PRO KONTRA PERDEBATAN ANTARA PILKADA PEM

PRO-KONTRA PERDEBATAN ANTARA PILKADA (PEMILIHAN KEPALA
DAERAH) LANGSUNG DAN TAK LANGSUNG

Arlin Muzdalifah (140210102104)

Abstract: Akhir-akhir ini pemerintah mengungkapkan rencana mengajukan
rancangan undang-undang mengenai revisi undang-undang tentang pemerintahan
daerah yang didalamnya mencakup mekanisme pemilihan kepala daerah tidak lagi
melalui pemilihan langsung melainkan melalui DPRD. Rancangan undangundang Pilkada tentang pemilihan kepala daerah menuai polemik dan kontroversi
baik di kalangan pejabat maupun masyarakat. Rancangan undang-undang Pilkada
ini menimbulkan dua kubu yang saling bersinggungan yaitu kubu pro yang
merupakan koalisi merah putih dan kubu kontra yang merupakan pihak pemenang
pemilu presiden dan wakil presiden tahun ini. Pihak yang menginginkan pilkada
secara

tidak

langsung

dilatarbelakangi


akan

penghematan

dana

serta

pemberantasan money politic, sedangkan pihak yang menginginkan pilkada
diadakan secara langsung beranggapan akan menghargai partisipasi serta suara
rakyat.
Kata kunci: Rancangan undang-undang Pilkada, Undang-undang Pilkada,
Polemik, Kontroversi, Kubu Pro-kontra.
Abstract: Lately, the Government revealed plans to submit a bill on
revision of the laws on local governance which includes regional head election
mechanism no longer through direct elections except through PARLIAMENT. The
draft Electoral Law on election of the head of the region reap the polemics and
controversy both among officials and the public. The draft Electoral laws it raises
two mutually tangent stronghold that is the stronghold of pro which is a coalition
of white and Red camps cons which is the winner of the election for President and


1|Page

Vice President this year. The party wants elections indirectly backed by the
savings would fund as well as the eradication of money politic, while parties who
want the elections held immediately assume will appreciate the participation and
voice of the people.
Keywords: Draft legislation elections, Electoral legislation, Debated the
pros and cons, The stronghold, Controversy.

2|Page

A.

Pendahuluan
Pelaksanaan pemilihan kepala daerah, yang kemudian disingkat
menjadi pilkada, secara langsung merupakan momentum penting bagi
pembangunan sistem politik lokal ke arah yang lebih demokratis. Namun,
sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, berubah pula pola pemilihan dalam kepala daerah.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah mengenai pemilihan kepala
daerah.
Saat ini, baik para pejabat maupun masyarakat gencar membicarakan
tentang rancangan undang-undang mengenai revisi undang-undang tentang
pemerintahan daerah yang didalamnya mencakup mekanisme pemilihan
kepala daerah yang tidak lagi melalui pemilihan langsung melainkan
melalui DPRD atau lebih akrab disebut pemilihan secara tidak langsung.
Usulan awal untuk merevisi RUU Pilkada mencuat pertama kali setelah
diusulkan oleh Kemendagri Pemerintahaan SBY.
Rancangan undang-undang Pilkada tentang pemilihan kepala daerah
ini menuai polemik dan kontroversi baik dikalangan pejabat maupun
masyarakat. Rancangan undang-undang ini berisi tentang pemilihan kepala
daerah yang tidak langsung dipilih oleh rakyat, melainkan dipilih oleh
DPRD. Hal tersebut bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945
yang berbunyi “Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”. Jika ditafsirkan
secara gamblang, ini berarti bahwa pemilihan kepala daerah harus
dilaksanakan secara langsung oleh rakyat. Pemahaman yang berbeda
membuat bingung baik dari masyarakat maupun calon kepala daerah itu
sendiri.


3|Page

Polemik rancangan undang-undang yang pada intinya mengembalikan
pemilihan Kepala daerah ketangan DPRD mengakibatkan gesekan antara kubu

dari fraksi partai politik Gerindra, dan kubu dari fraksi PDI-P.
Di satu sisi, pemilihan kepala daerah secara langsung dinilai memiliki
banyak kelemahan. Diantaranya besarnya anggaran yang dikeluarkan dalam
setiap kali penyelenggaraan pemilihan kepala daerah secara langsung, dll.
Disisi lain, beberapa pihak menilai bahwa dengan diadakannya pemilihan
tidak langsung atau pemilihan oleh DPRD akan menghemat anggaran dan
memberantas money politic yang kerapkali dilakukan oleh calon kepala
daerah saat menjelang pemilihan kepala daerah.
B.

Metodologi
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah kajian pustaka
dengan teknik analisis deskriptif.
Pelaksanaan pemilihan kepala daerah, yang kemudian disingkat

menjadi pilkada, merupakan momentum penting bagi pembangunan sistem
politik lokal ke arah yang lebih demokratis. Melalui pilkada banyak harapan
yang disandarkan bagi kesejahteraan rakyat di daerah (Erwin, 2005: iii).
Pada tahun 1950 saat Indonesia masih memakai UUDS, lahirlah UU
No 1 Tahun 1957 yang merupakan landasan konstitusi untuk melakukan
pemilihan kepala daerah langsung oleh rakyat. Pasal 23 UU No 1/1957
menyebutkan, kepala daerah dipilih menurut aturan yang ditetapkan dengan
undang-undang. Sebelum undang-undang tersebut ada, sementara kepala
daerah dipilih oleh DPRD. Dua tahun kemudian, Presiden Soekarno
meluarkan dekrit presiden pada 5 Juli 1959, sehingga UU No. 1 Tahun 1957
yang tertuang dalam UUDS tidak lagi berlaku mengingat secara empirik
belum dilaksanakan (Harmoko, 2014: Online).
Sejarah demokrasi di Indonesia mencatat kepemilihan kepala daerah
terjadi mulai pada zaman kolonial Belanda. Sejak masa pemerintahan
4|Page

kolonial sampai orde baru, kedaulatan rakyat untuk memilih kepala daerah
dikuasai oleh elit - elit politik karena kepala daerah tidak dipilih langsung
oleh rakyatnya. Pemerintahan Hindia Belanda membuat undang - undang
pada tanggal 23 Juni 1903 yang dikenal dengan decentralisatie wet 1903.

Decentralisatie wet 1903 menyerahkan implementasi ketentuan - ketentuan
untuk pengaturannya lebih lanjut kepada pejabat yang berwenang membuat
ordonansi

di

Hindia

Belanda.

Dengan

dasar

ketentuan

yuridis,

decentralisatie wet 1903, lahirlah koninklijk desluit tertanggal 20 Desember
1904 (dikenal dengan decentralisatie desluit 1904). Peraturan ini

memberikan arahan pada upaya pembentukan Raden, Pemilihan anggota
Raad (dewan semacam DPRD) setempat, hak dan kewajiban anggota dan
ketua serta sekretarisnya serta kewenangan dan cara kerja badan itu. Secara
sederhana, pada zaman Hindia Belanda, pengaturan tentang pemerintahan
daerah dibedakan antara daerah Jawa dan Madura dengan daaerah luar Jawa
dan Madura (Daniel, (Tanpa tahun): Online).
Setelah Indonesia merdeka, undang - undang yang menyinggung
kedudukan kepala daerah adalah undang - undang nomor 1 tahun 1945,
tentang peraturan mengenai kedudukan komite nasional daerah yang
diundangkan pada tanggal 23 November 1945. UU nomor 1 tahun 1945
hanya berusia 3 tahun saja, karena pada tahun 1948, dibuatlah penggantinya
yaitu UU nomor 22/1948 tentang pemerintahan di daerah. Pengaturan
tentang kepala daerah dalam undang - undang ini tertulis dalam pasal 18.
Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa kepala daerah propinsi (gubernur)
diangkat oleh presiden dari calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Propinsi. Untuk kepala daerah kabupaten, diangkat oleh
menteri dalam negeri dari calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten. Demikian juga untuk kepala daerah desa (kota
kecil) yang diangkat oleh kepala daerah propinsi dari calon yang diajukan
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Desa (kota kecil).

Berubahnya konstitusi negara menjadi Republik Indonesia Serikat dan
ditetapkannnya Undang - Undang Sementara Tahun 1950 sebagai dasar

5|Page

negara menyebabkan terjadinya perubahan pada undang - undang yang
mengatur tentang pemerintahan daerah, yaitu undang - undang nomor 1
tahun 1957. Selain undang - undang, presiden pertama Republik Indonesia
membuat sebuah peraturan yang mengatur tentang pengangkatan kepala
daerah. Peraturan tersebut adalah Penetapan Presiden Nomor 6 tahun 1959
yang mengatur tentang mekanisme dan prosedur pengangkatan kepala
daerah. Peran DPRD dalam perundangan ini terbatas, karena DPRD hanya
berwenang mengajukan calon kepala daerah. Undang-undang tersebut terus
mengalami perubahan hingga keluarlah Undang-undang No. 32 Tahun 2004
yang kemudian di perbarui dengan No. 12 Tahun 2008 tentang pemerintahan
daerah (Daniel, (Tanpa tahun): Online).
Dengan lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah yang menjadi landasan normatif bagi penerapan pilkada secara
langsung telah membuat sistem pemerintahan di daerah seharusnya semakin
demokratis karena rakyat dapat menentukan siapa calon yang paling

disukainya. Atas dasar undang-undang itu mulai tahun 2005, tepatnya pada
bulan Juni 2005, pergantian kepala daerah di seluruh Indonesia telah
dilakukan secara langsung. Sebagai gambaran, sebagian besar pemilihan
kepala daerah yang berlangsung selama UU No. 22 Tahun 1999 selalu
menimbulkan gejolak di daerah, seperti di Jakarta, Lampung, Jawa Barat,
Madura, dan sejumlah daerah lainnya. Dalam kasuskasus ini, timbulnya
gejolak selalu disebabkan oleh penyimpangan-penyimpangan yang sama,
yakni distorsi aspirasi publik, indikasi politik uang, dan oligarkhi partai
yang tampak dari intervensi DPP partai dalam menentukan calon kepala
daerah yang didukung fraksi (Mariana, 2007: 47).
Dibandingkan model memilih kepala daerah oleh anggota DPRD,
model memilih kepala daerah secara langsung memerlukan biaya lebih
besar yang harus di sediakan oleh Pemerintah Daerah yang bersangkutan
maupun oleh para kandidat yang berkompetisi. Belanja kandidat antara lain:
(1) belanja kampanye, (2) belanja saksi, (3) belanja kandidasi di partai
politik/pendukung di jalur perseorangan. Bank Indonesia memperkirakan

6|Page

pilkada yang berlangsung di 244 daerah tahun 2010 menelan biaya sekitar

Rp 4,2 triliun dari anggaran yang dikeluarkan pemerintah daerah untuk
penyelenggaraan dan dana kampanye, yang ditanggung para kandidat kepala
daerah. Hal inilah yang disebut politik uang (Fitriyah, (Tanpa tahun), Pdf).
Suburnya politik uang itu juga tidak lepas dari cara pandang
masyarakat pemilih yang permisif terhadap politik uang itu. Pada proses
demokrasi di Indonesia, termasuk demokrasi di level akar rumput (pilkades)
praktek money politics tumbuh subur, karena dianggap suatu kewajaran
masyarakat tidak peka terhadap bahayanya. Mereka membiarkannya karena
tidak merasa bahwa money politics secara normatif adalah perilaku yang
harus dijauhi (Rifai, 2003: 228).
Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, berubah pula pola pemilihan dalam kepala daerah.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 merupakan Undang-Undang yang
mengatur secara jelas mengenai Pemerintahan Daerah. Salah satu yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Taahun 2004 adalah mengenai
pemilihan kepala daerah. Akhir-akhir ini pemerintah mengungkapkan
rencana mengajukan RUU mengenai revisu UU tentang pemerintahan
daerah yang didalamnya mencakup mekanisme pemilihan Gubernur tidak
lagi melalui pemilihan langsung melainkan melalui DPRD (Anonim, (Tanpa
tahun): Online).

Rancangan UU Pilkada yang pada intinya mengembalikan pemilihan
Kepala daerah Ketangan DPRD didukung oleh mayoritas partai politik
khususnya koalisi merah putih yang terdiri dari Gerindra, PAN, Golkar,
PPP,PKS, Demokrat, sedangkan Koalisi yang menolak terdiri dari PKB,PDIP, Nasedem.
Golongan Pro Pemilihan kepala Daerah Dilakukan DPRD Memiliki
Alasan sebagai Berikut:

7|Page

Pertama, pemilihan kepala daerah oleh DPRD akan bisa menghemat
anggaran sebesar 142 Triliun karena selama ini alokasi anggaran yang
diadakan untuk pilkada cukup besar bahkan Direktur Jenderal Otonomi
Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan mengatakan
ongkos pilkada di seluruh daerah sepanjang tahun lalu mencapai Rp 70
triliun. Berlandaskan hal tersebut diatas demi penghematan anggaran maka
pilkada langsung dianggap sangat boros anggaran .
Kedua, pemilihan kepala daerah secara langsung dianggap gagal
selama ini untuk menciptakan penyelenggaraan negara yang bebas dan
bersih dari KKN, (Good government and clean govermen) hal ini bisa
dilihat dengan banyaknya kepala daerah yang menjadi tersangka kasus
korupsi dan terjerat hukum dan lebih dari 318 kepala daerah menjadi
tersangka kasus hukum hinggah diawal tahun 2014 ini.
Ketiga ,pemilihan langsung mengakibatkan banyak korban jiwa
berjatuhan dan kerusuhan hal ini bisa dilihat dari berbagai pilkada yang
selalu diwarnai kerusuhan.
Keempat, pilkada langsung kadang diwarnai money politik yang
berdampak pada keterpilihan seseorang bukan karena kredibilitaasnya tapi
lebih kepada jumlah modal yang dia miliki.
Sedangkan Golongan Kontra Pemilihan kepala Daerah Dilakukan
DPRD tapi harus dipilih langsung Memiliki Alasan sebagai Berikut:
Pertama,Pemilihan kepala daerah

secara langsung merupakan hak

warga negara republik indonesia karena itu pemilihan kepala daerah
langsung sudah dijamin konstitusi karena itu pemilihan kepala daerah secara
langsung merupakan hak konstitusi warga negara indonesia.
Kedua, pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan bagian
dari demokrasi indonesia dan merupakan cita-cita reformasi karena itu jika
pilkada dikembalikan ke DPRD itu sama saja halnya dengan sistem

8|Page

pemilihan di era orde baru. Oleh sebab itu pemilihan langsung harus
dipertahankan karena cirri dari negara yang menganut faham demokrasi.
Ketiga, pemilihan kepala daerah langsung merupakan hak rakyat
karena itu hak ini harusnya tetap dipertahankan dan hak rakyat untuk
memilih secara langsung jangan sampai dikebiri.
Keempat, pemilihan langsung dianggap sukses melahirkan pemimpinpemimpin yang kompeten dan mampu melakukan perubahan besar didaerah
yang dipimpinnya dan dicintai rakyat mereka yang menjadi pemimpin
sukses membangun daerahnya dan masyarakatnya adalah pemimpin yang
dipilih langsung oleh rakyat seperti; Jokowi, Ahok, Tri Risma, Nurdin
Abdullah DLL (Anonim, 2014: Online).
C.

Pembahasan
Indonesia saat ini gencar dengan rumor tentang perdebatan mengenai
pilkada secara langsung dan tidak langsung, dimana saat ini terbagi dua
kubu politik yang diantaranya, kubu dari fraksi naungan partai Gerindra
yang notabene mengklarifikasi segala hal untuk melakukan pilkada secara
tidak langsung, dan kubu dari pemenangan Jokowi yang menentang
pergolakan agar pilkada tetap dilakukan langsung oleh rakyat. Mereka
bersikukuh agar pilkada secara langsung oleh rakyat tetap dilaksanakan.
Sebagian

menilai pemilihan kepala daerah secara tidak langsung akan

menghilangkan nilai demokrasi di Indonesia, rancangan UU Pilkada yang
pada intinya mengembalikan pemilihan kepala daerah ketangan DPRD
(pemilu tidak langsung) mayoritas didukung oleh partai politik khususnya
koalisi merah putih yang terdiri dari Gerindra, PAN, Golkar, PPP, PKS,
Demokrat, sedangkan Koalisi yang menolak terdiri dari PKB, P-DIP,
Nasdem.
Kubu yang menghendaki adanya pilkada secara tidak langsung
memiliki latarbelakang akan penghematan dana yang biasanya digunakan
untuk pilkada yang berlangsung dan mereka menginginkan pemberantasan

9|Page

money politic (politik uang) yang kerapkali dilakukan oleh para calon
kepala daerah saat menjelang pesta demokrasi. Sedangkan di satu sisi,
keberadaan kubu yang ingin mempertahankan berlangsungnya pemilihan
secara langsung oleh rakyat beranggapan apabila pemilihan dilakukan oleh
rakyat secara langsung akan menghargai partisipasi serta suara rakyat dan
apabila diberlakukan secara tidak langsung, menurut mereka akan
merenggut hak dan demokrasi atas rakyat. Pro-dan kotra dari rakyat juga
mewarnai keberadaan keputusan politik yang sampai hari ini gencar
dibicarakan. Pers dan media juga menambah isu yang ada menjadi semakin
memanas. Terlebih saat keterlibatan media yang juga saling memihak antar
dua kubu yang berlawanan, dimana masyarakat pun mulai paham akan
keterpihakan media terhadap kubu partai politik yang bersaing. Dan di
kacamata masyarakat pun mereka beranggapan saat pengembalian UU yang
berkaitan dengan pilkada secara langsung tak lain sama saja dengan
mengembalikan Indonesia ke zaman Orde Baru kala itu, dan masyarakat
sendiri merasa keberadaan hak suaranya terenggut. Memang, tidak bisa kita
mengkaji segala sesuatu dengan satu perspektif saja. Pada intinya segala
sesuatu perumusan dan kebijakan oleh Pemerintah pasti menimbulkan
positif dan negatif bagi masyarakat. Seperti kebijakan dan keputusan
Pemerintah dengan lingkaran setan yang tiada hentinya mengelilingi era
dan zaman yang mengepung masyarakat, hal itu menyulitkan atau bahkan
mendominasi

akan keberadaan masyarakat

yang terkungkung dengan

medan politik.
Wacana tentang RUU Pilkada dimana kepala daerah akan dipilih
langsung oleh DPRD sudah mendapat tanggapan dari kepala daerah
kabupaten/kota diseluruh Indonesia. Mereka justru menolak pilkada dipilih
melalui DPRD dan berani bersebrangan dengan kebijakan partainya.
Contohnya seperti Ahok dari partai Gerindra yang tidak setuju dengan
kebijakan partainya mengenai pilkada dan Ahok lebih memilih keluar dari
anggota partai tersebut.

10 | P a g e

Berikut adalah segelintir alasan golongan pro untuk melakukan
pemilihan Kepala Daerah melalui DPRD:
Pertama, pemilihan kepala daerah oleh DPRD akan bisa menghemat
anggaran sebesar 142 Triliun karena selama ini alokasi anggaran yang
diadakan untuk pilkada cukup besar bahkan Direktur Jenderal Otonomi
Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan mengatakan
ongkos pilkada di seluruh daerah sepanjang tahun lalu mencapai Rp 70
triliun. Berlandaskan hal tersebut diatas demi penghematan anggaran maka
pilkada langsung dianggap sangat boros anggaran .
Kedua, pemilihan kepala daerah secara langsung dianggap gagal
selama ini untuk menciptakan penyelenggaraan negara yang bebas dan
bersih dari KKN, (Good government and clean govermen) hal ini bisa
dilihat dengan banyaknya kepala daerah yang menjadi tersangka kasus
korupsi dan terjerat hukum dan lebih dari 318 kepala daerah menjadi
tersangka kasus hukum hinggah diawal tahun 2014 ini.
Ketiga ,pemilihan langsung mengakibatkan banyak korban jiwa
berjatuhan dan kerusuhan hal ini bisa dilihat dari berbagai pilkada yang
selalu diwarnai kerusuhan.
Keempat, pilkada langsung kadang diwarnai money politik yang
berdampak pada keterpilihan seseorang bukan karena kredibilitaasnya tapi
lebih kepada jumlah modal yang dia miliki.
Sedangkan golongan kontra memiliki alasan sebagai berikut untuk
tetap melakukan pemilihan secara langsung:
Pertama, pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan hak
warga negara republik indonesia karena itu pemilihan kepala daerah
langsung sudah dijamin konstitusi karena itu pemilihan kepala daerah secara
langsung merupakan hak konstitusi warga negara indonesia.

11 | P a g e

Kedua, pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan bagian
dari demokrasi indonesia dan merupakan cita-cita reformasi karena itu jika
pilkada dikembalikan ke DPRD itu sama saja halnya dengan sistem
pemilihan di era orde baru. Oleh sebab itu pemilihan langsung harus
dipertahankan karena cirri dari negara yang menganut faham demokrasi.
Ketiga, pemilihan kepala daerah langsung merupakan hak rakyat
karena itu hak ini harusnya tetap dipertahankan dan hak rakyat untuk
memilih secara langsung jangan sampai dikebiri.
Keempat, pemilihan langsung dianggap sukses melahirkan pemimpinpemimpin yang kompeten dan mampu melakukan perubahan besar didaerah
yang dipimpinnya dan dicintai rakyat mereka yang menjadi pemimpin
sukses membangun daerahnya dan masyarakatnya adalah pemimpin yang
dipilih langsung oleh rakyat. Contohnya seperti: Jokowi, Ahok, Tri Risma,
Nurdin Abdullah, dll.
Pergolakan pro-kontra pemerintah akan pilkada langsung dan tidak
langsung, membuat masyarakat tak berdaya akan keberadaan suasana yang
seperti ini. Mereka pun tak dapat berkutik dan hanya dapat menyuarakan
apa yang menjadi keinginan mereka, tetapi tetap para “atasan” lah yang
memiliki kedudukan dan kekuasaan menjalankan segala kebijakan yang
ada, entah itu diinginkan maupun tidak diinginkan oleh rakyat.
Pro-kontra yang terjadi saat ini tidak lain memang tentang penyusunan
UU pilkada secara tidak langsung yang lambat laun semakin berada di
permukaan. Hal ini semakin memperoleh dukungan dari koalisi merah putih
yang di prakarsai oleh kubu dari fraksi naungan partai Gerindra,
bahwasannya mereka juga menepis akan kemenangan presiden Jokowi
Dodo yang dinilai tidak fair. Dan pada akhirnya tetap saja bersikukuh untuk
tetap menjalankan kembali pilkada tidak langsung.
Perlu diingat bahwa pilkada hanyalah sebuah proses yang tidak berdiri
sendiri. Baik atau buruknya proses berkaitan langsung dengan subyek yang
12 | P a g e

terlibat langsung dalam proses tersebut. Keberhasilan pelaksanaan pilkada,
terkait dengan tiga faktor:
1.

Pemilih yang memiliki hak pilih

2.

Penyelenggara yaitu KPUD, Panwas, pemantau, dan pemerintah

3.

Lembaga steakholders lainnya

Sebenarnya meskipun pilkada diadakan secara langsung maupun tidak
langsung sulit menghindari Money Politic (Politik Uang) oleh setiap
Cakada. Cakada yang ingin memenangkan pertarungan politik pasti juga
akan tetap mengeluarkan beberapa dana untuk melobi beberapa anggota
DPRD untuk bisa mendapatkan suara terbanyak. Tak pelak suatu konvensi
partai politik yang seharusnya menjadi ajang kontes progam dan visi antar
calon kepala daerah menjadi arena “Kontes tabur uang” dimana yang paling
banyak memberi uang, peluang untuk menang sangatlah besar.

Kesimpulan
Apapun kelemahan yang terdapat dalam proses pelaksanaan pilkada, perlu
digaris bawahi bahwa demokrasi bukanlah sebuah proses instan. Demokrasi
adalah sebuah proses panjang dan berkelanjutan. Bangsa ini belum memiliki
sejarah Pilkada seperti pemilu yang dilaksanakan dari tahun 1959. Pilkada
merupakan hal yang baru dalam ranah politik lokal. keberhasilan pilkada
berkaitan langsung dengan subyek yang terlibat langsung dalam proses tersebut.
Saran
Pemerintah harus lebih bijak dalam menentukan berbagai kebijakan
khususnya mengenai pemilihan pilkada. Sebelum menentukan kebijakan baru,
lebih baik pemerintah melakukan penguatan dan penggalangan kekuatan

13 | P a g e

masyarakat sipil agar masyarakat sipil tidak terpengaruh dengan uang yang
kerapkali disodorkan oleh calon kepala daerah.
Daftar Pustaka
Buku
Edwin, Donni, dkk. 2005. Pilkada Langsung Demokratisasi Daerah dan Mitos
Good Governance. Jakarta: Partnership.
Mariana, Dede. 2007. Dinamika Demokrasi dan Perpolitikan Lokal di Indonesia.
Bandung: AIPI Bandung-Puslit KP2W Lembaga Penelitian Unpad.
Rifai, Amzulian. 2003. Pola Politik uangan Dalam pemilihan Kepala Daerah.
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Jurnal
Fitiyah.

(Tanpa

tahun).

Fenomena

Politik

Uang

Dalam

Pilkada.

http://download.portalgaruda.org/article.php?article=121054&val=1307.
Tanggal akses: 2/11/2014 pukul: 23.20.
Internet
Anonim.

2014.

Pilkada

Langsung

atau

Tak

Langsung

Konstitusional.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5423cf4b0b426/pemerintah-pilkada-langsung-atau-tak-langsung-konstitusional. [25 September 2014].
Tanggal akses: 5/10/2014 pukul: 10.38.
Anonim. 2014. Pro Kontra Rancangan Undang-undang Pilkada “Partai Demokrat
Pilih Pilkada Langsung”. http://politik.kompasiana.com/2014/09/20/prokontra-rancangan-undang-undang-pilkada-partai-demokrat-pilih-pilkadalangsung-675473.html. [20 September 2014]. Tanggal akses: 5/10/2014
pukul: 10.45.
Harmoko. 2014. Sejarah Pilkada. http://poskotanews.com/2014/09/29/sejarahpilkada/. [29 September 2014]. Tanggal akses: 11/10/2014 pukul: 22.00.
Anonim.

2014.

Pro

Kontra

Pemilihan

Gubernur

Secara

Langsung.

http://www.stisipbantenraya.ac.id/2014/index.php/park-blog/81-artikel/109-

14 | P a g e

pro-kontra-pemilihan-gubernur-secara-langsung.

[21

Oktober

2014].

Tanggal akses: 2/11/2014 pukul: 10.25.
Daniel.

2013.

Sejarah

Pilkada

di

Indonesia.

http://danielpunya.blogspot.com/2013/05/sejarah-pilkada-di-indonesia.html.
[Mei 2013]. Tanggal akses: 2/11/2014 pukul: 22.15.
Anonim. 2014. Kontroversi Pikada Langsung oleh Rakyat Atau Pilkada di
Tangan

DPRD

yang

Dipilih

Rakyat.

http://thekompasiana.blogspot.com/2014/09/kontroversi-pikada-langsungoleh-rakyat.html. [September 2014]. Tanggal akses: 2/11/2014 pukul: 23.37.

15 | P a g e