Pengaruh Work-To-Family Conflict Dan Stres Kerja Terhadap Komitmen Organisasi Dengan Kepuasan Kerja Sebagai Variabel Intervening Pada Pt. Pelabuhan Indonesia I (Persero) Medan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Penelitian Terdahulu
Pengkajian tentang penelitian terdahulu dimaksudkan untuk mengetahui

hubungan antara penelitian yang sudah pernah dilakukan dengan penelitian yang
akan dilakukan. Beberapa penelitian sebelumnya beserta dengan hasil penelitian
dapat dilihat dalam Tabel 2.1 berikut:
Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu
No

Judul

Penulis

Alat Analisis


Hasil Penelitian

1

Work-To-Family Conflict
dan
Family-To-Work
Conflict
terhadap
Kepuasan dalam Bekerja,
Keinginan Pindah Tempat
Kerja
dan
Kinerja
Karyawan.

Amelia
(2010)

Structural

Equation Model
(SEM)

2

Pengaruh Work-Family
Conflict dan Kepuasan
Kerja terhadap Komitmen
Organisasional
dan
Turnover Intention

Utama dan
Sintaasih
(2015)

Analisis Jalur
(Path Analysis)

3


Pengaruh Konflik Kerja
dan Stres Kerja terhadap
Komitmen Organisasional
dan Kinerja Karyawan
(Studi pada karyawan PT.
Telekomunikasi
Indonesia, Tbk Witel
Malang)

Iresa et.al
(2015)

Analisis
Jalur
(Path Analysis)

Work-To-Family Conflict dan
Family-To-Family
Conflict

mempunyai hubungan negatif
terhadap Kepuasan dalam
Bekerja dan Kinerja Karyawan
sedangkan
Work-To-Family
Conflict dan Work-To-Family
Conflict mempunyai hubungan
positif terhadap Keinginan
Pindah Tempat Bekerja
Work-Family
Conflict
berpengaruh
negatif
dan
signifikan terhadap Komitmen
Organisasi dan Kepuasan
Kerja berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap Turnover
Intention sedangkan WorkFamily Conflict berpengaruh
positif dan signifikan terhadap

Turnover
Intention
dan
Kepuasan Kerja berpengaruh
positif dan signifikan terhadap
Komitmen Organisasional
Konflik Kerja dan Stres Kerja
berpengaruh
negatif
dan
signifikan terhadap Komitmen
Organisasional
sedangkan
Komitmen
Organisasional
berpengaruh
positif
dan
signifikan terhadap Kinerja
Karyawan


Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.1 Lanjutan
No

Judul

Penulis

Alat Analisis

Hasil Penelitian

4

Pengaruh
Konflik
Pekerjaan-Keluarga
terhadap

Komitmen
Organisasi
dengan
Kepuasan Kerja

Puspitasari
(2012)

Analisis
Jalur
(Path Analysis)

5

Pengaruh Stres Kerja
terhadap Kepuasan Kerja
dan
Komitmen
Organisasional Karyawan
UD. Ulam Sari Denpasar


Wibowo
(2014)

Partial
Least
Square (PLS)

6

The relation between
Work-Family
Conflict,
Job
Stress,
Organizational
Commitment and Job
Performance: A Study on
Turkish primary teachers
Work-Family Conflict and

Organizational
Commitment: Study of
Faculty
Members
in
Pakistani Universities

Nart and
Batur
(2014)

Regression
Analysis

Rehman
and
Waheed
(2012)

Anova


8

Work-Family Conflict and
Job Performance: Lesson
from a Southeast Asian
Emerging Market

Warokka
and
Febrilia
(2015)

Stuctural
Equation Model
(SEM)

9

Work-Family

role
Conflict
and
Organizational
Commitment
among
industrial workers in
Nigeria

Akintayo
(2010)

Regresion
Analysis

Konflik
Kerja-Keluarga
berpengaruh
negatif
dan
signifikan terhadap Komitmen
Organisasi dan Kepuasan Kerja
sedangkan Kepuasan Kerja
berpengaruh
positif
dan
signifikan terhadap Komitmen
Organisasi
Stres Kerja berpengaruh negatif
terhadap Komitmen Organisasi,
Stres Kerja berpengaruh negatif
terhadap Kepuasan Kerja dan
Kepuasan Kerja berpengaruh
positif terhadap Komitmen
Organisasi
Konflik
Pekerja-Keluarga
berhubungan positif terhadap
Stres Kerja, Konflik PekerjaKeluarga dan Stres Kerja
berhubungan negatif terhadap
Komitmen Organisasi dan
Prestasi Kerja
Konflik
Kerja-Keluarga
berpengaruh negatif terhadap
Komitmen Organisasi dan tidak
ada
perbedaan
signifikan
Konflik Kerja-Keluarga antara
pria dan wanita terhadap
Komitmen Organisasi
Konflik Kerja-Keluarga dan
Konflik
Keluarga-Kerja
berpengaruh
negatif
dan
signifikan terhadap Kepuasan
Kerja, Konflik Kerja-Keluarga
berpengaruh
signifikan
terhadap Keinginan Pindah
Bekerja dan Konflik KeluargaKerja
tidak
berpengaruh
signifikan terhadap Keinginan
Pindah Bekerja
Konflik Peran Kerja-Keluarga
memiliki pengaruh negatif
terhadap Komitmen Organisasi
dan
menunjukkan
ada
perbedaan yang signifikan
Konflik Peran Kerja-Keluarga
antara pria dan wanita terhadap
Komitmen Organisasi

7

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.1 Lanjutan
No

Judul

Penulis

Alat Analisis

Hasil Penelitian

10

The Impact of Job Stress
on
Employee
Job
Satisfaction: A Study on
Private
Colleges
of
Pakistan

Rehman
et.al
(2012)

Analisis Regresi
Linier Berganda

Stres
Kerja
berhubungan
negatif dengan Kepuasan Kerja
karyawan dan
Lingkungan
Kerja berhubungan positif
terhadap Kepuasan Kerja.

11

Work-Family Conflict and
Stress: Evidence from
Malaysia
Role of Work Family
Conflict
on
Organizational
Commitment
and
Organizational
Effectiveness
in
The
Institute of Southern
Punjab-Pakistan
Antecedents of Job Stress
and its impact on Job
Performance and Job
Satisfaction
in
The
Islamia University of
Bahawalpur Pakistan

Jamadin
et.al
(2015)
Malik and
Abdul
(2015)

Anova

Konflik
Kerja-Keluarga
berpengaruh
positif
dan
signifikan terhadap Stres
Konflik
Kerja-Keluarga
memiliki hubungan negatif
dengan Komitmen Organisasi
dan Efektivitas Organisasi

Waseem
and
Bukhari
(2014)

Regresion
Analysis

14

Work Family conflict,
Jobstress
and
Job
Performance (Case Study
SPA Employee In Bali)

Suryani,
et.al
(2014)

Structural
Equation Model
(SEM)

15

Role of Occupational
Stress on Job Satisfaction
(University
Teknologi
Malaysia)

Yaacob
and Choi
(2015)

Regresion
Analysis

12

13

Anova

Stres Kerja memiliki hubungan
negatif dan signifikan dengan
Kepuasan Kerja, Stres Kerja
memiliki hubungan positif dan
signifikan dengan Konflik
Peran dan Ambiguitas Peran,
Ambiguitas Peran memiliki
hubungan
negatif
dan
signifikan terhadap Kepuasan
Kerja, Konflik Peran memiliki
hubungan negatif dan tidak
signifikan terhadap Kepuasan
Kerja dan Stres Kerja memiliki
hubungan negatif dan tidak
signifikan terhadap Prestasi
Kerja
Konflik
Kerja-Keluarga
berpengaruh
positif
dan
signifikan terhadap Stres Kerja,
Konflik
Kerja-Keluarga
berpengaruh positif dan tidak
signifikan terhadap Kinerja
Karyawan dan Stres Kerja
berpengaruh
positif
dan
signifikan terhadap Kinerja
Karyawan
Stres
Kerja
berhubungan
signifikan terhadap Kepuasan
Kerja,
Ambiugitas
Peran
berhubungan
signifikan
terhadap Kepuasan Kerja dan
Work-Family Conflict tidak ada
hubungan yang signifikan
dengan Kepuasan Kerja

Universitas Sumatera Utara

2.2

Teori tentang Work-To-Family Conflict

2.2.1 Pengertian Work-To-Family Conflict
Pekerjaan dan keluarga merupakan dua hal yang saling terkait dan sangat
penting bagi semua orang. Mengintegrasikan kedua hal tersebut amatlah sulit
apabila orang tersebut sudah menikah dan mempunyai anak. Oleh Karena itu
konflik akan muncul ketika seseorang harus membuat pilihan diantara dua peran
yang harus dijalani (peran dalam keluarga dan pekerjaan) sehigga orang tersebut
harus menjalankan peran ganda yaitu sebagai suami/istri, orang tua, anak dan
karyawan. Menurut Mangkunegara (2007:155), konflik adalah suatu pertentangan
yang terjadi antara apa yang diharapkan oleh seseorang terhadap dirinya, orang
lain, organisasi dengan kenyataan apa yang diharapkan.
Menurut Robbins dan Judge (2015:183), konflik peran (role conflict)
adalah suatu situasi yang mana individu dihadapkan oleh ekspektasi peran yang
berbeda-beda. Sedangkan menurut Greenhause dan Beutell (1985) dalam Buhali
dan Margaretha (2013:18), work-to-family conflict adalah suatu bentuk konflik
antar peran dimana tekanan peran dari pekerja dan keluarga domain yang saling
kompatibel dalam beberapa hal. Sedangkan menurut Martin et al, dalam Amalia
(2010:203), work-to-family conflict adalah suatu keadaan yang terjadi ketika
pekerjaan seseorang mengganggu atau mempengaruhi kehidupan keluarganya.

2.2.2 Bentuk-Bentuk Work-To-Family Conflict
Menurut Greenhaus dan Beutell (1985) dalam Amalia (2010:210), workto-family conflict memiliki tiga bentuk:

Universitas Sumatera Utara

1.

Konflik karena waktu (time-based conflict) adalah banyaknya waktu yang
dibutuhkan dalam memenuhi kebutuhan salah satu peran (pekerja/keluarga)
sehingga menyebabkan seseorang mengalami kesulitan dalam memenuhi
kebutuhan peran lainnya. Terdapat dua bentuk time based conflict, 1) tekanan
waktu yang berhubungan dengan keanggotaan pada salah satu peran,
menjadikan seseorang mustahil untuk memenuhi ekspektasi pada peran yang
lain, 2) tekanan juga menjadikan kenyamanan dalam menjalani salah satu
peran, walaupun secara fisik dia sedang memenuhi tuntutan dari peran yang
lain. Pekerjaan sebagai sumber dari konflik (Work Related Sources of
Conflict) adalah:
1.

Jumlah jam kerja

2.

Lembur

3.

Tingkat kehadiran

4.

Ketidakteraturan shift

5.

Kontrol jadwal kerja

Keluarga sebagai sumber konflik (Family Related Sources of Conflict) yakni
adanya tuntutan dari peran keluarga untuk menghabiskan banyak waktu
dalam aktivitas keluarga. Wanita yang menghabiskan sejumlah waktu untuk
bekerja di luar rumah akan memiliki kecenderungan mengalami tekanan dari
peran yang dijalaninya.
2.

Strain-based conflict merupakan banyaknya tekanan yang timbul dalam
melakukan salah satu peran (pekerja/keluarga) sehingga membuat seeorang
mengalami kesulitan memenuhi peran lainnya. Terdapat bukti yang nyata

Universitas Sumatera Utara

bahwa stres dari pekejaan dapat menimbulkan symptom ketegangan, seperti
kecemasan, kelelahan, depresi, kelesuan dan kecenderungan untuk lekas
marah. Adanya ketegangan pada salah satu peran menyebabkan seseorang
kesulitan untuk memenuhi tuntutan peran lainnya.
Pekerjaan sebagai sumber dari konflik (Work Related Sources of Conflict),
ambiguitas dan konflik dalam peran di pekerjaan dapat menyebabkan work
family conflict. Hal-hal yang memicu stres dalam pekerjaan misalnya coping
pada pekerjaan baru, kurang adanya keterikatan antara orang dan pekerjaan,
kecewa karena adanya harapan yang tidak terpenuhi. Pada intinya
keikutsertaan yang tinggi pada peran tertentu dapat menimbulkan symptom
ketegangan.
Keluarga sebagai sumber konflik (Family Related Sources of Conflict),
konflik dalam keluarga berhubungan dengan tingginya work family conflict.
Dukungan dari pasangan dapat memberikan adanya perlindungan satu sama
lain dari kemungkinan work family conflict. Jadi, ketegangan, konflik dan
tidak adanya dukungan dari keluarga akan berkontribusi pada terjadinya work
family conflict. Namun karakteristik peran keluarga tertentu

yang

membutuhkan komitmen waktu yang tinggi secara langsung dan tidak
langsung akan menimbulkan ketegangan.
3.

Behavior-based conflict yaitu adanya perilaku secara khusus yang dibutuhkan
oleh salah satu peran (pekerja/keluarga) sehingga membuat seseorang
mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan peran lainnya. Perbedaan
bentuk tingkah laku yang dilekatkan pada peranan tertentu menimbulkan

Universitas Sumatera Utara

adanya pertentangan pada diri orang tersebut. Ketika didalam dunia pekerjaan
seseorang bisa dituntut menjadi seorang yang logis, berkuasa dan agresif,
namun ketika di rumah atau ketika menjadi anggota keluarga, seseorang
dituntut menjadi seorang yang hangat, penuh emosi dan menjadi pengasuh
yang baik.
Menurut Gibson, dkk (1995) dalam Wirakristama (2011:32), bentuk
konflik peran yang dialami individu ada tiga yaitu:
1.

Konflik peran itu sendiri (person role conflict). Konflik ini terjadi apabila
persyaratan peran melanggar nilai dasar, sikap dan kebutuhan individu
tersebut.

2.

Konflik intra peran (intra role conflict). Konflik ini sering terjadi karena
beberapa orang yang berbeda-beda menentukan sebuah peran menurut
rangkaian harapan yang berbeda-beda, sehingga tidak mungkin bagi orang
yang menduduki peran tersebut untuk memenuhinya. Hal ini dapat terjadi
apabila peran tertentu memiliki peran yang rumit.

3.

Konflik antar peran (inter role conflict). Konflik ini muncul karena orang
menghadapi peran ganda. Hal ini terjadi karena seseorang memainkan banyak
peran sekaligus dan beberapa peran itu mempunyai harapan yang
bertentangan serta tanggung jawab yang berbeda-beda.
Menurut Mangkunegara (2007:155), ada empat bentuk konflik dalam

organisasi, yaitu sebagai berikut:
1.

Konflik Hierarki (Hierarchical Conflict), yaitu konflik yang terjadi pada
tingkatan hierarki organisasi. Contoh, konflik antara komisaris dengan

Universitas Sumatera Utara

direktur utama, pemimpin dengan karyawan, pengurus dengan anggota
koperasi, pengurus dengan manajer dan pengurus dengan karyawan.
2.

Konflik Fungsional (Functional Conflict), yaitu konflik yang terjadi dari
macam-macam fungsi departemen dalam organisasi. Contoh, konflik yang
terjadi antara bagian produksi dengan bagian pemasaran, bagian administrasi
umum dengan bagian personalia.

3.

Konflik Staf dengan Kepala Unit (Line Staff Conflict), yaitu konflik yang
terjadi antara pimpinan unit dengan stafnya terutama staf yang berhubungan
dengan wewenang/otoritas kerja. Contoh, karyawan staf tidak formal
mengambil wewenang berlebihan.

4.

Konflik Formal-Informal (Formal-Informal Conflict), yaitu konflik yang
terjadi yang berhubungan dengan norma yang berlaku di organisasi informal
dengan organisasi lain. Contoh, pemimpin yang menempatkan norma yang
salah pada organisasi.

2.2.3 Penyebab Terjadinya Work-To-Family Conflict
Menurut Greenhaus dan Beutell (1985) dalam Wirakristama (2011:33),
faktor-faktor penyebab konflik peran, diantaranya:
1.

Permintaan waktu akan peran yang tercampur dengan pengambilan bagian
dalam peran yang lain.

2.

Stres yang dimulai dalam satu peran yang terjatuh kedalam peran yang lain
dikurangi dari kualitas hidup dalam peran itu.

Universitas Sumatera Utara

3.

Kecemasan dan kelelahan yang disebabkan ketegangan dari satu peran dapat
mempersulit untuk peran yang lainnya.

4.

Perilaku yang efektif dan tepat dalam satu peran tetapi tidak efektif dan tidak
tepat saat dipindahkan ke peran lainnya.
Sedangkan menurut Mangkunegara (2007:156), penyebab terjadinya

konflik dalam organisasi, antara lain:
1.

Koordinasi kerja yang tidak dilakukan

2.

Ketergantungan dalam pelaksanaan tugas

3.

Tugas yang tidak jelas (tidak ada deskripsi jabatan)

4.

Perbedaan dalam orientasi kerja

5.

Perbedaan dalam memahami tujuan organisasi

6.

Perbedaan persepsi

7.

Sistem kompetensi insentif (reward)

8.

Strategi pemotivasian yang tidak tepat

2.2.4 Cara Mengatasi Work-To-Family Conflict
Menurut Robbins dan Judge (2015:312), terdapat lima niat untuk
menangani konflik yaitu:
1.

Bersaing
Ketika seseorang berupaya untuk memuaskan kepentingannya sendiri tanpa
memperhatikan dampak terhadap pihak lainnya yang berkonflik, orang
tersebut sedang bersaing. Misalnya, anda dikatakan sedang bersaing ketika
anda bertarung hanya ada satu pemenang.

Universitas Sumatera Utara

2.

Berkolaborasi
Ketika pihak-pihak yang melakukan konflik mengenai keinginan masingmasing untuk memuaskan sepenuhnya perhatian dari semua pihak, terdapat
kerjasama dan pencarian atas hasil yang saling menguntungkan. Dalam
berkolaborasi, para pihak bermaksud untuk memecahkan permasalahan
dengan menjernihkan perbedaan dan bukannya mengakomodasi sudut
pandang yang bervariasi.

3.

Menghindar
Seorang akan mengakui suatu konflik telah terjadi dan ingin menarik diri dari
atau menyembunyikan diri dari konflik tersebut. Contoh dari menghindari,
meliputi berusaha untuk mengabaikan sebuah konflik dan menghindari orang
lain dengan siapa anda tidak setuju.

4.

Mengakomodasi
Pihak yang berupaya untuk menenangkan lawan yang bersedia untuk
menempatkan kepentingan dari lawan di atas kepentingannya sendiri,
berkorban untuk mempertahankan hubungan. Kita mengacu niatan ini sebagai
mengakomodasi.

5.

Berkompromi
Dalam berkompromi tidak ada pemenang atau kalah. Bahkan terdapat suatu
ketersediaan untuk pembagian objek konflik dan menerima solusi dengan
kepuasan yang kurang sempurna bagi kedua belah pihak. Oleh karena itu, hal
yang menjadi ciri pembeda pada kompromi adalah bahwa tiap-tiap pihak
bermaksud untuk menyerahkan suatu hal.

Universitas Sumatera Utara

Sedangkan menurut Mangkunegara (2007:156), manajemen konflik
dapat dilakukan dengan cara antara lain:
1.

Pemecahan masalah (Problem Solving)

2.

Tujuan tingkat tinggi (Lipsordinate Goal)

3.

Menghindari konflik (Avoidance)

4.

Melicinkan konflik (Smoothing)

5.

Kompromi (Compromise)

6.

Perintah dari wewenang (Authoritative Commands)

7.

Mengubah variabel manusia (Altering the Human Variables)

8.

Mengubah variabel struktural (Altering the Structural Variables)

9.

Mengidentifikasi musuh bersama (Identifying a Common Enemy)

2.3

Teori tentang Stres Kerja

2.3.1 Pengertian Stres Kerja
Terdapat banyak penelitian mengenai stres kerja karyawan. Menurut
Siagian (2008:300), stres merupakan kondisi ketegangan yang berpengaruh
terhadap emosi, jalan pikiran dan kondisi fisik seseorang. Stres yang tidak diatasi
dengan baik biasanya akan berakibat pada ketidakmampuan seseorang
berinteraksi secara positif dengan lingkungannya, baik dalam lingkungan
pekerjaan maupun diluarnya. Sedangkan menurut Mangkunegara (2007:157),
stres kerja adalah perasaan tertekan yang dialami karyawan dalam menghadapi
pekerjaan.

Universitas Sumatera Utara

Menurut Invacevich dalam Anatan dan Ellitan (2007:55), stres kerja
adalah suatu tanggapan penyesuaian yang dilatarbelakangi oleh perbedaan
individu atau proses psikologi yang merupakan konsekuensi setiap tindakan dari
luar (lingkungan), situasi, peristiwa yang menetapkan permintaan psikologis/fisik
yang berlebihan kepada seseorang. Sedangkan menurut Robbins dan Judge
(2015:19), stres adalah proses psikologis tidak menyenangkan yang terjadi
sebagai respon atau tekanan lingkungan.
Menurut Mc. Grant dalam Anatan dan Ellitan (2007:55), mendefinisikan
stres kerja sebagai suatu keadaan yang tidak menyenangkan sebagai akibat
seseorang menghadapi ketidakpastian apakah dia dapat mengatasi tantangan
terhadap nilai-nilai yang penting. Dalam definisi tersebut terdapat tiga komponen
penting yaitu:
1.

Tantangan yang dirasakan (perceive challenge), yang timbul akibat interaksi
seseorang dengan persepsi mereka terhadap lingkungan.

2.

Nilai-nilai penting (important value), timbul karena seseorang mengalami
kejadian, namun hal tersebut dianggap tidak penting sehingga tidak
menimbulkan stres.

3.

Ketidakpastian resolusi (uncertainity resolution), terjadi bila seseorang
menginterprestasikan situasi bahwa ada kemungkinan untuk sukses dalam
menghadapi suatu tantangan.
Menurut Beehr dan Newman dalam Anatan dan Ellitan (2007:55),

memiliki pandangan lain yang meninjau dari sudut intraksi antara individu dan
lingkungan, mereka mendefinisikan stres sebagai suatu kondisi dimana terdapat

Universitas Sumatera Utara

interaksi antara seseorang dengan pekerjaannya dan dikarakterisasikan oleh
perubahan dalam diri seseorang yang memaksa mereka untuk menyimpang.
Bentuk perilaku terhadap stres adalah hasil dari interaksi situasi dengan
individunya, mencakup ciri-ciri kepribadian yang khusus dan pola-pola perilaku
yang didasarkan pada sikap, kebutuhan, nilai-nilai, pengalaman lalu, keadaan
lingkungan dan kecakapan. Tuntutan peran ganda umumnya dialami oleh wanita
yang melibatkan diri dalam lingkungan organisasi, yaitu sebagai wanita karir dan
ibu rumah tangga sehingga lebih rentan mengalami stres yang dapat menyebabkan
penderitaan psikis berupa kecemasan dibanding dengan pria. Tuntutan pekerjaan,
rumah tangga dan ekonomi keluarga sangat berpotensi menyebabkan wanita karir
rentan mengalami stres.

2.3.2 Gejala-Gejala Stres Kerja
Menurut Robbins dan Judge (2015:434), mengelompokkan gejala-gejala
stres kerja kedalam tiga aspek, yaitu:
1. Gejala Fisik/Fisiologis
Yang termasuk dalam simptom-simtom ini yaitu:
a. Meningkatkan metabolisme
b. Meningkatkan fungsi jantung, tingkat pernapasan dan tekanan darah
c. Sakit kepala
d. Serangan jantung
Hubungan antara stres dan gejala fisiologis tertentu tidak jelas. Kalau
memang ada, pasti hanya sedikit hubungan yang konsisten ini terkait dengan

Universitas Sumatera Utara

kerumitan gejala-gejala dan kesulitan untuk secara objektif mengukurnya. Tetapi
yang lebih relevan adalah fakta bahwa gejala fisiologis mempunyai relevansi
langsung yang kecil sekali bagi perilaku organisasi.
2. Gejala Psikis/Psikologis
Yang termasuk dalam simptom-simptom ini yaitu:
a. Cepat tersinggung
b. Kecemasan
c. Kebosanan
d. Penundaan
Gejala-gejala psikologis tersebut merupakan gejala yang paling sering
dijumpai dan diprediksikan dari terjadinya ketidakpuasan kerja. Stres yang
berakibat dengan pekerjaan dapat menimbulkan ketidakpuasan yang berkaitan
dengan pekerjaan, dimana dampak ketidakpuasan memiliki dampak psikologis
yang paling sederhana dan paling jelas dari stres. Pekerjaan yang membuat
tuntutan berlipat dan pertentangan atau kurangnya kejelasan mengenai pekerjaan,
wewenang, tanggungjawab dan beban kerja sehingga stres dan ketidakpuasan
akan semakin mengikat.
3. Gejala Perilaku
Yang termasuk dalam simptom-simptom ini yaitu:
a. Merokok berlebihan
b. Menunda atau menghindari pekerjaan
c. Perilaku makan yang tidak normal (kebanyakan atau kekurangan)
d. Gelisah

Universitas Sumatera Utara

2.3.3 Sumber-Sumber Stres Kerja
Menurut Siagian (2008:301), pada dasarnya berbagai sumber stres dapat
digolongkan yang berasal dari pekerjaan dan dari luar pekerjaan seseorang.
1. Sumber stres yang berasal dari pekerjaan
Berbagai hal yang dapat menjadi sumber stres yang berasal dari pekerjaan
yang dapat beraneka ragam, seperti beban tugas yang terlalu berat, desakan
waktu, penyelia yang kurang baik, iklim kerja yang menimbulkan rasa tidak
aman, kurangnya informasi dari umpan balik tentang prestasi kerja seseorang,
ketidakseimbangan antara wewenang dan tanggung jawab, ketidakjelasan
peran karyawan dalam keseluruhan kegiatan organisasi, frustasi yang timbul
oleh intervensi pihak lain yang terlalu sering sehingga seorang merasa
terganggu konsentrasinya, konflik antar karyawan dengan pihak lain di dalam
dan di luar kelompok kerjanya, perbedaan sistem nilai yang dianut oleh
karyawan dan yang dianut oleh organisasi, dan perubahan yang terjadi yang
pada umumnya memang menimbulkan rasa ketidakpastian.
2. Sumber stres yang berasal dari lingkungan luar pekerjaan
Situasi lingkungan di luar pekerjaan dapat menimbulkan stres. Berbagai
masalah yang dihadapi seseorang, seperti masalah keuangan, perilaku negatif
anak-anak, kehidupan keluarga yang tidak atau kurang harmonis, pindah
tempat tinggal, ada anggota keluarga yang meninggal, kecelakaan, penyakit
gawat adalah beberapa contoh sumber stres tersebut.
Sedangkan menurut Mangkunegara (2007:157), penyebab stres kerja
antara lain beban kerja yang dirasakan terlalu berat, waktu kerja yang mendesak,

Universitas Sumatera Utara

kualitas pengawasan kerja yang rendah, iklim kerja yang tidak sehat, otoritas kerja
yang tidak memadai yang berhubungan dengan tanggung jawab, konflik kerja,
perbedaan nilai antara karyawan dengan pemimpin yang frustasi dalam kerja.
Menurut Anatan dan Ellitan (2007:56), beberapa faktor penyebab stres
meliputi:
1.

Stressor dari luar organisasi (extra organizational stressor) yang meliputi
perubahan sosial dan teknologi yang mengakibatkan perubahan life style
masyarakat, perubahan ekonomi dan finansial mempengaruhi pola kerja
seseorang untuk mencari the second job, serta faktor lain yaitu kondisi
masyarakat relokasi dan kondisi keluarga.

2.

Stressor dari dalam organisasi (organizational stressor) yang meliputi kondisi
kebijakan dan strategi administrasi, struktur dan desain organisasi, proses
organisasi dan kondisi lingkungan kerja.

3.

Stressor dari kelompok dalam organisasi (group stressor) timbul akibat
kurangnya kesatuan dalam pelaksanaan tugas kerja terutama terjadi pada level
bawah, kurangnya dukungan dari atasan dalam melaksanakan tugas yang
dibebankan, munculnya konflik antar personal, interpersonal dan antar
kelompok.

4.

Stressor dari dalam diri individu (individual stressor) yang mincul akibat role
ambiguity and conflict, beban kerja yang terlalu berat dan kurangnya
pengawasan dari pihak perusahaan.
Sedangkan menurut Robbins dan Judge (2015:431), bahwa terdapat tiga

kategori dari sumber stres yang potensial yaitu:

Universitas Sumatera Utara

1.

Faktor Lingkungan
Seperti ketidakpastian lingkungan akan mempengaruhi desain dari

struktur organisasional, hal ini juga mempengaruhi level stres diantara karyawan
di dalam organisasi tersebut. Tentu saja, ketidakpastian merupakan alasan terbesar
orang-orang yang memiliki masalah dalam mengatasi perubahan organisasional.
Terdapat tiga tipe ketidakpastian lingkungan yang utama: ekonomi, politik dan
teknologi.
2.

Faktor Organisasional
Tidak terdapat kekurangan faktor di dalam organisasi yang dapat

menyebabkan stres. Tekanan untuk menghindari kesalahan atau menyelesaikan
tugas dalam waktu yang terbatas, beban kerja yang berlebihan, bos yang sangat
menuntut dan tidak sensitif, serta para rekan kerja yang tidak menyenangkan
merupakan beberapa contoh. Kita telah mengategorikan faktor-faktor tersebut
disekitar tuntutan tugas, peranan dan interpersonal.
3.

Faktor Pribadi
Individu biasanya bekerja sekitar 40 hingga 50 jam dalam seminggu.

Namun, pengalaman dan permasalahan yang dihadapi oleh orang-orang dalam
jam kerja 120 plus dapat meluas dalam pekerjaan. Kategori terakhir kita adalah
faktor-faktor di dalam kehidupan pribadi dari karyawan: permasalahan keluarga,
permasalahan ekonomi pribadi dan karakteristik kepribadian yang inheren.

Universitas Sumatera Utara

2.3.4 Pendekatan-Pendekatan Stres Kerja
Menurut Mangkunegara (2007:157), pendekatan stres kerja ada empat,
yaitu:
1.

Pendekatan dukungan Sosial (social support)
Mendekatan ini dilakukan melalui aktivitas yang bertujuan memberikan
kepuasan sosial kepada karyawan. Misalnya, bermain game, lelucon dan
bodor kerja.

2.

Pendekatan melalui Meditasi (meditation)
Pendekatan ini perlu dilakukan karyawan dengan cara berkonsentrasi ke alam
pikiran, mengendorkan kerja otot dan menenangkan emosi. Meditasi ini dapat
dilakuan selama dua periode waktu yang masing-masing 15-20 menit.
Meditasi bisa dilakukan di ruangan khusus. Karyawan yang beragama Islam
bisa melakukannya setelah shalat Dzuhur melalui doa dan zikir kepada Allah
SWT.

3.

Pendekatan melaui Biofeedback
Pendekatan ini dilakukan melalui bimbingan medis. Melalui bimbingan
dokter, psikiater dan psikolog, sehingga diharapkan dapat menghilangkan
stres yang dialaminya.

4.

Pendekatan Kesehatan Pribadi (personal wellness programs)
Pendekatan ini merupakan pendekatan preventif sebelum terjadinya stres.
Dalam hal ini karyawan secara periode waktu yang kontinu memeriksa
kesehatan, melakukan relaksasi otot, pengaturan gizi dan olahraga secara
teratur.

Universitas Sumatera Utara

Sedangkan menurut Rivai (2005:105), terdapat dua pendekatan stres
kerja yaitu pendekatan individu dan pendekatan perusahaan:
1.

Pendekatan individu meliputi:
a. Meningkatkan keimanan
b. Melakukan meditasi dan pernafasan
c. Melakukan kegiatan olahraga
d. Melakukan relaksasi
e. Dukungan sosial dari teman-teman dan keluarga
f. Menghindari kebiasaan rutin yang membosankan

2.

Pendekatan perusahaan meliputi:
a. Melakukan perbaikan iklim organisasi
b. Melakukan perbaikan terhadap lingkungan fisik
c. Menyediakan sarana olahraga
d. Melakukan analisis dan kejelasan tugas
e. Meningkatkan partisipasi dalam proses pengambilan keputusan
f. Melakukan restrukturisasi tugas
g. Menerapkan konsep manajemen berdasarkan sasaran

2.3.5 Cara Mengatasi Stres Kerja
Mendeteksi

penyebab

stres

dan

bentuk

reaksinya,

menurut

Mangkunegara (2007:158), ada tiga pola dalam mengatasi stres, yaitu:

Universitas Sumatera Utara

1.

Pola Sehat adalah pola menghadapi stres yang terbaik yaitu dengan
kemampuan mengelola perilaku dan tindakan sehingga adanya stres tidak
menimbulkan gangguan, akan tetapi menjadi lebih sehat dan berkembang.

2.

Pola Harmonis, adalah pola menghadapi stres dengan kemampuan mengelola
waktu dan kegiatan secara harmonis dan tidak menimbulkan berbagai
hambatan. Dalam pola ini, individu mampu mengendalikan berbagai
kesibukan dan tantangan dengan cara mengatur waktu secara teratur.

3.

Pola Patogis ialah pola menghadapi stres dengan berdampak berbagai
gangguan fisik maupun sosial-psikologis. Dalam pola ini, individu akan
menghadapi berbagai tantangan dengan cara-cara yang tidak memiliki
kemampuan dan keteraturan mengelola tugas dan waktu.

2.4

Teori tentang Komitmen Organisasi

2.4.1 Pengertian Komitmen Organisasi
Komitmen pegawai pada organisasi merupakan dimensi perilaku yang
dapat digunakan untuk mengukur dan mengevaluasi kekuatan karyawan dalam
bertahan dan melaksanakan tugas dan kewajibannya pada organisasi. Komitmen
dipandang sebagai suatu orientasi nilai terhadap organisasi yang menunjukkan
individu sangat memikirkan dan mengutamakan pekerjaan dan organisasinya.
Individu akan berusaha memberikan segala usaha yang dimilikinya dalam rangka
membantu organisasi mencapai tujuannya.
Menurut Robbins dan Judge (2015:47), komitmen organisasi adalah
tingkat dimana seorang pekerja mengidentifikasi sebuah organisasi, tujuan dan

Universitas Sumatera Utara

harapannya untuk tetap menjadi anggota. Sedangkan menurut Kasawan
(2012:293), komitmen organisasi merupakan ukuran kesediaan karyawan bertahan
dengan sebuah perusahaan di waktu yang akan datang.

2.4.2 Bentuk-Bentuk Komitmen Organisasi
Menurut Mayer dan Allen dalam Kasawan (2012:293), komitmen
organisasi terdiri atas tiga dimensi yaitu:
1.

Komitmen Afektif
Menunjukkan kuatnya keinginan emosional karyawan untuk beradaptasi
dengan nilai-nilai yang ada agar tujuan dan keinginannya untuk tetap di
organisasi dapat terwujud. Komitmen afektif dapat timbul pada diri seseorang
karyawan dikarenakan adanya: karakteristik individu, karakteristik struktur
organisasi, signifikansi tugas, berbagai keahlian, umpan balik dari pimpinan
dan keterlibatan dalam manajemen. Umur dan lama masa kerja di organisasi
sangat berhubungan positif dengan komitmen afektif. Karyawan yang
memiliki komitmen afektif akan cenderung untuk tetap dalam suatu
organisasi karena mereka mempercayai sepenuhnya misi yang dijalankan
oleh organisasi.

2.

Komitmen Kelanjutan
Merupakan komitmen yang didasari atas kekhawatiran seseorang terhadap
kehilangan suatu yang telah diperoleh selama ini dalam organisasi, seperti:
gaji, fasilitas dan yang lainnya. Hal-hal yang menyebabkan adanya komitmen
kelanjutan, antara lain adalah umur, jabatan dan berbagai fasilitas serta

Universitas Sumatera Utara

berbagai tunjangan yang diperoleh. Komitmen ini akan menurun jika terjadi
pengurangan terhadap berbagai fasilitas dan kesejahteraan yang diperoleh
karyawan.
3.

Komitmen Normatif
Menunjukkan tanggung jawab moral karyawan untuk tetap tinggal dalam
organisasi. Penyebab timbulnya komitmen ini adalah tuntutan sosial yang
merupakan hasil pengalaman seseorang dalam berinteraksi dengan sesama
atau munculnya kepatuhan yang permanen terhadap seorang panutan atau
pemilik organisasi dikarenakan balas jasa, respek sosial, budaya atau agama.
Individu dengan komitmen normatif yang tinggi akan tetap bertahan dalam
organisasi karena merasa adanya suatu kewajiban atau tugas.
Setiap komponen memiliki dasar yang berbeda. Karyawan dengan

komponen afektif tinggi, masih bergabung dengan organisasi karena keinginan
untuk tetap menjadi anggota organisasi. Sementara itu karyawan dengan
komponen berkelanjutan tinggi, tetap bergabung dengan organisasi tersebut
karena mereka membutuhkan organisasi. Karyawan yang memiliki komponen
normatif yang tinggi, tetap menjadi anggota organisasi karena mereka harus
melakukannya.
Setiap karyawan memiliki dasar dan tingkah laku yang berbeda
berdasarkan komitmen organisasi yang dimilikinya. Karyawan yang memiliki
komitmen organisasi dengan dasar afektif memiliki tingkah laku berbeda dengan
karyawan yang berdasarkan berkelanjutan. Karyawan yang ingin menjadi anggota
akan memiliki keinginan untuk menggunakan usaha yang sesuai dengan tujuan

Universitas Sumatera Utara

organisasi. Sebaliknya, mereka yang terpaksa menjadi anggota akan menghindari
kerugian finansial dan kerugian lain, sehingga mungkin hanya melakukan usaha
yang tidak maksimal. Sementara itu, komponen normatif yang berkembang
sebagai hasil dari pengalaman sosialisasi, tergantung dari sejauh apa perasaan
kewajiban yang dimiliki karyawan. Komponen normatif menimbulkan perasaan
kewajiban kepada karyawan untuk memberikan balasan atas apa yang telah
diterimanya dari organisasi.

2.4.3 Ciri-Ciri Komitmen Organisasi
Sedangkan menurut Fink dalam Kaswan (2012:293), mengelompokkan
ciri-ciri komitmen menjadi sepuluh yaitu:
1.

Selalu berupaya untuk mensukseskan organisasi.

2.

Selalu mencari informasi tentang organisasi.

3.

Selalu mencari keseimbangan antara sasaran organisasi dengan sasaran
pribadi.

4.

Selalu berupaya untuk memaksimumkan kontribusi kerjanya sebagai bagian
dari secara keseluruhan.

5.

Menaruh perhatian pada hubungan kerja antar unit organisasi.

6.

Berfikir positif terhadap kritik dari teman kerja.

7.

Menempatkan prioritas organisasi di atas departemennya.

8.

Tidak melihat organisasi lain sebagai unit yang lebih menarik.

9.

Memiliki keyakinan bahwa organisasi akan berkembang.

10. Berpikir positif pada pimpinan puncak organisasi.

Universitas Sumatera Utara

2.5

Teori tentang Kepuasan Kerja

2.5.1 Pengertian Kepuasan Kerja
Menurut Robbins dan Judge (2015:46), kepuasan kerja adalah suatu
perasaan positif tentang pekerjaan, yang dihasilkan dari suatu evaluasi dari
karakteristik-karakteristiknya. Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja yang
tinggi memiliki perasaan yang positif mengenai pekerjaannya, sedangkan
seseorang dengan level yang rendah memiliki perasaan negatif.
Luthans (2006:243), kepuasan kerja adalah hasil dari persepsi karyawan
mengenai seberapa baik pekerjaan mereka memberikan hal yang dinilai penting.
Bagi mereka, kepuasan kerja dapat menimbulkan peningkatan kebahagiaan hidup,
sedangkan bagi perusahaan kepuasan kerja dapat meningkatkan produktivitas
sehingga akan tercapai apa yang menjadi sasaran suatu perusahaan.
Sedangkan menurut Greenberg dan Baron dalam Wibowo (2007:501),
kepuasan kerja adalah sebagai sikap positif atau negatif yang dilakukan individual
terhadap pekerjaan mereka. Setiap individu mempunyai tingkat kepuasan yang
berbeda-beda sesuai dengan sistem nilai yang berlaku dalam dirinya. Makin tinggi
penilaian terhadap kegiatan dirasakan sesuai dengan keinginan individu, maka
makin tinggi kepuasannya terhadap kegiatan tersebut. Dengan kata lain, kepuasan
merupakan evaluasi yang menggambarkan seorang atas perasaan sikapnya senang
atau tidak senang, puas atau tidak puas dalam bekerja.
Kepuasan kerja sebagai suatu sikap umum seseorang individu terhadap
pekerjaannya. Pekerjaan menuntut interaksi dengan rekan kerja dan atasan,
mengikuti aturan dan kebijakan organisasi, memenuhi standar kinerja, hidup ada

Universitas Sumatera Utara

kondisi kerja yang kurang dari ideal dan serupa ini berarti penilaian (assessment)
seseorang karyawan terhadap betapa puas dan tidak puas akan pekerjaannya
merupakan penjumlahan yang rumit dari sebuah unsur pekerjaan, Robbin dalam
Kesawan (2012:288).
Kepuasa kerja akan didapat jika ada kesesuaian antara harapan pekerja
dan kenyataan yang didapatkannya ditempat kerja. Persepsi pekerjaan mengenai
hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaannya dan kepuasan kerja melibatkan rasa
aman, rasa adil, rasa menikmati, rasa bergairah, status dan kebanggaan. Dalam
persepsi ini juga dilibatkan situasi kerja pekerjaan yang bersangkutan yang
meliputi intraksi kerja, kondisi kerja, pengakuan, hubungan dengan atasan dan
kesempatan promosi. Selain itu didalam persepsi ini juga tercakup kesesuaian
dengan antara kemampuan dan keinginan pekerja dengan kondisi organisasi
tempat mereka bekerja yang meliputi jenis pekerjaan, minat, bakat, penghasilan
dan isentif.
Selain itu, Noe, dkk dalam Kaswan (2012:284), mendefinisikan
kepuasan kerja sebagai perasaan senang yang dihasilkan dari persepsi bahwa
pekerjaannya memenuhi atau memungkinkan pemenuhan nilai-nilai penting
pekerjaannya. Definisi ini merefleksikan tiga aspek penting pekerjaan: 1)
kepuasan merupakan fungsi nilai, yang didefinisikan sebagai apa yang diinginkan
seseorang untuk diperoleh baik secara sadar atau tidak sadar. 2) definisi ini
menekankan bahwa karyawan yang berbeda memiliki pandangan yang berbeda
tentang nilai mana yang penting dan ini amat penting dalam menentukan sifat dan
derajat kepuasan kerja. 3) dalam persepsi, persepsi individu mungkin tidak

Universitas Sumatera Utara

sepenuhnya merupakan refleksi sepenuhnya dari realita dan orang yang berbeda
mungkin memandang situasi yang sama dengan cara yang berbeda. Menurut
Fathoni (2006:128), bahwa kepuasan kerja adalah sikap emosional yang
menyenangkan dan mencintai pekerjaan.

2.5.2 Bentuk-Bentuk Kepuasan Kerja
Menurut Kaswan (2012:284), kepuasan kerja mempunyai enam dimensi
yaitu:
1.

Pekerjaan itu sendiri
Dalam hal ini pekerjaan memberikan tugas yang menarik, kesempatan untuk
belajar dan kesempatan untuk menerima tanggung jawab. Karyawan
cenderung menyukai pekerjaan-pekerjaan yang memberi mereka kesempatan
untuk menggunakan keterampilan, kemampuan mereka dan menawarkan
tugas, kebebasan serta umpan balik mengenai betapa baik mereka
mengerjakan.

2.

Gaji
Sejumlah upah/gaji yang diterima dan tingkat dimana hal ini bisa dipandang
sebagai hal yang dianggap pantas dibandingkan dengan orang lain dalam
organisasi. Bila upah/gaji dilihat sebagai adil yang didasarkan pada tuntutan
pekerjaan, tingkat keterampilan individu dan standar pengupahan komunitas
kemungkinan besar akan dihasilkan kepuasan. Tentu saja, tidak semua orang
mengejar uang. Banyak orang bersedia menerima baik uang yang lebih kecil
untuk bekerja dalam lokasi yang lebih diinginkan atau dalam pekerjaan yang

Universitas Sumatera Utara

kurang menuntut atau mempunyai keleluasaan yang lebih besar bila mereka
melakukan pekerjaan dan jam-jam kerja, tetapi kunci hubungan antara upah
dengan kepuasan bukanlah jumlah mutlak yang dibayarkan, yang sangat
penting adalah persepsi keadilan.
3.

Kesempatan promosi
Setiap karyawan menginginkan jabatan yang lebih tinggi. Karyawan berusaha
mendapatkan kebijakan dan praktik promosi yang lebih banyak dan status
sosial yang ditingkatkan. Oleh karena itu individu yang mempersepsikan
bahwa keputusan promosi dibuat secara adil kemungkinan besar akan
mengalami kepuasan dari pekerjaan mereka.

4.

Pengawasan
Perilaku atasan juga merupakan determinan utama dari kepuasan. Umumnya
studi mendapatkan bahwa kepuasan karyawan ditingkatkan bila penyedia
langsung bersifat ramah dan dapat memahami, menawarkan pujian yang baik,
mendengar pendapat karyawan dan menunjukkan suatu minat pribadi kepada
mereka.

5.

Rekan kerja
Orang-orang mendapatkan lebih dari pada sekedar uang atau persepsi yang
berwujud dari dalam kerja. Bagi kebanyakan karyawan, kerja juga mengisi
kebutuhan akan interaksi sosial. Oleh karena itu tidaklah mengejutkan bila
mempunyai rekan kerja yang ramah dan menukung menghantar ke arah
kepuasan kerja yang meningkat.

6.

Kondisi kerja

Universitas Sumatera Utara

Karyawan sangat peduli akan lingkungan kerja baik untuk kenyamanan
pribadi maupun untuk memudahkan mengerjakan tugas. Studi-studi
memperagakan bahwa karyawan lebih menyukai keadaan sekitar fisik yang
tidak berbahaya atau merepotkan. Temperatur (suhu), cahaya, kebisingan dan
faktor lingkungan lain seharusnya tidak ektrim yaitu tidak terlalu tinggi atau
terlalu rendah.

2.5.3 Variabel-Variabel Kepuasan Kerja
Menurut Keith Davis dalam Mangkunegara (2007:117), kepuasan kerja
berhubungan dengan variabel-variabel seperti:
1.

Turnover (such as turnover)
Kepuasan kerja lebih tinggi dihubungkan dengan turnover pegawai yang
rendah. Sedangkan pegawai-pegawai yang kurang puas biasanya turnovernya
lebih tinggi.

2.

Tingkat ketidakhadiran kerja (absences)
Pegawai-pegawai yang kurang puas cenderung tingkat ketidakhadiran (absen)
tinggi. Mereka sering tidak hadir kerja dengan alasan yang tidak logis dan
subjektif.

3.

Umur (age)
Ada kecenderungan pegawai yang tua lebih merasa puas dari pada pegawai
yang berumur relatif muda. Hal ini diasumsikan bahwa pegawai yang lebih
tua lebih berpengalaman menyesuaikan diri dengan lingkungan pekerjaan.
Sedangkan pegawai usia muda biasanya mempunyai harapan yang ideal

Universitas Sumatera Utara

tentang dunia kerjanya, sehingga apabila antara harapannya dengan realita
kerja terdapat kesenjangan atau ketidakseimbangan dapat menyebabkan
mereka menjadi tidak puas.
4.

Tingkat pekerjaan (size of the organization in which an employee works)
Pegawai-pegawai yang menduduki tingkat pekerjaan yang lebih tinggi
cenderung lebih puas dari pada pegawai yang menduduki tingkat pekerjaan
yang lebih rendah. Pegawai-pegawai yang tingkat pekerjaannya lebih tinggi
menunjukkan kemampuan kerja yang baik dan aktif dalam mengemukakan
ide-ide serta kreatif dalam bekerja.

2.5.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja
Menurut Kreitner dan Kinicki dalam Wibowo (2012:504) terdapat lima
faktor yang dapat memengaruhi timbulnya kepuasan kerja, yaitu sebagai berikut:
1.

Need Fulfillment (pemenuhan kebutuhan)
Model ini dimaksudkan bahwa kepuasan ditentukan oleh tingkat karakteristik
pekerjaan memberikan

kesempatan pada individu untuk

memenuhi

kebutuhannya.
2.

Discrepancies (perbedaan)
Model ini menyatakan bahwa kepuasan merupakan suatu hasil memenuhi
harapan. Pemenuhan harapan mencerminkan perbedaan antara apa yang
diharapkan dan yang diperoleh individu dari pekerjaan. Apabila harapan lebih
besar dari pada apa yang diterima, orang tidak akan puas. Sebaliknya

Universitas Sumatera Utara

diperkirakan individu akan puas apabila mereka menerima manfaat di atas
harapan.
3.

Value Attainment (pencapaian nilai)
Gagasan value attainment adalah bahwa kepuasan merupakan hasil dari
persepsi pekerjaan memberikan pemenuhan nilai kerja individual yang
penting.

4.

Equity (keadilan)
Dalam model ini dimaksudkan bahwa kepuasan kerja merupakan fungsi dari
seberapa adil individu diperlakukan ditempat kerja. Kepuasan merupakan
hasil dari persepsi orang bahwa perbandingan antara hasil kerja dan inputnya
relatif lebih menguntungkan dibandingkan dengan antara keluaran dan
kemasukan pekerjaan lainnya.

5.

Dispositional/Genetic Components (komponen genetik)
Beberapa rekan kerja atau teman tampak puas terhadap variasi lingkungan
kerja, sedangkan lainnya kelihatan tidak puas. Model ini didasarkan pada
keyakinan bahwa kepuasan kerja sebagian merupakan fungsi sifat pribadi dan
faktor genetik. Model menyiratkan perbedaan individu hanya mempunyai arti
penting untuk menjelaskan kepuasan kerja seperti halnya karakteristik
lingkungan pekerjaan.
Sedangkan menurut Mangkunegara (2007:120), ada dua faktor yang

mempengaruhi kepuasan kerja yaitu:

Universitas Sumatera Utara

1.

Faktor pegawai, yaitu kecerdasan (IQ), kecakapan khusus, umur, jenis
kelamin, kondisi fisik, pendidikan, pengalaman kerja, masa kerja,
kepribadian, emosi, cara berfikir, persepsi dan sikap kerja.

2.

Faktor pekerjaan, yaitu jenis pekerjaan, struktur organisasi, pangkat
(golongan), kedudukan, mutu pengawasan, jaminan finansial, kesempatan
promosi jabatan, interaksi sosial dan hubungan kerja.

2.6

Kerangka Konseptual

2.6.1 Pengaruh Work-To-Family Conflict terhadap Stres Kerja
Menurut Murtiningrum (2005) terdapat hubungan yang positif antara
work-to-family conflict terhadap stres kerja. Semakin besarnya work-to-family
conflict yang dialami seseorang maka akan semakin meningkatnya stres bagi
seseorang tersebut. Tekanan yang dialami seseorang dalam menghadapi work-tofamily conflict dapat menyebabkan timbulnya stres.
Work-to-family conflict merupakan bentuk konflik peran dimana tekanan
dari pekerjaan terbawa kerumah. Kemudian menurut Judge et al, dalam Indriyani
(2009), menyatakan bahwa work-to-family conflict mengarah pada stres kerja
karena ketika urusan pekerjaan mencampuri kehidupan keluarga, tekanan sering
kali terjadi pada individu untuk mengurangi waktu yang dihabiskan dalam
pekerjaan dan menyediakan lebih banyak waktu untuk keluarga.

Universitas Sumatera Utara

2.6.2 Pengaruh Work-To-Family Conflict terhadap Komitmen Organisasi
Menurut Anatan dan Ellitan (2007:57), konflik antar kelompok sebagai
salah satu tipe/jenis konflik organisasional, merupakan masalah yang selalu
muncul dalam organisasi dan tidak dapat dihindari atau dihilangkan dari
kehidupan organisasi. Konflik ini dapat memberikan dampak positif atau negatif
terhadap kinerja organisasi perusahaan tergantung pada sifat dan tingkat level dan
bagaimana konflik tersebut dikelola secara efektif untuk menjadi konflik yang
fungsional yaitu pada tingkat konflik yang moderat atau optimal sehingga tercapai
peningkatan kinerja organisasi.
Menurut Allen dan Meyer dalam Buhali dan Margaretha (2013:22),
menunjukkan bahwa work-to-family confict memiliki hubungan negatif dengan
komitmen organisasional. Hubungan negatif antara work-to-family conflict dan
komitmen organisasi nampak pada individual yang mengalami kesulitan dalam
menyelaraskan perannya dikeluarga maupun dipekerjaan akan merasa kurang
berkomitmen kepada organisasinya.

2.6.3 Pengaruh Stres Kerja terhadap Komitmen Organisasi
Stres kerja dapat mempengaruhi tingkat komitmen organisasional yang
dimiliki seseorang. Menurut Fontana dalam Rulestari dan Eryanto (2013:22),
berpendapat bahwa, dampak stres adalah organizational problem meliputi tingkat
kepuasan menurun, komitmen dan loyalitas terhadap organisasi menurun,
sehingga mengakibatkan tingkat absensi dan turnover meningkat. Peningkatan
stres kerja menyebabkan penurunan komitmen organisasional dan sebaliknya,

Universitas Sumatera Utara

semakin tinggi komitmen organisasional, karyawan akan merasa nyaman dalam
bekerja sehingga dapat menekan tingkat stres kerja.
Menurut Wibowo (2012:508), stres dapat berpengaruh sangat negatif
terhadap perilaku organisasi dan kesehatan individu. Stres secara positif
berhubungan dengan kemangkiran, perputaran, sakit jantung koroner dan
pemeriksaan virus. Penelitian menunjukkan adaya hubungan negatif kuat antara
perasaan stres dengan kepuasan kerja sehingga menurunnya komitmen organisasi
dan kinerja.

2.6.4 Pengaruh Kepuasan Kerja terhadap Komitmen Organisasi
Menurut Wibowo (2012:507), komitmen organisasi mencerminkan
tingkat dimana individu mengidentifikasi dengan organisasi dan mempunyai
komitmen terhadap tujuannya. Penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan
signifikan dan kuat antara komitmen organisasi dan kepuasan kerja.
Berdasarkan teori-teori dan penjelasan yang telah dituliskan sebelumnya,
penelitian ini membahas Pengaruh Work-To-Family Conflict dan Stres Kerja
terhadap Komitmen Organisasi dan dampaknya pada Kepuasan Kerja karyawan
PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) Medan. Melihat teori dan penjelasan tersebut,
maka dibentuklah kerangka konseptual yang menunjukkan gambaran hubungan
antar variabel X1 terhadap X2, variabel X1 dan X2 terhadap Z dan variabel X1, X2
dan Z terhadap Y, yaitu sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

Work-ToFamily Conflict
(X1)
Kepuasan
Kerja
(Z)

Komitmen
Organisasi
(Y)

Stres Kerja
(X2)

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual

2.7

Hipotesis
Berdasarkan perumusan masalah yang ditetapkan dirumuskan hipotesis

sebagai berikut:
H1 : Work-To-Family Conflict berpengaruh positif dan signifikan terhadap Stres
Kerja
H2 : Work-To-Family Conflict berpengaruh negatif dan signifikan terhadap
Kepuasan Kerja.
H3 : Stres Kerja berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Kepuasan Kerja.
H4 : Work-To-Family Conflict berpengaruh negatif dan signifikan terhadap
Komitmen Organisasi.
H5 : Stres Kerja berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Komitmen
Organisasi.
H6 : Kepuasan Kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap Komitmen
Organisasi.

Universitas Sumatera Utara

H7 : Work-To-Family Conflict berpengaruh negatif dan signifikan terhadap
Komitmen Organisasi melalui Kepuasan Kerja.
H8 : Stres Kerja berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Komitmen
Organisasi melalui Kepuasan Kerja.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

PENGARUH KONFLIK PERAN GANDA (WORK FAMILY CONFLICT & FAMILY WORK CONFLICT) DAN STRES KERJA TERHADAP KEPUASAN KERJA (STUDI PADA RS PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA)

1 6 22

Pengaruh Kepuasan Hidup Terhadap Kepuasan Kerja Dan Work Family Conflict sebagai variabel moderator.

0 0 17

PENGARUH WORK FAMILY CONFLICT DAN STRES KERJA TERHADAP KEPUASAN KERJA KARYAWAN Pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Cabang Wonosobo.

0 1 133

PENGARUH WORK-FAMILY CONFLICT DAN STRES KERJA TERHADAP KEPUASAN KERJA KARYAWAN.

0 0 8

Pengaruh Work-To-Family Conflict Dan Stres Kerja Terhadap Komitmen Organisasi Dengan Kepuasan Kerja Sebagai Variabel Intervening Pada Pt. Pelabuhan Indonesia I (Persero) Medan

0 2 19

Pengaruh Work-To-Family Conflict Dan Stres Kerja Terhadap Komitmen Organisasi Dengan Kepuasan Kerja Sebagai Variabel Intervening Pada Pt. Pelabuhan Indonesia I (Persero) Medan

0 1 2

Pengaruh Work-To-Family Conflict Dan Stres Kerja Terhadap Komitmen Organisasi Dengan Kepuasan Kerja Sebagai Variabel Intervening Pada Pt. Pelabuhan Indonesia I (Persero) Medan

0 0 11

Pengaruh Work-To-Family Conflict Dan Stres Kerja Terhadap Komitmen Organisasi Dengan Kepuasan Kerja Sebagai Variabel Intervening Pada Pt. Pelabuhan Indonesia I (Persero) Medan Chapter III V

0 0 141

Pengaruh Work-To-Family Conflict Dan Stres Kerja Terhadap Komitmen Organisasi Dengan Kepuasan Kerja Sebagai Variabel Intervening Pada Pt. Pelabuhan Indonesia I (Persero) Medan

0 1 3

Pengaruh Work-To-Family Conflict Dan Stres Kerja Terhadap Komitmen Organisasi Dengan Kepuasan Kerja Sebagai Variabel Intervening Pada Pt. Pelabuhan Indonesia I (Persero) Medan

0 0 21