Akibat Hukum Terhadap Penghibahan Seluruh Harta Warisan Oleh Pewaris Sehingga Melanggar Legitime Portie Ahli Waris Ditinjau Dari KUHPerdata (Studi Putusan Nomor 188 Pdt.G 2013 PN.Smg)

BAB II
PENGATURAN HIBAH DAN HIBAH WASIAT DALAM PEWARISAN
MENURUT KUHPERDATA

A. Ketentuan Umum Pewarisan Menurut KUHPerdata
1. Pengertian Hukum Waris
Definisi hukum waris atau pewarisan sangat banyak ditemui dalam
buku-buku

tentang

waris,

pewarisan,

hibah,

dan

lain


sebagainya.

Keanekaragaman definisi tersebut berbeda-beda tergantung pada perspektif
kalangan yang membuat definisi. Adapun beberapa definisi tentang hukum
waris yang dikemukakan oleh para ahli hukum antara lain :
a. Wirjono Projodikoro menggunakan istilah “warisan dan
mengartikannya menjadi soal apakah dan bagaimanakah berbagai
hak dan kewajiban tentang harta kekayaan seseorang pada waktu ia
meninggal dunia akan beralih kepada orang yang masih hidup”.50
b. Hazairin menggunakan istilah “hukum kewarisan, yang artinya
peraturan yang mengatur tentang apakah dan bagaimanakah berbagai
hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia
meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih
hidup”.51
c. Soepomo menggunakan istilah “hukum waris yaitu hukum yang
memuat peraturan yang mengatur proses meneruskan serta
mengoperkan barang harta benda dan barang yang tidak berwujud
benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia
(generatie) kepada turunannya. Proses itu telah mulai pada waktu
orang tua masih hidup. Proses tersebut tidak menjadi akut

disebabkan oleh orang tua meninggal dunia. Memang meninggalnya
bapak atau ibu adalah suatu peristiwa yang penting bagi proses itu,
tetapi sesungguhnya tidak mempengaruhi secara radikal proses
penerusan dan pengoperan harta benda dan harta bukan benda
tersebut”.52
d. Menurut H.M. Idris Ramulyo, “hukum waris ialah himpunan aturanaturan hukum yang mengatur tentang siapa ahli waris atau badan
50

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, (Bandung : IS Gravennage
Vorkink van Hove, 1962), hal. 8.
51
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Quran dan Hadits, Cet. Kelima,
(Jakarta : Tintamas, 1983), hal. 2.
52
Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, (Jakarta : Universitas, 1999), hal. 72-73.

25
Universitas Sumatera Utara

26


e.

f.

g.

h.

i.

j.

hukum mana yang berhak mewaris harta peninggalan, bagaimana
kedudukan masing-masing ahli waris serta berapa perolehan masingmasing secara adil dan sempurna”.53
Menurut R. Santoso Pudjosubroto, “hukum warisan adalah hukum
yang mengatur apakah dan bagaimanakah hak-hak dan kewajibankewajiban tentang harta benda seseorang pada waktu ia meninggal
dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup”.54
Menurut R. Abdul Djamali, “hukum waris adalah ketentuan hukum
yang mengatur tentang nasib kekayaan seseorang setelah meninggal

dunia”.55
Menurut B. Ter Haar Bzn., “hukum waris adalah aturan-aturan yang
mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusan dan perolehan
dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi
ke generasi”.56
Menurut A. Pitlo, “hukum waris adalah kumpulan peraturan yang
mengatur mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu
mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan
akibat dari pemindahan ini dari orang-orang yang memperolehnya,
baik dalam hubungan antara mereka maupun dalam hubungan antara
mereka dengan pihak ketiga”.57
Menurut Gregor van der Burght, “hukum waris adalah himpunan
aturan yang mengatur akibat-akibat hukum harta kekayaan pada
kematian, peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan orang yang
meninggal dunia, dan akibat-akibat hukum yang ditimbulkan
peralihan ini bagi para penerimanya, baik dalam hubungan dan
perimbangan di antara mereka satu dengan yang lain maupun dengan
pihak ketiga”.58
Menurut Wahyo Darmabrata, “hukum waris adalah peraturan yang
mengatur akibat hukum kematian atau meninggalnya seseorang

terhadap harta kekayaan yang ditinggalkan. Dengan kata lain, hukum
waris diartikan semua kaidah hukum yang mengatur peralihan harta
kekayaan orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya. Selain
mengatur mengenai nasib harta kekayaan yang ditinggalkan oleh
pewaris, hukum waris juga mengatur siapa di antara para anggota
keluarga pewaris yang berhak untuk mewaris”.59

53

M. Idris Ramulyo, Op.cit., hal. 28.
R. Santoso Pudjosubroto, Masalah Hukum Sehari-hari, (Yogyakarta : Hien Hoo Sing,
1964), hal. 8.
55
R. Abdul Djamali, Hukum Islam, (Bandung : Mandar Madju, 2002), hal. 112.
56
K.N.G. Soebakti Poesponoto, Asas dan Susunan Hukum Adat, (Jakarta : Pradnya
Paramita, 1960), hal. 197.
57
A. Pitlo, Op.cit., hal. 1.
58

Gregor van der Burght, Hukum Waris Buku Kesatu, diterjemahkan oleh F. Tengker,
Cet. Kesatu, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1995), hal. 1.
59
Wahyono Darmabrata, Hukum Perdata Asas-asas Hukum Waris, (Jakarta : Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2003), hal. 3.
54

Universitas Sumatera Utara

27

Meskipun pengertian hukum waris atau pewarisan beranekaragam
dan diambil dari perspektif yang berbeda-beda, namun definisi-definisi
tersebut tetap memiliki kesamaan. Kesamaan ini dirangkum menjadi unsur
pengertian hukum waris atau pewarisan sehingga dapat dikatakan hukum
waris atau pewarisan mengandung beberapa unsur yaitu sebagai berikut :
a. Adanya seorang peninggal warisan (erf later) pada saat wafat
meninggalkan kekayaan. Unsur ini menimbulkan persoalan yaitu
bagaimana dan sampai di mana hubungan seorang peninggal warisan
dengan kekayaannya yang dipengaruhi oleh sifat lingkungan

kekeluargaan di mana si peninggal warisan berada.
b. Adanya seorang atau beberapa ahli waris (erf genaam) yang berhak
menerima kekayaan yang ditinggalkan itu. Unsur ini menimbulkan
persoalan bagaimana dan sampai di mana harus ada tali kekeluargaan
antara peninggal warisan dan ahli waris agar kekayaan si peninggal
warisan beralih kepada ahli waris.
c. Adanya harta warisan (halaten schap) yaitu wujud kekayaan yang
ditinggalkan dan beralih kepada ahli waris itu. Unsur ini
menimbulkan persoalan yaitu bagaimana dan sampai mana wujud
kekayaan yang beralih itu dipengaruhi oleh sifat lingkungan
kekeluargaan, di mana si peninggal warisan dan ahli waris bersamasama berada. 60

2. Penempatan Pengaturan Hukum Waris dan Hukum Harta Kekayaan
Dalam KUHPerdata
Hukum waris dan hukum harta kekayaan sendiri sebenarnya
merupakan bagian yang tidak terlepas dari hukum perdata.61 Sistematika
hukum perdata dibagi menjadi dua macam yaitu sistematika hukum perdata
menurut ilmu pengetahuan hukum (doktrin) dan sistematika hukum perdata
yang terdapat dalam KUHPerdata.62


60

Maman Suparman, Hukum Waris Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, 2015), hal. 7-8.
Elisabeth Nurhaini Butarbutar, Hukum Harta Kekayaan Menurut Sistematika
KUHPerdata dan Perkembangannya, (Bandung : Refika Aditama, 2012), hal. 1.
62
Ibid., hal. 3.
61

Universitas Sumatera Utara

28

Sistematika hukum perdata menurut ilmu pengetahuan (doktrin)
mengelompokkan seluruh ketentuan hukum perdata ke dalam empat bidang
atau subsistem yaitu :
a. Bidang Hukum Orang
Pengelompokkan ini menunjukkan manusia sebagai subjek hukum
harus mempunyai ciri khas atau identitas diri, seperti nama, domisili,
kewenangan hukum, kecakapan bertindak dalam hukum, pencatatan

peristiwa hukum sehubungan dengan hak perorangan.
b. Bidang Hukum Keluarga
Dalam bidang ini, diatur mengenai hukum perkawinan, akibat
perkawinan, hubungan hukum antara suami istri serta keturunan, dan
lain sebagainya.
c. Bidang Hukum Harta Kekayaan
Bidang ini mengatur objek dari harta kekayaan itu, hubungan
manusia dengan benda yang melahirkan hak-hak kebendaan, serta
hubungan hukum pribadi lainnya dengan perantaraan benda.
d. Bidang Hukum Waris
Hukum waris mengatur tentang bagaimana pengalihan dari harta
kekayaan yang ditinggalkan tersebut, siapa yang berhak
menerimanya dan bagaimana cara peralihannya. 63

Pengelompokkan hukum perdata di atas didasarkan pada siklus
kehidupan manusia yang harus dilindungi. Siklus ini dimulai sejak seorang
manusia dilahirkan diperlukan hukum atau norma tentang ketentuan orang
sebagai subjek hukum. Manusia kemudian akan membentuk keluarga sesuai
kodratnya dan tidak terlepas dari harta kekayaan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya sehingga diperlukan aturan/petunjuk hidup yang mengatur

bagaimana seharusnya manusia bertingkah laku dalam membentuk keluarga
dan mengatur harta kekayaannya.

Selanjutnya, ketika manusia sebagai

subjek hukum meninggal dunia yang akan menimbulkan masalah tentang

63

Ibid., hal. 4.

Universitas Sumatera Utara

29

harta kekayaan yang dimilikinya atau ditinggalkannya sehingga diperlukan
hukum atau norma tentang ketentuan hukum waris.
Adapun sistematika hukum perdata menurut KUHPerdata juga
disusun dalam empat kelompok atau pembidangan yang disebut buku dan
masing-masing dibagi dalam beberapa bab, dan kemudian bab tersebut terdiri

dari beberapa bagian dan bagian terdiri dari pasal, serta pasal tersebut
berkemungkinan terdiri dari beberapa ayat, antara lain :
a. Buku Pertama mengatur tentang Orang;
b. Buku Kedua mengatur tentang Benda;
c. Buku Ketiga mengatur tentang Perikatan/Perutangan;
d. Buku Keempat mengatur tentang Pembuktian dan Daluarsa. 64
Jika pembagian atau sistematika dari KUHPerdata dibandingkan
dengan sistematika hukum perdata menurut ilmu pengetahuan (doktrin),
maka sebenarnya sistematika KUHPerdata tersebut sudah memuat pembagian
hukum perdata menurut ilmu pengetahuan. Hukum tentang orang dan
keluarga sama-sama diatur dalam Buku Pertama (Orang),

hukum waris,

diatur dalam Buku Kedua (Benda), dan Hukum harta kekayaan terperinci
dalam Buku Kedua (Benda) dan Buku Ketiga (Perikatan).65
Pengaturan hukum waris dalam Buku Kedua KUHPerdata yakni Bab
XII sampai dengan Bab XVIII dengan rincian sebagai berikut :
a. Bab XII tentang pewarisan karena kematian;
b. Bab XIII tentang surat wasiat;

64
65

Ibid., hal. 5.
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

30

c. Bab XIV tentang pelaksana wasiat dan pengurusan harta
peninggalan;
d. Bab XV tentang hak memikir dan hak istimewa untuk mengadakan
pendaftaran harta peninggalan;
e. Bab XVI tentang menerima atau menolak suatu warisan;
f. Bab XVII tentang pemisahan harta peninggalan; dan
g. Bab XVIII tentang harta peninggalan yang tidak terurus. 66

Penempatan hukum waris dalam Buku Kedua KUHPerdata seperti
terurai di atas masih menimbulkan pro dan kontra di kalangan ahli hukum,
karena masalah pewarisan tidak hanya mencakup hukum benda saja,
melainkan juga menyangkut aspek hukum lainnya, misalnya hukum
perorangan dan kekeluargaan.67 Namun menurut pembuat Undang-undang,
hukum waris merupakan hak kebendaan yaitu hak kebendaan atas boedel
dari orang yang meninggal dunia sehingga harus diatur dalam Buku Kedua
yang mengatur tentang benda itu sendiri, dan hak-hak atas benda.68
Pendapat tersebut juga diperkuat dengan Pasal 528 KUHPerdata yang
berbunyi “Atas suatu hak kebendaan, seorang dapat mempunyai, baik suatu
kedudukan berkuasa, baik hak milik, baik hak waris, baik hak pakai hasil,
baik hak pengabdian tanah, baik hak gadai atau hipotik”69 dan Pasal 584
KUHPerdata yang berbunyi :
“Hak milik atas sesuatu kebendaan tak dapat diperoleh dengan cara lain,
melainkan dengan pemilikan, karena perlekatan, karena daluarsa, karena
pewarisan, baik menurut Undang-undang, maupun menurut surat wasiat,
dank arena penunjukkan atau penyerahan berdasar atas suatu peristiwa

66

F.X. Suhardana, Hukum Perdata I Buku Panduan Mahasiswa, (Jakarta : Gramedia
Pustaka Utama, 1996), hal. 20.
67
Surani Ahlan Syarif, Op.cit., hal. 10.
68
Elisabeth Nurhaini Butarbutar, Loc.cit.
69
Pasal 528 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Universitas Sumatera Utara

31

perdata untuk memindahkan hak milik, dilakukan oleh seorang yang berhak
berbuat bebas terhadap kebendaan itu”. 70
Terkait dengan penempatan hukum harta kekayaan dalam Buku
Kedua (Benda) dan Buku Ketiga (Perikatan), pembuat Undang-undang
berpendapat bahwa hukum benda dan hukum perikatan merupakan
pembentuk dari hukum harta kekayaan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa
hukum harta kekayaan selain memuat aturan atau ketentuan tentang
kebendaan, juga memuat aturan atau ketentuan tentang hubungan hukum
yang bersifat kebendaan, seperti perjanjian jual beli, perjanjian sewa
menyewa, dan lain sebagainya.71

3. Ruang Lingkup Harta Kekayaan Dalam Warisan
Pada dasarnya, hukum waris sangat erat kaitannya dengan hukum
harta kekayaan. Hal ini karena hukum waris mengatur tentang proses
perpindahan harta kekayaan dari orang meninggal dunia (pewaris) kepada
para ahli warisnya. Ruang lingkup harta kekayaan (vermogen) yang dapat
dialihkan meliputi seluruh harta benda beserta hak dan kewajiban pewaris
dalam lapangan hukum harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang.72
Adapun hak dan kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan
meskipun mempunyai nilai uang, namun tidak dapat beralih kepada ahli
waris, antara lain :

70

Pasal 548 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Elisabeth Nurhaini Butarbutar, Op.cit., hal. 6.
72
H. Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika,
2008), hal. 83.
71

Universitas Sumatera Utara

32

a. Hubungan kerja atau hak dan kewajiban dalam bidang hukum
kekayaan yang sifatnya sangat pribadi, mengandung prestasi yang
kaitannya sangat erat dengan pewaris, misalnya pelukis yang berjanji
untuk membuat lukisan potret seseorang (Pasal 1601 KUHPerdata);
b. Keanggotaan dalam suatu perseroan (Pasal 1646 ayat 4
KUHPerdata), sehingga perseroan akan berakhir kalau seorang
persero meninggal atau di bawah pengampuan;
c. Lastgeving (Pasal 1813 KUHPerdata), pemberian kuasa berakhir
dengan meninggalnya si pemberi kuasa maupun si penerima kuasa;
d. Hak untuk menikmati hasil orang tua/wali atas kekayaan anak yang
di bawah kekuasaan orang tua atau di bawah perwalian, berakhir
dengan meninggalnya si anak (Pasal 314 KUHPerdata);
e. Hak pakai hasil (vruchtgebruik) berakhir dengan meninggalnya orang
yang memiliki hak tersebut (Pasal 807 KUHPerdata); dan
f. Hak bunga cagak hidup (lijfrente) berakhir dengan meninggalnya
orang yang memiliki hak tersebut (Pasal 1776 jo. Pasal 1779
KUHPerdata). 73

Selain dalam lapangan hukum harta kekayaan, hak dan kewajiban
dalam lapangan hukum keluarga juga ada yang dapat diwariskan kepada ahli
waris antara lain :
a. Hak suami untuk menyangkal keabsahan anak dapat dilanjutkan oleh
ahli warisnya (Pasal 257 jo. Pasal 252 jo. Pasal 259 KUHPerdata);
dan
b. Hak untuk menuntut keabsahan anak dapat pula dilanjutkan oleh ahli
warisnya, kalau tuntutan tersebut sudah diajukan oleh anak yang
menuntut keabsahan, yang sementara perkaranya berlangsung telah
meninggal dunia (Pasal 269 KUHPerdata, Pasal 270 KUHPerdata,
dan Pasal 271 KUHPerdata). 74

Hak mengingkari keabsahan anak dan hak menuntut keabsahan anak
itu tidak hilang dengan sendirinya meskipun si bapak atau si anak meninggal
dunia. Artinya kedua hak tersebut dapat diwariskan oleh ahli waris baik
dalam kondisi kedua hak tersebut belum digunakan maupun yang sudah

73
74

Wahyono Darmabrata, Loc.cit.
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

33

digunakan namun belum selesai diputus. Terkait dengan hak mengingkari
anak, adapun pembatasan waktu yang harus dipatuhi yaitu hak si bapak dari
anak yang akan diingkari keabsahannya harus digunakan dalam jangka waktu
satu bulan (kalau ia berada di tempat anak tersebut dilahirkan) dan 2 bulan
sesudah ia kembali (kalau ia tidak berada di tempat pada waktu anak tersebut
dilahirkan) atau sejak diketahui olehnya kalau kelahiran anak tersebut
dirahasiakan.75

4. Syarat dan Prinsip Umum Pewarisan
Sebagai salah satu cara memperoleh hak kebendaan, suatu peralihan
dikatakan pewarisan apabila memenuhi syarat-syarat umum sebagai berikut:
a. Pewarisan hanya terjadi karena kematian (Pasal 830 KUHPerdata),
yang dimaksud kematian di sini adalah kematian alamiah dan wajar
(natuurlijke dood), bukan kematian perdata (burgelijke dood)
sebagaimana diatur dalam Pasal 718 Code Civil dan tidak dikenal
dalam hukum positif di Indonesia. Jika seseorang disangka meninggal
dunia, maka harta bendanya akan berpindah kepada orang-orang yang
disangka akan menjadi ahli warisnya sepanjang pemindahan itu
bersifat sementara dan dengan syarat. Oleh karena itu, jika suatu
ketika orang yang disangka meninggal dunia itu masih hidup maka
harta bendanya menjadi miliknya lagi dan berhak menuntutnya dari
orang-orang yang diduga sebagai ahli warisnya.76
b. Ahli waris harus ada atau hidup pada waktu warisan terbuka (Pasal
836 KUHPerdata). Namun pada Pasal 2 KUHPerdata menyebutkan
bahwa : “Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan
dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan si anak
menghendakinya”.77 Dari pasal ini, dapat disimpulkan bahwa Pasal 2
KUHPerdata adalah pengecualian dari Pasal 836 KUHPerdata.
Terkait kedudukan bayi dalam kandungan, Pasal 2 ayat 2
KUHPerdata dengan jelas mengatur bahwa bayi dalam kandungan ibu
dianggap sebagai subjek hukum dengan syarat telah dibenihkan, lahir
75

J. Satrio, Hukum Waris, (Bandung : Alumni, 1992), hal. 13.
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Op.cit., hal. 4.
77
Pasal 2 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

76

Universitas Sumatera Utara

34

dalam keadaan hidup, dan ada kepentingan yang menghendakinya
(warisan).78

Terkadang dalam hal pewarisan timbul suatu keadaan di mana tidak
dapat diketahui siapakah yang mati terlebih dahulu antara pewaris dan ahli
waris karena mereka meninggal dunia dalam keadaan dan waktu yang sama.
Oleh karena itu, digunakan ketentuan dalam Pasal 831 KUHPerdata yang
berbunyi :
“Jika beberapa orang, di mana yang satu dipanggil sebagai ahli waris dari
yang lain, meninggal dunia dalam kecelakaan yang sama, atau pada hari yang
sama tanpa diketahui mana yang meninggal lebih dahulu, maka diadakan
dugaan bahwa mereka meninggal pada saat yang sama, sehingga tidak ada
peralihan harta peninggalan dari yang satu kepada yang lain”. 79
Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa pewaris dan ahli waris yang samasama meninggal dunia dalam waktu dan keadaan yang sama tidak saling
mewarisi satu sama lain. Jika ada bantahan bahwa pewaris dan ahli waris
meninggal tidak pada saat yang sama, maka bantahan itu harus dibuktikan
karena perbedaan waktu meninggal walaupun satu detik saja dianggap tidak
meninggal bersama-sama.80
Dalam hukum waris, setelah seseorang meninggal dunia, maka pada
saat itu juga segala hak dan kewajibannya beralih dengan sendirinya kepada
para ahli warisnya. Hal tersebut secara jelas diatur dalam Pasal 833 ayat 1
KUHPerdata dan disebut dengan prinsip saisine yang berasal dari bahasa
Perancis yakni le mort saisit le vif, artinya yang mati dianggap digantikan
78

Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, Op.cit., hal. 14-15.
Pasal 831 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
80
Effendi Perangin, Hukum Waris, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2014), hal. 5.
79

Universitas Sumatera Utara

35

oleh yang masih hidup.81 Hak dan kewajiban berupa keuntungan dan utang
yang diperoleh secara mewaris disebut dengan titel umum (algemene titel)
sehingga tidak perlu dengan penyerahan atau levering.82
Selain prinsip saisine, hukum waris juga mengenal prinsip
hereditatis petitio yang artinya hak menuntut bagian dari harta warisan (Pasal
834 KUHPerdata). Dengan adanya prinsip ini, maka setiap ahli waris berhak
menuntut setiap barang atau uang yang termasuk harta peninggalan untuk
diserahkan kepadanya apabila harta peninggalan itu dikuasai oleh orang lain.
Prinsip hereditatis petitio ini menjadi gugur karena daluarsa dengan tenggang
waktu selama 30 (tiga puluh) tahun (Pasal 835 KUHPerdata).83
Hukum waris KUHPerdata menganut sistem pembagian waris
berdasarkan individual. Oleh karena itu, harta warisan dibagikan berdasarkan
jumlah ahli waris dengan menganut asas persamaan yang berarti bagian lakilaki dan perempuan adalah sama. Adapun prinsip pembagian warisan yakni
dalam Pasal 1066 KUHPerdata yang berisi :
a. Tiada seorang pun yang mempunyai bagian dalam harta peninggalan
diwajibkan menerima berlangsungnya harta peninggalan itu dalam
keadaan tak terbagi;
b. Pembagian harta benda ini selalu dituntut meskipun ada suatu
perjanjian yang bertentangan dengan itu;
c. Dapat diperjanjikan bahwa pembagian harta benda itu
dipertangguhkan selama waktu tertentu; dan
d. Perjanjian semacam ini hanya dapat berlaku selama lima tahun, tetapi
dapat diadakan lagi jika tenggang lima tahun itu telah lalu. 84

81

R. Soetojo Prawirohamidjojo, Op.cit., hal. 6.
Effendi Perangin, Op.cit., hal. 8.
83
Pasal 835 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
84
Pasal 1066 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

82

Universitas Sumatera Utara

36

Dengan pasal di atas, ketika pewaris meninggal dunia, segala harta miliknya
akan langsung dibagi-bagikan kepada ahli waris. Jika hal tersebut tidak
dilakukan, para ahli waris dapat menuntut agar harta peninggalan segera
dibagikan, walaupun ada perjanjian yang bertentangan dengan itu. Dengan
kesepakatan ahli waris, dimungkinkan juga penangguhan atau penahanan
pembagian harta warisan, namun penangguhan atau penahanan tersebut tidak
boleh lewat dari lima tahun, kecuali dalam keadaan luar biasa.85

5. Jenis-jenis Pewarisan
Berdasarkan KUHPerdata, dikenal dua macam pewarisan yaitu
sebagai berikut :
a. Pewarisan secara ab-intestato
yakni pewarisan dilakukan menurut ketentuan Undang-undang di
mana hubungan darah merupakan faktor penentu dalam hubungan
pewarisan antara pewaris dan ahli waris.
b. Pewarisan secara testamentair
yakni pewarisan terjadi karena ditunjuk atau ditetapkan dalam suatu
surat wasiat atau testament yang ditinggalkan oleh pewaris. 86

Pewarisan secara ab-intestato sepenuhnya mengikuti ketentuan
dalam KUHPerdata dan digunakan apabila pewaris tidak membuat ketentuan
lain dalam surat wasiat. Lain halnya jika pewaris membuat wasiat, maka
wasiat lebih diutamakan sehingga terjadilah pewarisan secara testamentair.
Hal ini tercantum secara jelas pengaturannya dalam Pasal 874 KUHPerdata
yang menyatakan bahwa “Seluruh harta kekayaan yang meninggalkan
85

N.M. Wahyu Kuncoro, Hukum Waris Permasalahan dan Solusinya, (Jakarta : Raih Asa
Sukses, 2015), hal. 32.
86
Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, Op.cit., hal. 16-17.

Universitas Sumatera Utara

37

seseorang pada saat kematiannya, menjadi hak kepunyaan para ahli warisnya
menurut Undang-undang, sepanjang mengenai hal itu tidak diadakannya
suatu ketetapan yang sah dengan surat wasiat”. 87 Hal-hal yang termuat dalam
surat wasiat dapat menyimpang dari ketentuan yang termuat dalam Undangundang, namun ada ahli waris tertentu yakni para ahli waris dalam garis lurus
baik ke atas maupun ke bawah tidak dapat sama sekali dikecualikan. Mereka
kemudian dijamin dengan adanya ketentuan Pasal 913 KUHPerdata yaitu
ketentuan bagian mutlak atau legitime portie.
Pewarisan secara ab-intestato sendiri terbagi menjadi dua macam
yakni mewaris berdasarkan kedudukannya sendiri (uit eigen hoofde) dan
mewaris berdasarkan penggantian (bij plaatsvervulling). Adapun istilah lain
mewaris berdasarkan kedudukan sendiri (uit eigen hoofde) yaitu disebut juga
mewaris secara langsung.88 Pewarisan yang dimaksud menganut asas
individual di mana mereka yang terpanggil untuk mewaris dikarenakan
kedudukan atau haknya sendiri. Dasar hukum pewarisan berdasarkan
kedudukan sendiri (uit eigen hoofde) terdapat pada Pasal 852 ayat 2
KUHPerdata yang berbunyi “Mereka mewaris kepala demi kepala, jika
dengan si meninggal mereka bertalian keluarga dalam derajat ke satu dan
masing-masing mempunyai hak karena diri sendiri, mereka mewaris pancang
demi pancang, jika sekalian mereka atau sekadar sebagian mereka bertindak
sebagai pengganti”. 89 Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa orang yang
mewaris dengan kedudukannya sendiri dalam susunan keluarga pewaris
87

Pasal 874 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, Op.cit., hal. 18.
89
Pasal 852 ayat 2 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

88

Universitas Sumatera Utara

38

mempunyai posisi yang memberikannya hak untuk mewaris. Hak yang
dimaksud bukanlah hak menggantikan hak orang lain melainkan murni
haknya sendiri sehingga tiap-tiap ahli waris tersebut yang mewaris kepala
demi kepala menerima bagian yang sama besarnya.
Adakalanya, ahli waris yang mewaris dengan kedudukannya sendiri
(uit eigen hoofde) berhalangan untuk mewarisi harta peninggalan pewaris,
baik dikarenakan tidak patut mewaris (Pasal 838 KUHPerdata) ataupun
karena keinginannya sendiri menolak warisan (Pasal 1058 KUHPerdata).
Terkait dengan kondisi tidak patut mewaris (onwaardig), maka keturunan
yang sah dari ahli waris yang tidak patut mewaris itu yang menerima warisan.
Hal ini didasarkan pada Pasal 840 KUHPerdata yang menyatakan :
“Apabila anak-anak dari seorang yang telah dinyatakan tak patut menjadi
waris, atas diri sendiri mempunyai panggilan untuk menjadi waris, maka
tidaklah mereka karena kesalahan orang tua tadi, dikecualikan dari pewarisan;
namun orang tua itulah sama sekali tak berhak menuntut supaya
diperbolehkan menikmati hasil barang-barang dari warisan, yang mana,
menurut Undang-undang hak nikmat hasilnya diberikan orang tua atas
barang-barang anaknya.” 90
Terkait dengan pasal di atas, keturunan yang sah dari ahli waris yang tidak
patut mewaris ini bukanlah menggantikan kedudukan orang tuanya karena
orang tuanya masih hidup, melainkan mereka mewaris berdasarkan
kedudukannya sendiri dan masing-masing dari mereka mendapatkan bagian
yang sama besar.
Hampir sama dengan kondisi tidak patut mewaris, ahli waris yang
mewaris dengan kedudukannya sendiri (iut eigen hoofde) namun menolak
90

Pasal 840 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Universitas Sumatera Utara

39

warisan, maka keturunan dari mereka yang menolak warisan yang akan
mendapatkan warisan. Dasar hukumnya ada pada ketentuan Pasal 1060
KUHPerdata yang menyatakan :
“Siapa yang telah menolak suatu warisan, tidak sekali-sekali dapat diwakili
dengan cara pergantian; jika ia satu-satunya yang ahli waris dalam derajatnya,
ataupun jika kesemua ahli waris menolak, maka sekalian anak-anak tampil ke
muka atas dasar kedudukan mereka sendiri dan mewaris untuk bagian yang
sama.” 91
Dengan pasal tersebut, disimpulkan bahwa keturunan yang sah dari ahli waris
yang menolak warisan ini bukanlah menggantikan kedudukan orang tuanya
karena orang tuanya masih hidup, melainkan mereka mewaris berdasarkan
kedudukannya sendiri dan masing-masing dari mereka mendapatkan bagian
yang sama besar.
Selain mewaris dengan kedudukannya sendiri (uit eigen hoofde),
mewaris berdasarkan penggantian (bij plaatsvervulling) juga merupakan salah
satu jenis pewarisan secara ab-intestato. Pengertian mewaris berdasarkan
penggantian (bij plaatsvervulling) yakni pewarisan di mana ahli waris
mewaris menggantikan ahli waris yang berhak menerima warisan yang telah
meninggal dunia lebih dahulu dari pewaris (Pasal 852 ayat 2 KUHPerdata).92
Dalam KUHPerdata, mewaris karena penggantian lebih rinci diatur dalam
Pasal 841 KUHPerdata sampai dengan Pasal 848 KUHPerdata. Mewaris
dengan penggantian juga disebut dengan perwakilan atau vertegenwoordigen,
dengan maksud untuk memperoleh pengertian yang tepat mengenai

91
92

Pasal 1060 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Pasal 852 ayat 2 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Universitas Sumatera Utara

40

penggantian tempat. Namun, sebaiknya istilah perwakilan tidak digunakan
karena keluarga sedarah yang jauh tidak mewakili yang meninggal terlebih
dahulu serta tidak bertindak atas orang tersebut, melainkan hanya
menggantikan tempatnya yang terbuka karena kematian.93
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pewarisan
berdasarkan penggantian (bij plaatsvervulling) yaitu sebagai berikut :
a.

b.

Ditinjau dari orang yang digantikan
Dasar hukum Pasal 847 KUHPerdata yang berbunyi : “Tiada seorang
pun diperbolehkan bertindak untuk orang yang masih hidup selaku
penggantinya”.94
Ditinjau dari orang yang menggantikan, maka haruslah :
1) Keturunan sah dari yang digantikan, termasuk keturunan sah dari
anak luar kawin, namun anak luar kawin tidak berwenang untuk
itu; dan
2) Memenuhi syarat untuk mewaris pada umumnya yaitu hidup
pada saat warisan terbuka (Pasal 836 KUHPerdata, dengan
pengecualian Pasal 2 ayat 2 KUHPerdata tentang bayi dalam
kandungan), bukan orang yang dinyatakan tidak patut mewaris,
serta tidak ditiadakan hak mewarisnya oleh pewaris dengan surat
wasiat. 95

Dari syarat di atas, dapat disimpulkan bahwa orang yang digantikan
harus meninggal terlebih dahulu dari pewaris karena tidak ada penggantian
waris bagi orang yang masih hidup. Selain itu, orang yang menggantikan
harus keturunan sah dari yang digantikan karena dalam pewarisan dengan
penggantian (bij plaatsvervulling) lebih dipentingkan hubungan hukum antara
pewaris dengan ahli waris. Jika ternyata orang yang digantikan tersebut tidak
patut mewaris (onwaardig) atau menolak warisan (verwerpen), maka

93

Kelompok Belajar Esa, Hukum Waris Bagian I, Literatur Wajib Pada Jurusan Notariat
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, (Jakarta : Penerbit Esa, 1979), hal. 28.
94
Pasal 847 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
95
Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, Op.cit., hal. 25.

Universitas Sumatera Utara

41

keturunan dari orang yang tidak patut atau menolak warisan tersebut ini
mendapat warisan bukan karena penggantian, melainkan berdasarkan
kedudukannya

sendiri

(Pasal

840

KUHPerdata

dan

Pasal

1060

KUHPerdata).96 Hal ini karena syarat utama atau prinsipal dari pewarisan
dengan penggantian (bij plaatsvervulling) ini tidak terpenuhi yakni
kedudukan ahli waris yang masih hidup tidak dapat digantikan oleh ahli
warisnya.
Dalam KUHPerdata, juga dikenal tiga macam penggantian tempat,
yaitu :
a. Pergantian tempat dalam garis lurus ke bawah.
Berdasarkan Pasal 842 KUHPerdata, pergantian tempat ini
berlangsung terus tanpa batas. Dalam segala hal pergantian ini
diperbolehkan, baik bilamana ada beberapa anak pewaris yang
mewaris bersama-sama dengan keturunan dari seorang anak yang
telah meninggal terlebih dahulu, maupun dalam hal semua keturunan
mereka mewaris secara bersama-sama, satu sama lain dalam pertalian
keluarga yang berbeda-beda derajatnya.
b. Pergantian tempat dalam garis menyamping.
Berdasarkan Pasal 844 KUHPerdata, warisan harus dibagi antara
semua keturunan saudara-saudara yang meninggal dunia terlebih
dahulu itu, walaupun keturunan tersebut pada derajat yang tidak
sama.
c. Pergantian tempat dalam garis menyamping yang lebih jauh daripada
saudara sekandung.
Berdasarkan Pasal 845 KUHPerdata, pergantian tempat yang
dimaksud hanya terbatas bagi keturunan dari saudara sekandung yang
telah mendahului meninggal dari seorang yang mempunyai hubungan
darah terdekat dengan orang yang meninggalkan warisan. 97

KUHPerdata memperbolehkan pergantian tempat dalam garis lurus
ke bawah dan menyamping, namun tidak untuk garis lurus ke atas. Hal ini

96
97

Pasal 840 dan Pasal 1060 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, Op.cit., hal. 28-33.

Universitas Sumatera Utara

42

dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 843 KUHPerdata yang berbunyi “Tiada
penggantian terhadap keluarga garis menyamping ke atas, keluarga sedarah
ke atas mewaris kepala demi kepala. Keluarga terdekat dalam garis
menyamping menutup semua keluarga dalam perderajatan lebih jauh”.98
Terkait dengan penggantian tempat anak luar kawin yang diakui, jika pewaris
hanya meninggalkan anak luar kawin maka berdasarkan Pasal 873 ayat 1
KUHPerdata, anak luar kawin dapat menuntut seluruh harta warisan untuk
diri sendiri dengan mengesampingkan Negara.99
Selain pewarisan secara ab-intestato, pewarisan juga dapat terjadi
secara wasiat atau testamentair. Suatu akta wasiat atau testamen berisi apa
yang dikehendaki seseorang setelah meninggal dunia. Pada asasnya, suatu
pernyataan kemauan adalah datang dari satu pihak saja (eenzigdig) dan setiap
waktu dapat ditarik kembali oleh yang membuatnya. Penarikan kembali itu
(herrolpen) boleh secara tegas (uitdrukkelijk) atau secara diam-diam
(stilzwijgend).100 KUHPerdata secara jelas melarang dua orang atau lebih
menyatakan kemauan terakhir dalam surat wasiat atau testamen yang sama.
Hal ini terdapat pada Pasal 930 KUHPerdata yang berbunyi “Dalam satusatunya akta, dua orang atau lebih tak diperbolehkan menyatakan wasiat
mereka baik untuk mengaruniai seorang ketiga maupun atas dasar pernyataan
bersama atau bertimbal balik”. 101

98

Pasal 834 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Pasal 873 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
100
R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta : Intermasa, 2005), hal. 107.
101
Pasal 930 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
99

Universitas Sumatera Utara

43

Adapun pewarisan berdasarkan wasiat diatur dalam beberapa pasal
dalam KUHPerdata yaitu sebagai berikut :
a.

b.

c.

d.
e.

f.

Menurut Pasal 875 KUHPerdata, “wasiat adalah akta yang memuat
kehendak terakhir setelah pewaris meninggal dunia, dan yang
olehnya dapat dicabut kembali”.
Menurut Pasal 888 KUHPerdata, “dalam surat wasiat, syarat-syarat
yang tidak dimengerti atau tidak mungkin dilaksanakan atau
bertentangan dengan kesusilaan yang baik, dianggap sebagai tidak
tertulis”.
Menurut Pasal 890 KUHPerdata, “Jika di dalam testamen disebut
sebab yang palsu, dan isi dari testamen itu menunjukkan bahwa
pewaris tidak akan membuat ketentuan itu jika ia tahu akan
kepalsuannya, maka testamen tidaklah sah”.
Menurut Pasal 893 KUHPerdata, “suatu testamen adalah batal, jika
dibuat secara paksa, tipu atau muslihat”.
Menurut Pasal 895 KUHPerdata, “untuk dapat membuat atau
menarik kembali surat wasiat, orang harus mempunyai kemampuan
bernalar”.
Menurut Pasal 897 KUHPerdata, “seseorang yang belum dewasa
(belum genap delapan belas tahun) tidak diperbolehkan membuat
surat wasiat”. 102
Dari pasal-pasal di atas, dapat diketahui bahwa surat wasiat adalah

kehendak terakhir dari pewaris dan harus dilaksanakan sebagai wujud hormat
terhadap orang yang meninggal dunia. KUHPerdata tidak memberikan
batasan usia maksimum seseorang yang dapat membuat surat wasiat. Yang
diatur dalam KUHPerdata adalah batas usia minimum seseorang yang dapat
membuat wasiat. Oleh karena itu, terkait dengan batas usia maksimum
seseorang dapat membuat surat wasiat, disimpulkan tidak ada pembatasan
usia maksimum karena selama orang tersebut berakal budi atau mempunyai
kemampuan bernalar, maka ia dapat membuat surat wasiat.

102

Pasal 875, Pasal 888, Pasal 890, Pasal 893, Pasal 895, dan Pasal 897 Kitab Undangundang Hukum Perdata

Universitas Sumatera Utara

44

Lazimnya, surat wasiat berisi mengenai ketetapan tentang harta
peninggalan, namun tidak tertutup kemungkinan bahwa ada juga surat wasiat
yang berisi tentang hal-hal yang tidak secara langsung berhubungan dengan
harta peninggalan. Lebih rinci, surat wasiat dapat berisi hal-hal sebagai
berikut :
a. Pengangkatan waris untuk seluruh atau sebagian dari harta
peninggalan pewaris. Namun ada perbedaan penting antara ahli waris
ab-intestato dengan ahli waris yang diangkat dengan suatu testamen
(erfstelling), yakni pewarisan testamentair tidak mengenal pergantian
tempat (bij plaatsvervulling) serta ahli waris testamentair tidak
menikmati inbreng.103
b. Wasiat yang berisi pemberian suatu benda tertentu atau hibah wasiat
(legaat). Menurut Vollmar, “kata barang-barang jenis tertentu
menunjuk pada benda atau zaak dan zaak itu dapat berupa benda
berwujud maupun tidak berwujud. Bahkan, legaat juga meliputi hakhak yang sebenarnya tidak ada di dalam warisan pewaris, tetapi
diwajibkan kepada seorang ahli waris untuk dikatakan demi
legataris.104
c. Wasiat yang berisi hal-hal yang tidak secara langsung berhubungan
dengan harta peninggalan, misalnya sebagai berikut :
1) Pengangkatan waris dan penunjukan orang yang akan menerima
legaat (legataris);
2) Suatu perintah (last), bisa suatu kewajiban melakukan atau
larangan untuk melakukan tindakan tertentu atau perintah
pemberian barang kepada orang tertentu;
3) Pencabutan wasiat yang terdahulu;
4) Menawarkan suatu barang termasuk dalam harta warisan untuk
dibeli, menerima penawaran dalam suatu testamen disebut oblaat;
5) Memberikan suatu hak kebendaan tertentu atau membebaskan
suatu utang;
6) Menyingkirkan (onterven) seorang atau beberapa orang ahli
waris; dan
7) Mengangkat seorang wali dan seorang testamentair executoir
(pelaksana wasiat) atau mengakui seorang anak. 105

103

Maman Suparman, Op.cit., hal. 117.
J. Satrio, Op.cit., hal. 198.
105
Maman Suparman, Op.cit., hal. 119.
104

Universitas Sumatera Utara

45

Pada prinsipnya, wasiat harus dibuat dengan bantuan notaris, tetapi
ada juga wasiat yang dapat dibuat dengan akta di bawah tangan, asal isinya
mengenai

pengangkatan

pelaksana

wasiat

(executeur

trstamentair),

penyelenggaraan penguburan, serta menghibahkan pakaian, perhiasan
tertentu, dan mebel yang tertentu. Wasiat seperti itu dinamakan codicil.106
Codicil harus ditulis dan ditandatangani sendiri oleh pewaris dan diberi
tanggal.

6. Ahli Waris Dalam Hukum Waris KUHPerdata
Berdasarkan cara memperoleh warisan, maka ahli waris dalam
hukum waris KUHPerdata terbagi atas :
a. Ahli waris ab-intestato adalah ahli waris yang ditentukan berdasarkan
Undang-undang. Ahli waris ini berlaku bagi orang-orang yang
memiliki hubungan darah dengan pewaris atau dengan kata lain
mereka adalah anggota keluarga pewaris.107 Namun, semua keluarga
sedarah pewaris tidak sekaligus mewaris terhadap pewaris, melainkan
yang lebih dekat pertaliannya lebih didahulukan daripada yang lebih
jauh pertaliannya.
Yang termasuk dalam ahli waris ab-intestato ialah suami atau isteri
(duda atau janda) dari si pewaris, keluarga sedarah yang sah (wettige
bloedverwanten), dan keluarga alami (natuurlijke bloedverwanten).
Sedangkan, untuk keluarga semenda (aanverwanten) dari pewaris
tidak mewaris berdasarkan Undang-undang. Keluarga semenda
(aanverwanten) hanya berhak mewaris jika pewaris menunjuk atau
mengangkatnya sebagai ahli waris dengan surat wasiat.108
b. Ahli waris testamentair yaitu semua orang yang diangkat oleh
pewaris dengan surat wasiat untuk menjadi ahli warisnya. Yang dapat
diangkat sebagai ahli waris testamentair tersebut boleh semua orang,
sepanjang orang itu tidak dilarang oleh Undang-undang menjadi ahli
waris, misalnya Pasal 904 KUHPerdata yang menyatakan bahwa
“seorang anak di bawah umur, meskipun telah mencapai usia delapan
106

Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, (Jakarta : Rineka
Cipta, 2000), hal. 13.
107
Maman Suparman, Op.cit., hal. 26.
108
M. U. Sembiring, Op.cit., hal.1.

Universitas Sumatera Utara

46

belas tahun, tidak boleh menghibahwasiatkan sesuatu untuk
keuntungan walinya”.109
Khusus terkait ahli waris ab-intestato, ada pengaturannya secara
rinci dan khusus dalam Undang-undang (KUHPerdata) yang harus ditaati.
Keluarga sedarah sah dalam pewarisan ab-intestato tidak mewaris sekaligus
atau bersamaan, melainkan ada orang yang lebih didahulukan dari yang lain
melalui urutan jalan tertentu. Urutan tersebut diatur oleh KUHPerdata dengan
membagi seluruh keluarga sedarah dari pewaris dalam empat golongan atau
tingkatan ahli waris. Berdasarkan urutan haknya dalam menerima warisan,
golongan atau tingkatan ahli waris ab-intestato secara garis besar yaitu
sebagai berikut:
a. Golongan I terdiri dari anak-anak dan keturunan selanjutnya serta
isteri atau suami;
b. Golongan II terdiri dari ayah, ibu, saudara, saudari, serta keturunan
dari saudara dan saudari;
c. Golongan III terdiri dari kakek dan nenek seterusnya ke atas baik dari
pihak ayah maupun dari pihak ibu (keluarga sedarah lurus ke atas di
luar ayah dan ibu); dan
d. Golongan IV terdiri dari keluarga sedarah garis ke samping di luar
saudara dan saudari. 110

Ahli waris golongan I erat kaitannya dengan Pasal 852 KUHPerdata
yang berbunyi :
“ Anak-anak atau sekalian keturunannya mereka walaupun dilahirkan dari
lain-lain perkawinan, mewaris dari kedua orang tua, kakek, nenek atau semua
keluarga sedarah mereka dalam garis lurus ke atas, dengan tiada perbedaan
antara laki-laki dan perempuan, dan tiada perbedaan berdasarkan
kelahirannya terlebih dahulu. Mereka mewaris kepala demi kepala, jika
dengan si meninggal mereka berkaitan keluarga dalam derajat kesatu dan
109
110

Pasal 904 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
M. U. Sembiring, Op.cit., hal. 20-21.

Universitas Sumatera Utara

47

masing-masing mempunyai hak karena diri sendiri, mereka mewaris pancang
demi pancang, jika mereka semua atau sebagian dari mereka bertindak
sebagai pengganti”. 111
Dari pasal tersebut, dapat diketahui bahwa ahli waris golongan I
adalah keluarga dalam garis lurus ke bawah meliputi anak-anak beserta
keturunannya dengan bagian yang sama besar, mewaris kepala demi kepala
dan mengenal penggantian,112 serta tanpa membedakan jenis kelamin, waktu
kelahiran dari perkawinan pertama atau kedua, serta tidak ada perbedaan
antara anak sulung, anak tengah, dan anak bungsu . Hal ini berbeda dengan
sistem hukum di Inggris di mana berlaku apa yang dinamakan the right of
primogeniture (hak anak yang lahir pertama atau anak sulung). Dengan asas
tersebut, di Inggris jika seorang ayah meninggal dunia meninggalkan tiga
orang anak laki-laki, maka seluruh warisannya jatuh pada anak sulung
sedangkan adik-adiknya tidak memperoleh apapun.113
Sepanjang memperoleh pewarisan ab-intestato, kedudukan janda
atau duda (suami atau istri yang ditinggalkan pewaris yang hidup paling
lama) disamakan dengan kedudukan anak terhitung sejak tanggal 1 Januari
1936 berdasarkan Staatsblad nomor 486 tahun 1935. Sebelumnya, kedudukan
janda atau duda (suami atau istri yang ditinggalkan pewaris yang hidup paling
lama) tersebut hanya berhak mewaris jika pewaris tidak meninggalkan
keluarga sedarah sampai derajat kedua belas.114

111

Pasal 852 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Benyamin Asri dan Thabrani Asri, Dasar-dasar Hukum Waris Barat : Suatu
Pembahasan Teoretis dan Praktik), (Bandung : Tarsito, 1988), hal. 8.
113
M. U. Sembiring, Op.cit., hal.23-24.
114
Ibid., hal. 22-23.
112

Universitas Sumatera Utara

48

Dalam hal pembagian warisan, berdasarkan Pasal 852 (a)
KUHPerdata, bagian janda atau duda (suami atau istri yang ditinggalkan
pewaris yang hidup paling lama) dari perkawinan pertama adalah sama besar
dengan bagian anak, kecuali bagian janda atau duda (suami atau istri yang
ditinggalkan pewaris yang hidup paling lama), mendapat bagian maksimal ¼
(seperempat) bagian dari harta warisan atau tidak boleh melebihi bagian anak
yang terkecil, apabila dari perkawinan pertama dilahirkan anak.115
Selanjutnya, pembagian warisan untuk ahli waris golongan II
mengacu pada Pasal 854 KUHPerdata, Pasal 857 KUHPerdata, dan Pasal 859
KUHPerdata yakni sebagai berikut :
a. Orang tua menerima bagian yang sama dengan bagian saudara lakilaki atau perempuan tetapi tidak kurang dari ¼ (seperempat) (Pasal
854 ayat 2 KUHPerdata);116
b. Jika hanya ada orang tua (bapak dan ibu), maka bapak dan ibu
masing-masing menerima ½ (setengah) bagian. Apabila hanya ada
ahli waris bapak atau ibu saja, maka bapak atau ibu yang hidup
terlama mendapatkan seluruh harta peninggalan (Pasal 855
KUHPerdata);117
c. Masing-masing orang tua menerima 1/3 (sepertiga) bagian, jika
kecuali mereka masih ada seorang saudara laki-laki atau perempuan
(Pasal 854 KUHPerdata);118
d. Jika hanya ada seorang ibu atau bapak dan seorang saudara laki-laki
atau perempuan, maka ibu atau bapak itu mendapat ½ (setengah), dan
bila ada dua orang saudara perempuan, maka ia mendapat 1/3
(sepertiga) dan bila tiga atau lebih saudara laki-laki atau perempuan,
maka ia mendapat ¼ (seperempat) bagian (Pasal 855
KUHperdata);119
e. Apabila bagian orang tua yang sudah ditentukan, maka sisanya dibagi
antara saudara laki-laki atau perempuan untuk bagian yang sama, bila
semuanya itu saudara-saudara sekandung atau semuanya sebapak
115

Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW,
(Bandung : Refika Aditama, 2005), hal. 30.
116
Pasal 854 ayat 2 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
117
Pasal 855 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
118
Pasal 854 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
119
Pasal 855 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Universitas Sumatera Utara

49

atau seibu. Apabila saudara-saudara itu dari perkawinan yang
berlainan, maka sisanya harta peninggalan setetlah dikurangi bagian
orang tua dibelah menjadi dua (sistem kloving), sebagian untuk garis
bapak dan sebagian untuk garis ibu, saudara-saudara kandung
mendapat bagian dari dua garis tersebut. Sedangkan mereka yang
setengah hanya mendapat bagian dari garis di mana mereka berada
(Pasal 857 KUHPerdata).120

Mencermati pengaturan di atas, dapat disimpulkan bahwa ahli waris
golongan II adalah keluarga dalam garis lurus ke atas dan menyamping
meliputi

orang

tua,

saudara-saudara

laki-laki

dan

perempuan

dan

keturunannya. Perlu diingat bahwa ahli waris golongan II hanya mewaris jika
si pewaris meninggal dunia tanpa meninggalkan janda atau duda dan/atau
keturunannya (ahli waris golongan I) atau jika janda atau duda dan/atau
keturunannya (ahli waris golongan I) menolak atau tidak patut menerima
warisan.
Selanjutnya, ahli waris golongan III meliputi leluhur (adscendent)
yang lebih jauh dari ayah dan ibu berupa kakek dan nenek seterusnya ke atas
baik dari sisi ayah maupun dari sisi ibu. Ahli waris ini hanya mewaris jika si
pewaris tidak mempunyai baik ahli waris golongan I dan ahli waris golongan
II.121 Mengacu pada Pasal 850 KUHPerdata dan Pasal 853 ayat 1
KUHPerdata, harta peninggalan harus dibagi atau dibelah atau kloving
menjadi dua bagian yang sama besarnya, satu bagian untuk semua keluarga
sedarah dalam garis si bapak lurus ke atas serta satu bagian lainnya untuk
semua keluarga sedarah yang sama dalam garis si ibu. Ahli waris yang

120
121

Pasal 857 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
M. U. Sembiring, Op.cit., hal.28.

Universitas Sumatera Utara

50

terdekat derajatnya dalam garis lurus ke atas, mendapat setengah dari bagian
dalam garisnya, dengan mengesampingkan semua ahli waris lainnya (Pasal
853 ayat 2 KUHPerdata).122 Semua keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas
dalam derajat yang sama mendapat bagian yang sama besar secara kepala
demi kepala (Pasal 853 ayat 3 KUHPerdata).123
Para ahli waris golongan IV ialah semua keluarga sedarah garis ke
samping di luar saudara saudari dan keturunannya yang dibatasi sampai
dengan derajat keenam, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu (Pasal
861 KUHPerdata). Jika dalam garis yang satu tidak ada keluarga sedarah
dalam derajat yang mengizinkan untuk mewaris, maka semua keluarga
sedarah dalam garis yang lain memperoleh warisan (Pasal 861 ayat 2
KUHPerdata). Pertama-tama harta peninggalan dibelah menjadi dua, sebagian
untuk pihak bapak dan sebagian lainnya untuk pihak ibu. Apabila ada salah
satu pihak tidak terdapat ahli waris yang berhak menerima sampai derajat
keenam, maka bagian itu dipindahkan ke pihak yang lain dan pihak lain itu
mewaris seluruh harta peninggalan, dibagi menurut pasal-pasal yang ada.124
Selain golongan-golongan di atas, anak luar kawin juga merupakan
salah satu ahli waris ab-intestato apabila diakui. Dengan kata lain, apabila
anak luar kawin tidak diakui sah oleh ayahnya, maka mereka tidak dapat
menuntut haknya atas harta warisan karena tanpa pengakuan, tidak ada
hubungan perdata antara anak tersebut dengan orang tuanya serta tanpa
122

Pasal 853 ayat 2 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Pasal 853 ayat 3 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
124
R.H. Soerojo Wongsowidjojo, Hukum Waris Perdata (BW), Bahan Kuliah Program
Pendidikan Keahlian Kenotariatan, Universitas Indonesia, Jilid I, (Jakarta : Universitas Indonesia,
tanpa tahun), hal. 26.
123

Universitas Sumatera Utara

51

hubungan perdata, maka tidak ada pula hubungan pewarisan antara mereka.125
Anak luar kawin baru mendapat bagian dari warisan apabila ia diakui oleh
ayahnya (berdasarkan Pasal 280 KUHPerdata lahirlah hubungan perdata
antara si anak dengan si ayah).126
Tidak dapat dipungkiri bahwa meskipun anak luar kawin yang diakui
mempunyai hak waris terhadap orang tuanya, namun hak warisnya bersifat
inferior jika dibandingkan dengan hak waris anak-anak sah karena anak luar
kawin tidak mempunyai hak waris tersendiri, artinya anak luar kawin akan
selalu mewaris bersama-sama dengan keluarga sedarah pewaris (salah satu
dari empat golongan ahli waris ab-intestato), kecuali jika pewaris sama sekali
tidak meninggalkan keluarga sedarah serta bagian yang diterima anak luar
kawin adalah lebih kecil dari bagian yang seharusnya diterima sekiranya ia
anak sah.127
Ada dua macam pewarisan anak luar kawin yaitu sebagai berikut :
a.

Hak waris aktif anak luar kawin (Pasal 862 KUHPerdata sampai
dengan Pasal 866 KUHPerdata, Pasal 872 KUHPerdata, dan Pasal
873 ayat 1 KUHPerdata).
Dalam pembagian warisan, anak luar kawin mewaris bersama
dengan semua golongan ahli waris. Besar bagian yang diterima anak
luar kawin tergantung dengan golongan mana anak luar kawin
tersebut mewaris, atau tergantung dari derajat hubungan
kekeluargaan dari para ahli waris yang sah.128
Jika anak-anak luar kawin mewaris bersama-sama dengan keturunan
yang sah dari pewaris atau dengan suami atau istri (golongan I),
maka anak-anak luar kawin mewaris 1/3 (sepertiga) dari bagian,
yang sedianya mereka akan mendapat bagian andaikata mereka
anak-anak sah. Kemudian, apabila anak luar kawin mewaris
bersama-sama saudara-saudara dan/atau orang tua dari si pewaris

125

M. U. Sembiring, Op.cit., hal. 46.
R.H. Soerojo Wongsowidjojo, Op.cit., hal. 28.
127
M.U. Sembiring, Loc.cit.
128
Effendi Perangin, Op.cit., hal. 65.

126

Universitas Sumatera Utara

52

b.

(golongan II), maka bagian anak luar kawin yang diakui sah adalah
sebesar ½ (setengah) bagian dari harta peninggalan. Jika anak luar
kawin mewaris bersama-sama dengan golongan III, maka bagiannya
adalah ½ (setengah) dari harta peninggalan. Jika anak luar kawin
mewaris bersama golongan IV, maka ia mendapat ¾ (tiga per empat)
bagian dari seluruh harta peninggalan. Khusus bila anak luar kawin
mewaris bersama dengan golongan III dan IV, maka yang menjadi
dasar perhitungan adalah golongan terdekat dengan si pewaris, yakni
golongan III. Anak luar kawin akan mendapat seluruh harta warisan
apabila pewaris tidak meninggalkan ahli waris yang sah (golongan I
sampai IV).
Hak waris pasif anak luar kawin (Pasa

Dokumen yang terkait

HAK SUAMI SEBAGAI AHLI WARIS DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM (Analisis Putusan Perkara Gugat Waris Di Pengadilan Agama Kota Cirebon Nomor : 753/Pdt.G/2011/PA.Cn.)

1 6 104

STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR : 29 / PDT.G / 2010 / PN.TNG TENTANG PENERAPAN LEGITIME PORTIE DALAM PEMBAGIAN WARIS MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA.

0 0 3

PENETAPAN AHLI WARIS DAN PEMBAGIAN HARTA PENINGGALAN BERDASARKAN HUKUM WARIS MENURUT KUHPerdata.

0 0 1

Akibat Hukum Terhadap Penghibahan Seluruh Harta Warisan Oleh Pewaris Sehingga Melanggar Legitime Portie Ahli Waris Ditinjau Dari KUHPerdata (Studi Putusan Nomor 188 Pdt.G 2013 PN.Smg)

1 6 14

Akibat Hukum Terhadap Penghibahan Seluruh Harta Warisan Oleh Pewaris Sehingga Melanggar Legitime Portie Ahli Waris Ditinjau Dari KUHPerdata (Studi Putusan Nomor 188 Pdt.G 2013 PN.Smg)

0 0 2

Akibat Hukum Terhadap Penghibahan Seluruh Harta Warisan Oleh Pewaris Sehingga Melanggar Legitime Portie Ahli Waris Ditinjau Dari KUHPerdata (Studi Putusan Nomor 188 Pdt.G 2013 PN.Smg)

3 7 24

Akibat Hukum Terhadap Penghibahan Seluruh Harta Warisan Oleh Pewaris Sehingga Melanggar Legitime Portie Ahli Waris Ditinjau Dari KUHPerdata (Studi Putusan Nomor 188 Pdt.G 2013 PN.Smg) Chapter III V

0 1 56

Akibat Hukum Terhadap Penghibahan Seluruh Harta Warisan Oleh Pewaris Sehingga Melanggar Legitime Portie Ahli Waris Ditinjau Dari KUHPerdata (Studi Putusan Nomor 188 Pdt.G 2013 PN.Smg)

0 2 46

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HARTA AHLI WARIS DARI PEWARIS PENJAMIN AKTA PERSONAL GUARANTEE DI PERUSAHAAN PAILIT

0 0 13

Penghibahan Harta Orangtua Kepada Anak yang Melanggar Hak Mutlak/Hak Legitime Portie Anak yang Lain Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Studi Kasus Putusan Nomor 433/Pdt.G/2011/PN.JKT.PST) - UNS Institutional Repository

0 1 11