Pembuatan Nanokomposit Poliuretan Berbasis Minyak Kelapa Sawit Dengan Nanopartikel Montmorillonit Organik Sebagai Bahan Cat

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Minyak Kelapa Sawit
Kelapa sawit (Elaeis guineensis) merupakan salah satu tanaman perkebunan di
Indonesia yang memiliki masa depan cukup cerah. Awalnya perkebunan kelapa
sawit berkembang di daerah Sumatra Utara dan Nanggro Aceh Darussalam,
namun sekarang perkebunan kelapa sawit telah berkembang keberbagai daerah
hingga Papua (Sunarko, 2012).
Produktivitas kelapa sawit dapat menghasilkan minyak hingga 6 ton/ha dan
produksi minyak kelapa sawit di Indonesia terus mengalami peningkatan. Pada
tahun 1997 produksi hanya 5,5 juta ton, pada tahun 2007 meningkat menjadi 17,3
juta ton. Setelah itu pada tahun 2011 produksi minyak kelapa sawit sudah lebih
dari 20 juta ton. Kenaikan produksi ini dipengaruhi oleh pertambahan luas areal
perkebunan kelapa sawit serta komposisi umur tanaman kelapa sawit yang
awalnya tergolong tanaman belum menghasilkan menjadi tanaman menghasilkan.
Selain itu adanya peningkatan produktivitas tanaman dan pengelolaan kebun
kelapa sawit yang semakin intensif. Peningkatan produksi minyak kelapa sawit
juga diikuti oleh pertumbuhan ekspor minyak kelapa sawit. Ekspor CPO pada
tahun 2000 kurang dari 2 juta ton, pada tahun 2005 jumlah ekspor CPO meningkat
menjadi lebih dari 4 juta ton. Peningkatan ekspor kelapa sawit pada tahun 2011
mencapai lebih dari 12 juta ton (Sunarko, 2012).

Sekitar 80 persen hasil minyak kelapa sawit dikonsumsi utuk penggunaan
pangan yang dapat dimakan, peggunaan non pangan semakin bertambah penting.
Penggunaan dalam sabun, deterjen, surfactan, kosmetik, farmasi dan beberapa
produk industri rumah tangga semakin bertambah karena pengalihan dari produkproduk berdasarkan minyak bumi, dengan demikian membuka permintaan untuk
minyak kelapa sawit dan minyak palm kernel. Kelapa sawit mengandung lebih
kurang 80 % perikarp dan 20 % buah yang dilapisi kulit yang tipis, kadar minyak
dalam perikarp sekitar 34- 40 %. Minyak kelapa sawit adalah lemak semi padat
yang mempunyai komposisi yang tetap, rata- rata komposisi asam lemak minyak
kelapa sawit dapat dilihat pada Tabel 2.1. Bahan yang tidak dapat disabunkan

5

6

jumlahnya sekitar 0,3 persen. Kandungan karoten dapat mencapai 1000 ppm atau
lebih, tetapi dalam minyak dari jenis tenera lebih kurang 500-700 ppm, kandungan
tokoferol bervariasi dan dipengaruhi oleh penanganan selama produksi. Sifat
fisika dan kimia kelapa sawit meliputi warna, bau dan flavor. Warna minyak
kelapa sawit ditentukan oleh adanya pigmen yang masih tersisa setelah proses
pemucatan, karena asam- asam lemak dan gliserida tidak berwarna. Warna orange

atau kuning disebabkan adanya pigmen karotene yang larut dalam minyak.
Tabel 2.1. Komposisi minyak kelapa sawit
Asam Lemak

Jumlah ( % )

Asam kaprilat

-

Asam kaproat

-

Asam laurat

-

Asam meristat


1,1- 2,5

Asam palmitat

40 - 46

Asam stearat

3,6 - 4,7

Asam oleat

39 – 45

Sumber: Ketaren (2008)
Minyak kelapa sawit seperti umumnya minyak nabati lainnya adalah
merupakan senyawa yang tidak larut dalam air, sedangkan komponen
penyusunnya yang utama adalah trigliserida dan non trigliserida. Asam lemak
merupakan rantai hidrokarbon, yang setiap atom karbonnya mengikat satu atau
dua atom hidrogen, kecuali atom terminal mengikat tiga atom hidrogen sedangkan

atom karbon terminal lainnya mengikat gugus karboksil. Asam lemak pada rantai
karbonnya terdapat ikatan rangkap yang disebut asam lemak tidak jenuh, dan
apabila tidak terdapat ikatan rangkap pada rantai hidrokarbonnya disebut asam
lemak jenuh.

2.2. Isosianat
Isosianat merupakan monomer yang utama dalam pembentukan poliuretan.
Isosianat memiliki reaktifitas yang sangat tinggi khususnya dengan reaktan
nukleofilik. Reaktifitas gugus sianat (-N=C=O) ditentukan oleh sifat positif dari

7

atom karbon dalam ikatan rangkap komulatif yang terdiri dari N,C dan O.
( 2.1)
(Cristina, 2011).
Pada dasarnya gugus R-N=C=O mempunyai kemampuan untuk bereaksi
dengan berbagai senyawa khusus yang mengandung gugus nukleoflik seperti air,
amina, alkohol dan asam. Isosianat memiliki dua sisi reaktif dengan senyawa yang
mengandung gugus hidroksil baik yang bersifat alifatik, siklik maupan gugus
aromatik.


Gambar 2.1. Contoh Beberapa Senyawa Isosianat (Cristina, 2011)
Dalam pembentukan poliuretan sangat penting untuk memilih isosianat
yang sesuai untuk bereaksi dengan poliol karena akan dapat menentukan hasil
akhir seperti biuret, urea, dan uretan. Isosianat dapat bereaksi dengan alkohol
membentuk karbamat, dengan air membentuk urea dan gas CO2, dengan amina
membentuk urea, dengan urea membentuk uretan dan isosianat (Hepburn, 1992;
Cristina, 2011). Isosinat merupakan bahan utama untuk pembuatan poliuretan.

8

Umumnya yang digunakan sebagai diisosianat adalah 2,4-toluen diisosianat
(TDI), 4,4-methylena-bis phenylisocyanate
(HDI), 2,2,4-trimethyl-1,6-hexamethyl

(MDI), 1,6-hexametil diisosianat

diisosianat (TMDI) 1,5-napthalena

diisocyanate (NDI) seperti ditunjukan dalam Gambar (2.1) (Cristina, 2011).

Isosianat dapat bereaksi dengan gugus hidroksi seperti alkohol membentuk
uretan, mekanisme reaksi isosianat dengan kumpulan hidroksil dari senyawa
alkohol ditentukan oleh reaktifitas berbagai jenis kumpulan hidroksil itu. Akan
tetapi reaksi isosianat dengan senyawa alkohol adalah sebagai berikut:

Reaksi Isosianat dengan Alkohol

( 2.2)
Isosianat

alkohol

uretan

Reaksi Isosianat dengan Air
Isosianat sangat reaktif dengan uap, reaksi isoianat dengan air menghasilkan asam
karbamat. Asam karbamat yang terbentuk tidak stabil dan bereaksi membentuk
amina primer dan karbon dioksida, pada persamaan (2.3).

(2.3)


Reaksi Isosianat dengan Uretan
Reaksi isosianat dengan senyawa yang memiliki gugus fungsi terikat dengan atom
hidrogen seperti amina lebih jauh melalui perbandingan reaksi senyawa
kandungan hidrogen aktif

menghasilkan suatu uretan, selanjutnya kelebihan

isosianat atom hidrogen dari uretan akan bereaksi dengan isosianat untuk
membentuk suatu rantai alaponat, pada persamaan (2.4).

9

(2.4)

Reaksi Isosianat dengan Urea
Senyawa isosisnat sangat reaktif, dapat bereaksi dengan uretan menghasilkan
senyawa biuret pada paersamaan (2.5).

(2.5)


Reaksi Isosianat dengan Senyawa Epoksida
Isosianat dapat bereaksi dengan epoksida menghasilkan senyawa oxazolidone,
seperti reaksi dibawah ini:

(2.6)
2.3. Senyawa Polihidroksi Alkohol
Poliol merupakan senyawa organik yang memiliki gugus hidroksil lebih dari satu
dan dalam industri material sangat luas digunakan baik sebagai bahan pereaksi
maupun bahan aditif. Senyawa poliol dapat diperoleh langsung di alam seperti
amilum, selulosa, sukrosa dan lignin ataupun hasil olahan industri kimia.
Pengolahan senyawa tersebut secara industri masih banyak dilakukan dengan
mengandalkan hasil pengolahan industi petro kimia yang mana bahan bakunya
berasal dari gas alam,

minyak bumi terbatas dan tidak dapat diperbaharui

10

disamping pengolahannya memerlukan energi yang besar, sehingga perlu

dikembangkan untuk diteliti sebagai bahan alternatif. Poliol dari minyak nabati
telah banyak dikembangkan untuk dapat menggantikan petroleum berbasis poliol
dalam pembuatan poliuretan dan poliester, juga telah banyak digunakan sebagai
bahan pemelastis dalam matrik polimer untuk menghasilkan suatu material,
demikian juga sebagai pelunak maupun pemantap yang bertujuan agar diperoleh
kekerasan dan kelunakan tertentu sehingga material tersebut mudah dibentuk
keberbagai jenis barang sesuai kebutuhan (Andreas,1990; Harjono, 2008)
Poliol merupakan bagian dari teknologi poliuretan yang penting setelah
gugus isosianat, fungsional hidroksil tersebut adalah poliol

yang umum

digunakan untuk membentuk poliuretan berasal dari poliester atau polieter atau
bahan-bahan dari alam, seperti minyak kelapa sawit (Ryohei, 2007), minyak
jarak (Sudrajat, 2010; Ruzaimah, 2011), minyak kemiri (Ginting, 2010). Poliol
untuk aplikasi pelapis untuk meningkatkan rigiditas.
Poliol ini dapat mengkristal, dan hal ini merupakan aspek penting pada
beberapa aplikasi seperti perekat (Kricheldorf, 2005). Poliol yang dikembangkan
khusus dari minyak nabati untuk aplikasi pelapis dilaporkan oleh (Mannari dan
Goel 2007) juga pelapis (coating) dari minyak jarak (Harjono, 2010). Penggunaan

minyak nabati sabagai bahan baku poliol memiliki beberapa keunggulan antara
lain; cocok untuk berbagai jenis permukaan, memiliki gugus fungsi reaktif untuk
pengeringan dengan crosslinker, memungkinkan untuk dimodifikasi, lebih murah,
dapat diperbaharui dan tersedia secara komersial dan poliol yang berasal dari
minyak nabati dapat diaplikasikan. Gugus hidroksil dalam resin poliol memiliki
beberapa fungsi penting dalam bahan pelapis dalam sistim poliuretan. Fungsi dan
kegunaannya antara lain gugus hidroksil berperan dalam crosslinking dengan
gugus lain, berpengaruh pada daya rekat terhadap substrat logam dan
meningkatkan kompatibilitas dengan berbagai jenis resin dan pelarut.
Poliester seperti juga polieter adalah molekul dengan berat molekul yang
panjang yang terbuat dari monomer-monomer. Reaksi dengan poliisosianat adalah
secara azas membentuk poliuretan ditambah dengan chain extender. Poliol yang
digunakan untuk membentuk poliuretan secara general menggunakan berat rata-

11

rata antara 500 sampai 5000 walaupun dalam praktek berat molekul 1000 dan
2000 yang terutama digunakan. Poliol dibentuk dengan penambahan hidroksil
atau amina dengan inisiator propilen oksida, etilen oksida atau dengan
poliesterrifikasi dari di-asam seperti asam adipat dengan glikol seperti etilen

glikol atau dipropilen glikol. Poliol diperpanjang rantai dengan propilen oksida,
propilen oksida merupakan poliol polieter sedangkan poliol yang dibentuk
poliesterifikasi adalah poliester (Cristina, 2011).

Gambar 2.2. Poliol Poliester dan Poliol Polieter (Cristina, 2011)
Pemilihan extender dan berat molekul poliol sangat mempengaruhi sifat
fisik dan sifat elastomer poliuretan. Poliester secara umum membentuk poliuretan
menjadi suatu material dengan sifat fisik yang lebih kuat jika poliuretan foam
yang bahan bakunya berasal dari propilen oksida atau etilen oksida. Polimerisasi
dengan penambahan inhibitor diol seperti etilen glikon memberikan linier
hidroksil polimerisasi. Poliester adalah molekul yang secara subtansi mengandung
grup ester-O-CO-, yang terus mengalami pengulangan pada setiap rantainya.
Secara umum poliester diperoleh secara polikondensasi dari multi fungsional

12

asam karboksilat dan senyawa hidroksil.
Di Indonesia dari tahun 1989 sampai tahun 1995 konsumsi poliuretan
mengalami kenaikan kurang lebih 37% dari 1160 ton menjadi 6.159 ton.
Kebutuhan poliuretan Indonesia pada tahun 2004 telah mencapai 17.465 ton/tahun
dan diprediksi mencapai 35 ribu ton pertahun pada tahun 2014 dan seluruh
kebutuhan poliuretan tersebut masih dipenuhi melalui impor dari luar negeri
(Wijarnako, 2004). Sebagian besar poliuretan dibuat dari poliol yang bersumber
dari minyak bumi (Narine, 2007). Pergerakan harga minyak bumi yang meningkat
akhir-akhir ini yang disertai munculnya isu lingkungan hidup mendorong semua
pihak untuk mencari bahan baku poliol alternatif. Minyak nabati merupakan salah
satu alternatif bahan baku yang digunakan untuk pembuatan poliol. Kebutuhan
senyawa poliol yang cukup meningkat dikembangkan dalam industri oleokimia
khususnya dalam kebutuhan poliuretan yang pada awalnya yang dapat dilakukan
adalah dengan memanfaatkan asam oleat dari minyak kelapa sawit.
Sebagian bahan poliol tersebut dari sumber minyak nabati dikembangkan
melalui transformasi terhadap ikatan pada asam lemak tidak jenuh, baik sabagai
trigliserida maupun bentuk asam lemak dan juga bentuk alkil asam lemak melalui
proses kimia seperti ozonolisis, epoksidasi, hidroformulasi dan metatesis (Gua,
2002). Beberapa minyak nabati diupayakan dalam pembuatan poliol dengan
memanfaatkan asam lemak tidak jenuh terutama asam oleat (C18:1), linolenat
(C18:2) maupun linolenat (C10:3), seperti halnya pembuatan poliol dari minyak
kacang kedelai melalui proses ozonolisis katalitik dan dihasilkan komposisi
gliserida yang baru yang mana komponen utamanya adalah rantai 2- hidroksi
nanonoat dari gugus hidroksil yang baru dalam trigliserida yang mana senyawa
terbentuk berupa campuran mono gliserida, di trigliserida dan tri gliserida yang
memiliki hidroksi (Trans, 2005).

2.4. Polimer
Polimer merupakan molekul raksasa (makromolekul) yang terbentuk dari
perulangan

satuan-satuan

sederhana

monomernya.

Monomer-monomer

digabungkan membentuk rantai polimer dengan suatu proses yang disebut reaksi

13

polimerisasi. Panjang rantai polimer dinyatakan dalam jumlah satuan unit ulang
dalam suatu rantai polimer dikenal dengan

Derajat Polimerisasi (DP), maka

massa rumus molekul dari senyawa polimer adalah perkalian antara DP dengan
massa rumus monomer satuan ulangannya.
Polimer merupakan objek kajian yang amat rumit, oleh karena itu dibuat
pengelompokan-pengelompokan polimer menurut struktur, keadaan fisik, reaksi
terhadap lingkungan, sumber jenis monomer penyusun serta penggunaan produk
akhirnya. Secara struktural pembagian polimer adalah polimer yang merupakan
molekul individual, polimer linier, polimer bercabang, polimer jaringan raksasa
makroskopik (jaringan tiga dimensi). Secara tradisional polimerisasi telah
diklasifikasi menjadi dua kelompok utama yaitu polimerisasi adisi dan
polimerisasi kondensasi (Malcolm, 2007).
Polimer terbentuk melalui suatu proses polimerisasi. Polimerisasi adisi
dapat terjadi pada molekul sejenis untuk membentuk molekul yang besar tanpa
terjadi pembentukan molekul samping. Beberapa contoh polimer yang termasuk
polimer poliadisi adalah pembentukan polietien, polipropilen, polivinil klorida,
poliakrilat dan lain-lain. Polimeisasi kondensasi umumnya untuk menghasilkan
molekul besar atau moleul kecil lainnya seperti pembentukan poliester, polieter,
poliamida, poliuretan dan lain-lain. Dari segi penggunaannya bahan polimer
biasanya digunakan sebagai perekat (adhesive), serat (fiber), elastomer, plastik
dan pelapis.
Dalam penggunaannya bahan polimer biasanya dicampur dengan zat-zat
lain seperti, antioksidan, anti-UV, plastisizer dan filter lainnya. Hal ini
dimaksudkan untuk memperoleh sifat-sifat tertentu yang diinginkan seperti
kelenturan, ketahanan terhadap sifat UV, ketahanan terhadap oksidasi, atau
sekadar untuk menekan ongkos produksi. Untuk mendapatkan polimer dengan
sifat-sifat yang unggul sering kali dilakukan modifikasi polimer baik melalui
kopolimerisasi ataupun melalui blending. Untuk karakterisasi bahan polimer
secara teknik analisis mencakup berbagai cara kimia dan spektroskopi seperti
yang digunakan pada senyawa yang berbobot molekul rendah, yang bertujuan
mendapatkan informasi tentang struktur kimia rantai polimer.

14

Sintesis polimer melalui reaksi polimerisasi bertujuan meciptakan polimer
baru dengan struktur rantai tertentu sehingga menghasilkan bahan polimer dengan
karakteristik dan sifat mekanis yang diinginkan. Penerapan bahan polimer
kesegala kehidupan manusia untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan
papan memerlukan berbagai standar mutu bahan polimer dari polimer komoditas,
sampai bahan polimer teknik, dan polimer khusus. Penyediaan berbagai mutu
bahan polimer ini tidak dapat dipenuhi bila hanya digunakan cara polimerisasi,
lebih lanjut molekul polimer yang terbentuk dapat dimodifikasi menjadi polimer
baru melalui reaksi polimer lainnya atau senyawa aditif berbobot molekul rendah
(Wirjosentono, 1995).

2.5. Poliuretan
Resin atau binder merupakan komponen utama dalam pembuatan pelapisan, cat,
dan 19 Resin berfungsi merekatkan komponen-komponen yang ada dan
melekatkan keseluruhan bahan pada permukaan suatu bahan membentuk film.
Resin pada dasarnya adalah polimer dimana pada suhu ruang bentuknya cair,
bersifat lengket dan kental. Ada banyak jenis resin, seperti: natural oil, alkyd,
epoxy, poliuretan, poliester dan lain-lain.
Poliuretan yang umumnya merupakan senyawa polimer yang penyusun
rantai utamanya adalah gugus uretan (-NHCOO-). Poliuretan ditemukan oleh
Otto Bayer dari Jerman pada tahun 1937. Perkembangan penyelidikan dalam
bidang poliuretan meningkat karena bahan ini merupakan bahan yang penting
dalam berbagai industri bangunan dan obat-obatan dan keperluan lainnya terutama
yang ada hubungannya dengan kehidupan manusia. Poliuretan merupakan jenis
polimer yang mudah disesuaikan dengan penggunaannya serta sukar disamai
dengan polimer lain seperti kekuatan regangan, kekerasan, ketahanan gesekan
dan ketahanan pelarut. Sifat-sifat yang dimiliki oleh poliuretan menjadikan bahan
ini sangat berpotensi dalam berbagai industri.Walaupun teknologi proses
pembuatan poliuretan cenderung berasal dari teknologi masa kini, tetapi
sebetulnya secara kimiawi sudah berlangsung sejak 1849, ketika Wurtz pertama

15

sekali melakukan tes isosianat dengan mereaksikan sulfat dengan sianat , pada
persamaan (2.8) (Wagner, 2001).

R2SO4 + 2 KCNO  2 RNCO + K2SO4

(2.7)

Poliuretan memiliki kekakuan, kekerasan serta kepadatan

yang amat

beragam. Beberapa jenis poliuretan yang diperdagangkan dan sangat sesuai
dengan penggunaannya diantaranya :
a. Busa fleksibel (fleksible foam) berdensitas (kepadatan) rendah

yang

digunakan dalam bantalan menahan lenturan.
b. Busa kaku (rigid foam), berdensitas rendah yang digunakan untuk isolasi
termal dasboar pada mobil.
c. Elastomer, bahan padat yang empuk yang digunakan untuk bantalan gel untuk
penggiling cetakan.
d. Plastik padat yang keras yang digunakan sebagai bagian struktural dan bahan
instrument elektronik.
Poliuretan digunakan secara meluas dalam sandaran busa fleksibel
berdaya lenting (daya pegas) tinggi, panel isolator busa yang kaku, segel busa
mikro selluler dan ban karet yang tahan lama, segel dan lem yang berkinerja
tinggi, serat spadeks, alat karpet dan bagian plastik yang keras. Poliuretan secara
umum dibentuk dari reaksi antara dua atau lebih gugus fungsi hidroksil dengan
dua atau lebih gugus isosianat dan jenis reaksinya dinamakan juga reaksi poliadisi
(Vogel, 1986)

2.6. Cat dan Pelapis
Cat (paint)

dan pelapis

pada umumya memberikan dampak hanya setelah

mengalami perubahan dari kondisi cair menjadi lapisan tipis dan padat melalui
proses pengeringan/pengerasan. Komposisi cat secara umum mencakup beberapa
bahan diantaranya: Resin, salah satu komponen dasar pembuatan cat (minyak)
yang berfungsi untuk mengikat pigmen yang membentuk lapisan tipis untuk
menghasilkan kekerasan, kilap, lekat. Resin ada yang berasal dari alam dan
sekarang ini banyak resin sintetis yang dibuat secara kimia dan dibuat dengan
bahan minyak bumi maupun minyak nabati. Pigmen, adalah bahan organik atau

16

anorganik yang digunakan untuk menghasilkan warna,bahan ini tidak larut dalam
air ataupun pelarut. Pelarut thinner, caiaran transparan yang digunakan untuk
melarutkan resin dan untuk pencampuran dan mendapatkan kekentalan yang
sesuai untuk proses pengecatan. Aditif berfungsi sebagai bahan pelengkap yang
digunakan untuk meningkatkan properti dari cat dalam hal kekuatan, ketahanan
dan aplikasi saat melakukan pengecatan.
Bahan pelapis poliuretan mempunyai posisi khusus diantara binder alami
dan sintetik dalam industri bahan pelapis karena memiliki daya rekat yang sangat
baik terhadap berbagai bahan. Bahan pelapis poliuretan dan varnisnya disebut
sistem dua komponen, dimana satu komponen adalah poliisosianat dan komponen
kedua poliol dengan aditif, sistem ini dibuat atau dengan tanpa pelarut. Sistem dua
komponen merupakan salah satu kelompok yang cukup berkembang (Kricheldorf,
2005).

2.7. Bentonit
Nama bentonit sebenarnya merupakan nama suatu jenis lempung yang terdiri dari
monmorillonit. Di Inggris nama bentonit hanya dipakai pada jenis lempung yang
terdiri dari mineral monmorillonit-Natrium dan disebut dengan lempung
pembersih. Istilah bentonit pertama sekali digunakan oleh Knight (1949) yaitu
suatu jenis lempung yang sangat plastis (koloid) yang terdapat pada formasi beton.
Secara mineralogi bentonit oleh Gibson pada tahun 1960 didefinisikan
sebagai lempung yang terdiri diarl 85% montmorilonit yang mempunyai rumus
kimia (Al2O3.4SiO2xH2O). Lempung tersebut sebenarnya lebih tepat disebut
lempung monmorilonit, tetapi dunia perdagangan menyebutnya dengan bentonit.
Bentonit mempunyai plastisitas tinggi yang dihasilkan dari dekomposisi abu
vulkanis. Pada umumnya jenis bentonit yang banyak terdapat di Indonesia adalah
jenis Kalsium. Magnesium-bentonit mempunyai sifat kurang mengembang apabila
dicelupkan ke dalam air sedangkan bentonit jenis Na+ bila dicelupkan ke dalam air
akan mengembang dan membentuk larutan koloid seperti susu. Sifat ini terutama
ditentukan oleh jumlah kandungan ion atau kation yang mudah tertukar misalnya
Natrium (Na+), Kalsium (Ca2+), Magnesium (Mg2+) dan Hidrogen (H+). Di antara

17

ion-ion tersebut, maka ion Natrium yang dapat menyebabkan lempung tersebut
mengembang dan membentuk larutan koloid yang lebih baik. Monmorilonit dapat
digunakan untuk mengontrol viskositas pada polimer cair seperti poliester tak
jenuh, PVC plastisol, polisulfida dan alkid serta dapat juga digunakan untuk
mengeraskan poliamida. Dengan sifat mudah mengembang, maka bentonit ini
memiliki area permukaan aktif yang cukup luas (800 m2/g), sehingga
memungkinkan jangkauan yang sangat besar bagi interkalasi molekul-molekul
lainnya.

Gambar 2.3. Struktur montmorillonit (Brown and Steveens, 2007)

Struktur dan bentonit termasuk phytosilika tipe 2:1. Kristal ini
mengandung struktur yang memiliki dua lapisan tetrahedral dan oktahedaral
seperti ditunjukkan pada Gambar 2.3. Lapisan tetrahedral mengandung atom
silikon/silikat dan lapisan oktahedral terbuat dari aluminium atau magnesium
hydroksida. Lapisan ini umumnya memiliki ketebalan sekitar 1 nm dan dapat
dilebarkan sampai 30 nm. Hal ini tergantung dari alkyl ammonium yang
digunakan untuk mengolahnya.
Penggunaan Bentonit untuk keperluan suatu industri terutama berdasarkan
sifat fisikanya. Sifat atau komposisi kimia memegang peranan penting, bahkan
dalam beberapa tujuan penggunaan tertentu hal ini ditinggalkan sama sekali. Di
antara sifat yang sangat penting adalah kapasitas pertukaran ion atau kation, daya
serap, luas permukaan, reologi sifat mengikat dan melapis serta plastisitas
Secara umum penambahan bentonit ke dalam polimer sangat tergantung

18

dari kekuatan interaksi antara filler dengan polimer dan akan menghasilkan salah
satu dari tiga sifat nanokomposit pada Gambar 2.4.
a. Intercalated nanocomposite, yaitu : sifat yang umum terjadi jika bentonit yang
telah diolah dimasukkan ke dalam polimer, dimana bentonit akan berinteraksi
dengan matrik polimer dengan cara melebarkan lapisan bentonit yang bertindak
sebagai filler, susunan bentonit masih dalam bentuk-susunan awal.
b. Floculated nanocomposite, yaitu : Konsepnya sama seperti intercalated
nanocomposite, tetapi ada sebagian lapisan yang menjadi flocculated.

Gambar 2.4. Skematis Penambahan Clay ke dalam poliuretan sebagai matrik
(Brown and Stevens, 2007)

c. Exfoliated nanocomposite, yaitu : sifat yang sangat diinginkan dalam
pengolahan clay nanocomposite, dimana bentonit tidak terlihat lagi bentuk
asalnya. Artinya adalah terjadi interaksi yang sangat homogen antara struktur
bentonit dengan struktur polimer.

2.7.1 Sifat kimia dan fisika bentonit
Sifat–sifat fisika bentonit antara lain berkilap, umumnya lunak dan plastis,
berwarna pucat dengan kenampakan putih, hijau muda, kelabu hingga merah
muda dalam keaadaan segar dan menjadi krem bila lapuk yang kemudian berubah
menjadi kuning, merah coklat hingga hitam. Bila diraba terasa licin seperti sabun.

19

Bila dimasukkan ke dalam air, akan menyerap air sedikit atau banyak, bila kena
air hujan bentonit dapat berubah menjadi bubur dan bila kering akan
menimbulkan rekahan yang nyata. Sifat fisik lainnya berupa massa jenis 2,2-2,8
g/L, indeks bias 1,547-1,557, dan titik lebur 1330-1430 oC. Bentonit termasuk
mineral yang memiliki gugus aluminosilikat. Unsur-unsur kimia yang terkandung
dalam bentonit diperlihatkan pada Tabel 2.2.
Teknik penambangan bentonit dapat dilakukan dengan menggunakan
peralatan yang sederhana. Sistem ini dilakukan dengan melakukan penggalian
terhadap material lempung, dalam hal ini montmorilonit diambil pada kedalaman
tertentu hingga didapatkan montmorilonit yang murni dengan hanya sedikit zat
pengotor.
Tabel 2.2. Komposisi Kimia Bentonit
Senyawa

Na-Bentonit (%)

Ca-Bentonit

SiO2

61,3-61.4

62,12

Al2O3
Fe2O3
CaO
MgO
Na2O

19,80
3,90
0,60
1,30
2,20

17.33
5,30
3,68
3,30
0,50

K2O

0,40

0,55

(Puslitbang Tekmira, 2005).
Pengolahan dari bentonit dilakukan dengan mengangkut hasil tambang
yang masih berupa bongkahan ke pabrik untuk diolah melalui tahapan
penghancuran, pemanasan, penggilingan dan pengayakan. Proses selanjutnya
disesuaikan dengan penggunaannya. Pengolahan lanjutan bertujuan untuk
meningkatkan mutu bentonit antara lain dengan proses pengaktifan khusus untuk
menjadi jenis bentonit yang tidak mengembang yaitu bentonit yang mengandung
Ca – Mg. Bentonit jenis ini dibagi 2 macam yaitu yang aktif dan tidak aktif
dengan tujuan untuk melarutkan unsur penganggu sepeti Ca, Al, Mg, Fe, Na, K,
dan sebagainya dengan memakai media pengaktif H2SO4 5% dan HCl 5% pada
suhu 100 oC dalam selang waktu 2-4 jam. Hasil proses ini bentonit yang dipakai
untuk menjernihkan minyak kelapa.

20

Proses pengubahan ion, kation yang bervalensi tinggi atau yang berukuran
kecil pada umumnya akan menggantikan kation yang bervalensi rendah atau yang
berukuran besar. Atas dasar ini maka kation H+ jauh lebih kuat menggantikan
kation K+ seperti terlihat sebagai berikut : H+ > Mg2+ > Ca2+ > Li+ . Na+ > K+ .
Kation Ca2+ pada bentonit dapat pula didesak oleh Na+ apabila konsentrasi Na+
cukup tinggi.

2.7.2. Montmorillonit
Montmorillonit merupakan salah satu jenis kelompok mineral lempung yang
bersifat lunak dengan tingkat satu kekerasan dengan skala Mohs, berat jenis antara
1,7-2,7, mudah pecah, terasa berlemak jika diusap, mempunyai sifat mengembang
apabila kena air. Montmorillonit merupakan mineral lempung yang menyusun
hampir 85% dari bentonit. Menurut Knight nama lain dari bentonit adalah Soap
clay, Bleaching clay, Fullers eart, Saponit dan Smegmatit. Mineral montmorillonit
mempunyai kapasitas penukar kation yang tinggi, sehingga ruang antar lapis
montmorillonit mampu mengakomodasikan kation dalam jumlah yang besar serta
menjadikan montmorillonit sebagai mineral yang unik (Wijaya, 2004).

2.7.3. Sifat Kimia Montmorillonit
Struktur bangun montmorillonit terdiri dari 2 lapisan tetrahedral yang disusun
unsur utama Si(O,OH) yang mengapit satu lapisan oktahedral yang disusun oleh
unsur M(O,OH) (M = Al, Mg, Fe) yang ditunjukkan pada Gambar 2.3 yang
disebut juga mineral tipe 2:1. Ruang dalam lembaran montmorillonit dapat
mengembang dan diisi oleh molekul-molekul air dan kation-kation lain.
Kandungan montmorillonit dalam lempung bentonit biasanya 75-85 %
(Orthman, 2000). Mineral-mineral dalam kelompok ini kadang-kadang disebut
smektit dan mempunyai komposisi yang beragam. Rumus material montmorillonit
sering dinyatakan Al2O3.4SiO2.H2O + xH2O. Muatan negatif montmorillonit
umumnya berasal dari penggatian kation bervalensi tinggi dengan kation valensi
yang lebih rendah dengan syarat jari-jari atom relatif sama. Hanya terdapat sedikit
muatan yang berubah, karena semua gugus hidroksil berlokasi dalam bidang

21

permukaan yang ditutupi oleh jaringan atom-atom oksigen. Van Olphen pada
tahun 1977 mengemukakan nilai KTK montmorillonit kira-kira 70 me/100g, luas
permukaan antara 700–800 m2/g dan oleh karena besarnya nilai ini maka
montmorillonit memperlihatkan sifat plastis dan melekat kuat jika basah.
Montmorillonit umumnya berukuran sangat halus, sedangkan komponenkomponen dalam lapisan tidak terikat kuat. Jika mengadakan persentuhan dengan
air, maka ruang di antara lapisan mineral mengembang, menyebabkan volume
tanah liat dapat berlipat ganda. Terdapat tanda bahwa jarak dasar (basal spacing)
montmorillonit meningkat secara seragam jika terjadi penyerapan air. Beberapa
peneliti mencatat bahwa meningkatnya jarak dasar dapat berlangsung perlahanlahan, yaitu pertanda pembentukan kulit hidrasi di sekeliling kation-kation yang
terdapat di antara lapisan.
Tingginya daya mengembang atau mengerut dari montmorillonit menjadi
alasan kuat, mengapa mineral ini dapat menyerap dan memfiksasi ion-ion logam
dan

persenyawaan

organik.

Serapan

persenyawaan

organik

menjurus

pembentukan kompleks organo-mineral. Ion-ion organik dipercaya dapat
menggantikan kedudukan kation-kation organik di dalam ruang antar misel.
Serapan persenyawaan organik seperti gliserol dan etilen glikol merupakan penciri
dalam mengidentifikasi montmorillonit dengan analisa difraksi sinar-X.
Dari keanekaragaman jenis tanah liat, montmorillonit ditemukan dalam
bentuk tanah. Montmorillonit termasuk oktaeder dan banyak ditemukan pada jenis
tanah vertisol, mollisol, affisol maupun entisol. Tingginya daya plastis,
mengembang dan mengkerut, mineral ini menyebabkan tanah menjadi plastis jika
basah dan keras jika kering. Retakan-retakan pada permukaan tanah akan terlihat
jika permukaan tanah mengering.
Sifat montmorillonit yang dapat menyerap air dan cairan dengam mudah,
mempunyai sifat mengembang (swelling) seperti gel, membuatnya berguna secara
ekonomi. Banyak industri termasuk tekstil dan bahan kimia, menggunakannya
sebagai adsorben untuk mengeluarkan pengotor. Disamping itu monmorillonit
banyak digunakan dalam berbagai industri lainnya, untuk emulsi, insektisida,
sabun,obat-obatan, kosmetik, cat, dalam pembuatan kertas, sebagai pelembut air

22

untuk menghilangkan kalsium, menghilangkan warna dari minyak mineral dan
sayuran, juga digunakan sebagai penyangga katalis dan penyerapan dalam
pemurnian minyak bumi.

2.7.4 Modifikasi Montmorillonit
Lempung tanah liat biasanya mengandung muatan negatif yang memungkinkan
terjadinya reaksi pertukaran kation. Muatan ini berasal dari satu atau lebih dari
beberapa reaksi yang berbeda. Tan pada tahun 1982 menguraikan dua sumber
utama dari muatan negatif tersebut
Modifikasi

permukaan

clay

ini

penting

dilakukan

untuk

dapat

terbentuknya misibilitas dan dispersi dari clay sehingga akan didapat sifat-sifat
yang diinginkan. Melakukan modifikasi organik terhadap lapisan clay yang
anorganik juga harus diperhatikan, pada keadaan murni, lapisan silikat hanya larut
dengan polimer hidrofilik, seperti poli etilen oksida atau poli vinil alkohol. Untuk
mmbuat lapisan silikat larut dengan matriks polimer lainnya, adalah dengan
mengubah permukaan lapisan silikat yang hidrofil menjadi organofilik, sehingga
memungkinkan terjadi interkalasi dengan berbagai polimer (Charu, 2008).
Umumnya hal ini dapat dilakukan reaksi pertukaran ion dengan surfaktan kationik
termasuk dengan senyawa

alkil ammonium atau kation alkilphosphonium

(alkilammonium primer,sekunder, tersier, dan kuartener) seperti diperlihatkan
dalam Gambar 2.5 cetyl trimetyl ammonium bromide (CTAB)

Gambar 2.5.Senyawa Cetyl trimetyl ammonium bromide (CTAB)

Dalam penelitian ini senyawa alkilammonium yang digunakan adalah
cetyl trimetil ammoniumbromide. Alkilammonium dalam organosilika dapat
menurunkan energi permukaan matrik anorganik dan meningkatkan sifat basah
dari polimer, ini akan memberikan jarak interlayer lebih besar. Selain itu, kation
alkil ammonium atau alkilphosphonium dapat memberikan gugus-gugus fungsi

23

yang dapat bereaksi dengan matriks polimer, atau dalam beberapa kasus memulai
polimerisasi monomer untuk meningkatkan kekuatan antarmuka antara matriks
anorganik dengan polimer. Jenis nanokomposit yang terbentuk akibat interaksi
polimer dengan lapisan silikat yaitu fase terpisah, eksfoliasi dan interkalasi.
Perlakuan organik dari tanah liat yang hidrofilik menjadi montmorillonit
hidrofobik inilah yang memungkinkan terjadinya interaksi antarmuka dengan
banyak matriks polimer yang berbeda, tetapi dalam modifikasi ini ada yang harus
dipertimbangkan yaitu stabilitas termal yang diperlukan dalam aplikasi material
akhir. Perlakuan organik dari modifikfasi tanah liat (clay) poliimida dengan
CTAB seperti Gambar 2.6.

Gambar 2.6: Skema Steps Sintetis Preparasi komposit Poliimida-Clay dengan
CTAB (Kishore, 2012)
2.8. Komposit
Komposit adalah campuran dua material atau lebih yang dicampuran secara
makroskopik untuk menghasilkan suatu material baru. Komposit dibuat untuk
menggabungkan sifat yang diperlukan yang tidak dapat ditemukan dalam bahan
tunggal. Hal yang sangat menarik adalah menggabungkan polimer organik dan
anorganik dengan sifat masing-masing yang sangat berbeda sebagai komponen

24

murni. Secara umum polimer organik mempunyai sifat yang fleksibel, tangguh,
dan mudah untuk diproses, tetapi polimer organik ini relatif mudah rusak, baik
secara kimia atau mekanis. Sebaliknya, bahan anorganik biasanya jauh lebih sulit,
memiliki sifat barrier yang lebih baik, dan memiliki stabilitas kimia yang baik,
tetapi rapuh dan sulit untuk diproses. Komposit organik-anorganik dapat
menghasilkan suatu kombinasi dari sifat-sifat ini, sehingga bisa keras, tangguh,
mempunyai kestabilan kimia, dan merupakan material yang tahan lama serta
mudah untuk diproses. Namun, penggabungan bahan organik dan anorganik ini
juga dapat memberikan komposit yang lembut, rapuh, tidak stabil, dan benarbenar tidak bermanfaat.
Faktor-faktor penting yang mempengaruhi sifat suatu komposit adalah
fraksi volume, ukuran, bentuk dan penyebaran dari komponen. Pada komposit,
satu komponen komposit dapat tertutup oleh komponen yang lain yang
membentuk fase kontinyu, tetapi juga mungkin bahwa komponen membentuk
fase diskontinyu. Interaksi antara komponen yang berbeda mungkin menyebabkan
perubahan dalam struktur kimia atau fisik dari komponen, terutama dalam tingkat
beberapa nanometer pertama dari antarmuka. Efek ini menjadi sangat penting
ketika daerah antarmuka antara berbagai komponen besar. Daerah antarmuka
meningkat seiring dengan menurunnya ukuran komponen komposit, dan
akibatnya sifat dapat berubah dengan mengubah ukuran komponen dalam
komposit. Untuk nanokomposit dengan ukuran komponen dari sekitar 10 nm, 1
cm3 komposit dapat berisi beberapa ratus meter persegi permukaan antarmuka. Ini
menyebabkan perubahan struktur terhadap efek antarmuka yang sangat besar dari
material.
Penambahan komponen ketiga yang berkonsentrasi pada perubahan
interaksi antarmuka dapat memiliki efek yang kuat terhadap sifat komposit.
Komponen ketiga bisa berupa surfaktan yang terdapat pada antarmuka yang
diadsorpsi secara fisika, atau mungkin filler yang merupakan spesies reaktif yang
dicangkokkan pada permukaan atau bahkan mungkin bereaksi dengan kedua fase
membentuk ikatan kimia antara dua fasa.

25

(2.8)
Modifikasi antarmuka sering digunakan untuk meningkatkan sifat
mekanik dari komposit. Salah satu proses tersebut seperti persamaan 2.8
pembentukan yaitu sintesa interkalasi MMT Poliuretan (Rehab, 2005).

2.9. Fenomena Adesifitas
Fenomena adesifitas atau perekatan (adhesion phenomenon) relevan dengan
berbagai ilmu bidang studi lain dan menjadi hal penting dalam perkembangan
teknologi. Hal utama dalam aplikasi perekatan adalah ikatan antar material
tersebut dalam suatu campuran. Istilah perekatan diartikan terjadi ikatan antar
permukaan (interfacial bonds) dan membutuhkan suatu tenaga untuk melepaskan
ikatan tersebut. Untuk mencapai antarmuka yang kuat antara matriks dan fiber
penguat tergantung dari beberapa parameter yaitu pencapaian pembasahan
termodinamik antara matrik polimer dan penguat, menghasilkan gaya ikatan dari
sebagian penguat ke matrik sehingga menjamin transfer beban kepenguat menjadi
sempurna. Ikatan yang mempunyai stabilitas yang lama dan ke kuatan diatas
temperatur yang diharapkan, daerah reaksi antarmuka antara penguat dan matriks
harus mempunyai gesekan yang kecil, koefesien ekspansi panas harus saling
menutupi sehingga tidak terjadi pelemahan dan ikatan akibat perbedaan koefesien
ekspansi panas.

2.10. Nanokomposit
Istilah nanoteknologi digunakan untuk mendeskripsikan kreasi dan ekploitasi
suatu material yang memiliki ukuran struktur diantara atom dan material ukuran
besar yang didimensikan dengan ukuran nanometer (1 nm = 10-9 m). Sifat dari
material dengan dimensi nano sangat berbeda secara signifikan dari atomnya juga
dari partikel besarnya. Pentingnya nanoteknologi pertama kali dikemukakan oleh

26

Feyman pada tahun 1959 ( Muller, 2006). Pada beberapa tahun terakhrir,
perkembangan dari ilmu dan nanoteknologi sangat cepat, terutama karena
ketersediaan strategi baru untuk mensintesis nanomaterial dan alat-alat baru untuk
karakterisasi dan memanipulasi beberapa metode sintesis nanopartikel.

2.11. Pengujian dan Karakterisasi
2.11.1. Penentukan Bilangan Oksirana
Analisa bilangan oksirana untuk menentukan apakah telah terbentuk senyawa
epoksida secara titrasi (AOCS Cd 8-53).

2.11.2. Penentuan Bilangan Iod
Analisa bilangan Iodium untuk mengidentifikasi apakah telah terjadi proses
oksidasi (AOCS Cd 1b-87).

2.11.3. Analisa Gugus Hidroksil
Untuk menguji apakah telah terjadi gugus hidroksil pada proses pemanasan
selama 5 jam dari reaksi epoksidasi, ditentukan dengan uji FT-IR dan metode
titrasi.

2.12. Analisa Termal Gravimetri
Pada alat termogravimetri, perubahan berat sampel diukur sebagai fungsi
temperatur. Pengukuran atau perubahan berat sampel ini diukur secara kontinu
dengan kecepatan tetap, hasil pengukuran dinyatakan sebagai kurva antara berat
yang hilang terhadap temperatur yang disebut termogram. Kurva ini dapat
memberikan informasi baik kualitatif maupun kuantitatif tentang sampel yang
dianalisa. Termogram TGA memperlihatkan tahap-tahap dekomposisi yang terjadi
akibat perlakuan termal. Persentase kehilangan berat ini berkaitan dengan
perubahan kimia yang menyebabkan perubahan sampel. Pada bidang polimer,
analisis termogravimetri ini terutama dipakai untuk mempelajari degradasi termal,
kestabilan termal, degradasi oksidatif, komposisi dan identifikasi polimer
(Leandro, 2009).

27

2.13. Analisa Spektroskopi Inframerah
Untuk dapat mengidentifikasi data inframerah polimer, persyaratan yang harus
dipenuhi adalah zat tersebut harus homogen secara kimia. Spektrum inframerah
suatu zat polimer pada dasarnya adalah serapan-serapan monomer dan pengaruh
kopling

antara

mempunyai

monomer-monomer

spektrum

yang

lebih

diabaikan.

Seringkali

sederhana

dari

suatu

spektrum

polimer

monomer-

4

monomernya, meskipun polimer dapat mengandung 10 atom. Hal ini disebabkan
tidak terjadi perubahan tetapan gaya pada kelompok atom sejenis. Atom dalam
kelompok ini akan selalu bervibrasi pada frekuensi yang sama dan tidak
tergantung pada sistim molekul dimana atom-atom tersebut berada, bilamana
tetapan gaya pada kelompok tidak berubah dipenuhi. Faktor ini merupakan hal
yang sangat penting untuk karakterisasi spektrum inframerah. Bila sinar
inframerah dilewatkan melalui sampel, maka sejumlah frekuensi diserap
sedangkan frekuensi lain diteruskan tanpa diserap. Spektrum inframerah akan
dihasilkan bila dilukiskan persen serapan dengan frekuensi. Molekul hanya
menyerap sinar inframerah jika dalam molekul ada transisi energi. Transisi yang
terjadi di dalam serapan inframerah berkaitan dengan perubahan vibrasi molekul.

2.14. Scanning Elektron Mikroskopi
Scanning Electron Mikroskopik adalah alat yang dapat membentuk bayangan
permukaan spesimen secara mikroskopik. Berkas elektron dengan diameter 5-10
nm diarahkan pada spesimen. Interaksi berkas elektron dengan spesimen
menghasilkan beberapa fenomena yaitu hamburan balik berkas elektron, sinar X,
elektron sekunder dan absorbsi elektron.
Teknik SEM pada dasarnya merupakan pemeriksaan dan analisa
permukaan spesimen, data atau tampilan yang diperoleh adalah data dari
permukaan atau dari lapisan yang tebalnya sekitar 20 µm dari permukaan. Gambar
permukaan yang diperoleh merupakan fotografi segala tonjolan, lekukan dan
lubang pada permukaan. Gambar topografi diperoleh dari penangkapan elektron
sekunder yang dipancarkan oleh spesimen. Sinyal elektron sekunder yang

28

dihasilkan ditangkap oleh elektron dan diteruskan ke monitor, pada monitor akan
diperoleh gambar yang khas yang menggambarkan struktur permukaan spesimen.
Selanjutnya gambar yang dimonitor dapat dipotret dengan menggunakan film
hitam putih atau dapat juga direkam ke dalam suatu disket. Sampel yang dianalisa
dengan cara ini harus mempunyai permukaan dengan konduktifitas tinggi, karena
polimer mempunyai konduktifitas rendah maka bahan perlu dilapisi dengan bahan
konduktor (bahan pengantar) yang tipis. Pelapis sampel yang biasa digunakan
adalah perak, tetapi jika dianalisa dalam waktu yang lama lebih baik digunakan
emas atau campuran emas dan palladium.

2.15. Analisa Difraksi Sinar-X
Analisa struktur kristal bahan polimer pada umumnya menggunakan metode
difraksi sinar-X, yang bertujuan untuk menentukan derajat kristalinitas sampel.
Sinar X adalah gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang antara
0,5- 2,5 Å, jika sinar ini mengenai kristal tunggal maka difraksi akan terjadi dan
sejumlah sinar difraksi akan nampak sebagai tambahan sinar utama. Disamping
dapat digunakan untuk analisa kualitatif, difraksi sinar-X juga dapat kristanilitas
suatu sampel. Difraktogram yang diperoleh memberikan informasi tentang daerah
kristalin yang ditandai dengan puncak-puncak yang tajam dan daerah amorf
dengan puncak-puncak yang lebar. Polimer linier pada umumnya bersifat
semikristalin, yang berarti memiliki bagian amorf dan kristal.

2.16. Pengujian Cat Poliuretan pada Aplikasi
2.16.1 Uji Daya Rekat
Daya rekat adalah ikatan dari suatu materi ke materi yang lain yaitu sebuah
perekat untuk substrak, karena berbagai interaksi yang mungkin.

2.16.2 Uji Daya Kilap
Daya kilap adalah tingkat kecerahan pantulan cahaya yang dihasilkan, intensitas
tergantung pada material dan sudut pencahayaan