Perlindungan Hak Hak Atas Petani atas La
MAKALAH PENELITIAN KEPUSTAKAAN (LIBRARY RESEARCH)
Perlindungan Hak-Hak Atas Petani atas Lahan Pertanian Sebagai
Salah Satu Hak Asasi Manusia di Indonesia
Diusulkan oleh:
Yati Ning Asih
8111416272 (Angkatan 2016)
Maria yuniana restunintyas
8111416084 (Angkatan 2016)
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
SEMARANG
2017
Kata Pengantar
1
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan
rahmat dan kasih‐Nya, atas anugerah hidup dan kesehatan yang telah kami
terima, serta petunjuk‐Nya sehingga memberikan kemampuan dan kemudahan
bagi kami dalam penyusunan makalah ini.
Didalam makalah bertajuk library research ini kami selaku penyusun hanya
sebatas ilmu yang bisa kami sajikan dengan topik “Perlindungan Hak-Hak
Atas Petani atas Lahan Pertanian Sebagai Salah Satu Hak Asasi
Manusia di Indonesia”. Dimana didalam makalah library research ini
perlindungan hak hak petani.
Kami menyadari bahwa keterbatasan pengetahuan dan pemahaman
kami tentang perancangan output sistem, menjadikan keterbatasan kami pula
untuk memberikan penjabaran yang lebih dalam tentang masalah ini, kiranya
mohon dimaklumi apabila masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan
dalam penyusunan makalah ini.
Harapan kami, semoga makalah ini membawa manfaat bagi kita,
setidaknya
untuk
sekedar
membuka
cakrawala
berpikir
kita
tentang
bagaimana merancang sebuah output sistem dalam kehidupan kita.
Tidak lupa kami ucapkan terimakasih kepada Bpk. Ridwan Arifin SH,. LLM.
selaku Dosen. Dan untuk teman sekelompok atas kerjasamanya.
2
DAFTAR ISI
HALAMAN KULIT MUKA.................................................................………………….i
KATA PENGANTAR.........................................................................………………….ii
DAFTAR ISI....................................................................................…………………iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
..................................................................................................
………………….1
1.2.Rumusan Masalah
..................................................................................................
………………….1
1.3.Metode Penulisan
..................................................................................................
………………….2
BAB II PEMBAHASAN
2.1. pembahasan 1
..................................................................................................
………………….4
2.2. pembahasan 2
..................................................................................................
………………….6
2.3. pembahasan 3
..................................................................................................
………………....9
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
..................................................................................................
………………...13
DAFTAR PUSTAKA
.....................................................................................................
………………...15
3
4
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tanah, dalam system social, ekonomi, politik dianggap sebagai factor
produksi utama1. Yang membedakan dari masing-masing unsure tersebut
adalah fungsi, mekanisme pengaturan dari setiap intervensi pihak luar. Hal ini
menimbulkan konflik yang terjadi antara pihak-pihak terkait. Dalam buku
Petani dan Konflik Agraria ini menganalisis konflik agraria pedesaan yang
terjadi di Indonesia pada tiga periode, yaitu masa prakemerdekaan (colonial
dan pra colonial), masa pascakemerdekaan (sejak kemerdekaan sampai
peralihan ke Orba), dan masa Orde Baru dengan tekanan konflik-konflik yang
melibatkan petani dan pihak-pihak lain.
Berangkat dari ketidak adilan yang terjadi didepan mata, kaum tani
menggeliat dan bergerak untuk mengumpulkan kekuatan melawan sistem
ketidak adilan yang sudah kokoh dan cara pandang terhadap tanah itu sendiri.
Pemilikan maupun penguasaan tanah merupakan factor penting dalam setiap
masyarakat,
apapun
model
system
social-ekonomi-politik
yang
dianut
didalamnya. Pentingnya penguasaan tanah bagi masyarakat dengan sendirinya
akan mendorong munculnya upaya untuk mempertahankan hak-hak atas
tanah berdiri.
Apa yang disebut ketidak adilan disini adalah terkeruknya
2
kekayaan hutan yang tadinya menjadi penopang kehidupan rakyat tani
disekitar hutan Ngadisono akibat disulapnya hutan tersebut menjadi hutan
pinus.
Serangkaian akibat negatif dari
monokultur
ini
telah
membuat
kehidupan ekonomi rakyat menjadi terpuruk salah satunya akibat menurunnya
persediaan air yang bisa diakses. Usaha pertanian semakin terpuruk karena
kaum tani tidak memiliki luas lahan yang cukup dan juga kesulitan
mendapatkan air yang cukup. Kondisi ini membuat penduduk hengkang ke kota
lain untuk mencari sumber penghidupan. Situasi tersebut menjadi semakin
1 Jayadi Malik,Pembaruan agrarian dan hak asasi petani,Yogyakarta ,Lapera
Pustaka Utama,2009,hlm 36
2 Endang Suhendar,Yohana Budi,Petani dan Konflik Agraria,Bandung,Akatiga,
1998,hlm 84
1
parah ketika pada tahun 1998 terjadi penjarahan hutan pinus. Buruh sadap
getah yang sebagian besar adalah kaum tani yang tidak memiliki tanah adalah
golongan masyarakat yang paling menderita saat itu. Mulai saat itulah kaum
tani menyatukan semangat untuk bergerak dan menuntut hak garap di atas
lahan hutan yang sudah dijarah.
Kaum tani berjuang mulai dari mengorganisir diri sendiri, memperkuat
jaringan dan melakukan negosiasi peoliti termasuk dalam pengawalan
kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah daerah mulai dari PHBM, PSDBHM
dan PSDHLT . Setelah melewati serangkaian perjuangan, akhirnya kaum tani
mendapatkan hak garap di kawasan hutan seluas 75 hektar. Dalam buku ini
juga diceritakan bagaimana kaum tani melakukan penataan produksi pasca
Perolehan Hak Garap. Bagian keempat dalam buku bercerita tentang implikasi
dari keberhasilan dalam perolehan hak garap serta prestasi dan pekerjaan
Rumah yang harus dikerjakan oleh Organisasi Tani. Terakhir, diceritakan
tentang rencana kedepan kaum tani dalam meneruskan perjuangannya untuk
menegakkan reforma agraria Reforma agraria sejati adalah upaya yang
diusung oleh rakyat tani dan kaum terpinggirkan lainnya untuk mendapatkan
hak dalam mengakses sumber-sumber agraria baik itu lahan dan sumbersumber agraria lainnya. Terkait dengan perjuangan kaum tani di Ngadisono,
keberhasilan
yang
sudah
tercapai
sekarang
masih
belum
merupakan
keberhasilan yang sejati. Meskipun kesejahteraan membaik, namun tingkat
kesejahteraan kaum tani yang memperoleh masing-masing sebesar 1200 m2
per KK masih belum memenuhi standar minimal kesejahteraan. Dalam
padangan kaum tani baik itu ditingkat lokal, nasional ataupun internasional
perjuangan belum berhasil apabila reforma agraria belum terlaksana
A. RUMUSAN MASALAH
Beberapa masalah yang akan dibahas dalam makalah ini sebagai
batasan dalam pembahasan bab isi. Beberapa masalah tersebut
antaralain :
1.Bagaimana Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan ?
2. Deklarsi Hak hak apa saja yang dapat diperoleh oleh petani ?
3. Bagaimana Politik Hukum Perlindungan tanah Lahan Pertanian ?
2
B. METODE PENULISAN
Penelitian menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dan jenis
penelitian yang digunakan adalah kepustakaaan / library research yaitu
pengumpulan data atau karya tulis ilmiah yag bertujuan dengan obyek
penelitian atau pengumpulan data yang bersifat kepustakaan. Atau
telaah yang dilaksanakan untuk memecahkan suatu masalah yang pada
dasarnya bertumpu pada penelaah kritis dan mendalam terhadap bahanbahan pustaka yang relevan.
3
BAB II
PEMBAHASAN
1.Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Perlindungan Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan
Ketersediaan lahan menjadi salah satu hal yang perlu mendapatkan
perhatian pemerintah. Hal ini mengingat bahwa pencapaian swasembada
pangan menjadi salah satu prioritas dalam pembangunan nasional, sehingga
untuk mencapainya dibutuhkan pula dukungan ketersediaan lahan. Untuk
mengamankan sejumlah lahan pangan yang ada agar tidak dialihfungsikan,
serta demi tercapainya tujuan pembangunan nasional, maka disusunlah UU
Nomor
41
tahun
2009
tentang
Perlindungan
Lahan Pertanian
Pangan
Berkelanjutan (LP2B). Dengan adanya UU 41/2009, diharapkan dapat dicapai
swasembada pangan pada periode 2010-2014, yaitu berupa pencapaian 10
juta ton beras, serta diikuti pencapaian swasembada komoditas pangan lainnya
seperti jagung, kedelai, ubi jalar dan ubi kayu.
Sejalan dengan amanat yang terdapat dalam UU No. 41/2009, dalam
Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2013 tentang Rencana Kerja Pemerintah
2014 prioritas 5 dijelaskan, bahwa salah satu target pemerintah adalah
perluasan lahan pangan sebesar 2 juta hektar, dengan target waktu sampai
2014. Perluasan lahan ini dimaksudkan untuk mencukupi kebutuhan pangan
nasional. Mengingat dengan jumlah lahan yang ada saat ini (8 juta ha) belum
menghasilkan produksi pangan yang optimal. Sesuai dengan Pasal 1 UU
41/2009, lahan yang dilindungi dalam LP2B merupakan bidang lahan pertanian
yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna
menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan dan kedaulatan
4
pangan nasional. Lahan yang telah ditetapkan untuk dilindungi ini nantinya,
sesuai dengan Pasal 35 PP 1/2011, akan dilindungi dan dilarang untuk
sialihfungsikan.3
Sejak diundangkan pada tahun 2009, kebijakan tentang LP2B tersebut
sedikit banyak telah memberikan sejumlah bukti positif terhadap produksi
pangan nasional.4 Salah satunya terlihat dari adanya peningkatan jumlah
produksi pada sejumlah komoditas pangan. Berdasarkan data BPS, produksi
salah satu komoditas pangan, yaitu padi pada tahun 2013 adalah sebesar 71
juta ton, mengalami peningkatan sebesar 10 persen dari tahun 2009 yang
menghasilkan 64 juta ton. Sementara itu, komoditas pangan lainnya yang
mengalami peningkatan produksi adalah jagung yang mengalami peningkatan
sebesar 5 persen, yaitu dari 17 juta ton pada tahun 2009 menjadi 18 juta ton
pada tahun 2013. Peningkatan tersebut diikuti pula oleh ubi jalar (15 persen)
dan ubi kayu (8 persen).
Sejumlah peningkatan produksi tersebut didukung pula oleh Angka
Ramalan I (ARAM I) tahun 2014. Salah satunya dapat dilihat bahwa ARAM I
untuk produksi komoditas jagung diperkirakan meningkat sebesar 18,55 juta
ton,
mengalami
kenaikan
sebesar
37,02
ribu
ton
atau
0,20
persen
dibandingkan tahun sebelumnya. Peningkatan produksi dalam ARAM I 2014
juga terjadi pada komoditas pangan lainnya seperti kedelai (14,44 persen),
kacang hijau (3 persen) dan ubi kayu (10,38 persen). Sementara itu, ARAM I
untuk padi diperkirakan mengalami penurunan sebesar 1,98 persen, atau
hanya mencapai produksi sebesar 69,87 juta ton. Perkiraan merosotnya
produksi padi tersebut lebih dipengaruhi oleh faktor iklim, seperti banjir yang
cukup besar yang terjadi selama 2014 yang menyebabkan banyak terjadinya
kegagalan panen di sejumlah daerah. Selain itu, penyebab lainnya adalah
karena menurunnya luas panen yang diakibatkan oleh adanya peralihan
penggunaan lahan sawah tersebut untuk tanaman pangan lainnya seperti
kedelai dan jagung. Namun demikian, sisi positif yang dapat kita lihat dari
ARAM
I
produksi
pangan
nasional
adalah
bahwa
secara
keseluruhan,
peningkatan yang terjadi tersebut menunjukkan bahwa peningkatan produksi
Francis Wahodo Ed,Hak-Hak Asasi Petani & Proses
Perumusannya,Yogyakarta,Cindelaras Rakyat Cerdas,2005,hlm 164
4 Gutomo Bayu,Tanah Untuk Penggarap : Pengalaman Serikat Petani Pasundan
Menggarap lahan Pertanian dan Kehutanan,Bogor:Pustaka Latin,2005,hlm 46
3
5
pangan nasional berlangsung cukup baik, karena peningkatan tersebut telah
dapat terjadi secara berkelanjutan.
Walaupun belum secara langsung berdampak terhadap peningkatan produksi
pangan, setidaknya kebijakan LP2B ini dapat mengamankan sejumlah lahan
pertanian yang ada dari pengalih-fungsian lahan, sehingga efeknya dapat
dirasakan
untuk
jangka
panjang.
Namun
demikian,
tantangan
dalam
meningkatkan produksi pangan ini tidak hanya terkait dengan permasalahan
lahan seperti pengalih-fungsian lahan dan degradasi lahan, hal lainnya seperti
perubahan iklim juga perlu diwaspadai demi tercapainya ketahanan pangan
nasional.
2.Hak pemenuhan dan perlindungan hak asasi petani
Dalam Mukadimah mengakui bahwa sesuai dengan Deklarasi Universal
tentang hak-hak asasi manusia,petani berhak menikmati kebebasan sipil-politik
dan kebebasan dari ketakutan dan kekurangan yang hanya bisa dicapai jika
terciptanya keadaan dimana setiap orang bisa menikmati hak-hak sipil politik,
ekonomi, sosial, maupun budaya. Mengakui pula bahwa sesuai dengan
Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, Negara wajib untuk
menghormati dan menjamin semua hak-hak sipil dan politik petani tanpa
pembedaan apapun : bangsa, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama,
pandangan politik atau pandangan lainnya, asal usul, etnik atau sosial,
kekayaan, kelahiran atau status lainnya. Mengakui pula bahwa sesuai dengan
Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, sosial dan budaya, negara
wajib mengakui hak-hak petani untuk mencapai taraf penghidupan yang layak
bagi diri dan keluarganya dan hak untuk bebas dari kelaparan melalui tindakan
pembaruan agraria.
6
Menimbang pula bahwa kondisi pertanian yang berkembang dewasa ini
telah mengancam keselamatan hidup petani, merendahkan kemampuan
produktifitas petani, dan semakin menurunkan kesejahteraan hidup petani.
Masalah kepemilikan lahan terbatas, distribusi kepemilikan lahan tidak merata,
dan tekanan penduduk yang berat atas lahan menimbulkan kerjasama antara
pemilik lahan luas dengan petani berlahan sempit atau petani tidak berlahan
dalam suatu kelembagaan lahan (Hayami dan Kikuchi, 1981; Fujimoto, 1996;
Sangwan, 2000; Sharma, 2000; Hartono et al., 2001). Dalam hal ini Hayami
dan Kikuchi (1981), Kasryno (1984), Gunawan (Taryoto, 1995) menjelaskan
bahwa pada kelembagaan lahan terdapat aturan-aturan kerjasama yang
disepakati dan dipatuhi oleh suatu masyarakat. Berdasar kelembagaan lahan
tersebut penguasaan lahan dalam usahatani dapat dibedakan atas pemilik
penggarap,penyakap, penyewa, dan penerima gadai.
Menimbang pula bahwa kondisi pertanian tersebut diperburuk oleh
penyelenggara pemerintah yang menyingkirkan petani dalam pembuatanpembuatan keputusan, oleh aparat bersenjata negara yang memaksa petani
dengan kekerasan dan oleh badan-badan usaha raksasa yang menghisap
kekayaan petani.
Menimbang pula bahwa globalisasi kapitalisme telah bekerja melalui
perjanjian-perjanjian dan keputusan-keputusan internasional yang menjerat
petani.
Menyadari bahwa petani telah dan akan terus berusaha mengatasi ancaman
keselamatan hidup, kerusakan layanan alam, pelemahan produktifitas, dan
penurunan kemakmuran baik dengan daya upayanya sendiri maupun bersamasama dengan para pendukungnya. Dengan ini menetapkan rumusan hak asasi
petani yang perlu mendapat pemenuhan dan perlindungan.
Hak Atas Sumber-Sumber Agraria
Petani baik laki-laki maupun perempuan dan keluarganya berhak
memiliki tanah secara layak adil untuk tempat tinggal maupun
untuk tanah pertanian baik secara individu maupun secara kolektif.
Petani baik laki-laki maupun perempuan dan keluarganya berhak
untuk menggarap atas tanah-tanah milik atau yang dibebani hak
lainnya.
7
Hak-hak
dari
petani baik
laki-laki
maupun
perempuan dan
keluarganya atas kepemilikan atau akses kepada sumber-sumber
agraria
dan
kemampuan
pribadi
dalam
hukum
dan
pelaksanaannya tidak membedakan perbedaan jenis kelamin,
agama, golongan, suku, dan budayanya.
Hak-hak
dari
petani baik
laki-laki
maupun
perempuan dan
keluarganya atas kepemilikan atau akses kepada sumber-sumber
agraria
dan
kemampuan
pribadi
dalam
hukum
dan
pelaksanaannya tanpa membedakan jenis, umur atau senioritas
berdasarkaan hukum dan praktek adat dan kebiasaan yang berlaku
tanpa melanggar rasa keadilan dan kebenaran.
Petani baik laki-laki maupun perempuan dan keluarganya berhak
untuk menggarap dan memiliki tanah negara (nonproduktif) yang
sudah menjadi sumber pokok kehidupan ekonomi dan kehidupan
masyarakat.
Petani baik laki-laki maupun perempuan dan keluarganya berhak
mendapatkan air bersih.
Petani baik laki-laki maupun perempuan dan keluarganya berhak
mendapatkan
dan
menggunakan
sumber-sumber
air
untuk
kepentingan usaha pertanian.
Petani baik laki-laki maupun perempuan dan keluarganya berhak
mengelola sumber-sumber air yang berada di wilayah kekuasaan
petani.
Petani baik laki-laki maupun perempuan dan keluarganya berhak
untuk mengelola, memelihara, dan menikmati hasil hutan.
Petani baik laki-laki maupun perempuan dan keluarganya berhak
untuk menolak segala bentuk konversi tanah pertanian untuk
kepentingan industrialisasi.
Petani baik laki-laki maupun perempuan dan keluarganya berhak
atas jaminan dan perlindungan hukum atas lahan pertaniannya
dan tempat tinggalnya serta sumber-sumber agraria lainnya dari
perampokan dan klaim masyarakat lain atau institusi lain serta dari
kontaminasi dan pengotoran lingkungan oleh aktifitas lain.
8
3. Perlindungan Hak petani
Salah satu bentuk perlindungan adalah terjaminnya hak atas pangan
begi segenap rakyat yang merupakan hak asasi manusia yang sangat
fundamental sehingga menjadi tanggung jawab negara untuk memenuhinya.
Secara formal wewenangan pemerintah untuk mengatur bidang pertanahan
tumbuh dan mengakar dari pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang menegaskan
9
bahwa “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai
oleh negara untuk dipergunakan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat” .
Selanjutnya diturunkan pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang
peraturan dasar pokok-pokok agraria. Ketentuan Pasal 2 UUPA yang merupakan
aturan pelaksanaan pasal 33 ayat 3 UUD 1945 memaknai pengertian hak
menguasai sumber daya alam oleh negara sebagai berikut :
1. Atas dasar ketentuan pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan hal lain yang dimaksud
dalam pasal 1 hak negara untuk menguasai dalam pasal ini memberikan
wewenang untuk
Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan,
dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut
Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi, air, dan ruang angkasa
menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan
ruang angkasa
2. Wewenang yang bersumber pada hak menguasai negara dari negara
tersebut pada ayat 2 pasal 33 digunakan untuk mencapai sebesar-besar
kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan, kemerdekaan
dalam masyarakat dan negara hukum Indonesiaa yang merdeka, berdaulan
adil dan makmur.
3. Hak menguasai dari negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat
dikuasakan kepada daerah-daerah, swasta, dan masyarakat-masyarakat
hukum adat sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Berdasar pasal 2 UUTA dan penjelasannya tersebut, menurut konsep
UUTA “Dikuasai” oleh negara bukan berarti “dimiliki” melainkan hak yang
memberi wewenang kepada negara untuk menguasai seperti hal tersebut. Isi
wewenang negara yang bersumber pada hak menguasai SDA oleh negara
tersebut semata-mata bersifat publik yaitu, wewenang untuk mengatur
(wewenang regulasi) dan bukan menguasai tanah secara fisik dan
menggunakan tanahnya sebagai mana wewenang pemegang hak atas tanah
yang bersifat pribadi. Hal ini sejalan dengan ketentuan dalam pasal 28A dan
pasal 28C UUD 1945. Sejaalan dengan itu, upaya pembangun ketahanan dan
10
kedaulatan pangan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat adalah hal yang
penting untuk direalisasikan. Dalam rangka mewujudkan kedaulatan dan
ketahanan pangan perlu diselenggarakan pembangunan pertanian
berkelanjutan. Untuk mengendalikan konversi lahan pertanian melalui UU RI
No. 41 Tahun 2009 tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan
diharapkan dapat mendorong ketersediaan lahan pertanian untuk menjaga
kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan. UU No. 41 Tahun 2009
bertujuan untuk :
1. Melindungi kawasan dan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan
2. Menjamin ketersediaan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan
3. Mewujudkan kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pengan
4. Melindungi kepemilikan lahan pertanian pangan milik petani
5. Meningkatkan kemakmuran serta kesejahteraan petani dan masyarakat
6. Meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan petani
7. Meningkatkan penyediaan lapangan kerja bagi kehidupan yang layak
8. Mempertahankan keseimbangan ekologis
9. Mewujudkan refitalisasi pertanian
Pemerintah dan pemerintah daerah melaksanakan pembangunan untuk
kesejahteraan masyarakat melalui perintah Undang-Undang sehingga terdapat
sinergis yang terpadu, bertahap dan berkelanjutan tergantung visi pemerintah
daerah dalam rangka
menjamin
dan
mewujudkan pembangunan yang
berkelanjutan khususnya dalam rangka peningkatan dan ketersediaan pangan,
maka kebijakan kemandirian pangan merupakan salah satu pilar untuk
menjaga kedaulatan bangsa. UU No. 41 Tahun 2009 tentang perlindungan
lahan pertanian pangan berkelanjutan serta peraturan pemerintah No. 1 Tahun
2011 tentang penetapan dan alih fungsi lahan pertanian, mengatur tentang
perlindungan lahan dan persyaratan serta mekanisme tentang alih fungsi lahan
pertanian pangan berkelanjutan.
Perkembangan Mode Produksi dan Konflik Agraria
Peran actor-aktor yang berkepentingan tehadap sumber daya tanah
menjadi penyebab munculnya konflik agraria. Pemahaman mengenai cara
system dan proses produksi kemudian menganalisis deskriptif dari data berupa
kasus-kasus yang kemungkinan tibul dari perkembangan mode produksi. Tanah
11
tidak hanya dipandang sebagai factor produksi tetapi juga merupakan asset
penting bagi aktivitas manusia.Pada masa feodalisme atau prakapitalis, raja
menggarap tanah hanyalah symbol otoritas. System ini pada prinsipnya
mengutamakan hubungan yang erat antara raja dan tuan-tuan tanah dalam
mengurus Negara. Di Indonesia system feodalisme muncul pada zaman Hindu.
Di Jawa penguasaan tanah tidak begitu menentukan sebagai dasar hubungan
antara rakyat dan raja. Kekuasaan para bangsawan lebih berdasarkan pada
jumlah cacah yang sesuai dengan prinsip bersatunya kawula dan gusti
sehingga dalam struktur masyarakatnya terlihat pengelompokan menurut
kelas tertentu seperti priyayi dan rakyat biasa.
Sumber-sumber ekonomi secara politis dikuasai feudal dan petani hanya
sebagai penggarap dengan berbagai kewajiban kepada raja yang bersfat
mengikat. Akibatnya sering terjadi konflik antara raja (bangsawan) dan rakyat
yang menggarap tanah hasil pemberian raja. Mode produksi feudal ini sangat
mempengaruhi kriteria konflik-konflik yang muncul seperti bentuk, level,
intensitas maupun ukuran konflik. Bentuk konflik yang muncul bersifat
horizontal dan vertical, yakni implikasi dari adanya penguasa tunggal atas
tanah. Bagi petani yang seluruh hidupnya tergantung dari hasil tanah garapan,
tanah dianggap sebagai pusaka (heirloom land) dan tidak sekedar symbol
apalagi mata dagangan (commodity).Perubahan fungsi tanah dari alat produksi
untuk konsumsi si penggarap menjadi alat alat untuk mencapai surplus
maksimal menyebabkan tingkat eksploitasi tinggi pada factor produksi yakni
tanah dan tenaga kerja (penggarap). System ekonomi semacam ini disebut
sebagai kapitalisme. Cirri khas kapitalisme adalah penguasaan modal oleh
kapitalis, sementara tanah dan tenaga kerja sebagai factor produksi terpisah
satu sama lain. Di Indonesia munculnya kapitalisme sebagai bentuk dari
kolonialisme asing.Pada masa colonial, perkembangan mode produksi kapitalis
mencapai puncaknya pada masa liberal atau penanaman modal. Kebijakan
pemerintah colonial dengan mengubah tanah-tanah komunal menjadi milik
persorangan memposisikan tanah dari factor produksi menjadi sumber
penumpukan capital dan investasi para pemodal swasta. Pengutuban antara
rakyat sebagai buruh di satu pihak dan pemilik modal swasta asing dan Negara
di lain pihak menyebabkan munculnya konflik-konflik agraria yang bersifat
structural.Perubahan politik yang terjadi dengan berakhirnya masa colonial di
12
Indonesia, ikut mengubah mode produksi agraria dari kapitalis colonial menjadi
populis. Mode produksi populis ini menempatkan tanah, tenaga kerja,
pengambilan keputusan mengenai proses produksi, akumulasi dan investasi
capital di tangan keluarga petani. Dalam system ini, pengakuan hak individu
atas tanah-tanah sangat jelas tanpa mengabaikan fungsi tanah secara social.
Kekuatan politik masyarakat yang dikutsertakan dalam program-program
agraria yang bersifat populis tampak dari lahirnya UUPA 1960 dan pelaksanaan
land reform. Konflik-konflik tanah yang sifatnya internal dan bentuknya
horizontal muncul mewarnai perkembangan mode produksi populis yakni
antara buruh tani dan petani-petani kecil melawan tuan-tuan tanah, petanipetani kaya dan penguasa-penguasa perkebunan.
Kondisi Petani Akibat Merasuknya Kapitalisme Agraria di Pedesaan
Di Indonesia, perkembangan komersialisme pertanian melalui program
revolusi hijau merupakan salah satu fakta yang jelas sebagai indicator masa
saat petani mulai mengenal inovasi teknologi yang mampu menghasilkan
surplus produksi. Dampak pengaruh kapitalisme kepada masyarakat pedesaan
yang sangat jelas terlihat dari proses hilangnya kemandirian petani dalam
mengusahakan
system
produksinya.
Tujuan
dan
orientasinya
adalah
merasionalkan semua kegiatan petani agar mampu menghasilkan keuntungan
dengan berbagai inovasi baru di bidang pertanian.Situasi ini semakin
memperbesar stratifikasi petani dan mendesak petani ke posisi yang terpecahpecah tanpa memiliki perlindungan dari lembaga-lembaga tradisional mereka.
Adanya perubahan system pembagian pendapatan di kalangan petani,
diantaranya : dari System bawon : system upah secara natura dari pekerjaan
menuai padi yang terbuka bagi seluruh penduduk desa dan menurut tradisi
jumlah orang yang ikut memanen tidak dibatasi. Dalam system ini baik pemilik
lahan maupun buruh merasa aman dan diuntungkan. Berubah menjadi System
tebasan : petani menjual padi yang masih ditanam kepada penebas beberapa
hari sebelum panen. Karena dalam perananya sebagai penebas bebas dari
kewajiban tradisional, tengkulak mempekerjakan sedikit orang untuk memanen
dengan upah kontan dan dengan peralatan sabit sehingga biaya dapat
dikurangi. Dengan masuknya teknologi baru menyebabkan petani komersil
cenderung mengabaikan kewajiban-kewajiban tradisional tentang pemerataan
kerja dan pendapatan bagi penduduk miskin di desa.Pola-pola hubungan
13
patron-klien
ditemukan
hampir
di
semua
masyarakat
petani.
Namun
meningkatnya kemiskinan di desa telah memaksa petani untuk mencari
perlindungankepada warga yang bukan kerabat, yang menyebabkan timbulnya
kelas patron. Kemunculan kelas ini menempatkan petani pada posisi yang
serba tidak menguntungkan.
Ancaman terhadap subsistensi petani tidak hanya disebabkan semakin
merasuknya kapitalisme ke pedesaan, tetapi juga disebabkan tataran yang
lebih besar yaitu berkembangnya kekuasaan Negara melalui kebijakankebijakannya yang mengakibatkan akses petani terhadap sumber daya
semakin
terbatas.
Kebijakan-kebijakan
tersebut
mendorong
terjadinya
kapitalisme agraria. Dalam kapitalisme agraria terjadi suatu perubahan
pemilikan factor produksi dari petani kepada kelas pemilik moda
Bab III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Pada pembahasan Politik Hukum Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan Sebagai Instrumen Ketahanan
penelitian dan analisa dari bab-bab
Pangan, maka dari hasil
sebelumnya dapat penulis simpulkan
sebagai berikut,
1.Perlindungan lahan pertanian pangan ditujukan untuk keberlangsungan
tanaman pangan yaitu padi, dimana
merupakan tanaman penghasil beras.
Beras merupakanmakanan baku rakyat Indonesia. Ketergantungan tanaman
pangan
terhadap
ketersediaan
lahan
merupakan
dasar
dari
upaya
perlindungan lahan pertanian. UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) berlaku sebagai payung hukum
dari usaha mempertahankan lahan untuk pertanian
pangan terhadap
kepentingan pembangunan. Tetapi jika di telaah lebih lanjut keberadaan
Undang-undang tersebut hanya terpaku pada mempertahankan keberadaan
lahan
pertanian
saja
tidak
mempertahankan
berkelanjutan. Ancaman degradasi lahan
keberadaan
lahan
secara
sebenarnya ancaman yang lebih
seriuas dimana penurunan kwalitas keseburan tanah karena penggunaan
pupuk anorganik atau pupuk buatan. Jika dibiarkan terus menerus tanpa
14
pengawasan dari pemerintah akan mengakibatkan terjadinya kerawanan
pangan karena punahnya kesuburan tanah.
2.Arah dan tujuan politik hukum Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan untuk upaya pencegahan konversi lahan sawah sulit dilakukan,
upaya yang dapat dilakukan hanya bersifat pengendalian. Masyarakat yang
diperlukan untuk itu adalah perangkat peraturan yang tegas dan harus
didukung oleh keakuratan pemetaan dan pendataan penggunaan lahan yang
dilengkapi dengan teknologi yang memadai. Upaya yang realistis untuk
dilakukan adalah kebijakan mencetak lahan baru dan meningkatkan kualitas
irigasi yang ada dengan dana utama dari pemerintah dan melibatkan patisipasi
masyarakat.
B.Saran.
Berdasarkan kesimpulan diatas permasalahan yang ada diatas maka, penulis
memberikan saran- saran sebagai berikut
1.Pembangunan pertanian dimana memasuki era globalisasi mendatang
kebijakan harus mempunyai keberpihakan pada peningkatan kesejahteran
jaminan pangan dan pelaku usaha sektor pertanian. Dengan pembangunan
masyarakat petani perlu diarahkan kepada penciptaansektor pertanian sebagai
lapangan
usaha
yang
menarik,
sehinga
konversi
tanah
pertanian
kenonpertanian dapat dicegah secara alamiah.
2.Kebijakan
pengendalian
konversi
lahan
pertanian
pangan
ke
depan
seyogjanya tidak hanya mengandalkan pendekatan yuridis tetapi didukung
pula dengan pendekatan ekonomi dan sosial. Setiap kebijakan konersi lahan
pertanian pangan perlu diarahkan untuk mencapai tiga sasaran yaitu, menekan
intensitas faktor ekonomi dan sosial yang dapat merangsang konversi lahan
sawah, mengendalikan luas lokasi dan jenis lahan yang dikonversi dalam
rangka menekan potensi dampak negatif yang ditimbulkan, menetralisir
dampak negatif konversi lahan sawah melalui kegiatan investasi yang
melibatkan dana masyarakat terutama kalangan swata pelaku konversi lahan
15
DAFTAR PUSTAKA
Sharma, H.R., 2000. “Tenancy Relationin Rural India: A Temporal and CrossSectional Analysis.” Indian Journal of Agricultural Economics. Indian Society of
Agricultural Economics, Mumbai. 55 (3): 295-307.
Suwarto. 2008. Produktivitas Lahan dan Pendapatan Usahatani Tanaman
Pangan menurut Kelembagaan Lahan dan Tenaga Kerja di Kabupaten Gunung
Kidul. SOCA, Jurnal Sosial Ekonomi dan Agribisnis, Fakultas Pertanian
Universitas Udayana. 3 (8): 243-249.
Taryoto, A.H., 1995. “Analisis Kelembagaan dalam Penelitian Sosial Ekonomi
Pertanian, Suatu Pengantar.” Prosiding Pengembangan Hasil Penelitian.
Kelembagaan dan Prospek pengembangan Beberapa Komiditas Pertanian.
16
Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian Departemen Pertanian: 1-6.
Wahodo Ed, Francis ,2005,Hak-Hak Asasi Petani & Proses
Perumusannya,Yogyakarta,Cindelaras Rakyat Cerdas
Bayu, Gutomo, ,2005, Tanah Untuk Penggarap : Pengalaman Serikat Petani
Pasundan Menggarap lahan Pertanian dan Kehutanan,Bogor:Pustaka Latin
Malik, Jayadi 2009, Pembaruan agrarian dan hak asasi petani,Yogyakarta
,Lapera Pustaka Utama,2009
Suhendar, Endang 1998,Yohana Budi,Petani dan Konflik
Agraria,Bandung,Akatiga, 1998
Suhadi, 2011, Tinjauan Yuridis Normatif Berbagai Peraturan Tentang Alih Fungsi
Tanah Pertanian di Indonesia Vol 6, No 1
17
Perlindungan Hak-Hak Atas Petani atas Lahan Pertanian Sebagai
Salah Satu Hak Asasi Manusia di Indonesia
Diusulkan oleh:
Yati Ning Asih
8111416272 (Angkatan 2016)
Maria yuniana restunintyas
8111416084 (Angkatan 2016)
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
SEMARANG
2017
Kata Pengantar
1
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan
rahmat dan kasih‐Nya, atas anugerah hidup dan kesehatan yang telah kami
terima, serta petunjuk‐Nya sehingga memberikan kemampuan dan kemudahan
bagi kami dalam penyusunan makalah ini.
Didalam makalah bertajuk library research ini kami selaku penyusun hanya
sebatas ilmu yang bisa kami sajikan dengan topik “Perlindungan Hak-Hak
Atas Petani atas Lahan Pertanian Sebagai Salah Satu Hak Asasi
Manusia di Indonesia”. Dimana didalam makalah library research ini
perlindungan hak hak petani.
Kami menyadari bahwa keterbatasan pengetahuan dan pemahaman
kami tentang perancangan output sistem, menjadikan keterbatasan kami pula
untuk memberikan penjabaran yang lebih dalam tentang masalah ini, kiranya
mohon dimaklumi apabila masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan
dalam penyusunan makalah ini.
Harapan kami, semoga makalah ini membawa manfaat bagi kita,
setidaknya
untuk
sekedar
membuka
cakrawala
berpikir
kita
tentang
bagaimana merancang sebuah output sistem dalam kehidupan kita.
Tidak lupa kami ucapkan terimakasih kepada Bpk. Ridwan Arifin SH,. LLM.
selaku Dosen. Dan untuk teman sekelompok atas kerjasamanya.
2
DAFTAR ISI
HALAMAN KULIT MUKA.................................................................………………….i
KATA PENGANTAR.........................................................................………………….ii
DAFTAR ISI....................................................................................…………………iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
..................................................................................................
………………….1
1.2.Rumusan Masalah
..................................................................................................
………………….1
1.3.Metode Penulisan
..................................................................................................
………………….2
BAB II PEMBAHASAN
2.1. pembahasan 1
..................................................................................................
………………….4
2.2. pembahasan 2
..................................................................................................
………………….6
2.3. pembahasan 3
..................................................................................................
………………....9
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
..................................................................................................
………………...13
DAFTAR PUSTAKA
.....................................................................................................
………………...15
3
4
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tanah, dalam system social, ekonomi, politik dianggap sebagai factor
produksi utama1. Yang membedakan dari masing-masing unsure tersebut
adalah fungsi, mekanisme pengaturan dari setiap intervensi pihak luar. Hal ini
menimbulkan konflik yang terjadi antara pihak-pihak terkait. Dalam buku
Petani dan Konflik Agraria ini menganalisis konflik agraria pedesaan yang
terjadi di Indonesia pada tiga periode, yaitu masa prakemerdekaan (colonial
dan pra colonial), masa pascakemerdekaan (sejak kemerdekaan sampai
peralihan ke Orba), dan masa Orde Baru dengan tekanan konflik-konflik yang
melibatkan petani dan pihak-pihak lain.
Berangkat dari ketidak adilan yang terjadi didepan mata, kaum tani
menggeliat dan bergerak untuk mengumpulkan kekuatan melawan sistem
ketidak adilan yang sudah kokoh dan cara pandang terhadap tanah itu sendiri.
Pemilikan maupun penguasaan tanah merupakan factor penting dalam setiap
masyarakat,
apapun
model
system
social-ekonomi-politik
yang
dianut
didalamnya. Pentingnya penguasaan tanah bagi masyarakat dengan sendirinya
akan mendorong munculnya upaya untuk mempertahankan hak-hak atas
tanah berdiri.
Apa yang disebut ketidak adilan disini adalah terkeruknya
2
kekayaan hutan yang tadinya menjadi penopang kehidupan rakyat tani
disekitar hutan Ngadisono akibat disulapnya hutan tersebut menjadi hutan
pinus.
Serangkaian akibat negatif dari
monokultur
ini
telah
membuat
kehidupan ekonomi rakyat menjadi terpuruk salah satunya akibat menurunnya
persediaan air yang bisa diakses. Usaha pertanian semakin terpuruk karena
kaum tani tidak memiliki luas lahan yang cukup dan juga kesulitan
mendapatkan air yang cukup. Kondisi ini membuat penduduk hengkang ke kota
lain untuk mencari sumber penghidupan. Situasi tersebut menjadi semakin
1 Jayadi Malik,Pembaruan agrarian dan hak asasi petani,Yogyakarta ,Lapera
Pustaka Utama,2009,hlm 36
2 Endang Suhendar,Yohana Budi,Petani dan Konflik Agraria,Bandung,Akatiga,
1998,hlm 84
1
parah ketika pada tahun 1998 terjadi penjarahan hutan pinus. Buruh sadap
getah yang sebagian besar adalah kaum tani yang tidak memiliki tanah adalah
golongan masyarakat yang paling menderita saat itu. Mulai saat itulah kaum
tani menyatukan semangat untuk bergerak dan menuntut hak garap di atas
lahan hutan yang sudah dijarah.
Kaum tani berjuang mulai dari mengorganisir diri sendiri, memperkuat
jaringan dan melakukan negosiasi peoliti termasuk dalam pengawalan
kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah daerah mulai dari PHBM, PSDBHM
dan PSDHLT . Setelah melewati serangkaian perjuangan, akhirnya kaum tani
mendapatkan hak garap di kawasan hutan seluas 75 hektar. Dalam buku ini
juga diceritakan bagaimana kaum tani melakukan penataan produksi pasca
Perolehan Hak Garap. Bagian keempat dalam buku bercerita tentang implikasi
dari keberhasilan dalam perolehan hak garap serta prestasi dan pekerjaan
Rumah yang harus dikerjakan oleh Organisasi Tani. Terakhir, diceritakan
tentang rencana kedepan kaum tani dalam meneruskan perjuangannya untuk
menegakkan reforma agraria Reforma agraria sejati adalah upaya yang
diusung oleh rakyat tani dan kaum terpinggirkan lainnya untuk mendapatkan
hak dalam mengakses sumber-sumber agraria baik itu lahan dan sumbersumber agraria lainnya. Terkait dengan perjuangan kaum tani di Ngadisono,
keberhasilan
yang
sudah
tercapai
sekarang
masih
belum
merupakan
keberhasilan yang sejati. Meskipun kesejahteraan membaik, namun tingkat
kesejahteraan kaum tani yang memperoleh masing-masing sebesar 1200 m2
per KK masih belum memenuhi standar minimal kesejahteraan. Dalam
padangan kaum tani baik itu ditingkat lokal, nasional ataupun internasional
perjuangan belum berhasil apabila reforma agraria belum terlaksana
A. RUMUSAN MASALAH
Beberapa masalah yang akan dibahas dalam makalah ini sebagai
batasan dalam pembahasan bab isi. Beberapa masalah tersebut
antaralain :
1.Bagaimana Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan ?
2. Deklarsi Hak hak apa saja yang dapat diperoleh oleh petani ?
3. Bagaimana Politik Hukum Perlindungan tanah Lahan Pertanian ?
2
B. METODE PENULISAN
Penelitian menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dan jenis
penelitian yang digunakan adalah kepustakaaan / library research yaitu
pengumpulan data atau karya tulis ilmiah yag bertujuan dengan obyek
penelitian atau pengumpulan data yang bersifat kepustakaan. Atau
telaah yang dilaksanakan untuk memecahkan suatu masalah yang pada
dasarnya bertumpu pada penelaah kritis dan mendalam terhadap bahanbahan pustaka yang relevan.
3
BAB II
PEMBAHASAN
1.Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Perlindungan Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan
Ketersediaan lahan menjadi salah satu hal yang perlu mendapatkan
perhatian pemerintah. Hal ini mengingat bahwa pencapaian swasembada
pangan menjadi salah satu prioritas dalam pembangunan nasional, sehingga
untuk mencapainya dibutuhkan pula dukungan ketersediaan lahan. Untuk
mengamankan sejumlah lahan pangan yang ada agar tidak dialihfungsikan,
serta demi tercapainya tujuan pembangunan nasional, maka disusunlah UU
Nomor
41
tahun
2009
tentang
Perlindungan
Lahan Pertanian
Pangan
Berkelanjutan (LP2B). Dengan adanya UU 41/2009, diharapkan dapat dicapai
swasembada pangan pada periode 2010-2014, yaitu berupa pencapaian 10
juta ton beras, serta diikuti pencapaian swasembada komoditas pangan lainnya
seperti jagung, kedelai, ubi jalar dan ubi kayu.
Sejalan dengan amanat yang terdapat dalam UU No. 41/2009, dalam
Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2013 tentang Rencana Kerja Pemerintah
2014 prioritas 5 dijelaskan, bahwa salah satu target pemerintah adalah
perluasan lahan pangan sebesar 2 juta hektar, dengan target waktu sampai
2014. Perluasan lahan ini dimaksudkan untuk mencukupi kebutuhan pangan
nasional. Mengingat dengan jumlah lahan yang ada saat ini (8 juta ha) belum
menghasilkan produksi pangan yang optimal. Sesuai dengan Pasal 1 UU
41/2009, lahan yang dilindungi dalam LP2B merupakan bidang lahan pertanian
yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna
menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan dan kedaulatan
4
pangan nasional. Lahan yang telah ditetapkan untuk dilindungi ini nantinya,
sesuai dengan Pasal 35 PP 1/2011, akan dilindungi dan dilarang untuk
sialihfungsikan.3
Sejak diundangkan pada tahun 2009, kebijakan tentang LP2B tersebut
sedikit banyak telah memberikan sejumlah bukti positif terhadap produksi
pangan nasional.4 Salah satunya terlihat dari adanya peningkatan jumlah
produksi pada sejumlah komoditas pangan. Berdasarkan data BPS, produksi
salah satu komoditas pangan, yaitu padi pada tahun 2013 adalah sebesar 71
juta ton, mengalami peningkatan sebesar 10 persen dari tahun 2009 yang
menghasilkan 64 juta ton. Sementara itu, komoditas pangan lainnya yang
mengalami peningkatan produksi adalah jagung yang mengalami peningkatan
sebesar 5 persen, yaitu dari 17 juta ton pada tahun 2009 menjadi 18 juta ton
pada tahun 2013. Peningkatan tersebut diikuti pula oleh ubi jalar (15 persen)
dan ubi kayu (8 persen).
Sejumlah peningkatan produksi tersebut didukung pula oleh Angka
Ramalan I (ARAM I) tahun 2014. Salah satunya dapat dilihat bahwa ARAM I
untuk produksi komoditas jagung diperkirakan meningkat sebesar 18,55 juta
ton,
mengalami
kenaikan
sebesar
37,02
ribu
ton
atau
0,20
persen
dibandingkan tahun sebelumnya. Peningkatan produksi dalam ARAM I 2014
juga terjadi pada komoditas pangan lainnya seperti kedelai (14,44 persen),
kacang hijau (3 persen) dan ubi kayu (10,38 persen). Sementara itu, ARAM I
untuk padi diperkirakan mengalami penurunan sebesar 1,98 persen, atau
hanya mencapai produksi sebesar 69,87 juta ton. Perkiraan merosotnya
produksi padi tersebut lebih dipengaruhi oleh faktor iklim, seperti banjir yang
cukup besar yang terjadi selama 2014 yang menyebabkan banyak terjadinya
kegagalan panen di sejumlah daerah. Selain itu, penyebab lainnya adalah
karena menurunnya luas panen yang diakibatkan oleh adanya peralihan
penggunaan lahan sawah tersebut untuk tanaman pangan lainnya seperti
kedelai dan jagung. Namun demikian, sisi positif yang dapat kita lihat dari
ARAM
I
produksi
pangan
nasional
adalah
bahwa
secara
keseluruhan,
peningkatan yang terjadi tersebut menunjukkan bahwa peningkatan produksi
Francis Wahodo Ed,Hak-Hak Asasi Petani & Proses
Perumusannya,Yogyakarta,Cindelaras Rakyat Cerdas,2005,hlm 164
4 Gutomo Bayu,Tanah Untuk Penggarap : Pengalaman Serikat Petani Pasundan
Menggarap lahan Pertanian dan Kehutanan,Bogor:Pustaka Latin,2005,hlm 46
3
5
pangan nasional berlangsung cukup baik, karena peningkatan tersebut telah
dapat terjadi secara berkelanjutan.
Walaupun belum secara langsung berdampak terhadap peningkatan produksi
pangan, setidaknya kebijakan LP2B ini dapat mengamankan sejumlah lahan
pertanian yang ada dari pengalih-fungsian lahan, sehingga efeknya dapat
dirasakan
untuk
jangka
panjang.
Namun
demikian,
tantangan
dalam
meningkatkan produksi pangan ini tidak hanya terkait dengan permasalahan
lahan seperti pengalih-fungsian lahan dan degradasi lahan, hal lainnya seperti
perubahan iklim juga perlu diwaspadai demi tercapainya ketahanan pangan
nasional.
2.Hak pemenuhan dan perlindungan hak asasi petani
Dalam Mukadimah mengakui bahwa sesuai dengan Deklarasi Universal
tentang hak-hak asasi manusia,petani berhak menikmati kebebasan sipil-politik
dan kebebasan dari ketakutan dan kekurangan yang hanya bisa dicapai jika
terciptanya keadaan dimana setiap orang bisa menikmati hak-hak sipil politik,
ekonomi, sosial, maupun budaya. Mengakui pula bahwa sesuai dengan
Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, Negara wajib untuk
menghormati dan menjamin semua hak-hak sipil dan politik petani tanpa
pembedaan apapun : bangsa, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama,
pandangan politik atau pandangan lainnya, asal usul, etnik atau sosial,
kekayaan, kelahiran atau status lainnya. Mengakui pula bahwa sesuai dengan
Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, sosial dan budaya, negara
wajib mengakui hak-hak petani untuk mencapai taraf penghidupan yang layak
bagi diri dan keluarganya dan hak untuk bebas dari kelaparan melalui tindakan
pembaruan agraria.
6
Menimbang pula bahwa kondisi pertanian yang berkembang dewasa ini
telah mengancam keselamatan hidup petani, merendahkan kemampuan
produktifitas petani, dan semakin menurunkan kesejahteraan hidup petani.
Masalah kepemilikan lahan terbatas, distribusi kepemilikan lahan tidak merata,
dan tekanan penduduk yang berat atas lahan menimbulkan kerjasama antara
pemilik lahan luas dengan petani berlahan sempit atau petani tidak berlahan
dalam suatu kelembagaan lahan (Hayami dan Kikuchi, 1981; Fujimoto, 1996;
Sangwan, 2000; Sharma, 2000; Hartono et al., 2001). Dalam hal ini Hayami
dan Kikuchi (1981), Kasryno (1984), Gunawan (Taryoto, 1995) menjelaskan
bahwa pada kelembagaan lahan terdapat aturan-aturan kerjasama yang
disepakati dan dipatuhi oleh suatu masyarakat. Berdasar kelembagaan lahan
tersebut penguasaan lahan dalam usahatani dapat dibedakan atas pemilik
penggarap,penyakap, penyewa, dan penerima gadai.
Menimbang pula bahwa kondisi pertanian tersebut diperburuk oleh
penyelenggara pemerintah yang menyingkirkan petani dalam pembuatanpembuatan keputusan, oleh aparat bersenjata negara yang memaksa petani
dengan kekerasan dan oleh badan-badan usaha raksasa yang menghisap
kekayaan petani.
Menimbang pula bahwa globalisasi kapitalisme telah bekerja melalui
perjanjian-perjanjian dan keputusan-keputusan internasional yang menjerat
petani.
Menyadari bahwa petani telah dan akan terus berusaha mengatasi ancaman
keselamatan hidup, kerusakan layanan alam, pelemahan produktifitas, dan
penurunan kemakmuran baik dengan daya upayanya sendiri maupun bersamasama dengan para pendukungnya. Dengan ini menetapkan rumusan hak asasi
petani yang perlu mendapat pemenuhan dan perlindungan.
Hak Atas Sumber-Sumber Agraria
Petani baik laki-laki maupun perempuan dan keluarganya berhak
memiliki tanah secara layak adil untuk tempat tinggal maupun
untuk tanah pertanian baik secara individu maupun secara kolektif.
Petani baik laki-laki maupun perempuan dan keluarganya berhak
untuk menggarap atas tanah-tanah milik atau yang dibebani hak
lainnya.
7
Hak-hak
dari
petani baik
laki-laki
maupun
perempuan dan
keluarganya atas kepemilikan atau akses kepada sumber-sumber
agraria
dan
kemampuan
pribadi
dalam
hukum
dan
pelaksanaannya tidak membedakan perbedaan jenis kelamin,
agama, golongan, suku, dan budayanya.
Hak-hak
dari
petani baik
laki-laki
maupun
perempuan dan
keluarganya atas kepemilikan atau akses kepada sumber-sumber
agraria
dan
kemampuan
pribadi
dalam
hukum
dan
pelaksanaannya tanpa membedakan jenis, umur atau senioritas
berdasarkaan hukum dan praktek adat dan kebiasaan yang berlaku
tanpa melanggar rasa keadilan dan kebenaran.
Petani baik laki-laki maupun perempuan dan keluarganya berhak
untuk menggarap dan memiliki tanah negara (nonproduktif) yang
sudah menjadi sumber pokok kehidupan ekonomi dan kehidupan
masyarakat.
Petani baik laki-laki maupun perempuan dan keluarganya berhak
mendapatkan air bersih.
Petani baik laki-laki maupun perempuan dan keluarganya berhak
mendapatkan
dan
menggunakan
sumber-sumber
air
untuk
kepentingan usaha pertanian.
Petani baik laki-laki maupun perempuan dan keluarganya berhak
mengelola sumber-sumber air yang berada di wilayah kekuasaan
petani.
Petani baik laki-laki maupun perempuan dan keluarganya berhak
untuk mengelola, memelihara, dan menikmati hasil hutan.
Petani baik laki-laki maupun perempuan dan keluarganya berhak
untuk menolak segala bentuk konversi tanah pertanian untuk
kepentingan industrialisasi.
Petani baik laki-laki maupun perempuan dan keluarganya berhak
atas jaminan dan perlindungan hukum atas lahan pertaniannya
dan tempat tinggalnya serta sumber-sumber agraria lainnya dari
perampokan dan klaim masyarakat lain atau institusi lain serta dari
kontaminasi dan pengotoran lingkungan oleh aktifitas lain.
8
3. Perlindungan Hak petani
Salah satu bentuk perlindungan adalah terjaminnya hak atas pangan
begi segenap rakyat yang merupakan hak asasi manusia yang sangat
fundamental sehingga menjadi tanggung jawab negara untuk memenuhinya.
Secara formal wewenangan pemerintah untuk mengatur bidang pertanahan
tumbuh dan mengakar dari pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang menegaskan
9
bahwa “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai
oleh negara untuk dipergunakan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat” .
Selanjutnya diturunkan pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang
peraturan dasar pokok-pokok agraria. Ketentuan Pasal 2 UUPA yang merupakan
aturan pelaksanaan pasal 33 ayat 3 UUD 1945 memaknai pengertian hak
menguasai sumber daya alam oleh negara sebagai berikut :
1. Atas dasar ketentuan pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan hal lain yang dimaksud
dalam pasal 1 hak negara untuk menguasai dalam pasal ini memberikan
wewenang untuk
Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan,
dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut
Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi, air, dan ruang angkasa
menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan
ruang angkasa
2. Wewenang yang bersumber pada hak menguasai negara dari negara
tersebut pada ayat 2 pasal 33 digunakan untuk mencapai sebesar-besar
kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan, kemerdekaan
dalam masyarakat dan negara hukum Indonesiaa yang merdeka, berdaulan
adil dan makmur.
3. Hak menguasai dari negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat
dikuasakan kepada daerah-daerah, swasta, dan masyarakat-masyarakat
hukum adat sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Berdasar pasal 2 UUTA dan penjelasannya tersebut, menurut konsep
UUTA “Dikuasai” oleh negara bukan berarti “dimiliki” melainkan hak yang
memberi wewenang kepada negara untuk menguasai seperti hal tersebut. Isi
wewenang negara yang bersumber pada hak menguasai SDA oleh negara
tersebut semata-mata bersifat publik yaitu, wewenang untuk mengatur
(wewenang regulasi) dan bukan menguasai tanah secara fisik dan
menggunakan tanahnya sebagai mana wewenang pemegang hak atas tanah
yang bersifat pribadi. Hal ini sejalan dengan ketentuan dalam pasal 28A dan
pasal 28C UUD 1945. Sejaalan dengan itu, upaya pembangun ketahanan dan
10
kedaulatan pangan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat adalah hal yang
penting untuk direalisasikan. Dalam rangka mewujudkan kedaulatan dan
ketahanan pangan perlu diselenggarakan pembangunan pertanian
berkelanjutan. Untuk mengendalikan konversi lahan pertanian melalui UU RI
No. 41 Tahun 2009 tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan
diharapkan dapat mendorong ketersediaan lahan pertanian untuk menjaga
kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan. UU No. 41 Tahun 2009
bertujuan untuk :
1. Melindungi kawasan dan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan
2. Menjamin ketersediaan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan
3. Mewujudkan kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pengan
4. Melindungi kepemilikan lahan pertanian pangan milik petani
5. Meningkatkan kemakmuran serta kesejahteraan petani dan masyarakat
6. Meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan petani
7. Meningkatkan penyediaan lapangan kerja bagi kehidupan yang layak
8. Mempertahankan keseimbangan ekologis
9. Mewujudkan refitalisasi pertanian
Pemerintah dan pemerintah daerah melaksanakan pembangunan untuk
kesejahteraan masyarakat melalui perintah Undang-Undang sehingga terdapat
sinergis yang terpadu, bertahap dan berkelanjutan tergantung visi pemerintah
daerah dalam rangka
menjamin
dan
mewujudkan pembangunan yang
berkelanjutan khususnya dalam rangka peningkatan dan ketersediaan pangan,
maka kebijakan kemandirian pangan merupakan salah satu pilar untuk
menjaga kedaulatan bangsa. UU No. 41 Tahun 2009 tentang perlindungan
lahan pertanian pangan berkelanjutan serta peraturan pemerintah No. 1 Tahun
2011 tentang penetapan dan alih fungsi lahan pertanian, mengatur tentang
perlindungan lahan dan persyaratan serta mekanisme tentang alih fungsi lahan
pertanian pangan berkelanjutan.
Perkembangan Mode Produksi dan Konflik Agraria
Peran actor-aktor yang berkepentingan tehadap sumber daya tanah
menjadi penyebab munculnya konflik agraria. Pemahaman mengenai cara
system dan proses produksi kemudian menganalisis deskriptif dari data berupa
kasus-kasus yang kemungkinan tibul dari perkembangan mode produksi. Tanah
11
tidak hanya dipandang sebagai factor produksi tetapi juga merupakan asset
penting bagi aktivitas manusia.Pada masa feodalisme atau prakapitalis, raja
menggarap tanah hanyalah symbol otoritas. System ini pada prinsipnya
mengutamakan hubungan yang erat antara raja dan tuan-tuan tanah dalam
mengurus Negara. Di Indonesia system feodalisme muncul pada zaman Hindu.
Di Jawa penguasaan tanah tidak begitu menentukan sebagai dasar hubungan
antara rakyat dan raja. Kekuasaan para bangsawan lebih berdasarkan pada
jumlah cacah yang sesuai dengan prinsip bersatunya kawula dan gusti
sehingga dalam struktur masyarakatnya terlihat pengelompokan menurut
kelas tertentu seperti priyayi dan rakyat biasa.
Sumber-sumber ekonomi secara politis dikuasai feudal dan petani hanya
sebagai penggarap dengan berbagai kewajiban kepada raja yang bersfat
mengikat. Akibatnya sering terjadi konflik antara raja (bangsawan) dan rakyat
yang menggarap tanah hasil pemberian raja. Mode produksi feudal ini sangat
mempengaruhi kriteria konflik-konflik yang muncul seperti bentuk, level,
intensitas maupun ukuran konflik. Bentuk konflik yang muncul bersifat
horizontal dan vertical, yakni implikasi dari adanya penguasa tunggal atas
tanah. Bagi petani yang seluruh hidupnya tergantung dari hasil tanah garapan,
tanah dianggap sebagai pusaka (heirloom land) dan tidak sekedar symbol
apalagi mata dagangan (commodity).Perubahan fungsi tanah dari alat produksi
untuk konsumsi si penggarap menjadi alat alat untuk mencapai surplus
maksimal menyebabkan tingkat eksploitasi tinggi pada factor produksi yakni
tanah dan tenaga kerja (penggarap). System ekonomi semacam ini disebut
sebagai kapitalisme. Cirri khas kapitalisme adalah penguasaan modal oleh
kapitalis, sementara tanah dan tenaga kerja sebagai factor produksi terpisah
satu sama lain. Di Indonesia munculnya kapitalisme sebagai bentuk dari
kolonialisme asing.Pada masa colonial, perkembangan mode produksi kapitalis
mencapai puncaknya pada masa liberal atau penanaman modal. Kebijakan
pemerintah colonial dengan mengubah tanah-tanah komunal menjadi milik
persorangan memposisikan tanah dari factor produksi menjadi sumber
penumpukan capital dan investasi para pemodal swasta. Pengutuban antara
rakyat sebagai buruh di satu pihak dan pemilik modal swasta asing dan Negara
di lain pihak menyebabkan munculnya konflik-konflik agraria yang bersifat
structural.Perubahan politik yang terjadi dengan berakhirnya masa colonial di
12
Indonesia, ikut mengubah mode produksi agraria dari kapitalis colonial menjadi
populis. Mode produksi populis ini menempatkan tanah, tenaga kerja,
pengambilan keputusan mengenai proses produksi, akumulasi dan investasi
capital di tangan keluarga petani. Dalam system ini, pengakuan hak individu
atas tanah-tanah sangat jelas tanpa mengabaikan fungsi tanah secara social.
Kekuatan politik masyarakat yang dikutsertakan dalam program-program
agraria yang bersifat populis tampak dari lahirnya UUPA 1960 dan pelaksanaan
land reform. Konflik-konflik tanah yang sifatnya internal dan bentuknya
horizontal muncul mewarnai perkembangan mode produksi populis yakni
antara buruh tani dan petani-petani kecil melawan tuan-tuan tanah, petanipetani kaya dan penguasa-penguasa perkebunan.
Kondisi Petani Akibat Merasuknya Kapitalisme Agraria di Pedesaan
Di Indonesia, perkembangan komersialisme pertanian melalui program
revolusi hijau merupakan salah satu fakta yang jelas sebagai indicator masa
saat petani mulai mengenal inovasi teknologi yang mampu menghasilkan
surplus produksi. Dampak pengaruh kapitalisme kepada masyarakat pedesaan
yang sangat jelas terlihat dari proses hilangnya kemandirian petani dalam
mengusahakan
system
produksinya.
Tujuan
dan
orientasinya
adalah
merasionalkan semua kegiatan petani agar mampu menghasilkan keuntungan
dengan berbagai inovasi baru di bidang pertanian.Situasi ini semakin
memperbesar stratifikasi petani dan mendesak petani ke posisi yang terpecahpecah tanpa memiliki perlindungan dari lembaga-lembaga tradisional mereka.
Adanya perubahan system pembagian pendapatan di kalangan petani,
diantaranya : dari System bawon : system upah secara natura dari pekerjaan
menuai padi yang terbuka bagi seluruh penduduk desa dan menurut tradisi
jumlah orang yang ikut memanen tidak dibatasi. Dalam system ini baik pemilik
lahan maupun buruh merasa aman dan diuntungkan. Berubah menjadi System
tebasan : petani menjual padi yang masih ditanam kepada penebas beberapa
hari sebelum panen. Karena dalam perananya sebagai penebas bebas dari
kewajiban tradisional, tengkulak mempekerjakan sedikit orang untuk memanen
dengan upah kontan dan dengan peralatan sabit sehingga biaya dapat
dikurangi. Dengan masuknya teknologi baru menyebabkan petani komersil
cenderung mengabaikan kewajiban-kewajiban tradisional tentang pemerataan
kerja dan pendapatan bagi penduduk miskin di desa.Pola-pola hubungan
13
patron-klien
ditemukan
hampir
di
semua
masyarakat
petani.
Namun
meningkatnya kemiskinan di desa telah memaksa petani untuk mencari
perlindungankepada warga yang bukan kerabat, yang menyebabkan timbulnya
kelas patron. Kemunculan kelas ini menempatkan petani pada posisi yang
serba tidak menguntungkan.
Ancaman terhadap subsistensi petani tidak hanya disebabkan semakin
merasuknya kapitalisme ke pedesaan, tetapi juga disebabkan tataran yang
lebih besar yaitu berkembangnya kekuasaan Negara melalui kebijakankebijakannya yang mengakibatkan akses petani terhadap sumber daya
semakin
terbatas.
Kebijakan-kebijakan
tersebut
mendorong
terjadinya
kapitalisme agraria. Dalam kapitalisme agraria terjadi suatu perubahan
pemilikan factor produksi dari petani kepada kelas pemilik moda
Bab III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Pada pembahasan Politik Hukum Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan Sebagai Instrumen Ketahanan
penelitian dan analisa dari bab-bab
Pangan, maka dari hasil
sebelumnya dapat penulis simpulkan
sebagai berikut,
1.Perlindungan lahan pertanian pangan ditujukan untuk keberlangsungan
tanaman pangan yaitu padi, dimana
merupakan tanaman penghasil beras.
Beras merupakanmakanan baku rakyat Indonesia. Ketergantungan tanaman
pangan
terhadap
ketersediaan
lahan
merupakan
dasar
dari
upaya
perlindungan lahan pertanian. UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) berlaku sebagai payung hukum
dari usaha mempertahankan lahan untuk pertanian
pangan terhadap
kepentingan pembangunan. Tetapi jika di telaah lebih lanjut keberadaan
Undang-undang tersebut hanya terpaku pada mempertahankan keberadaan
lahan
pertanian
saja
tidak
mempertahankan
berkelanjutan. Ancaman degradasi lahan
keberadaan
lahan
secara
sebenarnya ancaman yang lebih
seriuas dimana penurunan kwalitas keseburan tanah karena penggunaan
pupuk anorganik atau pupuk buatan. Jika dibiarkan terus menerus tanpa
14
pengawasan dari pemerintah akan mengakibatkan terjadinya kerawanan
pangan karena punahnya kesuburan tanah.
2.Arah dan tujuan politik hukum Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan untuk upaya pencegahan konversi lahan sawah sulit dilakukan,
upaya yang dapat dilakukan hanya bersifat pengendalian. Masyarakat yang
diperlukan untuk itu adalah perangkat peraturan yang tegas dan harus
didukung oleh keakuratan pemetaan dan pendataan penggunaan lahan yang
dilengkapi dengan teknologi yang memadai. Upaya yang realistis untuk
dilakukan adalah kebijakan mencetak lahan baru dan meningkatkan kualitas
irigasi yang ada dengan dana utama dari pemerintah dan melibatkan patisipasi
masyarakat.
B.Saran.
Berdasarkan kesimpulan diatas permasalahan yang ada diatas maka, penulis
memberikan saran- saran sebagai berikut
1.Pembangunan pertanian dimana memasuki era globalisasi mendatang
kebijakan harus mempunyai keberpihakan pada peningkatan kesejahteran
jaminan pangan dan pelaku usaha sektor pertanian. Dengan pembangunan
masyarakat petani perlu diarahkan kepada penciptaansektor pertanian sebagai
lapangan
usaha
yang
menarik,
sehinga
konversi
tanah
pertanian
kenonpertanian dapat dicegah secara alamiah.
2.Kebijakan
pengendalian
konversi
lahan
pertanian
pangan
ke
depan
seyogjanya tidak hanya mengandalkan pendekatan yuridis tetapi didukung
pula dengan pendekatan ekonomi dan sosial. Setiap kebijakan konersi lahan
pertanian pangan perlu diarahkan untuk mencapai tiga sasaran yaitu, menekan
intensitas faktor ekonomi dan sosial yang dapat merangsang konversi lahan
sawah, mengendalikan luas lokasi dan jenis lahan yang dikonversi dalam
rangka menekan potensi dampak negatif yang ditimbulkan, menetralisir
dampak negatif konversi lahan sawah melalui kegiatan investasi yang
melibatkan dana masyarakat terutama kalangan swata pelaku konversi lahan
15
DAFTAR PUSTAKA
Sharma, H.R., 2000. “Tenancy Relationin Rural India: A Temporal and CrossSectional Analysis.” Indian Journal of Agricultural Economics. Indian Society of
Agricultural Economics, Mumbai. 55 (3): 295-307.
Suwarto. 2008. Produktivitas Lahan dan Pendapatan Usahatani Tanaman
Pangan menurut Kelembagaan Lahan dan Tenaga Kerja di Kabupaten Gunung
Kidul. SOCA, Jurnal Sosial Ekonomi dan Agribisnis, Fakultas Pertanian
Universitas Udayana. 3 (8): 243-249.
Taryoto, A.H., 1995. “Analisis Kelembagaan dalam Penelitian Sosial Ekonomi
Pertanian, Suatu Pengantar.” Prosiding Pengembangan Hasil Penelitian.
Kelembagaan dan Prospek pengembangan Beberapa Komiditas Pertanian.
16
Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian Departemen Pertanian: 1-6.
Wahodo Ed, Francis ,2005,Hak-Hak Asasi Petani & Proses
Perumusannya,Yogyakarta,Cindelaras Rakyat Cerdas
Bayu, Gutomo, ,2005, Tanah Untuk Penggarap : Pengalaman Serikat Petani
Pasundan Menggarap lahan Pertanian dan Kehutanan,Bogor:Pustaka Latin
Malik, Jayadi 2009, Pembaruan agrarian dan hak asasi petani,Yogyakarta
,Lapera Pustaka Utama,2009
Suhendar, Endang 1998,Yohana Budi,Petani dan Konflik
Agraria,Bandung,Akatiga, 1998
Suhadi, 2011, Tinjauan Yuridis Normatif Berbagai Peraturan Tentang Alih Fungsi
Tanah Pertanian di Indonesia Vol 6, No 1
17