Gaya Berkomunikasi Dan Adaptasi Budaya Mahasiswa Batak Asal Sumatera Utara Di Institut Seni Indonesia Yogyakarta
Lampiran 1: Identitas Informan
NO
Nama Lengkap
Tempat/Tanggal
Lahir
L/P
Fakultas/
Jurusan
Angkatan
Daerah Asal
Suku Ayah
Suku Ibu
Asal SMU
1.
Yohansen Eka Andika
Sihotang
Pematang Siantar
23 Maret 1995
L
Seni Rupa/
Desain Komunikasi
Visual
2014
Pematang
Siantar
Batak Toba
Batak Toba
SMA Budi Mulia
P. Siantar
2.
Bernard Zulfredo
Purba
Sambosar Raya
24 Juli 1995
L
Seni Pertunjukan/
Musik (Saxophone)
2013
Pematang
Siantar
Batak
Simalungun
Batak
Simalungun
SMA Budi Mulia
P. Sintar
3.
Afrina Silvi Theodora
Pakpahan
Medan
27 April 1996
P
Seni Pertunjukan/
Musik (Vokal Klasik)
2013
Medan
Batak Toba
Batak Toba
SMK Negeri 11
Medan
4.
Silvana Chrisma Putri
Kaban
Medan
5 Desember 1996
P
Seni Media Rekam/
Fotografi
2014
Medan
Batak Karo
Batak Karo
SMK Bina Media
Medan
5.
Ade Fria Setyawan
Barus
Bangun Purba
30 Maret 1996
L
Seni Pertunjukan/
Musik (Vokal)
2014
Tarean
Batak Karo
Batak
Simalungun
SMK Negeri 11
Medan
6.
Maria Agnes
Hutagalung
Medan
7 Agustus 1994
P
Seni Pertunjukan/
Musik (Piano Klasik)
2012
Medan
Batak Toba
Batak Toba
SMK Negeri 11
Medan
7.
Neni Munthi Rima
Sembiring Brahmana
Pekanbaru
10 September 1994
P
Seni Media Rekam/
Televisi
2012
Medan
Batak Karo
Batak Karo
SMA Methodist-AN
Pancur Batu
8.
Abdi Parningotan
Tambunan
Balige
18 Februari 1995
L
Seni Pertunjukan/
Musik (Clarinet)
2013
Medan
Batak Toba
Batak Karo
SMK Negeri 11
Medan
9.
Tulus Pranto Siburian
Simamora
20 Agustus 1994
L
Seni Rupa/
Lukis
2013
Siborongborong
Batak Toba
Batak Toba
SMA Negeri 1
Pagaran-Taput
10.
Daniel Raja Kesatria
Nainggolan
P. Sidempuan
19 Mei 1993
L
Seni Pertunjukan/
Teater
2012
Medan
Batak Toba
Batak Toba
SMA Cahaya
Medan
Sumber: Hasil wawancara tanggal 19 Mei sampai 22 Juni 2015
Lampiran 2: Transkrip Wawancara
TRANSKRIP WAWANCARA
P : Pertanyaan
J : Jawaban
1. Informan: Yohansen Eka Andika Sihotang
Pengetahuan Informan tentang Yogyakarta
P : Mengapa anda memilih kuliah di ISI Yogyakarta?
J :
Selain senang aku dengan seni, kalau ngerjain juga gak merasa capek.
Pas sebelum UN pokoknya SMA udah bahas tentang jurusan yang mo
diambil. Trus aku bilang sama kawan-kawanku, kalian ambil apa? Orang itu
rata-rata ngambil akademik. Aku mikir kan “aduh ikut gak aku ini akademik
ya?” Banyak teman bilang ke ITB aja. Ku searching kan informasi ITB, uang
kuliah melunjak, nyerah. Trus ada kawan, si Bernard (satu sekolah di SMU)
itu anak musik (di ISI Yogyakarta), dia bilang gini “jadi gak Yoh kau
ngambil seni?” katanya. “Kau dimana Nard?”, “di ISI” dibilangnya gitu kan.
Itu pertama kali aku dengar ISI “ih apa ISI ini?” “Apa ISI itu Nard?”
“Tengok-tengok, searching-searching lah ini websitenya!”
Belum tau aku disitu ada ISI yang lain. Terus searching dia lah kan.
“Ambil-ambil ini”. Kutanya-tanya sama senior sana katanya di ISI Jogja itu
nomor satunya seni rupa katanya. Paling diakui di Indonesia ISI Jogja ini seni
rupanya. Serius Nard? Serius Nard? Terus datang si Bernard “ayolah ayolah
aku mo berangkat sebulan lagi setelah UN”. Pas kulihat lah perkembangan
perkembangan tentang seni, kutengok orang-orang macam apa sih masuk seni
ini, kupikir gitu kan. Khususnya yang anak seni rupa lah, kalau musik gak
terlalu kan. Wah keren ini. Kemaren ada anak ISI, klo yang anak ISI yang
buat logo kereta api Indonesia. Kemaren ku searching, dia memang pas
sekitar tiga tahun setelah kuliah atau empat tahun kan.
Aku searching searching di internet. Khususnya yang anak seni rupa
lah, kalau musik gak terlalu kan. Wah keren ini. Kemaren ada anak ISI, klo
yang anak ISI yang buat logo kereta api Indonesia. Kemaren ku searching, dia
memang pas sekitar tiga tahun setelah kuliah atau empat tahun kan. Pas
kutengok, yah kog bisa ini, kan pas pertama lulusan-lulusan ISI yang
terkenal, ku searching dulu kan. Kulihat lah Soimah, Raja yang ikut X-Factor
itu yang vokalis yang roker-roker. Trus ku searching, eh ada ini desainer.
Trus kutengok, ih menang logo dia 200 juta kan. Trus kan abis kulihat itu 200
juta, aku lihat itu nya juga, namanya kan anak-anak, iming-imingnya besar
ini, aku pikir gitu kan.
Searching-searching lagi. Terus kemaren ada tampil lagi di Hitam
Putih, desainer animasi Transformer (kurang tau alumni mana, kalau gak ISIITB). Tapi aku kemaren aku cari kog harus seni sih? Kenapa gak akademik?
Jadi ku searching kenapa desain diminati. Pas dicari itu jawabannya kek gini;
kalau semakin majunya teknologi DKV (Desain Komunikasi Visual) semakin
dibutuhkan, katanya gitu. Katanya kalau di Indonesia memang masih minim
tentang pendidikan DKV, kayak istilahnya kurang begitu luas. Sarananya
masih minim, pokoknya kebijakan-kebijakan pemerintah masih kuranglah,
belum mengutamakan itulah. Sedangkan pas kubaca Amerika Serikat kan
kekuatannya itu, perfilman, trus animasi-animasi. Katanya pas disitu kalau di
Amerika itu kan, jadi kalau desainer di Amerika Serikat itu setiap tahunnya
itu yang jadi sekitar 200.000 banding satu. Setiap desainer Indonesia yang
lulus satu orang, di Amerika Serikat udah 200.000 orang yang lulus. Jadi
kalau 1000 orang desainer di Indonesia disana udah berapa.
Trus kog bisa gitu sih. Kog segitu besarnya sih minatnya yang di luar.
Trus dikasi contoh simpelnya, android lah, semakin maju android, semakin
banyak orang memikirkan kerja, mereka juga butuh refreshing, butuh
hiburan. Nah hiburan itu kan dari anak seni. Selain musik, gambar juga iya.
Trus pas ku searching kan ditunjukkan orang itulah, contohnya aplikasi HP
lah, misalnya iPhone kan, cuman musik, logo musik itu gambarnya kayak
folder dia, itu 5 sampai 8 juta harganya, sekecil itu. Baru pas ku searching
kan jadi kalau misalnya kan contohnya iPhone sama Microsoft tanpa desainer
gak jadi. Orang itu cuma bisa buat mesin di dalam tapi buat layarnya itu anak
desain. Buat layar bisa geser, bisa main gitu.
Pas searching gitu kan, kog bisa gini ya kog bisa gini, pokoknya makin
penasaran kan. Trus kalau katanya juga, kalau misalnya pembuatan konsep di
televisi, tim-tim kreatif acara TV butuh seorang DKV, butuh tenaga DKV,
ada konseptornya gitu lah. Pokoknya masalah kecil lagi, ini lagi kujalani,
masalah usaha baju. Jadi kalau misalnya DKV pun hanya mengeluarkan
sedikit bakatnya, kayak desain (gambar) baju kan kecil itu, soalnya desainer
bisa lebih dari itu.
Trus disitu dibuatlah kenapa desainer sangat dibutuhkan. Kalau masalah
jadi pengusaha, desainer sudah lebih unggul dari yang lain. Jadi kalau
misalnya punya usaha yang desainer, hanya gambar gitu kan, kalau betulbetul udah punya banyak orderan jadi bisa paling sedikit itu 20 juta per bulan
penghasilannya. Kalau per satu desain 300 ribu atau 400 ribu. Aku juga lihat
disitu kan desainer ini kayaknya prospeknya cerah, mikir pendeknya kesitu.
Trus ku searching lagi kan kenapa sih ISI ini yang harus kupilih. Kek mana
biayanya, kehidupannya, terus kan kalau di tivi-tivi katanya orang Jogja
memang baik, memang ramah gitu kan. Cocok ini pikirku. Terus, searching
searching lagi, ekonomi termasuk murah, kayak di Sumatera juga murahnya.
P : Apa keistimewaan ISI Yogyakarta dibandingkan kampus lain menurut
anda?
J :
Kampus yang jadi pertimbanganku itu ITB, Seni Rupa Unimed, lalu ISI
Jogja. Setelah tahu ISI Jogja nomor satu, ISI yang lain kuabaikan. Itulah
duluan mo ngambil desain ITB atau ISI. Pas kutanya ITB kan ternyata ITB
langsung maen digital, langsung maen komputer. Trus di searching ini kalau
masalah manual anak ISI menang semua, soalnya tiap pelajarannya tiap
prakteknya itu gak fokus di digital. Jadi tangan bergerak pun nambah skill
juga. Trus kan kemaren aku juga masih bingung, kog institut sih namanya
sama kayak ITB kan. Jadi dijelaskan kawanku lah. Jadi kalau institut itu
kebanyakan praktek. Kalau di ITB prakteknya digital. Memang kalau karya-
karya orang itu memang bagus kalau digital. Dan aku juga juga mikir ngapain
bisa digital kalau manual gak bisa. Aku mikir malah mending manual dulu
baru digital. Aku mikir disitu, pemikiran dasarku disitu.
Kalau Seni Rupa Unimed, pendidikan ternyata. Jadi pas mikir pertama
kan masih awalnya ITB, lalu Unimed kan setelah itu ISI Jogja. Bedanya lagi
ISI Jogja pendaftaran gratis jadi semakin menarik. Kog bisa gratis sedangkan
yang lain dibuatnya mahal-mahal pendaftaran. Kutengok lagi dari ikatan juga,
ikatan alumni katanya juga bagus, anak-anak ISI juga bagus. Seni rupa juga
katanya seni rupa ISI Jogja lah yang paling aktif di Indonesia, khususnya di
Jawa, membuat acara, pameran dan berbagai event. Trus yang istimewanya
lagi kos-kosan banyak dibuka disekeliling ISI, jadi aku ke kampus cuma
semenit.
Pernah juga sama UGM, teman-temanku. Kalau kubanding-bandingkan
dari mata kuliah orang itu lah, lebih suka aku yang banyak praktek. Trus
kalau masalah tempat, UGM ribut, kalau disini lumayanlah damai soalnya
masih pedesaan gitu. Kalau di kampus UGM kalau mau berkegiatan harus
permisi, kalau kita disini udah bagaikan rumah lah. Soalnya masyarakatmasyarakat disini juga bebas masuk sana, masuk kampus ISI. Jadi istilahnya
kalau misalnya ada kayak pertunjukkan entah apa, kalau kita jauh masyarakat
pasti segan mau masuk sedangkan disini kalau kita ngadakan acara apa pun
gitu nanti kek orang kampung-kampung sini datang. Selain jadi penikmat,
jadi penilai juga.
P : Apa yang anda ketahui tentang Yogyakarta sebelumnya?
J : Gak ada. Klo gak salah kota seni katanya, dari berita.
P : Apa yang anda ketahui tentang budaya di Yogyakarta sebelumnya?
J : Paling yang tau manggil cowok mas, manggil cewek mba. Kalau karakter
orangnya gak cari tau soalnya aku dulu termasuk orangnya cuek.
P : Apakah ada perasaan cemas sebelum berangkat ke Yogyakarta?
J : Gak ada. Kalau sama Jogjanya gak ada. Cuman kalau masalah masuk atau
enggak baru ada.
P : Apakah anda mencari informasi tentang kehidupan di Yogyakarta
terlebih dahulu sebelum berangkat? Informasi apa saja?
J : Aku kemaren nanya kawanku itu (Bernard) kosannya dimana, tentang
harganya. Ada juga kemaren pengalamanku di Bali mahal uang kos, pas
disini cuma 250 ribu, ihh murahnya. Trus juga makanan murah kan.
Gaya Berkomunikasi
P : Bagaimana cara anda berbicara saat anda berada di kampung halaman?
J : To the point langsung. Pokoknya kalau ngomong sama teman ngomongnya
gak beres. Maksudnya kek marah-marah aja terus.
P : Bagaimana cara anda berbicara saat ini di Yogyakarta?
J :
Tetap aja sama, masih berbau Medan kali, Siantar kali. Biarpun
misalnya kan udah terkontaminasi sama anak-ank Jogja ngomongnya juga
lembut. Pernah kelepasan tapi sekali-kali paling pas, kalau masalah berdebat
kalau udah ngomong lembut kek nya hambar rasanya. Kalau orang itu kan
memang karna udah cara ngomongnya gitu. Jadi aku kalau ngomong masalah
debat awalnya masih lembut masih ngikutin. Tapi kalau kira-kira udah,
pokoknya, seringnya debat kan (masalah kuliah), teori gambar misalnya,
pokoknya kalau aku udah merasa benar awalnya mungkin karna keras kepala.
Memang kek gitu langsung dibilang kek gitu. “mana buktinya” pokoknya
Medan Medan kali.
Dan itu lagi bedanya. Jadi kalau ngomong sama orang Jawa, kan kalau
mereka ngomong sikap tubuhnya rapi. Kalau aku ngomong sama orang Jawa
kemaren masih gitu juga. Tiba pas gitu sama-sama orang Batak, aduuuhhhh
kek gini (angkat kaki di atas kursi), gini-ginilah buka-buka baju. Sering gitu.
Kek di Burjo lah, keras-keras suara kami. Pokoknya sampe kedengaran
masyarakat gitu. Ih kaunya kaunya, gitu, keras-keras kali.
P : Apakah anda pernah mengalami masalah dengan gaya bicara anda
tersebut? Sebutkan jika pernah!
J : Kalau masyarakat nggak ada. Tapi memang kalau orang ini nanggapin
bahasa gitu keknya maklum. Kalau gak maklum mungkin takut. Pernah di
kampus, masalahnya pas sama cewek ngomong. Kog kasar kali ngomong,
katanya gitu (orang Jawa, mahasiswa). Pinjamlah pinsilmu, kubilang gitu.
Syok aku pertama. Yang marahin aku sebenarnya bukan dia, ada kawanku.
Kog kasar kau ngomong, katanya. Bukan dia langsung yang ngomong. Si
cewek ini ngasi minjam tapi kayak-kayak gak enak dia (informan
memperagakan mimik wajah tidak suka). Aku gak tau apa-apa kan. Baru pas
membalekkan lah baru. makasih ya pinsilnya.
P : Apakah anda lebih suka berbicara langsung kepada intinya atau
berbasa-basi?
J : Langsung pada intinya.
P : Bagaimana cara anda menyampaikan sesuatu saat berkomunikasi di
Yogyakarta? Langsung kepada intinya atau berbasa basi? Jelaskan!
J :
Kalau ngomong tetap langsung-langsung aja. Cuma kalau sama orang
Jawa ini butuh kali basa-basi makanya aku menyesuaikan diri lah basa-basi.
Awal-awalnya kek apa, pas aku ngomong kurasakan itu omong-kosong.
Keknya sandiwara itu semua. Trus setelah tau itu perlu khususnya kalau
ngomong sama orang Jawa. Cuman kalau sama orang Batak biasa-biasa aja.
Trus itu kemaren ada, orang Jawa sendiri mengakui, kalau kelen orang
Medan kalau gak senang pasti blak-blakan kog gitu ya katanya. Yang pernah
kualami pas minta rokok. Trus pas kuminta rokok, bang kuminta rokokmu,
kubilang gitu kan (manggilnya bang karna udah lama kenal, awalnya manggil
mas). Ambil aja katanya gitu. Ya kuambil. Dia ramah kan. Trus pas kuajak
cakap udah kelihatan dia disitu, itu aku gak sukanya. Sedangkan kalau yang
orang-orang kita, kalau orang-orang Batak ini langsung jelas. Jadi gak ada
cerita di belakang nanti. Kalau marah ya marah. Gak perlu disimpan simpan
di hati gitu kan.
P : Bagaimana sikap anda terhadap rekan anda yang tidak langsung kepada
intinya saat berbicara dengan anda?
J : Langsung kubilang, langsung aja bilang intinya, kubilang gitu. Contohnya pas
ada kawanku (orang Jawa) datang ke kos, nanya nanya, lagi ngapain kau, lagi
ngapain kau, gini gini kau, pokoknya udah panjanglah ngomongnya.
Kutengok, ini mo ngakrab mo ngapa ngapain. Langsung kutanya gini, ada
maksudmu kesini kan, kubilanglah langsung kek gitu. Mo minjam ini atau
apa, silahkan. Orang Medan juga kek gitu kubuat. Tapi orang Medan kalau
kek gitu sih udah canda-candaan kan.
P : Apakah ada komunitas khusus mahasiswa Batak di ISI Yogyakarta?
Sebutkan jika ada?
J : Ada. KSBJ (Keluarga Seni Batak Japaris)
P : Apakah anda tergabung dan terlibat aktif dalam komunitas tersebut?
J : Iya, setelah tau KSBJ rajin aku ikut. Pokoknya tiap kumpul aku datang terus.
Tahun ini aku dipilih jadi ketuanya.
P : Bagaimana anda mengetahui tentang komunitas tersebut?
J : Pas mo bulan ke dua kuliahlah, aku di SMS, dibilang orang, ayok kumpul
yok. Ngapain, kubilang. Ada KSBJ, katanya. Apa itu KSBJ, kubilang.
Keluarga Seni Batak Japaris. Aku secara gak langsung, wah ada juga kawankawanku nanti. Langsunglah, langsung mau. Nambah-nambah kawan juga
kan.
P : Bagaimana perasaan anda saat berada bersama teman-teman suku
Batak khususnya dari Sumatera Utara?
J : Lebih nyaman berkawan sama orang Batak apalagi kalau satu kampung karna
kalau berkawan sama orang Batak rindu sama kampung halaman itu jadi
berkurang dikit. Gaya-gaya bahasa, di kampung juga gitu gaya bahasanya.
Adaptasi Budaya
P : Seperti apa budaya di Yogyakarta menurut anda saat ini?
J :
Kalau di sini betul-betul OK lah, sederhana. Anak-anak naek sepeda
rame-rame, nengok kakek-kakek naek sepeda, keknya enak mata lihat, segar.
Trus kalau kita lewat kan, biarpun kita gak nyapa, halo mas. Langsung, aduh,
baiknya orang ini. Aku aja kemaren, pas lewat lah, awal-awal baru-baru
nyampe itu, terkejutlah aku. Kemana mas, kuliah ya, yang rajin ya mas.
Nenek-nenek yang bilang. Pas pulang kan ada lagi kakek-kakek. Ehh, baru
pulang ya mas.
Aku menanggapinya, sebenarnya aku bingung. Tapi sambil nunduk lah,
iya pak, iya pak, gitu gitu terus. Cuman pikir-pikir, ihh baek kali orang ini ya.
Terkadang klo misalnya aku lewat gitu, orang itu disitu, misalnya orang itu
lagi ngapain, gak kusapa, kayak merasa bersalah kali. Karna udah terbiasa
kek gitu kan. Baru nanti bapak-bapaknya siskamling. Kalau di sini memang
betul-betul kental lah desanya.
P : Apakah anda menemukan kendala dari segi bahasa? Apa saja kendala
tersebut?
J :
Kalau penduduk asli bahasa Jawa kebanyakan. Cuma kalau
ditengoknya kita perantau, bukan penduduk asli langsung dipakenya bahasa
Indonesia. Kalau di kampus ngomong pake bahasa Jawa, langsung
diskomunikasi. Udah kucoba bilang, pake bahasa Indonesia lah, gak ngerti
aku. Dipake memang bahasa Indonesia tapi dua kalimat tiga kalimat balik
lagi bahasa Jawa.
Aku kan cuman satu orang aku orang Batak di angkatanku. Semester
satu-dua aku belum aktif, jarang ngumpul. Trus kalau ada kegiatan aku masih
gak ikut. Alasannya karna kurang nyaman, karna gak ada kawanku orang
Medan. Soalnya orang itu ngomong pake bahasa Jawa. Langsung
diskomunikasi langsung miss. Aku juga kemaren pertama-tama masuk udah
kucoba ngumpul cuman ada dua minggu tiga minggu bahasa Jawa terus. Jadi
kalau gak berkomunikasi kan pasti gak kompak-kompak kan. Aku juga mikir
gitu, akh mending di kos daripada stress aku. Ada kemaren kawanku, sering
dia berbahasa Jawa. Jadi kucakapi terus dia baru-baru masuk pake bahasa
Indonesia. Keknya dia merasa gak cocok gitu. Kek aku juga merasakan sama
orang itu lah. Kek orang itu bahasa Jawa. Mungkin orang itu bahasa
Indonesia masih bisalah kuterima soalnya di rumah juga pake bahasa
Indonesia kan. Tapi klo orang itu pake bahasa Jawa, kucoba pun pake bahasa
Indonesia, dijawab orang itu pake bahasa Indonesia, trus dicoba lagi Jawanya,
langsung aduuhhh.
P : Bagaimana anda mengatasi masalah perbedaan bahasa?
J : Pengen juga belajar bahasa Jawa, tapi kalau sama aku gak kebutuhan sih.
Pernah kucoba tapi masih sediiiiikit. Yang ngajarin gak ada, cuman terbiasa
dengar orang itu bahasa Jawa, kutanya artinya gitu. Cuman pengen aja.
Kebanyakan memang kalau pengen kompak (sama orang Jawa) itu memang
orang itu pasti nerima kita kalau kita bahasa Jawa. Apalagi orang jawa ini
sering berbahasa Jawa.
P : Apakah ada perbedaan makna pada kosakata di Sumatera Utara dan
Yogyakarta? Ceritakan pengalaman anda jika ada!
J :
Memang pas awalnya sih yang keceplosan pas ditanya, kamu kemaren
kesini naek apa? Naek kereta, kubilang gitu kan. Situ malu kali aku. Jadi kan
aku kemaren dari utara ini, dari UGM kan kesini. Kan disini gak ada rel
kereta api mo kesini. Jadi kan orang ini kereta itu kereta api. Motor baru
sepeda motor kan. Jadi pas kubilang aku naek kereta, dia masih bingung.
Naek kereta? Serius Sen? Katanya gitu kan. Iya iya, kubilang. Itu makanya
ketawa-ketawa. Sampe di kik aku sama senior-senior orang Batak, sampe
ketawa-ketawa terbahak-bahak orang itu.
Masa sih naek kereta, ada opo?, katanya gitu kan. Ya adalah kereta,
kubilang gitu kan. Ada kog yang ngantar aku, kubilang gitu lagi. Dia nyampe
jadi bingung lah dia. Jadi kek orang bodo‟ lah. Serius naek kereta? Tiketnya
berapa? Ditanya dia gitu. Barulah kutanya, ha tiket? Aku-nya sekarang yang
bingung. Katanya naek kereta, katanya. Masa pake tiket, kubilang gitu. Aku
diantar kog, kubilang gitu. Barulah dijelaskan, baru ditanya dialah gini, kereta
itu yang gimana sih? Malu kali aku disitu. Dia gak ada salah dia kan.
Langsung dibilangnya, eyalah disini namanya motor.
P : Mana yang lebih berat bagi anda, beradaptasi dengan lingkungan dan
budaya atau dengan kehidupan perkuliahan? Mengapa?
J : Lebih berat di kampus, soalnya kalau di ISI ini kurang menjelajah lah aku
kalau di lingkungan sini. Paling cuma di kos, ngumpul di kos. Itulah mungkin
teman kurang. Paling keluar pun waktu mo makan. Pertama kagetnya, sampe
setengah semester. Tugasnya itu semester satu numpuk terus. Tapi ya
untungnya pas ngerjainnya itu aku gak numpuk numpuk. Ada juga yang
sampe lima minggu baru dikumpul, jadi aku kemaren selesai satu satu, tepat
waktu, jadi agak ringan.
P : Bagaimana reaksi anda saat pertama kali berada di Yogyakarta?
J :
Biasa aja sebenarnya. Paling melihat kotanya seperti melihat hal baru
lah. Besar juga, cuman kalo wah belum terlalu. Paling klo nengok, wisata,
candi Borobudur lah baru wah, itulah baru wah. Sampai heran kawanku
kemaren, nengok candi aku keliling keliling, di situuuu aja terus. Ramainya
Jogja lebih ramai dari Siantar. Belum lagi waktu malam. Kalau Siantar
ramenya cuman siang sore. Aku memang orangnya gak suka keramaian.
Tapi memang waktu pertama kali lihat, wah lah, ada yg aneh aneh, ada
yang naek sepeda, naek skateboard. Senimannya di Malioboro. Ada yang
nanti maen gendang, ada nari-nari, ada yang gambar wajah di situ nanti.
Pokoknya keknya banyaklah kutengok sini jenis-jenis orangnya. Ada jenis
seniman kek gini seniman kek gini, orang lucu-lucu yang kek gini, yang
belum pernah kulihat yang seniman pantomim.
P : Apakah ada budaya di Yogyakarta yang mengakibatkan perasaan tidak
nyaman bagi anda? Jelaskan jika ada!
J :
Kalau sama orang Jawa, salaman. Tiap hari jumpa salaman terus.
Enggak suka aku, terlalu munafik kulihat gitu. Pernah sih, kalau misalnya ada
datang orang itu kan, kami lagi ngumpul anak-anak DKV, disitu orang Jawa.
Nanti ada kakak kelas nyalam-nyalam, biasanya orang itu nyalam langsung
kedua belah pihak langsung memberikan tangannya bersikap salaman, kalau
yang sama aku tunggu diulurkan dulu tangannya mau salaman, tunggu
nyampe baru langsung gini aku (memperagakan tangan bersalaman). Kalau
dia gak ngasih tangannya ya udah gak usah. Mending kek gitu. Gak tau ya
langsung gak nyaman aja.
Tapi memang kalau sama orang Batak kubiasakan gitu. Soalnya kan
kalau kita orang Batak nganggap itu kan malah jadi makin kompak
sebenarnya. Kalau orang itu merasa itu mempererat orang itu, kalau aku
merasa kalau orang itu nyalam sama aku makin menambah kejanggalan, gitu.
Kalau orang Batak, kenapa ya, aku juga masih bingung. Mungkin karena
jarang jumpa. Kalau yang sering jumpa gak kusalam kalau yang Batak. Kalau
yang jarang jumpa contohnya anak seni musik sering kusalam. Tapi kalau
yang orang Jawa ini, misalnya kita sekarang jumpa kan salaman. Trus ke
rumah masing-masing kan. Nanti jam-jam 11 lagi yang ngobrol lagi, datang
salaman, pulang salaman. Maunya biasa ajalah. Tau sama tau kog.
P : Apakah anda pernah merasakan homesick? Apa saja hal-hal yang anda
rindukan?
J : Pernah. Yang paling dirindukan kawan-kawan di Siantar sama orangtua.
Kawan khususnya kawan sepermainan. Banyak jugalah, orang itu makin
membuat homesick, chatting facebook. Pulanglah kau biar gini-gini kita, kata
orang itu. Ngeri kali. Soalnya pas, memang pas waktu satu SMA memang
kegiatanku sama kawan-kawan lumayanlah, lumayan kuatlah. Mancinglah,
maen bola lah tiap hari.
P : Bagaimana anda mengatasi rasa homesick tersebut?
J :
Pas kemaren seringnya dibilang kawan-kawanku, ayolah gabunggabung, dibilang abang-abang kelas tempat yang aku tinggal kemaren pas
lagi belajar-belajar. Ayo gabung gabung yok sama kawan-kawanmu angkatan
2013, gitu katanya. Gabunglah barulah agak berkurang. Tapi tetap aja
homesick. Kalau kangen aku ya telepon mamak. Trus dibilangnya gini, kek
mana keadaanmu sekarang? Curhatlah aku kan. Mak, rindu kali aku mak
orang mamak. Kampung juga rindu kali aku, maen-maen sama kawanku.
Dibilang mamak langsung gini, kalau rindu kau sama kawanmu telponlah
sekali-sekali, gak apa apa. Pas telepon itulah baru agak terobati. Dengardengar logatnya ngomong, dengar kasarnya ngomong.
Mamak ku sering bilang gitu, cobalah gabung-gabung sama orang
Medan, mo entah orang mana pokoknya Sumatera Utara apalagi orang Batak,
kek ngurangi rindu gitu. Dari cara ngomong pun jadi enak, bebas. Sedangkan
kalau sama orang Jawa kan gak bisa awak ngomong pake bahasa apa. Betul
juga yang dibilang mamak, kubilang gitu. Tapi jujur ya kalau aku ngomong
sama orang Medan merasa itu, rindu kampung itu jadi berkurang.
2. Informan: Bernard Zulfredo Purba
Pengetahuan Informan tentang Yogyakarta
P : Mengapa anda memilih kuliah di ISI Yogyakarta?
J : Tau dari teman kalau disini lingkungannya bagus untuk belajar dan memang
Jogja terkenal kan kota pelajar. Dia bilang kalau ISI ini bagus, gitu kan.
Negeri, uang kuliahnya gak terlalu berat. Gak kek Jakarta, macet apa ini
segala macam. Aku lihat-lihat di internet siapa aja lulusan ISI, siapa sih yang
terkenal. Aku kan udah lihat, gitu, ada kog musisi yang udah terkenal, lulusan
sini. Misalnya, Oni Krisnerwinto (pimpinan grup Oni N‟ Friends), yang biasa
pengiringnya Indonesian Idol, X-Factor. Ha itu kan mereka semua ininya
(satu grup itu) rata-rata dari ISI. Kalau mereka manggil orkestra juga kan
rata-rata dari ISI juga mereka manggil.
P : Apa keistimewaan ISI Yogyakarta dibandingkan kampus lain menurut
anda?
J : Kualitasnya, ya aku lihat alumni-alumninya itu. Alumninya yang punya nama
besar itu. Maksudnya lulusan sini yang sudah terkenal di Jakarta. Aku ngeliat
dari situ.
P : Apa yang anda ketahui tentang Yogyakarta sebelumnya?
J : Ya kota pelajar itu.
P : Apa yang anda ketahui tentang budaya di Yogyakarta sebelumnya?
J : Tentang budaya, ya disini, budayanya kuat ya. Jawanya kental banget, masih
pake sistem keraton. Aku kan buka-buka juga di internet tentang Jogja itu
gimana, gitu. Ya trus, ini, seperti miniaturnya Indonesia. Semua orang di
seluruh Indonesia itu datang ke Jogja buat belajar, jadi miniaturnya Indonesia.
P : Apakah ada perasaan cemas sebelum berangkat ke Yogyakarta?
J : Tidak ada, yakin aja.
P : Apakah anda mencari informasi tentang kehidupan di Yogyakarta
terlebih dahulu sebelum berangkat? Informasi apa saja?
J : Ada juga. Soalnya dibantu sama abangku juga. Abangku kan yaaa udah
berapa kali kesini. Dia kan kuliah di Bandung. Jadi sedikit banyaknya dia
tahu tentang ini. Ya dia sebelum aku berangkat kesini udah cerita juga. Ya
ceritanya di sana itu orangnya ya ramah, ngomongnya lembut, Jawanya gitu.
Gaya Berkomunikasi
P : Bagaimana cara anda berbicara saat anda berada di kampung halaman?
J : Di Siantar aku ngomongnya kayak orang sana (Siantar), kasar, teriak-teriak,
kau kau gitu manggilnya.
P : Bagaimana cara anda berbicara saat ini di Yogyakarta?
J :
Kalau di sini kan sudah kamu, gitu sama orang. Nadanya juga ya lebih
lembut. Sebenarnya tetap kayak di Siantar, tapi ya kita lihat ininya juga,
maksudnya lihat tempatnya juga. Kalau memang lagi area kita (hanya orang
Batak) semua, udah ngomong blak-blakan aja. Kalau ketemu sama yang dari
Sumatera Utara, “Bah, ai ho do i?” langsung gitu. Tapi kalau lagi di kampus
gitu, ya gak terlalu berkoar-koar.
Kalau sama orang Jawa, aku menyesuaikan gaya ngomongku itu
dengan orang Jawa. Kata-katanya, intonasinya, kalau sudah dekat keluar lah
sedikit-sedikit aslinya. Soalnya pasti semakin bebas. Namanya ya teman gitu.
Pasti semakin dekat semakin bebas kan. Semakin buka bukaan, gitu.
Biasanya kalau aku sesama orang Medan sendiri ini ya tetap tapi kalau
sama orang Jawanya ya berubah. Pernah keceplosan tapi disini kalau sama
teman-teman Jawa yang sudah akrab, kompak, kadang-kadang Medannya
keluar juga. Misalnya “woi mo kemana kau” (dengan logat Medan) aku gituin
gitu. Mereka-mereka ya ngerti juga. Tapi kalau sama ya orang-orang yang
teman-teman biasa gitu ya “kamu mau kemana?”. Teman teman biasa ini
yang gak sekompak teman-teman sehari hari aku bergabung lah gitu.
P : Apakah anda pernah mengalami masalah dengan gaya bicara anda
tersebut? Sebutkan jika pernah!
J : Jarang, pernah sih pernah, mungkin waktu awal-awal aku di sini. Mereka
bingung sama struktur kalimatnya. Dibalik-balik kata-katanya. Kita misalnya
kan “mo kemana kau?”. Kalau di sini “Kamu mau kemana?”. Kadang mereka
bingung juga, ha? Apa?, gitu. Makin lambat aku ngomong,
“iya…..kamu…..mo kemana? Oh mo ke sini, dijawabnya. Aku satu semester
pertama itu masih terbawa gaya di Siantar.
P : Apakah anda lebih suka berbicara langsung kepada intinya atau
berbasa-basi?
J : Langsung intinya, karena lebih praktis, langsung to the point.
P : Bagaimana cara anda menyampaikan sesuatu saat berkomunikasi di
Yogyakarta? Langsung kepada intinya atau berbasa basi? Jelaskan!
J : Langsung intinya lah sih sebenarnya. Ya kadang kalau mau minta tolong ya
ada pengantarnya dulu.
P : Bagaimana sikap anda terhadap rekan anda yang tidak langsung kepada
intinya saat berbicara dengan anda?
J : Langsung cepat aja maumu apa, gitu. Kalau aku udah bosan ya langsung
kutanya. Mislanya dia ngomong bla bla bla bla, ya wes intinya apa, gitu.
Paling satu sampai dua menit, kalau pengantarnya terlalu banyak ya langsung,
ya itu intinya apa.
P : Apakah ada komunitas khusus mahasiswa Batak di ISI Yogyakarta?
Sebutkan jika ada?
J : Ada. KSBJ (Keluarga Seni Batak Japaris)
P : Apakah anda tergabung dan terlibat aktif dalam komunitas tersebut?
J : Ikut, kayak makrab (malam keakraban)
P : Bagaimana anda mengetahui tentang komunitas tersebut?
J :
Nyampe sini langsung dikumpulin sama KSBJ. Sebelum tes, sebelum
audisi kita udah dikumpulin semua. Misalnya ada yang tau, misalnya aku ada
orang dari Medan, yang mau testing di ISI. Jadi dia tinggal di kos ku. Jadi
pengurusnya udah cari cari tau. Ada gak yang tinggal di kos mu orang
Medan, ada gak. Langsung didata. Tanggal segini suruh kumpul ya, aaaa gitu.
Maksudnya kita mo lihat persiapan mereka gimana sebelum tes.
Waktu kita yang ngumpulnya itu, yang pertama. Ya langsung
diingatkan, kalian disini dek jangan kalian bawa Medan Medan kelen disini
ya. Ini Jogja, disini ya lembut lah, panggil mas panggil mba, gitu. Jangan
teriak-teriak kalian di kampus. Kalau di Medan kelen bisalah, ini di Jogja, ini
di kampung orang. Kita pengunjung disini, dibilang gitu. Yang paling kuingat
itu.
P : Bagaimana perasaan anda saat berada bersama teman-teman suku
Batak khususnya dari Sumatera Utara?
J : Ya kalau dari Sumatera Utara gitu, memang ada, agak beda sedikit. Oh ini
satu kampuuuung, gitulah. Kalau kita ketemu sama orang Batak dimana aja,
gitu, pasti langsung lengket loh. Kalau misalnya lagi kenalan, gitu,
sebelumnya gak tau orang Batak, gitu kan. Dari Medan kah? Oh dari Medan,
kan langsung, gayanya kan langsung beda. Misalnya awalnya aja yang
“Darimana mas?” pernah juga kek gitu kan. “Dari Medan”, katanya. Oh dari
Medan, Batak berarti. Kan langsung beda, gitu loh. Langsung cepat akrab
kalau sama orang Batak. Jadi orang-orang Batak itu bisa dibilang spesial lah.
Biasa kalau gabung-gabung ya bawa-bawa gaya di sana lah.
Adaptasi Budaya
P : Seperti apa budaya di Yogyakarta menurut anda saat ini?
J : Di sini ya benar-benar kuat menjaga budayanya. Kalau disini budaya sapa
menyapanya itu sih. Ya disini sesama ibu-ibu yang lewat. Disini kalau satu
RT itu misalnya gitu pasti itu saling kenal semua. Kalau disana kan belum
tentu. Satu lingkunganlah, gitu. Mereka kalau bikin acara kerjanya bareng.
Trus sampe mengaspal jalan di depan kos an ku itu, itu bareng semua.
Pokoknya mereka kumpul-kumpul bareng, gitu. Trus tata tertib RT 6,
misalnya gitu, nah itu ditempel di tiap rumah. Nah itu, berarti mereka kan
satu RT tertib, saling kenal, saling membantu lah.
P : Apakah anda menemukan kendala dari segi bahasa? Apa saja kendala
tersebut?
J : Kalau orang sini kan kalau sesama orang Jawanya gak pernah ngomong
bahasa Indonesia. Ngomong bahasa Jawa terus kan. Proses adaptasinya itu
loh yang susah. Apalagi dulu aku belum tau bahasa Jawa. Kuping kita ini gak
bisa menutup untuk tidak mendengar bahasa Jawa. Masalahnya kita, bangun
aja bahasa Jawa, kita mo tidur juga udah bahasa Jawa.
P : Bagaimana anda mengatasi masalah perbedaan bahasa?
J : Paling kalau mereka lagi ngomong Jawa itu, kalau ada yang aku gak ngerti,
gitu, mereka kadang langsung kontak itu. Gini gini gini, atau aku langsung
nanya. Tadi kelen bilang apa, gitu. Aku sedikit-sedikit ya ngerti. Aku kalau
mendengar, ya ngerti, gitu. Selebihnya belum pernah ada masalah, bisa
bahasa Indonesia semua.
P : Apakah ada perbedaan makna pada kosakata di Sumatera Utara dan
Yogyakarta? Ceritakan pengalaman anda jika ada!
J :
Awal awalnya ya pernah. Yang pernah kualami, dia (orang Jawa)
bilang gini, kita minggu depan maen (tampil) disini ya. Trus aku tanya,
lagunya gimana, kita konsepnya gimana. Ya udah, kita besok santai-santai
saja, dibilangnya gitu. Katanya minggu depan kog besok. Ini besok atau
minggu depan, aku bilang kan. Ya besok ini, besok minggu depan, katanya
gitu. Trus aku tanyainlah, ngomong-ngomong disini tuh besok itu gak harus
besok, gak sehari setelah hari ini.
Aku semenjak mengerti itu, langsung ini, besok ya besok Selasa, atau
besok ini, gitu (langsung menyebut nama harinya). Misalnya kalau tampil
disini (DeMid, café/rumah makan tempat berlangsungnya wawancara),
ditanya, kamu besok datang gak. Kan langsung bisa, kita langsung proses,
besoknya oh berarti Rabu depan (setiap Rabu ada perform musik dan sering
diikuti informan). Besok bisa berarti minggu depan, sampai setahun juga bisa
disini. Kalau dalam pemahaman aku sendiri, dengan membawa dari Siantar
besok itu ya, kalau hari ini Sabtu besok ya Minggu.
P : Mana yang lebih berat bagi anda, beradaptasi dengan lingkungan dan
budaya atau dengan kehidupan perkuliahan? Mengapa?
J : Beradaptasi sama lingkungan sini. Karena bahasanya. Maksudnya awalnya
itu adaptasi pas bahasa Jawanya itu Permasalahannya itu pas aku masih
belum tahu apa-apa tentang bahasa Jawa. Kalau tentang perkuliahan aku gak
da kaget sama sekali. Soalnya aku dari sana udah mempersiapkan diri, gitu.
Musik ini kan udah piihan hidup. Aku dari sana kan udah punya gambaran,
gitu kan. Aku, di otakku lebih tergambar di musiknya daripada
lingkungannya.
P : Bagaimana reaksi anda saat pertama kali berada di Yogyakarta?
J : Suka sama lembutnya orang sini.
P : Apakah ada budaya di Yogyakarta yang mengakibatkan perasaan tidak
nyaman bagi anda? Jelaskan jika ada!
J : Tidak ada
P : Apakah anda pernah merasakan homesick? Apa saja hal-hal yang anda
rindukan?
J : Gak pernah, kangen makanan sana pernah pas awal-awal.
P : Bagaimana anda mengatasi rasa homesick tersebut?
J : Pertamanya di sini belum terbiasa makan di angkringan. Aku cari rumah
makan padang. Aku cari rumah makan yang banyak pilihan lah pokoknya.
Yang masih ada ayam goreng, ayam kecapnya, masih gitu-gitu. Semester dua
sudah mulai pergi ke angkringan.
3. Informan: Afrina Silvi Theodora Pakpahan
Pengetahuan Informan tentang Yogyakarta
P : Mengapa anda memilih kuliah di ISI Yogyakarta?
J : Karna pengen lebih mendalami seni. Ada ketertarikan sendiri aja. Kayaknya
di seni itu emang, ya emang basic-ku itu di seni. Aku kan maunya kuliah di
Jogja. Emang aku mau coba di Jogja tapi bukan ke ISI, ke UNY jurusan
musik juga, cuman lebih ke pendidikan. Saran dari abangku, kan abangku di
Jogja (UGM), nah dia bilang, tes di ISI aja dulu. Soalnya dia tahu musiknya
lebih bagus di ISI. Di Jogja kan ISI kan lumayan apa ya, lumayan ada nama
lah. Karna abangku bilang kek gitu ya udah aku testing aja dulu di ISI. Karna
juga kakak-kakak kelasku dari SMA lebih banyak di ISI. Mereka juga bilang
lebih bagus di ISI. Dan lebih susah testingnya di ISI, dibilang gitu.
P : Apa keistimewaan ISI Yogyakarta dibandingkan kampus lain menurut
anda?
J : Musiknya itu lebih matang aja. Lebih matang dari kampus-kampus lain.
Lebih bagus kalau menurutku. Pemain-pemainnya lebih siap. Emang lebih ke
player, pemain. Kalau kampus lain kan ke pendidikan. Kalau aku melihat
orkestranya, ISI itu dibanding yang lain emang lebih bagus aja daripada
orkestra lain.
P : Apa yang anda ketahui tentang Yogyakarta sebelumnya?
J : Aku kan sebelum kuliah disini, maksudnya lima tahun yang lalu kan pernah
juga ke Jogja. Buat ngantar abang kuliah di Jogja, aku ikut. Nah aku suka
Jogja ini, kalau aku, suasananya Jogja ini nyaman, ramah orang-orangnya.
Bukan kayak Medan kan, maksudnya Medan kan orang-orangnya kasarkasar. Kalau di jalan bus-bus apa segala macam angkot-angkot itu, cakapnya
juga sembarang, kek gitu. Kalau disini kan enggak, lebih teratur aja. Trus
Jogja itu terkenal dengan keraton, Borobudur, candi-candinya, menonjol taritarian tradisionalnya.
P : Apa yang anda ketahui tentang budaya di Yogyakarta sebelumnya?
J : Taunya aku Jogja terkenal tuh keraton. Kalau yang menonjol mereka taritarian tradisionalnya.
P : Apakah ada perasaan cemas sebelum berangkat ke Yogyakarta?
J : Enggak sih kalau itu enggak. Cuman dengan aku pribadi, maksudnya aku
sendiri, aku gimana ya disana, bisa nggak aku bertahan. Disini kan ngekos,
kan belum pernah ngekos, sekolah jauh. Bisa nggak aku bertahan sendiri
tanpa di dekat orangtuaku. Nah paling kek gitu, ya karna selama ini, mulai
dari sekolah SD sampai SMA kan di bawah naungan orangtua terus, kek gitu.
Gak pernah jauh.
P : Apakah anda mencari informasi tentang kehidupan di Yogyakarta
terlebih dahulu sebelum berangkat? Informasi apa saja?
J : Paling informasi tentang ISI aja, karna selebihnya itu di pikiranku kan, nanti
aku nyampe Jogja ada abangku, kek gitu. Jadi ya udah sekedar tau informasi
ISI, tau kapan pendaftarannya, udah.
Gaya Berkomunikasi
P : Bagaimana cara anda berbicara saat anda berada di kampung halaman?
J : Sama sih, paling beda-beda dikit. Kalau di Medan ya kayak gini, kayak kita
ngomong sekarang.
P : Bagaimana cara anda berbicara saat ini di Yogyakarta?
J : Kalau disini kayak gini tapi ya lebih lembut sikit maksudnya. Kan aku di
Jogja juga teman-temanku juga orang-orang Medan. Bergaulnya juga sama
orang-orang Medan jadi ya logatnya gini-gini aja. Kalau sama yang nggak
orang Medan paling gak kasar kali kayak “kau”. Kalau di kampus pake kata
“kamu” tapi kalau sama orang Medan ya langsung kasar lagi, otomatis.
Sebenarnya kalau gak sama orang Medan kek gini juga logatku cuman paling
beda dikit. Paling mungkin gak seceplos aku ngomong sama orang Medan,
kek gitu, lebih jaga.
P : Apakah anda pernah mengalami masalah dengan gaya bicara anda
tersebut? Sebutkan jika pernah!
J : Enggak ada masalah sih, kek gimana ya, mungkin kalau yang gak suka,
ngomong-ngomong, aku dengar dengar di belakang ada, tapi kalau yang
ngomong langsung sama aku itu gak ada. Tapi kalau di depanku semuanya
mereka senang-senang aja. Maksudnya, aku ngomong sama mereka itu
memang nyeplos, emang kek gini, gitu loh, langsung. Tapi aku juga sering
buat kayak humor-humor kek gitu. Sering buat lucu-lucuan. Asyik-asyikan
sama temenku sering.
P : Apakah anda lebih suka berbicara langsung kepada intinya atau
berbasa-basi?
J : Langsung kepada intinya.
P : Bagaimana cara anda menyampaikan sesuatu saat berkomunikasi di
Yogyakarta? Langsung kepada intinya atau berbasa basi? Jelaskan!
J : Langsung sama intinya, sama siapapun termasuk sama orang Jawa. Awalawalnya mungkin mereka kaget. Mereka bilang, Afrina orangnya blakblakan, ceplas ceplos banget, aku usaha buat menyesuaikan diri aja sama
mereka. Kalau sama orang Batak ya langsung-langsung aja tapi kalau sama
orang itu (orang Jawa) yang kek mana ya, paling ngomong ada kata
pengantarnya dulu lah. Gimana ya, kadang aku sih masa bodoh. Terlampau
apa ya, terlampau keknya harus diatur-atur banget gitu loh, kayak bukan
diriku sendiri.
P : Apakah ada komunitas khusus mahasiswa Batak di ISI Yogyakarta?
Sebutkan jika ada?
J : Ada. KSBJ (Keluarga Seni Batak Japaris)
P : Apakah anda tergabung dan terlibat aktif dalam komunitas tersebut?
J : Aku ikut di KSBJ, aktif juga karna aku senang di KSBJ. Maksudnya kek
mana ya, cinta sama komunitas ini. KSBJ itu orang-orangnya itu yang kulihat
persaudaraannya kuat. Jadi kayak kalau ada masalah mereka langsung peduli,
peduli banget.
P : Bagaimana anda mengetahui tentang komunitas tersebut?
J : Di awal kuliah, karna sebelum aku masuk, kan kami tu ada dikumpulin tuh
yang calon mahasiswa baru. Trus nanti dibuat kayak kami testing. Kami
nampil semua trus mereka kasi masukan, diajarin, kayak kita dibimbing.
Dikasi bimbingan, diajarin, gratis gak bayar.
P : Bagaimana perasaan anda saat berada bersama teman-teman suku
Batak khususnya dari Sumatera Utara?
J : Aku dari dulu sama orang Batak sih. Karna memang ya orang-orang itu yang
paling dekat sama aku, yang selalu tiap hari jumpa juga, satu kontrakan juga.
Lebih nyaman sama orang Batak. Soalnya lebih, yang kayak kubilang tadi,
lebih luas, lebih bebas. Maksudnya gak usah terlampau jaga-jaga kalau mo
ngomong, kek gitu. Ya udah ceplos aja, aku lebih bisa jadi diriku sendiri.
Adaptasi Budaya
P : Seperti apa budaya di Yogyakarta menurut anda saat ini?
J : Kalau disini lebih, budaya tata kramanya lebih ditonjolkan. Jadi kalau kita
masuk ke gang, rumah-rumah, kalau di Medan kan jalan ya udah jalan aja,
ngapain tegur-tegur orang kecuali kenal, gitu. Kalau disini kan kita harus,
permisi mba, permisi bu mari, nah harus ramah. Memang betul-betul ramah.
Cara orang-orangnya bertutur kata, beda banget. Ya kalau disana kan, kayak
gimana ya dibilang, mungkin kalau kata-kata kotor masih sering kudengar.
Trus kasar. Semua ngomong tu kan kayak marah marah gitu loh. Ngomong
cuman mo bilang ngobrol dikit aja nanti kayak udah mo berantam. Trus supir
supir angkot disana juga langsung emosian semua kan. Nanti klakson
klakson, beriiiisik banget. Trus nanti bisa berantam sama supirnya. Ngomong
apalah, sampe berenti gitu rame satu jalanan. Nah kalo disini ramah-ramah
semuanya. Kita gak kenal juga, mari mba, kayak gitu. Trus mereka juga
budayakan, lebih ini sih, lebih teratur lalu lintasnya, pake helm, jalan-jalan
gini pake helm. Kalau di Medan jalan besar aja gak mau pake helm, tarek
tiga. Kalau disini mungkin lebih taat lah. Lebih patuh.
P : Apakah anda menemukan kendala dari segi bahasa? Apa saja kendala
tersebut?
J : Ya, kalau awal-awal disini kan aku gak ngerti. Mereka kan bahasa Jawa.
Apalagi mereka bahasa Jawanya bahasa Jawa halus. Kalau yang kasar masih
lebih ngerti dikit-dikit. Kalau yang halus ya sama sekali gak ngerti aku. Ya
paling belajar-belajar ajalah sama temenku, kek gitu. Teman-teman kuliah
mereka juga pake bahasa Jawa kadang kadang.
P : Bagaimana anda mengatasi masalah perbedaan bahasa?
J : Paling kalau aku ndak ngerti aku langsung nanya sama temanku artinya apa.
Pernah juga sih minta mereka pake bahasa Indonesia. Kalau kubilang kek gitu
responnya baik.
P : Apakah ada perbedaan makna pada kosakata di Sumatera Utara dan
Yogyakarta? Ceritakan pengalaman anda jika ada!
J : Kata semalam sering. Mereka kan gak ngerti kalau semalam itu kan kemaren.
Mereka ngertinya semalam itu kemaren malam. Mereka bingung. Misalnya,
semalam loh kami berenang dek, kubilang kek gitu. Semalam berenang? Jadi
mereka kek, loh tadi malam itu kalian berenang. Jadi mereka bingung, kog
berenang malam-malam.
P : Mana yang lebih berat bagi anda, beradaptasi dengan lingkungan dan
budaya atau dengan kehidupan perkuliahan? Mengapa?
J : Sama perkuliahan. Perkuliahan, aduuuhhhh, ya, tantangannya berat aja. Mata
kuliahnya, misalnya tentang mayor, sulit aja. Tingkat kesulitannya itu makin
tinggi. Pernah. Antara semester dua atau tiga. Waktu itu ya maunya
refreshing aja, jalan jalan. Gak mau ngingat ngingat tugas. Gak mau ngingat
ngingat semua masalah kuliah. Jalan jalan aja terus, senang senang aja.
P : Bagaimana reaksi anda saat pertama kali berada di Yogyakarta?
J : “Awalnya biasa, kayak lihat kampus-kampus biasa, tapi ya lumayan kagum
aja lihat UGM. Nyampelah ke Sewon kan, beda!! Kog jadi di kampungkampung awak, gitu ya. Gak kecewa, tapi pengen, kalau bisa ISI pindah aja
di utara, gitu, jangan di Sewon, jangan di kampung kampung. Kalau di
Medan kayak di Lau Dendang, Tanjung Anom, itupun pelosoknya lagi. Itu
sampe dua tiga minggu kek gitu, kog disini, gak bisa dipindah kah lokasinya.
Kog kampung semua. Pertama-tama gitu. Orang-orangnya pun kog kek gini.
Gak ada yang, gak ini, kok katro. Kek gimana ya, waktu abangku ngantar, ya,
ya udah, pasrah ajalah. Terima gak terima, ya emang udah ini kampusku kan.
Berarti emang udah lingkunganku disini. Ya udah gak papa.”
P : Apakah ada budaya di Yogyakarta yang mengakibatkan perasaan tidak
nyaman bagi anda? Jelaskan jika ada!
J : Yang nyapa-nyapa di jalan itu. Aku malah bilang ke temanku, kog harus kek
gini sih, harus kek gini sih. Mau jalan aja harus permisi mba mari bu mari
pak, kan capek. Gak kenal pun harus, ayo bu mari. Selain itu, mereka disini
sering putar lagu, tengah malam, lagu-lagu sinden. Nyinden gitu loh. Kalau
sama aku, itu seram. Lagu-lagu sinden jam dua malam itu rasanya aihhh.
Sering dengar aku jam-jam dua malam. Seram, takut. Soalnya kan kalau lagu
sinden itu ada artinya. Kayak manggil-manggil hantu, gitu loh. Kadang kalau
mo jalan, di jalan lewat rumah orang, gitu kan, suara sinden. Tengah malam,
kadang, suara sinden. Udah langsung pigi aja. Apalagi bau-bau melati, bau
bunga. Ya, menjauh ajalah dari situ.
P : Apakah anda pernah merasakan homesick? Apa saja hal-hal yang anda
rindukan?
J : Pernah, itu tadi waktu mumet (semester dua), tugas semuanya, mo refreshing,
pengen pulang pengen pulang. Rindunya itu paling sama kakakku, kan tiap
hari bareng mereka canda-canda, ya paling adalah rindu, tapi ya udah biasa
aja.
P : Bagaimana anda mengatasi rasa homesick tersebut?
J : Sering komunikasi, sering telponan , ya udah.
4. Informan: Silvana Chrisma Putri Kaban
Pengetahuan Informan tentang Yogyakarta
P : Mengapa anda memilih kuliah di ISI Yogyakarta?
J : Soalnya kan, dari SMA (Kelas 2) kan memang pengen kuliah fotografi tuh.
Kelas satu belum ada mata pelajaran fotografi. Jadi pas kelas dua ada mata
pelajaran fotografi, aku langsung tertarik. Jadi kemaren iseng-iseng tuh
searching searching kampus multimedia., dapatlah, di Jakarta banyak kayak
di Binus, Mercu Buana. Trus muncullah ISI di deretan ke berapa, muncul ISI
Jogja. Trus aku buka situsnya ada khusus fotografi. Di sini aja deh mending.
P : Apa keistimewaan ISI Yogyakarta dibandingkan kampus lain menurut
anda?
J : Kualitasnya lebih bagus, uang kuliahnya murah.
P : Apa yang anda ketahui tentang Yogyakarta sebelumnya?
J : Taunya Malioboro, candi Borobudur, candi Prambanan.
P : Apa yang anda ketahui tentang budaya di Yogyakarta sebelumnya?
J : Kalau budayanya gak tau.
P : Apakah ada perasaan cemas sebelum berangkat ke Yogyakarta?
J : Aku yang paling ku was-was kan itu sih kayak aku nanti gimana membaur
dengan lingkungan sekitar. Jadi kan aku tu orangnya lasak, gak bisa diam,
yang, takutnya ini sedikit, bermasalah. Misalnya, kesana sedikit, bermasalah.
Nanti takut salah salah tingkah aja sih. Masalah-masalah pembauran di sini.
P : Apakah anda mencari informasi tentang kehidupan di Yogyakarta
terlebih dahulu sebelum berangkat? Informasi apa saja?
J : Kalau di Jogja tu, kan kayaknya kakakku lebih tau soalnya dia pernah maen
ke Jogja kalau gak salah. Jogja tu murah murah jadi kehidupannya itu gak
semahal yang disini (Jakarta), jadi kau bisa ngurangin beban kalau kuliah di
Jogja, kata dia kek gitu.
Gaya Berkomunikasi
P : Bagaimana cara anda berbicara saat anda berada di kampung halaman?
J : Gini aku bicara, sama deh.
P : Bagaimana cara anda berbicara saat ini di Yogyakarta?
J : Kalau sama orang yang kek kita ini nih, itu bahasaku yang bahasa Medan.
Tapi kalau sama yang kek misalnya orang-orang sini, orang-orang Jawa, itu
udah lebih lembut, beradaptasi. Daripada nanti aku bicara kayak orang utan
sendirian teriak-teriak, mereka bicaranya diam, diaaaaaaam. Biasalah orang
Medan kan, ininya ke besar-besar gitu loh suaranya, intonasinya. Kalau baru
kenal aku caem-caem dulu, jaga image dulu. Kalau udah kenal gimana
aslinya ya udah aku keluarkan juga asliku juga. Tapi gak semedan-medan
juga, gitu loh.
P : Apakah anda pernah mengalami masalah dengan gaya bicara anda
tersebut? Sebutkan jika pernah!
J : Sejauh ini belum ada.
P : Apakah anda lebih suka berbicara langsung kepada intinya atau
berbasa-basi?
J : Langsung kepada intinya.
P : Bagaimana cara anda menyampaikan sesuatu saat berkomunikasi di
Yogyakarta? Langsung kepada intinya atau berbasa basi? Jelaskan!
J : Tergantung mood sih, kalau lagi gak bagus mood lagi gak enak pengennya
cepet-cepet aja. Daripada bikin emosi ya udah to the point aja.
P : Bagaimana sikap anda terhadap rekan anda yang tidak langsung kepada
intinya saat berbicara dengan anda?
J : Kalau teman yang ngomongnya berbelit-belit kalau aku emang lagi pengen
denger ceritanya, ya kudengerin. Tapi kalau lagi enggak nanti paling aku
tanya, trus intinya apa.
P : Apakah ada komunitas khusus mahasiswa Batak di ISI Yogyakarta?
Sebutkan jika ada?
J : Ada. KSBJ (Keluarga Seni Batak Japaris)
P : Apakah anda tergabung dan terlibat aktif dalam komunitas tersebut?
J : Iya. Pertama itu ngumpul-ngumpul di kampus kayak menyambut adek-adek
mahasiswa baru yang dari Medan. Kayak perkenalan dirilah yang mahasiswa
baru siapa-siapa aja. Aku senang juga karna ternyata gak cuma aku orang
Medan yang kuliah di sini. Kog aku baru tau, ya kayak berasa di rumah lagi.
P : Bagaimana anda mengetahui tentang komunitas tersebut?
J : Aku dikasi tau sama temanku kalau ada ngumpul KSBJ, pokoknya orang
Medan yang di sini. Aku ikut ajalah buat nambah teman. KSBJ itu solidnya
itu sih. Kan ada juga keluarga toh. Mereka udah bilang dari awal, jangan lupa
ya dek KSBJ itu keluargamu, jadi kalau ada susah-susah, sama KSBJ cerita.
Jangan sungkan-sungkan.
P : Bagaimana perasaan anda saat berada bersama teman-teman suku
Batak khususnya dari Sumatera Utara?
J : Ya kayak berasa lagi di rumah. Ada juga sih kayak cerita cerita. Aku kan
melepas rindu juga toh. Ih aku kangen loh ikan teri Medan, gini gini gini. Ih
aku juga kangen loh, ih ya ampun kangen kali. Untunglah aku ketemu kalian.
Kalau ada kalian kan bisa cerita cerita tentang teri Medan. Kalau sama
orang Jawa kan gak mungkin, mereka gak tau teri Medan itu kek mana.
Kalau sama orang Medan udah merasa cocok gitu loh di otak. Oh sama
orang Medan, sama-sama orang Batak pasti keluarga, gitu loh.
Adaptasi Budaya
P : Seperti apa budaya di Yogyakarta menurut anda saat ini?
J : Orang orang Jogja itu kalem, taat peraturan lalu lintas. Aku paling ini lalu
lintasnya. Kalau di Medan kemana mana gak pake helm, biasa aja. Coba
kalau di sini cuma lima meter doang pake helm. Ngomong sama orang Jogja
itu jangan kayak ngomong sama orang Medan, mesti tau attitude,
ngomongnya itu beda. Lebih sopan toh ngomongnya. Mereka itu
ngomongnya pelan pelan yang kita juga balasnya pelan pelan. Mereka pun
marah marah tapi bukan kek marah marah, jadi kita balasnya cuman senyum
senyum gitu. Suasana di Jogja tuh, kalau daerahku, itu lingkungannya lebih
tenang kayak di kampung kampung. Kek mana di kampung kampung pasti
sepi, adem, masih banyak pohon pohon, masih banyak sawah sawah. Trus
budaya mereka pun masih budaya kental Jawa, wajarlah dengar dengar
suara gamelan dari mana mana. Rumah rumahnya kayak rumah rumah
orang
NO
Nama Lengkap
Tempat/Tanggal
Lahir
L/P
Fakultas/
Jurusan
Angkatan
Daerah Asal
Suku Ayah
Suku Ibu
Asal SMU
1.
Yohansen Eka Andika
Sihotang
Pematang Siantar
23 Maret 1995
L
Seni Rupa/
Desain Komunikasi
Visual
2014
Pematang
Siantar
Batak Toba
Batak Toba
SMA Budi Mulia
P. Siantar
2.
Bernard Zulfredo
Purba
Sambosar Raya
24 Juli 1995
L
Seni Pertunjukan/
Musik (Saxophone)
2013
Pematang
Siantar
Batak
Simalungun
Batak
Simalungun
SMA Budi Mulia
P. Sintar
3.
Afrina Silvi Theodora
Pakpahan
Medan
27 April 1996
P
Seni Pertunjukan/
Musik (Vokal Klasik)
2013
Medan
Batak Toba
Batak Toba
SMK Negeri 11
Medan
4.
Silvana Chrisma Putri
Kaban
Medan
5 Desember 1996
P
Seni Media Rekam/
Fotografi
2014
Medan
Batak Karo
Batak Karo
SMK Bina Media
Medan
5.
Ade Fria Setyawan
Barus
Bangun Purba
30 Maret 1996
L
Seni Pertunjukan/
Musik (Vokal)
2014
Tarean
Batak Karo
Batak
Simalungun
SMK Negeri 11
Medan
6.
Maria Agnes
Hutagalung
Medan
7 Agustus 1994
P
Seni Pertunjukan/
Musik (Piano Klasik)
2012
Medan
Batak Toba
Batak Toba
SMK Negeri 11
Medan
7.
Neni Munthi Rima
Sembiring Brahmana
Pekanbaru
10 September 1994
P
Seni Media Rekam/
Televisi
2012
Medan
Batak Karo
Batak Karo
SMA Methodist-AN
Pancur Batu
8.
Abdi Parningotan
Tambunan
Balige
18 Februari 1995
L
Seni Pertunjukan/
Musik (Clarinet)
2013
Medan
Batak Toba
Batak Karo
SMK Negeri 11
Medan
9.
Tulus Pranto Siburian
Simamora
20 Agustus 1994
L
Seni Rupa/
Lukis
2013
Siborongborong
Batak Toba
Batak Toba
SMA Negeri 1
Pagaran-Taput
10.
Daniel Raja Kesatria
Nainggolan
P. Sidempuan
19 Mei 1993
L
Seni Pertunjukan/
Teater
2012
Medan
Batak Toba
Batak Toba
SMA Cahaya
Medan
Sumber: Hasil wawancara tanggal 19 Mei sampai 22 Juni 2015
Lampiran 2: Transkrip Wawancara
TRANSKRIP WAWANCARA
P : Pertanyaan
J : Jawaban
1. Informan: Yohansen Eka Andika Sihotang
Pengetahuan Informan tentang Yogyakarta
P : Mengapa anda memilih kuliah di ISI Yogyakarta?
J :
Selain senang aku dengan seni, kalau ngerjain juga gak merasa capek.
Pas sebelum UN pokoknya SMA udah bahas tentang jurusan yang mo
diambil. Trus aku bilang sama kawan-kawanku, kalian ambil apa? Orang itu
rata-rata ngambil akademik. Aku mikir kan “aduh ikut gak aku ini akademik
ya?” Banyak teman bilang ke ITB aja. Ku searching kan informasi ITB, uang
kuliah melunjak, nyerah. Trus ada kawan, si Bernard (satu sekolah di SMU)
itu anak musik (di ISI Yogyakarta), dia bilang gini “jadi gak Yoh kau
ngambil seni?” katanya. “Kau dimana Nard?”, “di ISI” dibilangnya gitu kan.
Itu pertama kali aku dengar ISI “ih apa ISI ini?” “Apa ISI itu Nard?”
“Tengok-tengok, searching-searching lah ini websitenya!”
Belum tau aku disitu ada ISI yang lain. Terus searching dia lah kan.
“Ambil-ambil ini”. Kutanya-tanya sama senior sana katanya di ISI Jogja itu
nomor satunya seni rupa katanya. Paling diakui di Indonesia ISI Jogja ini seni
rupanya. Serius Nard? Serius Nard? Terus datang si Bernard “ayolah ayolah
aku mo berangkat sebulan lagi setelah UN”. Pas kulihat lah perkembangan
perkembangan tentang seni, kutengok orang-orang macam apa sih masuk seni
ini, kupikir gitu kan. Khususnya yang anak seni rupa lah, kalau musik gak
terlalu kan. Wah keren ini. Kemaren ada anak ISI, klo yang anak ISI yang
buat logo kereta api Indonesia. Kemaren ku searching, dia memang pas
sekitar tiga tahun setelah kuliah atau empat tahun kan.
Aku searching searching di internet. Khususnya yang anak seni rupa
lah, kalau musik gak terlalu kan. Wah keren ini. Kemaren ada anak ISI, klo
yang anak ISI yang buat logo kereta api Indonesia. Kemaren ku searching, dia
memang pas sekitar tiga tahun setelah kuliah atau empat tahun kan. Pas
kutengok, yah kog bisa ini, kan pas pertama lulusan-lulusan ISI yang
terkenal, ku searching dulu kan. Kulihat lah Soimah, Raja yang ikut X-Factor
itu yang vokalis yang roker-roker. Trus ku searching, eh ada ini desainer.
Trus kutengok, ih menang logo dia 200 juta kan. Trus kan abis kulihat itu 200
juta, aku lihat itu nya juga, namanya kan anak-anak, iming-imingnya besar
ini, aku pikir gitu kan.
Searching-searching lagi. Terus kemaren ada tampil lagi di Hitam
Putih, desainer animasi Transformer (kurang tau alumni mana, kalau gak ISIITB). Tapi aku kemaren aku cari kog harus seni sih? Kenapa gak akademik?
Jadi ku searching kenapa desain diminati. Pas dicari itu jawabannya kek gini;
kalau semakin majunya teknologi DKV (Desain Komunikasi Visual) semakin
dibutuhkan, katanya gitu. Katanya kalau di Indonesia memang masih minim
tentang pendidikan DKV, kayak istilahnya kurang begitu luas. Sarananya
masih minim, pokoknya kebijakan-kebijakan pemerintah masih kuranglah,
belum mengutamakan itulah. Sedangkan pas kubaca Amerika Serikat kan
kekuatannya itu, perfilman, trus animasi-animasi. Katanya pas disitu kalau di
Amerika itu kan, jadi kalau desainer di Amerika Serikat itu setiap tahunnya
itu yang jadi sekitar 200.000 banding satu. Setiap desainer Indonesia yang
lulus satu orang, di Amerika Serikat udah 200.000 orang yang lulus. Jadi
kalau 1000 orang desainer di Indonesia disana udah berapa.
Trus kog bisa gitu sih. Kog segitu besarnya sih minatnya yang di luar.
Trus dikasi contoh simpelnya, android lah, semakin maju android, semakin
banyak orang memikirkan kerja, mereka juga butuh refreshing, butuh
hiburan. Nah hiburan itu kan dari anak seni. Selain musik, gambar juga iya.
Trus pas ku searching kan ditunjukkan orang itulah, contohnya aplikasi HP
lah, misalnya iPhone kan, cuman musik, logo musik itu gambarnya kayak
folder dia, itu 5 sampai 8 juta harganya, sekecil itu. Baru pas ku searching
kan jadi kalau misalnya kan contohnya iPhone sama Microsoft tanpa desainer
gak jadi. Orang itu cuma bisa buat mesin di dalam tapi buat layarnya itu anak
desain. Buat layar bisa geser, bisa main gitu.
Pas searching gitu kan, kog bisa gini ya kog bisa gini, pokoknya makin
penasaran kan. Trus kalau katanya juga, kalau misalnya pembuatan konsep di
televisi, tim-tim kreatif acara TV butuh seorang DKV, butuh tenaga DKV,
ada konseptornya gitu lah. Pokoknya masalah kecil lagi, ini lagi kujalani,
masalah usaha baju. Jadi kalau misalnya DKV pun hanya mengeluarkan
sedikit bakatnya, kayak desain (gambar) baju kan kecil itu, soalnya desainer
bisa lebih dari itu.
Trus disitu dibuatlah kenapa desainer sangat dibutuhkan. Kalau masalah
jadi pengusaha, desainer sudah lebih unggul dari yang lain. Jadi kalau
misalnya punya usaha yang desainer, hanya gambar gitu kan, kalau betulbetul udah punya banyak orderan jadi bisa paling sedikit itu 20 juta per bulan
penghasilannya. Kalau per satu desain 300 ribu atau 400 ribu. Aku juga lihat
disitu kan desainer ini kayaknya prospeknya cerah, mikir pendeknya kesitu.
Trus ku searching lagi kan kenapa sih ISI ini yang harus kupilih. Kek mana
biayanya, kehidupannya, terus kan kalau di tivi-tivi katanya orang Jogja
memang baik, memang ramah gitu kan. Cocok ini pikirku. Terus, searching
searching lagi, ekonomi termasuk murah, kayak di Sumatera juga murahnya.
P : Apa keistimewaan ISI Yogyakarta dibandingkan kampus lain menurut
anda?
J :
Kampus yang jadi pertimbanganku itu ITB, Seni Rupa Unimed, lalu ISI
Jogja. Setelah tahu ISI Jogja nomor satu, ISI yang lain kuabaikan. Itulah
duluan mo ngambil desain ITB atau ISI. Pas kutanya ITB kan ternyata ITB
langsung maen digital, langsung maen komputer. Trus di searching ini kalau
masalah manual anak ISI menang semua, soalnya tiap pelajarannya tiap
prakteknya itu gak fokus di digital. Jadi tangan bergerak pun nambah skill
juga. Trus kan kemaren aku juga masih bingung, kog institut sih namanya
sama kayak ITB kan. Jadi dijelaskan kawanku lah. Jadi kalau institut itu
kebanyakan praktek. Kalau di ITB prakteknya digital. Memang kalau karya-
karya orang itu memang bagus kalau digital. Dan aku juga juga mikir ngapain
bisa digital kalau manual gak bisa. Aku mikir malah mending manual dulu
baru digital. Aku mikir disitu, pemikiran dasarku disitu.
Kalau Seni Rupa Unimed, pendidikan ternyata. Jadi pas mikir pertama
kan masih awalnya ITB, lalu Unimed kan setelah itu ISI Jogja. Bedanya lagi
ISI Jogja pendaftaran gratis jadi semakin menarik. Kog bisa gratis sedangkan
yang lain dibuatnya mahal-mahal pendaftaran. Kutengok lagi dari ikatan juga,
ikatan alumni katanya juga bagus, anak-anak ISI juga bagus. Seni rupa juga
katanya seni rupa ISI Jogja lah yang paling aktif di Indonesia, khususnya di
Jawa, membuat acara, pameran dan berbagai event. Trus yang istimewanya
lagi kos-kosan banyak dibuka disekeliling ISI, jadi aku ke kampus cuma
semenit.
Pernah juga sama UGM, teman-temanku. Kalau kubanding-bandingkan
dari mata kuliah orang itu lah, lebih suka aku yang banyak praktek. Trus
kalau masalah tempat, UGM ribut, kalau disini lumayanlah damai soalnya
masih pedesaan gitu. Kalau di kampus UGM kalau mau berkegiatan harus
permisi, kalau kita disini udah bagaikan rumah lah. Soalnya masyarakatmasyarakat disini juga bebas masuk sana, masuk kampus ISI. Jadi istilahnya
kalau misalnya ada kayak pertunjukkan entah apa, kalau kita jauh masyarakat
pasti segan mau masuk sedangkan disini kalau kita ngadakan acara apa pun
gitu nanti kek orang kampung-kampung sini datang. Selain jadi penikmat,
jadi penilai juga.
P : Apa yang anda ketahui tentang Yogyakarta sebelumnya?
J : Gak ada. Klo gak salah kota seni katanya, dari berita.
P : Apa yang anda ketahui tentang budaya di Yogyakarta sebelumnya?
J : Paling yang tau manggil cowok mas, manggil cewek mba. Kalau karakter
orangnya gak cari tau soalnya aku dulu termasuk orangnya cuek.
P : Apakah ada perasaan cemas sebelum berangkat ke Yogyakarta?
J : Gak ada. Kalau sama Jogjanya gak ada. Cuman kalau masalah masuk atau
enggak baru ada.
P : Apakah anda mencari informasi tentang kehidupan di Yogyakarta
terlebih dahulu sebelum berangkat? Informasi apa saja?
J : Aku kemaren nanya kawanku itu (Bernard) kosannya dimana, tentang
harganya. Ada juga kemaren pengalamanku di Bali mahal uang kos, pas
disini cuma 250 ribu, ihh murahnya. Trus juga makanan murah kan.
Gaya Berkomunikasi
P : Bagaimana cara anda berbicara saat anda berada di kampung halaman?
J : To the point langsung. Pokoknya kalau ngomong sama teman ngomongnya
gak beres. Maksudnya kek marah-marah aja terus.
P : Bagaimana cara anda berbicara saat ini di Yogyakarta?
J :
Tetap aja sama, masih berbau Medan kali, Siantar kali. Biarpun
misalnya kan udah terkontaminasi sama anak-ank Jogja ngomongnya juga
lembut. Pernah kelepasan tapi sekali-kali paling pas, kalau masalah berdebat
kalau udah ngomong lembut kek nya hambar rasanya. Kalau orang itu kan
memang karna udah cara ngomongnya gitu. Jadi aku kalau ngomong masalah
debat awalnya masih lembut masih ngikutin. Tapi kalau kira-kira udah,
pokoknya, seringnya debat kan (masalah kuliah), teori gambar misalnya,
pokoknya kalau aku udah merasa benar awalnya mungkin karna keras kepala.
Memang kek gitu langsung dibilang kek gitu. “mana buktinya” pokoknya
Medan Medan kali.
Dan itu lagi bedanya. Jadi kalau ngomong sama orang Jawa, kan kalau
mereka ngomong sikap tubuhnya rapi. Kalau aku ngomong sama orang Jawa
kemaren masih gitu juga. Tiba pas gitu sama-sama orang Batak, aduuuhhhh
kek gini (angkat kaki di atas kursi), gini-ginilah buka-buka baju. Sering gitu.
Kek di Burjo lah, keras-keras suara kami. Pokoknya sampe kedengaran
masyarakat gitu. Ih kaunya kaunya, gitu, keras-keras kali.
P : Apakah anda pernah mengalami masalah dengan gaya bicara anda
tersebut? Sebutkan jika pernah!
J : Kalau masyarakat nggak ada. Tapi memang kalau orang ini nanggapin
bahasa gitu keknya maklum. Kalau gak maklum mungkin takut. Pernah di
kampus, masalahnya pas sama cewek ngomong. Kog kasar kali ngomong,
katanya gitu (orang Jawa, mahasiswa). Pinjamlah pinsilmu, kubilang gitu.
Syok aku pertama. Yang marahin aku sebenarnya bukan dia, ada kawanku.
Kog kasar kau ngomong, katanya. Bukan dia langsung yang ngomong. Si
cewek ini ngasi minjam tapi kayak-kayak gak enak dia (informan
memperagakan mimik wajah tidak suka). Aku gak tau apa-apa kan. Baru pas
membalekkan lah baru. makasih ya pinsilnya.
P : Apakah anda lebih suka berbicara langsung kepada intinya atau
berbasa-basi?
J : Langsung pada intinya.
P : Bagaimana cara anda menyampaikan sesuatu saat berkomunikasi di
Yogyakarta? Langsung kepada intinya atau berbasa basi? Jelaskan!
J :
Kalau ngomong tetap langsung-langsung aja. Cuma kalau sama orang
Jawa ini butuh kali basa-basi makanya aku menyesuaikan diri lah basa-basi.
Awal-awalnya kek apa, pas aku ngomong kurasakan itu omong-kosong.
Keknya sandiwara itu semua. Trus setelah tau itu perlu khususnya kalau
ngomong sama orang Jawa. Cuman kalau sama orang Batak biasa-biasa aja.
Trus itu kemaren ada, orang Jawa sendiri mengakui, kalau kelen orang
Medan kalau gak senang pasti blak-blakan kog gitu ya katanya. Yang pernah
kualami pas minta rokok. Trus pas kuminta rokok, bang kuminta rokokmu,
kubilang gitu kan (manggilnya bang karna udah lama kenal, awalnya manggil
mas). Ambil aja katanya gitu. Ya kuambil. Dia ramah kan. Trus pas kuajak
cakap udah kelihatan dia disitu, itu aku gak sukanya. Sedangkan kalau yang
orang-orang kita, kalau orang-orang Batak ini langsung jelas. Jadi gak ada
cerita di belakang nanti. Kalau marah ya marah. Gak perlu disimpan simpan
di hati gitu kan.
P : Bagaimana sikap anda terhadap rekan anda yang tidak langsung kepada
intinya saat berbicara dengan anda?
J : Langsung kubilang, langsung aja bilang intinya, kubilang gitu. Contohnya pas
ada kawanku (orang Jawa) datang ke kos, nanya nanya, lagi ngapain kau, lagi
ngapain kau, gini gini kau, pokoknya udah panjanglah ngomongnya.
Kutengok, ini mo ngakrab mo ngapa ngapain. Langsung kutanya gini, ada
maksudmu kesini kan, kubilanglah langsung kek gitu. Mo minjam ini atau
apa, silahkan. Orang Medan juga kek gitu kubuat. Tapi orang Medan kalau
kek gitu sih udah canda-candaan kan.
P : Apakah ada komunitas khusus mahasiswa Batak di ISI Yogyakarta?
Sebutkan jika ada?
J : Ada. KSBJ (Keluarga Seni Batak Japaris)
P : Apakah anda tergabung dan terlibat aktif dalam komunitas tersebut?
J : Iya, setelah tau KSBJ rajin aku ikut. Pokoknya tiap kumpul aku datang terus.
Tahun ini aku dipilih jadi ketuanya.
P : Bagaimana anda mengetahui tentang komunitas tersebut?
J : Pas mo bulan ke dua kuliahlah, aku di SMS, dibilang orang, ayok kumpul
yok. Ngapain, kubilang. Ada KSBJ, katanya. Apa itu KSBJ, kubilang.
Keluarga Seni Batak Japaris. Aku secara gak langsung, wah ada juga kawankawanku nanti. Langsunglah, langsung mau. Nambah-nambah kawan juga
kan.
P : Bagaimana perasaan anda saat berada bersama teman-teman suku
Batak khususnya dari Sumatera Utara?
J : Lebih nyaman berkawan sama orang Batak apalagi kalau satu kampung karna
kalau berkawan sama orang Batak rindu sama kampung halaman itu jadi
berkurang dikit. Gaya-gaya bahasa, di kampung juga gitu gaya bahasanya.
Adaptasi Budaya
P : Seperti apa budaya di Yogyakarta menurut anda saat ini?
J :
Kalau di sini betul-betul OK lah, sederhana. Anak-anak naek sepeda
rame-rame, nengok kakek-kakek naek sepeda, keknya enak mata lihat, segar.
Trus kalau kita lewat kan, biarpun kita gak nyapa, halo mas. Langsung, aduh,
baiknya orang ini. Aku aja kemaren, pas lewat lah, awal-awal baru-baru
nyampe itu, terkejutlah aku. Kemana mas, kuliah ya, yang rajin ya mas.
Nenek-nenek yang bilang. Pas pulang kan ada lagi kakek-kakek. Ehh, baru
pulang ya mas.
Aku menanggapinya, sebenarnya aku bingung. Tapi sambil nunduk lah,
iya pak, iya pak, gitu gitu terus. Cuman pikir-pikir, ihh baek kali orang ini ya.
Terkadang klo misalnya aku lewat gitu, orang itu disitu, misalnya orang itu
lagi ngapain, gak kusapa, kayak merasa bersalah kali. Karna udah terbiasa
kek gitu kan. Baru nanti bapak-bapaknya siskamling. Kalau di sini memang
betul-betul kental lah desanya.
P : Apakah anda menemukan kendala dari segi bahasa? Apa saja kendala
tersebut?
J :
Kalau penduduk asli bahasa Jawa kebanyakan. Cuma kalau
ditengoknya kita perantau, bukan penduduk asli langsung dipakenya bahasa
Indonesia. Kalau di kampus ngomong pake bahasa Jawa, langsung
diskomunikasi. Udah kucoba bilang, pake bahasa Indonesia lah, gak ngerti
aku. Dipake memang bahasa Indonesia tapi dua kalimat tiga kalimat balik
lagi bahasa Jawa.
Aku kan cuman satu orang aku orang Batak di angkatanku. Semester
satu-dua aku belum aktif, jarang ngumpul. Trus kalau ada kegiatan aku masih
gak ikut. Alasannya karna kurang nyaman, karna gak ada kawanku orang
Medan. Soalnya orang itu ngomong pake bahasa Jawa. Langsung
diskomunikasi langsung miss. Aku juga kemaren pertama-tama masuk udah
kucoba ngumpul cuman ada dua minggu tiga minggu bahasa Jawa terus. Jadi
kalau gak berkomunikasi kan pasti gak kompak-kompak kan. Aku juga mikir
gitu, akh mending di kos daripada stress aku. Ada kemaren kawanku, sering
dia berbahasa Jawa. Jadi kucakapi terus dia baru-baru masuk pake bahasa
Indonesia. Keknya dia merasa gak cocok gitu. Kek aku juga merasakan sama
orang itu lah. Kek orang itu bahasa Jawa. Mungkin orang itu bahasa
Indonesia masih bisalah kuterima soalnya di rumah juga pake bahasa
Indonesia kan. Tapi klo orang itu pake bahasa Jawa, kucoba pun pake bahasa
Indonesia, dijawab orang itu pake bahasa Indonesia, trus dicoba lagi Jawanya,
langsung aduuhhh.
P : Bagaimana anda mengatasi masalah perbedaan bahasa?
J : Pengen juga belajar bahasa Jawa, tapi kalau sama aku gak kebutuhan sih.
Pernah kucoba tapi masih sediiiiikit. Yang ngajarin gak ada, cuman terbiasa
dengar orang itu bahasa Jawa, kutanya artinya gitu. Cuman pengen aja.
Kebanyakan memang kalau pengen kompak (sama orang Jawa) itu memang
orang itu pasti nerima kita kalau kita bahasa Jawa. Apalagi orang jawa ini
sering berbahasa Jawa.
P : Apakah ada perbedaan makna pada kosakata di Sumatera Utara dan
Yogyakarta? Ceritakan pengalaman anda jika ada!
J :
Memang pas awalnya sih yang keceplosan pas ditanya, kamu kemaren
kesini naek apa? Naek kereta, kubilang gitu kan. Situ malu kali aku. Jadi kan
aku kemaren dari utara ini, dari UGM kan kesini. Kan disini gak ada rel
kereta api mo kesini. Jadi kan orang ini kereta itu kereta api. Motor baru
sepeda motor kan. Jadi pas kubilang aku naek kereta, dia masih bingung.
Naek kereta? Serius Sen? Katanya gitu kan. Iya iya, kubilang. Itu makanya
ketawa-ketawa. Sampe di kik aku sama senior-senior orang Batak, sampe
ketawa-ketawa terbahak-bahak orang itu.
Masa sih naek kereta, ada opo?, katanya gitu kan. Ya adalah kereta,
kubilang gitu kan. Ada kog yang ngantar aku, kubilang gitu lagi. Dia nyampe
jadi bingung lah dia. Jadi kek orang bodo‟ lah. Serius naek kereta? Tiketnya
berapa? Ditanya dia gitu. Barulah kutanya, ha tiket? Aku-nya sekarang yang
bingung. Katanya naek kereta, katanya. Masa pake tiket, kubilang gitu. Aku
diantar kog, kubilang gitu. Barulah dijelaskan, baru ditanya dialah gini, kereta
itu yang gimana sih? Malu kali aku disitu. Dia gak ada salah dia kan.
Langsung dibilangnya, eyalah disini namanya motor.
P : Mana yang lebih berat bagi anda, beradaptasi dengan lingkungan dan
budaya atau dengan kehidupan perkuliahan? Mengapa?
J : Lebih berat di kampus, soalnya kalau di ISI ini kurang menjelajah lah aku
kalau di lingkungan sini. Paling cuma di kos, ngumpul di kos. Itulah mungkin
teman kurang. Paling keluar pun waktu mo makan. Pertama kagetnya, sampe
setengah semester. Tugasnya itu semester satu numpuk terus. Tapi ya
untungnya pas ngerjainnya itu aku gak numpuk numpuk. Ada juga yang
sampe lima minggu baru dikumpul, jadi aku kemaren selesai satu satu, tepat
waktu, jadi agak ringan.
P : Bagaimana reaksi anda saat pertama kali berada di Yogyakarta?
J :
Biasa aja sebenarnya. Paling melihat kotanya seperti melihat hal baru
lah. Besar juga, cuman kalo wah belum terlalu. Paling klo nengok, wisata,
candi Borobudur lah baru wah, itulah baru wah. Sampai heran kawanku
kemaren, nengok candi aku keliling keliling, di situuuu aja terus. Ramainya
Jogja lebih ramai dari Siantar. Belum lagi waktu malam. Kalau Siantar
ramenya cuman siang sore. Aku memang orangnya gak suka keramaian.
Tapi memang waktu pertama kali lihat, wah lah, ada yg aneh aneh, ada
yang naek sepeda, naek skateboard. Senimannya di Malioboro. Ada yang
nanti maen gendang, ada nari-nari, ada yang gambar wajah di situ nanti.
Pokoknya keknya banyaklah kutengok sini jenis-jenis orangnya. Ada jenis
seniman kek gini seniman kek gini, orang lucu-lucu yang kek gini, yang
belum pernah kulihat yang seniman pantomim.
P : Apakah ada budaya di Yogyakarta yang mengakibatkan perasaan tidak
nyaman bagi anda? Jelaskan jika ada!
J :
Kalau sama orang Jawa, salaman. Tiap hari jumpa salaman terus.
Enggak suka aku, terlalu munafik kulihat gitu. Pernah sih, kalau misalnya ada
datang orang itu kan, kami lagi ngumpul anak-anak DKV, disitu orang Jawa.
Nanti ada kakak kelas nyalam-nyalam, biasanya orang itu nyalam langsung
kedua belah pihak langsung memberikan tangannya bersikap salaman, kalau
yang sama aku tunggu diulurkan dulu tangannya mau salaman, tunggu
nyampe baru langsung gini aku (memperagakan tangan bersalaman). Kalau
dia gak ngasih tangannya ya udah gak usah. Mending kek gitu. Gak tau ya
langsung gak nyaman aja.
Tapi memang kalau sama orang Batak kubiasakan gitu. Soalnya kan
kalau kita orang Batak nganggap itu kan malah jadi makin kompak
sebenarnya. Kalau orang itu merasa itu mempererat orang itu, kalau aku
merasa kalau orang itu nyalam sama aku makin menambah kejanggalan, gitu.
Kalau orang Batak, kenapa ya, aku juga masih bingung. Mungkin karena
jarang jumpa. Kalau yang sering jumpa gak kusalam kalau yang Batak. Kalau
yang jarang jumpa contohnya anak seni musik sering kusalam. Tapi kalau
yang orang Jawa ini, misalnya kita sekarang jumpa kan salaman. Trus ke
rumah masing-masing kan. Nanti jam-jam 11 lagi yang ngobrol lagi, datang
salaman, pulang salaman. Maunya biasa ajalah. Tau sama tau kog.
P : Apakah anda pernah merasakan homesick? Apa saja hal-hal yang anda
rindukan?
J : Pernah. Yang paling dirindukan kawan-kawan di Siantar sama orangtua.
Kawan khususnya kawan sepermainan. Banyak jugalah, orang itu makin
membuat homesick, chatting facebook. Pulanglah kau biar gini-gini kita, kata
orang itu. Ngeri kali. Soalnya pas, memang pas waktu satu SMA memang
kegiatanku sama kawan-kawan lumayanlah, lumayan kuatlah. Mancinglah,
maen bola lah tiap hari.
P : Bagaimana anda mengatasi rasa homesick tersebut?
J :
Pas kemaren seringnya dibilang kawan-kawanku, ayolah gabunggabung, dibilang abang-abang kelas tempat yang aku tinggal kemaren pas
lagi belajar-belajar. Ayo gabung gabung yok sama kawan-kawanmu angkatan
2013, gitu katanya. Gabunglah barulah agak berkurang. Tapi tetap aja
homesick. Kalau kangen aku ya telepon mamak. Trus dibilangnya gini, kek
mana keadaanmu sekarang? Curhatlah aku kan. Mak, rindu kali aku mak
orang mamak. Kampung juga rindu kali aku, maen-maen sama kawanku.
Dibilang mamak langsung gini, kalau rindu kau sama kawanmu telponlah
sekali-sekali, gak apa apa. Pas telepon itulah baru agak terobati. Dengardengar logatnya ngomong, dengar kasarnya ngomong.
Mamak ku sering bilang gitu, cobalah gabung-gabung sama orang
Medan, mo entah orang mana pokoknya Sumatera Utara apalagi orang Batak,
kek ngurangi rindu gitu. Dari cara ngomong pun jadi enak, bebas. Sedangkan
kalau sama orang Jawa kan gak bisa awak ngomong pake bahasa apa. Betul
juga yang dibilang mamak, kubilang gitu. Tapi jujur ya kalau aku ngomong
sama orang Medan merasa itu, rindu kampung itu jadi berkurang.
2. Informan: Bernard Zulfredo Purba
Pengetahuan Informan tentang Yogyakarta
P : Mengapa anda memilih kuliah di ISI Yogyakarta?
J : Tau dari teman kalau disini lingkungannya bagus untuk belajar dan memang
Jogja terkenal kan kota pelajar. Dia bilang kalau ISI ini bagus, gitu kan.
Negeri, uang kuliahnya gak terlalu berat. Gak kek Jakarta, macet apa ini
segala macam. Aku lihat-lihat di internet siapa aja lulusan ISI, siapa sih yang
terkenal. Aku kan udah lihat, gitu, ada kog musisi yang udah terkenal, lulusan
sini. Misalnya, Oni Krisnerwinto (pimpinan grup Oni N‟ Friends), yang biasa
pengiringnya Indonesian Idol, X-Factor. Ha itu kan mereka semua ininya
(satu grup itu) rata-rata dari ISI. Kalau mereka manggil orkestra juga kan
rata-rata dari ISI juga mereka manggil.
P : Apa keistimewaan ISI Yogyakarta dibandingkan kampus lain menurut
anda?
J : Kualitasnya, ya aku lihat alumni-alumninya itu. Alumninya yang punya nama
besar itu. Maksudnya lulusan sini yang sudah terkenal di Jakarta. Aku ngeliat
dari situ.
P : Apa yang anda ketahui tentang Yogyakarta sebelumnya?
J : Ya kota pelajar itu.
P : Apa yang anda ketahui tentang budaya di Yogyakarta sebelumnya?
J : Tentang budaya, ya disini, budayanya kuat ya. Jawanya kental banget, masih
pake sistem keraton. Aku kan buka-buka juga di internet tentang Jogja itu
gimana, gitu. Ya trus, ini, seperti miniaturnya Indonesia. Semua orang di
seluruh Indonesia itu datang ke Jogja buat belajar, jadi miniaturnya Indonesia.
P : Apakah ada perasaan cemas sebelum berangkat ke Yogyakarta?
J : Tidak ada, yakin aja.
P : Apakah anda mencari informasi tentang kehidupan di Yogyakarta
terlebih dahulu sebelum berangkat? Informasi apa saja?
J : Ada juga. Soalnya dibantu sama abangku juga. Abangku kan yaaa udah
berapa kali kesini. Dia kan kuliah di Bandung. Jadi sedikit banyaknya dia
tahu tentang ini. Ya dia sebelum aku berangkat kesini udah cerita juga. Ya
ceritanya di sana itu orangnya ya ramah, ngomongnya lembut, Jawanya gitu.
Gaya Berkomunikasi
P : Bagaimana cara anda berbicara saat anda berada di kampung halaman?
J : Di Siantar aku ngomongnya kayak orang sana (Siantar), kasar, teriak-teriak,
kau kau gitu manggilnya.
P : Bagaimana cara anda berbicara saat ini di Yogyakarta?
J :
Kalau di sini kan sudah kamu, gitu sama orang. Nadanya juga ya lebih
lembut. Sebenarnya tetap kayak di Siantar, tapi ya kita lihat ininya juga,
maksudnya lihat tempatnya juga. Kalau memang lagi area kita (hanya orang
Batak) semua, udah ngomong blak-blakan aja. Kalau ketemu sama yang dari
Sumatera Utara, “Bah, ai ho do i?” langsung gitu. Tapi kalau lagi di kampus
gitu, ya gak terlalu berkoar-koar.
Kalau sama orang Jawa, aku menyesuaikan gaya ngomongku itu
dengan orang Jawa. Kata-katanya, intonasinya, kalau sudah dekat keluar lah
sedikit-sedikit aslinya. Soalnya pasti semakin bebas. Namanya ya teman gitu.
Pasti semakin dekat semakin bebas kan. Semakin buka bukaan, gitu.
Biasanya kalau aku sesama orang Medan sendiri ini ya tetap tapi kalau
sama orang Jawanya ya berubah. Pernah keceplosan tapi disini kalau sama
teman-teman Jawa yang sudah akrab, kompak, kadang-kadang Medannya
keluar juga. Misalnya “woi mo kemana kau” (dengan logat Medan) aku gituin
gitu. Mereka-mereka ya ngerti juga. Tapi kalau sama ya orang-orang yang
teman-teman biasa gitu ya “kamu mau kemana?”. Teman teman biasa ini
yang gak sekompak teman-teman sehari hari aku bergabung lah gitu.
P : Apakah anda pernah mengalami masalah dengan gaya bicara anda
tersebut? Sebutkan jika pernah!
J : Jarang, pernah sih pernah, mungkin waktu awal-awal aku di sini. Mereka
bingung sama struktur kalimatnya. Dibalik-balik kata-katanya. Kita misalnya
kan “mo kemana kau?”. Kalau di sini “Kamu mau kemana?”. Kadang mereka
bingung juga, ha? Apa?, gitu. Makin lambat aku ngomong,
“iya…..kamu…..mo kemana? Oh mo ke sini, dijawabnya. Aku satu semester
pertama itu masih terbawa gaya di Siantar.
P : Apakah anda lebih suka berbicara langsung kepada intinya atau
berbasa-basi?
J : Langsung intinya, karena lebih praktis, langsung to the point.
P : Bagaimana cara anda menyampaikan sesuatu saat berkomunikasi di
Yogyakarta? Langsung kepada intinya atau berbasa basi? Jelaskan!
J : Langsung intinya lah sih sebenarnya. Ya kadang kalau mau minta tolong ya
ada pengantarnya dulu.
P : Bagaimana sikap anda terhadap rekan anda yang tidak langsung kepada
intinya saat berbicara dengan anda?
J : Langsung cepat aja maumu apa, gitu. Kalau aku udah bosan ya langsung
kutanya. Mislanya dia ngomong bla bla bla bla, ya wes intinya apa, gitu.
Paling satu sampai dua menit, kalau pengantarnya terlalu banyak ya langsung,
ya itu intinya apa.
P : Apakah ada komunitas khusus mahasiswa Batak di ISI Yogyakarta?
Sebutkan jika ada?
J : Ada. KSBJ (Keluarga Seni Batak Japaris)
P : Apakah anda tergabung dan terlibat aktif dalam komunitas tersebut?
J : Ikut, kayak makrab (malam keakraban)
P : Bagaimana anda mengetahui tentang komunitas tersebut?
J :
Nyampe sini langsung dikumpulin sama KSBJ. Sebelum tes, sebelum
audisi kita udah dikumpulin semua. Misalnya ada yang tau, misalnya aku ada
orang dari Medan, yang mau testing di ISI. Jadi dia tinggal di kos ku. Jadi
pengurusnya udah cari cari tau. Ada gak yang tinggal di kos mu orang
Medan, ada gak. Langsung didata. Tanggal segini suruh kumpul ya, aaaa gitu.
Maksudnya kita mo lihat persiapan mereka gimana sebelum tes.
Waktu kita yang ngumpulnya itu, yang pertama. Ya langsung
diingatkan, kalian disini dek jangan kalian bawa Medan Medan kelen disini
ya. Ini Jogja, disini ya lembut lah, panggil mas panggil mba, gitu. Jangan
teriak-teriak kalian di kampus. Kalau di Medan kelen bisalah, ini di Jogja, ini
di kampung orang. Kita pengunjung disini, dibilang gitu. Yang paling kuingat
itu.
P : Bagaimana perasaan anda saat berada bersama teman-teman suku
Batak khususnya dari Sumatera Utara?
J : Ya kalau dari Sumatera Utara gitu, memang ada, agak beda sedikit. Oh ini
satu kampuuuung, gitulah. Kalau kita ketemu sama orang Batak dimana aja,
gitu, pasti langsung lengket loh. Kalau misalnya lagi kenalan, gitu,
sebelumnya gak tau orang Batak, gitu kan. Dari Medan kah? Oh dari Medan,
kan langsung, gayanya kan langsung beda. Misalnya awalnya aja yang
“Darimana mas?” pernah juga kek gitu kan. “Dari Medan”, katanya. Oh dari
Medan, Batak berarti. Kan langsung beda, gitu loh. Langsung cepat akrab
kalau sama orang Batak. Jadi orang-orang Batak itu bisa dibilang spesial lah.
Biasa kalau gabung-gabung ya bawa-bawa gaya di sana lah.
Adaptasi Budaya
P : Seperti apa budaya di Yogyakarta menurut anda saat ini?
J : Di sini ya benar-benar kuat menjaga budayanya. Kalau disini budaya sapa
menyapanya itu sih. Ya disini sesama ibu-ibu yang lewat. Disini kalau satu
RT itu misalnya gitu pasti itu saling kenal semua. Kalau disana kan belum
tentu. Satu lingkunganlah, gitu. Mereka kalau bikin acara kerjanya bareng.
Trus sampe mengaspal jalan di depan kos an ku itu, itu bareng semua.
Pokoknya mereka kumpul-kumpul bareng, gitu. Trus tata tertib RT 6,
misalnya gitu, nah itu ditempel di tiap rumah. Nah itu, berarti mereka kan
satu RT tertib, saling kenal, saling membantu lah.
P : Apakah anda menemukan kendala dari segi bahasa? Apa saja kendala
tersebut?
J : Kalau orang sini kan kalau sesama orang Jawanya gak pernah ngomong
bahasa Indonesia. Ngomong bahasa Jawa terus kan. Proses adaptasinya itu
loh yang susah. Apalagi dulu aku belum tau bahasa Jawa. Kuping kita ini gak
bisa menutup untuk tidak mendengar bahasa Jawa. Masalahnya kita, bangun
aja bahasa Jawa, kita mo tidur juga udah bahasa Jawa.
P : Bagaimana anda mengatasi masalah perbedaan bahasa?
J : Paling kalau mereka lagi ngomong Jawa itu, kalau ada yang aku gak ngerti,
gitu, mereka kadang langsung kontak itu. Gini gini gini, atau aku langsung
nanya. Tadi kelen bilang apa, gitu. Aku sedikit-sedikit ya ngerti. Aku kalau
mendengar, ya ngerti, gitu. Selebihnya belum pernah ada masalah, bisa
bahasa Indonesia semua.
P : Apakah ada perbedaan makna pada kosakata di Sumatera Utara dan
Yogyakarta? Ceritakan pengalaman anda jika ada!
J :
Awal awalnya ya pernah. Yang pernah kualami, dia (orang Jawa)
bilang gini, kita minggu depan maen (tampil) disini ya. Trus aku tanya,
lagunya gimana, kita konsepnya gimana. Ya udah, kita besok santai-santai
saja, dibilangnya gitu. Katanya minggu depan kog besok. Ini besok atau
minggu depan, aku bilang kan. Ya besok ini, besok minggu depan, katanya
gitu. Trus aku tanyainlah, ngomong-ngomong disini tuh besok itu gak harus
besok, gak sehari setelah hari ini.
Aku semenjak mengerti itu, langsung ini, besok ya besok Selasa, atau
besok ini, gitu (langsung menyebut nama harinya). Misalnya kalau tampil
disini (DeMid, café/rumah makan tempat berlangsungnya wawancara),
ditanya, kamu besok datang gak. Kan langsung bisa, kita langsung proses,
besoknya oh berarti Rabu depan (setiap Rabu ada perform musik dan sering
diikuti informan). Besok bisa berarti minggu depan, sampai setahun juga bisa
disini. Kalau dalam pemahaman aku sendiri, dengan membawa dari Siantar
besok itu ya, kalau hari ini Sabtu besok ya Minggu.
P : Mana yang lebih berat bagi anda, beradaptasi dengan lingkungan dan
budaya atau dengan kehidupan perkuliahan? Mengapa?
J : Beradaptasi sama lingkungan sini. Karena bahasanya. Maksudnya awalnya
itu adaptasi pas bahasa Jawanya itu Permasalahannya itu pas aku masih
belum tahu apa-apa tentang bahasa Jawa. Kalau tentang perkuliahan aku gak
da kaget sama sekali. Soalnya aku dari sana udah mempersiapkan diri, gitu.
Musik ini kan udah piihan hidup. Aku dari sana kan udah punya gambaran,
gitu kan. Aku, di otakku lebih tergambar di musiknya daripada
lingkungannya.
P : Bagaimana reaksi anda saat pertama kali berada di Yogyakarta?
J : Suka sama lembutnya orang sini.
P : Apakah ada budaya di Yogyakarta yang mengakibatkan perasaan tidak
nyaman bagi anda? Jelaskan jika ada!
J : Tidak ada
P : Apakah anda pernah merasakan homesick? Apa saja hal-hal yang anda
rindukan?
J : Gak pernah, kangen makanan sana pernah pas awal-awal.
P : Bagaimana anda mengatasi rasa homesick tersebut?
J : Pertamanya di sini belum terbiasa makan di angkringan. Aku cari rumah
makan padang. Aku cari rumah makan yang banyak pilihan lah pokoknya.
Yang masih ada ayam goreng, ayam kecapnya, masih gitu-gitu. Semester dua
sudah mulai pergi ke angkringan.
3. Informan: Afrina Silvi Theodora Pakpahan
Pengetahuan Informan tentang Yogyakarta
P : Mengapa anda memilih kuliah di ISI Yogyakarta?
J : Karna pengen lebih mendalami seni. Ada ketertarikan sendiri aja. Kayaknya
di seni itu emang, ya emang basic-ku itu di seni. Aku kan maunya kuliah di
Jogja. Emang aku mau coba di Jogja tapi bukan ke ISI, ke UNY jurusan
musik juga, cuman lebih ke pendidikan. Saran dari abangku, kan abangku di
Jogja (UGM), nah dia bilang, tes di ISI aja dulu. Soalnya dia tahu musiknya
lebih bagus di ISI. Di Jogja kan ISI kan lumayan apa ya, lumayan ada nama
lah. Karna abangku bilang kek gitu ya udah aku testing aja dulu di ISI. Karna
juga kakak-kakak kelasku dari SMA lebih banyak di ISI. Mereka juga bilang
lebih bagus di ISI. Dan lebih susah testingnya di ISI, dibilang gitu.
P : Apa keistimewaan ISI Yogyakarta dibandingkan kampus lain menurut
anda?
J : Musiknya itu lebih matang aja. Lebih matang dari kampus-kampus lain.
Lebih bagus kalau menurutku. Pemain-pemainnya lebih siap. Emang lebih ke
player, pemain. Kalau kampus lain kan ke pendidikan. Kalau aku melihat
orkestranya, ISI itu dibanding yang lain emang lebih bagus aja daripada
orkestra lain.
P : Apa yang anda ketahui tentang Yogyakarta sebelumnya?
J : Aku kan sebelum kuliah disini, maksudnya lima tahun yang lalu kan pernah
juga ke Jogja. Buat ngantar abang kuliah di Jogja, aku ikut. Nah aku suka
Jogja ini, kalau aku, suasananya Jogja ini nyaman, ramah orang-orangnya.
Bukan kayak Medan kan, maksudnya Medan kan orang-orangnya kasarkasar. Kalau di jalan bus-bus apa segala macam angkot-angkot itu, cakapnya
juga sembarang, kek gitu. Kalau disini kan enggak, lebih teratur aja. Trus
Jogja itu terkenal dengan keraton, Borobudur, candi-candinya, menonjol taritarian tradisionalnya.
P : Apa yang anda ketahui tentang budaya di Yogyakarta sebelumnya?
J : Taunya aku Jogja terkenal tuh keraton. Kalau yang menonjol mereka taritarian tradisionalnya.
P : Apakah ada perasaan cemas sebelum berangkat ke Yogyakarta?
J : Enggak sih kalau itu enggak. Cuman dengan aku pribadi, maksudnya aku
sendiri, aku gimana ya disana, bisa nggak aku bertahan. Disini kan ngekos,
kan belum pernah ngekos, sekolah jauh. Bisa nggak aku bertahan sendiri
tanpa di dekat orangtuaku. Nah paling kek gitu, ya karna selama ini, mulai
dari sekolah SD sampai SMA kan di bawah naungan orangtua terus, kek gitu.
Gak pernah jauh.
P : Apakah anda mencari informasi tentang kehidupan di Yogyakarta
terlebih dahulu sebelum berangkat? Informasi apa saja?
J : Paling informasi tentang ISI aja, karna selebihnya itu di pikiranku kan, nanti
aku nyampe Jogja ada abangku, kek gitu. Jadi ya udah sekedar tau informasi
ISI, tau kapan pendaftarannya, udah.
Gaya Berkomunikasi
P : Bagaimana cara anda berbicara saat anda berada di kampung halaman?
J : Sama sih, paling beda-beda dikit. Kalau di Medan ya kayak gini, kayak kita
ngomong sekarang.
P : Bagaimana cara anda berbicara saat ini di Yogyakarta?
J : Kalau disini kayak gini tapi ya lebih lembut sikit maksudnya. Kan aku di
Jogja juga teman-temanku juga orang-orang Medan. Bergaulnya juga sama
orang-orang Medan jadi ya logatnya gini-gini aja. Kalau sama yang nggak
orang Medan paling gak kasar kali kayak “kau”. Kalau di kampus pake kata
“kamu” tapi kalau sama orang Medan ya langsung kasar lagi, otomatis.
Sebenarnya kalau gak sama orang Medan kek gini juga logatku cuman paling
beda dikit. Paling mungkin gak seceplos aku ngomong sama orang Medan,
kek gitu, lebih jaga.
P : Apakah anda pernah mengalami masalah dengan gaya bicara anda
tersebut? Sebutkan jika pernah!
J : Enggak ada masalah sih, kek gimana ya, mungkin kalau yang gak suka,
ngomong-ngomong, aku dengar dengar di belakang ada, tapi kalau yang
ngomong langsung sama aku itu gak ada. Tapi kalau di depanku semuanya
mereka senang-senang aja. Maksudnya, aku ngomong sama mereka itu
memang nyeplos, emang kek gini, gitu loh, langsung. Tapi aku juga sering
buat kayak humor-humor kek gitu. Sering buat lucu-lucuan. Asyik-asyikan
sama temenku sering.
P : Apakah anda lebih suka berbicara langsung kepada intinya atau
berbasa-basi?
J : Langsung kepada intinya.
P : Bagaimana cara anda menyampaikan sesuatu saat berkomunikasi di
Yogyakarta? Langsung kepada intinya atau berbasa basi? Jelaskan!
J : Langsung sama intinya, sama siapapun termasuk sama orang Jawa. Awalawalnya mungkin mereka kaget. Mereka bilang, Afrina orangnya blakblakan, ceplas ceplos banget, aku usaha buat menyesuaikan diri aja sama
mereka. Kalau sama orang Batak ya langsung-langsung aja tapi kalau sama
orang itu (orang Jawa) yang kek mana ya, paling ngomong ada kata
pengantarnya dulu lah. Gimana ya, kadang aku sih masa bodoh. Terlampau
apa ya, terlampau keknya harus diatur-atur banget gitu loh, kayak bukan
diriku sendiri.
P : Apakah ada komunitas khusus mahasiswa Batak di ISI Yogyakarta?
Sebutkan jika ada?
J : Ada. KSBJ (Keluarga Seni Batak Japaris)
P : Apakah anda tergabung dan terlibat aktif dalam komunitas tersebut?
J : Aku ikut di KSBJ, aktif juga karna aku senang di KSBJ. Maksudnya kek
mana ya, cinta sama komunitas ini. KSBJ itu orang-orangnya itu yang kulihat
persaudaraannya kuat. Jadi kayak kalau ada masalah mereka langsung peduli,
peduli banget.
P : Bagaimana anda mengetahui tentang komunitas tersebut?
J : Di awal kuliah, karna sebelum aku masuk, kan kami tu ada dikumpulin tuh
yang calon mahasiswa baru. Trus nanti dibuat kayak kami testing. Kami
nampil semua trus mereka kasi masukan, diajarin, kayak kita dibimbing.
Dikasi bimbingan, diajarin, gratis gak bayar.
P : Bagaimana perasaan anda saat berada bersama teman-teman suku
Batak khususnya dari Sumatera Utara?
J : Aku dari dulu sama orang Batak sih. Karna memang ya orang-orang itu yang
paling dekat sama aku, yang selalu tiap hari jumpa juga, satu kontrakan juga.
Lebih nyaman sama orang Batak. Soalnya lebih, yang kayak kubilang tadi,
lebih luas, lebih bebas. Maksudnya gak usah terlampau jaga-jaga kalau mo
ngomong, kek gitu. Ya udah ceplos aja, aku lebih bisa jadi diriku sendiri.
Adaptasi Budaya
P : Seperti apa budaya di Yogyakarta menurut anda saat ini?
J : Kalau disini lebih, budaya tata kramanya lebih ditonjolkan. Jadi kalau kita
masuk ke gang, rumah-rumah, kalau di Medan kan jalan ya udah jalan aja,
ngapain tegur-tegur orang kecuali kenal, gitu. Kalau disini kan kita harus,
permisi mba, permisi bu mari, nah harus ramah. Memang betul-betul ramah.
Cara orang-orangnya bertutur kata, beda banget. Ya kalau disana kan, kayak
gimana ya dibilang, mungkin kalau kata-kata kotor masih sering kudengar.
Trus kasar. Semua ngomong tu kan kayak marah marah gitu loh. Ngomong
cuman mo bilang ngobrol dikit aja nanti kayak udah mo berantam. Trus supir
supir angkot disana juga langsung emosian semua kan. Nanti klakson
klakson, beriiiisik banget. Trus nanti bisa berantam sama supirnya. Ngomong
apalah, sampe berenti gitu rame satu jalanan. Nah kalo disini ramah-ramah
semuanya. Kita gak kenal juga, mari mba, kayak gitu. Trus mereka juga
budayakan, lebih ini sih, lebih teratur lalu lintasnya, pake helm, jalan-jalan
gini pake helm. Kalau di Medan jalan besar aja gak mau pake helm, tarek
tiga. Kalau disini mungkin lebih taat lah. Lebih patuh.
P : Apakah anda menemukan kendala dari segi bahasa? Apa saja kendala
tersebut?
J : Ya, kalau awal-awal disini kan aku gak ngerti. Mereka kan bahasa Jawa.
Apalagi mereka bahasa Jawanya bahasa Jawa halus. Kalau yang kasar masih
lebih ngerti dikit-dikit. Kalau yang halus ya sama sekali gak ngerti aku. Ya
paling belajar-belajar ajalah sama temenku, kek gitu. Teman-teman kuliah
mereka juga pake bahasa Jawa kadang kadang.
P : Bagaimana anda mengatasi masalah perbedaan bahasa?
J : Paling kalau aku ndak ngerti aku langsung nanya sama temanku artinya apa.
Pernah juga sih minta mereka pake bahasa Indonesia. Kalau kubilang kek gitu
responnya baik.
P : Apakah ada perbedaan makna pada kosakata di Sumatera Utara dan
Yogyakarta? Ceritakan pengalaman anda jika ada!
J : Kata semalam sering. Mereka kan gak ngerti kalau semalam itu kan kemaren.
Mereka ngertinya semalam itu kemaren malam. Mereka bingung. Misalnya,
semalam loh kami berenang dek, kubilang kek gitu. Semalam berenang? Jadi
mereka kek, loh tadi malam itu kalian berenang. Jadi mereka bingung, kog
berenang malam-malam.
P : Mana yang lebih berat bagi anda, beradaptasi dengan lingkungan dan
budaya atau dengan kehidupan perkuliahan? Mengapa?
J : Sama perkuliahan. Perkuliahan, aduuuhhhh, ya, tantangannya berat aja. Mata
kuliahnya, misalnya tentang mayor, sulit aja. Tingkat kesulitannya itu makin
tinggi. Pernah. Antara semester dua atau tiga. Waktu itu ya maunya
refreshing aja, jalan jalan. Gak mau ngingat ngingat tugas. Gak mau ngingat
ngingat semua masalah kuliah. Jalan jalan aja terus, senang senang aja.
P : Bagaimana reaksi anda saat pertama kali berada di Yogyakarta?
J : “Awalnya biasa, kayak lihat kampus-kampus biasa, tapi ya lumayan kagum
aja lihat UGM. Nyampelah ke Sewon kan, beda!! Kog jadi di kampungkampung awak, gitu ya. Gak kecewa, tapi pengen, kalau bisa ISI pindah aja
di utara, gitu, jangan di Sewon, jangan di kampung kampung. Kalau di
Medan kayak di Lau Dendang, Tanjung Anom, itupun pelosoknya lagi. Itu
sampe dua tiga minggu kek gitu, kog disini, gak bisa dipindah kah lokasinya.
Kog kampung semua. Pertama-tama gitu. Orang-orangnya pun kog kek gini.
Gak ada yang, gak ini, kok katro. Kek gimana ya, waktu abangku ngantar, ya,
ya udah, pasrah ajalah. Terima gak terima, ya emang udah ini kampusku kan.
Berarti emang udah lingkunganku disini. Ya udah gak papa.”
P : Apakah ada budaya di Yogyakarta yang mengakibatkan perasaan tidak
nyaman bagi anda? Jelaskan jika ada!
J : Yang nyapa-nyapa di jalan itu. Aku malah bilang ke temanku, kog harus kek
gini sih, harus kek gini sih. Mau jalan aja harus permisi mba mari bu mari
pak, kan capek. Gak kenal pun harus, ayo bu mari. Selain itu, mereka disini
sering putar lagu, tengah malam, lagu-lagu sinden. Nyinden gitu loh. Kalau
sama aku, itu seram. Lagu-lagu sinden jam dua malam itu rasanya aihhh.
Sering dengar aku jam-jam dua malam. Seram, takut. Soalnya kan kalau lagu
sinden itu ada artinya. Kayak manggil-manggil hantu, gitu loh. Kadang kalau
mo jalan, di jalan lewat rumah orang, gitu kan, suara sinden. Tengah malam,
kadang, suara sinden. Udah langsung pigi aja. Apalagi bau-bau melati, bau
bunga. Ya, menjauh ajalah dari situ.
P : Apakah anda pernah merasakan homesick? Apa saja hal-hal yang anda
rindukan?
J : Pernah, itu tadi waktu mumet (semester dua), tugas semuanya, mo refreshing,
pengen pulang pengen pulang. Rindunya itu paling sama kakakku, kan tiap
hari bareng mereka canda-canda, ya paling adalah rindu, tapi ya udah biasa
aja.
P : Bagaimana anda mengatasi rasa homesick tersebut?
J : Sering komunikasi, sering telponan , ya udah.
4. Informan: Silvana Chrisma Putri Kaban
Pengetahuan Informan tentang Yogyakarta
P : Mengapa anda memilih kuliah di ISI Yogyakarta?
J : Soalnya kan, dari SMA (Kelas 2) kan memang pengen kuliah fotografi tuh.
Kelas satu belum ada mata pelajaran fotografi. Jadi pas kelas dua ada mata
pelajaran fotografi, aku langsung tertarik. Jadi kemaren iseng-iseng tuh
searching searching kampus multimedia., dapatlah, di Jakarta banyak kayak
di Binus, Mercu Buana. Trus muncullah ISI di deretan ke berapa, muncul ISI
Jogja. Trus aku buka situsnya ada khusus fotografi. Di sini aja deh mending.
P : Apa keistimewaan ISI Yogyakarta dibandingkan kampus lain menurut
anda?
J : Kualitasnya lebih bagus, uang kuliahnya murah.
P : Apa yang anda ketahui tentang Yogyakarta sebelumnya?
J : Taunya Malioboro, candi Borobudur, candi Prambanan.
P : Apa yang anda ketahui tentang budaya di Yogyakarta sebelumnya?
J : Kalau budayanya gak tau.
P : Apakah ada perasaan cemas sebelum berangkat ke Yogyakarta?
J : Aku yang paling ku was-was kan itu sih kayak aku nanti gimana membaur
dengan lingkungan sekitar. Jadi kan aku tu orangnya lasak, gak bisa diam,
yang, takutnya ini sedikit, bermasalah. Misalnya, kesana sedikit, bermasalah.
Nanti takut salah salah tingkah aja sih. Masalah-masalah pembauran di sini.
P : Apakah anda mencari informasi tentang kehidupan di Yogyakarta
terlebih dahulu sebelum berangkat? Informasi apa saja?
J : Kalau di Jogja tu, kan kayaknya kakakku lebih tau soalnya dia pernah maen
ke Jogja kalau gak salah. Jogja tu murah murah jadi kehidupannya itu gak
semahal yang disini (Jakarta), jadi kau bisa ngurangin beban kalau kuliah di
Jogja, kata dia kek gitu.
Gaya Berkomunikasi
P : Bagaimana cara anda berbicara saat anda berada di kampung halaman?
J : Gini aku bicara, sama deh.
P : Bagaimana cara anda berbicara saat ini di Yogyakarta?
J : Kalau sama orang yang kek kita ini nih, itu bahasaku yang bahasa Medan.
Tapi kalau sama yang kek misalnya orang-orang sini, orang-orang Jawa, itu
udah lebih lembut, beradaptasi. Daripada nanti aku bicara kayak orang utan
sendirian teriak-teriak, mereka bicaranya diam, diaaaaaaam. Biasalah orang
Medan kan, ininya ke besar-besar gitu loh suaranya, intonasinya. Kalau baru
kenal aku caem-caem dulu, jaga image dulu. Kalau udah kenal gimana
aslinya ya udah aku keluarkan juga asliku juga. Tapi gak semedan-medan
juga, gitu loh.
P : Apakah anda pernah mengalami masalah dengan gaya bicara anda
tersebut? Sebutkan jika pernah!
J : Sejauh ini belum ada.
P : Apakah anda lebih suka berbicara langsung kepada intinya atau
berbasa-basi?
J : Langsung kepada intinya.
P : Bagaimana cara anda menyampaikan sesuatu saat berkomunikasi di
Yogyakarta? Langsung kepada intinya atau berbasa basi? Jelaskan!
J : Tergantung mood sih, kalau lagi gak bagus mood lagi gak enak pengennya
cepet-cepet aja. Daripada bikin emosi ya udah to the point aja.
P : Bagaimana sikap anda terhadap rekan anda yang tidak langsung kepada
intinya saat berbicara dengan anda?
J : Kalau teman yang ngomongnya berbelit-belit kalau aku emang lagi pengen
denger ceritanya, ya kudengerin. Tapi kalau lagi enggak nanti paling aku
tanya, trus intinya apa.
P : Apakah ada komunitas khusus mahasiswa Batak di ISI Yogyakarta?
Sebutkan jika ada?
J : Ada. KSBJ (Keluarga Seni Batak Japaris)
P : Apakah anda tergabung dan terlibat aktif dalam komunitas tersebut?
J : Iya. Pertama itu ngumpul-ngumpul di kampus kayak menyambut adek-adek
mahasiswa baru yang dari Medan. Kayak perkenalan dirilah yang mahasiswa
baru siapa-siapa aja. Aku senang juga karna ternyata gak cuma aku orang
Medan yang kuliah di sini. Kog aku baru tau, ya kayak berasa di rumah lagi.
P : Bagaimana anda mengetahui tentang komunitas tersebut?
J : Aku dikasi tau sama temanku kalau ada ngumpul KSBJ, pokoknya orang
Medan yang di sini. Aku ikut ajalah buat nambah teman. KSBJ itu solidnya
itu sih. Kan ada juga keluarga toh. Mereka udah bilang dari awal, jangan lupa
ya dek KSBJ itu keluargamu, jadi kalau ada susah-susah, sama KSBJ cerita.
Jangan sungkan-sungkan.
P : Bagaimana perasaan anda saat berada bersama teman-teman suku
Batak khususnya dari Sumatera Utara?
J : Ya kayak berasa lagi di rumah. Ada juga sih kayak cerita cerita. Aku kan
melepas rindu juga toh. Ih aku kangen loh ikan teri Medan, gini gini gini. Ih
aku juga kangen loh, ih ya ampun kangen kali. Untunglah aku ketemu kalian.
Kalau ada kalian kan bisa cerita cerita tentang teri Medan. Kalau sama
orang Jawa kan gak mungkin, mereka gak tau teri Medan itu kek mana.
Kalau sama orang Medan udah merasa cocok gitu loh di otak. Oh sama
orang Medan, sama-sama orang Batak pasti keluarga, gitu loh.
Adaptasi Budaya
P : Seperti apa budaya di Yogyakarta menurut anda saat ini?
J : Orang orang Jogja itu kalem, taat peraturan lalu lintas. Aku paling ini lalu
lintasnya. Kalau di Medan kemana mana gak pake helm, biasa aja. Coba
kalau di sini cuma lima meter doang pake helm. Ngomong sama orang Jogja
itu jangan kayak ngomong sama orang Medan, mesti tau attitude,
ngomongnya itu beda. Lebih sopan toh ngomongnya. Mereka itu
ngomongnya pelan pelan yang kita juga balasnya pelan pelan. Mereka pun
marah marah tapi bukan kek marah marah, jadi kita balasnya cuman senyum
senyum gitu. Suasana di Jogja tuh, kalau daerahku, itu lingkungannya lebih
tenang kayak di kampung kampung. Kek mana di kampung kampung pasti
sepi, adem, masih banyak pohon pohon, masih banyak sawah sawah. Trus
budaya mereka pun masih budaya kental Jawa, wajarlah dengar dengar
suara gamelan dari mana mana. Rumah rumahnya kayak rumah rumah
orang