Hubungan Gentamisin Dengan Penutupan Duktus Arteriosus Pada Bayi Dengan Sangkaan Sepsis

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Duktus Arteriosus Persisten

2.1.1 Definisi
Duktus arteriosus persisten merupakan 7% dari seluruh kelainan jantung
bawaan.6 Sebuah duktus arteriosus persisten didefinisikan sebagai kegagalan
penutupan duktus arteriosus setelah 72 jam kelahiran.3 Penelitian di Amerika
mengungkapkan bahwa dengan tertutupnya duktus arteriosus maka angka
kejadian chronic lung disease, retinopathy of prematurity (ROP) dan lama
rawatan juga ikut menurun.11 Penelitian di California menyimpulkan bahwa
PDA pada bayi prematur meningkatkan delapan kali risiko keparahan
penyakit, angka kecacatan dan kematian.12

2.1.2 Epidemiologi
Prevalensi duktus arteriosus persisten mencapai hampir 75% pada neonatus
dengan usia gestasi kurang dari 28 minggu, dimana angka ini cukup
memprihatinkan.13 Insidensi PDA di rumah sakit Haji Adam Malik Medan
selama bulan Januari 2014 sampai Desember 2014 yaitu 0.17% (54), dan

0.13% (42) dengan disertai kelainan jantung kongenital lainnya dari 315
kelainan jantung kongenital yang telah didiagnosis dengan ekokardiografi.
Prevalensi PDA di Padang dari tahun 2008 sampai 2011 menempati posisi
ketiga sebagai penyakit jantung asianotik terbanyak, yaitu sebesar 33.5%14,
6

sedangkan dari sebuah penelitian mengenai status gizi pada pasien dengan
penyakit jantung bawaan di RSCM Jakarta menunjukkan prevalensi PDA
sebesar 13.7% pada usia 0 sampai 2 tahun.15 Penelitian di Mesir menyatakan
insidensi PDA pada bayi prematur berkisar 40% sampai 60% pada usia tiga
hari kehidupan,

dan sampai saat

ini belum

ditemukan

konsensus


penanganan PDA dikalangan ahli neonatologi.16

2.1.3 Patogenesis
Duktus arteriosus mengalami penutupan secara fungsional dalam beberapa
jam setelah lahir akibat proses konstriksi lapisan otot polos medial.
Penutupan sempurna secara anatomi terjadi beberapa hari berikutnya,
dengan perubahan struktur intima dan hilangnya sel-sel otot polos dari
lapisan media. Dengan berhentinya aliran duktus antara sirkulasi sistemik
dan paru, keluaran ventrikel tidak lagi dialihkan ke aorta akan tetapi mengalir
langsung ke sirkulasi paru. Akibat peningkatan venous return dari paru
mengakibatkan peningkatan tekanan atrium kiri, menutup pirau kanan ke kiri
lainnya pada kehidupan fetal melalui foramen ovale pada septum antar
atrium.17

2.1.4 Etiologi
Pengaturan relaksasi duktus arteriosus pada kehidupan fetal dan proses
kontriksi segera setelah lahir merupakan proses fisiologis yang diperantarai
7

oleh perubahan oksigen, oksida nitrit, prostaglandin dan kanal ion. Dikatakan

bahwa proses regulasi duktus arteriosus merupakan hal yang kompleks dan
hampir melibatkan beberapa mekanisme lainnya.18
Penelitian di Inggris menilai fungsi jantung pada bayi dengan PDA,
dimana gambaran keluaran ventrikel kiri meningkat secara signifikan, namun
tidak ada perbedaan yang signifikan dalam fraksi ejeksi dan penebalan
fraksi dengan kelompok kontrol.19

2.1.5 Gejala Klinis
Kegagalan penutupan duktus mengakibatkan hiperdinamika sirkulasi, dimana
tekanan nadi semakin melebar (lebih dari 25 mmHg), denyutan prekordial
yang menonjol, bounding pulse dan desah ejeksi sistolik (pansistolik dan
continous murmur) terdengar di area parasternal kiri sela iga kedua. Adanya
indikator terbukanya duktus pada bayi yang mendapat bantuan ventilasi,
yaitu; asidosis metabolik yang tidak disebabkan hipoperfusi dan sepsis,
memburuknya status pernapasan pada hari 3 sampai 4 setelah periode yang
relatif stabil, retensi CO2 yang tidak dapat dijelaskan, fluktuasi FiO2, adanya
periode henti nafas setelah mendapat ventilasi.20

2.1.6 Pemeriksaan Penunjang
Ekokardiografi merupakan pemeriksaan baku emas pada PDA, dimana selain

sebagai diagnostik, ekokardiografi juga dapat mendeteksi tingkat keparahan
8

PDA. Hal yang perlu diperhatikan adalah turbulensi pada arteri pulmoner
akibat pirau kiri ke kanan yang dapat dideteksi oleh pulsed Doppler, dan
visualisasi duktus melalui 2-D dan color Doppler.21

2.1.7 Faktor Risiko
Pada masa fetus, tekanan oksigen di duktus arteriosus berkisar 15 mmHg
sampai 20 mmHg, akan tetapi beberapa jam setelah lahir tekanan meningkat
menjadi 100 mmHg. Beberapa pemeriksaan menunjukkan adanya hubungan
antara konstriksi otot polos di dinding duktus dan kadar oksigen. Dikatakan
juga bahwa kemungkinan kegagalan penutupan duktus berhubungan dengan
efek vasodilator dari prostaglandin. Beberapa yang menjadi faktor risiko yaitu;
hipoksia, asidosis, gawat nafas, dan prostaglandin.22
Insidensi kegagalan penutupan duktus arteriosus pada bayi prematur
berkisar 10% sampai 60% tergantung pada usia gestasi, berat badan, dan
kriteria diagnostik.11
Pada neonatus matur dikatakan PDA juga dapat terjadi secara
autosomal resesif, dimana riwayat PDA pada anggota keluarga dapat

meningkatkan 3% terjadinya PDA, dengan mekanisme yang belum diketahui
secara pasti. Belakangan ini, dikatakan bahwa infeksi pada masa prenatal
khususnya infeksi rubella pada trimester pertama kehamilan dan faktor
lingkungan seperti sindroma fetal valproat dikatakan bertanggung jawab
terhadap kejadian PDA.4 Penelitian di Texas mencoba membuktikan
9

hubungan antara usia gestasi yang rendah, tidak adanya paparan
glukokortikoid antenatal serta variasi genetika mempengaruhi ekspresi mRNA
yang berperan penting dalam proses konstriksi duktus.23
Penelitian di Amerika mengungkapkan bahwa konstriksi duktus
arteriosus melibatkan sistem enzim sitokrom P450 (CYP) sejak berbagai
macam inhibitor enzim sitokrom P450 menunjukkan relaksasi proses
konstriksi duktus arteriosus, sebagai contoh penggunaan antasida, golongan
reseptor H2 antagonis seperti simetidin yang sampai saat ini mekanisme
yang menginduksi relaksasi dari duktus arteriosus belum diketahui pasti, Hal
ini dikaitkan dengan kerjanya yang menghambat CYP3A yang terdapat pada
otot halus duktus arteriosus yang berinteraksi dengan

regulasi molekul


HIF1a dan eritropoetin akibat kondisi hipoksia. Sehingga oleh sebab itu obat
yang termasuk dalam golongan inhibitor CYP menghambat fase inisial
oksigen-konstriksi duktus arteriosus dan fase akhir penutupan duktus
arteriosus.18
Sekitar 80% bayi prematur dengan sindrom gangguan pernapasan
juga memiliki PDA, hal ini mungkin disebabkan oleh kadar prostaglandin
(PGE2) yang meningkat terkait dengan sindroma gawat nafas.3 Berat badan
lahir dibawah 1500 gram, stress akut perinatal, sindroma gawat nafas sedang
sampai berat dengan kebutuhan ventilasi 24 jam paska lahir, sepsis neonatal,
pemberian cairan intravena yag berlebihan paska lahir menjadi faktor resiko
terjadinya PDA.24 Beberapa faktor kelahiran telah terbukti meningkatkan
10

kejadian PDA, termasuk resusitasi saat lahir, dan hal yang belum dapat
disingkirkan yaitu kejadian perempuan dan laki-laki dengan 2 banding 1.3
Dikatakan juga bahwa pemberian aminoglikosida pada bayi dengan
sakit

kritis


mengakibatkan

kegagalan

penutupan

duktus

arteriosus.

Kemungkinan kejadian PDA lebih tinggi pada bayi dibawah 25 minggu dan
diatas 32 minggu yang mendapat gentamisin. Aminoglikosida melalui proses
vasorelaksasi dan penghambatan oksigen mendukung keyakinan bahwa
pengobatan pada bayi sepsis dapat berkontribusi untuk relaksasi duktus
arteriosus.25
Neointimal cushion formation (NCF) merupakan remodeling pembuluh
darah untuk penutupan duktus arteriosus secara anatomis. Respon inflamasi
kepada cedera pembuluh darah atau aterosklerosis diketahui memiliki
hubungan terhadap patogenesis NCF. Proses inflamasi akan meningkatkan

interleukin 15 (IL-15), dimana secara signifikan dilemahkan PGE1 yang
diinduksi oleh produksi asam hialuronik yang menjadi stimulator dari NCF.
Demikian, IL-15 dikatakan memiliki efek pada remodeling pembuluh darah
pada proses penutupan duktus arteriosus.26

2.2 Sepsis Pada Neonatus
Sepsis neonatorum merupakan penyakit pada neonatus yang secara klinis
sakit dan menunjukkan kultur darah positif. Kecurigaan adanya kejadian
sepsis pada bayi baru lahir, apabila dijumpai adanya faktor risiko dari ibu
11

seperti; demam intrapartum diatas 38oC, persalinan kurang bulan, ketuban
pecah dini diatas 18 jam, asfiksia antenatal atau intrapartum, infeksi saluran
kemih ibu, dan beberapa faktor risiko neonatal yaitu; kelahiran kurang bulan,
neonatus dengan selang endotrakea, akses vena sentral, keteter infus,
neonatus yang minum susu formula.27
Infeksi dengan awitan dini pada umumnya diperoleh melalui jalur ibu
ke neonatus pada proses kelahiran, dengan menunjukkan menifestasi klinis
yang sering dijumpai yaitu berupa gawat nafas pada saat lahir, atau segera
setelah kelahiran.28 Kelahiran dari ibu yang memiliki faktor risiko infeksi

(seperti ketuban pecah dini) memiliki risiko infeksi 2,3 kali lebih tinggi
dibandingkan pada ibu yang tidak memiliki faktor risiko.29 Jika kejadian
ketuban pecah dini lebih dari 24 jam, peningkatan risiko infeksi semakin
meningkat. Studi kohort di Meksiko menunjukkan sepsis awitan dini
meningkat 3.38 kali pada ibu dengan ketuban pecah dini lebih dari 24 jam.30
Infeksi pada kemaluan ibu dikatakan menjadi penyebab utama kelahiran
prematur dan ketuban pecah dini dan menjadi alasan kuat dalam
memberikan antibiotik.31 Sepsis harus dicurigai pada neonatus dengan
dengan klinis distres pernafasan dan harus dilakukan pengambilan spesimen
untuk kultur terlebih dahulu sebelum pemberian antibiotik.27,32
Sepsis neonatal dapat dibagi menjadi 2 yaitu; awitan dini dan lanjut.
Dikatakan sepsis dengan awitan dini apabila kejadian dalam 5 sampai 7 hari
kehidupan dengan gejala klinis.33 Pada umumnya, infeksi yang diperoleh
12

infan pada periode intrapartum berasal dari jalur genital ibu.34 Dengan
adanya ruptur membran, flora normal pada vagina atau bakteri patogen
lainnya mencapai ke cairan amnion dan fetus.32,33
Hampir seluruh tipe dari grup β Streptococcus dan Escherrichia colli
dijumpai kurang lebih 75% pada kejadian sepsis awitan dini. Sejak pemberian

profilaksis intrapartum untuk β Streptococcus, beberapa institusi di Amerika
melaporkan pergesaran sepsis neonatal yang diakibatkan oleh gram
negatif.34 Diagnosis pasti pada sepsis neonatal ditegakkan dengan
dijumpainya kuman pada kultur darah.33 Studi di Pakistan menggambarkan
bahwa ketuban pecah dini menjadi faktor yang menyebabkan kejadian sepsis
neonatal sebanyak 4%, yang dibuktikan dengan pemeriksaan kultur darah
pada 72 jam kelahiran.34 Studi ini menunjukkan bahwa Klebsiella pneumoni
dan Pseudomonas aeruginosa yang paling sering dijumpai setelah grup β
Streptococcus dan Escherichia coli.35 Penelitian di Nigeria juga menunjukkan
gambaran yang sama, dimana organisme gram negatif mendominasi dengan
Klebsiella pneumoni yang menempati posisi teratas.36 Kebanyakan koloni
yang terisolasi sensitif terhadap pemberian floroquinolon, trimetoprim
/sulfametoksazole, kloramfenikol, aminoglikosida, tetrasiklin, piperasilintozabaktam dan karbapenem, dan resisten terhadap ampisilin, amoksisilin,
amoksisilin-klavulanat, sepalosporin generasi pertama dan cefositin. Produksi
β-laktamase merupakan mekanisme yang bertanggung jawab terhadap
kejadian resistensi pada kebanyakan koloni tersebut.37
13

Keputusan dalam memberikan antibiotik dan lamanya pemberian
antibiotik pada neonatus dengan distres pernafasan sangat sulit buat klinisi

dan juga dipengaruhi oleh data yang terbatas. Faktor lamanya pemberian
antibiotik meningkatkan potensi resistensi bakterial dan infeksi nosokomial,
meningkatkan biaya rawatan. Pemberian antibiotik yang tidak adekuat
mengakibatkan gejala klinis berulang, evaluasi terapi dan komplikasi infeksi
yang menetap.38 Akibat adanya potensial infeksi yang diakibatkan β
Streptococcus dan patogen lainnya, maka pemberian antibiotik pada
neonatus yang memiliki faktor risiko sepsis maupun klinis gawat nafas yang
persisten pada 4 sampai 6 jam kehidupan pertama, walaupun tanpa adanya
bukti adanya bakteremia. Pemberian antibiotik dilakukan selama 7 hari atau
lebih.38 Pemberian terapi empiris harus dimulai dengan kombinasi obat yang
sensitif terhadap pola kuman pada sentra masing-masing.36

2.3 Aminoglikosida
Setelah penisilin, aminoglikosida merupakan antibiotik yang sangat sering
digunakan pada neonatus, dan menjadi terapi empiris pada bayi dengan
sangkaan sepsis, dikombinasikan dengan golongan β-laktam. Aminoglikosida
merupakan golongan bakterisidal, dengan efek yang baik dan harga yang
rendah, akan tetapi jangkauan terapi yang sangat sempit dan farmakokinetik
yang bervariasi pada neonatus. Hipoksia, PDA ataupun sindroma gawat
nafas dapat merubah farmakokinetik dari amoniglikosida. Banyak penelitian
14

yang menghubungkan usia gestasi, berat badan, usia paska natal, komedikasi, fungsi ginjal dan faktor lain terhadap terapi aminoglikosida untuk
mengoptimalkan

efek

terapi

dan

mencegah

nefrotoksisitas

dan

ototoksisitas.39
Penelitian dii California menyimpulkan bahwa pemberian gentamisin
dengan dosis inisial 5 mg/kgbb, dilanjutkan dengan dosis rumatan 4 mg/kgbb
dapat menghasilkan serum drug level (SDL) pada taraf aman dan dosis
terapetik yang baik pada neonatus aterm, sedangkan pada kasus preterm
penundaan dosis rumatan selama 36 sampai 48 jam paska pemberian dosis
inisial dapat menghindari pengingkatan SDL yang tidak seharusnya.40
Penelitian

di

Inggris

menyimpulkan

bahwa

tidak

ada

perbedaan

farmakokinetik pada pemberian gentamisin dengan dosis 3,5 mg/Kg/hari
pada pasien dengan PDA maupun dengan closed ductus arteriosus.41
Antibiotik aminoglikosida bersifat sangat larut dalam air; maka, volume
distribusi (L/Kg) lebih besar pada neonatus dibandingkan anak. Hal ini secara
klinis penting dalam hal relevansi tata cara pemberian obat dengan puncak
konsentrasi dalam serum. Dosis aminoglikosida yang lebih besar dengan
interval yang lebih panjang dihubungkan dengan keterbatasan klirens ginjal,
yang dapat

menyebabkan keracunan akibat gangguan mekanisme yang

tidak terduga (misalnya, tidak diketahui disfungsi ginjal, asfiksia perinatal).42
Penelitian efek aminoglikosida terhadap ginjal pada pasien Neonatal
Intensive Care Unit (NICU) sudah banyak dilakukan, akan tetapi penelitian
15

mengenai efek hipotensi dan depresi miokardial setelah pemberian
gentamisin dan jenis aminoglikosida lainnya dijumpai pada penelitian dengan
sampel tikus. Dikatakan bahwa perubahan dalam aliran kalsium intraseluler
menjadi mekanisme dasar yang memberikan efek di jantung. Aminoglikosida
menghambat fosfolipase C dan PLC-yang diinduksi oleh proses hidrolisis dari
fosfolipid inositol, mencegah terjadinya peningkatan kalsium dalam induksi
kontraktilitas dari tonus pembuluh darah. Pencegahan terhadap fosfolipase D,
protein kinase C dan aktifitas kanal kalsium menjadi bagian dari mekanisme
aminoglikosida. Penelitian yang mengetahui adanya efek gentamisin
terhadap vasodilatasi duktus arteriosus pada janin tikus, terjadi pada
pemberian gentamisin dengan peningkatan dosis 100 sampai 1000 kali lipat
lebih tinggi dari tingkat kadar serum yang menjadi target, dikatakan juga
bahwa penggunaan terapi aminoglikosida bolus dan berkepanjangan memiliki
efek vasodilatasi subklinis yang tidak diinginkan pada duktus arteriosus.26
Peluang farmakofisiologi tidak terlihat pada saat farmakokinetik awal
gentamisin tidak ditentukan. Sebagai contoh, volume distribusi gentamisin
diatas 0,7 L/kg dikatakan dapat mengakibatkan PDA pada 90% kasus, baik
PDA

simtomatik

maupun

asimtomatik.

Pembuangan

sisa

metabolit

(clearance) gentamisin juga dapat digunakan sebagai tanda pengganti laju
filtrasi glomerulus.43

2.3.1 Toksisitas Jantung oleh Aminoglikosida
16

Berbagai macam farmakologi dan faktor lingkungan mempengaruhi fungsi
kardiovaskular. Belakangan ini, toksisitas obat terhadap otot jantung dan otot
halus pembuluh darah menjadi perhatian para ahli. Aminoglikosida selain
memiliki aktifitas antibakterial, juga menginhibisi sinaps transmitter berbagai
sambungan

neuroefektor,

depresi

respon

saraf

serebral

terhadap

katekolamin, depresi fungsi jantung dan relaksasi berbagai otot halus.
Penelitian efek inhibisi antibiotik aminoglikosida terhadap metabolism kalsium
telah diuji diberbagai jaringan. Beberapa keyakinan yang dihadapi adalah
proses kalsium pada tingkat eksitasi membran sampai terjadinya pergerakan
ataupun fungsi sekresi, dikatakan ikatan aminoglikosida dan kalsium menjadi
aspek penting terjadinya toksisitas farmakologi terhadap jantung. Penelitian
pada hewan berkuku belah di Australia, dijumpai depresi atrium kiri sejalan
dengan kadar konsentrasi antibiotik aminoglikosida.44
Hipotesa tersebut didukung dengan temuan dari penelitian pada
kelinci yang prematur pada tahun 2008 di New Zealand menyimpulkan
adanya prematuritas sel otot halus dari duktus arteriosus mengakibatkan
prematuritas pada fungsi kalsium yang mengakibatkan kegagalan pengikatan
oksigen yang menjadi salah satu bagian penting pada proses penutupan
duktus arteriosus. Hal ini menunjukkan besarnya fungsi kalsium tehadap
proses vasokonstriksi duktus arteriosus.45
Penelitian di Jerman terhadap hewan berkuku belah dengan hipotesis
bahwa antibiotik aminoglikosida mengakibatkan perpindahan kalsium dari
17

jaringan otot jantung yang berefek terhadap fungsi jantung, dijumpai hasil
konsentrasi gentamisin 1mM, mengakibatkan penurunan kontraktilitas
sebesar 68% dengan penurunan kadar kalsium di tingkat jaringan dan seluler
adalah 9% dan 15%, dan konsentrasi 3mM menurunkan kontraktilitas
sebanyak 85% dengan penurunan kadar kalsium di tingkat jaringan dan
seluler adalah 12% dan 20%.46

2.4 Terapi
Tatalaksana PDA pada bayi prematur sering mengalami kontroversi, dimana
beberapa ahli berpendapat pengobatan secara agresif, akan tetapi pendapat
lain lebih menyetujui penundaan terapi untuk memberikan kesempatan
penutupan duktus secara spontan.47
Ibuprofen sebagai golongan anti-inflamasi nonsteroid, menghambat
siklooksigenase 1 dan 2, yaitu enzim yang diperlukan untuk konversi asam
arakidonat menjadi berbagai prostaglandin. Regimen untuk pengobatan PDA
dengan ibuprofen terdiri dari tiga dosis. Jika duktus arteriosus gagal menutup,
terapi ibuprofen tahap kedua dapat diberikan. Akibat ketersediaan obat yang
sangat terbatas, indometasin menjadi jarang digunakan. Penelitian di Belgia,
penutupan PDA lebih bermakna pada kelompok ibuprofen dibandingkan
dengan indometasin. Prediktor kegagalan terapi diidentifikasi: 1) usia
kehamilan