Pendugaan Potensi Lestari dan Pertumbuhan Ikan Kembung (Rastrelliger spp.) yang Didaratkan di Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan Sumatera Utara

TINJAUAN PUSTAKA

Ikan Kembung (Rastrelliger spp.)
Ikan Kembung merupakan salah satu ikan pelagis yang sangat potensial di
Indonesia dan hampir seluruh perairan Indonesia ikan ini tertangkap dalam jumlah
besar maupun sedikit. Di perairan Indo-Pasifik terdapat 3 spesies ikan Kembung
yaitu:

Rastrelliger

kanagurta,

Rastrelliger

neglectus,

dan

Rastrelliger

branchysoma. Tetapi Rastrelliger branchysoma jarang ditemukan dan hanya

terdapat di perairan Indonesia bagian timur saja yaitu sekitar Maluku
(Lubis, 1990). Gambar ikan Kembung dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Ikan Kembung (Rastrelliger spp.)
Klasifikasi ikan Kembung menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum

: Chordata

Kelas

: Pisces

Ordo

: Percomorpy

Famili


: Scombridae

Genus

: Rastrelliger

Spesies

: Rastrelliger spp.

Universitas Sumatera Utara

6

Ikan Kembung Lelaki memiliki ciri-ciri terdapat dua sirip punggung secara
terpisah yang masing-masing terdiri dari 8 hingga 9 jari-jari lemah. Sirip dada
terdiri dari 16 hingga 19 jari-jari sirip lemah, sirip perut terdiri dari 7 hingga 8
jari-jari lemah, sirip ekor terdiri dari 50 hingga 52 jari-jari lemah bercabang dan
sisik pada garis rusuk (linea lateralis) terdiri atas 127 hingga 130 buah sisik.
Selain itu, ikan ini memiliki panjang total 3,4 sampai 3,8 kali tinggi badan dan

panjang kepala lebih dari tinggi kepala (Fandri, 2012).
Ikan Kembung perempuan memiliki bentuk tubuh pipih dengan bagian
dada lebih besar daripada bagian tubuh yang lain dan ditutupi oleh sisik yang
berukuran kecil dan tidak mudah lepas. Warna tubuh biru kehijauan di bagian
punggung dengan titik gelap atau bintik-bintik hitam di atas garis rusuk
sedangkan bagian bawah tubuh berwarna putih perak. Sirip punggung (dorsal)
terpisah nyata menjadi dua buah sirip, masing-masing terdiri atas 10 hingga 11
jari-jari keras dan 12 hingga 13 jari-jari lemah. Sirip dubur (anal) berjari-jari
lemah 12. Di belakang sirip punggung kedua dan sirip dubur terdapat 5 sampai 6
sirip tambahan yang disebut finlet. Sirip perut (ventral) terdiri dari 1 jari-jari keras
dan 5 jari-jari lemah. Sirip ekor (caudal) bercagak dalam dan sirip dada (pectoral)
lebar dan meruncing. Mata mempunyai selaput yang berlemak, gigi yang kecil
pada tulang rahang. Tapis insang halus 29-34, pada bagian bawah busur insang
pertama tapis insang panjang (Astuti, 2007).

Distribusi Ikan Kembung (Rastrelliger spp.)
Ikan

Kembung


yang

tergolong

dalam

kelompok

mackerel

ini

penyebarannya dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu: penyebaran secara vertikal

Universitas Sumatera Utara

7

dan horizontal. Penentuan batas penyebaran secara vertikal penting sekali
diketahui supaya kedalaman alat tangkap dapat disesuaikan dengan kedalaman

renang ikan tersebut. Penyebaran ikan secara horizontal perlu diketahui untuk
penentuan daerah penangkapan ikan (Laevastu dan Hayes, 1981). Secara umum
penyebaran ikan Kembung di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Peta Distribusi Ikan Kembung di Indonesia (GBIF OBIS, 2010)
Distribusi ikan Kembung lelaki secara geografis sangat luas, kecuali
bagian selatan perairan pantai Australia, bagian barat Laut Merah dan bagian
timur Jepang. Ikan Kembung lelaki daerah penyebarannya hampir terdapat di
seluruh perairan Indonesia dengan konsentrasi terbesar di Kalimantan Timur
(Tanjung Satai), Kalimantan Selatan (Pegatan), Laut Jawa, Selat Malaka,
Sulawesi Selatan dan Arafuru. Ikan Kembung lelaki merupakan ikan pelagis yang
sering ditemukan dalam bentuk kelompok besar di permukaan. Makanannya
adalah mikroorganisme plankton, terutama crustacea. Ikan Kembung perempuan
penyebarannya meliputi Laut Andaman (Indonesia), Thailand, Philipina, dan
bagian Utara Kepulauan Fiji. Di Indonesia sendiri penyebarannya meliputi
perairan pantai dengan konsentrasi terbesar di Kalimantan, Sumatera Barat, Laut
Jawa, Selat Malaka, Sulawesi Tenggara (Muna-Buton) dan Arafur.

Ikan


Kembung perempuan (Rastrelliger branchysoma) hidup berkelompok dalam

Universitas Sumatera Utara

8

jumlah yang besar pada perairan pantai dengan kedalaman antara 10-50 m
(Fischer dan Whitehead, 1974).
Ikan Kembung di Laut Jawa dipengaruhi angin musim. Pada saat musim
angin timur yaitu pada bulan Desember-Februari sekelompok ikan Kembung
bergerak dari arah Laut Jawa menuju arah Barat. Kelompok ikan Kembung ini
perlahan-lahan menghilang dari Laut Jawa kemudian selang beberapa minggu
ikan Kembung yang baru memasuki Laut Jawa dari arah Timur. Sebaliknya
terjadi pada saat Musim Barat yaitu pada bulan Juni-September, dinamika stok
ikan Kembung yang masuk ke Laut Jawa berasal dari Laut Cina Selatan dan
Samudra Hindia melalui Selat Sunda (Hardenberg, 1938).

Alat Tangkap Ikan Kembung (Rastrelliger spp.)
Nelayan di Belawan dalam melakukan operasi penangkapan ikan
menggunakan berbagai alat penangkapan ikan. Ikan Kembung biasanya ditangkap

dengan menggunakan alat tangkap pukat cincin, jaring insang dan lampara dasar.
Aktivitas perikanan di daerah Belawan tergolong tinggi. Hasil tangkapan
purse seine mendominasi jumlah hasil tangkapan yang didaratkan di Pelabuhan
Perikanan Samudera (PPS) Belawan. Secara umum, hasil tangkapan yang
didaratkan di PPS Belawan masih cukup baik dan layak dikonsumsi. Hal ini
disebabkan operasi penangkapan kapal purse seine umumnya cukup lama
(Ismy dkk., 2014).
Purse seine digolongkan dalam jenis jarang lingkar yang cara operasinya
adalah dengan melingkarkan jaring pada suatu kelompok ikan di suatu perairan,
kemudian ditarik ke kapal. Alat ini merupakan jaring lingkar yang telah

Universitas Sumatera Utara

9

mengalami perkembangan setelah beach seine (jaring tarik pantai) dan ring net.
Disebut pukat cincin, karena alat ini dilengkapi dengan cincin dan juga termasuk
didalamnya tali cincin dan tali kerut ini penting terutama waktu pengoperasian
jaring. Sebab dengan adanya tali kerut tersebut jaring yang semula tidak
berkantong akan terbentuk kantong pada saat akhir penangkapan (Genisa, 1998).

Pukat cincin termasuk alat tangkap yang produktif khususnya untuk
menangkap ikan-ikan pelagis baik yang terdapat di perairan pantai maupun lepas
pantai. Penangkapan ikan dengan menggunakan pukat cincin merupakan salah
satu metode penangkapan yang paling agresif dan ditujukan untuk penangkapan
gerombolan ikan pelagis. Alat tangkap ini dapat menangkap ikan dari segala
ukuran mulai dari ikan-ikan kecil hingga ikan-ikan besar tergantung pada ukuran
mata jaring yang digunakan. Semakin kecil ukuran mata jaring semakin banyak
ikan-ikan kecil yang tertangkap karena tidak dapat meloloskan diri dari mata
jaring (Sainsbury, 1996). Alat tangkap pukat cincin dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Alat Tangkap Pukat Cincin (Dirjen KKP, 2015)

Universitas Sumatera Utara

10

Jaring insang adalah alat penangkapan ikan berupa jaring yang pada
umumnya berbentuk empat persegi panjang yang mempunyai ukuran mata jaring
(mesh size) yang sama pada seluruh badan jaring, di mana jumlah mata jaring ke
arah panjangnya lebih banyak daripada jumlah mata jaring ke arah lebarnya atau

dalamnya. Jaring insang dikenal dengan sebutan gill net, hal ini karena ikan-ikan
yang tertangkap bagian insangnya atau operkulumnya terjerat atau terpuntal pada
mata jaring tersebut (Efkipano, 2012).
Alat tangkap ini berbentuk empat persegi panjang yang dilengkapi dengan
pelampung, pemberat ris atas, ris bawah (kadang tanpa ris bawah). Besar mata
jaring bervariasi disesuaikan dengan sasaran yang akan ditangkap (ikan, udang).
Ikan yang tertangkap itu karena terjerat (gilled) pada bagian belakang lubang
penutup insang (operculum), terbelit atau terpuntal (entangle) pada mata jaring
yang terdiri dari satu lapis, dua lapis maupun liga lapis. Jaring ini terdiri dari
satuan-satuan jaring yang biasa disebut tinting (piece). Dalam operasi
penangkapannya biasanya terdiri dari beberapa tinting yang digabung menjadi
satu sehingga merupakan satu perangkat (unit) yang panjang (300-500 m),
tergantung dari banyaknya tinting yang akan dioperasikan. Jaring insang termasuk
alat tangkap selektif, besar mata jaring dapat disesuaikan dengan ukuran ikan
yang akan ditangkap (Genisa, 1998).
Pengoperasian jaring dilakukan pada sore hari atau menjelang matahari
terbenam dan selesai pada pagi dini hari. Sekitar pukul 15.00 kapal berangkat dari
gudang kapal, sekitar sekitar pukul 17.00 kapal sudah berada dilokasi fishing base
yang kemudian bersiap untuk melakukan setting. Penebaran jaring (setting)


Universitas Sumatera Utara

11

dilakukan 2 kali dalam 1 malam untuk 1 ukuran mata jaring (mesh size)
(Tambunan dkk., 2010). Alat tangkap jaring insang dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Alat Tangkap Jaring Insang (PERMEN-KP 8, 2008)
Lampara dasar termasuk alat tangkap pukat tarik. Pengoperasian alat
penangkapan ikan pukat tarik dilakukan dengan cara melingkari gerombolan ikan
pelagis atau ikan demersal dengan menggunakan kapal atau tanpa kapal. Pukat
ditarik kearah kapal yang sedang berhenti atau berlabuh jangkar atau ke
darat/pantai melalui tali selambar di kedua bagian sayapnya. Pengoperasiannya
dilakukan pada permukaan, kolom maupun dasar perairan umumnya untuk
menangkap ikan pelagis maupun ikan demersal tergantung jenis pukat tarik yang
digunakan. Pukat tarik pantai dioperasikan di daerah pantai untuk menangkap ikan
pelagis dan demersal yang hidup di daerah pantai. Dogol dan lampara dasar - 9 dioperasikan pada dasar perairan umumnya menangkap ikan demersal. Payang
dioperasikan di kolom perairan umumnya menangkap ikan pelagis (KEPMEN 6,
2010). Alat tangkap lampara dasar dapat dilihat pada Gambar 6.


Universitas Sumatera Utara

12

Gambar 6. Alat Tangkap Lampara Dasar (PERMEN-KP 2, 2015)

Pertumbuhan
Faktor‐faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dapat digolongkan
menjadi dua bagian yang besar yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor‐faktor
ini ada yang dapat dikontrol dan ada juga yang tidak. Faktor dalam umumnya
adalah faktor yang sulit untuk dikontrol, diantaranya adalah keturunan, jenis
kelamin, umur, parasit, dan penyakit. Faktor luar yang utama mempengaruhi
pertumbuhan seperti suhu air, kandungan oksigen terlarut, amonia, salinitas, dan
fotoperiod (panjang hari). Faktor-faktor tersebut berinteraksi satu sama lain dan
bersama‐sama dengan faktor‐faktor lainnya seperti kompetisi, jumlah dan kualitas
makanan, umur, serta tingkat kematian yang dapat mempengaruhi laju
pertumbuhan ikan (Effendie, 1997).
Ikan-ikan muda akan memiliki pertumbuhan yang relatif cepat sedangkan
ikan-ikan dewasa akan semakin lambat untuk mencapai panjang asimptot atau
panjang maksimumnya, selanjutnya akan terhenti pada saat mencapai panjang
asimptotnya. Hal ini disebabkan karena energi yang diperoleh dari makanan tidak
lagi dipergunakan untuk mengganti sel-sel tubuh yang rusak dan kematangan
gonad (Nikolsky, 1963).

Universitas Sumatera Utara

13

Ada beberapa metode yang umum digunakan untuk menduga parameterparameter pertumbuhan (K = koefisien pertumbuhan; L∞ = panjang asimtotik; t0 =
umur ikan ketika panjangnya sama dengan nol), yaitu plot Gulland & Holt, plot
Ford-Walford, metode Chapman, dan plot von Bertalanffy. Plot Gulland & Holt
hanya akan masuk akal jika nilai Δt (interval waktu) kecil. Keunggulan metode ini
adalah nilai Δt tidak perlu menjadi konstanta. Plot Ford-Walford dapat
mengestimasi nilai L∞ dan K secara cepat tanpa penghitungan-penghitungan.
Akan tetapi, metode yang dikembangkan oleh Chapman dan Gulland ini hanya
bisa diaplikasikan jika observasi-observasi yang dilakukan bersifat berpasangan
karena nilai Δt menjadi suatu konstanta. Plot von Bertalanffy dianggap lebih baik
dari metode-metode lain karena dapat mengestimasi nilai K yang lebih masuk
akal, dengan catatan digunakan suatu estimasi yang masuk akal dari L∞.
Kekurangan dari metode ini adalah tidak bisa menerima Lt yang lebih besar dari
L∞ padahal hal tersebut mungkin saja terjadi pada ikan yang sangat tua
(Sparre dan Venema, 1999).
Determinasi nilai K sangat efektif untuk menganalisis perkembangan atau
penurunan aktivitas makan sesuai dengan perubahan ketersediaan makanan.
Penurunan nilai L∞ dan K untuk jenis yang sama di perairan yang sama dapat
disebabkan oleh perbedaan waktu pengambilan contoh, tekanan penangkapan
yang semakin tinggi dengan penggunaan ukuran mata jaring yang relatif lebih
kecil (Amir, 2006).
Analisis hubungan panjang berat bertujuan untuk mengetahui pola
pertumbuhan ikan dengan menggunakan parameter panjang dan berat. Berat
dapat dianggap sebagai salah satu fungsi dari panjang. Nilai yang didapat dari

Universitas Sumatera Utara

14

perhitungan panjang berat ini adalah untuk menduga berat dari panjang atau
sebaliknya. Selain itu juga dapat diketahui pola pertumbuhan, kemontokan, dan
pengaruh perubahan lingkungan terhadap pertumbuhan ikan (Effendie, 1997).
Hubungan panjang berat sangat penting dalam biologi perikanan, karena
dapat memberikan informasi tentang kondisi stok. Data biologi berupa panjang
dan bobot melalui proses lebih lanjut akan menghasilkan keluaran terakhir berupa
tingkat

penangkapan

optimum

dan

hasil

tangkapan

maksimum

lestari

(Sparre dan Venema, 1998).
Hasil analisis pertumbuhan panjang-bobot akan menghasilkan suatu nilai
konstanta (b), yang akan menunjukkan laju pertumbuhan parameter panjang dan
bobot. Ikan yang memiliki nilai b = 3 (isometrik) menunjukkan pertambahan
panjangnya seimbang dengan pertambahan bobot. Sebaliknya jika nilai b ≠ 3
(allometrik) menunjukkan pertambahan panjang tidak seimbang dengan
pertambahan bobotnya. Jika pertambahan bobot lebih cepat dibandingkan
pertambahan panjang (b > 3), maka disebut sebagai pertumbuhan allometrik
positif. Sedangkan apabila pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan
pertambahan bobot (b < 3), maka disebut sebagai pertumbuhan allometrik negatif
(Effendie, 1997).
Hubungan panjang (L) dan berat (W) dengan rumus (Effendie, 1997):
W = aLb
Keterangan :
W = Berat ikan (gram)
L
= Panjang ikan (mm)
a, b = Konstanta

Universitas Sumatera Utara

15

Faktor Kondisi
Faktor kondisi yaitu keadaan atau kemontokan ikan yang dinyatakan
dalam angka-angka. Perhitungan faktor kondisi didasarkan pada panjang dan
bobot. Perhitungan faktor kondisi ini untuk melihat pada panjang dan bobot
berapa ikan mencapai kondisi maksimum atau minimum. Faktor kondisi dapat
mengindikasikan musim pemijahan bagi ikan khususnya untuk ikan-ikan betina
(Effendie, 1997).
Nilai faktor kondisi dipengaruhi makanan, umur, jenis kelamin dan
kematangan gonad. Selain itu faktor kondisi juga dipengaruhi oleh indeks relatif
penting makanan dan pada ikan betina dipengaruhi oleh indeks kematangan
gonad. Ikan yang cenderung menggunakan cadangan lemaknya sebagai sumber
tenaga selama proses pemijahan, sehingga akibatnya ikan akan mengalami
penurunan faktor kondisi (Effendie, 1979).
Perhitungan faktor kondisi terdiri atas dua persamaan, yaitu persamaan
faktor kondisi (K(TL) untuk petumbuhan isometrik (b = 3) dan persamaan faktor
kondisi (Kn) untuk pertumbuhan allometrik (b ≠ 3) (Damayanti, 2010).

Mortalitas dan Laju Eksploitasi
Mortalitas terdiri atas motalitas karena penangkapan dan mortalitas dan
mortalitas alami yang meliputi berbagai peristiwa seperti kematian karena
penyakit, predasi dan umur. Laju mortalitas penangkapan (fishing mortality rate)
merupakan fungsi dari upaya penangkapan (fishing effort), yang mencakup
jumlah, jenis, efektivitas dari alat penangkapan dan waktu yang digunakan untuk
melakukan penangkapan (Widodo dan Suadi, 2006).

Universitas Sumatera Utara

16

Mortalitas alami adalah mortalitas yang terjadi karena berbagai sebab
selain penangkapan seperti pemangsaan, penyakit, stres pemijahan, kelaparan dan
usia tua. Laju mortalitas total (Z) adalah penjumlahan laju mortalitas penangkapan
(F) dan laju mortalitas alami (M) (King 1995). Nilai laju mortalitas alami
berkaitan dengan nilai parameter pertumbuhan von Bertalanffy K dan∞.L

Ikan

yang pertumbuhannya cepat (nilai K tinggi) mempunyai M tinggi dan sebaliknya.
Nilai M berkaitan dengan nilai L∞ karena pemangsa ikan besar lebih sedikit dari
ikan kecil. Mortalitas penangkapan adalah mortalitas yang terjadi akibat adanya
aktivitas penangkapan (Sparre dan Venema, 1999).
Laju eksploitasi (E) merupakan bagian suatu kelompok umur yang akan
ditangkap selama ikan tersebut hidup atau dapat diartikan sebagai jumlah ikan
yang ditangkap dibandingkan dengan jumlah total ikan yang mati karena semua
faktor baik faktor alam maupun faktor penangkapan. Eksploitasi optimal dicapai
jika laju mortalitas penangkapan (F) sama dengan laju mortalitas alami (M), yaitu
0,5 (Pauly, 1984).

Pendugaan Potensi Lestari
Konsep

yang

mendasari

upaya

pengelolaan

adalah

pemanfaatan

sumberdaya yang didasarkan pada sistem dan kapasitas daya dukung (carrying
capacity) alamiahnya. Besar kecilnya hasil tangkapan tergantung pada jumlah
stok alami yang tersedia di perairan dan kemampuan alamiah dari habitat untuk
menghasilkan biomassa ikan. Oleh karena itu, upaya pengelolaan diawali dengan
pengkajian stok agar potensi stok alaminya dapat diketahui. Analisis diawali
dengan pengkajian stok sumberdaya yang hendak dikelola. Pada saat yang sama

Universitas Sumatera Utara

17

juga dilakukan pemantauan terhadap upaya penangkapan, terutama untuk
memantau apakah sudah terjadi eksploitasi yang berlebih, dengan melihat hasil
tangkapan per upaya (CPUE) dan ukuran yang tertangkap (Hariyanto dkk., 2008).
Over exploited mengakibatkan waktu melaut menjadi lebih panjang, lokasi
penangkapan lebih jauh, produktivitas (hasil tangkap per satuan upaya atau Catch
Per Unit Effort (CPUE) menurun, dan biaya penangkapan yang menjadi besar
sehingga menyebabkan menurunnya keuntungan nelayan. Hal-hal di atas adalah
indikasi terjadinya overfishing (Purwaningsih dkk., 2012).
Hasil tangkapan per unit upaya atau Catch Per Unit Effort (CPUE)
merupakan angka yang menggambarkan perbandingan antara hasil tangkapan per
unit upaya atau usaha. Nilai ini biasa digunakan untuk melihat kemampuan
sumberdaya apabila dieksploitasi terus-menerus. Nilai CPUE yang menurun dapat
menandakan bahwa potensi sumberdaya sudah tidak mampu menghasilkan lebih
banyak walaupun upaya ditingkatkan. Pendekatan model Schaefer menggunakan
data hasil tangkapan tahunan dan usaha penangkapan dalam jangka lama dan
berasumsi berada dalam kondisi seimbang dengan usaha penangkapan
menunjukkan kurva parabola yang simetris (King, 1995).
Pemanfaatan alat tangkap yang berbeda menyebabkan perlu dilakukan
standarisasi sebelum melakukan perhitungan pendugaan potensi sumberdaya.
Standarisasi bertujuan untuk menyeragamkan satuan-satuan yang berbeda menjadi
satuan upaya (jumlah satuan operasi) yang sama. Standarisasi dilakukan
berdasarkan produksi hasil tangkapan (catch) dan upaya penangkapan (effort)
setiap jenis alat tangkap untuk mendapatkan produktivitasnya setiap tahun
(Rosana dan Prasita, 2015).

Universitas Sumatera Utara

18

Unit penangkapan

yang dijadikan

sebagai standar adalah jenis unit

penangkapan yang paling dominan menangkap jenis-jenis ikan tertentu di suatu
daerah (mempunyai laju tangkapan rata-rata per CPUE terbesar pada periode
waktu tertentu dan memiliki nilai faktor daya tangkap (fishing power indeks) sama
dengan satu (Nurhayati, 2013).
Perencanaan yang akurat dalam pengembangan sumberdaya perikanan
tangkap sangat diperlukan agar sumberdaya perikanan dapat dimanfaatkan secara
rasional dan berkelanjutan. Untuk perencanaan pengelolaan sumberdaya
perikanan tangkap dibutuhkan data dan informasi tentang tingkat eksploitasi
sumberdaya serta besaran upaya tangkap (Catch Per Unit Effort) yang telah
dilakukan selama ini oleh nelayan dan pengusaha di bidang perikanan tangkap.
Hasil maksimum lestari atau Maximum Sustainable Yield (MSY) adalah salah satu
acuan biologi yang digunakan untuk mencapai tujuan pengelolaan perikanan
(Ali, 2005).
MSY bertujuan untuk melindungi stok pada tingkat yang aman agar tetap
berada pada level yang seimbang sehingga tidak terjadi penurunan produksi pada
berikutnya. MSY ini dapat berlangsung secara terus-menerus jika segala faktor
lingkungan lainnya berjalan dengan baik. Konsep MSY bertujuan untuk menjaga
stok pada level yang aman sebagai standar pemanfaatan sumberdaya. Konsep ini
diterima secara umum pada tahun 1950 untuk konservasi stok biota perairan agar
tetap pada level yang tinggi sehingga tidak terjadi penurunan produksi walaupun
lingkungan berada dalam kondisi tidak menguntungkan (King, 1995).

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Analisis Pertumbuhan dan Laju Eksploitasi Ikan Tongkol (Auxis thazard) yang Didaratkan di KUD Gabion Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan Sumatera Utara

5 78 74

Pertumbuhan dan Laju Eksploitasi Ikan Tongkol Komo (Euthynnus affinis Cantor 1849) yang Didaratkan di KUD Gabion Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan Sumatera Utara

14 86 80

Pendugaan Potensi Lestari dan Pertumbuhan Ikan Kembung (Rastrelliger spp.) yang Didaratkan di Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan Sumatera Utara

2 17 108

Pertumbuhan dan Laju Eksploitasi Ikan Tongkol Komo (Euthynnus affinis Cantor 1849) yang Didaratkan di KUD Gabion Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan Sumatera Utara

1 1 15

Pertumbuhan dan Laju Eksploitasi Ikan Tongkol Komo (Euthynnus affinis Cantor 1849) yang Didaratkan di KUD Gabion Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan Sumatera Utara

0 0 2

Pertumbuhan dan Laju Eksploitasi Ikan Tongkol Komo (Euthynnus affinis Cantor 1849) yang Didaratkan di KUD Gabion Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan Sumatera Utara

0 0 5

Pendugaan Potensi Lestari dan Pertumbuhan Ikan Kembung (Rastrelliger spp.) yang Didaratkan di Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan Sumatera Utara

0 0 17

Pendugaan Potensi Lestari dan Pertumbuhan Ikan Kembung (Rastrelliger spp.) yang Didaratkan di Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan Sumatera Utara

0 0 2

Pendugaan Potensi Lestari dan Pertumbuhan Ikan Kembung (Rastrelliger spp.) yang Didaratkan di Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan Sumatera Utara

0 0 5

Pendugaan Potensi Lestari dan Pertumbuhan Ikan Kembung (Rastrelliger spp.) yang Didaratkan di Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan Sumatera Utara

0 0 20