Aktifitas Ekstrak Bakteri yang Berasosiasi dengan Spons Haliclona sp2. dan Axinellid sp. sebagai Antibakteri.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Biologi Spons Laut

Spons adalah hewan yang termasuk Filum Porifera. AmirdanBudiyanto (1996)
menjelaskan bahwa filum Porifera terdiri dari tiga kelas, yaitu: Calcarea, Demospongiae,
dan Hexactinellida. Kelas Calcarea adalah kelas spons dengan spikula tersusun dari
kalsium karbonat dan tidak mengandung spongin. Sebagian besar spons kelas ini
bentuknya kecil-kecil, berwarna putih keabu-abuan dan ada beberapa jenis berwarna
kuning, merah muda dan hijau. Elemen kerangka dari kelas Calcarea berbentuk spikula
‘triaxon’ dan tidak ada perbedaan antara megasklera dan mikrosklera. Beberapa jenis
spons ini yang umum adalah Sycon gelatinosum (berbentuk silinder berwarna coklat
muda), Clathrina sp. dan Leucetta sp. Spons dari kelas ini juga sedikit jumlahnya, lebih
kurang hanya 10% dari jumlah semua hewan spons yang ada di laut.

Kelas Demospongiae adalah kelompok spons yang paling banyak jumlahnya di
antara Porifera lainnya. Hampir 75% jenis spons yang dijumpai di laut adalah dari kelas
Demospongiae. Spons dari kelas ini tidak memiliki spikula ‘triaxon’ (spikula kelas

Hexactinelidae), tetapi spikulanya berbentuk ‘monoaxon’ dan ‘tetraxon’ yang
mengandung silikat. Beberapa jenis spons kelas ini ada yang tidak mengandung spikula
tetapi hanya mengandung serat-serat kolagen atau spongin saja. Sedangkan kelas
Hexactinellida merupakan spons gelas. Spons kelas Hexactinellida terdiri dari silikat dan
tidak mengandung spongin. Kebanyakan spons dari kelas ini belum banyak dikenal,
karena sulit mendapatkan dan hanya terdapat di laut dalam yaitu sekitar < 500 m (Amir
dan Budiyanto, 1996).

Spons merupakan hewan multiseluler paling primitif yang telah ada selama 700800 juta tahun. Sebanyak 15.000 jenis spesies spons ditemukan di lautan sedangkan
hanya 1 % spons hidup di air tawar (Belarbi et al., 2003). Spons merupakan hewan sesil

Universitas Sumatera Utara

dan dikenal dengan istilah ‘filter feeders’ yaitu aktif menghisap dan menyaring air
melalui seluruh permukaan tubuhnya. Dinding luarnya (pinakodermis) mengandung poripori (ostia). Melalui ostia inilah air dan materi-materi kecil yang terkandung di dalamnya
dihisap dan disaring oleh sel-sel berbulu cambuk atau sel kolar (choanocytes), kemudian
air tersebut dipompakan keluar melalui lubang tengah (oskulum) (Taylor et al., 2007).
Sistem tersebut dinamakan dengan istilah sistem ‘aquiferous’ (Belarbi et al., 2003).
Sistem ini terletak di lapisan mesofil spons yaitu diantara lapisan bagian luar dan dalam
serta terdiri atas struktur saluran yang saling terhubung (Kennedy et al., 2008).


Spons memiliki fungsi jaringan dan organ yang masih sangat sederhana. Hewan
ini hidup menetap pada suatu habitat pasir, batu-batuan dan pada karang-karang mati di
dalam laut. Spons dapat hidup dengan baik pada arus air yang kuat, karena aliran air
tersebut menyediakan kumpulan nutrisi dan oksigen. Nutrisi spons terdiri dari detritus
organik seperti bakteri, zooplankton dan phytoplankton yang kecil-kecil yang secara
efektif ditangkap oleh sel-sel bulu cambuk (Amir dan Budianto, 1996).

Interaksi antara spons dengan mikroorganisme dapat terjadi dalam beberapa
bentuk. Ada mikroorganisme yang berperan sebagai sumber makanan bagi spons,
patogen/parasit, dan ada yang membentuk simbiosis mutualisme. Sekitar 40% dari spons
mengandung mikroorganisme yang bersimbiosis dengan spons. Organisme sesil seperti
spons sangat mengandalkan produksi bahan kimia dari tubuhnya untuk melindungi diri
dari gangguan predator ataupun kompetitor (Taylor et al., 2007)

Keberlangsungan spons laut sangat dipengaruhi oleh faktor fisik, kimiawi, dan
biologis lingkungannya. Amir dan Budiyanto (1996) melaporkan spesimen yang berada
di lingkungan yang terbuka dan berombak besar cenderung pendek pertumbuhannya atau
juga merambat. Sebaliknya spesimen dari jenis yang sama pada lingkungan yang
terlindung atau pada perairan yang lebih dalam dan berarus tenang, pertumbuhannya

cenderung tegak dan tinggi. Pada perairan yang lebih dalam spons cenderung memiliki
tubuh yang lebih simetris dan lebih besar sebagai akibat dari lingkungan yang lebih stabil
apabila dibandingkan dengan jenis yang sama yang hidup pada perairan yang dangkal.

Universitas Sumatera Utara

Diameter oskula spons juga dipengaruhi oleh suhu, ombak, kekeruhan, sedimen,
tekanan dan kecepatan arus air. Spons yang berada di lingkungan yang keruh dan berarus
keras, oskulanya cenderung berada di puncak permukaan tubuh atau kadangkala
menyerupai cerobong. Predator dan kompetitor juga dapat mempengaruhi morfologi dari
spons. Beberapa jenis dari Opisthobranchia, Prosobranchia dan Echinodermata dikenal
memangsa spons. Sehingga secara evolusi, spons akan beradaptasi untuk menghindar dari
predator-predator tersebut, misalnya berubah menjadi spons pengebor. Spons juga
berkompetisi dengan alga dan karang dalam hal mendapatkan cahaya. Pada lingkungan
yang agak gelap (mungkin terhalang atau di perairan yang agak dalam), spons berhasil
mendapatkan cahaya, misalnya secara evolusi spons berhasil tumbuh di antara sel-sel alga
dan karang dengan bentuk tubuh bercabang ( Amir dan Budiyanto, 1996).

Spons juga sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan sekitarnya. Suatu
lingkungan yang sangat asam akan membuat spons mengalami dehidrasi. Spons juga

sangat sensitif pada perubahan temperatur (Belarbi et al., 2003).

2.2

Spons dan Bakteri Yang Bersimbiosis

Sebagian besar mikroba ditemukan pada mesohil spons (Bruck et al., 2008).
Bakteri dapat juga bertahan dalam matriks ekstraseluler dan di sisi dalam archaeocyte.
Beberapa penelitian yang telah dilakukan membuktikan bahwa ada beberapa jenis
mikroorganisme yang bersimbiosis dengan spons. Abdullah (2006) menyatakan bahwa
terdapat bakteri, mikrofungi dan ragi pada sponges Axinella sp. yaitu bakteri
Alteromonas, Bacillus, Halomonas dan mikrofungi Aspergilus. Belarbi et al., (2003) juga
menjelaskan bahwa spons bersimbiosis dengan jenis mikroorganisme seperti archaea,
bakteri, sianobakteri, dan mikroalga.

Analisis yang dilakukan untuk mengetahui keragaman bakteri yang bersimbiosis
dengan spons dapat dilakukan melalui analisis filogenetik dan Restriction Fragment

Universitas Sumatera Utara


Length Polymorphisms. Berdasarkan hasil analisis, diperoleh adanya keragaman bakteri
yang berasosiasi dengan spons Craniella austrialiensis yaitu diperoleh bakteri jenis
alpha, beta dan gamma-Proteobakteri, Firmicutes, Bacteroidetes dan Actinobacterium
(Li and Liu, 2006). Melalui analisis molekuler, terdapat juga bakteri jenis Acidobacteria,
γ-proteobakteri dan δ-proteobakteri dari spons Chondrilla nucula di dua daerah
Mediterania yaitu laut Ligurian dan laut Adriatik (Thiel et al., 2007).

Bakteri yang bersimbiosis dengan spons dapat terletak di bagian ekstraseluler dan
intraseluler. Pada bagian ekstraseluler terdiri atas 2 bagian yaitu ekstraseluler
eksosimbiosis dan ekstraseluler endosimbiosis (Lee et al., 2001).

Gambar 2.1 Skema hubungan simbiosis antara spons dengan mikroorganisme, (a)
ekstraseluler eksosimbiosis; (b) ekstraseluler endosimbiosis; (c) simbiosis
intraseluler; (d) simbiosis intranukleus. (Lee et al., 2001)

Tabel 2.1 Spons dengan bakteri simbionnya.
No
1

Spons


Bakteri Simbion

Aciculites orientalis

Filamentous bacteria

Universitas Sumatera Utara

2

Antartic sponge

Pseudomonas aeruginosa (B)

3

Aplysina sp.

Arthrobacter sp. (B)


4

Aplysina sp.

Bacillus sp. (B)

5

Aplysina sp.

Micrococcus sp. (B)

6

Aplysina sp.

Pseudoalteromonas sp. (B)

7


Aplysina sp.

Vibrio sp. (B)

8

Cenarchaeum symbiosum

Archeon

9

Dysidea herbaceae

Cyanobacterium

10

Dysidea herbaceae


Oscillatoria spongeliae (C)

11

Dysidea sp.

Vibro sp. (B)

12

Halochondria okadai

Alteromonas sp. (B)

13

Halochondria panacea

Antarcticum vesiculatum(B)


14

Halochondria panacea

Pseudomonas insolita(B)

15

Halochondria panacea

Rhodobacter sp. (B)

16

Halochondria panacea

Psychroserpens burtonensis(B)

17


Homophymia sp.

Pseudomonas sp. (B)

18

Hyatella sp.

Vibrio sp. (B)

19

Rhopaloeides odorabile

β-Proteobacteria(B)

20

Rhopaloeides odorabile

γ-Proteobacteria(B)

21

Rhopaloeides odorabile

Cytophaga sp. (B)

22

Rhopaloeides odorabile

Green sulfur bacteria

23

Sigmadocia symbiotica

Ceratodictyon spongiosum (R)

24

Suberea creba

Pseudomonas sp. (B)

25

Tedania ignis

Micrococcus sp. (B)

26

Theonella swinhoei

δ-Proteobacteria(B)

27

Theonella swinhoei

Aphanocapsa feldmanni (C)

28

Theonella swinhoei

Filamentous bacteria

29

Theonella swinhoei

Unicelluler bacteria

30

Verongia sp.

Aeromonas sp. (B)

31

Verongia sp.

Pseudomonas sp. (B)

32

Xestospongia sp.

Micrococcus luteus(B)

A, Actinomycetes; B, Bacteria; C, Cyanobacteria; D, Dinoflagellate.
Mikroorganime yang bersimbiosis dengan spons merupakan sumber makanan
spons dan mikroorganisme memakai tubuh spons yang berpori-pori sebagai inangnya
untuk tempat hidup dan perlindungan (Lee et al., 2001).

Universitas Sumatera Utara

2.3

Aktivitas Senyawa Bioaktif Bakteri yang Bersimbiosis dengan Spons

Spons adalah salah satu biota laut yang menghasilkan senyawa bioaktif. Senyawa
bioaktif yang dihasilkan oleh spons laut telah banyak diketahui manfaatnya. Spons juga
merupakan sumber berbagai macam produk alami seperti senyawa sitotoksin, agen
antifouling, antibiotik, antiinflamasi dan antivirus. Mikroorganisme yang bersimbiosis
dengan spons dapat menjadi sumber berbagai produk alami (Lee et al., 2001).

Spons memiliki potensi sebagai sumber metabolit tertentu. Sumber metabolit
tersebut merupakan senyawa bioaktif yang memiliki banyak fungsi. Salah satunya adalah
sebagai penghasil senyawa antikanker dan sitotoksin (Belarbi et al, 2003). Spons
Discodermia dissoluta (Theonellidae) juga memiliki metabolit sekunder yang berpotensi
sebagai antikanker (Bruck et al., 2008).

Flemer et al., (2011) juga menemukan 237 bakteri yang diisolasi dari spons
Suberites carnosus (Demospongiae) dan Leucosolenia sp. (Calcarea). Sebanyak 50%
isolat dari spons S. carnosus memiliki fungsi sebagai antibakteri dan 15% isolat dari
Leucosolenia sp. berfungsi sebagai antijamur. Aktivitas antibakteri paling banyak
ditemukan pada genus bakteri Pseudovibrio dan Spongiobacter. Sedangkan aktivitas
antijamur ditemukan pada jenis Pseudoalteromonas, Bacillus dan Vibrio.

Organisme bentik laut seperti spons, juga seringkali hidup berasosiasi dengan
bakteri yang menghasilkan senyawa antimikroba. Nocardiopsis dassonvillei MAD08
yang ditemukan dari spons Dendrilla nigra menunjukkan 100% aktivitas sebagai
antimikroba terhadap bakteri patogen multidrug resistant (Selvin et al., 2009). Sebanyak
32 (45,71%) dan 20 (29,41%) isolat yang berasal dari bagian mesohil dan permukaan
Jaspis sp. menunjukkan kemampuan antimikroba, karena mampu

menghambat

pertumbuhan Staphylococcus aureus, Vibrio harveyii, Escherichia coli, Pseudomonas
aerogenosa, EPEC K-11, Candida albicans, dan Candida tropicalis (Abubakar et al.,
2011).

Universitas Sumatera Utara

Potensi antibiotik telah banyak ditemukan dari sumber daya laut khususnya
spons. Ekstrak isolat bakteri Aplysina sp. dan Sarcophyton sp. berpotensi sebagai
antibakteri terhadap bakteri E. coli dan S. aureus (Tinambunan et al., 2012). Ginting et al.
(2010) menemukan bahwa adanya aktivitas antibakteri isolat bakteri yang diisolasi dari
spons

Acanthostrongylophora

sp.

Terhadap

bakteri

patogen

Vibrio

cholerae,

Staphylococcus aureus, dan Bacillus substilis. Selain itu, terdapat 62 (85%) dari 73 isolat
bakteri Pseudovibrio spp yang berasal dari spons Polymastia boletiformis, Axinella
dissimilis dan Haliclona simulans memiliki aktivitas sebagai antibakteri terhadap bakteri
patogen Escherichia coli, Salmonella enterica serotype Thyphimurium, Staplylococcus
aureus yang resisten terhadap meticilin dan Clostridium difficile (Halloran et al., 2011).

Pada spons Gelliodes carnosa juga ditemukan berbagai macam bakteri dan
sebagian besar berpotensi sebagai antibakteri terhadap Bacillus substilis (Lie et al., 2011).
Demikian pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Radjasa et al. (2008) menunjukkan
bakteri Arthrobacter sp. yang bersimbiosis dengan spons Haliclona sp. di laut Jawa Utara
menunjukkan aktivitas antibakteri terhadap bakteri Escherichia coli dan Proteus sp.

Penelitian yang dilakukan oleh Nofiani et al. (2012) juga menemukan adanya
aktivitas antibakteri dari ekstrak metanol bakteri yang berasosiasi dengan spons dari
Pulau Lemukutan Kalimantan Barat terhadap bakteri Staphylococcus aureus, Salmonella
sp. dan Bacillus substilis. Aktivitas antibakteri dari mikroorganisme yang bersimbiosis
dengan spons ditunjukkan juga dengan skrining antibakteri beberapa ekstrak bakteri yang
diisolasi dari spons Theonella sp., Aaptos sp., Melophlus sarassinorum, Callyspongia
sp., Ircinia sp., Stylissa flabeliformes, Lisoclinum sp. dan Clathria sp. asal Barang Lompo
Makassar. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa dari 75 isolat, terdapat 60 isolat
bakteri yang berpotensi mengandung substansi aktif antibakteri terhadap bakteri patogen
Staphylococcus aureus, Bacillus subtilis dan Vibrio eltor. Persentase jumlah koloni
tertinggi (100%) bakteri penghambat

terhadap bakteri patogen diperoleh dari spons

Aaptos sp., Melophlus sarassinorum dan Callyspongia sp., selanjutnya sebesar 90% dari
spons Clathria sp. (Murniasih dan Rasyid, 2010).

Universitas Sumatera Utara

Dash et al. (2009) telah berhasil mengisolasi lima bakteri yang berasosiasi
dengan spons yang memiliki potensi sebagai antibakteri. Kelima isolat diekstraksi
menggunakan pelarut dengan polaritas yang berbeda (n-Heksana dan etil asetat). Selain
sebagai antibakteri, ekstrak bakteri yang berasosiasi dengan spons juga memiliki fungsi
sebagai anti larva (Dash et al., 2009). Aktivitas antiplasmodial juga ditemukan dari
ekstrak etil asetat bakteri yang berasosiasi dengan spons Clathria vulpina (Inbaneson dan
Ravikumar, 2012).

Salah satu metabolit sekunder yang memiliki kemampuan sebagai antimikroba
adalah tropodithietic acid (TDA). TDA dihasilkan oleh bakteri Pseudovibrio sp. D323
Selain TDA, bakteri ini juga menghasilkan fenol namun tidak menimbulkan aktivitas
antibakteri secara langsung. Adanya TDA yang dihasilkan oleh bakteri simbion
Pseudovibrio sp. D323 menyebabkan spons yang ditumpanginya terhindar dari koloni
bakteri patogen (Penesyan et al., 2011).

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.2 Spons dengan senyawa bioaktif yang dihasilkan serta keterangan
bioaktivitasnya

No

Spons

Senyawa bioaktif

Bioaktifitas

1

Acanthella sp.

Kalihinol-A

2

Agelas dispar

Aminozooanemonin Antibakteri

3

Agelas dispar

Pyridinebetaine A

Antibakteri

4

Agelas mauritiana

Sceptrin

Antimikroba

5

Agelas nakamurai

Ageliferine

Antibakteri

6

Agelas nakamurai

Debromosceptrin

Antibakteri

7

Agelas nakamurai

Nakamuric acid

Antibakteri

8

Agelas sp.

Agelasine F

Antituberkulosis

9

Agelas sp.

Agelasine I

Antimikroba

10

Corticium sp.

Meridine

Antijamur

11

Cymbastela sp.

Agelastatin C, D

Insektisida

12

Discodermia kiiensis

Discodermin A

Antimikroba

13

Discodermia sp.

Discobahamins

Antijamur

14

Dysidea sp.

Furodysinin

Antiparasit

15

Fascaplysinopsis reticulate β- Carbolium salt

Antiparasit

16

Hamacantha sp.

Hamacanthin

Antijamur

17

Hyrtios erecta

Heteronemin

Antiparasit

18

Lanthella basta

Bastadin

Antimikroba

19

Jaspis sp.

Bengamides

Antitumor

20

Jaspis sp.

Bengazoles

Antiparasit

21

Jaspis sp.

Cyclodepsipeptide

Antijamur

Antibiotik

Universitas Sumatera Utara

22

Jaspis sp.

Psammaplin

Antibakteri

23

Jaspis wondoensis

Wondosterols

Antimikroba

24

Leucetta cf. chagosensis

Isonaamiine D

Antijamur

25

Notodoris citrina-Leucetta

Naamidines
naamines

Antiparasit

26

Pachastrissa sp.

Bengamides

Antijamur

27

Pachastrissa sp.

Bengazoles

Antijamur

28

Poecillastra wondoensis

Wondosterols

Antimikroba

29

Psammaplysilla crassa

Purealin

Antiparasit

30

Psammaplysilla purpurea

Aeroplysinin I

Antiparasit

31

Psammaplysilla purpurea

Bastadin

Antimikroba

32

Suberea creba

Aeroplysinin I

Antibakteri

33

Suberea creba

Dibromoverongiaqui Antibakteri
nol

(Lee et al., 2001).

2.4

Antimikroba

Senyawa antimikroba merupakan senyawa alami maupun kimia sintetik
yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Senyawa
yang dapat membunuh organisme (bakteri) disebut bakterisidal. Bahan kimia yang
tidak membunuh namun dapat menghambat pertumbuhan organisme (bakteri)
disebut bakteriostatik (Madigan et al., 2009).

Universitas Sumatera Utara

Antimikroba dapat diklasifikasikan menjadi bakteriostatik, bakteriosidal, dan
bakteriolisis. Bakteriostatik secara berkala sebagai penghambat sintesis protein dan
berfungsi sebagai pengikat ribosom. Bakteriosidal mengikat kuat pada sel target dan tidak
hilang melalui pengenceran yang tetap akan membunuh sel. Sel yang mati tidak hancur
dan tetap memiliki jumlah sel yang konstan. Beberapa bakteriosidal merupakan
bakteriolisis, yakni membunuh sel dengan terjadi lisis pada sel dan mengeluarkan
komponen sitoplasmanya. Lisis dapat menurunkan jumlah sel dan juga kepadatan kultur.
Senyawa bakteriolitik termasuk dalam senyawa antibiotik yang menghambat sintesis
dinding sel, seperti penicillin, dan senyawa kimia seperti detergen yang dapat
menghancurkan membran sitoplasma (Madigan et al. 2009). Menurut Pelczar dan Chan
(2008), secara umum cara kerja zat antimikroba yaitu:
1) Menyebabkan kerusakan dinding sel
Struktur dinding sel dapat rusak dengan cara menghambat pembentukannya atau
mengubahnya setelah selesai terbentuk.
2) Terjadinya perubahan permeabilitas sel
Membran sitoplasma mempertahankan bahan-bahan tertentu di dalam sel serta
mengatur aliran keluar masuknya bahan-bahan lain. Membran memelihara integritas
komponen komponen selular. Kerusakan pada membran ini akan mengakibatkan
terhambatnya pertumbuhan sel atau matinya sel.
3) Mengakibatkan perubahan molekul protein dan asam nukleat
Hidupnya suatu sel bergantung pada terpeliharanya molekul-molekul protein dan
asam nukleat dalam keadaan alamiahnya. Suatu kondisi atau substansi yang mengubah
keadaan ini, yaitu mendenaturasikan protein dan asam-asam nukleat dapat merusak sel
tanpa dapat diperbaiki kembali. Suhu tinggi dan konsentrasi pekat beberapa zat kimia
mengakibatkan kaogulasi (denaturasi) ireversibel (tidak dapat balik) komponenkomponen selular yang vital ini.
4) Melakukan penghambatan terhadap kerja enzim
Setiap enzim dari beratus-ratus enzim berbeda-beda yang ada di dalam sel
merupakan sasaran potensial bagi bekerjanya suatu penghambat. Banyak zat kimia telah
diketahui dapat mengganggu reaksi biokimiawi. Penghambatan ini dapat mengakibatkan
terganggunya metabolisme atau matinya sel.
5) Melakukan penghambatan sintesis asam nukleat protein

Universitas Sumatera Utara

DNA, RNA dan protein memegang peranan penting di dalam proses kehidupan
normal sel. Hal itu berarti bahwa gangguan apapun yang terjadi pada pembentukan atau
pada fungsi zat-zat tersebut dapat mengakibatkan kerusakan total pada sel.

Respon tiap mikroorganisme terhadap antimikroba berbeda-beda. Bakteri
memiliki tingkat sensitivitas yang berbeda dimana umumnya bakteri Gram-positif
lebih rentan dibandingkan dengan bakteri Gram-negatif yang secara alami lebih
resisten. Target penting antibiotik terhadap bakteri yaitu ribosom, dinding sel,
membran sitoplasma, enzim biosintesis lemak, serta replikasi, dan transkripsi
DNA (Madigan et al., 2009). Kriteria kekuatan antibakteri menurut David dan
Stout (1971) adalah sebagai berikut.
1. Diameter zona hambat 10 – 20mm

: Daya hambat kuat

2. Diameter zona hambat 5 - 10 mm

: Daya hambat sedang

3. Diameter zona hambat 0 - 5 mm

: Daya hambat lemah

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Tinambunan et al., (2012)
dihasilkan bahwa ekstrak isolat A23 yang berasosiasi dengan spons memiliki aktifitas
antibakteri pada konsentrasi 10% dengan daya hambat yang kuat terhadap S. aureus dan
E. coli dengan zona hambat 18 mm dan 17 mm. Konsentrasi hambat minimum dari
ekstrak isolat A23

yang masih menunjukkan aktifitas antibakteri terdapat pada

konsentrasi 0,05% dengan daya hambat terhadap S. aureus 9 mm dan E. coli 11,33 mm.
Suatu senyawa antibakteri dikatakan mempunyai aktifitas yang tinggi terhadap mikroba
apabila nilai konsentrasi hambat minimumnya rendah tetapi mempunyai daya hambat
yang besar. Suatu bahan dikatakan mempunyai aktifitas antibakteri apabila diameter
hambat yang terbentuk lebih besar atau sama dengan 6 mm.

2.5

Isolasi Komponen Aktif Antibakteri

Komponen aktif antibakteri dapat diisolasi melalui proses ekstraksi. Berk
(2009) menyatakan bahwa ekstraksi adalah suatu proses pemisahan komponen
yang diinginkan dari suatu bahan. Isolasi komponen aktif dari suatu bahan dapat

Universitas Sumatera Utara

dibedakan menjadi dua kelas berdasarkan proses pemisahan komponen aktifnya,
yaitu :
1. Ekstraksi padatan-cairan (Solid-liquid extraction) yaitu proses ekstraksi yang
memisahkan komponen dari suatu bahan pada fase padat menggunakan
bantuan pelarut. Contoh : ekstraksi garam dari bebatuan menggunakan air
sebagai pelarut, ekstraksi larutan kopi dari gilingan biji kopi dalam produksi
ekstrak biji kopi, ekstraksi minyak dari biji-bijian yang mengandung minyak,
ekstraksi protein dari dari kedelai dalam produksi protein kedelai (isolated
soybean protein), dan sebagainya.
2. Ekstraksi cairan-cairan (Liquid-liquid extraction) yaitu proses ekstraksi yang
memisahkan komponen dari suatu campuran larutan tertentu menggunakan
pelarut yang berbeda. Contoh : pemisahan penicillin dari larutan fermentasi
pada butanol, ekstraksi terpenoid teroksigenasi dari minyak esensial jeruk
menggunakan etanol sebagai pelarut, dan lain sebagainya.

Isolasi komponen antibakteri dari spons pada penelitian ini dilakukan
menggunakan metode ektraksi padatan-cairan (Solid-liquid extraction). Berk (2009)
menyatakan bahwa ekstraksi padatan-cairan ini dapat dilakukan dengan cara bertingkat
yakni menggunakan berbagai pelarut dengan tingkat kepolaran yang berbeda, baik secara
berkelanjutan (kontinu) maupun semi-kontinu. Ekstraksi bertingkat atau ekstraksi
bertahap merupakan ekstraksi yang dilakukan beberapa kali dengan jenis pelarut berbeda.
Ekstraksi ini menggunakan pelarut yang lebih sedikit dan hasilnya akan lebih efektif
dibandingkan ekstraksi satu kali dengan semua pelarut sekaligus (Nur dan Adijuwana
1987). Proses ekstraksi bertingkat yang diawali dengan pelarut non polar (n-heksana)
terlebih dahulu untuk menghilangkan lemak yang terdapat pada sampel, dilanjutkan
dengan pelarut semipolar (etil asetat) untuk mendapatkan fenolat dan terakhir polar
(metanol).

Universitas Sumatera Utara