BAB II HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 2. Kajian Pustaka 2.1. Ruang Lingkup Wanprestasi - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kata Sepakat dalam Transaksi E-Commerce: Putusan No. 82/Pdt.G/2013/PN.Yk.

BAB II
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

2.

Kajian Pustaka

2.1.

Ruang Lingkup Wanprestasi
Wanprestasi yang berarti prestasi buruk. Wanprestasi merupakan suatu

istilah yang menunjuk pada ketiadalaksanaan prestasi oleh pihak yang membuat
perjanjian. Wanprestasi menurut Abdulkadir Muhammad mempunyai arti tidak
memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan, atau disepakati dalam perikatan, baik
perikatan yang timbul karena perjanjian.1 J. Satrio menjelaskan bahwa
wanprestasi adalah suatu peristiwa atau keadaan debitur tidak telah memenuhi
kewajiban prestasi perikatannya dengan baik, dan debitur punya unsur yang salah
atasnya2. Sedangkan menurut Kamus Hukum, wanprestasi berarti kelalaian,
kealpaan, cidera janji, tidak menepati kewajibannya yang telah disepakati. Dengan
demikian wanprestasi adalah suatu keadaan seorang debitur (berutang) tidak

memenuhi atau melaksanakan prestasi sebagaiman telah ditetapkan dalam suatu
perjanjian.
Perjanjian adalah suatu peristiwa yang terjadi ketika para pihak saling
berjanji atau bersepakat untuk melaksanakan perbuatan tertentu. Menurut Subekti,
perjanjian adalah peristiwa ketika seorang atau lebih berjanji melaksanakan
perjanjian atau saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Istilah perjanjian
1

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1992, h. 20.
J. Satrio, Wanprestasi menurut KUHPerdata, Doktrin dan Yurisprudensi, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2012, h. 3.
2

sering juga diistilahkan dengan istilah kontrak. Kontrak atau contracts (dalam
bahasa Inggris) dan overeenkomst (dalam bahasa Belanda) dalam pengertian yang
lebih luas sering dinamakan juga dengan istilah perjanjian.
Salim H.S. mengatakan, istilah perjanjian merupakan terjemahan dari kata
overeenkomst (Belanda) atau contract (Inggris). Ada dua macam teori yang
membahas pengertian perjanjian. Dalam Pasal 1313 KUH Perdata disebutkan
“Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan satu pihak atau lebih mengikatkan

dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Menurut teori yang dikemukakan oleh
Van Dunne, yang diartikan dengan perjanjian adalah “Suatu hubungan hukum
antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat
hukum”. Ada tiga tahap dalam membuat perjanjian, yaitu: tahap pracontractual,
yaitu adanya penawaran dan penerimaan, tahap contractual, yaitu adanya
persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak dan tahap post contractual,
yaitu pelaksanaan perjanjian.
Abdulkadir Muhammad menguraikan unsur-unsur dalam suatu perjanjian
atau kontrak, yaitu: ada pihak-pihak, minimal dua orang yang terdiri dari subyek
hukum berupa manusia kodrati dan badan hukum (recht person). Dalam hal para
pihak manusia, maka orang tersebut harus telah dewasa dan cakap. Adanya
persetujuan antara para pihak berdasarkan kebebasan untuk mengadakan tawarmenawar (bargaining) atau konsensus dalam suatu perjanjian. Adanya satu atau
beberapa tujuan tertentu yang ingin dicapai, yang tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang, ketertiban umum, kebiasaan yang diakui masyarakat dan
kesusilaan. Adanya prestasi yang harus dilaksanakan oleh satu pihak dan dapat

dituntut oleh pihak lainnya, begitu juga sebaliknya. Adanya bentuk tertentu, yang
dapat dibuat secara tertulis dalam suatu akta, autentik maupun dibawah tangan,
bahkan dapat dibuat secara lisan, dan yang terakhir adalah adanya syarat-syarat
tertentu menurut undang-undang, agar suatu kontrak yang dibuat menjadi sah.

Adapun Herlien Budiono, tidak menggunakan istilah unsur-unsur kontrak,
melainkan menggunakan istilah bagian dari kontrak. Selanjutnya, Herlien
Budiono bersandar kepada pendapat dari C. Asser L. E. H. Rutten, menjelaskan
bagian dari kontrak, sebagai berikut: bagian essentialia, adalah bagian dari
kontrak yang harus ada. Jika bagian ini tidak ada, buka merupakan kontrak
(bernama) yang dimaksudkan oleh para pihak, melainkan kontrak lain.
Contohnya, kata sepakat merupakan bagian essentialia yang harus ada dalam
kontrak. Bagian naturalia, adalah bagian dari kontrak yang berdasarkan sifatnya
dianggap ada tanpa perlu diperjanjikan secara khusus oleh para pihak yang
bersifat mengatur, termuat dalam ketentuan perundang-undangan untuk masingmasing kontrak bernama. Misalnya, dalam kontrak jual beli, adalah biaya
penyerahan barang ditanggung oleh penjual, jika tidak telah diadakan kontrak lain
(Pasal 1476 KUH Perdata). Bagian accidentalia, adalah bagian dari kontrak
berupa ketentuan yang diperjanjikan secara khusus oleh para pihak. Misalnya,
jangka waktu pembayaran, pilihan domisili, pilihan hukum dan cara penyerahan
barang.3
Dalam hukum perjanjian, terdapat beberapa asas penting yang perlu
diketahui, yaitu: sistem terbuka (open system) asas ini mempunyai arti, bahwa
3

Muhammad Syaifuddin, Hukum Kontrak: Memahami Kontrak dalam Perspektif

Filsafat, Teori, Dogmatik, dan Praktik Hukum, Cet. I, Mandar Maju, Bandung, h. 22-24.

mereka yang tunduk dalam perjanjian bebas dalam menentukan hak dan
kewajibannya. Asas ini disebut juga dengan asas kebebasan berkontrak, yaitu
semua asas yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya (Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata). Asas kebebasan berkontrak
ini tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan undangundang. Bersifat pelengkap (optional), hukum perjanjian bersifat pelengkap
artinya, pasal-pasal dalam hukum perjanjian boleh disingkirkan, apabila pihakpihak yang membuat perjanjian menghendaki dan membuat ketentuan-ketentuan
sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal undang-undang. Tetapi apabila dalam
perjanjian yang mereka buat tidak ditentukan, maka berlakulah ketentuan undangundang.
Berdasarkan konsensualisme, asas ini mempunyai arti, bahwa suatu
perjanjian lahir sejak detik tercapainya kesepakatan antara kedua kedua belah
pihak. Hal ini sesuai dengan syarat sahnya suatu perjanjian (Pasal 1320 KUH
Perdata). Pegecualian asas ini adalah: dalam perjanjian formill di samping kata
sepakat, masih formalitas tertentu. Contohnya: perjanjian perdamaian (Pasal 1851
KUH Perdata), dalam perjanjian riil disamping kata sepakat, harus ada tindakan
nyata. Contohnya: perjanjian penitipan barang (Pasal 1694 KUH Perdata) dan
perjanjian hak gadai (Pasal 1152 KUH Perdata). Berasaskan kepribadian, asas ini
mempunyai arti, bahwa perjanjian hanya mengikat bagi para pihak yang
membuatnya. Menurut Pasal 1315 KUH Perdata, pada umumnya tak seorangpun

dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji,
melainkan untuk dirimya sendiri. Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 1340 KUH

Perdata, suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya dan
tidak dapat membawa kerugian bagi pihak ketiga. Pengecualiannya mengenai hal
ini diatur dalam Pasal 1317 KUH Perdata yaitu mengenai janji untuk pihak ketiga,
menurut pasal ini, lagipun diperbolehkan untuk meminta ditetapkannya suatu janji
guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji yang dibuat
oleh seorang untuk dirinya sendiri atau suatu pemberian yang dilakukannya
kepada seorang lain memuat suatu janji yang seperti itu. Siapa yang telah
memperjanjikan sesuatu seperti itu, tidak boleh menariknya kembali, apabila
pihak ketiga tersebut telah menyatakan hendak mempergunakannya.
Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, syarat sahnya suatu perjanjian adalah
pertama, sepakat mereka yang mengikatkan dirinya hal ini dimaksudkan, bahwa
para pihak yang hendak mengadakan suatu perjanjian, harus terlebih dahulu
bersepakat atau setuju mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang akan
diadakan itu diberikan karena kekhilafan, paksaan atau penipuan (Pasal 1321
KUH Perdata).
Kedua, kecakapan untuk membuat suatu perjanjian, pada dasarnya setiap
orang adalah cakap untuk membuat perjanjian, kecuali jika oleh undang-undang

tidak dinyatakan tak cakap (Pasal 1329 KUH Perdata). Menurut Pasal 1330 KUH
Perdata, mereka yang tidak cakap membuat suatu perjanjian adalah orang yang
belum dewasa, mereka yang ditaruh dibawah pengampuan, orang prempuan
dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan semua orang kepada
siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Akibat hukum dari ketidakcakapan ini adalah bahwa perjanjian yang telah dibuat

dapat dimintakan pembatalannya kepada hakim. Ketiga, adanya suatu hal tertentu
adalah menyangkut obyek perjanjian harus jelas dan dapat ditentukan. Menurut
Pasal 1333 KUH Perdata, suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu
barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa
jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu dikemudian hari dapat ditentukan
atau dihitung. Menurut ketentuan Pasal 1332 KUH Perdata, hanya barang-barang
yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok suatu perjanjian.
Selanjutnya menurut Pasal 1334 ayat (1) KUH Perdata, barang-barang yang baru
akan ada dikemudian hari dapat menjadi pokok suatu perjanjian.
Keempat, adanya suatu sebab yang halal (causa dalam bahasa Latin)
adalah menyangkut isi perjanjian yang tidak bertentangan dengan ketertiban
umum, kesusilaan, dan undang-undang (Pasal 1337 KUH Perdata). Dengan
demikian, undang-undang tidak memperdulikan apa yang menjadi sebab orang

mengadakan suatu perjanjian. Yang diperhatikan oleh undang-undang adalah isi
perjanjian tersebut yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai. Menurut Pasal
1335 KUH Perdata, suatu perjanjian tanpa sebab yang palsu atau terlarang tidak
mempunyai kekuatan. Apabila dua syarat yang pertama tidak dipenuhi (a) dan (b),
maka perjanjian dapat dibatalkan (syarat subyektif). Sedangkan apabila dua syarat
yang terakhir tidak dipenuhi (c) dan (d), maka perjanjian ini batal demi hukum
(syarat obyektif). Perjanjian yang batal demi hukum adalah perjanjian sejak
semula batal dan tidak mungkin menimbulkan akibat hukum bagi kedua belah

pihak. Sedangkan perjanjian dapat dibatalkan, artinya salah satu pihak
mempunyai hak untuk meminta agar perjanjian itu dibatalkan.4
Kontrak dengan perjanjian merupakan istilah yang sama karena intinya
adalah adanya peristiwa para pihak yang bersepakat mengenai hal-hal yang
diperjanjikan dan berkewajiban untuk menaati dan melaksanakannya sehingga
perjanjian tersebut menimbulkan hubungan hukum yang disebut perikatan
(verbintenis). Dengan demikian, kontrak atau perjanjian dapat menimbulkan hak
dan kewajiban bagi para pihak yang membuat kontrak tersebut dan karena itulah
kontrak yang dibuat dipandang sebagai sumber hukum yang formal.
Buku III KUH Perdata tentang Perikatan (van Verbintenis) tidak
memberikan definisi tentang apa yang dimaksud dengan perikatan itu. Namun

justru diawali dengan Pasal 1233 KUH Perdata mengenai sumber perikatan, yaitu
kontrak atau perjanjian dan undang-undang. Dengan demikian, kontrak atau
perjanjian, merupakan salah satu dari dua dasar hukum yang ada selain dari
undang-undang yang dapat menimbulkan perikatan. Bahkan apabila diperhatikan
dalam praktik dimasyarakat, perikatan yang bersumber dari kontrak atau
perjanjian begitu mendominasi.
Definisi perikatan menurut doktrin (para ahli) adalah hubungan hukum
dalam bidang harta kekayaan di antara dua orang (atau lebih), dimana pihak yang
satu (debitur) wajib melakukan suatu prestasi, sedangkan pihak yang lain
(kteditur) berhak atas prestasi itu. Menurut C. Asser, ciri utama perikatan adalah
hubungan hukum antara para pihak, di mana dengan hubungan itu terdapat hak

4

P. N. H. Simanjuntak, Op. Cit., h. 331.

(prestasi) dan kewajiban (kontra prestasi) yang saling dipertukarkan oleh para
pihak. H. F.A. Vollmar, dengan menganalisis isinya ternyata perikatan itu ada
selama seseorang itu (debitur) harus melakukan suatu prestasi yang mungkin
dapat dipaksakan terhadap kreditur, kalu perlu dengan bantuan hakim.

Berdasarkan pendapat serta rumusan para ahli tersebut di atas, maka terdapat
empat unsur perikatan, yaitu: kesatu hubungan hukum, artinya perikatan yang
dimaksud di sini adalah bentuk hubungan hukum yang menimbulkan alibat
hukum. Kedua, bersifat harta kekayaan, artinya sesuai dengan tempat pengaturan
perikatan di Buku III KUH Perdata yang termasuk di dalam sistematika Hukum
Harta Kekayaan (vermogens recht), maka hubungan yang terjalin antara para
pihak tersebut berorientasi pada harta kekayaan. Ketiga, para pihak, artinya dalam
hubungan hukum tersebut melibatkan pihak-pihak sebagai subjek hukum.
Keempat yaitu prestasi, artinya hubungan hukum tersebut melahirkan kewajibankewajiban (prestasi) kepada para pihaknya (prestasi kontra prestasi) yang pada
kondisi tertentu dapat dipaksakan pemenuhannya, bahkan apabila diperlukan
menggunakan alat negara.5
Menurut Soediman Kertohadipradjo, hukum perikatan ialah kesemuanya
kaidah hukum yang mengatur hak dan kewajiban seseorang yang bersumber pada
tindakannya dalam lingkungan hukum kekayaan.6 Menurut Subekti, perikatan
adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan
mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak
yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Menurut R. Setiawan,
5

Agus Yudho Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak

Komersial, Kencana, Jakarta, 2010, h. 19-20.
6
R. Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Binacipta, Bandung, 1987, h. 1.

perikatan adalah suatu hubungan hukum, yang artimya hubungan yang diatur dan
diakui oleh hukum. Menurut Abdulkadir Muhammad, perikatan adalah hubungan
hukum yang terjadi antara debitur dan kreditur, yang terletak dalam bidang harta
kekayaan. Menurut A. Pitlo, perikatan adalah suatu hubungan hukum yang
bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang
satu berhak (kreditur) dan pihak lainnya berkewajiban (debitur) atas suatu
prestasi.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa yang dimaksudkan dengan
perikatan adalah hubungan hukum antara dua pihak, di mana pihak yang satu
berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban
memenuhi tuntutan tersebut. Dalam hal ini, dapat disebutkan, bahwa pihak yang
menuntut disebut kreditur (pihak berpiutang) dan pihak yang berkewajiban untuk
memenuhi prestasi disebut debitur (pihak berutang). Kemudian, jika kita lihat dari
dua pengertian di atas, maka dapat disimpulkan, bahwa: terhadap suatu hak dan
kewajiban yang harus dilakukan kreditur dan debitur tergantung dari yang
diperjanjikan. Hak dan kewajiban kreditur harus diatur oleh undang-undang, yaitu

sebagai suatu tindakan untuk menuntut pihak yang lalai dalam melaksanakan
suatu prestasi atau kewajibannya.
Pada dasarnya, suatu perikatan dapat dilakukan oleh dua orang dan
tuntutan tersebut dapat segera dilakukan. Perikatan dalam bentuk paling sederhana
ini disebut perikatan bersahaja atau perikatan murni. Di samping perikatan murni
ini, terdapat pula berbagai macam perikatan yang lebih rumit, yaitu:

a.

Perikatan bersyarat
Dalam KUH Perdata, perikatan bersyarat diatur dalam Pasal 1253 KUH
Perdata sampai dengan 1267 KUH Perdata. Suatu perikatan dalah
bersyarat apabila ia digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan
datang dan yang masih belum tentu akan terjadi, baik secara
menangguhkan perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu
maupun, secara membatalkan perikatan menurut terjadi atau tidak
terjadinya peristiwa tersebut (Pasal 1253 KUH Perdata).

b.

Perikatan dengan ketetapan waktu
Dalam KUH Perdata, perikatan dengan ketetapan waktu diatur dalam Pasal
1268 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1271 KUH Perdata. Perikatan
dengan ketetapan waktu ialah perikatan yang hanya menangguhkan
pelaksanaannya atau lama waktu berlakunya suatu perikatan (Pasal 1268
KUH Perdata).

c.

Perikatan mana suka (alternatif)
Dalam KUH Perdata, perikatan mana suka diatur dalam Pasal 1272 KUH
Perdata sampai dengan Pasal 1277 KUH Perdata. Dalam perikatan mana
suka, si berutang (debitur) dibebaskan jika ia menyerahkan salah satu dari
dua barang yang disebutkan dalam perjanjian, tetapi ia tidak dapat
memaksa si berpiutang (kreditur) untuk menerima sebagian dari barang
yang satu dan sebagian barang yang lainnya (Pasal 1271 KUH Perdata).

d.

Perikatan tanggung menanggung (tanggung renteng)
Dalam KUHPerdata, perikatan tanggung-menanggung diatur dalam Pasal
1278 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1295 KUHPerdata. Suatu
perikatan tanggung menanggung, terjadi antara beberapa orang berpiutang,
jika di dalam suatu perjanjian secara tegas kepada masing-masing pihak
diberikan hak untuk menuntut pemenuhan seluruh utang, sedang
pembayaran yang dilakukan kepada salah seorang membebaskan pihak
berutang, meskipun perikatan menurut sifatnya dapat dipecah dan dibagi
di antara beberapa orang berpiutang tadi (Pasal 1278 KUH Perdata).

e.

Perikatan yang dapat dibagi dan yang tak dapat dibagi
Dalam KUH Perdata, perikatan yang dapat dibagi dan yang tak dapat
dibagi diatur dalam Pasal 1296 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1303
KUH Perdata. Suatu perikatan dapat dibagi atau tidak dapat dibagi apabila
prestasinya dapat atau tidak dapat dibagi menurut imbangan, dimana
pembagian tersebut tidak boleh mengurangi hakekat prestasi tersebut.

f.

Perikatan dengan ancaman hukuman
Dalam KUH Perdata, perikatan dengan ancaman hukuman diatur dalam
Pasal 1304 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1312 KUH Perdata.
Ancaman hukuman ini adalah dengan mana si berutang (debitur) untuk
jaminan pelaksanaan suatu perikatan itu tidak terpenuhi (Pasal 1304 KUH
Perdata). Dengan kata lain, perikatan semacam ini memuat suatu ancaman
hukuman terhadap debitur apabila ia lalai atau tidak memenuhi
kewajibannya dalam perjanjian.

Menurut Pasal 1233 KUH Perdata, perikatan dapat timbul karena pejanjian
maupun karena undang-undang. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa sumber
perikatan itu adalah perjanjian dan undang-undang. Perikatan yang bersumber dari
perjanjian (Pasal 1313 KUH Perdata). Terdiri dari perjanjian bernama, contohnya:
perjanjian jual beli, sewa menyewa, tuker menukar, dan sebagainya, perjanjian
tidak bernama, contohnya: leasing, dan sebagainya. Sedangkan perikatan yang
bersumber dari Undang-Undang (Pasal 1352 KUH Perdata). Terdiri dari Undangundang saja (Pasal 1352 KUH Perdata), contohnya: hak alimentasi (Pasal 104
KUH Perdata), hak numpang pekarangan (Pasal 625 KUH Perdata) dan Undangundang karena perbuatan orang (Pasal 1353 KUH Perdata), contohnya: perbuatan
yang halal (Pasal 1354 KUH Perdata), dan perbuatan yang melawan hukum
(Pasal 1365 KUH Perdata).
Menurut Pasal 1381 KUH Perdata, hapusnya suatu perikatan dapat terjadi
karena: pembayaran, penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan
atau penitipan, pembaharuan utang (novasi), perjumpaan utang, percampuran
utang, pembebasan utang, musnahnya barang yang terutang, batal atau
pembatalan, berlakunya suatu syarat batal, lewat waktu (daluwarsa). Disamping
beberapa hal tersebut, masih ada hal-hal lain mengenai hapusnya perikatan yang
tidak disebutkan dalam KUH Perdata, yaitu antara lain: berakhirnya suatu
ketetapan waktu dalam suatu perjanjian, meninggalnya salah satu pihak dalam
perjanjian, misalnya: perjanjian maatschap dan perjanjian pemberian kuasa,

meninggalnya orang yang memberi perintah, karena pernyataan pailit dalam
perjanjian maatschap, serta adanya syarat yang membatalkan perjanjian.7

1.2.

Kata Sepakat menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Salah satu syarat terhadap sahnya suatu perjanjian yang disebutkan Pasal

1320 KUH Perdata adalah syarat kesepakatan kehendak. Kesepakatan
mengandung pengertian bahwa para pihak saling menyatakan kehendak masingmasing untuk menutup suatu perjanjian atau pernyataan pihak yang satu cocok
atau bersesuaian dengan pernyataan pihak yang lain. Pernyataan kehendak tidak
selalu harus dinyatakan secara tegas namun dengan tingkah laku atau dengan halhal lain yang mengungkapkan pernyataan kehendak para pihak.
Kesepakatan yang merupakan pernyataan kehendak para pihak dibentuk
oleh dua unsur, yaitu unsur penawaran dan penerimaan. Penawaran (aanbod;
offerte; offer) diartikan sebagai pernyataan kehendak yang mengandung usul
untuk mengadakan suatu perjanjian. Usul ini mencakup esensialia perjanjian yang
akan ditutup. Sedangkan penerimaan (aan varding; acceptatie; acceptance)
merupakan pernyataan setuju dari pihak yang ditawari.8 Untuk menentukan kapan
suatu kesepakatan kehendak terjadi dapat dikaitkan dengan beberapa teori sebagai
suatu patokan untuk menentukan keterikatan seseorang para perjanjian sehingga
perjanjian telah dianggap telah mulai berlaku, teori tersebut yaitu:

7
8

P.N.H. Simanjuntak, Op.Cit., h.324.
Agus Yudha Hernoko, Op. Cit., h. 162.

a.

Teori ucapan (uitingstheorie)
Menurut teori ucapan, kesepakatan (toesteming) terjadi pada saat pihak
yang menerima penawaran menyatakan bahwa ia menerima penawaran
tersebut. Jadi, dilihat dari pihak yang menerima, yaitu pada saat baru
menjatuhkan ballpoint untuk menyatakan menerima, kesepakatan sudah
terjadi. Kelemahan teori ini adalah sangat teoritis karena menganggap
terjadinya kesepakatan secara otomatis.

b.

Teori pengiriman (verzendtheorie)
Menurut teori pengiriman, kesepakatan terjadi apabila penerimaan atas
penawaran itu dikirimkan oleh pihak yang ditawari kepada pihak yang
menawarkan. Teori ini juga sangat teoritis, sebab menganggap terjadinya
kesepakatan secara otomatis.

c.

Teori pengetahuan (vernemingstheorie)
Teori pengetahuan berpendapat bahwa kesepakatan terjadi apabila pihak
yang menawarkan mengetahui adanya acceptatie (penerimaan), tetapi
penerimaan tersebut belum diterimanya (tidak diketahui secara langsung).
Kritik terhadap teori ini adalah bagaimana ia mengetahui isi penerimaan
tersebut apabila ia belum menerimanya.

d.

Teori penerimaan (ontvangstheorie)
Meneurut teori penerimaan bahwa toesteming terjadi pada saat pihak yang
menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan.
Dalam hukum positif Belanda, juga yurisprudensi maupun doktrin, teori

yang dianut adalah teori pengetahuan (yernemingstheorie) dengan sedikit koreksi

dari ontvangstheorie (teori penerimaan). Maksudnya, penerapan teori pengetahuan
tidak secara mutlak. Sebab, lalu lintas hukum menghendaki gerak cepat dan tidak
menghendaki formalitas yang kaku sehingga vernemingstheorie yang dianut.
Karena tidak harus menunggu sampai mengetahui secara langsung adanya
jawaban dari pihak lawan (ontvangstheorie), diperlukan waktu yang lama.9

1.3.

Macam-macam Wanprestasi
Adapun seorang debitur yang dapat dikatakan telah melakukan

wanprestasi ada 4 macam, yaitu: debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali,
debitur memenuhi prestasi tetapi tidak sebagaimana mestinya, debitur memenuhi
prestasi tetapi tidak tepat pada waktunya dan debitur memenuhi prestasi, tetapi
melakukan yang dilarang dalam perjanjian.
Wanprestasi tersebut dapat terjadi karena kesengajaan debitur untuk tidak
mau

melaksanakannya,

maupun

karena

kelalaian

debitur

untuk

tidak

melaksanakannya. Dalam hal debitur memang secara sengaja tidak mau
melaksanakannya, maka hal tersebut diatur dalam Pasal 1236 KUH Perdata yang
menyatakan bahwa debitur adalah berwajib memberikan ganti biaya, rugi, dan
bunga kepada kreditur, apabila ia telah membawa dirinya kedalam keadaan tidak
mampu untuk menyerahkan kebendaannya atau tidak merawat sepatutnya guna
menyelamatkannya. Juga diatur dalam Pasal 1239 KUH Perdata yang menyatakan
bahwa tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat susuatu

9

Wawan Muhwan Hariri, Hukum Perikatan: Dilengkapi Hukum Perikatan dalam Islam,
Pustaka Setia, Bandung, 2011, h. 123.

apabila kreditur tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya
dalam kewajiban memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga.
Pada umumnya, suatu wanprestasi baru terjadi jika debitur dinyatakan
telah lalai untuk memenuhi prestasinya, atau dengan kata lain, wanprestasi ada
kalau debitur tidak dapat membuktikan bahwa ia telah melakukan wanprestasi itu
diluar kesalahannya atau karena keadaan memaksa. Apabila dalam pelaksanaan
pemenuhan prestasi tidak ditentukan tenggang waktunya, maka seorang kreditur
dipandang perlu untuk memperingatkan/menegur debitur agar ia memenuhi
kewajibannya. Teguran ini disebut juga dengan sommatie (somasi).
Dalam hal tenggang waktu suatu pelaksanaan pemenuhan prestasi telah
ditentukan, maka menurut Pasal 1238 KUH Perdata debitur dianggap lalai dengan
lewatnya waktu yang ditentukan. Suatu somasi harus diajukan secara tertulis
dengan menerangkan apa yang dituntut, atas dasar apa, serta pada saat kapan
diharapkan pemenuhan prestasi. Hal ini berguna bagi kreditur apabila ingin
menuntut debitur dimuka pengadilan. Dalam gugatan inilah, somasi menjadi alat
bukti bahwa debitur betul-betul telah melakukan wanprestasi.

1.4.

Akibat-akibat Wanprestasi
Akibat wanprestasi yang dilakukan debitur, dapat menimbulkan kerugian

bagi kreditur. Sanksi atau akibat-akibat hukum bagi debitur yang wanprestasi ada
empat macam, yaitu: debitur diharuskan membayar ganti kerugian yang diderita
oleh kreditur (Pasal 1243 KUH Perdata), pembatalan perjanjian disertai dengan
pembayaran ganti kerugian (Pasal 1267 KUH Perdata), peralihan resiko kepada
debitur sejak saat terjadinya wanprestasi (Pasal 1237 ayat 2 KUH Perdata),

pembayaran biaya perkara apabila diperkarakan di muka hakim (Pasal 181 ayat 1
KUH Perdata).
Ganti rugi sering diperinci dalam tiga unsur, yaitu biaya, rugi, dan bunga
(dalam bahasa Belanda: Kosten, Schaden en interesten).10 Yang dimaksud dengan
biaya adalah segala pengeluaran atau perongsokan yang nyata-nyata sudah
dikeluarkan oleh salah satu pihak. Yang dimaksud dengan rugi adalah kerugian
karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan oleh
kelalaian si debitur, dan yang dimaksudkan dengan bunga adalah kerugian yang
berupa kehilangan keuntungan (winstderving) yang sudah dibayangkan atau
dihitung oleh kreditur. Penuntutan ganti rugi, oleh undang-undang diberikan
ketentuan-ketentuan itu merupakan pembatasan dari apa yang boleh dituntut
sebagai gantu rugi. Dengan demikian seorang debitur yang lalai atau alpa masih
juga dilindungi oleh undang-undang terhadap kewenangan si kreditur.11 Seperti
yang terdapat dalam Pasal 1247 KUHPerdata “si berhutang hanya diwajibkan
mengganti biaya rugi dan bunga yang nyata telah atau disedianya harus dapat
diduga sewaktu perjanjian dilahirkan, kecuali jika hal tidak dipenuhinya
perjanjian itu disebabkan karena suatu tipu daya yang dilakukan olehnya”.
Jadi dapat dilihat bahwa ganti rugi itu dibatasi hanya meliputi kerugian
yang dapat diduga dan yang merupakan akibat langsung dari wanprestasi.
Mengenai pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian,
sebagai sanksi kedua atas kelalaian debitur, bertujuan membawa kedua belah
pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan. Apabila suatu pihak
10
11

Abdulkadir Muhammad, Op. Cit., h. 13.
Subketi, Aneka Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2004, h. 20.

sudah menerima sesuatu dari pihak lain, baik uang maupun barang maka itu harus
dikembalikan. Dengan kata lain, perjanjian itu ditiadakan.
Masalah pembatalan perjanjian karena kelalaian atau wanprestasi ini
dalam KUH Perdata terdapat pengaturannya pada Pasal 1266 KUH Perdata
“syarat batal dianggap selamanya dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang
timbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya”. Peralihan
resiko sebagai sanksi ketiga atas kelalaian seorang debitur disebutkan dalam Pasal
1237 ayat 2 KUH Perdata “yang dimaksudkan dengan resiko adalah kewajiban
untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar keslahan salah satu
pihak, yang menimpa barang menjadi objek perjanjian. Sebagai kesimpulan dapat
ditetapkan bahwa kreditur dapat memilih antara tuntutan-tuntutan sebagai berikut:
pemenuhan perjanjian, pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi, ganti rugi saja,
pembatalan perjanjian, serta pembatalan disertai ganti rugi.

1.5.

E-Commerce
Pada transaksi jual beli secara elektronik, para pihak terkait di dalamnya

melakukan hubungan hukum yang dituangkan melalui suatu bentuk perjanjian
atau kontrak yang juga dilakukan secara elektronik dan sesuai dengan Pasal 1
butir 17 Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (untuk
selanjutnya disebut UU ITE) disebut sebagai kontrak elektronik yakni perjanjian
yang dimuat dalam dokumen elektronik atau media elektronik lainnya. Dengan
kemudahan berkomunikasi secara elektronik, maka perdagangan pada saat ini
sudah mulai merambat ke dunia elektronik. Transaksi dapat dilakukan dengan

kemudahan teknologi informasi, tanpa adanya halangan jarak. Penyelenggaraan
transaksi elektronik dapat dilakukan baik dalam lingkup publik ataupun privat.
Istilah e-commerce merupakan suatu terminologi baru yang belum cukup
dikenal. Masih banyak yang beranggapan bahwa e-commerce sama dengan
aktivitas jual beli alat-alat elektronik. Oleh karena itu dalam bab ini penulis akan
mencoba menjelaskan pengertian dari e-commerce tersebut. Onno W. Purbo dan
Aang Arif Wahyudi mencoba menggambarkan e-commerce sebagai suatu
cakupan yang luas mengenai teknologi, proses dan praktik yang dapat melakukan
transaksi bisnis tanpa menggunakan kertas sebagai sarana mekanisme transaksi.
Hal ini bisa dilakukan dengan berbagai cara seperti melalui email atau bisa
melalui situs World Wibe Web (www), bahkan yang terbaru dan cukup familiar
yaitu melalui situs jejaring sosial seperti facebook, twitter maupun fasilitas dalam
Blackberry.12
Electronic Commerce atau yang disingkat dengan E-Commerce adalah
kegiatan-kegiatan bisnis yang menyangkut konsumen (consumers), manufaktur
(manufactures), services providers dan pedagang perantara (intermediateries)
dengan menggunakan jaringan-jaringan komputer (computer network) yaitu
internet. Penggunaan sarana internet merupakan suatu kemajuan teknologi yang
dapat dikatakan menunjang secara keseluruhan spektrum kegiatan komersial.13
Dalam kamus Black’s Law Dictionary Seventh Edition e-commerce
didefinisikan: “The practice of buying and selling goods and services on the
internet. The shortened form of electronic, has become a popular prefix for other
12

Onno W. Purbo dan Aang Arif Wahyudi, Mengenal E-Commerce, Elex Media
Komputindo, Jakarta, 2001, h. 1-2
13
Abdul Halim Barkatullah dan Teguh Prasetyo, Op. Cit., h.10.

terms associated with electronic transaction”. Dengan demikian dapatlah
dikatakan bahwa pengertian e-commerce adalah pembelian dan penjualan barang
dan jasa dengan menggunakan jasa konsumen online di internet. Model transaksi
seperti ini dikenal dengan istilah electronic transaction dijelaskan a transaction
formed by electronic messages in which the messages of both parties will not be
reviewed by an individual as an expected step in forming a contract.
Menurut ECEG-Australia (Electronic Commerce Expert Group) ecommerce adalah: “is a broad concept that covers any commercial transaction
that is effected via electronic means and would include such means as facsimile,
telex, EDI, internet and the telephone”. Berdasarkan pengertian yang diberikan
ECEG-Australia tersebut, maka e-commerce meliputi perdagangan melalui media
elektronik, dalam pengertian tidak hanya media internet yang dimaksudkan, akan
tetapi juga meliputi semua transaksi perdagangan melalui media elektronik
lainnya seperti fax, EDI, telex, dan telepon.
Dalam mendefinisikan e-commerce, Kalakota dan Whinston melihat dari
berbagai macam perspektif, antara lain: dari perspektif komunikasi e-commerce
adalah penyerahan informasi, produk barang atau jasa, atau pembayaran melalui
jaringan telepon, jaringan komputer, atau dengan maksud elektronik lainnya, dari
perspektif proses bisnis e-commerce adalah aplikasi dari teknologi melalui
transaksi bisnis otomatis dan aliran kerja, dari perspektif pelayanan e-commerce
adalah alat (a tool) yang mengalamatkan hasrat dari perusahaan, konsumen dan
manajemen untuk memotong biaya pelayanan, dan dapat memperbaiki kualitas
barang dan mempercepat pelayanan, dari perspektif online e-commerce adalah

menyediakan kemampuan pembelian dan penjualan produk dan informasi internet
dan jasa online lainnya.
Transaksi jual beli melalui e-commerce, biasanya akan didahului oleh
penawaran jual, penawaran beli dan penerimaan jual atau penerimaan beli.
Sebelum itu mungkin terjadi penawaran secara online, misalnya melalui website
situs di internet atau melalui media jejaring sosial seperti facebook, twitter, yahoo
messenger bahkan blackberry messenger. Transaksi melalui website situs ini
biasanya dilakukan bagi mereka para pelaku yang melakukan transaksi dan belum
mengenal satu sama lain. Akan tetapi transaksi yang dilakukan melalui media
jejaring sosial seperti facebook ataupun yahoo messenger ini dilakukan melalui
chatting dan biasanya penjual dan pembeli sudah saling kenal atau sudah pernah
bertransaksi, sebelumnya sehingga sudah tumbuh kepercayaan.
Model transaksi ini melalui website atau situs yaitu dengan cara ini penjual
menyediakan daftar atau katalog barang yang dijual yang disertai dengan
deskripsi produk yang telah dibuat oleh penjual. Berbelanja dengan menggunakan
order form merupakan salah satu cara berbelanja yang paling sering digunakan
dalam e-commerce. Dengan cara ini merchant menyediakan daftar atau katalog
yang akan dijual. Saat tahap order dilaksanakan, biasanya produk yang dijual
tidak divisualisasikan dalam bentuk gambar, akan tetapi dalam bentuk deskripsi
produk. Dalam sebuah halaman order form, sesi penawaran produk terdiri dari
empat bagian yaitu: check box yang dibuat untuk memberi kesempatan kepada
customer untuk memilih produk yang ditawarkan dengan mengklik kotak tersebut

sehingga bertanda check, penjelasan produk yang ditawarkan, kuantitas barang
yang dipesan, serta harga untuk tiap-tiap produk.
Selain tabel produk yang ditawarkan juga terdapat jenis pembayaran.
Jenis-jenis pembayaran yang ditawarkan berbeda-beda sesuai dengan layanan
yang disediakan oleh penjual, seperti dengan kartu kredit, transfer lewat bank,
check dan lain-lain. Pada saat pengisian form, pembeli diminta untuk mengisi
formulir yang berisi informasi kontak untuk pembeli. Pada bagian ini dipasang
sistem keamanan, misalnya SSL (Secure Sockets Layer) untuk melindungi dari
tindakan penipuan. Selanjutnya, jika informasi yang dikirimkan oleh pembeli
telah memenuhi persyaratan atau dinyatakan valid maka penjual akan
mengirimkan berita konfirmasi kepada pembeli dalam bentuk email.14 Setelah
semua ketentuan dan pembeli telah melakukan pembayaran dan diterima oleh
penjual maka proses selanjutnya adalah kewajiban penjual atas barang yang dibeli
oleh pembeli. Apabila produk tersebut berbentuk jasa atau intruksi yang bisa
dikirim melalui internet maka seketika itu juga akan dikirim oleh penjual. Akan
tetapi beda halnya apabila produk itu berupa barang. Pengiriman barang tentunya
disesuaikan dengan pemesanan sebagaimana yang telah tertera dalam catalog di ecommerce. Pengiriman biasanya dilakukan melalui ekspedisi atau jasa pengiriman
barang seperti Pos Indonesia, Tiki Online, JNE dan lain sebagainya. Jangka waktu
pengiriman barang biasanya sudah tertera dalam kesepakatan oleh masing-masing
pihak dan pada umumnya adalah sesuai jarak geografis antara pengirim dan
penerima.
14

Andi, Apa dan Bagaimana E-Commerce, Tim Litbang Wahana Komputer, Yogyakarta,
2001, h. 59.

E-commerce sebagai suatu media melakukan kontrak bisnis, memiliki
jangkauan yang sangat luas. Keluasan jangkauan tersebut merupakan hasil dari
teknologi internet yang menggunakan Transmission Control Protocol/Internet
Protocol (TCP/IP), atau teknologi informasi dan komunikasi (TIK) lainnya yang
telah memberikan kemudahan dalam berinteraksi secara global tanpa batasan
suatu negara. Sedangkan ditinjau dari segi pelaku bisnis, ruang lingkup ecommerce dapat diuraikan sebagai berikut, yaitu pertama Business to Business
(B2B), yaitu komunikasi bisnis secara online antara para pelaku usaha.
Misalnya kerjasama bisnis antara perusahaan penyelenggara jasa layanan
jaringan Internet Service Provider (ISP) dengan perusahaan produsen lainnya
sebagai pengguna (user). Dikatakan B2B, karena keduanya merupakan
perusahaan yang memproduksi barang dan jasa secara terpisah. Karakterisasi yang
umum akan segmentasi dari bisnis ke bisnis antara lain: Trading partners yang
sudah saling mengetahui dan terjalin hubungan yang berlangsung lama. Karena
itu pertukaran informasi terjadi diantara mereka dilakukan atas dasar kebutuhan
dan kepercayaan, pertukaran yang dilakukan secara berulang-ulang dan berkala
sesuai dengan format bisnis yang mereka sepakati.
Salah satu pelaku bisnis tidak harus menunggu partners mereka lainnya
untuk mengirimkan data, model yang umum digunakan adalah peer to peer di
mana processing intelegence dapat didistribusikan di kedua pelaku bisnis. Kedua,
Business to Consumer (B2C), yaitu transaksi e-commerce yang dilakukan antara
pedagang (merchant) dengan konsumen (consumers) secara langsung untuk
memenuhi kebutuhan tertentu. Dalam memasarkan produk secara online melalui

e-commerce, idealnya pedagang tetap memberikan kesempatan kepada kepada
konsumen untuk melakukan penawaran. Namun hingga saat ini, kontrak online
pada umumnya masih berbentuk kontrak baku yang dikenal dengan istilah take it
or leave it contract. Karakterisasi yang umum untuk segmentasi bisnis ke
konsumen diantaranya: terbuka untuk umum, dimana informasi disebarkan secara
umum pula, service yang diberikan bersifat umum melalui sistem web yang telah
dikenali banyak orang, service yang diberikan adalah berdasarkan permintaan.
Karena konsumen bersifat inisiatif, maka produsen harus siap merespon
permintaan, sering dilakukan pendekatan client-server dimana konsumen di pihak
client menggunakan sistem yang minimal (berbasis web) dan penyedia barang
atau jasa (business procedure) berada pada pihak server.
Ketiga, Consumer to Consumer (C2C), merupakan transaksi bisnis secara
elektronik yang dilakukan antar konsumen untuk saling memenuhi kebutuhan
masing-masing. Segmentasi C2C sifatnya lebih khusus karena transaksi hanya
dilakukan oleh sesama konsumen. Dalam hal ini, internet dijadikan sebagai sarana
tukar menukar informasi tentang harta, kualitas dan pelayanan suatu produk
barang dan/atau jasa. 15
Transaksi e-commerce melibatkan beberapa pihak, baik yang terlihat
secara langsung maupun tidak langsung, tergantung kompleksitas transaksi yang
dilakukan. Artinya apakah semua proses dilakukan secara online atau hanya
beberapa tahap saja yang dilakukan secara online, mulai dari proses terjadinya
transaksi sampai dengan pembayaran, Budhiyanto mengidentifikasi pihak-pihak
15

Burhanuddin S, Pemikiran Hukum Perlindungan Konsumen dan Sertifikasi Halal, UIN
Maliki Press, Malang, 2011, h. 130-132.

yang terlibat terdiri dari: penjual (merchant), yaitu perusahaan/produsen yang
menawarkan produknya melalui internet. Untuk menjadi merchant, maka
seseorang harus mendaftarkan diri sebagai merchant account pada sebuah bank,
tentunya ini dimaksudkan agar merchant dapat menerima pembayaran dari
customer dalam bentuk credit card. Konsumen/card holder, yaitu orang-orang
yang ingin memperoleh produk (barang atau jasa) melalui pembelian secara
online. Konsumen yang akan berbelanja di internet dapat berstatus perorangan
atau perusahaan.
Apabila konsumen merupakan perorangan, maka yang perlu diperhatikan
dalam transaksi e-commerce adalah bagaimana sistem pembayaran yang
dipergunakan, apakah pembayaran dilakukan dengan mempergunakan credit card
(kartu kredit) atau dimungkinkan pembayaran dilakukan secara manual/cash. Hal
ini penting untuk diketahui, mengingat ini semua konsumen yang akan berbelanja
di internet adalah pemegang kartu kredit/card holder.
Pemegang kartu kredit/card holder adalah seseorang yang namanya
tercetak pada kartu kredit yang dikeluarkan oleh penerbit berdasarkan perjanjian
yang telah dibuat. Acquirer, yaitu pihak perantara penagihan (antara penjual dan
penerbit) dan parantara pembayaran (antara pemegang dan penerbit). Perantara
penagihan adalah pihak yang meneruskan tagihan kepada penerbit berdasarkan
tagihan yang masuk kepadanya yang diberikan oleh penjual barang/jasa. Pihak
perantara pembayaran (antara pemegang dan penerbit) adalah bank dimana
pembayaran kredit dilakukan oleh pemilik kartu kredit/card holder, selanjutnya
bank yang menerima pembayaran tersebut kepada penerbit kartu kredit (issuer).

Issuer, merupakan perusahaan credit card yang menerbitkan kartu. Di Indonesia
ada beberapa lembaga yang diijinkan untuk menerbitkan kartu kredit, yaitu: Bank
dan lembaga keuangan bukan bank. Tidak setiap bank dapat menerbitkan credit
card, hanya bank yang telah memperoleh ijin dari Card International, dapat
menerbitkan credit card, seperti Master dan Visa Card, perusahaan non bank
dalam hal ini PT. Dinner Jaya Indonesia Internasional yang membuat perjanjian
dengan perusahaan yang ada di luar negeri, perusahaan yang membuka cabang
dari perusahaan induk yang ada di luar negeri, yaitu American Express.
Certification Authorities, pihak ketiga yang netral yang memegang hak untuk
mengeluarkan sertifikasi kepada merchant, kepada issuer dan dalam beberapa hal
diberikan pula kepada card holder.
Certification Authorities dapat merupakan suatu lembaga pemerintah atau
lembaga swasta. Di Italia, dengan alasan kebijakan publik, menempatkan
pemerintahannya sebagai pemilik kewenangan untuk menyelenggarakan pusat
Certification Authorities. Sebaliknya, di Jerman, jasa sertifikasi terbuka untuk
dikelola oleh sektor swasta untuk menciptakan iklim kompetisi yang bermanfaat
bagi peningkatan kualitas pelayanan jasa tersebut.16
Dalam perjanjian e-commerce pihak yang paling rawan menderita
kerugian atau haknya terlanggar adalah konsumen. Hal ini dikarenakan peran
konsumen yang cenderung bersifat pasif dan hanya mengikuti aturan main atau
mengikuti suatu kesepakatan yang sebenarnya adalah dari penjual. Jadi dalam
keseharian e-commerce sering dijumpai konsumen yang menderita kerugian baik
16

Dikdik M. Arief Masur dan Elisatris Gultom, Cyber Law: Aspek Hukum Teknolohi
Informasi, Refika Aditama, Bandung, 2009, h. 152-154.

ketidak sesuaian barang yang dipesan, keterlambatan pengiriman bahkan
penipuan. Oleh karena itu perlu adanya perlindungan hukum yang mengakomodir
kepentingan konsumen. Adapun hak-hak konsumen menurut Pasal 4 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah sebagai
berikut:
a)

Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa.

b)

Hak untuk memilih serta mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan
nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.

c)

Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa.

d)

Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa
yang digunakan.

e)

Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut.

f)

Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.

g)

Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif.

h)

Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian
atau tidak sebagaimana mestinya.

i)

Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.

Disamping hak yang harus dilindungi, konsumen juga mempunyai kewajiban
yang harus ditunaikan. Hak dan kewajiban dalam suatu perikatan merupakan dua
sisi yang bersifat saling timbal balik. Hak bagi salah satu pihak menjadi
kewajiban bagi pihak lain. Begitu pula sebaliknya, kewajiban pada salah satu
pihak merupakan hak bagi pihak lain. Sedangkan maksud utama masing-masing
pihak menjalankan hak dan kewajiban adalah dalam rangka mencapai tujuan
perikatan. Dalam suatu perikatan, adapun yang menjadi kewajiban konsumen
menurut Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 adalah meliputi:
a.

Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.

b.

Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.

c.

Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.

d.

Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen
secara patut.

Selain diatur mengenai hak dan kewajiban konsumen, dalam undang-undang ini
juga diatur mengenai hak dan kewajiban pelaku usaha sebagai salah satu pihak
yang terlibat dalam transaksi. Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
menyatakan hak pelaku usaha yaitu:
a)

Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/jasa yang diperdagangkan.

b)

Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang
beritikad tidak baik.

c)

Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya didalam penyelesaian
hukum sengketa konsumen.

d)

Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa
kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan.

e)

Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.

Disamping hak, pelaku usaha juga mempunyai kewajiban. Hal ini diatur dalam
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, yaitu:
a)

Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.

b)

Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,
perbaikan dan pemeliharaan.

c)

Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif.

d)

Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/jasa yang
berlaku.

e)

Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba
barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas
barang yang dibuat dan atau yang diperdagangkan.

f)

Memberi kompensasi, gantu rugi dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian.

Kewajiban utama para pelaku usaha dalam perjanjian jual beli e-commerce adalah
memberikan pelayanan dengan baik dan benar dalam setiap tahapan. Mulai dari
pemberian informasi dan petunjuk secara benar, pelayanan pengiriman produk
sesuai dengan perjanjian. Baik terhadap ketepatan waktu maupun kesesuaian
produk yang diperjanjikan. Pelaku usaha harus bijak dalam menanggapi keluhan
dan kritik dari konsumen demi memperbaiki kualitas pelayanan terhadap
konsumen atau pembeli.
Pemanfaatan

teknologi

informasi

dan

komunikasi

(TIK),

selain

memberikan berbagai kemudahan dalam transaksi bisnis, juga membuka peluang
baru tindak kejahatan berbasis cyber (cybercrime). Untuk mencegah terjadinya
cybercrime, upaya pengamanan dalam transaksi e-commerce perlu dilakukan.
Ilmu yang mempelajari bagaimana cara penyampaian pesan dari pengirim kepada
penerima secara aman disebut dengan kriptografi.17 Pengertian istilah aman dalam
konsep

kriptografi

paling

tidak

memuat

kriteria

tentang:

Kerahasiaan

(confidentiality), suatu pesan tidak boleh dapat dibaca atau diketahui oleh orang
yang tidak berkepentingan. Keaslian (authenticity), penerima pesan harus
mengetahui atau mempunyai kepastian tentang siapa pengirim pesan. Istilah ini
juga berhubungan dengan suatu proses verifikasi terhadap identitas seseorang.
Keutuhan (integrity), penerima harus merasa yakin bahwa pesan yang diterimanya

17

Budi A. Riswandi, Hukum dan Internet di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2003, h.46.

tidak pernah berubah sejak pesan dikirim hingga diterima. Tidak dapat disangkal
(non repudiaton), artinya pengirim pesan tidak dapat menyangkal bahwa dirinya
tidak pernah mengirim pesan tersebut.18

1.6.

Pengaturan
Perkembangan dan kemajuan teknologi informasi yang melanda dunia

sekarang dan cukup dirasakan juga di Negara kita yang sedemikian pesatnya telah
menyebabkan perubahan kegiatan kehidupan manusia dalam berbagai bidang
yang secara langsung telah mempengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perbuatan
hukum baru yang berkaitan dengan teknologi informasi. Perkembangan demikian
yang tampak dalam apa yang dinamakan globalisasi informasi menempatkan
Indonesia sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia telah mengharuskan
dilakukannya pengaturan mengenai pengelolaan informasi dan transaksi
elektronik ditingkat nasional yang dituangkan dalam bentuk peraturan perundangundangan. Didalam peraturan hukum Indonesia, belum ada peraturan perundangundangan khusus mengatur tentang electronic commerce (e-commerce) di
Indonesia, kita dapat menemukan peraturan yang berkaitan dengan e-commerce
dengan cara menafsirkan peraturan-peraturan tersebut kedalam pemahaman
tentang e-commerce atau mengaitkan peraturan satu dengan peraturan lainnya.
Berikut penjelasan mengenai peraturan-peraturan yang terkait dengan ecommerce.

18

Burhanuddin S, Op. Cit., h. 132-133.

2.6.1

Undang-Undang No. 19 tahun 2016 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik
Pada tanggal 12 April 2008 telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang mengatur persoalan
tentang sistem elektronik dalam kaitan dengan informasi elektronik dan transaksi
elektronik. Penjelasan umum Undang-Undang ini menyatakan bahwa saat ini
telah lahir suatu rezim hukum baru yang dikenal dengan hukum siber atau hukum
telematika. Hukum Siber atau Cyber Law secara internasional digunakan untuk
istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi dan
komunikasi. Demikian pula hukum telematika yang merupakan perwujudan dan
konvergensi hukum telekomunikasi, hukum media, dan hukum informasi. Pasal 1
angka 5 UU ITE disebutkan bahwa sistem elektronik adalah serangkaian
perangkat

dan

prosedur

elektronik

yang

berfungsi

mempersiapkan,

mengumpulkan, mengurus dan/atau menyebarkan informasi elektronik. Aplikasi
dari prinsip-prinsip yang dimaksud dalam perbuatan hukum riil dilakukan melalui
apa yang dinamakan Transaksi Elektronik. Dalam Pasal 1 angka 2 UU ITE
dirumuskan secara sederhana sebagai perbuatan hukum yang dilakukan dengan
menggunakan komputer, jaringan komputer dan/atau media elektronik lainny

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Studi Efek Tontonan Sinetron Anak Langit terhadap Gaya Hidup Imitasi Siswa SMA N 3 Temanggung

0 0 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kajian Teori 2.1.1. Pengertian Peran - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Media Radio dalam Pelestarian dan Pengembangan Budaya Daerah: Studi terhadap Programa 4/Programa Budaya Lembaga Penyiar

0 3 18

27 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Objek Penelitian 4.1.1 Sejarah RRI Kupang

0 1 17

BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Komunikasi 2.1.1. Defenisi Komunikasi - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Wacana Kritis tentang Pencabutan Banding oleh Ahok dalam Teks Berita Surat Kabar Online Kompas.Com

0 0 16

3.1 Jenis Pendekatan - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Wacana Kritis tentang Pencabutan Banding oleh Ahok dalam Teks Berita Surat Kabar Online Kompas.Com

0 0 9

4.1.1. Sejarah Kompas.com - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Wacana Kritis tentang Pencabutan Banding oleh Ahok dalam Teks Berita Surat Kabar Online Kompas.Com

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Wacana Kritis tentang Pencabutan Banding oleh Ahok dalam Teks Berita Surat Kabar Online Kompas.Com

0 1 16

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kajian terhadap Putusan No.61/PDT.G/2012/PN Kediri dalam Perspektif Kepastian Hukum

0 0 14

BAB II PEMBAHASAN I. Tinjauan Pustaka A. Perjanjian Kredit pada Perjanjian Jaminan - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kajian terhadap Putusan No.61/PDT.G/2012/PN Kediri dalam Perspektif Kepastian Hukum

0 0 69

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Hadirnya masyarakat informasi ditandai dengan adanya pemanfaatan - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kata Sepakat dalam Transaksi E-Commerce: Putusan No. 82/Pdt.G/2013/PN.Yk.

0 1 15