Hubungan Kemampuan Fungsi Tubuh dan Dukungan Keluarga dengan Depresi pada Pasien Pasca Stroke
HUBUNGAN KEMAMPUAN FUNGSI TUBUH DAN
DUKUNGAN KELUARGA DENGAN DEPRESI PADA
PASIEN PASCA STROKE
TESIS
Oleh
SOLIHUDDIN HARAHAP
127046042 / KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(2)
HUBUNGAN KEMAMPUAN FUNGSI TUBUH DAN
DUKUNGAN KELUARGA DENGAN DEPRESI PADA PASIEN
PASCA STROKE
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Keperawatan (M.Kep) dalam Program Studi Magister Ilmu Keperawatan
Minat Studi Keperawatan Medikal Bedah pada Fakultas Keperawatan
Universitas Sumatera Utara
Oleh
SOLIHUDDIN HARAHAP
127046042 / KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(3)
(4)
Tanggal Lulus : 03 Februari 2015 Telah diuji
Pada tanggal : 03 Februari 2015
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Ir.Etti Sudaryati MKM, Ph.D.
Anggota : 1. Ikhsanuddin A. Harahap S.Kp, MNS 2. Dewi Elizadiani Suza S.Kp, MNS, Ph.D
(5)
PERNYATAAN
HUBUNGAN KEMAMPUAN FUNGSI TUBUH DAN
DUKUNGAN KELUARGA DENGAN DEPRESI PADA PASIEN
PASCA STROKE
Tesis
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar akademis di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.
Medan, Februari 2015
(6)
Judul Tesis : Hubungan Kemampuan Fungsi Tubuh dan Dukungan Keluarga dengan Depresi pada Pasien Pasca Stroke
Nama Mahasiswa : Solihuddin Harahap
Program Studi : Magister Ilmu Keperawatan Minat Studi : Keperawatan Medikal Bedah Tahun : 2015
ABSTRAK
Stroke merupakan penyakit yang diakibatkan berkurangnya suplai darah ke otak sehingga menyebabkan berbagai gangguan pada fungsi persarafan. Kemampuan fungsi tubuh baik motorik, sensorik, luhur, keseimbangan, saraf otak lain dan penglihatan, akan menurun akibat kelemahan atau kecacatan yang timbul. Dampak dari kelemahan dan kecacatan itu bisa menyebabkan gangguan psikologis berupa depresi. Salah satu upaya yang dilakukan untuk menurunkan kejadian depresi dengan dukungan keluarga baik berupa dukungan emosional, penghargaan, informasional dan instrumental. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan rancangan cross sectional yang dilakukan di Poli Stroke RSUD Dr. Pirngadi Medan mulai Oktober sampai dengan November 2014. Populasi penelitian ini adalah penderita stroke dengan sampel 77 responden. Analisa data dilakukan secara univariat dan bivariat dengan uji statistik Spearman rank. Hasil penelitian antara kemampuan fungsi tubuh dengan depresi mempunyai hubungan lemah dengan nilai p = 0,00 serta besar koefisien korelasi r = 0,32 dengan arah hubungan positif yang bermakna nilai kemampuan fungsi tubuh rendah jika terjadi depresi. Analisis dukungan keluarga dengan depresi mempunyai hubungan yang sedang dengan nilai p = 0,00 serta besar koefisien korelasi r = -0,41 dengan arah hubungan negatif yang bermakna jika dukungan keluarga rendah maka kejadian depresi tinggi. Disarankan kepada pelayanan keperawatan supaya melakukan pengkajian kemampuan fungsi tubuh untuk menentukan kemampuan motorik serta pemberian informasi stroke untuk mengurangi depresi dan meningkatkan dukungan keluarga.
(7)
Thesis Title : Correlation of the Capacity of Body Function and Family Support with Depression in Post-Stroke Patients
Name : Solihuddin Harahap
Study Program : Master of Nursing
Field of Specialization : Medical - Surgical Nursing
Year : 2015
ABSTRACT
Stroke is an illness which is caused by the lack of blood supply to brain so that it causes various nerve function disorders. The capacity of body function such as motoric, sensoric, luhur, balance, other brain nerves, and sight will decrease as the result of weakness and defects. The effect of weakness and defects can cause psychological disorder like depression. One of the attempts to decrease the incidence of depression is family support, such as emotional support, reward, informational support, and instrumental support. The research was a quantitative study with cross sectional design. It was conducted at Stroke Polyclinic of Dr. Pirngadi Regional General Hospital, Medan, from October to November, 2014. The population was stroke patients, and 77 of them were used as the samples. The data were analyzed by using univatriate analysis and bivatriate analysis with Spearman rank statistic test. The result of the research showed there was insignificant correlation between the capacity of body function and depression at p-value = 0,00 and correlation coefficient r = 0,32 toward positive correlation which indicated that the value of the capacity of body function was low when there was depression. The correlation between family support and depression was moderate at p-value = 0,00 and correlation coefficient r = -0,41 toward negative correlation which indicated that family support was low when the incidence of depression was high. It is recommended that nurses identification motoric ability for giving information to patients’ families to give motivation to the stroke patients so that there will be no depression.
(8)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufik, hidayah dan ridhoNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul “Hubungan Kemampuan Fungsi Tubuh dan Dukungan Keluarga dengan Depresi pada Pasien Pasca Stroke.”
Penulisan tesis ini bertujuan untuk memenuhi sebagian dari syarat menyelesaikan Program Magister Ilmu Keperawatan di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini tidak akan dapat diselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimah kasih yang sedalam-dalamnya kepada dr. Dedi Ardinata, M.Kes, selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. Setiawan, S.Kp, MNS, PhD, selaku Ketua Program Studi dan Achmad Fathi S.Kep, Ns, MNS, selaku Sekretaris Program Studi atas bantuannya dalam melengkapi prosedur administrasi di Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.
Terimakasih kepada Ir. Etti Sudaryati MKM, PhD sebagai pembimbing satu dan Ikhsanuddin Ahmad Harahap S.Kp, MNS, selaku pembimbing dua yang telah meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan masukan demi kesempurnaan tesis ini. Ucapan terimakasih kepada Dewi Elizadiani Suza S.Kp, MNS, PhD, sebagai penguji satu dan Rosina Tarigan S.Kp, M.Kep, Sp.KMB, sebagai penguji dua yang telah banyak memberikan saran dan masukan demi
(9)
Direktur RSUD Dr. Pirngadi Medan dan Direktur Rumah Sakit Umum Haji Medan yang telah memberikan izin sebagai tempat penelitian serta Dosen dan Staf Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara yang telah membantu proses penyelesaian tesis ini.
Anakku tersayang M. Zacky Alkhairi Harahap yang menjadi inspirasiku, serta istriku tercinta yang selalu memberikan semangat dan motivasi untuk penyelesaian tesis ini, dan kedua orang tua yang berdoa untuk kesuksesan anaknya.
Teman-teman di Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara yang telah membantu proses penyelesaian tesis ini.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan dan membutuhkan masukan yang sangat bermanfaat untuk kesempurnaanya, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan tesis ini dan harapan penulis semoga tesis ini dapat bermanfaat demi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya bidang keperawatan.
Medan, Februari 2015 Penulis
(10)
RIWAYAT HIDUP
Nama : Solihuddin Harahap
Tempat/Tgl Lahir : Banuatonga / 15 Juli 1975
Alamat : Jln Cendana Perumahan Tosiro No: 15 A Medan
No Telp/ Email :
Riwayat Pendidikan :
Jenjang Pendidikan Nama Institusi Tahun Lulus
Sekolah Dasar (SD) SD Negeri 142911 Sosopan 1986 Sekolah Menengah Pertama (SMP) SMP Negeri Sosopan 1990
Sekolah Menengah Atas (SMA) SMA Negeri 2 Padangsidempuan 1993 Diploma III Keperawatan Akper Dep.Kes Medan 1997
Sarjana Keperawatan F.Kep USU Medan 2006
Pendidikan Profesi Ners F.Kep USU Medan 2007
Riwayat Pekerjaan :
Bekerja sebagai staf dosen di Poltekkes Kemenkes Medan mulai 1998 – sekarang.
(11)
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... iii
KATA PENGANTAR ... v
RIWAYAT HIDUP ... vii
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
BAB 1. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Permasalahan ... 6
1.3 Tujuan Penelitian ... 7
1.4 Hipotesis ... 8
1.5 Manfaat Penelitian ... 8
BAB 2.TINJAUAN PUSTAKA ... 9
2.1 Konsep Dasar Stroke ... 9
2.2 Kemampuan Fungsi Tubuh ... 23
2.3 Dukungan Keluarga ... 27
2.4 Depresi ... 33
2.5 Landasan Teori ... 42
2.6 Kerangka Teori Penelitian ... 45
2.7 Kerangka Konsep Penelitian ... 46
BAB 3. METODE PENELITIAN ... 47
3.1 Jenis Penelitian ... 47
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 47
3.3 Populasi dan Sampel ... 47
3.4 Metode Pengumpulan Data ... 49
3.5 Variabel dan Definisi Operasional ... 49
3.6 Metode Pengukuran ... 51
3.7 Metode Analisa Data ... 53
3.8 Validitas dan Reliabilitas ... 54
3.9 Pertimbangan Etik ... 55
BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 56
4.1 Karakteristik Responden ... 56
4.2 Kemampuan Fungsi Tubuh Pasca Stroke ... 57
4.3 Dukungan Keluarga Pasca Stroke ... 59
4.4 Depresi Pasca Stroke ... 60
4.5 Hubungan Kemampuan Fungsi Tubuh dan Dukungan Keluarga dengan Depresi pada Pasien Pasca Stroke .... .. 61
(12)
BAB 5. PEMBAHASAN ... 65
5.1 Kemampuan Fungsi Tubuh pada Pasien Pasca Stroke di Poli Stroke RSUD Dr. Pirngadi Medan ... 65
5.2 Dukungan Keluarga pada Pasien Pasca Stroke di Poli Stroke RSUD Dr. Pirngadi Medan ... 66
5.3 Depresi pada Pasien Pasca Stroke di Poli Stroke RSUD Dr. Pirngadi Medan ... 68
5.4 Hubungan Kemampuan Fungsi Tubuh dengan Depresi pada Pasien Pasca Stroke di Poli Stroke RSUD Dr.Pirngadi Medan 69 5.5 Hubungan Dukungan Keluarga dengan Depresi pada Pasien Pasca Stroke di Poli Stroke RSUD Dr. Pirngadi Medan ... 70
5.6 Keterbatasan Penelitian ... 72
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 73
6.1 Kesimpulan ... 73
6.2 Saran ... 74
DAFTAR PUSTAKA……… ... 75
(13)
DAFTAR TABEL
No. Judul Halaman
Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel
Penelitian………
50 Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan
Karakteristik Pasien Pasca Stroke di Ruang Poli Stroke
RSUD Dr. Pirngadi Medan (n=77) …....……….. 57 Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Kemampuan Fungsi Tubuh pada
Pasien Pasca Stroke di Ruang Poli Stroke RSUD Dr. Pirngadi Medan (n=77) ...………
58
Tabel 4.3 Komponen Kemampuan Fungsi Tubuh pada Pasien Pasca Stroke di Ruang Poli Stroke RSUD Dr. Pirngadi Medan …...
58 Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Dukungan Keluarga pada Pasien
Pasca Stroke di Ruang Poli Stroke RSUD Dr. Pirngadi
Medan (n=77) ...………... 59 Tabel 4.5 Komponen Dukungan Keluarga pada Pasien Pasca
Stroke di Ruang Poli Stroke RSUD Dr. Pirngadi Medan...
60 Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Depresi pada Pasien Pasca Stroke
di Ruang Poli Stroke RSUD Dr. Pirngadi Medan
(n=77)…..……… ………... 60
Tabel 4.7 Distribusi Keadaan Depresi Berdasarkan Kemampuan Fungsi Tubuh Pasien Pasca Stroke di Ruang Poli
Stroke RSUD Dr. Pirngadi Medan (n=77) ………….. 61 Tabel 4.8 Distribusi Keadaan Depresi Berdasarkan Dukungan
Keluarga Pasien Pasca Stroke di Ruang Poli Stroke
RSUD Dr. Pirngadi Medan (n=77) ...……….. 61 Tabel 4.9 Hubungan Kemampuan Fungsi Tubuh dan Dukungan
Keluarga dengan Depresi pada Pasien Pasca Stroke di Ruang Poli Stroke RSUD Dr. Pirngadi Medan
(14)
DAFTAR GAMBAR
No. Judul Halaman
Gambar 2.1 Kerangka Teori Penelitian……… 45 Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian……… 46
(15)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1: Instrumen Penelitian ... 86
Permohonan Menjadi Responden ... 87
Bersedia Berpartisipasi sebagai Responden Penelitian ... 88
Kuesioner Demografi ... 89
Kuesioner Kemampuan Fungsi Tubuh ... 90
Kuesioner Dukungan Keluarga ... 92
Kuesioner Depresi ... 94
Izin Menggunakan Kuesioner ... 96
Lampiran 2: Biodata Expert ... 97
Lampiran 3: Izin Penelitian ... 99
Persetujuan Komite Etik ... 100
Uji Reliabilitas ... 101
Pernyataan Selesai Uji Reliabilitas... 102
Izin Pengambilan Data ... 103
(16)
Judul Tesis : Hubungan Kemampuan Fungsi Tubuh dan Dukungan Keluarga dengan Depresi pada Pasien Pasca Stroke
Nama Mahasiswa : Solihuddin Harahap
Program Studi : Magister Ilmu Keperawatan Minat Studi : Keperawatan Medikal Bedah Tahun : 2015
ABSTRAK
Stroke merupakan penyakit yang diakibatkan berkurangnya suplai darah ke otak sehingga menyebabkan berbagai gangguan pada fungsi persarafan. Kemampuan fungsi tubuh baik motorik, sensorik, luhur, keseimbangan, saraf otak lain dan penglihatan, akan menurun akibat kelemahan atau kecacatan yang timbul. Dampak dari kelemahan dan kecacatan itu bisa menyebabkan gangguan psikologis berupa depresi. Salah satu upaya yang dilakukan untuk menurunkan kejadian depresi dengan dukungan keluarga baik berupa dukungan emosional, penghargaan, informasional dan instrumental. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan rancangan cross sectional yang dilakukan di Poli Stroke RSUD Dr. Pirngadi Medan mulai Oktober sampai dengan November 2014. Populasi penelitian ini adalah penderita stroke dengan sampel 77 responden. Analisa data dilakukan secara univariat dan bivariat dengan uji statistik Spearman rank. Hasil penelitian antara kemampuan fungsi tubuh dengan depresi mempunyai hubungan lemah dengan nilai p = 0,00 serta besar koefisien korelasi r = 0,32 dengan arah hubungan positif yang bermakna nilai kemampuan fungsi tubuh rendah jika terjadi depresi. Analisis dukungan keluarga dengan depresi mempunyai hubungan yang sedang dengan nilai p = 0,00 serta besar koefisien korelasi r = -0,41 dengan arah hubungan negatif yang bermakna jika dukungan keluarga rendah maka kejadian depresi tinggi. Disarankan kepada pelayanan keperawatan supaya melakukan pengkajian kemampuan fungsi tubuh untuk menentukan kemampuan motorik serta pemberian informasi stroke untuk mengurangi depresi dan meningkatkan dukungan keluarga.
(17)
Thesis Title : Correlation of the Capacity of Body Function and Family Support with Depression in Post-Stroke Patients
Name : Solihuddin Harahap
Study Program : Master of Nursing
Field of Specialization : Medical - Surgical Nursing
Year : 2015
ABSTRACT
Stroke is an illness which is caused by the lack of blood supply to brain so that it causes various nerve function disorders. The capacity of body function such as motoric, sensoric, luhur, balance, other brain nerves, and sight will decrease as the result of weakness and defects. The effect of weakness and defects can cause psychological disorder like depression. One of the attempts to decrease the incidence of depression is family support, such as emotional support, reward, informational support, and instrumental support. The research was a quantitative study with cross sectional design. It was conducted at Stroke Polyclinic of Dr. Pirngadi Regional General Hospital, Medan, from October to November, 2014. The population was stroke patients, and 77 of them were used as the samples. The data were analyzed by using univatriate analysis and bivatriate analysis with Spearman rank statistic test. The result of the research showed there was insignificant correlation between the capacity of body function and depression at p-value = 0,00 and correlation coefficient r = 0,32 toward positive correlation which indicated that the value of the capacity of body function was low when there was depression. The correlation between family support and depression was moderate at p-value = 0,00 and correlation coefficient r = -0,41 toward negative correlation which indicated that family support was low when the incidence of depression was high. It is recommended that nurses identification motoric ability for giving information to patients’ families to give motivation to the stroke patients so that there will be no depression.
(18)
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin modern menimbulkan berbagai macam penyakit yang dapat membahayakan kesehatan manusia, salah satu diantanranya stroke. Stroke merupakan kurangnya aliran darah atau oksigen ke otak yang akan menyebabkan serangkaian reaks dikendalikan oleh jaringan itu. Berkurangnya darah ke otak bisa disebabkan oleh tersumbat atau pecahnya pembuluh darah (Junaidi, 2011).
Stroke merupakan gangguan serebrovaskular utama di dunia. Menurut Word Health Organization (WHO) (2007) 15 juta orang menderita stroke di seluruh dunia setiap tahunnya. Jumlah tersebut, 5 juta meninggal dan 5 juta lagi mengalami cacat permanen. Tekanan darah tinggi menyumbang lebih dari 12,7 juta stroke di seluruh dunia. Penderita di Eropa rata-rata sekitar 650.000 kematian stroke setiap tahunnya (WHO, 2007), sedangkan di Amerika Serikat menyebabkan kematian nomer tiga dengan jumlah kematian sekitar 150.000 orang setiap tahun. Total pasien stroke di Amerika Serikat tahun 2008 sekitar 65,5 juta orang (Bornstein, 2009), dengan peningkatan 700.000 pasien stroke baru setiap tahunnya (Black & Hawks, 2009).
(19)
Prevalensi stroke di Indonesia dari tahun ke tahun meningkat tajam. Jika pada tahun 1990 stroke masih di urutan ketiga pasca penyakit jantung dan kanker tahun 2010 menjadi urutan pertama penyebab kematian di Indonesia (Persatuan Dokter Persarafan Seluruh Indonesia (PDPERSI), 2010). Data penderita rawat inap di bangsal neurologi Rumah Sakit Umum Daerah Dr.Pirngadi Medan pada tahun 2009 diperoleh bahwa dari 622 orang yang dirawat 346 orang merupakan stroke (Silaen, Rambe & Nasution, 2011). Data tahun 2011 jumlah penderita diperoleh 389 orang penderita stroke (Departemen Neurologi, 2011 dalam Nasya, 2012 ).
Stroke dapat berdampak pada berbagai fungsi tubuh. Gambaran klinis dari tahapan stroke dapat berupa kehilangan motorik yaitu munculnya hemiplegi maupun hemiparesis akibat dari gangguan kontrol motor volunter pada salah satu sisi tubuh, hal ini menunjukan kerusakan pada neuron motor atas pada sisi yang berlawanan dari otak. Fungsi otak lain yang dipengaruhi oleh stroke adalah bahasa dan komunikasi seperti disartria, digambarkan dengan bicara yang sulit dimengerti akibat paralisis otot yang bertanggung jawab untuk menghasilkan bicara. Disfasia atau afasia digambarkan dengan bicara defektif atau kehilangan bicara, sehingga kurang terjalin komunikasi yang baik, hal ini menyebabkan pasien stroke menunjukan frustasi yang berlebihan terhadap kekurangan yang dialaminya (Black & Hawks, 2009). Penelitian yang dilakukan Pinzon, Asanti, Sugianto dan Widyo (2009) di dapatkan 37% pasien stroke mandiri dalam melakukan kegiatan dan 21% dengan kemampuan fungsi tubuh yang rendah. Pasien pasca stroke
(20)
memerlukan bantuan sampai dengan enam bulan pertama (Linda, Hesook, Arnstein, & Anners, 2011).
Penderita stroke dengan pemulihan total sekitar 460 orang dari 100.000 penderita 50-70% dari penderita stroke mengalami perbaikan fungsi tubuh, namun 15-30% cacat permanen dan 20% memerlukan perawatan institusional pada 3 bulan setelah serangan. Sebagian besar pasien stroke mengalami cacat tetap stabil antara 6-9 bulan dan 5 tahun setelah stroke dan sepertiganya memerlukan perawatan (Artal & Egido, 2009). Pasien stroke yang mengalami gangguan kemampuan fungsi tubuh sangat sulit untuk mengungkapkan perasaannya (Gupta, Pansari, & Shetty, 2002), dan lebih lanjut lagi pasien akan merasa depresi dengan keadaannya. Depresi akan berdampak negatif terhadap masa pemulihan dan hubungan sosial serta lingkungan sekitarnya, bahkan dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas (Ginkel, Gooskens, Schuurmans, Lindeman, & Hafsteinsdottir, 2010).
Pasien stroke juga mengalami gangguan persepsi dengan ketidakmampuan untuk menginterpretasikan sensasi baik berupa visual maupun sensori. Selain itu juga kerusakan pada fungsi kognitif dan efek psikologis dimana kerusakan dapat terjadi pada lobus frontal berupa kapasitas memori atau fungsi intelektual, sehingga disfungsi ini menyebabkan lapang pandang terbatas, kesulitan dalam pemahaman, lupa dan kurang motivasi. Kerusakan kemampuan tubuh menyebabkan pasien frustasi dalam program rehabilitasi mereka (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010). Kerusakan kognitif yang meliputi hilangnya ingatan, kesulitan dalam berkonsentrasi dan
(21)
gangguan emosional lainnya juga akan membuat pasien menghindar atau menolak teman bahkan keluarga mereka (Taylor, 2006).
Menurut Spaletta (2001, dalam Taylor, 2006) mengatakan bahwa defisit neurologi selain berakibat pada fisiknya juga emosinya. Pasien dengan kerusakan otak sebelah kiri mengalami kecemasan maupun depresi. Kerusakan otak sebelah kanan akan mengalami alexithymia yang melibatkan gangguan dalam mengidentifikasi dan menggambarkan perasaannya. Gangguan pada pasien stroke memberikan efek sosial pada pasien, keluarganya, kontak sosial serta lingkungan sekitarnya menurun drastis, sehingga akan mengganggu keharmonisan keluarga (Sarafino, 2006). Penelitian yang dilakukan Haryanto dan Basuki (2013) mengatakan bahwa dukungan keluarga yang diberikan pada pasien stroke dalam menjalani rehabilitasi yaitu 51,6% dukungan perhatian secara emosi kurang, 54,8%, dukungan bantuan instrumental kurang, 77,4% dukungan pemberian informasi kurang dan 64,5% dukungan penghargaan kurang.
Dukungan keluarga terhadap salah satu anggota keluarga yang menderita suatu penyakit sangat penting dalam proses penyembuhan dan pemulihan pasien (Friedman, 1998). Dukungan keluarga tersebut berupa dukungan keuangan, dukungan informasi, dukungan dalam melakukan kegiatan rutin sehari – hari, dukungan dalam pengobatan dan perawatan, dukungan psikologis, lebih lanjut dukungan keluarga dapat memberikan dampak positif dalam peningkatan kualitas hidup (Nirmala, Divya, Dorairaj, & Ventakeswaran, 2008).
(22)
Bentuk dukungan keluarga yang terus menerus dibutuhkan pasien karena pemulihan stroke memerlukan waktu yang lama dan proses yang sulit. Program rehabilitasi yang diikuti oleh pasien stroke kadang dirasakan tidak memberikan efek pada dirinya dan kurangnya bimbingan dari program rehabilitasi sebelum mereka meninggalkan rumah sakit mengakibatkan mereka mulai berfokus terhadap defisit yang terjadi pada dirinya. Kondisi ini menambah semakin parah depresinya (Sarafino, 2006).
Penelitian Sit, Wong, Clinton, Li dan Fong (2004) tentang dampak dukungan sosial pada kesehatan pasien stroke di rumah dengan dukungan keluarga, didapatkan bahwa dukungan keluarga pada pasien pasca stroke dapat meningkatkan kemampuan dan menjadi lebih baik dengan dukungan dan dukungan sosial dari keluarga yang akan meningkatkan status kesehatan psikososial pasien pasca stroke.
Pada umumnya pasien stroke yang tidak mendapat dukungan keluarga akan mengalami dampak negatif secara psikologis berupa depresi pasca stroke (Schub & Caple, 2010). Penelitian Li, Wang dan Lin (2003) yang meneliti 106 pasien lansia yang mengalami stroke, mengemukakan bahwa pada pasien stroke yang mengalami depresi ringan mencapai 27,49% dan yang mengalami depresi sedang sampai berat mencapai 7,5%. Penelitian lain yang dilakukan oleh Fuh (1997) menyatakan bahwa kejadian depresi terhadap 45 pasien lansia yang mengalami stroke sebanyak 62,2%. Penelitian Sit, Wong, Clinton dan Li (2007) mengatakan 95% pasien stroke menemukan kejadian depresi pada 48 jam pasca masuk rumah sakit sebesar 69% dan 6 bulan pascanya sebesar
(23)
48%. Penelitian yang dilakukan oleh. Bergersen (2010) di Norwegia yang meneliti tentang kecemasan dan depresi 2 sampai 5 tahun pasca stroke menemukan bahwa dengan menggunakan The Hospital and Depression Scale
(HADS) mengidentifikasi 36% mengalami kecemasan dan 28% mengalami depresi
Mengingat adanya permasalahan akibat dari stroke maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan kemampuan fungsi tubuh dan dukungan keluarga dengan depresi pada pasien pasca stroke, sehingga dengan mengetahui secara jelas hubungan antara kemampuan fungsi tubuh dan dukungan keluarga dengan depresi, maka data tersebut dapat dijadikan sebagai bahan acuan untuk mengembangkan intervensi keperawatan yang dapat berkontribusi positif untuk pasien stroke, sebagai upaya pencegahan maupun perawatan secara optimal.
1.2 Permasalahan
Stroke berkaitan dengan obstruksi aliran darah ke otak yang mempunyai dampak pada fungsi tubuh. Salah satu dampak dari stroke itu adalah kerusakan persyarafan pada anggota tubuh yang mengakibatkan kemampuan fungsi tubuh terganggu. Kemampuan fungsi tubuh seperti motorik, sensibilitas, saraf otonom, kesadaran, fungsi luhur. Penurunan kemampuan fungsi tubuh tersebut perlu dukungan keluarga berupa dukungan emosional, informasional, instrumental dan dukungan penghargaan untuk mencapai proses penyembuhan. Dukungan keluarga sangat dibutuhkan pasien supaya tidak terdorong kedalam gejala depresi yang berdampak pada motivasi
(24)
dan rasa percaya diri. Gejala psikologis ini akan berdampak negatif terhadap masa pemulihan dan hubungan sosial dengan lingkungan sekitarnya, Permasalahan dalam penelitian ini adalah “ Bagaimanakah hubungan antara kemampuan fungsi tubuh dan dukungan keluarga dengan depresi pada pasien pasca stroke.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk menganalisa hubungan antara kemampuan fungsi tubuh dan dukungan keluarga dengan depresi pada pasien pasca stroke.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk :
1. Untuk mengetahui karakteristik status perkawinan, lama menderita stroke, jenis kelamin, usia, pendidikan pada pasien pasca stroke.
2. Menganalisa kemampuan fungsi tubuh pada pasien pasca stroke. 3. Menganalisa dukungan keluarga pada pasien pasca stroke. 4. Menganalisa depresi pada pasien pasca stroke.
5. Menganalisa hubungan kemampuan fungsi tubuh dengan depresi pada pasien pasca stroke.
6. Menganalisa hubungan dukungan keluarga dengan depresi pada pasien pasca stroke.
(25)
1.4 Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah
1. Ada hubungan kemampuan fungsi tubuh dengan depresi pada pasien pasca stroke.
2. Ada hubungan dukungan keluarga dengan depresi pada pasien pasca stroke.
1.5 Manfaat Penelitian
1. Bagi pelayanan keperawatan
Menambah pengetahuan dan kesadaran perawat tentang pentingnya memperhatikan aspek fisik, psikososial pada penanganan pasien stroke, sehingga pelayanan yang diberikan semakin berkualitas dan profesional.
2. Bagi perkembangan ilmu keperawatan
Sebagai landasan untuk melakukan deteksi dini terhadap gangguan fisik, psikososial berupa kemampuan fungsi tubuh, dukungan keluarga dan depresi yang dapat mempengaruhi prognosis dan proses pemulihan pasien pasca stroke.
3. Manfaat untuk Pengembangan Ilmu Keperawatan
Penelitian ini dapat dijadikan sebagai pedoman untuk penelitian selanjutnya pada perawatan penyakit stroke dengan sudut pandang yang berbeda dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas asuhan keperawatan.
(26)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Stroke
2.1.1 Definisi stroke
Stroke atau penyakit penurunan fungsi neurologikyang diebabkan oleh gangguan akibat pembatasan atau terhentinya aliran darah melalui sistem suplai arteri otak (Black & Hawks, 2009).
Stroke merupakan suatu sindroma klinis dengan gejala gangguan fungsi otak secara fokal atau global yang berlangsung 24 jam atau lebih yang dapat mengakibatkan kematian atau kecacatan yang menetap tanpa ada penyebab lain selain gangguan pembuluh darah otak (Tarwoto, Watonah, & Suryati, 2007). 2.1.2 Etiologi Stroke
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan stroke diantaranya sebagai berikut (Black & Hawks, 2009) :
a. Trombosis (bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher). Trombus dimulai bersamaan dengan kerusakan dinding pembuluh darah endotel. Aterosklerosis adalah pencetus utamanya. Trombus dapat terjadi di mana saja di sepanjang arteri karotis dan cabang-cabangnya. Trombosis merupakan penyebab stroke yang paling utama, kurang lebih sekitar 60% dari kejadian stroke.
b. Embolisme serebral (bekuan darah atau material lain yang dibawa ke otak dari bagian ogan tubuh yang lain). Mayoritas emboli berasal dari lapisan
(27)
endokardium jantung, dimana plak keluar dari endokardium dan masuk ke sirkulasi. Embolisme serebral merupakan penyebab kedua stroke, kurang lebih sekitar 24% dari kejadian stroke.
c. Hemoragik serebral (pecahnya pembuluh darah serebral dengan perdarahan ke dalam jaringan otak atau ruang sekitar otak). Hipertensi adalah penyebab utama perdarahan intraserebral. Prognosis pasien dengan perdarahan intraserebral buruk, 50% kematian terjadi dalam 48 jam pertama. Tingkat kematian akibat perdarahan intraserebral berkisar antara 40% - 80%.
d. Penyebab lain contohnya spasme arteri serebral karena iritasi, mengurangi perfusi ke area otak yang disuplai oleh pembuluh darah yang mengalami konstriksi tersebut; status hiperkoagulasi dapat mengakibatkan terjadinya trombosis dan stroke iskemik, kompresi pembuluh darah serebral yang diakibatkan dari tumor, bekuan darah yang besar ukurannya, atau abses otak, tapi penyebab ini umumnya jarang terjadi.
2.1.3 Klasifikasi Stroke
Stroke dapat dibagi dalam 2 (dua) kelompok besar yaitu : a. Stroke Iskemik
Sekitar 80 - 85 persen stroke adalah stroke iskemik, yang terjadi akibat obstruksi atau bekuan di salah satu atau lebih arteri besar pada sirkulasi serebrum. Berdasarkan penyebabnya menurut Hickey (1997) terdapat lima subtipe dasar pada stroke iskemik yaitu :
(28)
1) Stroke Lakunar
Infark lakunar terjadi karena penyakit arteri kecil hipertensi dan menyebabkan sindrom stroke yang biasanya muncul dalam beberapa jam atau kadang-kadang lebih lama dengan angka kejadiannya sekitar 25%. Infark lakunar merupakan infark yang terjadi pasca oklusi aterotrombotik. Trombosis yang terjadi dalam pembuluh ini menyebabkan daerah infark yang kecil dan lunak yang disebut dengan lakuna. Perubahan yang terjadi pada pembuluh-pembuluh ini disebabkan oleh disfungsi endotel karena penyakit hipertensi persisten.
2) Trombosis arteri besar atau penyakit aterosklerotik
Stroke jenis ini berkaitan dengan lesi aterosklerotik yang menyebabkan penyempitan atau stenosis di arteria karotis interna dengan angka kejadiannya sekitar 20%. Trombosis pembuluh darah otak cenderung memiliki awitan yang bertahap, bahkan berkembang dalam beberapa hari dan dikenal dengan istilah stroke in evolution. Pelannya aliran darah pada arteri yang mengalami trombosis parsial mengakibatkan defisit perfusi dan menyebabkan reduksi mendadak curah jantung atau tekanan darah sistemik.
3) Stroke Emboli Kardiogenik
Stroke yang terjadi akibat embolus dapat menimbulkan defisit neurologik mendadak dengan efek maksimum sejak awitan penyakit dengan angka kejadiannya sekitar 20%. Biasanya serangan terjadi saat pasien beraktivitas. Trombus embolik ini sering tersangkut di pembuluh darah yang mengalami stenosis. Penyebab terseringnya adalah atrium fibrilasi.
(29)
4) Stroke Kriptogenik
Sebagian pasien mengalami oklusi mendadak pembuluh intrakranium besar tanpa penyebab yang jelas dengan angka kejadiannya sekitar 30%. Kelainan ini disebut stroke kriptogenik karena sumbernya tersembunyi.
5) Stroke Karena Penyebab Lain
Beberapa penyebab lain stroke yang lebih jarang dengan angka kejadiannya sekitar 5% adalah displasia fibromuskular dan arteritis temporalis. Displasia fibromuskular terjadi di arteria servikalis. Pada pemeriksaan dopler, tampak banyak lesi seperti sosis di arteri, dengan penyempitan stenotik berselang-seling dengan bagian-bagian yang mengalami dilatasi. Arteritis temproralis terutama menyerang lanjut usia dimana arteri karotis eksterna dan terutama arteria temporalis mengalami peradangan granulomatosa dengan sel-sel raksasa.
b. Stroke Hemoragik
Terjadi sekitar 15% – 20% dari semua jenis stroke, dapat terjadi apabila lesi vaskular intraserebrum mengalami ruptur sehingga terjadi perdarahan ke dalam ruang subarakhnoid atau langsung ke dalam jaringan otak. Tipe-tipe perdarahan yang mendasari stroke hemoragik adalah :
1) Perdarahan Intraserebral
Perdarahan intraserebral paling sering terjadi akibat cedera vaskular yang dipicu oleh hipertensi dan ruptur salah satu dari banyak arteri yang menembus ke dalam jaringan otak. Perdarahan menyebabkan elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar menekan neuron-neuron di daerah yang terkena dan sekitarnya. Jumlah darah yang keluar menentukan prognosis. Apabila volume darah lebih dari
(30)
60 cc maka risiko kematian sebesar 71% – 93%. Sedangkan bila volume perdarahan antara 30 cc – 60 cc, kemungkinan kematian sebesar 75% dan apabila perdarahan hanya 5 cc namun terletak di pons, maka akibatnya sangat fatal (Fayad & Awad, 1998 dalam Misbach, 1999).
2) Perdarahan Subarakhnoid
Perdarahan subarakhnoid relatif kecil jumlahnya kurang dari 0,01% dari populasi USA, sedangkan di ASEAN 4% hospital based dan di Indonesia 4,2% hospital based (Misbach, 1999). Gejala perdarahan yang timbul sangat khas disertai dengan keluhan nyeri kepala hebat pada saat onset penyakit. Stroke jenis ini dapat menyebabkan kematian pada 12,5% kasus (Kassel et al, 1990 dalam Misbach, 1999).
2.1.4 Faktor Resiko Terjadi Stroke
Penggolongan faktor risiko stroke didasarkan pada dapat atau tidaknya risiko tersebut ditanggulangi atau diubah.
a. Faktor risiko yang tidak dapat diubah (AHA/ASA, 2010). 1) Usia
Kemunduran sistem pembuluh darah meningkat seiring dengan bertambahnya usia hingga makin bertambah usia makin tinggi kemungkinan mendapat stroke. Dalam statistik, faktor ini menjadi 2 kali lipat pasca usia ≥ 55 tahun.
2) Jenis Kelamin
Stroke diketahui lebih banyak diderita laki‐laki dibanding perempuan. Kecuali umur 35–44 tahun dan diatas 85 tahun, lebih banyak diderita
(31)
perempuan. Hal ini diperkirakan karena pemakaian obat kontrasepsi oral dan usia harapan hidup perempuan yang lebih tinggi dibanding laki‐laki. Perempuan Indonesia mempunyai usia harapan hidup tiga sampai empat tahun lebih tinggi dari usia harapan hidup laki-laki.
3) Ras
Penduduk Afrika-Amerika dan Hispanic-Amerika berpotensi stroke lebih tinggi dibanding Eropa-Amerika. Pada penelitian penyakit arterosklerosis terlihat bahwa penduduk kulit hitam mendapat serangan stroke 38% lebih tinggi dibanding kulit putih.
4) Faktor Keturunan
Adanya riwayat stroke pada orang tua, meningkatkan faktor risiko terjadinya stroke. Hal ini diperkirakan melalui beberapa mekanisme antara lain faktor genetik, faktor kultur atau lingkungan dan life style, interaksi antara faktor genetik dan lingkungan.
b. Faktor risiko yang dapat diubah
Stroke pada prinsipnya dapat dicegah. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa 50% kematian akibat stroke pada pasien yang berusia di bawah 70 tahun dapat dicegah dengan menerapkan pengetahuan yang ada (Black & Hawks, 2009).
1) Hipertensi
Makin tinggi tekanan darah, makin tinggi kemungkinan terjadinya stroke, baik perdarahan maupun iskemik. Faktor risiko stroke terbanyak adalah
(32)
hipertensi dengan 71% dari 3723 kasus (Misbach, 1999). Pengendalian tekanan darah dapat mengurangi 38% insiden stroke (Black & Hawks, 2009).
2) Merokok
Merokok merupakan masalah kesehatan yang utama di banyak negara berkembang termasuk Indonesia. Rokok mengandung lebih dari 4000 jenis bahan kimia yang di antaranya bersifat karsinogenik atau mempengaruhi sistem vaskular. Penelitian menunjukkan bahwa merokok merupakan faktor risiko terjadinya stroke, terutama dalam kombinasi dengan faktor risiko yang lain misalnya pada kombinasi merokok dan pemakaian obat kontrasepsi oral. Hal ini juga ditunjukkan pada perokok pasif. Merokok meningkatkan terjadinya trombus, karena terjadinya arterosklerosis. Merokok berkontribusi 12% - 14% kematian akibat stroke (America Heart Association /America Stroke Association (AHA/ASA), 2010). Menurut WHO dalam world health statistik (2007), total jumlah kematian akibat tembakau (merokok) diproyeksikan naik dari 5,4 juta pada tahun 2005 menjadi 6,4 juta pada tahun 2015 dan 8,3 juta pada tahun 2030.
3) Diabetes Melitus (DM)
DM merupakan penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya. Faktor risiko stroke akibat DM sebanyak 17,3% (Misbach, 1999). Pasien DM cenderung menderita arterosklerosis dan meningkatkan terjadinya hipertensi, kegemukan dan kenaikan kadar kolesterol. Kombinasi hipertensi dan diabetes sangat menaikkan komplikasi diabetes termasuk stroke (AHA/ASA, 2010).
(33)
4) Kelainan Jantung
Kelainan jantung merupakan sumber emboli untuk terjadinya stroke. Yang tersering adalah atrium fibrilasi. Setiap tahun, 4% dari pasien atrium fibrilasi mengalami stroke (AHA/ASA, 2010). .
5) Dislipidemia
Meningkatnya kadar kolesterol total dan Low Density Lipoprotein (LDL) berkaitan erat dengan terjadinya aterosklerosis. Kolesterol LDL yang tinggi merupakan risiko terjadinya stroke iskemik. Kejadian stroke meningkat pada pasien dengan kadar kolesterol total di atas 240 mg/dL. Setiap kenaikan kadar kolesterol total 38,7 mg/dl, meningkatkan risiko stroke sebanyak 25% (AHA/ASA, 2010).
6) Latihan Fisik
Pasien stroke direkomendasikan melakukan latihan fisik (olah raga) secara teratur 3–7 hari per minggu dengan durasi 20–60 menit per hari (AHA/ASA, 2010). Latihan fisik secara teratur membantu mengurangi timbulnya penyakit jantung dan stroke. Ketidakaktifan, kegemukan atau keduanya berisiko meningkatkan tekanan darah, kolesterol darah, diabetes, penyakit jantung dan stroke (AHA/ASA, 2010).
7) Kegemukan
Kegemukan biasanya berhubungan dengan pola makan, DM tipe 2 disebabkan peningkatan kadar kolesterol dan peningkatan tekanan darah. Penghitungan kegemukan berdasarkan BMI (Body Mass Index) yaitu underweight < 18,5, normal 18,5–24,9, overweight 25–29,9, obesitas I 30–4,5, obesitas II 35–
(34)
39,9 dan extreme obesity > 40. Central obesitas/gemuk perut dihitung jika lingkar pinggang (waist circumference) pada laki-laki > 102 cm dan perempuan > 88 cm (NHLBI, 2007).
8) Pola Diit
Aspek diit yang dihubungkan dengan risiko terjadinya stroke adalah intake sodium yang tinggi dan nutrisi tinggi lemak. Efek potensial sodium dan lemak terhadap kejadian stroke dihubungkan dengan peningkatan tekanan darah (AHA/ASA, 2010). .
9) Konsumsi Alkohol
Konsumsi alkohol berlebihan merupakan faktor utama terjadinya hipertensi dan penyakit yang berhubungan dengan hipertensi adalah stroke (AHA/ASA, 2010). Penelitian yang dilakukan di Cina pada 1991 dan dilakukan follow up tahun 1999 dan 2000 menunjukkan pemakaian alkohol yang berlebihan (lebih dari 1750 mL per minggu) secara signifikan meningkatkan insiden stroke sebesar 22% dan risiko kematian 30% lebih tinggi dari non pemakai alkohol (Bazzano, 2000).
10) Drug Abuse/Narkoba
Pemakaian obat-obatan seperti cocain, amphetamine, heroin dan sebagainya meningkatkan terjadinya stroke. Obat-obat ini dapat mempengaruhi tekanan darah secara tiba-tiba dan menyebabkan terjadinya emboli (AHA/ASA, 2010).
(35)
11) Pemakaian Obat Kontrasepsi Oral
Risiko stroke meningkat jika memakai obat kontrasepsi oral dengan dosis tinggi. Umumnya risiko stroke terjadi jika pemakaian ini dikombinasi dengan adanya usia lebih dari 35 tahun, perokok, hipertensi dan diabetes (Hershey, 1999 dalam Black & Hawks, 2009).
12) Gangguan Pola Tidur
Gangguan pola tidur ini dikenal dengan istilah sleep disordered breathing (SDB). Penelitian membuktikan bahwa tidur mendengkur meningkatkan terjadinya stroke. Pola tidur mendengkur sering disertai apnea (henti nafas), tidak hanya berpotensi menyebabkan stroke tapi juga gangguan jantung. Hal ini disebabkan penurunan aliran darah ke otak. SDB lebih sering terjadi pada laki-laki dari pada perempuan dengan perbandingan 2:1, dan terjadi mulai usia pertengahan (AHA/ASA, 2010). .
13) Kenaikan Lipoprotein (a)/ Lp (a)
Lipid protein kompleks yang meningkat merupakan risiko terjadinya penyakit jantung dan stroke. Lp (a) merupakan partikel dari LDL dan peningkatannya akan meningkatkan terjadinya trombosis dengan mekanisme menghambat plasminogen aktivator. Dibanding dengan faktor risiko stroke yang lain (hipertensi, hiperkolesterolemia, hipertrigliserid, penyakit jantung, DM) (AHA/ASA, 2010).
2.1.5 Manifestasi Klinis Stroke
Menurut Lewis, Dirksen, Heitkemper, Bucher dan Camera (2011) stroke dapat menimbulkan efek pada berbagai fungsi tubuh, meliputi :
(36)
aktivitas motorik, eliminasi bowel dan urin, fungsi intelektual, kerusakan persepsi sensori, kepribadian, afek, sensasi, menelan, dan komunikasi. Fungsi-fungsi tubuh yang mengalami gangguan tersebut secara langsung terkait dengan arteri yang tersumbat dan area otak yang tidak mendapatkan perfusi adekuat dari arteri tersebut. yaitu:
a. Kehilangan Fungsi Motorik
Defisit motorik merupakan efek stroke yang paling jelas terlihat. Defisit motorik meliputi kerusakan : mobilitas, fungsi respirasi, menelan dan berbicara, refleks gag, dan kemampuan melakukan aktivitas sehari-hari (Smeltzer et al,
Disfungsi motorik yang paling sering terjadi adalah hemiplegia (paralisis pada satu sisi tubuh) (Lewis
2010). Gejala-gejala yang muncul diakibatkan oleh adanya kerusakan motor neuron pada jalur piramidal (berkas saraf dari otak yang melewati spinal cord menuju sel-sel motorik). Stroke mengakibatkan lesi pada motor neuron atas upper motor neuron (UMN) dan mengakibatkan hilangnya kontrol volunter terhadap gerakan motorik. Karakteristik defisit motorik meliputi akinesia, gangguan integrasi gerakan, kerusakan tonus otot, dan kerusakan refleks. Karena jalur piramidal menyeberang pada saat di medulla, kerusakan kontrol motorik volunter pada satu sisi tubuh merefleksikan adanya kerusakan motor neuron atas di sisi yang berlawanan pada otak (kontralateral).
et al, 2011). Pada fase akut stroke, gambaran klinis yang muncul adalah paralisis flaksid dan hilang atau menurunnya refleks tendon, saat refleks tendon ini muncul kembali (biasanya
(37)
48 jam), peningkatan tonus otot dapat dilihat bersamaan dengan spastisitas (peningkatan tonus otot abnormal) pada ekstremitas yang terkena. Luas dan tipe gangguan pada pasien stroke tergantung dari jumlah dan lokasi dari daerah otak yang terserang. Seseorang dapat mengalami stroke yang berat maupun ringan, dengan gangguan pada motorik, sensorik, kognitif maupun gangguan dalam hal komunikasi (Sarafino, 2006).
Kejadian stroke dapat menimbulkan kecacatan bagi penderita yang mampu bertahan hidup. Kecacatan pada penderita stroke di akibatkan oleh gangguan organ atau gangguan fungsi organ seperti hemiparesis. Adapun kecacatan yang dialami oleh penderita stroke meliputi ketidakmampuan berjalan, ketidakmampuan berkomunikasi, serta ketidakmampuan perawatan diri (Wirawan, 2009)
b. Kehilangan Fungsi Komunikasi
Fungsi otak lain yang dipengaruhi adalah bahasa dan komunikasi. Stroke adalah penyebab utama terjadinya afasia (Lewis et al, 2011). Disfungsi bahasa dan komunikasi akibat stroke adalah disartria (kesulitan berbicara), disfasia (kesulitan terkait penggunaan bahasa), apraksia (ketidakmampuan untuk melakukan tindakan yang telah dipelajari), (Lewis et al, 2011). Penelitian Townend, Brady dan MacLaughlan (2007, dalam Kontou, 2009) hampir setengah 46% partisipan teridentifikasi mengalami afasia. Sekitar 36,4% penderita afasia pasca stroke menunjukkan performa yang lebih baik setelah mpengikuti terapi wicara (Klebic, Salihovic, Softic, & Salihovic, 2011)
(38)
c. Kerusakan Afek
Pasien yang pernah mengalami stroke akan kesulitan mengontrol emosinya (Lewis et al, 2011). Respon emosinya tidak dapat ditebak. Perasaan depresi akibat perubahan gambaran tubuh dan hilangnya berbagai fungsi tubuh dapat membuat makin parah. Penelitian Silaen, Rambe, dan Nasution (2008) menemukan adanya hubungan perubahan kepribadian dan gangguan emosi pada pasien stroke. Bogousslavsky (2003) melalui studi kohort menemukan 300 pasien mengalami sadness (72%), disinhibition (56%), lack of adaptation (44%), environmental withdrawal (40%), crying (27%),
passivity (24%) dan aggressiveness (11%). d. Kerusakan Fungsi Intelektualitas
Baik itu memori maupun penilaian dapat terganggu sebagai akibat dari stroke (Black & Hawk, 2009). Pasien dengan stroke otak kiri sering sangat berhati-hati dalam membuat penilaian. Pasien dengan stroke otak kanan cenderung lebih impulsif dan bereaksi lebih cepat. Penelitian yang dilakukan (Suwantara, 2004) menyimpulkan bahwa sekitar 15 - 25% penderita stroke menunjukkan gangguaun kognitif yang nyata setelah mengalami serangan akut.
e. Gangguan Persepsi dan Sensori
Persepsi adalah kemampuan untuk menginterpretasikan sensasi. Stroke dapat mengakibatkan disfungsi persepsi visual, gangguan dalam hubungan visuospasial, dan kehilangan sensori (Black & Hawks, 2009). Disfungsi persepsi visual diakibatkan oleh adanya gangguan jalur sensori
(39)
primer antara mata dan korteks visual. Hilangnya sensori akibat stroke dapat berupa kerusakan yang ringan seperti sentuhan atau kerusakan yang lebih berat yaitu hilangnya propriosepsi (kemampuan untuk menilai posisi dan gerakan bagian-bagian tubuh) dan kesulitan menginterpretasi stimulus visual, taktil dan auditori. Penelitian Conell (2007) menemukan 7-53% pasien stroke mengalami kerusakan rangsang taktil dan 17% mengalami kerusakan persepsi terhadap suhu.
f. Gangguan Eliminasi
Kebanyakan masalah yang terkait dengan eliminasi urin dan bowel terjadi pada tahap akut dan bersifat sementara. Saat salah satu hemisfer otak terkena stroke, prognosis fungsi kandung kemih baik. Awalnya, pasien dapat mengalami urgensi dan inkontinensia. Walaupun kontrol motor bowel biasanya tidak terganggu, pasien sering mengalami konstipasi yang diakibatkan oleh imobilitas, otot abdomen yang melemah, dehidrasi dan respon yang menurun terhadap refleks defekasi (Black & Hawk, 2009). Masalah eliminasi urin dan bowel dapat juga disebabkan oleh ketidakmampuan pasien mengekspresikan kebutuhan eliminasi. Penelitan yang dilakukan Britain dan Peet (2010) melaporkan bahwa sekitar 32% - 79% pasien stroke mengalami inkontinensi saat masuk rumah sakit dan penelitian ini mencatat bahwa 25% - 28% masih mengalami inkontinensia urin saat pasien keluar rumah sakit..
(40)
2.2 Kemampuan Fungsi Tubuh
2.2.1 Pengertian Kemampuan Fungsi Tubuh
Menurut Perry dan Potter (2005) kemampuan fungsi tubuh sebagai kapasitas fungsi tubuh dan penurunannya dapat dilihat dari kapasitas residual dengan defisit fungsi residual. Defisit fungsi residual adalah perbedaan fungsi original dan fungsi residual.
Fungsi residual stroke terjadi pada fungsi motorik, fungsi sensorik, fungsi kognitif. Sistem saraf pusat yang terdiri dari otak dan medulla spinalis akan mengalami kerusakan bila suplai darah yang membawa oksigen dan nutrisi terhenti (Black & Hawks, 2009).
Stroke sebagai salah satu penyakit gangguan peredaran darah ke otak yang menimbulkan kecacatan pada penderitanya. Kecacatan yang ditimbulkan akibat stroke dapat berupa hemiparesis bilateral, demensia, dan parkinson (Santoso, 2003). Studi cross sectional yang dilakukan Haqhqoo, Pazuki, Hosseini, dan Rassafiani (2013) menemukan sekitar 65,5% penderita stroke ketergantungan dan membutuhkan bantuan orang lain, sekitar 72,5% penderita stroke yang ketergantungan, ditemukan berada pada keadaan depresi sedang dan depresi berat (Haqhqoo, et al.
Keadaan pasien pasca stroke dalam perjalanannya sangat beragam. Setelah menjalani perawatan dirumah sakit, kemungkinan yang dialami oleh pasien stroke meninggal dunia, sembuh tanpa cacat dan sembuh dengan kecacatan
, 2013). Ketergantungan dan kelemahan dianggap oleh penderita stroke sebagai beban bagi keluarga ataupun orang lain (Thomas & Lincoln, 2008). 2.2.3 Kemampuan fungsi tubuh pada pasca stroke
(41)
(Lewis et al, 2011). Kematian akibat stroke ditemukan pada 10 - 30% pasien yang dirawat dan 70 - 90% penderita yang hidup pasca stroke (Pinzon & Asanti, 2010). Pasien pasca stroke pada awalnya digambarkan dengan adanya gangguan kesadaran, tidak sadar, bingung, sakit kepala, sulit konsentrasi dan disorientasi. Gangguan kesadaran dapat muncul dalam bentuk perasaan ingin tidur, sulit mengingat, penglihatan kabur, menurunnya kekuatan otot dan koordinasi, sulit membaca, kesulitan menyusun kata-kata, kesulitan mengintrol buang air besar dan kecil, kesulitan menelan dan bernapas, kaki menjadi kaku, terkulai dan hilang koordinasi gerakan (Black & Hawks, 2009)
2.2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan fungsi tubuh a. Motorik
Traktus kortikospinal merupakan elemen utama dari sistem piramidal dan merupakan satu satunya hubungan langsung antara korteks dan medulla spinalis. Fungsi dari taktus kortikospinalis yaitu untuk mengatur tonus otot dan memelihara menegakkan postur. Fungsi ini dipengaruhi juga oleh formasio retikularis, nucleus vestibularis, dan beberapa otak tengah. Dua struktur otak lain yang penting untuk fungsi motor yaitu serebelum dan ganglia basalis. Aktifitas serebelum dan ganglia basalis ini memperhalus gerakan otot. Ganglia basalis mendapatkan input dari korteks motorik kemudian memberikan output ke korteks. Supaya dapat terjadi gerakan, pusat motor membutuhkan informasi yang konstan dari reseptor otot, sekitar sendi dan pada kulit, mengenai apakah gerakan sesuai dengan perencanaan (Black & Hawks, 2009)
(42)
b. Fungsi luhur
Proses kognitif atau proses mental luhur adalah proses berfikir bersama-sama dengan mekanisme persepsi, belajar, mengingat, memberikan informasi, membuat keputusan dan membentuk fungsi psikologis secara kolektif. Kerusakan hemisfer kiri akan menimbulkan gangguan kemampuan berbahasa, membaca, menulis, menghitung, memori verbal dan gerakan motorik terampil. Penurunan kognitif berkaitan erat dengan penurunan penampilan aktivitas hidup daripada defisit motorik. Gangguan fungsi kognitif merupakan gangguan fungsi luhur otak berupa gangguan orientasi, perhatian, konsentrasi, daya ingat dan bahasa serta fungsi intelektual yang diperlihatkan dengan adanya gangguan dalam berhitung, bahasa, daya ingat dan pemecahan masalah. Stroke merupakan penyebab utama kecacatan fisik maupun mental pada usia produktif dan usia lanjut. Stroke menyebabkan gangguan neurologis berdasarkan berat ringannya gangguan pembuluh darah (Muttaqin, 2008)
c. Keseimbangan
Pasien dengan stroke akan mengalami banyak gangguan-gangguan yang bersifat fungsi tubuh. Gangguan keseimbangan berdiri pada pasien stroke berhubungan dengan ketidakmampuan untuk mengatur perpindahan berat badan dan kemampuan gerak otot yang menurun sehingga kesetimbangan tubuh menurun. Pasien dengan stroke berulang memiliki masalah dengan kontrol postural, sehingga menghambat gerakan mereka. Pada pasien stroke, mereka berusaha membentuk gerakan kompensasi untuk gangguan kontrol postur mereka, kompensasi ini tidak selalu menjadi hasil yang optimal. Pasien dengan
(43)
gangguan keseimbangan yang moderat hingga berat menggunakan banyak gerakan tambahan sebagai kompensasi dari defisit motoriknya, sedangkan untuk pasien dengan gangguan keseimbangan yang ringan, mereka memiliki kemampuan melakukan gerakan yang hampir sama dengan pola gerak normal (Black & Hawks, 2009)
d. Kesadaran
Penurunan kesadaran pada pasien stroke apabila yang diserang batang otak, akan mengalami gangguan pada fungsi kesadaran, pernafasan dan aliran darah ke otak menurun. Apabila yang mengalami gangguan pada fungsi kesadarannya maka akan terjadi penurunan tingkat kesadaran, hal tersebut dapat mengakibatkan apatis sampai dengan koma (Lewis et al, 2011).
e. Fungsi Penglihatan
Gangguan lapangan pandang pada stroke terjadi bila lesi terdapat pada nervus optikus dan lintasan visualnya, kortek visual, traktus optikus. Manifestasinya bisa kebutaan satu mata, hemianopia bitemporal, hemianopia binasal, hemianopia homonym dextra/sinistra. Gangguan ini bisa terjadi pada stroke iskemik maupun stroke hemoragik akibat gangguan vascular otak anterior maupun posterior (Lewis et al, 2011).
f. Saraf otak
Pada batang otak dimana terdapat dua belas saraf kranial bila mengalami gangguan akan terjadi menurun kemampuan membau, mengecap, refleks menurun, ekspresi wajah terganggu, pernafasan dan detak jantung terganggu, lidah lemah ( Lumbantobing, 2012).
(44)
2.2.5 Pengukuran Kemampuan Fungsi tubuh
National Instutes of Health Stroke Scale (NIHSS) mengukur tanda neurologis yang dilakukan dengan pemeriksaan. Skala ini terdiri dari penilaian kesadaran, respon terhadap pertanyaan, mengikuti perintah, gerakan mata konyugat horizontal, pemeriksaan lapangan pandang, unilateral negleg, paresis wajah, motorik lengan dan kaki, ataksia anggota badan, sensorik, bahasa, dysatria dan (Lewis et al, 2009). Hasil penelitian Berger et al (1999) penggunaan NIHSS dapat digunakan untuk melihat kondisi pasien stroke dari fase akut hingga rehabilitasi dengan reliabilitas kappa NIHSS 0,80.
2.3 Dukungan Keluarga
2.3.1 Pengertian Dukungan Keluarga
Dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap penderita yang sakit (Suprajitno, 2004). Menurut (Friedman ,2000), keluarga berfungsi sebagai system pendukung bagi anggotanya. Anggota keluarga juga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan. Dukungan keluarga merupakan suatu bentuk perhatian, dorongan yang didapatkan individu dari orang lain melalui hubungan interpersonal yang meliputi perhatian, emosional dan penilaian (Stolte, 2004).
Keluarga dipandang sebagai suatu sistem, jika terjadi gangguan pada salah satu anggota keluarga dapat mempengaruhi seluruh system, sebaliknya disfungsi keluarga dapat pula menjadi salah satu penyebab terjadinya gangguan pada anggota keluarga (Keliat, 1996).
(45)
Menurut Wills dan Fegan (1985 dalam Sarafino, 2006) menyatakan bahwa dukungan keluarga mengacu pada bantuan yang diterima individu dari orang lain atau kelompok sekitar yang membuat penerima merasa nyaman, dicintai dan dihargai serta dapat menimbulkan efek positif bagi dirinya. Peningkatan dukungan keluarga yang tersedia dapat menjadi strategi penting dalam mengurangi atau mencegah tekanan jiwa dan menangkal depresi pasca stroke (Salter, Foley, & Teasell, 2010). Mant, Carter, Wade, dan Winner (2000) menyatakan bahwa ada hubungan dukungan keluarga dengan peningkatan aktivitas sosial dan kualitas hidup pasien stroke. Selain itu dukungan keluarga dapat membantu perawat dalam perencanaan program penyembuhan stroke, pendidikan pasien, keefektifan dan efisiensi penggunaan sumber daya perawatan kesehatan (Huang, Hsu, Cheng, Lin, & Chuang, 2010).
2.3.2 Jenis Dukungan Keluarga
Menurut Friedman (1998) jenis dukungan keluarga adala : a. Dukungan Informasional
Keluarga berfungsi sebagai kolektor dan diseminator informasi munculnya suatu stressor karena informasi yang diberikan dapat menyumbangkan aksi sugesti yang khusus pada individu. Aspek-aspek dalam dukungan ini adalah nasehat, saran, petunjuk dan pemberian informasi. Untuk pasien stroke diberikan informasi oleh keluarganya tentang penyakit stroke serta pengelolaannya. Menurut Sarafino (2004) dukungan informasi itu berupa nasehat, saran dan feedback tentang apa yang telah dan sedang
(46)
dilakukan seseorang misalnya pemberian informasi penyakit oleh dokter kepada pasien.
b. Dukungan Emosional
Keluarga sebagai tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan belajar serta membantu penguasaan terhadap emosi, diantaranya menjaga hubungan emosional meliputi dukungan yang diwujudkan dalam bentuk afeksi, adanya kepercayaan, perhatian dan mendengarkan atau didengarkan saat mengeluarkan perasaanya.
c. Dukungan Instrumental
Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan konkrit, diantaranya keteraturan menjalani terapi, kesehatan penderita dalam hal kebutuhan makan dan minum, istirahat, dan terhindarnya penderita dari kelelahan. Dukungan ini juga mencakup bantuan langsung, seperti dalam bentuk uang, peralatan, waktu, modifikasi lingkungan maupun menolong pekerjaan pada saat penderita mengalami stress.
d. Dukungan Penghargaan
Keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan balik, membimbing dan menengahi pemecahan masalah, terjadi lewat ungkapan rasa hormat (penghargaan) serta sebagai sumber dan validator identitas anggota keluarga, diantaranya adalah memberikan penghargaan dan perhatian saat pasien menjalani rehabilitasi. Dukungan keluarga terhadap pasien stroke baik fase akut maupun pasca stroke sangat dibutuhkan untuk mencapai proses penyembuhan/pemulihan.
(47)
Dukungan keluarga memainkan peran penting dalam mengintensifkan perasaan sejahtera, orang yang hidup dalam lingkungan yang supportif kondisinya jauh lebih baik daripada mereka yang tidak memilikinya. Dukungan tersebut akan tercipta bila hubungan interpersonal diantara mereka baik. Ikatan kekeluargaan yang kuat sangat membantu ketika keluarga menghadapi masalah, karena keluarga adalah orang yang paling dekat hubungannya dengan anggota keluarganya (Friedman, 1998).
2.3.3 Sumber Dukungan Keluarga
Dukungan sosial keluarga mengacu kepada dukungan sosial yang di pandang oleh keluarga sebagai sesuatu yang dapat diAKSes atau diadakan untuk keluarga (dukungan sosial bisa atau tidak digunakan, tetapi anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan). Dukungan social keluarga dapat berupa dukungan sosial kelurga internal, seperti dukungan dari suami atau istri serta dukungan dari saudara kandung atau dukungan sosial keluarga eksternal (Friedman, 1998).
2.3.4 Manfaat Dukungan Keluarga
Dukungan sosial keluarga adalah sebuah proses yang terjadi sepanjang masa kehidupan, sifat dan jenis dukungan sosial berbeda-beda dalam berbagai tahap-tahap siklus kehidupan. Namun demikian, dalam semua tahap siklus kehidupan, dukungan sosial keluarga membuat keluarga mampu berfungsi dengan berbagai kepandaian dan akal. Sebagai akibatnya, hal ini meningkatkan kesehatan dan adaptasi keluarga (Friedman, 1998).
(48)
Menurut Serason (1993 dalam Kuncoro, 2002) berpendapat bahwa dukungan keluarga mencakup jumlah sumber dukungan yang tersedia dan tingkat kepuasan akan dukungan yang diterima individu.
Menurut Wills (1985 dalam Friedman, 1998) menyimpulkan bahwa baik efek-efek penyangga (dukungan sosial menahan efek-efek negatif dari stres terhadap kesehatan) dan efek -efek utama (dukungan sosial secara langsung mempengaruhi akibat-akibat dari kesehatan) pun ditemukan. Sesungguhnya efek-efek penyangga dan utama dari dukungan social terhadap kesehatan dan kesejahteraan boleh jadi berfungsi bersamaan. Secara lebih spesifik, keberadaan dukungan sosial yang adekuat terbukti berhubungan dengan menurunnya mortalitas, lebih mudah sembuh dari sakit dan dikalangan kaum tua, fungsi kognitif, fisik dan kesehatan emosi (Friedman, 1998).
2.3.5 Dukungan keluarga pasca stroke
Menurut Sutrisno (2007) yang menyatakan bahwa perawatan stroke merupakan perawatan yang sulit dan terlama. Keluarga memegang peranan penting dalam proses rehabilitasi pasien stroke, rehabilitasi merupakan masa yang sulit dan dapat berlangsung enam bulan atau lebih tergantung pada kemauan dan keterlibatan keluarga (Sutrisno, 2007). Dukungan keluarga adalah dukungan yang terdiri dari atas informasi atau nasihat verbal dan non verbal bantuan nyata atau tindakan yang diberikan oleh keakraban sosial dan didapat karena kehadiran mereka dan mempunyai manfaat emosional atau
(49)
efek perilaku bagi pihakpenerima (Gottieb, 1983 dalam Nursalam & Kurniawati, 2007)
2.3.5 Faktor yang mempengaruhi dukungan keluarga
Menurut Feiring dan Lewis (1984 dalam Friedman, 1998) menyatakan bahwa:
a. Bentuk keluarga
Dukungan tersebut akan tercipta bila hubungan interpersonal diantara anggota keluarga baik. Ikatan kekeluargaan yang kuat sangat membantu ketika keluarga menghadapi masalah, karena keluarga adalah orang yang paling dekat hubungannya dengan anggota keluarganya (Friedman, 1998). Penelitian pada 64 kerabat pasien stroke memperlihatkan bahwa stroke berdampak pada gangguan fungsi sosial, fisik, dan mental bagi keluarga penyandang stroke (Pinzon et al
b.Tingkat sosial ekonomi
, 2009).
Kelas sosial ekonomi disini meliputi tingkat pendapatan atau pekerjaan dan tingkat pendidikan. Hal ini akan berdampak terhadap menurunnya tingkat produktifitas serta dapat mengakibatkan terganggunya sosial ekonomi keluarga. Selain karena besarnya biaya pengobatan paska stroke, juga yang menderita stroke adalah tulang punggung keluarga yang biasanya kurang melakukan gaya hidup sehat, akibat kesibukan yang padat (Pinzon et al, 2009).
(50)
2.3.6 Pengukuran Dukungan Keluarga
Dukungan keluarga dapat diukur dengan menggunakan instrumen
Family Apgar. Instrumen ini dikembangkan oleh Smilkstein pada tahun 1978. Fungsi instrumen ini untuk menilai dukungan keluarga berupa persepsi anggota keluarga terhadap fungsi keluarga dengan memeriksa kepuasan tentang hubungan keluarga. Kuesioner ini terdapat lima dimensi fungsi keluarga yaitu kemampuan beradaptasi, kemitraan, pertumbuhan, kasih sayang dan keputusan (Friedman, 1998). Penelitian yang dilakukan
Salter, Foley dan Teasell (2010) dengan instrument ini membuktikan peningkatan dukungan keluarga yang tersedia dapat menjadi strategi penting dalam mengurangi atau mencegah tekanan jiwa dan menangkal depresi paska stroke.
2.4 Depresi
2.4.1 Pengertian Depresi
Depresi adalah perasaan murung atau sedih yang berlangsung dalam waktu singkat dan hilang dalam beberapa hari (National Institute of Mental Health)(NIMH, 2011).
Depresi dapat diartikan sebagai salah satu bentuk gangguan alam perasaan yang ditandai dengan perasaan sedih yang berlebihan, murung, tidak bersemangat, perasaan tidak berharga, merasa kosong, putus harapan, selalu merasa dirinya gagal, tidak berminat pada kegiatan sehari-hari sampai ada ide bunuh diri (Yosep, 2009). Pada kasus patologi, depresi merupakan ketidakmampuan ekstrim untuk bereaksii terhadap
(51)
rangsang, disertai menurunya nilai dari delusi, tidak mampu dan putus asa (Maslim, 2001).
2.2.2 Ciri-ciri Umum Depresi
Menurut Nevid, Rathus, dan Greene (2003) ciri-ciri umum dari depresi adalah :
a. Perubahan pada kondisi emosional
Perubahan pada kondisi mood (periode terus menerus dari perasaan terpuruk, depresi, sedih atau muram). Penuh dengan air mata atau menangis serta meningkatnya iritabilitas (mudah tersinggung), kegelisahan atau kehilangan kesadaran.
b. Perubahan dalam motivasi
Perasaan tidak termotivasi atau memiliki kesulitan untuk memulai (kegiatan) di pagi hari atau bahkan sulit bangun dari tempat tidur. Menurunya tingkat partisipasi sosial atau minat pada aktivitas sosial. Kehilangan kenikmatan atau minat dalam aktivitas yang menyenangkan. Menurunya minat pada seks serta gagal untuk berespon pada pujian.
c. Perubahan dalam fungsi dan perilaku motorik
Gejala-gejala motorik yang dominan dan penting dalam depresi adalah retardasi motor yakni tingkah laku motorik yang berkurang atau lambat, bergerak atau berbicara dengan lebih perlahan dari biasanya. Perubahan dalam kebiasaan tidur (tidur terlalu banyak atau terlalu sedikit, bangun lebih awal dari biasanya dan merasa kesulitan untuk tidur kembali).
(52)
Penderita depresi sering duduk dengan sikap yang terkulai dan tatapan yang kosong tanpa ekspresi, perubahan dalam selera makan (makan terlalu banyak atau terlalu sedikit), perubahan dalam berat badan (bertambah atau kehilangan berat badan), beraktivitas kurang efektif atau energik dari pada biasanya,
d. Perubahan kognitif
Penderita depresi kesulitan berkonsentrasi atau berpikir jernih, berpikir negative mengenai diri sendiri dan masa depan, perasaan bersalah mengenai kesalahan dimasa lalu dan kurang self-esteem serta berpikir kematian atau bunuh diri.
2.2.3. Faktor yang mempengaruhi depresi
Beberapa faktor yang mempengaruhi munculnya depresi menurut Nevid et al
a. Usia
(2003) faktor-faktor yang meningkatkan resiko seseorang untuk terjadi depresi meliputi :
Depresi mampu menjadi kronis apabila depresi muncul untukpertama kalinya pada usia 60 tahun keatas. Berdasarkan hasil studi pasien lanjut usia yang mengalami depresi diikuti selama 6 tahun kira-kira 80% tidak sembuh namun terus mangalami depresi atau mengalami depresi pasang surut. Farrell (2004) dalam penelitiannya menyatakan bahwa depresi cenderung lebih kronis pada pasien yang lebih tua dibandingkan dengan orang dewasa muda.
(53)
b. Status pernikahan
Berlangsungnya pernikahan membawa manfaat yang baik bagi kesehatan mental laki-laki dan perempuan. Pernikahan tak hanya melegalkan hubungan asmara antara laki-laki dan perempuan, karena ikatan suami-istri ini juga dipercaya dapat mengurangi risiko mengalami depresi dan kecemasan. Namun, bagi pasangan suami istri yang gagal membina hubungan pernikahan atau ditinggalkan pasangan karena meninggal, justru akan memicu terjadinya depresi. Bisa juga tergambar bagaimana kondisi kesehatan mental bagi seseorang yang tidak pernah kawin dibandingkan dengan mereka yang mengakhiri pernikahan. Scott mengatakan dalam studi itu diketahui bahwa kawin memberikan dampak lebih baik ketimbang tidak kawin bagi kesehatan jiwa untuk semua gender (Rachmanto, 2010)
c. Jenis kelamin
Menurut Schimeilpfering (2009) beberapa faktor risiko yang telah dipelajari yang mungkin bisa menjelaskan perbedaan gender dalam prevalensi depresi. Hormon estrogen dan progesteron telah ditunjukkan untuk mempengaruhi neurotransmitter, neuroendokrin dan system sirkadian yang telah terlibat dalam gangguan suasana perasaan. Fakta bahwa perempuan sering mengalami gangguan suasana hati yang berhubungan dengan siklus menstruasi mereka, seperti gangguan pramenstruasi dysphoric, juga menunjukkan hubungan antara hormon seks wanita dan suasana perasaan. Selain itu,fluktuasi hormon yang
(54)
berhubungan dengan kelahiran adalah pemicu umum bagi gangguan suasana perasaan, walapun menopause adalah saat ketika seorang wanita risiko depresi berkurang, periomenopausal periode adalah masa peningkatan resiko bagi orang-orang dengan riwayat depresi besar. Hormon lain faktor yang dapat menyebabkan risiko wanita untuk depresi adalah perbedaan jenis kelamin berhubungan dengan hypothalmic-hipofisis-adrenal (HPA) axis dan untuk tiroid berfungsi.
d. Pengaruh Genetik
Bukti terbaik bahwa gen berhubungan dengan gangguan suasana perasaan adalah datang dari twin studies (studi orang kembar). Dalam studi ini menelaah frekuensi kembar identik (dengan gen identik) yang memiliki gangguan dibanding kembar fraternal yang hanya memiliki 50% gen identik (seperti anggota keluarga tingkat pertama lainya). Studi tersebut melaporkan bila salah satu pasangan kembar mengalami depresi berat, maka 59% diantara pasangan kembar identik dan 30 % diantara diantara fraternal juga menunjukkan adanya gangguan suasana perasaan. e. Peristiwa Kehidupan Stres
Stres dan trauma adalah dua diantara kontribusi unik yang paling menonjol didalam etiologi semua gangguan psikologis. Sebagian besar orang yang mengembangkan depresi melaporkan bahwa mereka kehilangan pekerjaan, bercerai, atau megalami stres berat yang lain. Penelitian lain yang dilakukan Dahlin et al (2006) menyatakan ada hubungan antara tingkat depresi dengan gangguan aktivitas sehari-hari.
(55)
Hal ini diperkuat oleh penelitian Sit et al (2007) bahwa gangguan aktivitas sehari-hari mempunyai hubungan yang sedang dengan depresi, dimana pada 48 jam pasca masuk rumah sakit dan 6 bulan pascanya. bahkan ada korelasi juga antara persepsi klien terkait dengan dukungan keluarga (Li, 2003).
f. Hubungan Pernikahan
Hubungan pernikahan yang tidak memuaskan terkait erat dengan depresi. Karena berdasarkan studi Bruce dan kim (1992) dari 695 perempuan dan 530 laki-laki, selama kurun waktu sejumlah partisipan bercerai atau berpisah dengan pasanganya. Diperkirakan 21% perempuan yang bercerai menyatakan bahwa dirinya mengalami depresi, dan hampir 21% laki-laki yang bercerai mengalami depresi berat.
g. Pendidikan
Penelitian Quan, Hong, Zhou, dan Xiu (2010) menyatakan seseorang yang berpendidikan rendah akan mengalami gejala depresi sebesar 1,5 kali dibanding dengan seseorang yang berpendidikan tinggi. Penelitian Fatoye (2009) terhadap 118 pasien stroke menyatakan bahwa pendidikan rendah mempengaruhi kejadian depresi pasca stroke.
2.2.4 Depresi Pasca Stroke
Menurut Schub dan Caple (2010) depresi pasca stroke adalah gangguan mood yang dapat terjadi setiap saat pasca stroke dan biasanya terjadi dalam bulan pertama. Menurut Bour et al (2009) depresi pasca
(56)
stroke adalah gangguan emosional yang sering terjadi pasca suatu serangan stroke.
Penyebab dari post stroke depression (PSD) melibatkan kombinasi dari mekanisme fisik dan psikologis (Schub & Caple, 2010). Spaletta et al
Gejala depresi dapat berkembang setiap saat pasca stroke, tetapi periode risiko terbesar adalah dalam beberapa bulan pertama. Menurut
Diagnostic and Statistik Manual of Mental Disorders (DSM-IV), gejala depresi utama termasuk mood depresi hampir sepanjang hari, tidak tertarik dalam beraktivitas, perubahan berat badan, nafsu makan menurun, tingkat energi menurun, gangguan pola tidur, gangguan fungsi
(2001 dalam Taylor, 2006) mengatakan bahwa defisit neurologi selain berakibat pada fisiknya juga emosinya. Pasien dengan kerusakan otak sebelah kiri mengalami kecemasan maupun depresi, sedangkan Li, Wang, dan Lin (2003) mengungkapkan bahwa lokasi lesi, stroke frontal dan jalur kontrol katekolamin menyebabkan depresi pasca stroke. Hal ini diperkuat oleh penelitian Farrell (2004) menunjukkan bahwa penyebab depresi pasca stroke adalah karena faktor organik. Faktor risiko untuk depresi pasca stroke menurut Schub dan Caple (2010) diantaranya ada peningkatan keparahan stroke, penurunan intelektual, meningkatnya derajat aphasia, riwayat pribadi atau keluarga depresi atau tinggal sendirian. Selain diatas Farrell (2004) juga menambahkan faktor risiko pada depresi yaitu penyakit kronis yang menyertai, insomnia, dan alkoholisme.
(57)
psikomotorik, kesulitan berkonsentrasi, perasaan negatif tentang dirinya, lekas marah, menghindari kontak mata dan berpikiran tentang kematian atau bunuh diri (Schub & Caple, 2010).
Gejala depresi pasca stroke yang ditimbulkan sebagai akibat lesi (kerusakan) pada susunan saraf pusat otak dan bisa juga akibat dari gangguan penyesuaian karena ketidakmampuan fisik dan kognitif pasca stroke (Hawari, 2006). Menurut Hirota, Seligman, dan Weiss (2003 dalam Sarafino, 2004) mengemukakan bahwa perasaan tidak berdaya merupakan bentuk reaksi depresi dimana seseorang merasa tidak mampu menemukan jalan keluar atau penyelesaian masalah yang dihadapi terutama saat menghadapi stress, seseorang akan berhenti berusaha dan kemudian menyerah. Depresi pasca stroke mempunyai demensi perubahan pada mood, afektif, kognitif, behavioral, neurovegetatif dan endokrin.
Perubahan mood pada depresi berupa kesedihan dan kehilangan kemampuan untuk bergembira. Kelainan afektif dapat terlihat dari muka dan sikap yang sedih dan sering menangis. Sedangkan perubahan kognitif yang terjadi adalah kehilangan motivasi, inisiatif dan menjadi apatis. Penderita menjadi merasa tidak berdaya, tidak berguna, tidak dapat konsentrasi dan merasa tidak dapat menolong dirinya sendiri, bahkan terkadang disertai juga perasaan gangguan organik (hipokondriasis). Beberapa diantaranya ada yang menarik diri dari pergaulan atau kegiatan social disertai halusinasi dan delusi (Misbach, 1999).
(58)
Depresi berat dapat menyebabkan gangguan berupa perasaan ketidakberdayaan yang berkepanjangan dan berlebih-lebihan sehingga mendorong pasien stroke untuk bunuh diri (Schulz et al, 2000). Perasaan takut jatuh, terjadinya serangan stroke ulangan dan bahkan perasaan tidak nyaman oleh pandangan orang lain terhadap cacat dirinya dapat menyebabkan penderita stroke membatasi diri untuk tidak keluar dari lingkungannya. Keadaan ini selanjutnya dapat mendorong penderita ke dalam gejala depresi yang berdampak pada motivasi dan rasa percaya dirinya (Hill, Payne, & Ward, 2000).
Ketidakmampuan fisik bersama-sama dengan gejala depresi dapat menyebabkan aktivitas penderita stroke menjadi sangat terbatas pada tahun pertama, namun dukungan sosial dapat mengurangi dampak dari ketidak-mampuan fisik serta depresi tersebut. Ketidakmampuan fisik yang menyebabkan hilangnya peran hidup yang dimiliki penderita dapat .menyebabkan gangguan persepsi akan konsep diri yang bersangkutan dan dengan sendirinya mengurangi kualitas hidupnya (Suwantara, 2004). 2.2.5 Pengukuran Depresi.
Penilaian tentang tingkat depresi menggunakan CES-D (The Center of epidemiological Studies Depression). CES-D berisi 20 item pertanyaan yang dikembangkan oleh Radloff, dengan total skor 60 (NIMH), 2011). Instrument ini paling sesuai digunakan untuk mengukur depresi yang dihubungkan dengan penyakit kronik. Instrument ini mencangkup perasaan sedih, masalah tidur, tidak bertenaga, nafsu makan
(59)
berkurang, merasa hidup tidak berharga, pesimis akan masa depan, tidak ada minat terhadap aktivitas, tidak dapat berkonsentrasi yang dialami hampir setiap hari selama 1 minggu atau lebih. (Sharp & Lipsky, 2002). Penelitian yang dilakukan Brawn et al (2012) tentang depresi pasca stroke di Swedia menggunakan kuesioner CES-D untuk mengukur depresi hasil penelitian ini 15%-19% mengalami depresi pasca stroke.
2.5 Teori Self Care Dorothea E Orem
Self care merupakan prilaku yang dipelajari dan merupakan suatu tindakan sebagai respon atas suatu kebutuhan (Delaune & Ladner, 2002). Pada konsep self care, Orem menitik beratkan bahwa seseorang harus dapat bertanggung jawab terhadap pelaksanaan self care untuk dirinya sendiri dan terlibat dalam pengambilan keputusan untuk kesehatannya (Alligood & Tomey, 2006). Kebutuhan seseorang untuk terlibat dalam perawatan dirinya dan mendapatkan perawatan disebut sebagai
therapeutic self care demand (Delaune & Ladner, 2002). Self care dalam konteks penyakit kronis merupakan hal yang kompleks dan sangat dibutuhkan untuk keberhasilan manajemen serta kontrol dari penyakit kronis terebut (Larsen & Lubkin, 2009).
Teori self care defisit Orem (1971 dalam Alligood & Tomey, 2006) mengatakan bahwa defisiensi perawatan diri adalah kesenjangan antara kebutuhan perawatan diri terapeutik individu dan kekuatan mereka sebagai agen perawat diri yang mana unsur pokok perkembangan kemampuan perawatan diri tidak berjalan atau tidak adekuat untuk
(60)
mengetahui atau mempertemukan sebagian atau semua komponen yang ada atau membangun kebutuhan perawatan diri, dengan kata lain bahwa jika seseorang tidak cukup mampu untuk merawat dirinya sendiri berkaitan dengan kesehatannya maka ia dikatakan menderita defisit perawatan diri (Orem, 1985 dalam Basford & Slevin, 2006).
Self care agency adalah kemampuan atau kekuatan yang dimiliki seorang individu untuk mengidentifikasi, menetapkan, mengambil keputusan dan melaksanakan self care (Alligood & Tomey, 2006). Orem mengidentifikasi basic conditioning factor yang mempengaruhi self care agency yaitu gender, tahap perkembangan, tingkat kesehatan, pola hidup, sistem pelayanan kesehatan, sistem keluarga dan lingkungan eksternal (Alligood & Tomey, 2006). Interaksi antara perawat dengan klien akan dapat terjadi jika klien mengalami self care deficit, disinilah muncul suatu
nursing agency (Delaune & Ladner, 2002).
Teori Sistem Keperawatan Orem (1985 dalam Basford & Slevin, 2006) menjelaskan sistem keperawatan sebagai rangkaian tindakan berkelanjutan yang dihasilkan ketika perawat menghubungkan satu atau sejumlah cara membantu pasien dengan tindakannya sendiri atau tindakan seseorang di bawah perawatan yang diarahkan untuk memenuhi tuntutan perawatan diri terapeutik orang tersebut atau untuk mengatur perawatn diri mereka. Sebagai agen keperawatan, perawat menerapkan sistem keperawatan yang merupakan tindakan praktek keperawatan yang dilakukan secara berkesinambungan dan bertahap dengan berkoordinasi
(61)
dengan pasien untuk mengetahui dan memenuhi komponen kebutuhan perawatan diri terapeutik pasien mereka dan melindungi serta meregulasi latihan atau perkembangan kemampuan pasien sebagai agen perawat diri sendiri (Olligood & Tomey , 2006).
Menurut Orem (1985 dalam Basford & Slevin, 2006) menjelaskan tiga sistem keperawatan yaitu
a.Suportif edukatif artinya jika pasien mampu melakukan atau belajar tentang perawatan diri maka intervensi keperawatan harus dibatasi misalnya hanya pada pemberian dukungan dan pendidikan.
b.Partially compensatory System yaitu pasien memiliki beberapa kemampuan untuk melakukan perawatan diri tetapi tidak dapat mencapai perawatan diri total jika tidak dibantu, dan perawat harus membantu pasien dalam melakukan tugas-tugas tersebut.
c.Wholly copensatory system yaitu jika pasien secara total tidak dapat melakukan perawatan diri sendiri, dan perawat harus melakukan semua tugas-tugas tersebut untuk pasien, bahkan dalam hal kebutuhan perawatan diri umum seperti memandikan dan memberi makan pasien.
(62)
2.6 Kerangka Teori Penelitian
Self care Agency pasca stroke meningkat
Dukungan keluarga (emosional, penghargaan, informasi dan instrumental)
Self Care Deficit Basic Conditioning Factor
1.Gender
2.Tahap perkembangan, 3.Tingkat kesehatan, 4.Pola hidup,
5.Sistem pelayanan kesehatan, 6.Sistem keluarga
7.Lingkungan eksternal
Self care
Self Care Demand
Nursing Agency (bantuan yang diberikan perawat
Supportitif educative system
Gangguan psikologis Lama perawatan
.
Depresi Meningkatkan kemampuan fungsi tubuh
(motorik, sensorik, saraf otak lain, luhur, keseimbangan, penglihatan pasien pasca
Minimal Care, Partial care,Total care
Penurunan kemampuan fungsi tubuh stroke
Kekuatan dasar
Kemampuan melakukan
(63)
2.7 Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan penelusuran kepustakaan diketahui bahwa kemampuan fungsi tubuh merupakan manifestasi pasien pasca stroke yang terdiri dari kemampuan motorik, sensorik, fungsi otak lain, fungsi luhur, keseimbangan, penglihatan (Lewis et al, 2011) . Dukungan keluarga adalah bantuan atau bentuk perhatian yang diperoleh anggota keluarga sakit pasca stroke berupa dukungan informasional, dukungan emosional, dukungan instrumental, dukungan penghargaan (Friedman, 2000).
Kemampuan fungsi tubuh dan dukungan keluarga merupakan variabel independen dan depresi variabel dependen. Kemampuan fungsi tubuh dan dukungan keluarga mempengaruhi keadaan depresi pasca stroke. Konsep dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian Kemampuan fungsi tubuh terdiri
dari manifestasi pasien pasca stroke
Dukungan keluarga pasca stroke terdiri dari :
Dukungan informasional Dukungan emosional Dukungan Instrumental Dukungan Penghargaan
(64)
BAB 3
METODE PENELITIAN
Bab ini menjelaskan tentang cara-cara atau metode yang dilakukan dalam penelitian ini yang meliputi jenis penelitian, lokasi dan waktu penelitian, populasi dan sampel, metode pengumpulan data, variabel dan defenis operasional, metode pengukuran, metode analisa data, validitas dan reliabilitas dan pertimbangan etik.
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian kuantitatif ini adalah korelasi dengan desain cross sectional. Penelitian ini bertujuan menganalisis tentang hubungan kemampuan fungsi tubuh, dukungan keluarga dan depresi pada pasien stroke.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan dengan pelaksanaan pengambilan data bulan Oktober sampai dengan November 2014 dengan pertimbangan bahwa :
a. Jumlah responden yang sesuai kriteria inklusi dapat terpenuhi.
b. Rumah sakit Dr Pirngadi Medan merupakan rumah sakit pendidikan serta rumah sakit rujukan di Sumatera utara
3.3 Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi
Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian. Subyek berupa benda, artinya semua benda yang memiliki sifat atau ciri bisa diteliti (Machfoedz, 2007).
(65)
Populasi penelitian ini adalah seluruh pasien stroke yang dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan yang berjumlah 389 orang (Nasya, 2012). 3.3.2 Sampel
Pengambilan sampel dilakukan dengan metode non probability sampling melalui consecutive sampling yaitu pengambilan sampel yang dilakukan dengan memilih semua individu yang memenuhi kriteria pemilihan, sampai jumlah sampel yang diinginkan terpenuhi (Polit & Beck, 2012).
Besar sampel yang didapatkan dengan menggunakan rumus penelitian analitik korelatif besarnya sampel menggunakan rumus Lemeshow (1997)
n = Z
2. p(1−p). N
d2(N−1) + Z2. p (1−p)
Keterangan:
N = Jumlah sampel, Z2= ‘
P = Proporsi hal yang diteliti (0,5)
Nilai Z pada derajat kepercayaan (1,96)
d = Tingkat kepercayaan atau ketepatan yang diinginkan (0,1) N = Jumlah populasi (389)
Jumlah populasi berdasarkan hasil penelitian sebelumnya adalah 389 orang sehingga besar sampel dalam penelitian ini 77 responden penderita stroke dengan kriteria inklusi sampel penelitian:
a. Kesadaran kompos mentis b. Mampu berkomunikasi c. Status hemodinamik stabil
(66)
e. Lama menderita stroke lebih dari 3 bulan dan rawat jalan
f. Bersedia menjadi responden dengan menandatangani informed consent
3.4 Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan instrumen berupa kuesioner yang berisi pernyataan-pernyataan mengenai kemampuan fungsi tubuh, dukungan keluarga dan depresi. Kuesioner berupa daftar pernyataan yang tersusun dengan baik, sehingga responden tinggal memberi check list pada pilihan jawaban yang tersedia. Bentuk pernyataan dalam kuesioner ini adalah pernyataan tertutup yang harus dijawab responden dengan memilih jawaban yang telah disediakan. Kuesioner diberikan kepada responden setelah menyetujui bersedia menjadi responden. Responden yang mendapat kuesioner kemudian diberikan penjelasan tentang cara peengisian kuesioner dan kemudian responden diberikan waktu tiga puluh menit. Kuesioner yang sudah diisi responden kemudian dikumpul kembali oleh peneliti dan selanjutnya akan dilakukan pengolahan data.
3.5 Variabel dan Definisi Operasional
Definisi operasional merupakan batasan ruang lingkup suatu variabel yang diamati atau diukur. Definisi operasional juga berguna untuk mengarahkan kepada pengukuran atau pengamatan terhadap variabel-variabel yang bersangkutan serta pengembangan instrumen. Definisi operasional variabel-variabel dalam penelitian ini meliputi kemampuan fungsi tubuh, dukungan keluarga dan depresi. Definisi operasional dari setiap variabel dapat dilihat pada tabel berikut ini :
(1)
18 Keluarga meluangkan waktu untuk menemani bapak/ibu untuk berobat
19 Keluarga memberikan ketenangan dan kenyamanan bapak/ibu selama perawatan
20 Keluarga membantu menyiapkan kebutuhan sehari-hari bapak/ibu
(2)
Kuesioner Penelitian Petunjuk pengisian:
Mohon kesediaan Bapak/Ibu/Saudara/i untuk menjawab kuesioner dibawah ini sesuai dengan kondisi yang sebenarnya dengan tanda ( √ )
3. Kuesioner Depresi
No
Pernyataan
Sangat jarang (kurang 1 hari)
Agak jarang (1-2 hari) Sekali-sekali (3-4hari) Hampir setiap waktu (5-7 hari) 1 Saya terganggu dengan hal-hal
yang biasanya tidak mengganggu saya
2 Saya merasa nafsu makan saya berkurang
3 Saya tidak bisa menghilangkan rasa sedih meskipun keluarga
dan teman-teman ikut
menghibur.
4 Saya merasa bahwa hidup saya sama baiknya dengan orang lain.
5 Saya merasa kesulitan
mengendalikan akal pikiran saya ketika mengerjakan sesuatu.
6 Saya merasa tertekan
7 Saya merasa bahwa segala yang saya lakukan dengan kerja keras
8 Saya berharap penuh terhadap masa depan saya.
9 Saya menganggap hidup saya telah gagal
10 Saya merasa ketakutan.
11 Saya merasa gelisah ketika saya tidur
(3)
19 Saya merasa orang-orang tidak menyukai saya
(4)
LAMPIRAN 2
BIODATA EXPERT
(5)
BIODATA EXPERT CONTENT VALIDITY INDEX
1. Iwan Rusdi S.Kp., MNS.
Dosen Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara
2. Andina Setyowati S.Kep., Ns., M.Kep,. Sp KMB.
Dosen Fakultas Keperawatan Universitas Hasanuddin Makassar
3. Hendri Apul Panggabean S.Kep., Ns., M.Kep. Perawat RSUD Dr. Pirngadi Medan
4. dr. H. Tri Makmur Sp.S
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
5. Siti Nur Kholifah S.Kep., Ns., M.Kep., Sp Kom. Dosen Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga
6. Dameria Ginting S.Kep., Ns., M.Kep.
Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan STIKES Sumatera Utara
7. Roxana Devi Tumanggor S.Kep,. Ns., M.Nurs.
Dosen Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Sumatera Utara
8. Hafni S.S
(6)