Gaya Berkomunikasi Dan Adaptasi Budaya Mahasiswa Batak Asal Sumatera Utara Di Institut Seni Indonesia Yogyakarta
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Seorang
wanita
Batak
asal
Medan
melakukan
tindakan
yang
mengakibatkan dirinya dikecam secara luas secara khusus di media sosial pada
Agustus 2014. Wanita bernama Florence Sihombing yang saat itu tercatat sebagai
mahasiswi semester tiga Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas
Gajah Mada, menulis di akun sosial media (Path) yang bernada memaki
Yogyakarta dan warganya yang menyebar cepat diantara pengguna media sosial.
Persoalan berawal pada hari Rabu siang (27/8/2014) ketika Florence mengantri
bahan bakar minyak (BBM) untuk sepeda motornya di Stasiun Pengisian Bahanbakar Umum (SPBU) Lempuyangan. Ia bermaksud membeli BBM non-subsidi
dan masuk dalam antrian mobil tetapi ditolak petugas dan disarankan ikut antrian
sepeda motor (http://www.voaindonesia.com). Perlakuan tersebut membuat
Florence kesal dan mengekspresikannya di media sosial tanpa memikirkan ulang
efek dari tindakannya. Pernyataan Florence dianggap sudah sangat keterlaluan dan
telah melukai hati masyarakat di sana. Masyarakat Yogyakarta langsung
mengecam tindakan Florence di media sosial hingga akhirnya Florence pun
menuliskan permintaan maafnya di media yang sama. Komunitas Batak di
Yogyakarta
juga
ikut
meminta
maaf
atas
ketidaksantunan
Florence
(http://sosbud.kompasiana.com).
Gaya bahasa yang digunakan Florence saat mengekspresikan rasa kesalnya
melalui media sosial sangat eksplisit (terus terang dan tidak berbelit-belit). Cara
1
2
Florence menyampaikan pesannya melalui media sosial setidaknya dapat
dijadikan gambaran gaya komunikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Setiap
orang secara pribadi punya gaya khas dalam berbicara, bukan hanya caranya
tetapi juga topik-topik yang dibicarakan. Kekhasan ini umumnya diwarisi
seseorang dari budayanya (Mulyana, 2008: 327).
Melihat latar belakang budaya Florence sebagai orang Batak maka bukan
hal aneh jika Florence begitu eksplisit dalam mengutarakan pesannya. Kasus
Florence ini seolah membenarkan stereotip tentang orang Batak yaitu kasar,
nekad, suka bicara keras, pemberang dan suka berkelahi (Mulyana, 2005b: 13).
Seandainya Florence menyampaikan kekesalannya tersebut di Tanah Batak atau di
lingkungan Batak maka respon yang muncul tentu berbeda bahkan mungkin tidak
berimbas sama sekali.
Cara Florence mengekspresikan kekesalannya merupakan hal yang biasa
dikalangan orang Batak namun tidak demikian halnya bagi suku lain khususnya
orang Jawa yang dalam banyak hal sangat berbeda dengan orang Batak. Sebagai
seorang pendatang (yang berstatus mahasiswa) tentu Florence dituntut untuk
mampu beradaptasi dengan budaya tempat dia berada termasuk dalam gaya
komunikasi dengan lingkungan setempat. Adaptasi yang baik setidaknya akan
membentuk gaya komunikasi yang sesuai dengan lingkungan dan diterima dengan
baik.
Tindakan Florence yang menuai kecaman bukan tidak mungkin juga akan
berimbas buruk bagi orang-orang Batak lainnya yang ada di Yogyakarta secara
khusus yang juga sedang menjalani pendidikan sebagai mahasiswa. Apalagi jika
mengingat Yogyakarta merupakan daerah yang sangat diminati sebagai tempat
3
menjalani pendidikan. Padahal tidak semua orang Batak itu kasar, nekad, suka
bicara keras, pemberang dan suka berkelahi. Mahasiswa Batak di Yogyakarta
tentu saja harus memperhatikan gaya berkomunikasi mereka dan menjalani proses
adaptasi budaya dengan baik sehingga kasus seperti yang dialami Florence tidak
perlu terulang. Komunikasi yang tidak peka terhadap sistem nilai budaya yang
dianut suatu komunitas dapat menimbulkan perselisihan (Mulyana, 2005a: 27).
Salah satu institusi pendidikan di Yogyakarta yang juga mempunyai
mahasiswa suku Batak adalah Institusi Seni Indonesia Yogyakarta (ISI
Yogyakarta). Pada umumnya mahasiwa Batak tersebut berasal dari Sumatera
Utara. Berdasarkan keterangan dari seorang mahasiswa ISI Yogyakarta suku
Batak asal Medan, diperoleh keterangan bahwa ternyata dalam interaksi seharihari mahasiswa Batak asal Sumatera Utara khususnya dari Medan masih
mempertahankan dialek dan gaya bahasa Medan. Bahkan beberapa kosakata yang
hanya ada di Medan juga digunakan dalam percakapan dengan rekan-rekan yang
bukan orang Batak dan tidak berasal dari Sumatera Utara. Fakta ini tentu saja
menarik karena biasanya pendatang akan cenderung meniru dan mengikuti gaya
komunikasi di lingkungan yang baru. Fakta tersebut juga menunjukkan bahwa
gaya komunikasi mereka kurang lebih sama dengan gaya komunikasi Florence
sebagai gambaran umum gaya komunikasi orang Batak.
Andriana Noro Iswari (2012) dalam penelitiannya berjudul “Komunikasi
Antar Budaya di Kalangan Mahasiswa (Studi tentang Komunikasi Antar Budaya
di Kalangan Mahasiswa Etnis Batak dengan Mahasiswa Etnis Jawa di
Universitas Sebelas Maret Surakarta)”, menunjukkan bagaimana mahasiswa etnis
Batak tetap mempertahankan adat istiadat dan kebiasaan mereka di daerah tempat
4
mereka merantau. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan terdapat beberapa
hambatan yang muncul di dalam proses komunikasi antarbudaya di kalangan
mahasiswa etnis Batak yang ada di Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Hambatan yang muncul disebabkan adanya image yang melekat pada orang Batak
yakni galak dan kasar sehingga mempengaruhi komunikasi antarbudaya mereka
dengan mahasiswa yang berbeda etnis dengan mereka seperti banyak yang segan
bahkan takut karena mereka dianggap kasar dan galak oleh teman-teman yang
berbeda etnis dengan mereka. Penelitian ini memperlihatkan salah satu fenomena
tentang orang Batak yang cenderung mempertahankan gaya komunikasinya
sekalipun berada di daerah perantauan.
Keberadaan mahasiswa Batak di Yogyakarta secara khusus yang berasal
dari Sumatera Utara turut melengkapi nuansa antarbudaya di daerah ini tanpa
terkecuali di kampus ISI Yogyakarta. Bukan tanpa alasan jika mereka memilih ISI
Yogyakarta untuk menjalani pendidikan. Selain karena di daerah Sumatera Utara
belum ada perguruan tinggi yang khusus berorientasi dalam bidang kesenian,
predikat yang melekat pada daerah Yogyakarta sebagai “Kota Pelajar” tentu
menjadi daya tarik tersendiri. Predikat tersebut memberi kesan bahwa dengan
berkuliah di Yogyakarta akan memperoleh jaminan kualitas pendidikan dan
jaminan masa depan. Sudah bukan rahasia lagi jika Yogyakarta merupakan salah
satu kota tujuan para siswa yang ingin melanjutkan kuliah. Suasananya yang khas
memang membuat banyak orang senang tinggal di sini. Beberapa hal yang
membuat banyak mahasiswa memilih kuliah di Yogyakarta antara lain biaya
hidup yang murah, iklim yang mendukung, atmosfer intelektual dan kreativitas
5
yang mendukung, serta beragam perguruan tinggi dengan kualitas yang sudah
tidak perlu dipertanyakan (http://www.berkuliah.com).
Yogyakarta memang menjadi impian bagi sejumlah besar siswa di
Indonesia untuk melanjutkan pendidikan. Sekalipun tidak berhasil menjadi
mahasiswa di kampus negeri, kampus swasta tetap menjadi alternatif, yang
penting bisa mewujudkan impian untuk kuliah di Yogyakarta. Ketua Divisi
Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, dan Humas Komisi Pemilihan Umum Daerah
Istimewa Yogyakarta, Farid Bambang Siswantoro, mengatakan jumlah pendatang
di Yogyakarta cukup besar. Di kalangan mahasiswa saja, jumlahnya mencapai
300 ribu orang yang tersebar di 72 kampus negeri dan swasta. Hal ini disampaikan
terkait dengan surat suara cadangan untuk mengatasi lonjakan pemilih yang
berasal
dari
warga
pendatang
di
Yogyakarta
pada
Pemilu
2014
(http://www.rumahpemilu.org).
Mahasiswa Batak asal Sumatera Utara di ISI Yogyakarta tentu harus
beradaptasi dengan lingkungan mereka yang baru sebagai pendatang. Perbedaan
yang mencolok antara budaya Jawa dengan budaya Batak menjadi faktor yang
harus diperhatikan karena mempengaruhi gaya komunikasi dari masing-masing
pihak. Mahasiswa Batak tentu tidak bisa terlepas dari pengaruh budaya daerah
asal mereka dan juga tidak bisa menghindari untuk berhadapan dengan budaya
Jawa. Di Indonesia, kita tidak sulit membedakan gaya komunikasi beberapa suku.
Kalau anda cukup cermat, orang dari suku Batak, Minangkabau, Sunda, Jawa,
Madura, Bali dan Bugis/Makassar menunjukkan dialek kedaerahan mereka ketika
mereka sedang berbicara, kecuali jika mereka lahir di luar daerah asalnya atau
sudah lama meninggalkan daerah asal dan terurbanisasikan. Ciri-ciri lainnya
6
adalah bahwa orang Batak berbicara keras, lantang dan lugas (apa adanya); orang
Minangkabau terampil bersilat lidah; orang Jawa berbicara halus, lembut dan
terampil menggunakan bahasa plesetan. Gaya komunikasi orang Sunda mirip
dengan gaya komunikasi orang Jawa (Mulyana, 2005a: 153-154).
Setiap orang mempunyai gaya komunikasi yang bersifat personal sebagai
gaya khas seseorang waktu berkomunikasi. Gaya komunikasi merupakan
kepribadian sehingga sukar diubah. Untuk memahami gaya berkomunikasi maka
setiap orang harus berusaha menciptakan dan mempertahankan gaya komunikasi
personal sebagai ciri khas pribadinya. Memang sulit untuk mengubah gaya
komunikasi, karena gaya komunikasi melekat pada kepribadian seseorang
(Liliweri, 2011: 308). Komunikasi konteks-tinggi atau konteks-rendah adalah cara
paling utama/mendasar untuk membedakan gaya komunikasi dari kelompok
budaya yang berbeda (Martin & Nakayama, 2008: 135).
Secara umum, komunikasi konteks-rendah mengacu pada pola komunikasi
yang pada umumnya menggunakan bahasa verbal yang langsung (direct),
sederhana dan berorientasi pada komunikator. Komunikator dituntut untuk
mampu menyampaikan pesan secara jelas dan persuasif sehingga komunikan
dapat dengan mudah memahaminya. Komunikasi konteks-tinggi mengacu pada
pola komunikasi dengan menggunakan bahasa verbal yang tidak langsung
(indirect) dan tidak berorientasi pada komunikator. Komunikan dituntut untuk
mampu membaca “makna yang tersirat” dari pesan, menyimpulkan secara implisit
maksud dari pesan verbal dan memperhatikan pesan nonverbal yang terkandung
pada pesan verbal tersebut (Ting-Toomey, 1999: 101).
7
Menurut Mulyana (2005a: 135-136) sebenarnya gaya komunikasi tidak
dapat dikotomikan menjadi komunikasi konteks-tinggi dan komunikasi konteksrendah. Kedua gaya komunikasi tersebut boleh jadi ada dalam budaya yang sama,
tetapi biasanya salah satunya mendominasi. Negara-negara Barat umumnya
berbudaya konteks rendah, sedangkan negara-negara Timur umumnya berbudaya
konteks-tinggi. Indonesia jelas menganut budaya konteks-tinggi. Meskipun
budaya Indonesia bersifat konteks tinggi namun derajat konteks tingginya tidak
sama antara kelompok etnik yang satu dengan kelompok etnik lainnya. Budaya
Jawa yang dominan dan mewarnai budaya Indonesia, jelas sangat konteks tinggi.
Begitu juga budaya Sunda. Sebaliknya, budaya Batak adalah budaya yang derajat
konteks tingginya paling rendah, kalaupun tidak termasuk budaya konteks rendah.
Lokasi kampus ISI Yogyakarta tidak seperti kampus negeri pada
umumnya yang berada di Ibukota Provinsi ataupun di daerah perkotaan. Kampus
ISI Yogyakarta berlokasi di Desa Panggungharjo, Kabupaten Bantul. Sebagai
daerah kabupaten yang masih kental dengan nilai-nilai budaya Jawa, tentunya
menjadi tantangan tersendiri bagi mahasiswa Batak asal Sumatera Utara yang
memilih ISI Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikan. Tantangan yang cukup
penting untuk diperhatikan adalah komunikasi antarbudaya dengan warga
khususnya warga asli suku Jawa.
Keberadaan mahasiswa Batak yang berasal dari Sumatera Utara di ISI
Yogyakarta merupakan hal yang menarik untuk dikaji secara khusus mengenai
gaya mereka berkomunikasi dan adaptasi budaya yang harus mereka hadapi.
Interaksi antara budaya Batak dengan budaya Jawa yang sangat bertolak belakang
dapat mengakibatkan terjadinya komunikasi antarbudaya yang tidak mudah.
8
1.2 Fokus Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas dapat dirumuskan
yang menjadi permasalahan pada penelitian ini adalah:
1) Bagaimana gaya komunikasi mahasiswa Batak asal Sumatera Utara di Institut
Seni Indonesia Yogyakarta?
2) Bagaimana adaptasi budaya yang dihadapi mahasiswa Batak asal Sumatera
Utara di Institut Seni Indonesia Yogyakarta?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1) Mengetahui gaya komunikasi mahasiswa Batak asal Sumatera Utara di
Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
2) Mengetahui adaptasi budaya yang terjadi pada mahasiswa Batak asal
Sumatera Utara di Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah
penelitian komunikasi dan sumber bacaan secara khusus penelitian tentang
komunikasi antarbudaya yang berkaitan dengan gaya komunikasi dan
adaptasi budaya.
2) Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi
pembaca secara khusus yang sedang mengkaji tentang komunikasi
antarbudaya terkait dengan gaya komunikasi dan adaptasi budaya.
9
3) Secara praktis, hasil penelitian ini bermanfaat bagi peneliti dalam membuat
kajian selanjutnya tentang komunikasi antarbudaya.
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Seorang
wanita
Batak
asal
Medan
melakukan
tindakan
yang
mengakibatkan dirinya dikecam secara luas secara khusus di media sosial pada
Agustus 2014. Wanita bernama Florence Sihombing yang saat itu tercatat sebagai
mahasiswi semester tiga Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas
Gajah Mada, menulis di akun sosial media (Path) yang bernada memaki
Yogyakarta dan warganya yang menyebar cepat diantara pengguna media sosial.
Persoalan berawal pada hari Rabu siang (27/8/2014) ketika Florence mengantri
bahan bakar minyak (BBM) untuk sepeda motornya di Stasiun Pengisian Bahanbakar Umum (SPBU) Lempuyangan. Ia bermaksud membeli BBM non-subsidi
dan masuk dalam antrian mobil tetapi ditolak petugas dan disarankan ikut antrian
sepeda motor (http://www.voaindonesia.com). Perlakuan tersebut membuat
Florence kesal dan mengekspresikannya di media sosial tanpa memikirkan ulang
efek dari tindakannya. Pernyataan Florence dianggap sudah sangat keterlaluan dan
telah melukai hati masyarakat di sana. Masyarakat Yogyakarta langsung
mengecam tindakan Florence di media sosial hingga akhirnya Florence pun
menuliskan permintaan maafnya di media yang sama. Komunitas Batak di
Yogyakarta
juga
ikut
meminta
maaf
atas
ketidaksantunan
Florence
(http://sosbud.kompasiana.com).
Gaya bahasa yang digunakan Florence saat mengekspresikan rasa kesalnya
melalui media sosial sangat eksplisit (terus terang dan tidak berbelit-belit). Cara
1
2
Florence menyampaikan pesannya melalui media sosial setidaknya dapat
dijadikan gambaran gaya komunikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Setiap
orang secara pribadi punya gaya khas dalam berbicara, bukan hanya caranya
tetapi juga topik-topik yang dibicarakan. Kekhasan ini umumnya diwarisi
seseorang dari budayanya (Mulyana, 2008: 327).
Melihat latar belakang budaya Florence sebagai orang Batak maka bukan
hal aneh jika Florence begitu eksplisit dalam mengutarakan pesannya. Kasus
Florence ini seolah membenarkan stereotip tentang orang Batak yaitu kasar,
nekad, suka bicara keras, pemberang dan suka berkelahi (Mulyana, 2005b: 13).
Seandainya Florence menyampaikan kekesalannya tersebut di Tanah Batak atau di
lingkungan Batak maka respon yang muncul tentu berbeda bahkan mungkin tidak
berimbas sama sekali.
Cara Florence mengekspresikan kekesalannya merupakan hal yang biasa
dikalangan orang Batak namun tidak demikian halnya bagi suku lain khususnya
orang Jawa yang dalam banyak hal sangat berbeda dengan orang Batak. Sebagai
seorang pendatang (yang berstatus mahasiswa) tentu Florence dituntut untuk
mampu beradaptasi dengan budaya tempat dia berada termasuk dalam gaya
komunikasi dengan lingkungan setempat. Adaptasi yang baik setidaknya akan
membentuk gaya komunikasi yang sesuai dengan lingkungan dan diterima dengan
baik.
Tindakan Florence yang menuai kecaman bukan tidak mungkin juga akan
berimbas buruk bagi orang-orang Batak lainnya yang ada di Yogyakarta secara
khusus yang juga sedang menjalani pendidikan sebagai mahasiswa. Apalagi jika
mengingat Yogyakarta merupakan daerah yang sangat diminati sebagai tempat
3
menjalani pendidikan. Padahal tidak semua orang Batak itu kasar, nekad, suka
bicara keras, pemberang dan suka berkelahi. Mahasiswa Batak di Yogyakarta
tentu saja harus memperhatikan gaya berkomunikasi mereka dan menjalani proses
adaptasi budaya dengan baik sehingga kasus seperti yang dialami Florence tidak
perlu terulang. Komunikasi yang tidak peka terhadap sistem nilai budaya yang
dianut suatu komunitas dapat menimbulkan perselisihan (Mulyana, 2005a: 27).
Salah satu institusi pendidikan di Yogyakarta yang juga mempunyai
mahasiswa suku Batak adalah Institusi Seni Indonesia Yogyakarta (ISI
Yogyakarta). Pada umumnya mahasiwa Batak tersebut berasal dari Sumatera
Utara. Berdasarkan keterangan dari seorang mahasiswa ISI Yogyakarta suku
Batak asal Medan, diperoleh keterangan bahwa ternyata dalam interaksi seharihari mahasiswa Batak asal Sumatera Utara khususnya dari Medan masih
mempertahankan dialek dan gaya bahasa Medan. Bahkan beberapa kosakata yang
hanya ada di Medan juga digunakan dalam percakapan dengan rekan-rekan yang
bukan orang Batak dan tidak berasal dari Sumatera Utara. Fakta ini tentu saja
menarik karena biasanya pendatang akan cenderung meniru dan mengikuti gaya
komunikasi di lingkungan yang baru. Fakta tersebut juga menunjukkan bahwa
gaya komunikasi mereka kurang lebih sama dengan gaya komunikasi Florence
sebagai gambaran umum gaya komunikasi orang Batak.
Andriana Noro Iswari (2012) dalam penelitiannya berjudul “Komunikasi
Antar Budaya di Kalangan Mahasiswa (Studi tentang Komunikasi Antar Budaya
di Kalangan Mahasiswa Etnis Batak dengan Mahasiswa Etnis Jawa di
Universitas Sebelas Maret Surakarta)”, menunjukkan bagaimana mahasiswa etnis
Batak tetap mempertahankan adat istiadat dan kebiasaan mereka di daerah tempat
4
mereka merantau. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan terdapat beberapa
hambatan yang muncul di dalam proses komunikasi antarbudaya di kalangan
mahasiswa etnis Batak yang ada di Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Hambatan yang muncul disebabkan adanya image yang melekat pada orang Batak
yakni galak dan kasar sehingga mempengaruhi komunikasi antarbudaya mereka
dengan mahasiswa yang berbeda etnis dengan mereka seperti banyak yang segan
bahkan takut karena mereka dianggap kasar dan galak oleh teman-teman yang
berbeda etnis dengan mereka. Penelitian ini memperlihatkan salah satu fenomena
tentang orang Batak yang cenderung mempertahankan gaya komunikasinya
sekalipun berada di daerah perantauan.
Keberadaan mahasiswa Batak di Yogyakarta secara khusus yang berasal
dari Sumatera Utara turut melengkapi nuansa antarbudaya di daerah ini tanpa
terkecuali di kampus ISI Yogyakarta. Bukan tanpa alasan jika mereka memilih ISI
Yogyakarta untuk menjalani pendidikan. Selain karena di daerah Sumatera Utara
belum ada perguruan tinggi yang khusus berorientasi dalam bidang kesenian,
predikat yang melekat pada daerah Yogyakarta sebagai “Kota Pelajar” tentu
menjadi daya tarik tersendiri. Predikat tersebut memberi kesan bahwa dengan
berkuliah di Yogyakarta akan memperoleh jaminan kualitas pendidikan dan
jaminan masa depan. Sudah bukan rahasia lagi jika Yogyakarta merupakan salah
satu kota tujuan para siswa yang ingin melanjutkan kuliah. Suasananya yang khas
memang membuat banyak orang senang tinggal di sini. Beberapa hal yang
membuat banyak mahasiswa memilih kuliah di Yogyakarta antara lain biaya
hidup yang murah, iklim yang mendukung, atmosfer intelektual dan kreativitas
5
yang mendukung, serta beragam perguruan tinggi dengan kualitas yang sudah
tidak perlu dipertanyakan (http://www.berkuliah.com).
Yogyakarta memang menjadi impian bagi sejumlah besar siswa di
Indonesia untuk melanjutkan pendidikan. Sekalipun tidak berhasil menjadi
mahasiswa di kampus negeri, kampus swasta tetap menjadi alternatif, yang
penting bisa mewujudkan impian untuk kuliah di Yogyakarta. Ketua Divisi
Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, dan Humas Komisi Pemilihan Umum Daerah
Istimewa Yogyakarta, Farid Bambang Siswantoro, mengatakan jumlah pendatang
di Yogyakarta cukup besar. Di kalangan mahasiswa saja, jumlahnya mencapai
300 ribu orang yang tersebar di 72 kampus negeri dan swasta. Hal ini disampaikan
terkait dengan surat suara cadangan untuk mengatasi lonjakan pemilih yang
berasal
dari
warga
pendatang
di
Yogyakarta
pada
Pemilu
2014
(http://www.rumahpemilu.org).
Mahasiswa Batak asal Sumatera Utara di ISI Yogyakarta tentu harus
beradaptasi dengan lingkungan mereka yang baru sebagai pendatang. Perbedaan
yang mencolok antara budaya Jawa dengan budaya Batak menjadi faktor yang
harus diperhatikan karena mempengaruhi gaya komunikasi dari masing-masing
pihak. Mahasiswa Batak tentu tidak bisa terlepas dari pengaruh budaya daerah
asal mereka dan juga tidak bisa menghindari untuk berhadapan dengan budaya
Jawa. Di Indonesia, kita tidak sulit membedakan gaya komunikasi beberapa suku.
Kalau anda cukup cermat, orang dari suku Batak, Minangkabau, Sunda, Jawa,
Madura, Bali dan Bugis/Makassar menunjukkan dialek kedaerahan mereka ketika
mereka sedang berbicara, kecuali jika mereka lahir di luar daerah asalnya atau
sudah lama meninggalkan daerah asal dan terurbanisasikan. Ciri-ciri lainnya
6
adalah bahwa orang Batak berbicara keras, lantang dan lugas (apa adanya); orang
Minangkabau terampil bersilat lidah; orang Jawa berbicara halus, lembut dan
terampil menggunakan bahasa plesetan. Gaya komunikasi orang Sunda mirip
dengan gaya komunikasi orang Jawa (Mulyana, 2005a: 153-154).
Setiap orang mempunyai gaya komunikasi yang bersifat personal sebagai
gaya khas seseorang waktu berkomunikasi. Gaya komunikasi merupakan
kepribadian sehingga sukar diubah. Untuk memahami gaya berkomunikasi maka
setiap orang harus berusaha menciptakan dan mempertahankan gaya komunikasi
personal sebagai ciri khas pribadinya. Memang sulit untuk mengubah gaya
komunikasi, karena gaya komunikasi melekat pada kepribadian seseorang
(Liliweri, 2011: 308). Komunikasi konteks-tinggi atau konteks-rendah adalah cara
paling utama/mendasar untuk membedakan gaya komunikasi dari kelompok
budaya yang berbeda (Martin & Nakayama, 2008: 135).
Secara umum, komunikasi konteks-rendah mengacu pada pola komunikasi
yang pada umumnya menggunakan bahasa verbal yang langsung (direct),
sederhana dan berorientasi pada komunikator. Komunikator dituntut untuk
mampu menyampaikan pesan secara jelas dan persuasif sehingga komunikan
dapat dengan mudah memahaminya. Komunikasi konteks-tinggi mengacu pada
pola komunikasi dengan menggunakan bahasa verbal yang tidak langsung
(indirect) dan tidak berorientasi pada komunikator. Komunikan dituntut untuk
mampu membaca “makna yang tersirat” dari pesan, menyimpulkan secara implisit
maksud dari pesan verbal dan memperhatikan pesan nonverbal yang terkandung
pada pesan verbal tersebut (Ting-Toomey, 1999: 101).
7
Menurut Mulyana (2005a: 135-136) sebenarnya gaya komunikasi tidak
dapat dikotomikan menjadi komunikasi konteks-tinggi dan komunikasi konteksrendah. Kedua gaya komunikasi tersebut boleh jadi ada dalam budaya yang sama,
tetapi biasanya salah satunya mendominasi. Negara-negara Barat umumnya
berbudaya konteks rendah, sedangkan negara-negara Timur umumnya berbudaya
konteks-tinggi. Indonesia jelas menganut budaya konteks-tinggi. Meskipun
budaya Indonesia bersifat konteks tinggi namun derajat konteks tingginya tidak
sama antara kelompok etnik yang satu dengan kelompok etnik lainnya. Budaya
Jawa yang dominan dan mewarnai budaya Indonesia, jelas sangat konteks tinggi.
Begitu juga budaya Sunda. Sebaliknya, budaya Batak adalah budaya yang derajat
konteks tingginya paling rendah, kalaupun tidak termasuk budaya konteks rendah.
Lokasi kampus ISI Yogyakarta tidak seperti kampus negeri pada
umumnya yang berada di Ibukota Provinsi ataupun di daerah perkotaan. Kampus
ISI Yogyakarta berlokasi di Desa Panggungharjo, Kabupaten Bantul. Sebagai
daerah kabupaten yang masih kental dengan nilai-nilai budaya Jawa, tentunya
menjadi tantangan tersendiri bagi mahasiswa Batak asal Sumatera Utara yang
memilih ISI Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikan. Tantangan yang cukup
penting untuk diperhatikan adalah komunikasi antarbudaya dengan warga
khususnya warga asli suku Jawa.
Keberadaan mahasiswa Batak yang berasal dari Sumatera Utara di ISI
Yogyakarta merupakan hal yang menarik untuk dikaji secara khusus mengenai
gaya mereka berkomunikasi dan adaptasi budaya yang harus mereka hadapi.
Interaksi antara budaya Batak dengan budaya Jawa yang sangat bertolak belakang
dapat mengakibatkan terjadinya komunikasi antarbudaya yang tidak mudah.
8
1.2 Fokus Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas dapat dirumuskan
yang menjadi permasalahan pada penelitian ini adalah:
1) Bagaimana gaya komunikasi mahasiswa Batak asal Sumatera Utara di Institut
Seni Indonesia Yogyakarta?
2) Bagaimana adaptasi budaya yang dihadapi mahasiswa Batak asal Sumatera
Utara di Institut Seni Indonesia Yogyakarta?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1) Mengetahui gaya komunikasi mahasiswa Batak asal Sumatera Utara di
Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
2) Mengetahui adaptasi budaya yang terjadi pada mahasiswa Batak asal
Sumatera Utara di Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah
penelitian komunikasi dan sumber bacaan secara khusus penelitian tentang
komunikasi antarbudaya yang berkaitan dengan gaya komunikasi dan
adaptasi budaya.
2) Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi
pembaca secara khusus yang sedang mengkaji tentang komunikasi
antarbudaya terkait dengan gaya komunikasi dan adaptasi budaya.
9
3) Secara praktis, hasil penelitian ini bermanfaat bagi peneliti dalam membuat
kajian selanjutnya tentang komunikasi antarbudaya.