BAB II PEMBAHASAN I. Tinjauan Pustaka A. Perjanjian Kredit pada Perjanjian Jaminan - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kajian terhadap Putusan No.61/PDT.G/2012/PN Kediri dalam Perspektif Kepastian Hukum

BAB II PEMBAHASAN I. Tinjauan Pustaka A. Perjanjian Kredit pada Perjanjian Jaminan 1. Pengertian Perjanjian Pengertian mengenai perjanjian diatur di dalam Bab II Buku III Kitab Undang- Undang Hukum Perdata tentang “Perikatan-Perikatan

  yang Dilahirkan Dari Kontrak atau Perjanjian”, mulai Pasal 1313 sampai dengan Pasal 1351, dimana ketentuan dalam Pasal 1313 merumuskan pengertian perjanjian yang berbunyi: “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih

  1

  mengikatkan dirinya terhadap satu oran Beberapa ahli g atau lebih”. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mencoba merumuskan definisi dari perjanjian, yaitu: a.

  Subekti “Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain, atau dimana dua orang itu saling

  2

  berjanji untuk me laksanakan sesuatu hal”.

1 Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita,

  2 2006), hal. 338.

  

Subekti dalam Buku H.R. Daeng Naja, Pengantar Hukum Bisnis Indonesia, (Yogyakarta: b.

  Abdulkadir Muhammad “Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu

  3 hal dalam lapangan harta kekayaan”.

  KRMT Tirtodiningrat “Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat diantara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat-

  4

  akibat hukum yang dapat dipaksakan oleh undang- undang”.

  d.

  Salim H.S Menurut Salim H.S., definisi perjanjian dalam Pasal 1313

  Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah memiliki kelemahan sebagai berikut: 1)

  Tidak jelas, karena setiap perbuatan dapat disebut perjanjian; 2)

  Tidak tampak asas konsensualisme;

3) Bersifat dualisme.

  Berdasarkan kelemahan tersebut, pengertian perjanjian menurut Salim H.S. adalah: “Perjanjian atau kontrak adalah hubungan hukum antara subjek hukum satu dengan subjek hukum lain dalam bidang harta kekayaan. Subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu pula subjek hukum lain berkewajiban

3 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000),

  4 hal. 224-225.

  

KRMT Tirtodiningrat dalam Buku Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian-Asas untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah

  5

  d isepakatinya”.

2. Syarat Sahnya Perjanjian

  Menurut Abdulkadir Muhammad, syarat sahnya suatu Undang Hukum Perdata, yaitu: a.

  Adanya persetujuan kehendak antara pihak-pihak yang membuat perjanjian (konsensus).

  Persetujuan kehendak merupakan suatu kesepakatan, seia sekata antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian, apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak

  6 yang lainnya.

  b.

  Kecakapan para pihak Kecapakan berbuat adalah kewenangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum sendiri yang dilakukan oleh subjek hukum. Pada umumnya, seseorang dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum apabila ia sudah dewasa, artinya sudah mencapai umur 21 tahun atau sudah kawin walaupun belum berumur 21

  7 tahun.

  5 6 Salim H.S., H., (2004), Op Cit, hal. 15-17.

  Abdulkadir Muhammad, (2000), Op Cit, hal. 228-231. c.

  Suatu hal atau objek tertentu Suatu hal atau objek tertentu merupakan pokok perjanjian, objek perjanjian dan prestasi yang wajib dipenuhi. Prestasi itu harus tertentu atau sekurang-kurangnya dapat ditentukan.

  8 Adanya suatu sebab yang halal (causa halal) Kata causa berasal dari bahasa Latin yang artinya sebab.

  Sebab adalah suatu yang menyebabkan dan mendorong orang membuat perjanjian. Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengartikan causa yang halal bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau mendorong orang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti “isi perjanjian itu sendiri” yang menggambarkan tujuan yang hendak dicapai oleh para pihak.

3. Perjanjian Kredit Sebagai Perjanjian yang Mengawali Perjanjian

  Jaminan Perjanjian adalah suatu hubungan hukum mengenai kekayaan

  (harta benda) antara dua orang, yang memberikan hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu.

  9 Pasal 1 ayat 11 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang

  Perbankan mengatur bahwa Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain

8 Ibid, hal. 231.

  yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

  Salah satu kegiatan usaha perbankan adalah berupa perjanjian kredit. Perjanjian kredit merupakan perjanjian antara pihak bank sebenarnya perjanjian kredit merupakan perjanjian yang tergolong dalam jenis perjanjian pinjam pengganti. Meskipun demikian adanya, namun perjanjian kredit tetap merupakan perjanjian khusus karena di dalamnya terdapat kekhususan, dimana pihak kreditor adalah pihak bank sedangkan objek perjanjian adalah uang. Perjanjian kredit ini dibuat secara tertulis, tujuannya ialah untuk bukti lengkap mengenai

  

10

apa yang mereka perjanjikan.

  Dalam setiap permohonan pemberian kredit biasanya bank akan melakukan penilaian dari berbagai aspek antara lain yang lazim adalah dari segi watak debitor (character), dari segi kemampuan debitor (capacity) , modal (capital), jaminan atau dalam istilah bank disebut

  11 agunan (collateral) dan prospek usaha debitor (condition of economic).

4. Asas-asas Hukum Perjanjian

  Hukum Perjanjian mengenal beberapa asas penting yang merupakan dasar kehendak para pihak dalam mencapai tujuan.

  Beberapa asas perjanjian sebagaimana diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu: a. 10 Asas Kebebasan Berkontrak 11 Abdulkadir Muhammad, (2000), Op Cit, hal. 226.

  

Eddy Putra Tje’Aman, Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis, (Yogyakarta: Liberty, 1985),

  Asas ini diatur dalam ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku

  12

  sebagai undang- Asas undang bagi mereka yang membuatnya”. kebebasan berkontrak bermakna bahwa setiap orang bebas bentuknya sejauh tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Asas ini memiliki ruang lingkup kebebasan

  13

  untuk: 1)

  Membuat atau tidak membuat perjanjian; 2)

  Mengadakan perjanjian dengan siapapun; 3)

  Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya; 4)

  Menentukan objek perjanjian;

5) Menentukan bentuk perjanjian secara tertulis atau lisan.

  b.

  Asas Konsensualisme Asas Konsensualisme ini terdapat dalam Pasal 1320 ayat

  (1) KUH Perdata yang mengandung pengertian bahwa perjanjian itu terjadi saat tercapainya kata sepakat (konsensus) antara pihak- pihak mengenai pokok perjanjian, sehingga sejak saat itu

  14 perjanjian mengikat dan mempunyai akibat hukum.

  c.

  Asas Mengikatnya Perjanjian (Asas Pacta Sunt Servanda)

  12 13 Subekti dan Tjitrosudibio, (2006), Op Cit, hal. 342.

  

Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009), hal. 43-

44.

  Asas ini diatur dalam ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang merupakan akibat hukum suatu perjanjian, yaitu

  15 adanya kepastian hukum yang mengikat suatu perjanjian.

  d.

  Asas Itikad Baik yang berbunyi: “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad

  16

  17 Itikad baik ada 2 (dua), yaitu: baik”.

  1) Bersifat Objektif, artinya mengindahkan kepatutan dan kesusilaan;

  2) Bersifat Subjektif, ditentukan oleh sifat batin seseorang.

  5. Akibat Hukum Perjanjian yang Sah Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat seperti yang tercantum dalam Pasal 1320 KUH Perdata, serta

  18

  menimbulkan akibat hukum, yaitu: a.

  Berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya Berdasarkan ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata, bahwa perjanjian berlaku sebagai Undang-Undang bagi pihak-pihak, artinya perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa serta memberi kepastian hukum kepada pihak-pihak yang membuatnya. Jika ada yang melanggar, maka ia dianggap melanggar undang-undang sehingga dapat diberi sanksi hukum 15 tertentu. 16 Ibid, hal. 45. 17 Subekti dan Tjitrosudibio, (2006), Loc Cit, hal. 342.

  Handri Raharjo, (2009), Loc Cit, hal. 45. b.

  Tidak dapat ditarik kembali secara sepihak Perjanjian yang dibuat secara sah mengikat para pihak yang membuatnya dan tidak dapat ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak saja tanpa persetujuan pihak lainnya. Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik

  Maksudnya adalah bahwa pelaksanaan perjanjian tersebut harus mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan.

6. Berakhirnya Perjanjian

  19 Menurut R. Setiawan, bahwa suatu perjanjian akan berakhir apabila: a.

  Ditentukan oleh undang-undang; b. Undang-Undang menentukan batas berlakunya perjanjian; c. Para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu maka perjanjian akan hapus; d.

  Adanya pernyataan penghentian persetujuan atau perjanjian; e. Perjanjian hapus karena putusan hakim; f. Tujuan perjanjian telah tercapai.

B. Hak Tanggungan sebagai Jaminan 1.

  Pengertian Hak Tanggungan Tanggungan dapat diartikan sebagai suatu barang yang dijadikan jaminan guna pelunasan suatu hutang dari Debitur.

  Pengertian Hak Tanggungan berdasarkan Pasal 1 ayat 1 Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-Benda yan g berkaitan dengan tanah adalah: “Hak

  Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu kepada kreditur- kreditur lain”. Menurut H. Salim H.S., Hak Tanggungan memiliki ciri-ciri

  20

  sebagai berikut: a.

  Memberikan kedudukan yang diutamakan atau didahulukan kepada pemegangnya atau yang dikenal dengan droit de preference; b.

  Selalu mengikuti objek yang dijamin dalam tangan siapapun benda itu berada atau disebut droit de suite. Keistimewaannya ditegaskan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 bahwa walaupun objek hak tanggungan sudah dipindahtangankan haknya kepada pihak lain, kreditur pemegang hak tanggungan tetap masih berhak untuk menjualnya melalui pelelangan umum apabila debitur cidera janji; c. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum bagi pihak yang berkepentingan; d.

  Mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya atau memberikan kemudahan bagi kreditur dalam pelaksanaan eksekusi.

  Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria bahwa pada hak-hak atas tanah, yaitu hak tanggungan sebagai pengganti lembaga hypoteek dan creditverband. Selama 30 tahun lebih sejak mulai berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria, lembaga Hak Tanggungan di atas belum dapat berfungsi sebagaimana mestinya, karena belum adanya undang-undang yang mengaturnya secara lengkap sesuai yang dikehendaki Pasal 51 tersebut. Dalam kurun waktu itu, berdasarkan ketentuan peralihan yang tercantum dalam Pasal 57 Undang-Undang Pokok Agraria, masih diberlakukan ketentuan Hypoteek sebagaimana dimaksud dalam Buku II KUH Perdata Indonesia dan ketentuan creditverband dalam Staatsblad 1908-542 sebagaimana yang telah diubah dengan Staatsblad 1937-190, sepanjang mengenai hal-hal yang belum terdapat aturannya di dalam

  21 Undang-Undang Pokok Agraria.

2. Dasar Hukum Hak Tanggungan

  Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, peraturan yang mengatur tentang pembebanan Hak atas tanah adalah Bab XXI Buku II KUH Perdata, 21 yang berkaitan dengan hypoteek dan creditverband dalam Staatsblad

  

Yudha Pandu, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Jaminan Fidusia dan Hak

  1908-542 sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad 1937-190. Kedua ketentuan tersebut sudah tidak berlaku lagi karena tidak sesuai dengan kebutuhan perkreditan di Indonesia.

  Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun

  22 a.

  Ketentuan Umum (Pasal 1 sampai dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996); b. Objek Hak Tanggungan (Pasal 4 sampai dengan Pasal 7 Undang-

  Undang Nomor 4 Tahun 1996); c. Pemberi dan Pemegang Hak Tanggungan (Pasal 8 sampai dengan

  Pasal 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996); d. Tata Cara Pemberian, Pendaftaran, Peralihan dan Hapusnya Hak Tanggungan (Pasal 10 sampai dengan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996); e. Eksekusi Hak Tanggungan (Pasal 20 sampai dengan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996); f. Pencoretan Hak Tanggungan (Pasal 22 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996); g. Sanksi Administrasi (Pasal 23 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996); h. Ketentuan Peralihan (Pasal 24 sampai dengan Pasal 26 Undang-

  Undang Nomor 4 Tahun 1996); i.

  Ketentuan Penutup (Pasal 27 sampai dengan Pasal 31 Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1996).

3. Asas-Asas Hak Tanggungan

  H. Salim H.S menyebutkan bahwa asas-asas Hak Tanggungan adalah:

  23 a.

  Mempunyai kedudukan yang diutamakan bagi kreditur pemegang Hak Tanggungan (Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996); b. Tidak dapat dibagi-bagi (Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor

  4 Tahun 1996); c. Hanya dibebankan pada hak atas tanah yang telah ada (Pasal 2 ayat

  (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996); d. Dapat dibebankan selain tanah juga berikut benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah tersebut (Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang

  Nomor 4 Tahun 1996); e. Dapat dibebankan atas benda lain yang berkaitan dengan tanah yang baru akan ada di kemudian hari (Pasal 4 ayat (4) Undang-

  Undang Nomor 4 Tahun 1996); f. Sifat perjanjiannya adalah tambahan (accesoir) (Pasal 10 ayat (1),

  Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996); g. Dapat dijadikan jaminan untuk utang yang baru akan ada (Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996); h.

  Dapat menjamin lebih dari satu utang (Pasal 3 ayat (2) Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1996); i. Mengikuti objek dalam tangan siapa pun objek itu berada (Pasal 7

  Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996); Tidak dapat diletakkan sita oleh Pengadilan; k.

  Hanya dapat dibebankan atas tanah tertentu (Pasal 8, Pasal 11, ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996); l. Wajib didaftarkan (Pasal 13 Undang-Undang Nomor 4 Tahun

  1996); m. Pelaksanaan eksekusi mudah dan pasti; n.

  Dapat dibebankan dengan disertai janji-janji tertentu (Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996).

  Disamping itu, dalam undang-undang hak tanggungan ditentukan juga suatu asas bahwa objek hak tanggungan tidak boleh diperjanjikan untuk dimiliki oleh pemegang hak tanggungan bila pemberi hak tanggungan cedera janji. Apabila hal itu dicantumkan, maka perjanjian seperti itu batal demi hukum, artinya bahwa dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada karena bertentangan dengan

  24 substansi undang-undang hak tanggungan.

4. Subjek dan Objek Hak Tanggungan a.

  Subjek Hak Tanggungan Subjek hak tanggungan diatur dalam Pasal 8 sampai dengan

  Pasal 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 adalah:

  1) Pemberi hak tanggungan, merupakan perorangan atau badan hukum, yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan.

  2) Pemegang hak tanggungan, merupakan perorangan atau badan

  Dalam praktiknya, pemberi hak tanggungan disebut dengan debitur, yaitu orang yang meminjam uang di lembaga perbankan, sedangkan penerima hak tanggungan disebut dengan istilah kreditur, yaitu orang atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak berpiutang.

  b.

  Objek Hak Tanggungan Pada dasarnya tidak setiap hak atas tanah dapat dijadikan jaminan utang, tetapi hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1)

  Dapat dinilai dengan uang, karena utang yang dijamin berupa uang; 2)

  Termasuk hak yang didaftar dalam daftar umum, karena harus memenuhi syarat publisitas; 3)

  Mempunyai sifat dapat dipindahtangankan, karena apabil debitur cidera janji benda yang dijadikan jaminan utang akan dijual di muka umum; dan

  25

4) Memerlukan penunjukan dengan undang-undang.

  Menurut H. Salim H.S, terdapat 5(lima) jenis hak atas tanah yang dapat dijaminkan dengan Hak Tanggungan, yaitu: 1)

  Hak Milik; 2)

  Hak Guna Usaha; Hak Guna Bangunan;

  4) Hak Pakai, baik hak milik maupun hak atas negara;

  5) Hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dan merupakan hak milik pemegang hak atas tanah yang pembebannya dengan tegas dan dinyatakan di

  26 dalam akta pemberian hak atas tanah yang bersangkutan.

5. Tata Cara Pemberian, Pendaftaran, dan Hapusnya Hak Tanggungan a.

  Tata Cara Pemberian Hak Tanggungan Tata cara pemberian Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 10 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996. Dalam

  Pasal 10 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 diatur tentang tata cara pemberian hak tanggungan oleh pemberi hak tanggungan secara langsung, sedangkan dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 diatur tentang pemberian kuasa pembebanan hak tanggungan oleh pemberi hak tanggungan kepada penerima kuasa.

  Adapun prosedur pemberian Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, dilakukan dengan cara: 1)

  Didahului janji untuk memberikan hak tanggungan sebagai terpisahkan dari perjanjian utang piutang; 2)

  Dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh PPAT sesuai peraturan perundang- undangan yang berlaku;

  3) Objek hak tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat didaftarkan, akan tetapi belum dilakukan, pemberian hak tanggungan dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan.

  27 b.

  Tata Cara Pendaftaran Hak Tanggungan Pendaftaran hak tanggungan diatur dalam Pasal 13 sampai dengan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996. Akta

  Pemberian Hak Tanggungan yang dibuat oleh PPAT wajib didaftarkan. Tata cara pendaftaran dikemukakan sebagai berikut: 1)

  Pendaftaran dilakukan di Kantor Pertanahan; 2)

  PPAT dalam waktu 7 hari setelah ditandatangani pemberian hak tanggungan wajin mengirimkan akta pendaftaram hak tanggungan dan warkah lainnya kepada Kantor Pertanahan serta berkas yang diperlukan.

  3) Kantor Pertanahan membuatkan buku tanah hak tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan;

  3) Tanggal buku tanah hak tanggungan adalah tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya. Jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku tanah yang bersangkutan diberi tanggal hari kerja berikutnya;

  4) Hak tanggungan lahir pada hari tanggal buku tanah hak tanggungan dibuatkan (Pasal 13 Undang-Undang Nomor 4

  Tahun 1996);

  28

5) Kantor Pertanahan menerbitkan Sertifikat Hak Tanggungan.

  c.

  Peralihan Hak Tanggungan Pada dasarnya hak tanggungan dapat dialihkan kepada pihak lainnya. Peralihan hak tanggungan ini ditaur dalam Pasal 16 sampai dengan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996. Peralihan Hak Tanggungan dapat dilakukan dengan cara sebagai

  29

  berikut:

28 Ibid, hal. 179-184.

  1) Cessi, perbuatan hukum mengalihkan piutang oleh kreditur pemegang hak tanggungan kepada pihak lainnya. Cessi harus dilakukan dengan akta autentik dan akta di bawah tangan;

  2) Subrogasi, penggantian kreditur oleh pihak ketiga yang

  3) Pewarisan;

  4) Sebab-sebab lainnya, hal-hal yang terjadi selain hal-hal diatas.

  Misalnya, dalam hal terjadinya pengambilalihan atau penggabungan perusahaan sehingga menyebabkan beralihnya piutang dari perusahaan semula kepada perusahaan baru.

  d.

  Hapusnya Hak Tanggungan Hapusnya hak tanggungan diatur dalam Pasal 18 sampai dengan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996. Yang dimaksud dengan hapusnya hak tanggungan adalah tidak berlakunya lagi hak tanggungan. Menurut H. Salim H.S, ada 4

  30

  (empat) sebab hapusnya hak tanggungan, yaitu: 1)

  Hapusnya utang yang dijamin dengan hak tanggungan; 2)

  Dilepaskan hak tanggungan oleh pemegang hak tanggungan; 3)

  Pembersihan hak tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri; 4) Hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan.

  Sudikno Mertokusumo, mengemukakan 6 (enam) cara

  31 30 berakhirnya atau hapusnya hak tanggungan, yaitu: Ibid, hal. 187.

  1) Dilunasinya hutang atau dipenuhinya prestasi secara sukarela oleh debitur (tidak terjadi cidera janji atau sengketa);

  2) Debitur tidak memenuhi tepat waktu, yang berakibat debitur akan ditegur oleh kreditur untuk memenuhi prestasinya; Debitur cidera janji, dengan adanya cidera janji tersebut, maka kreditur dapat mengadakan parate executie dengan menjual barang yang dijaminkan melalui lelang barang tanpa melibatkan pengadilan. Utang dilunasi dari hasil penjualan lelang tersebut. Dengan demikian, perjanjian utang piutang berakhir;

  4) Debitur cidera janji, maka kreditur dapat mengajukan sertifikat hak tanggungan ke pengadilan untuk dieksekusi berdasarkan

  Pasal 224 HIR yang diikuti pelelangan umum. Dengan dilunasi utang dari hasil penjualan lelang, maka perjanjian utang piutang berakhir;

  5) Debitur cidera janji dan tetap tidak mau memenuhi prestasi maka debitur digugat oleh kreditur, yang kemudian diikuti oleh putusan pengadilan yang memenangkan kreditur;

  6) Debitur tidak mau melaksanakan putusan pengadilan yang mengalahkannya dan menghukum melunasi utangnya maka putusan pengadilan dieksekusi secara paksa dengan pelelangan umum yang hasilnya digunakan untuk melunasi hutang debitur, dan mengakibatkan perjanjian utang piutang berakhir.

6. Eksekusi Hak Tanggungan

  Eksekusi adalah pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Yang dapat dieksekusi adalah salinan putusan dan grosse akta (salinan pertama dari akta autentik). sehingga grosse akta disamakan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yang memuat titel eksekutorial juga, dengan demikian dapat dieksekusi. Eksekusi dibedakan menjadi 4 (empat) jenis, yaitu: a.

  Eksekusi putusan yang menghukum pihak yang dikalahkan untuk membayar sejumlah uang. Eksekusi ini diatur di dalam Pasal 196 HIR; b. Eksekusi putusan yang menghukum orang untuk melakukan suatu perbuatan. Ini diatur dalam Pasal 225 HIR. Orang tidak dapat dipaksakan untuk memenuhi prestasi yang berupa perbuatan. Akan tetapi, pihak yang dimenangkan dapat minta kepada hakim agar kepentingan yang akan diperolehnya dinilai dengan uang; c. Eksekusi riil, yaitu merupakan pelaksanaan prestasi yang dibebankan kepada debitur oleh putusan hakim secara langsung.

  Eksekusi riil tidak diatur dalam HIR akan tetapi diatur dalam Pasal 1033 Rv (Reglement of de Rechtsvordering. HIR hanya mengenal eksekusi riil dalam pejualan lelang (Pasal 200 ayat (11) HIR) dan; d. Eksekusi parat (parate executie), Secara etimologis berasal dari kata “paraat” yang artinya siap di tangan, sehingga parate executie dapat dikatakan sebagai sarana eksekusi yang siap di tangan. Menurut kamus hukum, parate executie mempunyai arti yakni pelaksanaan yang langsung tanpa harus melewati proses pengadilan atau hakim. yang berada diluar wilayah hukum acara dan tidak perlu ada penyitaan. Tidak melibatkan juru sita, keseluruhannya dilaksanakan seperti orang yang menjual barangnya sendiri

  32 didepan umum.

  Sedangkan

  “parate executie” menurut Pasal 6 UUHT,

  menyebutkan: “Apabila Debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil

  33 pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut”.

  Atau dengan perkataan lain, parate executie dilaksanakan tanpa menerima fiat eksekusi atau izin dari Pengadilan Negeri. Adapun unsur-unsur yang terjalin menjadi esensi dalam Pasal 6 UUHT.

C. Lelang Hak Tanggungan 1.

  Pengertian Lelang Pengertian lelang menurut Vendu Reglement (Stbl.Tahun 1908 No.189 diubah dengan Stbl. 1940 No.56).

  “Penjualan Umum” adalah: Pelelangan atau penjualan barang-barang yang dilakukan kepada umum dengan harga penawaran yang meningkat atau menurun atau dengan pemasukan harga dalam sampul 32 tertutup, atau kepada orang-orang yang diundang atau sebelumnya

  Herowati Poesoko, Dinamika Hukum Parate Executie Objek Hak Tanggungan, (Yogyakarta: CV. Aswaja Pressindo, 2013), hal. 195. diberitahu mengenai pelelangan atau penjualan itu, atau diijinkan untuk ikut serta dan diberi kesempatan untuk menawar harga, menyetujui harga yang ditawarkan atau memasukkan harga dalam

  34 sampul tertutup.

  Pengertian lelang berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 106/PMK.06/2013 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang sebagaimana di dalam Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa: “lelang adalah suatu cara penjualan barang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi yang didahului dengan pengumuman lelang”.

  Menurut Yahya Harahap yang dimaksud dengan penjualan di muka umum atau yang biasanya disebut dengan lelang adalah: “Pelelangan dan penjualan barang yang diadakan di muka umum dengan penawaran harga yang makin meningkat, dengan persetujuan harga yang makin meningkat, atau dengan pendaftaran harga, atau dimana orang orang yang diundang atau sebelumnya sudah diberi tahu tentang pelelangan atau penjualan, atau kesempatan yang diberikan kepada orang-orang yang berlelang atau yang membeli untuk

  35

  menawar harga, meny etujui harga atau mendaftarkan”.

2. Asas-Asas Lelang

  Menurut FX Ngadijarno, Nunung Eko Laksito, dan Isti Indri Listiani dalam Peraturan Perundang-undangan di bidang lelang dapat

  36

  ditemukan adanya Asas Lelang yaitu: a.

  Asas Keterbukaan menghendaki agar seluruh lapisan masyarakat 34 mengetahui adanya rencana lelang dan mempunyai kesempatan 35 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, Pasal 19 Ayat (1).

  

M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, (Jakarta:

36 Gramedia Pustaka: 1989), hal. 115.

  

FX. Ngadijarno, Badan Lelang; Teori dan Praktek, Departemen Keuangan Republik Indonesia. yang sama untuk mengikuti lelang sepanjang tidak dilarang oleh Undang-Undang. Oleh karena itu, setiap pelaksanaan lelang harus didahului dengan pengumuman lelang; b.

  Asas Keadilan mengandung pengertian bahwa dalam proses proposional bagi setiap pihak yang berkepentingan; c.

  Asas Kepastian Hukum menghendaki agar lelang yang telah dilaksanakan menjamin adanya perlindungan hukum bagi pihak- pihak yang berkepentingan dalam pelaksanaan lelang; d. Asas Efisiensi akan menjamin pelaksanaan lelang dilakukan dengan cepat dan dengan biaya yang relatif murah karena lelang dilakukan pada tempat dan waktu yang telah ditentukan dan pembeli disahkan saat itu juga; e.

  Asas Akuntabilitas menghendaki agar lelang yang dilaksanakan oleh Pejabat Lelang dapat dipertanggungjawabkan kepada semua pihak yang berkepentingan. Pertanggungjawaban Pejabat Lelang meliputi administrasi lelang dan pengelolaan uang lelang.

3. Syarat-Syarat Lelang

  Pasal 2, 3 dan 4 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 106/PMK.06/2013 jo. Pasal 6 Keputusan Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara Nomor 35/PL/2002 Tentang syarat lelang, syarat lelang adalah asas atau patokan yang harus ditegakkan Pejabat Lelang pada pelaksanaan lelang mengenai syarat lelang yang terdiri dari syarat umum dan syarat khusus, yaitu: a.

  Syarat umum lelang merupakan syarat yang berlaku dalam setiap pelaksanaan lelang. Yang termasuk syarat umum adalah: 1)

  Dilaksanakan di hadapan Pejabat Lelang atau ditutup dan disahkan oleh Pejabat Lelang kecuali ditentukan lain oleh 2)

  Terbuka untuk umum yang dihadiri oleh:

  a) Penjual;

b) 1 (satu) orang peserta atau lebih.

  3) Pengumuman lelang;

  4) Harga lelang dibayar secara tunai selambat-lambatnya 1 (satu) hari setelah pelaksanaan lelang.

  b.

  Syarat tambahan Pasal 8 Keputusan Menteri Keuangan jo. Pasal 6 ayat (2) Keputusan Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara memberi hak kepada penjual untuk menentukan syarat-syarat lelang yang bersifat tambahan, yaitu: 1)

  Jadwal penjelasan lelang kepada peserta lelang sebelum pelaksanaan lelang; 2)

  Jangka waktu bagi calon pembeli untuk melihat, meneliti secara fisik barang yang akan dilelang; 3)

  Jangka waktu pembayaran harga lelang;

4) Jangka waktu pengambilan penyerahan barang oleh pembeli.

4. Jenis-Jenis Lelang

  Jenis-jenis lelang yang ada menurut Peraturan Menteri

  37 Keuangan Nomor 106/PMK.06/2013 Pasal 1 ayat 4, 5, dan 6 adalah: a.

  Lelang Eksekusi atau dokumen-dokumen lain, yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dipersamakan dengan itu, dalam rangka membantu penegakan hukum, antara lain: Lelang Eksekusi Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN), Lelang Eksekusi Pengadilan, Lelang Eksekusi Pajak, Lelang Eksekusi Harta Pailit, Lelang Eksekusi Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT).

  b.

  Lelang Non Eksekusi Lelang non eksekusi dibedakan menjadi: 1)

  Lelang Non Eksekusi Wajib Lelang untuk melaksanakan penjualan barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang

  Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara atau barang milik Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/D) yang oleh peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk dijual secara lelang, termasuk kayu dan hasil hutan lainnya dari tangan pertama.

  2) Lelang Non Eksekusi Sukarela

  Lelang Non Eksekusi Sukarela adalah lelang untuk melaksanakan penjualan barang milik perorangan, kelompok masyarakat atau badan swasta yang dilelang secara sukarela 5.

  Lelang Eksekusi Hak Tanggungan

  Pasal 1 ayat 4 dan 5 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 106/PMK.06/2013 mengklasifikasi lelang menjadi 2 (dua), yaitu Lelang Eksekusi dan Lelang Non Eksekusi. Pada dasarnya, pelaksanaan lelang eksekusi menganut prinsip dasar yang sama, yaitu mencairkan sejumlah tagihan kreditor atas debitor yang ingkar janji (wanprestasi). Dalam hal penyelesaian kredit macet melalui Pengadilan Negeri karena adanya perkara gugatan maka pelelangan dilakukan sebagai pelaksanaan putusan Hakim dalam perkara perdata yang telah berkekuatan hukum tetap (in kraacht), sebagaimana ketentuan Pasal 195 HIR dan Pasal 206 RBG.

  Pelaksanaan lelang eksekusi hak tanggungan dalam UUHT diatur dalam Pasal 20 ayat (1) huruf a, huruf b dan ayat (2) UUHT jo.

  Pasal 224 HIR atau 258 Rbg, Pasal-pasal tersebut sangat terkait dengan ketentuan dalam Pasal 6 beserta penjelasan, Pasal 14 dan Pasal

  26 UUHT. Sesuai penjelasan umum ayat 9 UUHT, salah satu ciri Hak Tanggungan yang kuat adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya, jika debitor cidera janji.

  Sehubungan dengan itu, pada sertifikat Hak Tanggungan, yang berfungsi sebagai surat tanda-bukti adanya Hak Tanggungan, dibubuhkan irah-irah dengan kata-kata

  “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, untuk pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.

6. Prosedur Pelaksanaan Lelang Eksekusi

  Berikut merupakan uraian secara sederhana mengenai prosedur pelaksanaan lelang melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL), adapun tahapannya adalah:

  38 a.

  Permohonan lelang dari pemilik Barang/Penjual Penjual mengajukan permohonan lelang secara tertulis yang ditujukan kepada KPKNL dengan melengkapi surat permohonan lelang yang disertai dengan dokumen-dokumen/bukti-bukti hak dan kewenangannya menjual barang secara lelang. Penjual juga dapat menetapkan syarat-syarat penjualan lelang selama hal tersebut tidak dianggap bertentangan dengan ketentuan lelang yang berlaku.

  b.

  KPKNL menetapkan tanggal/hari dan jam pelaksanaan lelang Setelah kantor lelang meneliti permohonan lelang beserta dokumen kelengkapannya tersebut dan memperoleh atas legalitas subjek dan objek lelang, maka kantor lelang (KPKNL) akan menetapkan waktu dan tempat lelang. c.

  Pengumuman lelang di surat kabar harian Pengumuman lelang berdasarakan Pasal 42 PMK Nomor

  93/PMK.06/2010 paling sedikit memuat: 1)

  Identitas Penjual; Hari, tanggal, waktu dan tempat pelaksanaan lelang;

  3) Jenis dan jumlah barang;

  4) Lokasi, luas tanah, jenis hak atas tanah, dan ada/tidak adanya bangunan, khusus untuk barang tidak bergerak berupa tanah dan/atau bangunan;

  5) Spesifikasi barang, khusus untuk barang bergerak;

  6) Waktu dan tempat melihat barang yang akan dilelang;

  7) Uang Jaminan Penawaran Lelang meliputi besaran, jangka waktu, cara dan tempat penyetoran, dalam hal dipersyaratkan adanya Uang Jaminan Penawaran Lelang;

  8) Nilai limit, kecuali Lelang Kayu dan Hasil Hutan lainnya dari tangan pertama dan Lelang Noneksekusi Sukarela untuk barang bergerak;

  9) Cara penawaran lelang; dan

10) Jangka waktu Kewajiban Pembayaran Lelang oleh Pembeli.

  d.

  Peserta lelang menyetorkan uang jaminan ke rekening KPKNL Uang jaminan lelang diterima paling lambat 1 (satu) hari kerja sebelum pelaksanaan lelang. Uang jaminan penawaran lelang dibebankan kepada pihak Peserta Lelang dengan besaran yang ditentukan oleh Penjual paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari

  Nilai Limit dan paling banyak sama dengan Nilai Limit. Ketentuan mengenai besaran uang jaminan penawaran lelang disebutkan dalam Pasal 32 PMK Nomor 93/PMK.06/2010.

  e.

  Pelaksanaan lelang oleh Pejabat Lelang dari KPKNL Undang berwenang melaksanakan lelang. Setiap pelaksanaan lelang (berdasarkan Pasal 1a Vendu Reglement dan Pasal 2 PMK Nomor 93/PMK.06/2010) harus dilakukan oleh dan/atau dihadapan pejabat lelang kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah. Lelang tetap dilaksanakan walaupun hanya diikuti oleh 1 (satu) orang peserta lelang dan dalam pelaksanaan lelang, pejabat lelang dapat dibantu oleh pemandu lelang.

  f.

  Pemenang lelang membayar harga lelang kepada KPKNL Pemenang lelang harus menyelesaikan pelunasan pembayaran paling lambat 3 (tiga) hari setelah pelaksanaan lelang, dan bila pembayaran tidak dilunasi dalam jangka waktu yang ditentukan, maka jaminan lelang seluruhnya menjadi Hak Negara dengan disetorkan ke Kas Umum Negara.

  g.

  Bea lelang disetorkan ke Kas Negara oleh KPKNL Bea lelang Pembeli yang dipungut sesuai dengan ketentuan

  Peraturan Pemerintah tentang Bea Lelang, Staatsblad 1949-390, yaitu 9% untuk barang bergerak dan 4,5% untuk barang tidak bergerak, dan uang miskin dipungut berdasarkan Pasal 18 Vendu Reglement sebesar 0,7% untuk barang bergerak dan 0,4% untuk barang tidak bergerak. Dilain pihak kepada Penjual juga dipungut Bea Lelang, yaitu 3% untuk barang bergerak dan 1,5% untuk barang tidak bergerak dihitung dari Pokok Lelang. Kepada Penjual tidak dikenakan uang miskin. Hasil bersih lelang disetorkan ke pemohon lelang

  Dalam hal pemohon lelang/pemilik barang adalah instansi pemerintah maka hasil lelang disetorkan ke Kas Negara. Kemudian KPKNL menyerahkan dokumen dan Petikan Risalah Lelang sebagai bukti untuk balik nama dan sebagainya.

D. Teori Memutus Menurut Hakim

  Indonesia merupakan negara hukum sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, maka setiap tindakan baik pemerintahan maupun rakyatnya harus mempunyai dasar hukum yang mengandung legalitas berdasarkan hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Adapun ciri khas negara hukum sebagai berikut:

  39 1.

  Adanya pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia, yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi dan kebudayaan; 2. Peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh suatu kekuasaan atau kekuatan apapun;

3. Legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya.

  Salah satu prinsip dari negara hukum adalah diakuinya peradilan yang bebas dan tidak memihak. Kemandirian peradilan harus diatur dalam 39 Arman Saudi, Sistem Pengawasan Badan Peradilan Di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, perundang-undangan yang memberikan jaminan yuridis adanya kemerdekaan kekuasaan kehakiman, undang-undang yang mengatur tentang kekuasaan kehakiman adalah Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagaimana dalam Pasal 1 merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik

40 Indonesia.

  Pada putusan hakim harus disertai alasan-alasan atau fakta-fakta hukum dan dasar-dasar yang legalistik termasuk sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Berdasarkan ketentuan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,

  41

  dalam pertimbangan hukum putusan itu harus memuat: 1.

  Alasan-alasan yang berkaitan dengan penentuan fakta-fakta kejadian dikualifisir menjadi fakta hukum;

  2. Dasar putusan yang berkaitan dengan hukum yang diterapkan dan argumen-argumen pendukung;

  3. Pasal-pasal dari peraturan perundang-undangan yan berkaitan dengan dasar hukum yang diterapkan;

4. Alasan hukum tak tertulis yang berupa argumen sosiologis dan

  40 filosofis atau moral justice; 41 Ibid, hal. 42-43.

  

Syarif Mappiasse, Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim Edisi Pertama, (Jakarta:

  5. Alasan dan dasar hukum harus tepat dan benar sesuai dengan Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

  Menurut Pasal 50 ayat (1) UU No.48 tahun 2009 tentang harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

  Adanya enam langkah dalam merumuskan pendapat hukum yang di sampaikan pada saat sidang permusyawaratan hakim dalam menjatuhkan putusan berdasarkan Pasal 50 jo. Pasal 53 ayat (2) dan Pasal

  42

  14 UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yakni: 1.

  Mengidentifikasi fakta-fakta untuk menghasilkan struktur kasus yang diyakini oleh hakim sebagai suatu kasus yang riil terjadi;

  2. Menghubungkan struktur kasus tersebut dengan sumber-sumber hukum yang relevan, sehingga ia dapat menetapkan perbuatan hukum kedalam peristilahan yuridis; 3. Menyeleksi sumber hukum dan aturan hukum yang relevan untuk kemudia mencari tahu kebijakan yang terkandung di dalam aturan hukum itu, sehingga menghasilkan suatu struktur aturan yang koheren; 4. Menghubungkan struktur aturan dengan struktur kasus (fakta hukum) secara silogisme deduktif;

5. Mencari alternatif-alternatif penyelesaian yang tepat dan benar;

6. Menetapkan pilihan atas salah satu alternatif untuk kemudia ditetapkan sebagai pendapat hukum yang sesuai dengan dictum putusan.

  Seorang hakim dalam menjalankan fungsi yudisialnya bukan hanya sebagai terompetnya undang-undang, yang beranggapan bahwa pasal- harus berani bertindak sebagai penemu hukum seperti yang diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang kemudian dijabarkan oleh UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dimana hakim diharuskan memiliki kemampuan untuk mengeksplorasi nilai-nilai keadilan dalam masyarakat untuk pertimbangannya yang dituangkan dalam bentuk putusan-putusan yang dapat dijadikan acuan berupa yurisprudensi.

E. Teori Kepastian Hukum

  Kepastian berasal dari kata pasti, yang artinya tentu; sudah tetap;

  43

  tidak boleh tidak; suatu hal yang sudah tentu. Seorang filsafat hukum Jerman yang bernama Gustav Radbruch mengajarkan adanya tiga ide dasar hukum, yang oleh sebagian besar pakar teori hukum dan filsafat hukum, juga diidentikan sebagai tiga tujuan hukum, diantaranya keadilan,

  44 kemanfaatan dan kepastian hukum.

  Munculnya hukum modern membuka pintu bagi masuknya permasalahan yang tidak ada sebelumnya yang sekarang kita kenal dengan 43 nama kepastian hukum itu sendiri. Kepastian hukum merupakan sesuatu

  

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, (Balai Pustaka, 2006),

44 hal. 847.

  

Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan (Judicialprudence)

Termasuk Undang-Undang (Legisprudence) Vol.I Pemahaman Awal , (Jakarta: Kencana Prenada yang baru, tetapi nilai-nilai keadilan dan kemanfaatan secara tradisional sudah ada sebelum era hukum modern.

  Menurut pendapat Gustav Radbruch, kepastian hukum adalah “Scherkeit des Rechts selbst” (kepastian hukum tentang hukum itu hukum, diantaranya:

  1. Bahwa hukum itu positif, artinya bahwa ia adalah perundang- undangan (Gesetzliches Recht);

  2. Bahwa hukum itu didasarkan pada fakta (Tatsachem), bukan suatu rumusan tentang penilaian yang nanti akan dilakukan oleh hakim, seperti “kemauan baik”, “kesopanan”; 3. Bahwa fakta itu harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, disamping juga mudah dijalankan;

  45 4.

  Hukum positif itu tidak boleh sering diubah-ubah.

Dokumen yang terkait

3.1.2. Jenis Penelitian - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Studi Efek Tontonan Sinetron Anak Langit terhadap Gaya Hidup Imitasi Siswa SMA N 3 Temanggung

0 0 41

4.1. Gambaran Umum SMA N 3 Temanggung 4.1.1. Visi dan Misi 4.1.1.1. Visi - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Studi Efek Tontonan Sinetron Anak Langit terhadap Gaya Hidup Imitasi Siswa SMA N 3 Temanggung

0 0 59

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Studi Efek Tontonan Sinetron Anak Langit terhadap Gaya Hidup Imitasi Siswa SMA N 3 Temanggung

0 0 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kajian Teori 2.1.1. Pengertian Peran - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Media Radio dalam Pelestarian dan Pengembangan Budaya Daerah: Studi terhadap Programa 4/Programa Budaya Lembaga Penyiar

0 3 18

27 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Objek Penelitian 4.1.1 Sejarah RRI Kupang

0 1 17

BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Komunikasi 2.1.1. Defenisi Komunikasi - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Wacana Kritis tentang Pencabutan Banding oleh Ahok dalam Teks Berita Surat Kabar Online Kompas.Com

0 0 16

3.1 Jenis Pendekatan - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Wacana Kritis tentang Pencabutan Banding oleh Ahok dalam Teks Berita Surat Kabar Online Kompas.Com

0 0 9

4.1.1. Sejarah Kompas.com - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Wacana Kritis tentang Pencabutan Banding oleh Ahok dalam Teks Berita Surat Kabar Online Kompas.Com

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Wacana Kritis tentang Pencabutan Banding oleh Ahok dalam Teks Berita Surat Kabar Online Kompas.Com

0 1 16

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kajian terhadap Putusan No.61/PDT.G/2012/PN Kediri dalam Perspektif Kepastian Hukum

0 0 14