Investasi Industri Film Indonesia Lokal

INVESTASI INDUSTRI FILM INDONESIA: LOKAL ATAU ASING?

Tokyo, 21 November 2013

Investasi Industri Film Indonesia: Lokal atau Asing?
“Sebagian kalangan mengkritik rencana pemerintah merevisi Daftar Negatif Investasi (DNI).
Salah satunya lantaran terlalu melonggarkan peranan asing dalam sistem perekonomian
nasional. Termasuk kritik dari Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) yang khawatir
pembukaan beberapa bidang usaha itu mengurangi daya saing Indonesia.”
Sumber: http://www.merdeka.com/uang/revisi-dni-dikritik-hatta-berkilah-pembahasan-belum-final.html

Maraknya pembahasan DNI (Daftar Negatif Investasi) yang belum kunjung tiba di Menko
Perekonomian adalah kesempatan untuk memberikan pandangan terhadap kepentingan
DNI terkait industri film Indonesia. DNI dikeluarkan oleh Presiden (PP no. 36 tahun 2010)
untuk melindungi industri film dalam negeri terhadap Foreign Direct Investment (FDI).
Secara umum, pertimbangannya adalah industri terkait masih kecil dan lemah, sehingga
dikhawatirkan bila investasi asing masuk, maka akan mematikan kesempatan investasi
lokal terhadap industri terkait.

Bagan 1. DNI Industri Film
Sumber: BKPM, http://www3.bkpm.go.id/contents/general/26/negative-investment-list


Apakah sebenarnya dampak investasi asing pada industri film Indonesia? Pertanyaanpertanyaan yang umumnya muncul: apakah investasi asing akan menyetir produksi film
Indonesia? Apakah industri film lokal cukup kuat menghadapi masuknya investasi asing?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka penulis membagi tulisan ini
menjadi beberapa bagian, yaitu (1) pasar film Indonesia dan potensi perluasannya, (2)
investasi industri film Indonesia dalam produksi, ekshibisi, distribusi, lalu (3) kesimpulan.

(1) Pasar Film Indonesia dan Potensi Perluasannya

Bagan 2. Akses ke Bioskop
Sumber: www.filmindonesia.or.id

MEISKE TAURISIA 211113-DRAFT7

1

INVESTASI INDUSTRI FILM INDONESIA: LOKAL ATAU ASING?

Berdasarkan bagan di atas, hanya 13% dari total populasi Indonesia yang memiliki akses
terhadap sarana bioskop, mengindikasikan pasar film masih sangat kecil, dibandingkan

dengan Jepang yang berpenduduk sekitar 160.000.000 jiwa dan memiliki lebih dari 3.000
layar. Selanjutnya bagaimanakah potensi perluasan pasar film Indonesia? Untuk menjawab
pertanyaan tersebut marilah kita mengamati perkembangan film Indonesia dalam kurun
waktu 2008-2012, serta simulasi yang dilakukan penulis.

Bagan 3. Data Film Indonesia 2008-2012 dan Proyeksi Potensi Perluasan Pasar
Sumber: www.filmindonesia.or.id, @eksb_pifilm Kemeparekraf, dan data olahan penulis

Mengacu pada Bagan 3 - Tabel Data Film Indonesia 2008-2012
Angka jumlah film Indonesia yang dimasukkan dalam simulasi ini hanyalah yang memiliki
data penonton, yang dirangkum oleh filmindonesia.or.id, termasuk juga total data penonton
film Indonesia serta gross film Indonesia. Angka jumlah film impor didapat dari
@eksb_pifilm, akun Twitter Direktorat Pengembangan Industri Perfilman Kementrian
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Sedangkan angka jumlah layar berdasarkan gabungan
dari kedua sumber tersebut.
Proyeksi Pajak Negara adalah proyeksi pendapatan negara atas sektor film. Proyeksi ini
pada dasarnya memiliki berbagai sumber. Tabel di atas hanya membahas pendapatan
negara khususnya sektor film Indonesia yang bersumber dari:
1. Rumah produksi, dalam hal ini pemilik film atau produser film.
2. Bioskop atau eksibitor, yang berkaitan dengan kegiatan ekshibisi film Indonesia.

Proyeksi pajak tontonan dihitung berdasarkan gross film Indonesia. Seluruh pendapatan
pajak tontonan sepenuhnya menjadi hak pemerintah daerah. Khusus DKI Jakarta, sejak
pertengahan tahun 2013, sebesar 75% dari pendapatan pajak tontonan dikembalikan
kepada produser film, berdasarkan Pergub Prov. DKI Jakarta no. 115 tahun 2012.
Pelaksaanaan metode pengembalian serta besaran pengembalian ini belum ada informasi
lebih lanjut.

MEISKE TAURISIA 211113-DRAFT7

2

INVESTASI INDUSTRI FILM INDONESIA: LOKAL ATAU ASING?

Mengacu pada Bagan 3 - Tabel Rata-rata % Peningkatan Film Indonesia 2012
Berdasarkan data, terbaca adanya perbedaan yang signifikan kala membandingkan
periode 2008-2009 dengan periode 2010-2012. Oleh karena itu, penulis memutuskan untuk
menggunakan data periode 2010-2012.
Secara umum, dalam dua tahun periode 2010-2012 bidang produksi dan ekshibisi film
Indonesia mengalami peningkatan. Peningkatan jumlah layar sebesar 7% (676 menjadi
721) menyebabkan peningkatan jumlah daya serap penonton sebesar 15% (16.290.076

menjadi 18.685.814), walaupun kenaikan harga tiket bioskop sebesar 67% (15.000 menjadi
25.000). Ringkasnya, peningkatan jumlah layar lah yang disebut sebagai perluasan pasar,
yang mendorong peningkatan potensi daya serap penonton film Indonesia.
Kombinasi jumlah layar dan kenaikan harga tiket, berhasil meningkatkan potensi gross film
Indonesia sebesar 91%, yang relatif berbanding lurus dengan potensi peningkatan
pendapatan produser, tetapi secara signifikan menunjukkan pendapatan bioskop
berpotensi mengalami peningkatan sebesar dua kali lipat lebih. Yang pada akhirnya
memberikan potensi peningkatan pendapatan negara maupun pemda dari film Indonesia.
Fakta jumlah produksi film Indonesia yang relatif stabil (2010-2012: rata-rata 81 film),
menunjukkan bahwa banyaknya film Indonesia yang diproduksi tidak terlalu berpengaruh
pada animo menonton, yang justru lebih berpengaruh dalam peningkatan potensi jumlah
penonton Indonesia adalah penambahan jumlah layar. Dengan kata lain, semakin besar
akses untuk ke bioskop, semakin besar probabilitas orang untuk pergi ke bioskop. Perlu
dicatat, jumlah penonton Box Office adalah anomali dalam industri film. Disebut sebagai
anomali karena tidak memiliki kepastian atas dasar apapun. Misalnya: Apakah disebabkan
aktor atau aktris yang terlibat di film? Apakah disebabkan karena film adalah adaptasi
novel? Apakah disebabkan cerita berdasarkan biografi seorang tokoh penting? Apakah
karena proses promosinya? Apakah karena pembuat filmnya? Banyaknya kemungkinan
yang turut berkontribusi pada kesuksesan sebuah film memerlukan penelitiannya sendiri,
oleh karena itu pada tulisan ini diabaikan.

Yang juga meningkat adalah rata-rata nilai produksi sebuah film Indonesia; sebesar 1,3 M
di tahun 2010, menjadi 1,9 M di tahun 2011, dan 2,5 M di tahun 2012. Namun hal ini belum
dapat dipastikan karena belum tersedia data gross per film dari produser film indonesia.
Yang perlu dicermati adalah peningkatan nilai produksi film, memberikan kesempatan akan
peningkatan kualitas film Indonesia dan kesejahteraan pekerja film Indonesia.
Di tahun 2011, MPAA (Motion Picture Association of America) melakukan boikot terhadap
pemerintah Indonesia, sehingga film impor tidak dapat tayang di bioskop. Pada saat itu,
kekosongan slot film di bioskop diisi oleh film Indonesia. Yang menarik adalah pada tahun
2011, penonton film Indonesia mengalami kenaikan sebesar 8% (2010-2011) dan terus
meningkat sebesar 20% (2011-2012). Ketidakhadiran data jumlah penonton film impor,
menunjukkan bahwa pertumbuhan penonton film Indonesia tetap berlangsung, meski
tanpa kehadiran film impor. Dampak finansial dari ketidakhadiran film impor adalah pada
jenis usaha ekshibisi atau bioskop, diluar dampak sosial lainnya yang terjadi saat itu.
Selanjutnya, pertanyaan berikut adalah faktor apakah yang berpengaruh pada peningkatan
jumlah penonton Indonesia? Bagaimanakah hubungan jumlah layar dan harga tiket dalam
pasar film Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan di atas, maka penulis melakukan
simulasi terhadap faktor-faktor tersebut.

MEISKE TAURISIA 211113-DRAFT7


3

INVESTASI INDUSTRI FILM INDONESIA: LOKAL ATAU ASING?

Mengacu pada Bagan 3 - Tabel Proyeksi Potensi Perluasan Pasar
Proyeksi ini dibagi menjadi empat kemungkinan, yaitu:
1. Kondisi M1A, dimana jumlah layar bertambah sebesar
sedangkan harga tiket tetap.
2. Kondisi M1B, dimana jumlah layar bertambah sebesar
sedangkan harga tiket juga naik sebesar 10%.
3. Kondisi M2A, dimana jumlah layar bertambah sebesar
sedangkan harga tiket tetap.
4. Kondisi M2B, dimana jumlah layar bertambah sebesar
sedangkan harga tiket juga naik sebesar 10%.

200% atau dua kali lipat,
200% atau dua kali lipat,
300% atau tiga kali lipat,
300% atau tiga kali lipat,


Dengan nilai jumlah layar tetap maka dapat diamati dampak kenaikan harga. Dengan nilai
harga tiket tetap, maka dapat diamati dampak penambahan jumlah layar. Berdasarkan
tabel data di atas, maka didapatkan ilustrasi hubungan antara jumlah layar, jumlah
penonton, harga tiket dan gross, seperti di bawah ini:

Bagan 4. Ilustrasi Hubungan Jumlah Layar, Jumlah Penonton, Harga Tiket dan Gross Film Indonesia
Sumber: Data olahan penulis

Proyeksi di atas memperlihatkan perkembangan jumlah penonton relatif paralel dengan
penambahan jumlah layar. Juga dapat dipastikan bahwa faktor terbesar dalam dinamika
industri film Indonesia adalah penambahan layar yang mengakibatkan perluasan pasar.
Ketepatan wilayah penambahan layar tentunya akan mendorong percepatan peningkatan
jumlah penonton. Sayangnya pencatatan dan penelitian ini belum tersedia.
Bagi produser film Indonesia, faktor penambahan jumlah layar menjadi faktor terbesar
dalam mendorong peningkatan pendapatan, dibanding dengan kenaikan harga tiket
bioskop. Terlihat pada tabel, kenaikan sebesar 200% meningkatkan pendapatan produser

MEISKE TAURISIA 211113-DRAFT7

4


INVESTASI INDUSTRI FILM INDONESIA: LOKAL ATAU ASING?

sebesar 222% atau dua kali lipat lebih. Faktor kenaikan harga tiket, menambah akselerasi
sebesar rata-rata 40%. Faktor jumlah slot penayangan tiap layar dianggap sama jumlahnya
dalam penulisan ini.
Sedangkan bagi bioskop, penambahan jumlah layar sebesar 200% meningkatkan
pendapatan dari film Indonesia sebesar 193%, hampir dua kali lipat. Angka ini diluar
pendapatan film impor. Proyeksi pertambahan pendapatan bisa mencapai 70-80%, bila
ditambahkan dengan pendapatan dari film impor (ilustrasi selanjutnya). Maka kenaikan
harga tiket erat hubungannya dengan peningkatan pendapatan bioskop, yang bertujuan
untuk mengembalikan investasi bioskop terhadap sarana dan prasarana bioskop tersebut.
Hal ini dapat dipahami mengingat besarnya investasi bioskop. Kebutuhan akan aset fisik
bangunan dengan standar tertentu, serta penggunaan alat berteknologi tinggi, yang
menjadi pertimbangan terbesar dalam melakukan jenis usaha bioskop. Fisik bangunan
dapat disiasati dengan kolaborasi bersama pengusaha properti. Tetapi, perkembangan
teknologi proyeksi film dan suara tidak dapat dimanipulasi, karena masih sepenuhnya
teknologi impor. Seperti disebutkan di atas, selayaknya kenaikan harga tiket membantu
mempercepat proses pengembalian modal bioskop.


(2) Investasi Industri Film Indonesia
Untuk memahami investasi industri film Indonesia, maka kita perlu mengamati dinamika
investasi industri film secara umum, termasuk kontribusi film impor. Ketidaktersediaan data
jumlah penonton film impor membuat penulis melakukan analisa berdasarkan rasio film
Indonesia terhadap film impor yaitu 1:2, sebagai satu-satunya data film impor di Indonesia.
Gabungan seluruh warna dari tiap batang dalam ilustrasi ini adalah yang disebut sebagai
besaran investasi film total, baik dari film Indonesia dan film impor, yang juga merefleksikan
besaran perputaran uang (cashflow) industri terkait. Pendapatan Pemda atas sektor film
adalah bersumber dari kontribusi pajak atas setiap tiket film. Pendapatan Negara atas
sektor film adalah penjumlahan dari kontribusi pajak rumah produksi dan pajak bioskop, di
luar pajak film dari distribusi media lainnya.

Bagan 5. Ilustrasi Komposisi Investasi Film di Indonesia

MEISKE TAURISIA 211113-DRAFT7

5

INVESTASI INDUSTRI FILM INDONESIA: LOKAL ATAU ASING?


Sumber: Data olahan penulis

Dari ilustrasi di atas, terlihat perkiraan besaran investasi berdasarkan masing-masing jenis
usaha dan kontribusi pajaknya:
1. Rumah produksi sebesar 27,5%,
2. Bioskop total (film Indonesia dan impor) sebesar 55%,
3. Kontribusi pajak rumah produksi sebesar 2,8%,
4. Kontribusi pajak bioskop total (film Indonesia dan impor) sebesar 5,5%, dan
5. Kontribusi pajak tontonan total (film Indonesia dan impor) sebesar 9,2%.
Catatan: kontribusi pajak Negara sektor film adalah sebesar 8,3%.
Dengan demikian dapat disimpulkan penyerapan modal terbesar dalam industri film di
Indonesia adalah pada bioskop yaitu sebesar 60,5% (termasuk pajaknya) dari total industri,
yang juga merefleksikan perputaran uang (cashflow) terbesar. Sedangkan penyerapan
modal atau perputaran uang di rumah produksi sebesar 30,3% (termasuk pajaknya) dari
total industri.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa bioskop adalah industri padat modal, termasuk di
dalamnya padat teknologi. Sedangkan rumah produksi adalah industri padat karya,
termasuk di dalamnya adalah seluruh pekerja film baik kreatif maupun bidang keahlian.
Yang disebut investasi film Indonesia adalah gabungan investasi rumah produksi, bioskop
khusus film Indonesia, pajak rumah produksi, pajak bioskop khusus film Indonesia, dan

pajak tontonan khusus film Indonesia. Untuk itu didapatkan data sebagai berikut:
1. Rumah produksi sebesar 27,5%,
2. Bioskop film Indonesia sebesar 27,5%,
3. Kontribusi pajak rumah produksi sebesar 2,8%,
4. Kontribusi pajak bioskop (film Indonesia) sebesar 2,8%, dan
5. Kontribusi pajak tontonan (film Indonesia) sebesar 4,6%.
Catatan: kontribusi pajak Negara sektor film Indonesia adalah sebesar 5,6%.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa investasi film Indonesia memiliki 65,2% dari
total industri film di Indonesia. Sebuah angka yang menggembirakan, karena berdasarkan
simulasi terlihat kekuatan industri film Indonesia. Ini menjawab kekhawatiran akan
lemahnya industri film Indonesia, yang menjadi kekhawatiran umum. Memang simulasi ini
dibuat tanpa data akurat dari jumlah penonton film impor. Bila ada pihak yang memiliki
data ini, maka penulis bersedia melakukan penghitungan ulang. Sampai data itu tersedia,
maka ada baiknya kita percaya bahwa film Indonesia memiliki 65,2% pasar film di
Indonesia (market share).
Dari sisi kontribusi pajak Negara, terlihat bahwa kontribusi pajak film Indonesia adalah
sebesar 5,6% dari total 8,3%, yang berarti bahwa 67% pendapatan Negara dari sektor film
adalah berasal dari film Indonesia. Ini semakin menunjukkan kekuatan pasar film Indonesia
dari total industri film di Indonesia.

MEISKE TAURISIA 211113-DRAFT7

6

INVESTASI INDUSTRI FILM INDONESIA: LOKAL ATAU ASING?

Investasi Film Indonesia: Produksi

Bagan 6. Budget Breakdown of Film Industry Process
Sumber: Riset CSIS

Terminologi produksi secara spesifik mengacu pada proses pelaksanaan produksi
(shooting) itu sendiri. Tetapi dalam konteks yang lebih luas, maka terminologi produksi film
juga mengacu pada seluruh proses pembuatan film dari masa pengembangan cerita
(development), persiapan produksi (pre-production), pasca produksi (post-production) dan
khusus di Indonesia, termasuk juga kegiatan promosi (P&A: promotion and Advertisement)
dan distribusi (distribution). Mengapa profesi distributor atau jenis usaha distribusi tidak
berkembang di Indonesia, bagian ini akan dibahas pada bagian distribusi.
Menurut hasil riset CSIS, maka penyerapan modal terbesar terjadi pada masa produksi
(shooting) yaitu sebesar rata-rata 65% dari total keseluruhan biaya produksi film, atau
sebesar rata-rata 80% dari total keseluruhan biaya produksi film, diluar distribusi, untuk
menyelesaikan sebuah film hingga materi master film. Selain penyerapan modal terbesar,
tahapan ini juga menyerap banyak tenaga kerja, baik dari sisi tenaga kerja kreatif (creative
labour), maupun tenaga kerja keahlian khusus bidang film (skilled labour). Banyaknya
lingkup profesi yang terlibat dalam produksi film dapat dilihat dari begitu beragamnya
kategori penghargaan yang diberikan pada pekerja film dalam berbagai ajang
penghargaan film dalam negeri maupun luar negeri. Mengingat besarnya serapan modal
terkait bidang produksi, maka pencarian investasi untuk sebuah produksi film menjadi
sangat kompetitif.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis, maka mayoritas sumber investasi produser
film atau rumah produksi adalah:
1. Investasi personal, baik berdasarkan kedekatan hubungan maupun kedekatan
dengan bidang film atau kesenian.
2. Branding (product placement), baik melalui advertising agency atau direct client.
3. Sponsorship atau sering disebut angel investor, baik personal maupun korporasi.
4. Hibah asing, melalui berbagai jenis kompetisi baik di film festival, film market atau
film funding institution.
5. Metode crowd funding yang mulai marak di Indonesia.
Kekuatan pasar lokal seperti yang telah diulas di atas, tidak mendorong terciptanya
sumber investasi finansial melalui perbankan ataupun institusi finansial lokal lainnya.
Perkiraan umum adalah karena tidak adanya ketersediaan data atau badan khusus di
industri film yang memikirkan bagian struktur finansial ini.

MEISKE TAURISIA 211113-DRAFT7

7

INVESTASI INDUSTRI FILM INDONESIA: LOKAL ATAU ASING?

Pasar Lokal dan Pasar Internasional

Bagan 7. Hubungan Struktur Finansial Lokal & Asing terhadap
Distribusi Lokal & Internasional
Sumber: Data olahan penulis

Tabel di atas memberikan sedikit ilustrasi pengaruh sumber finansial sebuah film Indonesia
terhadap jangkauan distribusinya. Masih banyak film Indonesia lainnya yang beredar di film
festival internasional, mendapat penghargaan dan melakukan penjualan internasional, baik
film panjang fiksi maupun dokumenter. Tabel ini dibuat sebagai gambaran secara umum.
Seluruh film Box Office Indonesia memiliki struktur finansial 100% lokal. Hampir seluruh film
Indonesia yang tayang di bioskop lokal juga memiliki kesempatan distribusi media lain di
wilayah lokal. Dari film Indonesia Box Office tersebut, hanya Laskar Pelangi yang memiliki
ekshibisi Internasional di film festival, memenangkan penghargaan dan juga memiliki
penjualan internasional. Film dengan 100% investasi lokal, yang juga tayang di film festival
internasional dan mendapatkan penghargaan adalah Sang Pemimpi, Pintu Terlarang,
Lovely Man, Modus Anomali dan The Raid. The Raid memiliki cerita sukses tersendiri
karena merupakan satu-satunya film Indonesia yang dibeli oleh major film studio & sales,
yakni Sony Pictures. Artinya mayoritas film Indonesia dengan struktur finansial 100% lokal,
memiliki dominasi kekuatan di dalam negeri. Hanya sebagian kecil dari film kategori ini
melakukan ekshibisi dan penjualan internasional. Dalam konteks industri, maka Laskar
Pelangi dan The Raid adalah film dengan struktur finansial 100% lokal yang berhasil di
pasar domestik maupun internasional.
Sebaliknya, film Indonesia yang memiliki sturktur finansial kombinasi dengan hibah asing,
memiliki kesempatan ekshibisi internasional lebih besar di ajang film festival, seperti: Babi

MEISKE TAURISIA 211113-DRAFT7

8

INVESTASI INDUSTRI FILM INDONESIA: LOKAL ATAU ASING?

Buta yang Ingin Terbang, Jermal, Sang Penari, The Mirror Never Lies, Atambua 39C,
Vakansi yang Janggal dan penyakit Lainnya, serta Postcards from the Zoo. Pengecualian
adalah Kita vs. Korupsi, film yang dibuat dengan dana hibah asing, tetapi diperuntukkan
untuk kampanye anti korupsi dalam negeri. Secara jumlah, maka dibandingkan dengan
total produksi film Indonesia keseluruhan, maka film yang menggunakan struktur finansial
kombinasi sangat sedikit, rata-rata dibawah 10%. Menariknya, rata-rata film yang memiliki
struktur kombinasi hibah asing tidak memiliki daya jual di wilayah dalam negeri, namun
berpotensi memiliki penjualan Internasional. Terlihat variasi film dibutuhkan saat film
Indonesia ingin menembus pasar internasional.
Penting dicatat bahwa dana hibah asing pun adalah bentuk struktur finansial investasi
asing yang memiliki metode pengembalian yang berbeda.
Dana hibah asing film dimungkinkan karena adanya proses pengembalian pajak kota atau
Negara untuk industri terkait, dalam hal ini industri film; contoh: Hubert Bals Fund yang
dapat diakses melalui International Film Festival Rotterdam, Belanda, dan banyak contoh
lainnya. Metode pengembalian yang diharapkan dari jenis investasi hibah asing adalah
nilai budaya. Dengan kata lain, investasi hibah asing adalah bentuk investasi budaya.
Apakah budaya asing? Dalam hal mendukung film dari berbagai Negara di dunia, dana
hibah asing film diciptakan untuk:
1. Keberlangsungan pengembangan film itu sendiri, tanpa ikut campur persolan
kreatif pembuatnya, dan
2. Kepentingan menumbuhkembangkan pembuat film baru. Oleh karena itu, dana
hibah asing biasanya dibatasi untuk pembuat film panjang pertama atau kedua.
Hibah asing berpotensi membuka kemungkinan ekshibisi pasar internasional, juga memiliki
potensi sebagai gerbang penjualan film dan penyebaran budaya di pasar internasional.
Dalam konteks investasi finansial yang sebenarnya, maka investasi asing sudah pasti
menjamis proses penjualan film di wilayah lainnya. Ini merupakan penerapan hukum
dagang umum bahwa produsen akan menjual produksinya semaksimal mungkin di
wilayahnya, dan kemudian melakukan ekspansi ke wilayah lainnya.
Secara umum dapat dilihat bahwa rentang keberhasilan investasi produksi film adalah
pendapatan dalam negeri apalagi mencapai jumlah Box Office, pendapatan dari pasar
internasional, dan penyebaran budaya (investasi budaya) di wilayah internasional.
Keragaman produksi film juga memiliki daya tariknya masing-masing, antara pasar lokal
dan pasar internasional. Film Indonesia yang memiliki kesuksesan di wilayah internasional
tidak memilki kepastian kesuksesan di wilayah domestik. Dan berlaku juga sebaliknya,
kesuksesan dalam negeri tidak menjamin kesuksesan internasional. Bukan intensi penulis
untuk membahas perbedaan daya tarik film di dua pasar tersebut. Melainkan yang penting
untuk dipahami dalam konteks investasi dan pasar internasional adalah:
1. Struktur kombinasi investasi asing memberikan kesempatan akan perluasan pasar
internasional. Baik dalam bentuk budaya lewat ekshibisi film festival, maupun finansial
melalui penjualan lewat major film sales company atau minor film distributor company.
2. Bahwa investasi asing di sebuah produksi film tidak menyetir jenis maupun konten film
yang dibuat oleh pembuat film lokal, justru menambah keragaman film Indonesia.
Terbukti bahwa seluruh film yang ikut ekshibisi maupun penjualan internasional adalah
cerita lokal dan mayoritas pembuat film lokal.
3. Pendapatan pajak atas film dalam wilayah domestik, dapat dimanfaatkan untuk
penyelenggaraan hibah film lokal, yang mendorong variasi film Indonesia. Variasi dalam
arti keragaman yang sesungguhnya, baik untuk pengembangan pencapaian film
secara kreatif, pengembangan pembuat film baru, dan penyebaran nilai budaya.
Sejauh ini film festival internasional secara tidak langsung adalah bentuk kesepakatan
informal dalam proyeksi apresiasi pengembangan film.

MEISKE TAURISIA 211113-DRAFT7

9

INVESTASI INDUSTRI FILM INDONESIA: LOKAL ATAU ASING?

Investasi Film Indonesia: Ekshibisi

Bagan Jumlah Bioskop dan Layar di Indonesia
Sumber: www.filmindonesia.or.id
Berdasarkan data hanya 721 bioskop yang aktif terlibat dalam perputaran film (baik lokal
maupun impor). Dari 721 layar yang aktif, Group 21 memiliki 90% layar, sedangkan Group
Blitzmegaplex hanya memiliki 10% saja.
Belum ada hasil peneliatian yang menunjukkan berapa persen pendapatan film Indonesia
dari Group 21 bila dibandingkan dengan Blitzmegaplex, tetapi kenyataan bahwa 90%
pasar dimiliki salah satu group dapat memastikan mayoritas pendapatan produser lokal
didapat dari salah satu group. Seluruh produser film Indonesia akan berusaha untuk
menayangkan film nya di layar Group 21, bila ingin mengakses pasar seluas-luasnya
Ibaratnya, produsen selaku penjual barang, maka hanya ada sebuah toko yang bisa
menerima untuk menjual barang tersebut. Dapat dipahami akan adanya keterbatasn
display yang dimiliki sebuah toko. Belum lagi kondisi toko akan investasi tokonya, akan
menentukan langkah yang akan diambil untuk menjaga keberlangsungan usahanya.
Seluruh barang akan dipajang menurut jadwal yang didesain oleh pihak toko, dan pihak
toko yang mengetahui barang mana yang sangat laku, laku atau tidak laku. Karena toko
tidak memilki saingan yang cukup signifikan, maka keputusan memajang barang
dagangan tidak memerlukan buyer (dijelaskan selanjutnya), yang biasanya dimiliki oleh
sebuah toko.
Kembali ke persoalan film Indonesia, hubungan ketergantungan yang sangat tinggi inilah
yang menyebabkan produser film Indonesia tidak dapat berbuat banyak terhadap pasar
filmnya. Faktor umum yang menjadi persoalan hubungan antara produser film dan bioskop
adalah seputar:
1. Tanggal penayangan film
2. Lama penayangan film
3. Kontrak kerja
4. Metode pelaporan jumlah penonton
Sejak berdirinya Cineplex 21 tahun 1987, maka para produser film Indonesia
menggantungkan nasibnya pada satu grup ekshibisi dominan. Tidak adanya saingan
usaha yang signifikan selama hampir 26 tahun telah meniadakan kompetisi yang sehat

MEISKE TAURISIA 211113-DRAFT7

10

INVESTASI INDUSTRI FILM INDONESIA: LOKAL ATAU ASING?

pada jenis usaha ekshibisi. Untuk itu maka dibutuhkan diversifikasi investasi lain untuk jenis
usaha bioskop, singkatnya pasar film Indonesia memerlukan jaringan bioskop lain yang
sepadan. Dan terbukti selama hampir 26 tahun, tidak investor lokal yang mampu
menandingi jumlah layar yang dimiliki group tersebut.
Persoalan klasik selama dua dekade ini, yang patut disorot adalah tidak tersedianya data
jumlah penonton film impor, atau minimal gross film impor di Indonesia. Sulit untuk dirunut
di manakah letak kesulitan ini. Apakah karena kedekatan hubungan distributor film impor
dengan grup bioskop? Atau tidak adanya badan film yang mengurus rambu-rambu dan
lalu lintas distribusi film impor dan ekshibisinya? Atau kurangnya law enforcement dari
pemerintah daerah, mengingat Pasal 33 UU nomor 33 tahun 2009 tentang Perfilman secara
spesifik mewajibkan setiap ekshibitor untuk mempublikasikan jumlah penonton dan
pendapatan dari setiap pemutaran, sehingga data ini tidak terkumpul? Atau sesederhana
tidak terpikir keperluannya untuk apa?
Investasi bioskop asing, saat masuk ke dalam industri film Indonesia, diperkirakan akan
menggunakan metode franchise system, yang artinya dimungkinkan co-ownership dengan
pengusaha lokal, bukan 100% investasi asing. Keuntungan investasi asing dengan
franchise system-nya adalah spesialisasinya di bidang ekshibisi film yang memiliki solid
background, dan tidak menjadi investor ‘coba-coba’. Selain itu kebutuhan akan investasi
bioskop dalam skala massif (minimal 1.000 layar) dalam waktu yang relatif tidak terlalu
lama (misalnya 2 tahun), membutuhkan keadaan finansial yang stabil dalam kurun waktu
sepuluh tahun ke depan, mengingat besarnya investasi bioskop. Kekuatan pasar film
Indonesia sebesar 65,2% tidak dapat dipertaruhkan dengan invetasi yang seadanya.
Taruhan inilah yang justru membahayakan stabilitas pasar film Indonesia.
Saat investasi baru memasuki jenis usaha ekshibisi, maka yang menjadi pertanyaan utama
adalah suplai film, yang berujung pada sumber daya manusia atau pekerja film.
Pengembangan sumber daya manusia atau pekerja film memerlukan pembahsannya
tersendiri lewat pendidikan film dan lapangan kerja, untuk itu diperlukan penelitian khusus
terkait persoalannya. Kali ini penulis membahas khusus persoalan finansial industri film.
Saat jaringan bioskop bertambah, maka pasar membesar, dan jumlah film yang diproduksi
seharusnya meningkat. Apa yang bisa dilakukan oleh pasar domestik untuk mengantisipasi
hal tersebut? Keadaan ini akan membuka potensi di bidang:
1. Lembaga finansial. Artinya produser film Indonesia akan memerlukan pasokan
modal untuk membuat film dalam mengantisipasi penambahan jumlah layar. Oleh
karena itu, investasi pada sektor film menjadi on demand. Lembaga finansial dapat
turut serta dalam pengembangan industri terkait.
2. Untuk mendukung kondisi di atas, maka kebijakan lama tayang film Indonesia di
bioskop menjadi crucial. Karena kontrak dan lama tayang film di bioskop ‘menjadi
jaminan’ kepada lembaga finansial.
3. Peran promosi dan iklan juga menjadi sangat penting. Artinya kerjasama dengan
bidang advertising agency, media planner, atau media lainnya terkait, menjadi
sangat penting. Dan dapat diinisiasi menjadi bentuk kerjasama konkrit tahap
persiapan tayang film atau malah dalam tahap sebelumnya.
Kesinambungan jaringan bioskop dengan rantai penjualan lainnya menjadi dasar
keterlibatan institusi finansial dalam memberikan fasilitasnya.

MEISKE TAURISIA 211113-DRAFT7

11

INVESTASI INDUSTRI FILM INDONESIA: LOKAL ATAU ASING?

Investasi Film Indonesia: Distribusi
Di tatanan film dunia dan textbook yang diajarkan pada sekolah film, dalam rantai
penjualan film ada sebutan Buyer film, yaitu Sales Agent (SA) dan Distributor (D), serta Film
Market. Sales Agent adalah pembeli film utama, yang kemudian menjual film yang
dibelinya kepada Distributor film. Sales Agent akan memikirkan strategi penjualan film
secara menyeluruh di berbagai wilayah. Oleh karena itu lingkup Sales Agent lebih luas dari
distributor. Distributor secara umum menangani sejenis format penjualan. Artinya distributor
memiliki kekhususan melakukan penjualan, misalnya kepada bioskop saja, atau media
lainnya. Perbedaan kedua profesi ini disebabkan oleh variasi pasar dan konsumen yang
berbeda, sehingga diperlukan kekhususan cara penjualan, termasuk di dalamnya metode
berpromosi. Sedangkan film market adalah pasar penjualan film.
Kenyataan di lapangan dalam rantai film Indonesia, tidak mengenal semua istilah tersebut
diatas, kecuali distributor DVD/VCD atau sering disebut sebagai Home Video (HomVDO).
Ini menunjukkan bahwa produser film lah yang merangkap sebagai penjual film kepada
berbagai pihak; ekshibisi yaitu bioskop, stasiun TV, distributor DVD/VCD, atau media
lainnya. Tidak ada jenis usaha dengan keahlian khusus yang menjembatani di antaranya.
Kembali ke ilustrasi ‘toko’ sebagai Buyer, maka tugasnya secara umum adalah
mempertemukan kecocokan pasar dari produsen ke toko, sehingga produk terjual dengan
harga yang ideal pada pasar yang tepat. Untuk itu Buyer akan memikirkan jenis barang
yang cocok untuk sebuah toko. Setiap toko memiliki karaketristik dan pasarnya sendiri, dan
tugas Buyer adalah memahami berbagai perbedaan karakter toko. Selain memahami
berbagai karakter dan selera toko, maka Buyer pun dituntut untuk memahami berbagai
barang yang diproduksi oleh produsen, dari sisi kualitas, lama produksi hingga harga
barang. Pengetahun pasar dari kedua sisi menjadi keahlian spesifik dari Buyer. Dalam
industri yang lebih kompleks, maka Buyer pun memiliki spesialisasi. Dan kedua belah
pihak, produsen dan toko akan memahami spesialisasi Buyer. Bila toko mencari produk
tertentu maka sebaiknya menghubungi Buyer tertentu. Begitu pula bila produsen ingin
menjual produk tertentu, maka akan mendatangi Buyer tertentu.
Dalam industri film, barang yang dijual adalah hak tayang film, bukan fisik film atau
kepemilikan film. Penjualan film pada dasarnya penjualan pengalaman menonton lewat
sebuah cerita. Oleh karena itu, produser film selaku pemilik film memiliki Intellectual
Property (IP) film. IP inilah yang menentukan kepemilikan film.
Produser akan menjual atau menyewakan (license) hak tayang filmnya kepada Buyer
dengan berbagai perjanjian yang secara umum melingkupi lama penyewaan hak tayang
(lisence period), hak tayang di semua media (all rights) atau di media tertentu sesuai
perjanjian - bioskop (theatrical release), TV, HomVDO, VOD (video on demand), atau media
IP based lainnya-dan di cakupan wilayah tertentu (specific territory atau worldwide). Semua
ini akan tertuang di dalam kontrak kerjasama, termasuk di dalamnya adalah perjanjian
pembagian hasil. Pada Buyer skala besar, maka memungkinkan Buyer membeli sebelum
barang tersebut jadi (pre-sale), atau memberikan MG (minimum guarantee) saat membeli
hak tayang tersebut. Oleh karena itu pekerjaan Buyer di film memerlukan kedekatan
dengan institusi finansial atau minimal memiliki dana untuk melakukan tawar menawar
dengan produser film. Dari sisi produser, keberadaan Buyer akan membantu memberikan
cashflow bagi produksi filmnya.

MEISKE TAURISIA 211113-DRAFT7

12

INVESTASI INDUSTRI FILM INDONESIA: LOKAL ATAU ASING?

Memahami penjabaran di atas maka dapat dimengerti mengapa pasar film Indonesia tidak
memiliki profesi Buyer. Persoalan terkait adalah:
1. Tidak adanya variasi jaringan bioskop yang memungkinkan terjadinya proses tawar
menawar. Pemasukan utama produser film adalah 95% dari bioskop (sumber: Riset
CSIS)
2. Tidak adanya variasi media distribusi film. Ada distributor DVD/VCD, tetapi mengingat
kecilnya pasar DVD/VCD atau media lainnya, yaitu sebesar 5% (sumber: Riset CSIS),
maka persaingan pasar ini tidak cukup berarti.
3. Tidak adanya institusi finansial yang memahami perdagangan film. Dalam hal ini,
persoalan bermuara kembali pada distorsi pasar; akses ke bioskop yang kecil (13%)
diperkeruh dengan ketimpangan kepemilikan layar, yang menyebabkan tidak adanya
kepastian penjualan.

(3) Kesimpulan
Kini menjadi jelas bahwa istilah ‘kecilnya industri film Indonesia’ mengacu pada sedikitnya
jumlah layar dan hanya dapat diakses oleh 13% dari total populasi Indonesia. Tetapi tidak
mengacu pada kekuatan pasar film Indonesia yang memiliki market share sebesar 65,2%.
Artinya kemungkinan perluasan pasar masih sangat besar dan pasar film Indonesia siap
untuk menyerap investasi baru di berbagai bidang baik produksi, distribusi, dan khususnya
jaringan bioskop baru, demi perluasan pasarnya.
Satu hal yang sangat dibutuhkan adalah kebijakan yang sistematik, transparan dan holistic,
khususnya saat industri film di Indonesia masih termasuk kategori simple, tidak kompleks.
Dari sisi finansial khususnya, kerjasama dengan institusi finansial dalam negeri baik
perbankan atau institusi lainnya perlu digarap secara serius.
Khususnya untuk film Indonesia yang memiliki daya tarik pasar International perlu
mendapat dorongan lebih lanjut, untuk menjaga kontinuitas film Indonesia di pasar
Internasional. Dalam situasi ideal, diperlukan distributor film Indonesia khusus pasar
Internasional.
Kembali kepada topik DNI, tiga bidang film yang tertutup sama sekali terhadap investasi
asing adalah Produksi Film (Film Making), Distribusi Film (Film Distribution) -ekspor, impor
dan distribusi-, dan Bioskop (Viewing: movie theater), maka dari penjabaran di atas, dapat
disimpulkan bahwa pilar utama industri film di Indonesia adalah ekshibisi dan produksi.
Sementara pilar distribusi tidak memiliki kontribusi sama sekali selama minimal satu hingga
dua dekade terakhir. Pilar distribusi mengacu pada profesi dengan bidang keahlian
khusus. Bukan mengacu pada kegiatan distribusi dalam arti penyebaran materi film antar
bioskop yang sifatnya antar-jemput internal atau kurir.
Saking peliknya silang sekarut persoalan industri film Indonesia, sehingga tak bisa
mengharapkan adanya satu solusi untuk menyelesaikan semuanya. Yang bisa dilakukan
adalah menyusun prioritas, mana yang perlu dilakukan terlebih dahulu dalam menguatkan
posisi masing-masing bidang tersebut.
Bidang Produksi
Kegiatan produksi film selalu memiliki konsekuensi ekonomi dan budaya.
Dari sisi ekonomi, maka kerjasama investasi asing dalam bentuk ko-produksi film,
membuka kemungkinan akan kegiatan penjualan film Indonesia di pasar internasional. Ko-

MEISKE TAURISIA 211113-DRAFT7

13

INVESTASI INDUSTRI FILM INDONESIA: LOKAL ATAU ASING?

produksi adalah siasat shared risk dan secara konkrit perluasan pasar dunia. Shared risk
juga berarti kesempatan untuk shared resources, baik sumber daya manusia (scriptwriter,
actor/actress, cinematographer, atau posisi lainnya dalam jajaran kru film), sumber daya
alam sebagai lokasi shooting, atau sumber daya lainnya. Bentuk kepemilikan film dapat
dimiliki bersama, atau diatur berdasarkan besaran investasi film terkait. Untuk itu, perlu
disiapkan government treaty antara Indonesia dengan berbagai negara asing, khususnya
Eropa, ASEAN dan Amerika, yang mengatur tata cara pelaksanaan kegiatan ko-produksi.
Shared risks berarti pula shared benefits, artinya melalui kerjasama ini maka produser film
Indonesia dapat menikmati fasilitas negara lain (misalnya tax incentives, akses ke institusi
finansial, atau dana regional film setingkat kota atau propinsi), dan juga sebaliknya. Untuk
itu pemerintah perlu menyiapkan daya tarik khusus bidang film di dalam negeri sebagai
stimulus kepada kedua belah pihak. Pendapatan pajak tontonan atas sektor film dapat
dimanfaatkan untuk menciptakan fasilitas tersebut diatas.
Dari sisi budaya, ikut berpartisipasi di ajang kompetisi film internasional sama pentingnya
seperti mengikuti kompetisi badminton, fisika, atau paduan suara tingkat dunia.
Pemanfaatan hibah asing dalam film Indonesia membuka pintu ekshibisi di pasar
internasional. Sama halnya dengan investasi asing yang akan mendorong penjualan
secara lebih intensif, maka kegiatan ini adalah juga bentuk penyebaran ‘jati diri dan
kepribadian bangsa’, frase yang kerap disebutkan dalam UU Perfilman Indonesia, dan
bukan sebaliknya dianggap sebagai ancaman. Film sebagai bagian dari agenda ekspansi
kebudayaan, menjadi bagian dari strategi kebudayaan negara. Contoh: Korea Selatan.
Festival film berfungsi sebagai gerbang ekshibisi pasar internasional. Dengan eksposur
yang tepat, maka dapat berlanjut kepada penjualan film Indonesia di pasar internasional.
Yang penting dicatat adalah investasi asing sama sekali tidak melemahkan posisi produksi
film indonesia, malah memperkuat dan menambah keragaman. Untuk itu, film tidak dapat
melulu dilihat sebagai komoditi ekonomi, atau sebaliknya hanya artefak budaya saja.
Tantangannya
adalah
bagaimana
menciptakan
koridor
yang
tepat
untuk
menumbuhkembangkan kedua konsekuensi yang memiliki karakter berbeda tersebut.
Bidang Distribusi
Tidak adanya persaingan bioskop, membuat profesi ini mati. Dan selama tidak ada
‘jaringan baru’ dalam jenis usaha bioskop, maka jenis usaha distribusi tidak akan
berkembang. Oleh karena itu keputusan pembukaan jenis usaha distribusi sangat
bergantung pada keputusan ekshibisi. Bila ekshibisi telah memiliki kepastian perluasan
pasar, maka mempertimbangkan investasi asing untuk kegiatan distribusi menjadi relevan.
Karena pada dasarnya, kegiatan distribusi adalah kegiatan jual beli konten film, maka
kehadiran jaringan bioskop baru untuk keberadaan jenis usaha ini tidak dapat ditawar.
Persiapan yang perlu dilakukan adalah pengaturan kegiatan distribusi itu sendiri, seperti
pengaturan kerjasama (partnership atau co-ownership) antara distributor asing dengan
distributor lokal, sehingga proses knowledge transfer dapat berjalan (setelah mati untuk
dua dekade). Distributor harus memiliki komposisi film Indonesia dan film impor, sehingga
tidak terjadi ketimpangan distribusi film Indonesia. Distributor asing tentunya memasukkan
konten asing, sebaliknya distributor lokal menjual konten lokal.
Kegiatan distribusi erat hubungannya dengan modal. Untuk itu diharapkan adanya
kerjasama dengan institusi finansial dalam negeri. Selain itu kerjasama dengan berbagai
jenis usaha promosi dan periklanan akan sangat bermanfaat.

MEISKE TAURISIA 211113-DRAFT7

14

INVESTASI INDUSTRI FILM INDONESIA: LOKAL ATAU ASING?

Bidang Ekshibisi
Adalah sumber persoalan distorsi pasar dan mandeknya perkembangan industri film
Indonesia. Perluasan pasar dalam skala masif, dalam rangka mengimbangi ketimpangan
kepemilikan layar, adalah prioritas utama dan tidak dapat ditawar lagi. Dibutuhkan investor
yang memahami industri film dan memiliki kondisi finansial yang stabil, dengan
pertimbangan demikian, maka investasi asing sangatlah relevan.
Persiapan yang penting dilakukan untuk menyambut perluasan pasar adalah pertimbangan
pembuatan beberapa klasifikasi bioskop menurut skala kemampuan daya beli pasar.
Walaupun belum ada penelitian khusus tentang preferensi penonton akan kegiatan
menonton, proyeksi kesesuaian daya beli diperkirakan dapat membantu proses
peningkatan jumlah penonton. Klasifikasi bioskop, seyogyanya berdampak pada
perbedaan perlakuan pajak. Besaran perbedaan perlakuan pajak memerlukan bantuan
perhitungan tenaga ahli, sehingga baik di tatanan mikro maupun makro berdampak positif,
secara finansial atau sosial. Langkah ini patut ditempuh mengingat besarnya investasi
bioskop dalam berbagai lini, baik sisi modal, investasi properti, hingga peralatan berbasis
kemajuan teknologi. Pada akhirnya publik dapat mengakses bioskop tertentu, yang berada
di wilayah tertentu, memiliki harga tiket tertentu yang sesuai dengan daya belinya.
Akhirnya, setelah 26 tahun lamanya tidak ada investor lokal yang tertarik dan berani
mengambil risiko untuk mengembangkan jenis usaha ini, inilah kesempatan industri film
untuk melihat investasi asing dengan jaringan bioskop baru, sebagai alternatif kesempatan
tanpa harus menunggu lagi.

Meiske Taurisia
Produser Film, babibutafilm
Pengajar lepas, saat ini sedang melakukan penelitian film-financing di Jepang.
(Didukung oleh API Fellowship-Nippon Foundation, Dewan Kesenian Jakarta)
[email protected]

MEISKE TAURISIA 211113-DRAFT7

15

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

SENSUALITAS DALAM FILM HOROR DI INDONESIA(Analisis Isi pada Film Tali Pocong Perawan karya Arie Azis)

33 290 2

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103