Perspektif Etika Dalam Pemasaran docx
BAB VII
MASALAH ETIS SEPUTAR KONSUMEN
Konsumen merupakan stakeholder yang sangat hakiki dalam bisnis
modern, karena bisnis tidak mungkin berjalan, kalau tidak ada konsumen yang
menggunakan produk/jasa yang dibuat dan ditawarkan oleh pebisnis. Pelanggan
adalah raja dalam arti bahwa dialah yang harus dilayani dan dijadikan tujuan
utama kegiatan produsen. Konsumen harus diperlakukan dengan baik secara
moral, tidak saja merupakan tuntutan etis, melainkan juga syarat mutlak untuk
mencapai keberhasilan dalam bisnis.
Perhatian untuk Konsumen
Secara spontan bisnis mulai dengan mencurahkan segala perhatiannya
kepada produknya, bukan kepada konsumen. Presiden John F. Kennedy pada
tahun 1992 mengirim kepada kongres (DPR) Amerika apa yang disebut Special
Massage on Protecting the Consumer Interest. Di mana ia menetapkan 4 hak yang
dimiliki setiap konsumen yaitu the rifght to safety, the right to be informed, the
right to choose, the right to be heard. Hak yang dimiliki oleh konsumen :
1.
Hak atas keamanan
Banyak produk mengandung resiko tertentu untuk konsumen, khususnya
resiko untuk kesehatan dan keselamatan. Konsumen berhak atas produk yang
aman, artinya produk yang tidak mempunyai kesalahan teknis atau kesalahan
lainnya yang bisa merugikan kesehatan atau bahkan membahayakan kehidupan
konsumen. Bila sebuah produk karena hakikatnya selalu mengandung resiko,
contohnya gergaji listrik : resiko itu harus dibatasi sampai tingkat seminimal
mungkin.
2.
Hak atas informasi
Konsumen berhak memperoleh informasi yang relevan mengenai produk
yang dibelinya, baik apa sesungguhnya produk itu (bahan bakunya,
umpamanya), maupun bagaimana cara memakainya, maupun juga resiko dari
pemakaiannya. Hak ini meliputi segala aspek pemasaran dan periklanan.
Semua informasi yang disebut pada label produk tersebut haruslah benar:
isinya, beratnya, tanggal kadarluarsanya, ciri–ciri khusus dan sebagainya.
3.
Hak untuk memilih
Dalam sistem ekonomi pasar bebas, di mana kompetisi merupakan unsur
hakiki, konsumen berhak untuk memilih antara berbagai produk atau jasa yang
ditawarkan.
4.
Hak untuk didengarkan
Karena konsumen adalah orang yang menggunakan produk atau jasa, ia
berhak bahwa keinginannya tentang produk atau jasa itu didengarkan dan
dipertimbangkan, terutama keluhannya. Hak-hak konsumen ini tentu tidak
boleh dimengerti sebagai hak dalam arti sempit, tetapi dipahami sebagai citacita atau tujuan yang harus direalisasikan dalam masyarakat.
5.
Hak lingkungan hidup
Melalui produk yang digunakannya, konsumen memanfaatkan sumber
daya alam. Ia berhak bahwa produk dibikin sedemikian rupa, sehingga tidak
mengakibatkan pencemaran lingkungan atau merugikan keberlanjutan proses–
proses alam.
6.
Hak konsumen atas pendidikan
Melalui sekolah dan media massa, masyarakat juga harus dipersiapkan
menjadi konsumen yang kritis dan sadar akan haknya. Dengan itu ia sanggup
memberikan sumbangan yang berarti kepada mutu kehidupan ekonomi dan
mutu bisnis pada umumnya.
Tanggung Jawab Bisnis untuk Menyediakan Produk yang Aman
Disini produsen harus menjamin bahwa produknya pada saat pembelian
dalam keadaan prima sehingga bisa dipakai dengan aman. Terhadap suatu produk
yang baru dibeli dan dipakai, produsen maupun konsumen masing–masing
mempunyai tanggung jawab.Untuk mendasarkan tanggung jawab produsen, telah
dikemukakan 3 teori yang mendukung nuansa yang berbeda :
1.
Teori kontrak
Pandangan kontrak ini sejalan dengan pepatah romawi kuno yang
berbunyi caveat emptor
yang berarti “hendaknya si pembeli behati–hati”.
Tetapi tudak bisa dikatakan juga bahwa hubungan produsen dengan konsumen
selalu dan seluruhnya berlangsung dalam kerangka kontrak. Beberapa hal yang
menetang teori ini :
1.
Teori kontrak mengandalkan bahwa produsen dan konsumen berada pada
taraf yang sama. Tetapi pada kenyataannya tidak terdapat persamaan antara
produsen–konsumen, khususnya dalam konteks bisnis modern.
2.
Kritik kedua menegaskan bahwa teori kontrak mengandalkan hubungan
langsung antara produsen dan konsumen. Padahal konsumen pada
kenyataannya jarang sekali berhubungan langsung dengan produsen.
3.
Konsepsi kontrak tidak cukup untuk melindungi konsumen dengan baik.
Kalau perlindungan terhadap konsumen hanya tergantung pada ketentuan
dalam kontrak maka bisa terjadi juga bahwa konsumen terlkanjur
menyetujui kontrak jual beli. Padahal disitu tidak terjamin bahwa produk
bisa diandalkan, akan berumur lama, akan bersifat aman dan sebagainya.
2.
Teori perhatian semestinya
Pandangan “perhatian semestinya” ini tidak memfokuskan kontrak atau
persetujuan antara konsumen dan produsen , melainkan terutama kualitas
produk serta tanggung jawab produsen. Karena itu tekanannya bukan dari segi
hukum saja, melainkan dalam etika dalam arti luas. Norma dasar yang
melandasi pandangan ini adalah bahwa seseorang tidak boleh merugikan orang
lain dengan kegiatannya.
3.
Teori biaya sosial
Teori biaya sosial merupakan versi yang paling ekstrim dari semboyan
caveat venditor . Walaupun teori ini paling menguntungkan bagi konsumen,
rupanya sulit juga mempertahankan. kritik yang dikemukakan dalam teori ini
adalah sebagai berikut : teori biaya sosial tampaknya kurang adil, karena
menganggap orang bertanggung jawab atas hal–hal yang tidak diketahui atau
tidak dihindarkan. Menurut keadaan kompensatoris orang yang bertanggung
jawab atas akibat perbuatan yang diketahui dapat terjadi dan bisa dicegah
olehnya.
Tanggung Jawab Bisnis lainnya terhadap Konsumen
Tanggung jawab bisnis lainnya terhadap konsumen. Selain harus
menjamin keamanan produk, bisnis juga mempunyai kewajiban lain terhadap
consumen, diantaranya :
1.
Kualitas produk
Konsumen berhak atas produk yang berkualitas, karena ia membayar
untuk itu. Dan bisnis berkewajiban untuk menyampaikan produk yang
berkualitas. Salah satu cara yang biasa ditempuh adalah memberikan garansai.
Ada 2 macam garansi: eksplisit dan implisit. Garansi bersifat eksplisit kalau
terjamin begitu saja dalam keterangan yang menyertai produk. Menyangkut
ciri-ciri produk, masa pemakaian, kemampuannya dll. Garansi bersifat implisit
kalau secara wajar bisa diandaikan, sekalipun tidak dirumuskan dengan terangterangan. Hal itu terjadi bila dalam iklan atau promosi tentang produk dibuat
janji tertentu atau bila konsumen memiliki harapan sesuai dengan hakikat
produk. Akhirnya kualitas produk tidak saja merupakan suatu tuntutan etis
melainkan juga suatu syarat untuk mencapai sukses dalam bisnis.
2.
Harga
Harga merupakan buah hasil perhitungan faktor-faktor seperti biaya
produksi, biaya investasi, promosi, pajak, ditambah tentu laba yang wajar.
Dalam sistem ekonomi pasar bebas, sepintas rupanya harga yang adil adalah
hasil kahir dari perkembangan-perkembangan daya-daya pasar. Namun ada
beberapa alasan mengapa prinsip pasar tidak cukup. Pertama, pasar praktis
tidak pernah sempurna. Kedua, para konsumen sering kali dalm posisi lemah,
untuk membandingkan harga serta menganalisis semua faktor yang turut
menentukan harga. Ketiga, menentukan harga menurut mekanisme pasar saja
bisa mengakibatkan fluktuasi harga terlalu besar.
Dalam situasi modern, harga yang adil terutama merupakan hasil dari
peneraan dua prinsip yaitu pengaruh pasar dan stabilitas harga. Secara khusus
menjadi tugas pemerintah untuk mencari keseimbangan antara harga pasar
bebas dan perlunya stabilitas. Yang jelas ialah bahwa kompetisi bebas dalam
hal ini dengan demikian cukup dibatasi. Menurut Garrett dan Klonoski harga
menjadi tidak adil karena 4 faktor yaitu:
Penipuan
Ketidaktahuan pada Pihak Konsumen
Penyalahgunaan Kuasa, dan
Manipulasi emosi.
3.
Pengemasan dan pemberian label
Selain bertujuan melindungi produk dan memungkinkan mempergunakan
produk dengan mudah, kemasan berfungsi juga untuk mempromosikan produk,
terutama di era toko swalayan sekarang. Pengemasan dibuat sedapat mungkin
menarik, untuk meraih lebih banyak pembeli. Selain itu pengemasan dan label
memberi informasi tentang produk. Dalam konteks tuntutan etis adalah bahwa
informasi yang disebut pada kemasan itu benar dan bahwa pengemasan tidak
boleh menyesatkan konsumen.
BAB VIII
PERIKLANAN DAN ETIKA
Periklanan atau reklame adalah bagian tak terpisahkan dari bisnis modern.
Iklan dianggap sebagai cara ampuh untuk menonjol dalam persaingan. Dalam
perkembangan periklanan, media komunikasi modern : media cetak maupun
elektronis, khususnya televisi memegang peranan dominan. Fenomena periklanan
ini menimbulkan perbagai masalah yang berbeda.
Periklanan dilatarbelakangi suatu ideologi tersembunyi yang tidak sehat,
yaitu ideologi konsumerisme atau apapun nama yang ingin kita pilih untuk itu.
Ada dua persoalan etis yang terkait dalam hal periklanan. Yang pertama
menyangkut kebenaran dalam iklan. Mengatakan yang benar merupakan salah
satu kewajiban etis yang penting. Persoalan etis yang kedua adalah memanipulasi
public yang menurut banyak pengamat berulang kali dilakukan melalui upaya
periklanan.
Fungsi Periklanan
Iklan dipandang sebagai upaya komunikasi. Iklan dilukiskan sebagai
komunikasi antara produsen dan pasaran, antara penjual dan calon pembeli.
Periklanan dibedakan dalam dua fungsi : fungsi informatif dan fungsi persuasif.
Tetapi pada kenyataannya tidak ada iklan yang semata-mata informatif dan tidak
ada iklan yang semata-mata persuasif.
Periklanan dan Kebenaran
Pada umumnya periklanan tidak mempunyai reputasi baik sebagai
pelindung atau pejuang kebenaran. Sebaliknya, kerap kali iklan terkesan suka
membohongi, menyesatkan, dan bahkan menipu publik. Iklan bukan saja
menyesatkan dengan berbohong, tapi juga dengan tidak mengatakan seluruh
kebenaran, misalnya karena mendiamkan sesuatu yang sebenarnya penting untuk
diketahui.
Manipulasi dan Periklanan
Masalah manipulasi berkaitan dengan segi persuasif dari iklan (tapi tidak
terlepas juga dari segi informatifnya). Dengan manipulasi dimaksudkan
mempengaruhi kemauan orang lain sedemikian rupa sehingga ia menghendaki
atau menginginkan sesuatu yang sebenarnya tidak dipilih oleh orang itu sendiri.
Karena dimanipulasi, seseorang mengikuti motivasi yang tidak berasal dari
dirinya sendiri tapi ditanamkan dalam dirinya dari luar.
Publik cukup menyadari bahwa iklan itu namanya iklan dan karena itu
selalu harus didekati dengan sikap yang kritis. Kebanyakan orang tahu
membedakan suasana yang ditampilkan periklanan dengan kenyataan. Namun
demikian, tidak mustahil untuk termanipulasi. Berikut adalah 2 cara untuk
sungguh-sungguh memanipulasi orang dengan periklanan.
1. Subliminal Advertising
Maksudnya adalah teknik periklanan yang sekilas menyampaikan
suatu pesan dengan begitu cepat, sehingga tidak dipersepsikan dengan
sadar, tapi tinggal di bawah ambang kesadaran. Teknik ini bisa dipakai di
bidang visual maupun audio.
Teknik subliminal bisa sangat efektif, contohnya, dalam sebuah
bioskop di New Jersey yang menyisipkan sebuah pesan subliminal dalam
film yang isinya “Lapar. Makan popcorn”. Dan konon waktu istirahat
popcorn jauh lebih laris dari biasa.
2. Iklan yang ditujukan kepada anak
Iklan seperti ini pun harus dianggap kurang etis, Karena anak
mudah dimanipulasi dan dipermainkan. Iklan yang ditujukan langsung
kepada anak tidak bisa dinilai lain daripada manipulasi saja dan karena itu
harus ditolak sebagai tidak etis.
Pengontrolan terhadap Iklan
Dalam bisnis periklanan, perlulah adanya kontrol tepat yang dapat
mengimbangi kerawanan tersebut. Pengontrolan ini terutama harus dijalankan
dengan tiga cara berikut ini :
1.
Kontrol oleh pemerintah
Tugas penting bagi pemerintah, harus melindungi masyarakat konsumen
terhadap
keganasan
periklanan.
Di Amerika
Serikat
instansi-instansi
pemerintah mengawasi praktek periklanan dengan cukup efisien, antara lain
melalui Food and Drug Administration dan Federal Trade Commission. Di
Indonesia iklan diawasi oleh Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan
Makanan (POM) dari Departemen Kesehatan.
2.
Kontrol oleh para pengiklan
Cara paling ampuh untuk menanggulangi masalah etis tentang periklanan
adalah pengaturan diri (self-regulation) oleh dunia periklanan. Biasanya hal itu
dilakukan dengan menyususn sebuah kode etik, sejumlah norma dan pedoman
yang disetujui oleh profesi periklanan itu sendiri, khususnya oleh asosiasi birobiro periklanan. Di Indonesia memiliki Tata krama dan tata cara periklanan
Indonesia yang disempurnakan (1996) yang dikeluarkan oleh AMLI (Asosiasi
Media Luar Ruang Indonesia), ASPINDO (Asosiasi Pemrakrsa dan Penyantun
Iklan Indonesia), GPBSI (Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia),
PPPI (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia), PRSSNI (Persatuan Radio
Siaran Swasta Nasional Indonesia), SPS (Serikat Penerbit Surat Kabar) dan
Yayasan TVRI. Versi pertama dari kode etik ini telah diberlakukan 1981. Jika
suatu kode etik disetujui tentunya pelaksanaan harus diawasi juga. Di
Indonesia pengawasan kode etik dipercayakan kepada Komisi Periklanan
Indonesia yang terdiri atas unsur semua asosiasi pendukung dari Tata Krama
tersebut.
3.
Kontrol oleh masyarakat
Dalam hal ini cara yang terbukti membawa banyak hasil dalam
menetralisasi efek-efek negatif dari periklanan adalah mendukung dan
menggalakan lembaga-lembaga konsumen, yang sudah lama dikenal di negaranegara maju dan sejak tahun 1970-an berada juga di Indonesia (Yayasan
Lembaga Konsumen Indonesia di Jakarta dan kemudian Lembaga Pembinaan
dan Perlindungan Konsumen di Semarang).Sebetulnya setiap kota besar pantas
memiliki Lembaga Swadaya Masyarakat yang bertujuan advokasi konsumen
seperti lembaga-lembaga itu.
Selain menjaga agar periklanan tidak menyalahi batas-batas etika melalui
pengontrolan terhadap iklan-iklan dalam media massa, ada juga cara lebih
positif untuk meningkatkan mutu etis dari iklan dengan memberikan
penghargaan kepada iklan yang dinilai paling baik. Penghargaan untuk iklan
itu bisa diberikan oleh instansi pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat,
sebuah majalah dll. Di Indonesia memiliki Citra Adhi Pariwara yang setiap
tahun dikeluarkan oleh Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia.
Penilaian Etis terhadap Iklan
Refleksi tentang etika periklanan mengingatkan bahwa penalaran moral
selalu harus bernuansa dengan menyimak dan menilai situasi konkrit. Ada 4 faktor
yang selalu dipertimbangkan dalam menerapkan prinsip-prinsip untuk membentuk
penilaian etis yang seimbang tentang iklan :
1.
Maksud si pengiklan
Jika maksud di pengiklan tidak baik, dengan sendirinya moralitas iklan itu
menjadi tidak baik pula. Jika si pengiklan tahu bahwa produk yang diiklankan
merugikan konsumen atau dengan sengaja ia menjelekan produk dari pesaing,
iklan menjadi tidak etis. Begitupun jika membuat iklan yang menyesatkan,
tentu iklan menjadi tidak etis. Di sini sulit dibayangkan bahwa si pengiklan
mempunyai maksud baik. Federal Trade Commision telah memaksa
perusahaan bersangkutan untuk mengoreksi iklan yang menyesatkan.
Sebaliknya, jika si pengiklan mengeluarkan iklan yang menyesatkan tapi
maksudnya tidak demikian, iklan itu barangkali kuran profesional tetapi tidak
bisa dinyatakan kurang etis.
2.
Isi iklan
Menurut isinya iklan harus benar dan tidak boleh mengandung unsur yang
menyesatkan. Iklan tidak menjadi etis pula bila mendiamkam sesuatu yang
sebenarnya pentng. Bisa dibenarkan, jika sebuah produk dalam iklan
dipersentasikan dari segi yang paling menguntungkan. Iklan tentang hal yang
tidak bermoral dengan sendirinya menjadi tidak etis. Di sini kompleksitas
moralitas periklanan terkait dengan kompelksitas moralitas topik-topik
bersangkutan.
3.
Keadilan publik yang tertuju
Yang dimengerti disini dengan publik adalah orang dewasa yang normal
dan mempunyai informasi cukup tentang produk atau jasa yang diiklankan.
Perlu diakui bahwa mutu publik sebagai keseluruhan bisa sangat berbeda.
Dalam masyarakat dimana taraf pendidikan rendah dan terdapat banyak orang
sederhana yang mudah tertipu, tentu harus dipakai standar lebih ketat daripada
dalam masyarakat dimana mutu pendidikan rata-rata lebih tinggi atau standar
ekonomi lebih maju.
4.
Kebiasaan di bidang periklanan
Periklanan selalu dipraktekkan dalam rangka suatu tradisi. Dalam tradisi
itu orang sudah biasa dengan cara tertentu disajikannya iklan. Dimana ada
tradisi periklanan yang sudah lama dan terbentuk kuat, tentu masuk akal saja
bila beberapa iklan lebih mudah di terima daripada dimana praktek periklanan
baru mulai dijalankan pada skala besar.
MASALAH ETIS SEPUTAR KONSUMEN
Konsumen merupakan stakeholder yang sangat hakiki dalam bisnis
modern, karena bisnis tidak mungkin berjalan, kalau tidak ada konsumen yang
menggunakan produk/jasa yang dibuat dan ditawarkan oleh pebisnis. Pelanggan
adalah raja dalam arti bahwa dialah yang harus dilayani dan dijadikan tujuan
utama kegiatan produsen. Konsumen harus diperlakukan dengan baik secara
moral, tidak saja merupakan tuntutan etis, melainkan juga syarat mutlak untuk
mencapai keberhasilan dalam bisnis.
Perhatian untuk Konsumen
Secara spontan bisnis mulai dengan mencurahkan segala perhatiannya
kepada produknya, bukan kepada konsumen. Presiden John F. Kennedy pada
tahun 1992 mengirim kepada kongres (DPR) Amerika apa yang disebut Special
Massage on Protecting the Consumer Interest. Di mana ia menetapkan 4 hak yang
dimiliki setiap konsumen yaitu the rifght to safety, the right to be informed, the
right to choose, the right to be heard. Hak yang dimiliki oleh konsumen :
1.
Hak atas keamanan
Banyak produk mengandung resiko tertentu untuk konsumen, khususnya
resiko untuk kesehatan dan keselamatan. Konsumen berhak atas produk yang
aman, artinya produk yang tidak mempunyai kesalahan teknis atau kesalahan
lainnya yang bisa merugikan kesehatan atau bahkan membahayakan kehidupan
konsumen. Bila sebuah produk karena hakikatnya selalu mengandung resiko,
contohnya gergaji listrik : resiko itu harus dibatasi sampai tingkat seminimal
mungkin.
2.
Hak atas informasi
Konsumen berhak memperoleh informasi yang relevan mengenai produk
yang dibelinya, baik apa sesungguhnya produk itu (bahan bakunya,
umpamanya), maupun bagaimana cara memakainya, maupun juga resiko dari
pemakaiannya. Hak ini meliputi segala aspek pemasaran dan periklanan.
Semua informasi yang disebut pada label produk tersebut haruslah benar:
isinya, beratnya, tanggal kadarluarsanya, ciri–ciri khusus dan sebagainya.
3.
Hak untuk memilih
Dalam sistem ekonomi pasar bebas, di mana kompetisi merupakan unsur
hakiki, konsumen berhak untuk memilih antara berbagai produk atau jasa yang
ditawarkan.
4.
Hak untuk didengarkan
Karena konsumen adalah orang yang menggunakan produk atau jasa, ia
berhak bahwa keinginannya tentang produk atau jasa itu didengarkan dan
dipertimbangkan, terutama keluhannya. Hak-hak konsumen ini tentu tidak
boleh dimengerti sebagai hak dalam arti sempit, tetapi dipahami sebagai citacita atau tujuan yang harus direalisasikan dalam masyarakat.
5.
Hak lingkungan hidup
Melalui produk yang digunakannya, konsumen memanfaatkan sumber
daya alam. Ia berhak bahwa produk dibikin sedemikian rupa, sehingga tidak
mengakibatkan pencemaran lingkungan atau merugikan keberlanjutan proses–
proses alam.
6.
Hak konsumen atas pendidikan
Melalui sekolah dan media massa, masyarakat juga harus dipersiapkan
menjadi konsumen yang kritis dan sadar akan haknya. Dengan itu ia sanggup
memberikan sumbangan yang berarti kepada mutu kehidupan ekonomi dan
mutu bisnis pada umumnya.
Tanggung Jawab Bisnis untuk Menyediakan Produk yang Aman
Disini produsen harus menjamin bahwa produknya pada saat pembelian
dalam keadaan prima sehingga bisa dipakai dengan aman. Terhadap suatu produk
yang baru dibeli dan dipakai, produsen maupun konsumen masing–masing
mempunyai tanggung jawab.Untuk mendasarkan tanggung jawab produsen, telah
dikemukakan 3 teori yang mendukung nuansa yang berbeda :
1.
Teori kontrak
Pandangan kontrak ini sejalan dengan pepatah romawi kuno yang
berbunyi caveat emptor
yang berarti “hendaknya si pembeli behati–hati”.
Tetapi tudak bisa dikatakan juga bahwa hubungan produsen dengan konsumen
selalu dan seluruhnya berlangsung dalam kerangka kontrak. Beberapa hal yang
menetang teori ini :
1.
Teori kontrak mengandalkan bahwa produsen dan konsumen berada pada
taraf yang sama. Tetapi pada kenyataannya tidak terdapat persamaan antara
produsen–konsumen, khususnya dalam konteks bisnis modern.
2.
Kritik kedua menegaskan bahwa teori kontrak mengandalkan hubungan
langsung antara produsen dan konsumen. Padahal konsumen pada
kenyataannya jarang sekali berhubungan langsung dengan produsen.
3.
Konsepsi kontrak tidak cukup untuk melindungi konsumen dengan baik.
Kalau perlindungan terhadap konsumen hanya tergantung pada ketentuan
dalam kontrak maka bisa terjadi juga bahwa konsumen terlkanjur
menyetujui kontrak jual beli. Padahal disitu tidak terjamin bahwa produk
bisa diandalkan, akan berumur lama, akan bersifat aman dan sebagainya.
2.
Teori perhatian semestinya
Pandangan “perhatian semestinya” ini tidak memfokuskan kontrak atau
persetujuan antara konsumen dan produsen , melainkan terutama kualitas
produk serta tanggung jawab produsen. Karena itu tekanannya bukan dari segi
hukum saja, melainkan dalam etika dalam arti luas. Norma dasar yang
melandasi pandangan ini adalah bahwa seseorang tidak boleh merugikan orang
lain dengan kegiatannya.
3.
Teori biaya sosial
Teori biaya sosial merupakan versi yang paling ekstrim dari semboyan
caveat venditor . Walaupun teori ini paling menguntungkan bagi konsumen,
rupanya sulit juga mempertahankan. kritik yang dikemukakan dalam teori ini
adalah sebagai berikut : teori biaya sosial tampaknya kurang adil, karena
menganggap orang bertanggung jawab atas hal–hal yang tidak diketahui atau
tidak dihindarkan. Menurut keadaan kompensatoris orang yang bertanggung
jawab atas akibat perbuatan yang diketahui dapat terjadi dan bisa dicegah
olehnya.
Tanggung Jawab Bisnis lainnya terhadap Konsumen
Tanggung jawab bisnis lainnya terhadap konsumen. Selain harus
menjamin keamanan produk, bisnis juga mempunyai kewajiban lain terhadap
consumen, diantaranya :
1.
Kualitas produk
Konsumen berhak atas produk yang berkualitas, karena ia membayar
untuk itu. Dan bisnis berkewajiban untuk menyampaikan produk yang
berkualitas. Salah satu cara yang biasa ditempuh adalah memberikan garansai.
Ada 2 macam garansi: eksplisit dan implisit. Garansi bersifat eksplisit kalau
terjamin begitu saja dalam keterangan yang menyertai produk. Menyangkut
ciri-ciri produk, masa pemakaian, kemampuannya dll. Garansi bersifat implisit
kalau secara wajar bisa diandaikan, sekalipun tidak dirumuskan dengan terangterangan. Hal itu terjadi bila dalam iklan atau promosi tentang produk dibuat
janji tertentu atau bila konsumen memiliki harapan sesuai dengan hakikat
produk. Akhirnya kualitas produk tidak saja merupakan suatu tuntutan etis
melainkan juga suatu syarat untuk mencapai sukses dalam bisnis.
2.
Harga
Harga merupakan buah hasil perhitungan faktor-faktor seperti biaya
produksi, biaya investasi, promosi, pajak, ditambah tentu laba yang wajar.
Dalam sistem ekonomi pasar bebas, sepintas rupanya harga yang adil adalah
hasil kahir dari perkembangan-perkembangan daya-daya pasar. Namun ada
beberapa alasan mengapa prinsip pasar tidak cukup. Pertama, pasar praktis
tidak pernah sempurna. Kedua, para konsumen sering kali dalm posisi lemah,
untuk membandingkan harga serta menganalisis semua faktor yang turut
menentukan harga. Ketiga, menentukan harga menurut mekanisme pasar saja
bisa mengakibatkan fluktuasi harga terlalu besar.
Dalam situasi modern, harga yang adil terutama merupakan hasil dari
peneraan dua prinsip yaitu pengaruh pasar dan stabilitas harga. Secara khusus
menjadi tugas pemerintah untuk mencari keseimbangan antara harga pasar
bebas dan perlunya stabilitas. Yang jelas ialah bahwa kompetisi bebas dalam
hal ini dengan demikian cukup dibatasi. Menurut Garrett dan Klonoski harga
menjadi tidak adil karena 4 faktor yaitu:
Penipuan
Ketidaktahuan pada Pihak Konsumen
Penyalahgunaan Kuasa, dan
Manipulasi emosi.
3.
Pengemasan dan pemberian label
Selain bertujuan melindungi produk dan memungkinkan mempergunakan
produk dengan mudah, kemasan berfungsi juga untuk mempromosikan produk,
terutama di era toko swalayan sekarang. Pengemasan dibuat sedapat mungkin
menarik, untuk meraih lebih banyak pembeli. Selain itu pengemasan dan label
memberi informasi tentang produk. Dalam konteks tuntutan etis adalah bahwa
informasi yang disebut pada kemasan itu benar dan bahwa pengemasan tidak
boleh menyesatkan konsumen.
BAB VIII
PERIKLANAN DAN ETIKA
Periklanan atau reklame adalah bagian tak terpisahkan dari bisnis modern.
Iklan dianggap sebagai cara ampuh untuk menonjol dalam persaingan. Dalam
perkembangan periklanan, media komunikasi modern : media cetak maupun
elektronis, khususnya televisi memegang peranan dominan. Fenomena periklanan
ini menimbulkan perbagai masalah yang berbeda.
Periklanan dilatarbelakangi suatu ideologi tersembunyi yang tidak sehat,
yaitu ideologi konsumerisme atau apapun nama yang ingin kita pilih untuk itu.
Ada dua persoalan etis yang terkait dalam hal periklanan. Yang pertama
menyangkut kebenaran dalam iklan. Mengatakan yang benar merupakan salah
satu kewajiban etis yang penting. Persoalan etis yang kedua adalah memanipulasi
public yang menurut banyak pengamat berulang kali dilakukan melalui upaya
periklanan.
Fungsi Periklanan
Iklan dipandang sebagai upaya komunikasi. Iklan dilukiskan sebagai
komunikasi antara produsen dan pasaran, antara penjual dan calon pembeli.
Periklanan dibedakan dalam dua fungsi : fungsi informatif dan fungsi persuasif.
Tetapi pada kenyataannya tidak ada iklan yang semata-mata informatif dan tidak
ada iklan yang semata-mata persuasif.
Periklanan dan Kebenaran
Pada umumnya periklanan tidak mempunyai reputasi baik sebagai
pelindung atau pejuang kebenaran. Sebaliknya, kerap kali iklan terkesan suka
membohongi, menyesatkan, dan bahkan menipu publik. Iklan bukan saja
menyesatkan dengan berbohong, tapi juga dengan tidak mengatakan seluruh
kebenaran, misalnya karena mendiamkan sesuatu yang sebenarnya penting untuk
diketahui.
Manipulasi dan Periklanan
Masalah manipulasi berkaitan dengan segi persuasif dari iklan (tapi tidak
terlepas juga dari segi informatifnya). Dengan manipulasi dimaksudkan
mempengaruhi kemauan orang lain sedemikian rupa sehingga ia menghendaki
atau menginginkan sesuatu yang sebenarnya tidak dipilih oleh orang itu sendiri.
Karena dimanipulasi, seseorang mengikuti motivasi yang tidak berasal dari
dirinya sendiri tapi ditanamkan dalam dirinya dari luar.
Publik cukup menyadari bahwa iklan itu namanya iklan dan karena itu
selalu harus didekati dengan sikap yang kritis. Kebanyakan orang tahu
membedakan suasana yang ditampilkan periklanan dengan kenyataan. Namun
demikian, tidak mustahil untuk termanipulasi. Berikut adalah 2 cara untuk
sungguh-sungguh memanipulasi orang dengan periklanan.
1. Subliminal Advertising
Maksudnya adalah teknik periklanan yang sekilas menyampaikan
suatu pesan dengan begitu cepat, sehingga tidak dipersepsikan dengan
sadar, tapi tinggal di bawah ambang kesadaran. Teknik ini bisa dipakai di
bidang visual maupun audio.
Teknik subliminal bisa sangat efektif, contohnya, dalam sebuah
bioskop di New Jersey yang menyisipkan sebuah pesan subliminal dalam
film yang isinya “Lapar. Makan popcorn”. Dan konon waktu istirahat
popcorn jauh lebih laris dari biasa.
2. Iklan yang ditujukan kepada anak
Iklan seperti ini pun harus dianggap kurang etis, Karena anak
mudah dimanipulasi dan dipermainkan. Iklan yang ditujukan langsung
kepada anak tidak bisa dinilai lain daripada manipulasi saja dan karena itu
harus ditolak sebagai tidak etis.
Pengontrolan terhadap Iklan
Dalam bisnis periklanan, perlulah adanya kontrol tepat yang dapat
mengimbangi kerawanan tersebut. Pengontrolan ini terutama harus dijalankan
dengan tiga cara berikut ini :
1.
Kontrol oleh pemerintah
Tugas penting bagi pemerintah, harus melindungi masyarakat konsumen
terhadap
keganasan
periklanan.
Di Amerika
Serikat
instansi-instansi
pemerintah mengawasi praktek periklanan dengan cukup efisien, antara lain
melalui Food and Drug Administration dan Federal Trade Commission. Di
Indonesia iklan diawasi oleh Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan
Makanan (POM) dari Departemen Kesehatan.
2.
Kontrol oleh para pengiklan
Cara paling ampuh untuk menanggulangi masalah etis tentang periklanan
adalah pengaturan diri (self-regulation) oleh dunia periklanan. Biasanya hal itu
dilakukan dengan menyususn sebuah kode etik, sejumlah norma dan pedoman
yang disetujui oleh profesi periklanan itu sendiri, khususnya oleh asosiasi birobiro periklanan. Di Indonesia memiliki Tata krama dan tata cara periklanan
Indonesia yang disempurnakan (1996) yang dikeluarkan oleh AMLI (Asosiasi
Media Luar Ruang Indonesia), ASPINDO (Asosiasi Pemrakrsa dan Penyantun
Iklan Indonesia), GPBSI (Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia),
PPPI (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia), PRSSNI (Persatuan Radio
Siaran Swasta Nasional Indonesia), SPS (Serikat Penerbit Surat Kabar) dan
Yayasan TVRI. Versi pertama dari kode etik ini telah diberlakukan 1981. Jika
suatu kode etik disetujui tentunya pelaksanaan harus diawasi juga. Di
Indonesia pengawasan kode etik dipercayakan kepada Komisi Periklanan
Indonesia yang terdiri atas unsur semua asosiasi pendukung dari Tata Krama
tersebut.
3.
Kontrol oleh masyarakat
Dalam hal ini cara yang terbukti membawa banyak hasil dalam
menetralisasi efek-efek negatif dari periklanan adalah mendukung dan
menggalakan lembaga-lembaga konsumen, yang sudah lama dikenal di negaranegara maju dan sejak tahun 1970-an berada juga di Indonesia (Yayasan
Lembaga Konsumen Indonesia di Jakarta dan kemudian Lembaga Pembinaan
dan Perlindungan Konsumen di Semarang).Sebetulnya setiap kota besar pantas
memiliki Lembaga Swadaya Masyarakat yang bertujuan advokasi konsumen
seperti lembaga-lembaga itu.
Selain menjaga agar periklanan tidak menyalahi batas-batas etika melalui
pengontrolan terhadap iklan-iklan dalam media massa, ada juga cara lebih
positif untuk meningkatkan mutu etis dari iklan dengan memberikan
penghargaan kepada iklan yang dinilai paling baik. Penghargaan untuk iklan
itu bisa diberikan oleh instansi pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat,
sebuah majalah dll. Di Indonesia memiliki Citra Adhi Pariwara yang setiap
tahun dikeluarkan oleh Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia.
Penilaian Etis terhadap Iklan
Refleksi tentang etika periklanan mengingatkan bahwa penalaran moral
selalu harus bernuansa dengan menyimak dan menilai situasi konkrit. Ada 4 faktor
yang selalu dipertimbangkan dalam menerapkan prinsip-prinsip untuk membentuk
penilaian etis yang seimbang tentang iklan :
1.
Maksud si pengiklan
Jika maksud di pengiklan tidak baik, dengan sendirinya moralitas iklan itu
menjadi tidak baik pula. Jika si pengiklan tahu bahwa produk yang diiklankan
merugikan konsumen atau dengan sengaja ia menjelekan produk dari pesaing,
iklan menjadi tidak etis. Begitupun jika membuat iklan yang menyesatkan,
tentu iklan menjadi tidak etis. Di sini sulit dibayangkan bahwa si pengiklan
mempunyai maksud baik. Federal Trade Commision telah memaksa
perusahaan bersangkutan untuk mengoreksi iklan yang menyesatkan.
Sebaliknya, jika si pengiklan mengeluarkan iklan yang menyesatkan tapi
maksudnya tidak demikian, iklan itu barangkali kuran profesional tetapi tidak
bisa dinyatakan kurang etis.
2.
Isi iklan
Menurut isinya iklan harus benar dan tidak boleh mengandung unsur yang
menyesatkan. Iklan tidak menjadi etis pula bila mendiamkam sesuatu yang
sebenarnya pentng. Bisa dibenarkan, jika sebuah produk dalam iklan
dipersentasikan dari segi yang paling menguntungkan. Iklan tentang hal yang
tidak bermoral dengan sendirinya menjadi tidak etis. Di sini kompleksitas
moralitas periklanan terkait dengan kompelksitas moralitas topik-topik
bersangkutan.
3.
Keadilan publik yang tertuju
Yang dimengerti disini dengan publik adalah orang dewasa yang normal
dan mempunyai informasi cukup tentang produk atau jasa yang diiklankan.
Perlu diakui bahwa mutu publik sebagai keseluruhan bisa sangat berbeda.
Dalam masyarakat dimana taraf pendidikan rendah dan terdapat banyak orang
sederhana yang mudah tertipu, tentu harus dipakai standar lebih ketat daripada
dalam masyarakat dimana mutu pendidikan rata-rata lebih tinggi atau standar
ekonomi lebih maju.
4.
Kebiasaan di bidang periklanan
Periklanan selalu dipraktekkan dalam rangka suatu tradisi. Dalam tradisi
itu orang sudah biasa dengan cara tertentu disajikannya iklan. Dimana ada
tradisi periklanan yang sudah lama dan terbentuk kuat, tentu masuk akal saja
bila beberapa iklan lebih mudah di terima daripada dimana praktek periklanan
baru mulai dijalankan pada skala besar.