagi kebijakan terhadap pegawai wanita atau kata lain pekerja wanita yang terpelajar. Setelah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, diperlakukan satu aturan untuk semua pegawai negeri wanita di seluruh Indonesia yaitu Peraturan Pemerintah No.53 Tahun 1951.

48Nani Soewondo, Ibid., hal.299.


(48)

Adapun Pokok-pokok Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 1951 ialah sebagai berikut49

1. Pegawai wanita yang telah kawin dan bekerja pada jabatan negeri maupun dalam jabatan tetap atau sementara, yang telah bekerja sedikit-dikitnya 1 tahun lamanya, dapat diberikan istirahat karena hamil dengan syarat, bahwa pegawai itu berjanji siap sedia akan bekerja kembali setelah istirakatnya berakhir. Istirahat tersebut hanya akan diberikan kepada pegawai wanita yang pada waktu permulaan hamil telah kawin dengan cara yang sah.

:

2. Lamanya istirahat itu adalah 1 1/2 bulan sebelum tiba waktunya melahirkan anak dan 1 1/2 bulan sesudah melahirkan anak atau gugur kandung

3. Selama waktu istirahat itu pegawai wanita yang bersangkutan mendapat gaji penuh serta penghasilan-penghasilan yang sah

4. Bila pegawai wanita yang bersangkutan mengabaikan perjanjiannya dan tidak bekerja kembali dalam masa 6 bulan setelah istirahatnya berakhir, maka semua gaji dan penghasilan lain yang telah diterimanya selama masa istirahat itu, dengan tidak bersyarat ditagih kembali dan istirahatnya itu dianggap seolah-olah diberikan sebagai istirahat di luar tanggungan negeri.


(49)

MASA SOEHARTO ( ORDE BARU )

Pada masa Soeharto ada juga kemajuan penting yang dicapai perempuan. Salah satu kemajuan yang perlu dicatat adalah dijadikannya masalah perempuan sebagai masalah publik dan adanya kebijakan-kebijakan publik yang secara eksplisit bertujuan untuk menangani masalah-masalah perempuan. Adapun salah satu bentuk kebijakan atau respon negara terhadap perempuan selama masa pemerintahan Soeharto adalah terbentuknya Undang-undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.50

50Achie Sudiarti Luhulima, Op.cit., hal.175.

Adapun di dalam Pasal 9 Ayat ( 2 ) menyatakan bahwa

“ Tiap-tiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dari hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarga. “

Pasal ini sudah sangat maju, yang menentukan hak, kesempatan dan manfaat yang sama dan adil, mengenai pemilikan dan pemanfaatan tanah, bagi perempuan dan laki-laki.

Pekerjaan kaum ibu akan bertambah berat jika banyak anak yang harus diurusnya dan dididik. Karena itu kesehatan ibu sangat mempengaruhi kesehatan keturunannya. Dalam usaha memperbaiki kesehatan maka pemerintah pada masa Soeharto telah mengaturnya dalam suatu bentuk kebijakan.


(50)

Dalam Undang-undang Pokok Kesehatan No.9 Tahun 1960 telah ditetapkan sebagai berikut51

• Pasal 1 : Tiap warga negara berhak memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya dan perlu diikutsertakan dalam

usaha kesehatan pemerintah

:

• Pasal 2 : Kesehatan adalah meliputi kesehatan badan, rohaniah (mental) dan sosial dan bukan hanya keadaan yang bebas dari penyakit, cacat dan kelemahan

Masalah-masalah kesehatan yang memerlukan perhatian kaum ibu ialah masalah Gizi dan ASI.

Instruksi Presiden RI Nomor 14 Tahun 1974 tentang Perbaikan Menu

Makanan Rakyat52

Program meningkatkan pemanfaatan ASI adalah salah satu usaha yang terbentuk dalam Inpres No.14 Tahun 1974 tentang perbaikan menu makanan rakyat. Namun sisi lain ada yang perlu diperhatikan dimana terlampau cepat atau berturut-turut melahirkan anak. Maka Keluarga Berencana ( KB ) sangat diperlukan untuk mengatur dan jika perlu membatasi kelahiran anak, supaya tidak membahayakan kesehatan ibu dan anak.

menyebutkan bahwa :

dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat perlu dilakukan berbagai usaha yang bertujuan untuk mengadakan perbaikan menu makanan rakyat, dengan lebih menganekaragamkan jenis dan meningkatkan mutu gizi, makanan rakyat baik kualitas dan kuantitas.

51Nani Soewondo, Op.cit., hal.284. 52Nani Soewondo, Ibid., hal.285.


(51)

Selain itu terbentuk juga undang-undang lain sebagai suatu bentuk perjuangan perempuan yaitu Undang-undang Perkawinan Tahun 1974. Sangat penting bahwa keluarga mendapat perlindungan menurut undang-undang. Ketentaraman jiwa kaum ibu sangat mempengaruhi kebahagiaan hidup Rumah Tangga. Kaum wanita tidak dapat hidup tenang, bila mereka sewaktu-waktu mereka dapat dicerai meskipun tidak bersalah apapun juga seperi yang sering terjadi. Maka dibentuklah Undang-undang Perkawinan.

Pokok-pokok Undang-undang Perkawinan53 a) Peraturan yang berlaku dalam perkawinan

:

Hukum perkawinan diatur dalam Undang-undang Perkawinan yang disahkan pada akhir tahun 1973 dan diundangkan sebagai Undang-undang No.1 Tahun 1974. Dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Perkawinan ditetapkan pula Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1975 tentang kewajiban pegawai pencatat nikah dan tata kerja peradilan agama dan Petunjuk Mahkamah Agung MA/Pemb/0807/75.

b) Dasar dan tujuan Perkawinan

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga ( rumah tangga ) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa ( Pasal 1 UUP )

c) Sahnya perkawinan dan Pencatatan Perkawinan

Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu ( Pasal 2 ayat ( 1 ) UUP ).


(52)

Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku ( Pasal 2 ayat ( 2 ) UUP ).

d) Poligami ( beristri lebih dari satu )

Meskipun diakui asas monogami, tetapi pengadilan dapat memberi izin untuk poligami atas permintaan yang bersangkutan ( Pasal 3 UUP ).

Pengadilan hanya dapat memberi izin demikian kepada suami, jika istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; istri tidak dapat melahirkan keturunan (Pasal 4 UUP).

Suami harus mengajukan permohonan dengan terlebih dahulu memenuhi syarat-syarat: persetujuan istri/ istri; suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka serta jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak ( Pasal 4, 5 UUP ).

e) Hak dan Kewajiban Suami Istri

Hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Masing-masing berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga ( Pasal 31 UUP )

f) Harta Benda dalam Perkawinan

Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing sebagai hadiah dan warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang pihak yang bersangkutan tidak menentukan lain (Pasal 35


(53)

UUP). Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.

g) Perceraian

Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan setelah pengadilan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak ( Pasal 39 ayat ( 1 ) UUP ).

Pada masa pemerintahan Soeharto ada suatu kebijakan meningkatkan peranan wanita yang diatur dalam Ketetapan MPR/No.IV/MPR/1973 tentang GBHN, BAB IV, Pola Umum Pelita Kedua, mengenai Pendidikan, Ilmu

Pengetahuan Teknologi dan Pembinaan Generasi Muda,54

Peranan wanita tersebut dalam proses pembangunan selanjutnya memperoleh perhatian pemerintah sejak keikutsertaan Indonesia dalam Konferensi I Perserikatan Bangsa-bangsa tentang perempuan di Mexico pada tahun 1975. Sebagai tindak lanjutnya, pada tahun 1978

sub 8 di cantumkan sebagai berikut : “ Pembinaan keluarga yang sejahtera adalah sarana bagi pembinaan Generasi Muda. Untuk pembinaan keluarga yang demikian itu maka hak-hak wanita dijamin serta kedudukannya dalam keluarga dan masyarakat dilindungi.”

55

54Nani Soewondo, Ibid., hal.305. 55Muhadjir, Op.cit., hal.72.

telah ditunjuk seorang Menteri Muda Urusan Peranan Wanita sebagai anggota Kabinet Pembangunan III.


(54)

Selanjutnya Dalam Garis-garis Besar Haluan Negara ( GBHN ), Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978 antara lain menyatakan mengenai Keluarga

Berencana dan Kependudukan, dalam hubungannya pula dengan masalah pembangunan sebagai berikut56

“ Erat hubungannya dengan masalah kependudukan adalah pelaksanaan program KB yang dalam Pelita Kedua telah menunjukkan hasil-hasilnya. Program tersebut perlu diperluas dan diintensifkan agar dalam jangka panjang benar-benar dapat menjamin terkendalikannya pertumbuhan

:

“ Agar pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat dapat terlaksana dengan cepat, harus dibarengi dengan pengaturan pertumbuhan jumlah penduduk melalui program Keluarga Berencana, yang mutlak harus dilaksanakan dengan berhasil, karena kegagalan pelaksanaan KB akan mengakibatkan hasil usaha pembangunan menjadi tidak berarti dan dapat membahayakan generasi yang akan datang. Pelaksanaan KB ditempuh dengan cara-cara sukarela, dengan mempertimbangkan nilai-nilai agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Di samping itu diperlukan pula usaha penyebaran penduduk yang lebih wajar melalui transmigrasi sebagai sarana dalam meningkatkan kegiatan pembangunan secara merata di seluruh tanah air.” ( GBHN BAB III,B,8 )

Kemudian dalam Pola Umum Pelita Ketiga telah dicantumkan juga sebagai berikut :


(1)

No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga; Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarustamaan Jender, dan Rencana Aksi Nasional – Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (RAN-PKTP).

Persoalan representasi dalam politik akan sangat berkaitan dengan pembahasan mengenai ideologi dan keterwakilan politik. Ideologi dan keterwakilan politik dipahami masyarakat sebagai mata rantai yang menghubungkan antara pihak yang diwakili dengan pihak yang mewakili. Di sini, ideologi dipahami oleh masyarakat sebagai sarana untuk mengindentifikasi wakil mereka, artinya seorang wakil memiliki sikap,pandangan atau kehendak sesuai yang diharapkan oleh pendukungnya.

Adapun upaya yang dilakukan Lembaga ini dalam memberdayakan perempuan adalah melalui pendidikan dan pelatihan yang menjadi program pokok pembangunan Pemberdayaan Perempuan 2005 – 2009. Kegiatan yang dilakukan antara lain ;

1. Peningkatan pengetahuan dan kemampuan tenaga (pengelola & pelaksana) untuk mewujudkan kesetaraan gender dan anak (untuk semua segmen) 2.Peningkatan pengetahuan dan kemampuan perempuan dalam proses

pengambilan keputusan (dalam rangka affirmative action)

Melalui pendidikan dan pelatihan untuk membekali para pengurus organisasi perempuan agar dapat lebih meningkatkan kemampuan dalam menyikapi kebijakan pembangunan politik dan sosial, serta lebih meningkatkan kualitas partisipasi Organisasi Perempuan dalam penyelesaian berbagai isu-isu strategis perempuan, mulai dari perbaikan legislasi (Amandemen Undang-undang


(2)

Nomor 32 tahun 2002 tentang Partai Politik dan Undang-undang Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilu), sampai dengan peningkatan kualitas perencanaan yang responsif gender.

Efektifitas peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan keadilan dan kesetaraan gender di Indonesia masih dirasa belum membuahkan hasil yang signifikan. Meskipun berbagai instrumen internasional dan nasional telah disepakati, namun upaya untuk meningkatkan kedudukan dan peran perempuan masih menghadapi banyak kendala. Kendala utama dalam upaya tersebut adalah pemberdayaan perempuan (women empowerment) untuk mendapatkan berbagai akses dalam berbagai bidang kehidupan jauh tertinggal bila dibandingkan dengan laki-laki disebabkan adanya perlakuan diskriminatif. Kondisi masyarakat yang masih berpegang pada mitos, prasangka dan streotype yang bias gender menjadi salah satu penyebab munculnya diskriminasi terhadap perempuan.

2. SARAN

Berangkat dari perspektif optimis dan sadarnya perjuangan kesetaraan maka ada beberapa alternatif pemecahan dan cara menegakkan keadilan gender diantaranya adalah :

• Melakukan sosialisasi di dalam keluarga yang seimbang, dalam kajian feminis dikenal sosialisasi androgini kepada anak laki-laki dan perempuan. Hal ini ditujukan untuk kemandirian sebagai manusia.


(3)

• Melakukan dekonstruksi bias gender di bidang pendidikan, dalam buku teks dan persamaan kesempatan pendidikan tanpa memandang streotipe

• Mendukung visi dan misi Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan.

• Melakukan dekonstruksi pada nilai-nilai patriarkhi dalam konteks negara.

Selain itu juga perlu diperhatikan dalam membuat suatu peraturan supaya peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan keadilan dan kesetaraan gender dapat berlaku efektif maka pertama, harus didasarkan pada pemikiran bahwa hubungan (relasi) yang timpang antara perempuan dan laki-laki di dalam dan luar keluarga perlu diubah. Artinya, diperlukan suatu perubahan stuktural yaitu perubahan relasi sosial dari yang timpang dimana laki-laki berada pada posisi subordinat ke relasi sosial yang setara dimana keduanya merupakan faktor penting dalam menentukan berbagai hal penting yang menyangkut kehidupan keduanya; kedua, Pembangunan pemberdayaan perempuan yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari penyelenggaraan negara secara menyeluruh bertujuan untuk mewujudkan kemajuan perempuan di segala bidang harus menjadi perhatian dan tanggung jawab bersama antara pemerintah, dunia usaha/swasta dan masyarakat melalui berbagai organisasi kemasyarakatan


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku :

Abdullah, I., Sangkan Peran Gender, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1997 Agustino, Leo, Perihal Ilmu Politik, Bandung : Graha Ilmu, 2007

Alisjahbana, Sultan Takdir, Indonesia : Social and Cultural Revolution, terj. Benedict R.Anderson, Kuala Lumpur : Oxford University Press, 1966

Amal, Siti Hidayati, “ Beberapa Perspektif Feminis dalam menganalisis Permasalahan Wanita“, dalam T.O.Ihromi (ed) , Kajian Wanita dalam Pembangunan,Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995

Amin, M. Mansyhur, Wanita dalam Percakapan Antara Agama Aktualisasi Dalam Pembangunan, Yogyakarta : LKPSM NU DIY, 1992

Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia, 2005 Budiman, Arif, Pembagian Kerja Seksual, Jakarta : PT.Gramedia, 1985

Cora Vreede-De Stuers, Sejarah Pergerakan Perempuan Indonesia : Gerakan dan Pencapaian, Jakarta : Komunitas Bambu, 2008

Darwin, Muhadjir M., Negara dan Perempuan, Reorientasi Kebijakan Publik,Yogjakarta:Graha Guru, 2005

Daulay, Harmona, Perempuan dalam Kemelut Gender, Medan : USU Press, 2007 Eriyanto, Analisis Wacana : Suatu Pengantar Analisis Teks Media, Yogyakarta :

LKis, 2001

Gani, Soelystyati Ismail, Pengantar Ilmu Politik, Jakarta : Ghalia Media, 1984 Hak Asasi Perempuan, Instrumen Hukum untuk Mewujudkan Keadilan Gender,

Kelompok Kerja Convention Watch, Pusat Kajian Wanita dan Gender, Universitas Indonesia, Jakarta : 2004

Hatmadji, “ Pembangunan Sumber Daya Manusia ( SDM ) dalam perspektif Kependudukan”, 2004

Ihromi, T.O., Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita, Bandung : PT.Alumni, 2006


(5)

Irianto, Sulistyowati, Perempuan dan Hukum menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan Gender, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2006 Isjawara, F., Pengantar Ilmu Politik, Bandung : Bina Cipta, 1980

Katjasungkana, Nursyahbani, “ Domestikasi Perempuan dalam Karir,” dalam berkala Pesantren N0.2/Vol.VI, 1989

Luhulima, Achie Sudiarti, Bahan Ajar Tentang Hak Perempuan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007

Mahfud, Moh., ” Tampilnya Negara Kuat Orde Baru, Studi Teoritis dan Konstitusional tentang Perkembangan Peranan Negara di Indonesia, ” tesis S-2 Ilmu Politik, Fakultas Pascasarjana UGM, 1989

____________,Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Yogyakarta : Gama Media, 1999

Materi Pokok Kesetaraan Dan Keadilan Gender, Kementeriaan Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, Tahun 2001

Muhaimin, Yahya, Bisnis dan Politik : Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980, terj.Hasan Basari dan Muhadi Sugiono, Jakarta : LP3ES, 1990

Mulia, Siti Musdah, Perempuan dan Politik, Jakarta : PT.Gramedia Pustaka Umum, 2005

Nawawi, Hadari, Metode Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Jakarta:PT.Gramedia, 1992

Sihite, Romany, Perempuan, Kesetaraan, Keadilan, Suatu Tinjauan Berwawasan Gender, Jakarta : PT.Rajagrafindo Persada, 2007

Sitegat, Amir Effendi, Pers Mahasiswa Indonesia, Patah Tumbuh Hilang Berganti, Jakarta : Karya Unipress, 1983

Soetrisno, Loekman, Kemiskinan, Perempuan dan Pemberdayaan, Yogyakarta: Kanisius, 1997

Soewondo, Nani, Hukum dan Kependudukan di Indonesia, Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1982

_____________, Kedudukan Wanita Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984 _____________, 1989 dikutip oleh Nursyahbani Katjasungkana, “Domestikasi


(6)

T.Moeljarto, Beberapa Pokok Pikiran tentang Sistem Kepartaian di Indonesia, Yogyakarta : Fakultas Sosiologi UGM, 1969

_________, Politik Pembangunan Sebuah Analisis Konsep, Arah dan Strategi, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1987

Undang-undang :

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita

Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja

Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja

Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik Undang-undang Dasar 1945 Hasil Amandemen

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum

Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja di Luar Negeri

Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam

Rumah Tangga

Internet :

http://situs.kesrepro.info/gendervaw/okt/2002/gendervaw03.htm. Negara dan Kekerasan Terhadap Perempuan oleh Gisella Tani Pertiwi.

http://ichwanarifin.blogspot.com/2006/11/perempuan-politik-dan-pergerakan.html www.google.com/Pembakuan Peran dalam Kebijakan-kebijakan di Indonesia,