Penerapan Pajak Penghasilan Terhadap Bentuk Usaha Tetap Sebagai Wajib Pajak Di Indonesia Ditinjau Dari Uu Pajak Penghasilan Chapter III V

BAB III
BENTUK USAHA TETAP DILIHAT DARI UNDANG-UNDANG PAJAK
PENGHASILAN

A. Sumber Hukum Bentuk Usaha Tetap
Ketentuan bentuk usaha tetap dalam suatu perjanjian sangat penting
artinya, selain mengatur hak negara tentang untuk mengenakan pajak atas laba
usaha (bussines profit) yang diterima oleh perusahaan yang berkedudukan di
negara mitranya juga mengatur tentang pemajakan laba usaha, berdasarkan
ketentuan perjanjian perpajakan negara dapat mengenakan pajak atas laba usaha
yang diterima atau diperoleh perusahaan yang berkedudukan di negara mitranya
hanya apabila perusahaan tersebut melakukan kegiatan usaha melalui bentuk
usaha dari negara sumber tersebut.53
Pengertian bentuk usaha tetap berdasarkan Undang-Undang No.36 Tahun
2008 terdapat dalam pasal 2 ayat 5 yaitu menyebutkan bahwa bentuk usaha tetap
ialah bentuk usaha yang digunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari
seratus delapan puluh tiga hari dalam jangka waktu dua belas bulan, dan badan
yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk
menjalankan kegiatan atau badan usaha di Indonesia jalankan usaha atau
melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa tempat kedudukan

management, cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor, pabrik,
bengkel, gudang, ruang untuk promosi dan penjualan, pertambangan dan
53

Aspek Hukum Subjek Hukum Pajak Bentuk Usaha Tetap Menurut Hukum Positif,
paulus_afds@binus.edu , ( diakses pada 09 Mei 2017)

Universitas Sumatera Utara

penggalian sumber alam, wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi,
perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan,atau kehutanan, proyek konstruksi,
instalasi, atau proyek perakitan, pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh
pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari enam puluh hari dalam
jangka waktu dua belas bulan, orang atau badan yang bertindak selaku agen yang
kedudukannya tidak bebas, agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi
asuransi atau menanggung risiko di Indonesia, dan komputer, agen elektronik,
atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara
transaksi elektronik untuk menjalankan usaha melalui internet.54
Menurut Undang-Undang Perpajakan Indonesia, bentuk usaha yang

dipergunakan untuk subjek pajak luar negeri untuk menjalankan usaha atau atau
melakukan usaha di Indonesia, dapat dikatakan bentuk usaha tetap yang dapat
berupa55 :
1. Tempat kedudukan manajemen.
2. Cabang perusahaan.
3. Kantor perwakilan.
4. Gedung kantor.
5. Pabrik.
6. Bengkel.
7. Pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja
pengeboran yang digunakan untuk eksplorasi pertambangan.

54

Pasal 2 Ayat 5, Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2008 Tentang Pajak
Penghasilan
55
Wikipedia, Ensiklopedia Bebas tentang Bentuk Usaha Tetap, https://id.wikipedia.org ,
(diakses pada 09 Mei 2017)


Universitas Sumatera Utara

8. Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan.
9. Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan.
10. Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang
lain, sepanjang dilakukan dalam jangka waktu 12 bulan dan lebih
dari 60 hari.
11. Orang atau agen yang kedudukannnya tidak bebas.
12. Agen atau pegawai dari asuransi yang tidak berkedudukan atau tidak
didirikan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau risiko
pertanggungjawaban di Indonesia.
Dari paparan diatas dapat dikatakan bahwa sumber hukum bentuk usaha
tetap diperoleh dari Undang-Undang No.36 Tahun 2008 yang merupakan
perubahan keempat dari Undang-Undang No.7 Tahun 1983 Tentang Perpajakan
yang memuat tentang defenisi badan usaha tetap dan poin-poin lain yang
berkenaan dengan bentuk usaha tetap (BUT).

B. Jenis-Jenis Bentuk Usaha Tetap
Pada sub-bab sebelumnya telah dibahas mengenai defenisi dan dasar
hukum yang dijadikan landasan terhadap penetapan bentu usaha tetap (BUT)

sesuai dengan pasal 2 ayat 5.
Badan Usaha Tetap dibagi menjadi 4 macam yaitu 56 :
1. Tipe Fasilitas Fisik (lihat pasal 2 ayat 5 huruf a s/d h UndangUndang Nomor 36 Tahun 2008), terdiri dari :
a) Tempat Kedudukan Manajemen
56

http://pajakonline.com Diakses pada 10 Mei 2017

Universitas Sumatera Utara

b) Kantor Perwakilan
c) Gedung Kantor
d) Pabrik
e) Bengkel
f) Pertambangan dan penggalian sumber daya alam, wilayah
kerja pengeboran untuk ekplorasi/pertambangan
g) Perikanan/pertanian/kehutanan/perkebunan
Keberdaan BUT tipe fasilitas fisik dapat dilihat dari ada atau
tidaknya fasilitas fisik seperti cabang, bengkel, kantor dsb di negara sumber.
2. Tipe Aktivitas (lihat pasal 2 ayat 5 huruf i dan j Undang-Undang

Nomor 36 Tahun 2008), terdiri dari :
a) Proyek Konstruksi instalasi atau proyek perwakilan.
b) Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau
orang lain yang dilakukan dalam jangka waktu lebih dari 60
hari (kecuali ditentukan lain dalam tax treaty dalam negara
yang bersangkutan) dalam jagka waktu 12 bulan.
Keberadaan

BUT

tipe

aktivitas

konstruksi

maupun

pemberian jasa ditentukan dari lamanya (time test) aktivitas tersebut
dilakukan di negara sumber. Penentuan time test tidak melihat pada

formalitas (kontrak) tetapi pada keadaan yang sebenarnya (pasal 2
ayat 6 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000).
Misalnya berdasarkan kontrak pemberian jasa PT. XYZ yang
berkedudukan di Amerika Serikat mengirimkan Mr. Wong penduduk
Amerika ke Indonesia dari tanggal 10 April 2000 s/d 10 Juni 2000,

Universitas Sumatera Utara

dengan demikian syarat time test yang digunakan dihitung sejak Mr.
Wong berada di Indonesia yaitu sejak bulan Januari 2000.
3. Tipe Keagenan (lihat pasal 2 ayat 5 huruf I Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008), terdiri dari Orang atau badan hukum yang bertindak sebagai
agen yang kedudukannya tidak bebas. Kedudukan BUT tipe keagenan
ditentukan oleh ada atau tidaknya dependent of agent di negara sumber.
Maksudnya ialah bahwa orang atau badan hukum tersebut memiliki
hak yang terbatas dalam kedudukannya yang ditentukan oleh negara
tempat usaha didirikan.
4. Tipe Asuransi (lihat pasal 2 ayat 5 huruf I Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008), terdiri dari agen atau pegawai perusahaan asuransi yang
tidak didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia yang menerima premi

asuransi atau menanggung risiko di Indonesia. Keberadaan BUT tipe
asuransi ini difokuskan pada ada atau tidaknya pemungutan premi dan
penanggugan mereka di negara sumber57.
Agen atau perusahaan asuransi yang tidak berdiri dan punya kantor
atau tempat yang tetap di Indonesia, namun tetap melakukan proses
pemungutan premi di Indonesia.

C. Objek Pajak Bentuk Usaha Tetap (BUT)
Sesuai dengan ketentuan pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008 Tentang Perpajakan disebutkan yang menjadi objek pajak
bentuk usaha tetap (BUT) ialah orang pribadi yang tidak bertempat tinggal
57

Mengenal
Jenis
Badan
Usaha
Tetap
(BUT),
www.sugitaxconsultant.blogspot.com.2016/2017 oleh sugiyanto, diakses pada 10 Mei 2017


Universitas Sumatera Utara

atau badan yang tidak berkedudukan di Indonesia yang menjalakankan
kegiatan usaha tetap dan dikenakan pajak di Indonesia melalui bentuk usaha
tetapnya58 :
1. Penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan
dari harta yang dimiliki atau dikuasai;
Maksudnya ialah bentuk usaha tetap dikenakan pajak penghasilan
yang berasal dari usaha atau kegiatan dan dari harta yang dimiliki
atau dikuasainya, dengan demikian semua penghasilannya dikenakan
pajak Indonesia.
2. Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang
ataupemberian jasa di Indonesiayang sejenis dengan yang diajarkan
atau dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia;
Maksudnya ialah berdasarkan ketentuan ini penghasilan kantor pusat
yang berasal dari usaha atau kegiatan, penjualan barang dan
pemberian jasa, yang sejenis dengan yang dilakukan oleh bentuk
usaha tetap, karena pada hakekatnya usaha atau kegiatan tersebut
termasuk dalam ruang lingkup usaha atau kegiatan yang dapat

dilakukan dalam bentuk usaha tetap.
Usaha atau kegiatan yang sejenis dengan usaha atau
kegaiatan bentuk usaha tetap misalnya, terjadi apabila sebuah bank
diluar Indonesia yang mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia
memberikan pinjaman secara langsung tanpa melalui bentuk usaha
tetap perusahaannya di Indonesia. Penjualan barang yang sejenis
58

Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 Tentang
Pajak Penghasilan

Universitas Sumatera Utara

dengan dijual oleh bentuk usaha tetap, misalnya kantor pusat di luar
negeri yang mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia menjual
produk yang sama dengan produk yang sama dengan produk yang
dijual oleh bentuk usaha tetap tersebut secara langsung tanpa melalui
bentuk

usaha


tetapnya

kepada

pembeli

di

Indonesia.

Pemberian jasa oleh kantor pusat yang sejenis dengan jasa
yang diberikan oleh bentuk usaha tetap, misalnya kantor pusat
perusahaan konsultan di luar Indonesia memberikan konsultasi yang
sama dengan jenis jasa yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap
tersebut langsung tanpa melalui bentuk usaha tetapnya kepada klien
di Indonesia59.
3. Penghasilan sebagaimana disebut dalam pasal 26 yang diterima atau
diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara
bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan

penghasilan yang dimaksud;
Maksudnya diaanggap sebagai penghasilan bentuk usaha tetap di
Indonesia, apabila terdapat hubungan efektif antara harta atau
kegiatan yang memberikan penghasilan dengan bentuk usaha tetap
tersebut60.

D. Perhitungan Laba Bentuk Usaha Tetap (BUT)

59

Susunan dalam satu naskah Undang-Undang Perpajakan, Jakarta, Kementrian
Keuangan Republik Indonesia dan Direktorat Jenderal Pajak Penyuluhan Pelayanan dan Humas,
2011, hlm 191
60
Ibid, hlm 192

Universitas Sumatera Utara

Perusahaan multinasional gencar mempergunakan usaha
peluang usaha dengan melakukan kegiatan usaha di negara lain,
dengan mendirikan anak perusahaan maupun membuka cabang. Bagi
negara tempat berinvestasi hal ini merupakan peluang menmbah
peneriman negara dari pajak. Pendekatan yang ditempuh alah segi
yuridis fiskal, dengan memberi batasan atas laba perpajakan dan
memberi batasan atas laba usaha dari BUT yang akan dipungut
pajak.
Masalah yang menjadi topik pembahasan adalah penentuan
laba usaha dari BUT sebagaimana diatur dalam pasal 7 OECD
model, yang menutut literatur perpajakan internasional disebut “
Atribution Principle” pengertian laba usaha harus diberi pengertian
yang luas, karena laba usaha dari BUT tersebut juga meliputi
keuntungan dari pengalihan harta dan penghasilan pengguna harta.
Sejalan dengan pengertian laba usaha yang dimaksud harus
diberi arti luas, pembahasan juga akan menyinggung masalah
penggunaan aktiva yang boleh diusulkan suatu BUT, dalam
kaitannya dengan penyusutan.
Penentuan laba usaha dari BUT dalam OECD Model diatur
dalam Artikel 7 yang rumusannya seperti berikut ;
“for the purposes of this convention, the term permanent
esthablishment, means a fixed place of business through which the
business of enterprise is a wholly or partly carried on”

Universitas Sumatera Utara

Defenisi tersebut memberi indikasi, bahwa laba usaha BUT
di suatu negara adalah yang diperoleh dari kegiatannya di negara
tersebut, rumusan itu hanya mengatur laba usaha tidak dapat dikenai
pajak di negara sumber kecuali kegiatannya dilakukan melalui suatu
BUT. Jadi profit merupakan kata kunci untuk membatasi hak
pemajakan negara di mana BUT berada.
Ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan sebagai
tolak ukur dalam perhitungan skala laba dalam BUT, yakni
Pendekatan “Relevant Business Activity” yaitu laba usaha yang
“Attributable” kepada BUT adalah laba usaha dari kegiatan dimana
BUT tersebut berpartisipasi, hal ini berarti pendekatan melalui
metode ini tidak dapat dianggap sebagai laba usaha BUT tetapi
berasal dari yurisdiksi negara dimana BUT berada.
Beberapa negara menerapkan pembatasan laba usaha suatu
BUT dengan merujuk laba bersih dari semua cabang perusahaan atau
sebagai alternatif lain menggunakan laba bruto, tetapi pendekatan ini
tidak secara tegas menyebutkan bahwa laba usaha BUT hanya
terbatas kepada penghasilan dari kegiatan teritori dimana BUT
berada.
Pendekatan berikutnya yaitu “Functionaly Separate Entity”,
yang mendasari pendekatan ini yaitu tidak membatasi laba usaha
BUT dengan melihat secara keseluruhan atau kepada transaksi atau
kegiatan usaha tertentu di mana BUT berpartisipasi, pndekatan ini
juga mencegah diterapkannya “Force of Attraction”, karena hak

Universitas Sumatera Utara

pemajakan dari sumber negara hanya dibatasi kepada laba usaha
sebagai hasil kegiatan BUT itu. Jadi jika ada kegiatan yang
dilakukan kantor pusatnya yang tidak menimbulkan dampak pada
BUT dianggap sebagai laba usaha BUT tersebut 61.
Berdasarkan pasal 5 ayat 3 Undang-Undang Nomor 36
Tahun

2008

Tentang

Pajak

Penghasilan

dikatakan

“untuk

menentukan besarnya laba suatu BUT yaitu62:
1.

Biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk
dibebankan

adalah biaya yang dibebankan dan berkaitan

untuk kegiatan BUT yang besarnya ditetapkan oleh
Direktorat Jenderal Pajak;
2.

Pembayaran kepada kantor pusat yang tidak diperbolehkan
dibebankan sebagai biaya adalah ;
a)

Royalti atau imbalan sehubungan dengan penggunaan
harta, paten, atau hak-hak lainnya;

b)

Imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa
lainnya;

c)

Bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha
perbankan.

Dalam kaitannya dengan pajak berganda, terdapat masalah yang
umum seperti perbedaan terhadap status Badan Usaha Tetap (BUT)

Surahmat, Rahmanto and Friends, “Penentuan Laba BUT”, www.triyani.blogspot.co.id ,
diakses pada 10 Mei 2017
62
Pasal 5 ayat 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 Tentang
Pajak Penghasilan
61

Universitas Sumatera Utara

tersebut dimana dalam sebuah negara terkadang Badan Usaha Tetap
(BUT) dianggap sebagai subjek pajak luar negeri, namun terkadang dapat
dianggap sebagai subjek pajak dalam negeri. Hal ini dapat menimbulkan
ambiguitas bagi Badan Usaha Tetap (BUT) yang bersangkutan, Namun
dari kedua jenis wajib pajak tersebut terdapat perbedaan yang signifikan
yaitu dalam hal pemenuhan kewajibannya.

WPLN yang menjalankan

usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia melalui BUT dikenakan pajak
selayaknya usaha yang dijalankan atau kegiatan yang dilakukan WPDN.
Hal tersebut diterapkan selaras dengan prinsip pemajakan internasional
yang menghendaki perlakuan non diskriminasi dan kesetaraan perlakuan
(Pasal 24 OECD Model). Dengan demikian, BUT dikenakan pajak antara
lain berdasarkan basis neto, tarif umum, hak atas kompensasi kerugian,
kewajiban administratif lainnya

63

. Walaupun terhadap WPLN yang

memperoleh penghasilan usaha melalui BUT di Indonesia administrasi
pengenaan pajak dilakukan dengan penetapan (SPT dan SKP), namun
sebagai subjek pajak sui generis, BUT yang dimiliki WPLN orang pribadi
tidak diberikan PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) oleh UU PPh. Hal
ini berbeda dengan perusahaan orang pribadi WPDN yang kepadanya
diberikan PTKP. namun dengan adanya pengaturan terbaru tentang BUT
terkait PPh diharapkan semakin menambah wawasan dan pengetahuan
masyarakat dalam penghitungan laba BUT. Penting diingat bahwa pajak
berganda sangat diperlukan walau ada permasalahan

yang mungkin

muncul terkait subjek Badan Usah Tetap (BUT) tersebut. Pajak bergamda
63

Gunadi, Op.Cit,hlm.86

Universitas Sumatera Utara

dalam BUT ini juga berguna untuk penerimaan pajak bagi negara yang
bersangkutan. Tujuan ini juga

tercermin pada

dimungkinkannya

pertukaran informasi dan pencegahan penyelundupan pajak antar dua
negara yang terlibat.64

64

Rochmat Soemitro, Op.Cit, hlm.4

Universitas Sumatera Utara

BAB IV
PERLAKUAN PERPAJAKAN TERHADAP BENTUK USAHA TETAP
SEBAGAI WAJIB PAJAK PENGHASILAN

A. Peraturan PPh Terhadap BUT Sesuai Undang-Undang Pajak Di
Indonesia
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Stdtd(Perubahan) UndangUndang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan menyebutkan
bahwa Indonesia mempunyai hak untuk memungut pajak atas penghasilan
yang bersumber dari Indonesia yang diterima oleh wajib pajak luar negeri65.
Pemajakan mengenai hal tersebut tertuang dalam pasal 2 (Pasal 2 ayat (1)”
yang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi, warisan yang belum
terbagi sebagai suatu kesatuan menggantikan yang berlaku, badan, dan
bentuk usaha tetap (BUT)”,dan pasal 5 (“tentang besarnya Penghasilan Kena
Pajak bagi Wajib Pajak dalam dan Bentuk Usaha Tetap..dst”) UU PPh, serta
dalam pasal 26 (“atas penghasilan tersebut dibawah ini,dan dalam bentuk
apapun yang dibayarkan..dst”) UU PPh mengenai kewajiban pemotongan
wajib pajak dalam negeri atas penghasilan yang dibayarkan kepada wajib
pajak luar negeri apabila tidak memenuhi syarat BUT.
Pemajakan menurut UU PPh berlaku penuh apabila tidak ada perjanjian
penghindaran pajak berganda (P3B) atau tax treaty antara pemerintah
Indonesia dengan pemerintah tempat wajib pajak luar negeri berdomisili.
Apabila terdapat P3B atau tax treaty, maka pemajakan terhadap wajib pajak
65

Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak
Penghasilan

Universitas Sumatera Utara

luar negeri berpedoman pada P3B yang bersangkutan karena P3B bersifat lex
spesialis66.
Pemajakan wajib pajak luar negeri menurut P3B sama dengan pemajakan
menurut UU PPh, yaitu berdasarkan BUT yang dianggap wajib pajak dalam
negeri dan pemotongan PPh pasal 26. Namun, sesuai kriteria BUT, maka
penghasilan dan tarif PPh pasal 26 diatur tersendiri dalam ketentuan P3B
yang bersangkutan.
Pemajakan BUT menurut UU PPh berdasarkan tarif tertentu berdasarkan
jumlah penghasilan bruto dan tarif pasal 17 UU PPh atas dasar penghasilan
kena pajak atau penghasilan neto67.
1. Tarif Tertentu
a) Keputusan Menkeu Nomor 632/KMK.04/1994 Tanggal
29 Desember 1994; PPh yang terutang atas BUT berupa
cabang

perusahaan

pelayaran

dan

penerbangan

internasional sebesar 2,64% dari peredaran bruto/kotor
bersifat final.
b) Keputusan Dirjen Pajak Nomor 667/PJ/200: PPh yang
terutang kantor perwakilan dagang asing (representative
office) sebesar 0,44% dari nilai ekspor perusahaan ke
Indonesia apabila tidak ada tax treaty atau perjanjian
penghindaran pajak berganda P3B.
2. Tarif Umum Pasal 17 UU PPh

66

Ilyas, B.Wirawan dan Suhartono Rudi, Hukum Pajak Material 1 Seri Pajak
Penghasilan, (Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2011), hlm.197
67
Ibid, hlm. 200

Universitas Sumatera Utara

Sesuai pasal 16 ayat 3 UU PPh, penghitungan PPh terutang
adalah tarif pasal 17 UU PPh dikalikan penghasilan kena pajak.
Jumlah

penghasilan

kena

pajak

diperoleh

dari

jumlah

penghasilan dikurangi biaya fiskal dan biaya tertentu khusus
bagi BUT yaitu biaya administrasi kantor pusat yang terkait
dengan penghasilan BUT sesuai pasal ayat 2 dan 3 UU PPh.
Selain itu pemajakan wajib pajak yang berusaha dan berada
di Indonesia tidak memenuhi kriteria BUT atau tidak berada di
Indonesia, namun menerima penghasilan yang bersumebr dari
Indonesia berpotensi dikenakan pajak melalui pemotongan PPh
pasal 26 sepanjang penghasilan tersebut termasuk objek pajak
sesuai pasal 26 UU PPh.
Pada umumnya kriteria BUT menurut P3B antar pemerintah
Indonesia dengan negara partner hampir sama dengan kriteria
BUT menurut pasal 2 ayat 5 UU PPh, yaitu BUT fisik agen,
BUT jasa aktivitas dan BUT asuransi. Penentuan BUT fisik
sama dengan penentuan menurut UU PPh, yaitu sepanjang ada
tempat atau bangunan atau cabang yang sudah memenuhi
kriteria BUT, sehingga Indonesia sebagai negara sumber berhak
penuh mengenakan pajak atas wajib pajak luar negeri tersebut
sebagai wajib pajak.
Penentuan BUT atas semua jasa yang dilakukan di Indonesia
atas negara partnermenggunakan tipe waktu, termasuk juga jasa
konstruksi, instalasi, dan perakitan. Apabila suatu jasa atau

Universitas Sumatera Utara

kegiatan di Indonesia belum melebihi tipe waktu P3B, maka
Indonesia sebagai negara sumber tidak berhakmengenakan pajak
atas wajib pajak luar negeri tersebut karena tidak memenuhi
syarat BUT dan juga tidak dapat mengenakan pasal 26 karena
hampir semua P3B menegaskan bahwa kegiatan usaha hanya
dapat dikenakan di negara sumber apbila hanya memenuhi
syarat BUT saja.
Pada umumnya, hampir semuaP3B juga mengatur adanya
fasilitas yang mirip dengan tempat tetap, namun bukan
merupakan BUT, yaitu;
1) Pemakaian fasilitas semata-mata untuk menyimpan,
memamerkan atau menyerahkan barang atau barang
dagangan milik perusahaan luar negeri.
2) Penimbunan barang persediaan atau barang dagangan
perusahaan luar negeri semata-mata untuk tujuan
menyimpan, memamerkan atau menyerahkan.
3) Penimbunan persediaan barang atau barang dagangan
perusahaan luar negeri untuk diproses perusahaan lain.
4) Pemeliharaan tempat tetap untuk usaha yang sematamata untuk membeli barang untuk mengumpulkan
informasi untuk perusahaan luar negeri
5) Pemeliharaan tempat tetap untuk persiapan bagi kegiatan
usaha perushaan luar negeri.

Universitas Sumatera Utara

6) Pemeliharaan tempat tetap untuk melakukan kegiatan
gabungan diatas dengan syarat kegiatan tersebut tetap
merupakan persiapan atau sekedar kegiatan pelengkap.
7) Pada umumnya objek BUT menurut P3B hampir sama
dengan UU PPh, demikian pula pajak setelah laba yang
diperoleh BUT, namun perbedaannya adalah tarif yang
lebih rendah dari 20%.
Pada umumnya, usaha asuransi dianggap mempunyai BUT
menurut P3B apabila ada tempat tetap (fixed place of business)
atau menerima premi dai wilayah negara melalui seseorang atau
agen yang tidak mempunyai status bebas (dependent agent).
PPh yang terutang atas kantor perwakilan dagang asing sebesar
0,44% dari nilai ekspor perusahaan ke Indonesia berlaku apabila
tidak ada P3B. apabila ada tax treaty dan hak pemajakan
diberikan kepada Indonesia sebagai negara sumber.

B. Penghitungan Pajak Penghasilan (PPh) BUT
Pengitungan pajak penghasilan (PPh) terhadap bentuk usaha tetap (BUT)
diatur dalam ketentuan Bab VI pasal 16 dan Bab VI perhitungan pajak pada
akhir tahun yang ditulis dalam pasal 28 ayat 1 sampai ayat 2 yaitu ;
Pasal 16 ayat 3 :
“penghitungan kena pajak bagi wajib pajak luar negeri yang
menjalankan kegiatan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha
tetap di Indonesia dalam suatu pajak dihitung dengan mengurangkan dari

Universitas Sumatera Utara

penghasilan sebagaimana dimaksud dalam pasal

5 ayat 1 dengan

memerhatikan ketentuan pasal 4 ayat 1 dengan pengurangan sebagaimana
dimaksud dengan pasal 5 ayat 1 dan 3, pasal 6 ayat 1 dan 2, serta pasal 9
ayat 1 huruf c,d,e, dan g”
Maksudnya ialah penghitungan penghasilan kena pajak terhadap wajib
pajak luar negeri yang menjalankan kegiatan di Indonesia melalui BUT
yaitu dengan cara mengurangi penghasilannya termasuk brutto, biaya yang
langsung berkaitan dengan BUT, penyusutan, iuran, kerugian, piutang,
sumbangan. Namun tidak boleh dikurangkan dengan pembagian laba, biaya
yang dibebankan, premi asurans,imbalan, pajak penghasilan, dan sanksi
administrasi.
Pasal 28 “
1. Bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT),
pajak yang terutang dikurangi dengan kredit pajak untuk tahun
pajak yang bersangkutan berupa ;
a) Pemotongan pajak atas penghasilan dari pekerjaan, jasa,
dan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21;
b) Pemungutan pajak atas penghasilan dari kegiatan di
bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain
sebagaimana dimaksud dalam pasal 22;
c) Pemotongan pajak atas penghasilan berupa deviden,
bunga, royalti, sewa, hadiah dan penghargaan, dan
imbalan jasa sebagaimana dalam pasal 23;

Universitas Sumatera Utara

d) Pajak yang dibayar atau terutang atas penghasilan dari
luar negeri

yang boleh dikreditkan sebagaimana

dimaksudkan dalam pasal 24;
e) Pembayaran yang dilakukan oleh wajib pajak sendiri
sebagaimana dimaksud dalam pasal 25;
f) Pemotongan

pajak

atas

penghasilan

sebagaimana

dimaksud dalam pasal 26;
2. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta
sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan
peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang
berlaku tidak boleh di kreditkan dengan pajak yang terutang
sebagaimana yang dimaksud ayat 1.
Dalam pasal 26 ayat 1 juga telah dijelaskan bahwa atas penghasilan yang
disebutkan berikut dengan nama dan dalam bentuk usaha apapun, yang
dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo
pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri,
penyelenggaraan kegiatan, bentuk usaha tetap (BUT), atau perwakilan
perusahaan luar negeri lainnya kepada wajib pajak selain bentuk usaha tetap
(BUT) dipotong sebesar 20% dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib
membayarkan68 ;
a) Dividen;
b) Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan
dengan jaminan pengembalian hutang;
68

Pasal 26 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak
Penghasilan

Universitas Sumatera Utara

c) Royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta;
d) Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
e) Hadiah dan penghargaan;
f) Pensiun dan pembayaran biaya berkala lainnya;
g) Premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan atau
h) Keuntungan karena pembebasan utang.
Kemudian penghitungan pajak penghasilan (PPh) sebagaimana dimaksud
dalam pasal 26 ayat 1 s/d 4 bersifat final69, kecuali;
1) Pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam pasal
5 ayat 1 huruf dan c
2) Pemotongan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang
pribadi atau badan luar negeri yang ebrubag status menjadi wajib
pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap (BUT).

C. Pengeluaran Yang Tidak Boleh Dibebankan Dalam Menghitung
Pajak Penghasilan
Pasal 4 ayat 3 UU PPh menyebutkan bahwa jenis penghasilan yang
bukan objek PPh (negative list), sehingga kemampuan ekonomis
apapun namanya dan bentuknya yang tidak termasuk pasal 4 ayat 3

69

Pasal 26 ayat 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 Tentang
Pajak Penghasilan

Universitas Sumatera Utara

merupakan penghasilan yang dikenakan PPh berdasarkan penafsiran
terbalik atau contratio70.
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 200971;
1. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat dan sumbangan
keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang
diakui di Indonsia, dikecualikan sebagai objek PPh sepnjang
tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau
penguasaan diantara pihak yang bersangkutan.
2. Zakat adalah zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh
pemerintah dan penerima zakat yang berhak.
3. Sumbangan keagamaan yang sifatnya wjib bagi pemeluk agama
yang diakui di Indonesia adalah sumbangan keagamaan yang
diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan
oleh pemerintah dan penerima sumbangan yang berhak.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 245/PMK.03/2008 72 menegaskan
bahwa harta hibah, bantuan atau sumbangan yang diterima oleh keluarga
sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan
pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, dan koperasi atau orang pribadi
yang menjalankan usaha mikro dan kecil, dikecualikan dalam pengeluaran
penghitungan PPh;
70

Pasal 4 ayat 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 Tentang
Pajak Penghasilan
71
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2009
72
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 245/PMK.03/2008

Universitas Sumatera Utara

a) Warisan
b) Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan
sebagaimana dimaksud dalam hal diatas;
c) Penggatian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa
yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura atau
kenikmatan dari wajib pajak atau pemerintah.
d) Pembayaran dari pihak asuransi kepada orang pribadi sehubungan
dengan asuransi kesehatan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi bea siswa.
e) Deviden atau bagian laba yang diterima atau diperoleh dari
perseroan terbatas sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi,
badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan
usaha yang didirikan di Indonesia.
f) Iuran yang diterima dari dana pensiunan yang telah disahkan
menteri keuangan baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun
pegawai.
g) Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiunan di
bidang tertentu yang ditetapkan dengan keputusan menteri
keuangan.
h) Penghasilan yang diterima oleh perusahaan modal ventura yang
merupakan bagian usaha yang didirikan di Indonesia.
i) Beasiswa yang memenuhi penyertaan tertentu yang ketentuannya
diatur lebih lanjut berdasarkan peraturan menteri keuangan.

Universitas Sumatera Utara

j) Sisa lebih yang diterima oleh lembaga nirlaba yang bergerak
dalam bidang pendidikan yang telah terdaftar pada instansi yang
membidanginya.
k) Bantuan

atau

santunan

yang

dibayarkan

oleh

lembaga

penyelenggaraan jaminan sosial kepada wajib pajak tertentu.
Berdasarkan penafsiran terbalik (contratio) penghasilan yang dikecualikan
atau tidak dihitung (dikenakan) dalam PPh ditetapkan berdasarkan
pertimbangan tertentu, antara lain73 ;
1) Untuk mendukung upaya pemerintah dibidang tertentu, antara lain
pendidikan, pelatihan, dan pengembangan.
2) Untuk menghindarkan pengenaan pajak atas penghasilan yang telah
dikenakan pajak.
3) Teknis administrasi perpajakan, yaitu dikenakan pajak pada tingkat
penerima atau pemberi penghasilan, dikenakan pajak lebih awal, dan
bukan pada saat penerimaan penghasilan.
D. Peraturan Pajak Penghasilan Terhadap Bentuk Usaha Tetap Yang
Ditanamkan Kembali Ke Indonesia
Analisis yang menyangkut interaksi antara undang-undang domestik
dengan P3B yang diterapkan di Indonesia disajikan berdasarkan urutan
masalahnya yaitu defenisi bentuk usaha tetap, laba usaha dan bentuk usaha
tetap dan pajak yang berkaitan dengan BUT tersebut, kemudian tiga jenis
penghasilan dan modal yaitu deviden, bunga, dan royalti, premi asuransi,
imbalan sehubungan jasa/hubungan kerja dari pensiun.
73

Ilyas, B.Wirawan dan Suhartono Rudy, Op.cit, hlm 35

Universitas Sumatera Utara

Sebagian besar treaty yang ada mengatur bahwa badan usaha tetap
diaanggap ada apabila jasa itu diberikan dalam jangka waktu yang diatur
dalam treaty yang bersangkutan. Apabila jangka waktu yang dipergunakan
lebih pendek daripada yang diatur dalam treaty maka imbalan yang diterima
tidak dikenakan PPh.
Sebagaimana diuraikan diatas Undang-Undang PPh di Indonesia
menganut “force of attraction rule” untuk menentukan laba usaha dalam
suatu BUT, yang disesuaikan dengan peraturan terbaru yaitu UU PPh
Nomor 36 Tahun 2008 Tetapi BUT dan perusahaan yang berdomisili di
negara P3B maka “force of attraction rule” belum tentu dapat diterapkan,
tergantung ketentuan yang ada di dalam P3B yang bersangkutan 74.
Perubahan yang terjadi tersebut didasari atas ketidak sesuaian atas tarif
pajak yang diberlakukan dalam negeri terhadap wajib pajak yang
mengakibatkan berkurangnya atau menurunya jumlah pemasukan dalam
negara di Indonesia, perubahan yang terjadi dalam Undang-Undang PPh
memang tidak sebanyak perubahan dalam Undang-Undang dan Tata cara
Perpajakan, akan tetapi hanya mencakup beberapa poin tertentu, khususnya
dalam bidang bentuk usaha tetap (BUT)75.
Perubahan yang diatur tentang BUT yaitu mengenai perluasan BUT
sehingga meliputi gudang dan juga komputer, agen elektronik, atau
peralatan

otomatis

penyelenggara

yang

transaksi

dimiliki,

disewa,

elektronik

untuk

atau

digunakan,

oleh

menyelenggarakan

atau

menjalankan kegiatan usaha melalui internet.
74
75

Belajar Pajak Online, www.pajakonline.com, (diakses pada 06 Juli 2017)
Ibid, hlm.126

Universitas Sumatera Utara

Istilah bentuk usaha tetap, yang dalam bahasa Inggris disebut permanent
establishment, dikenal di kalangan dunia perpajakan Indonesia baru setelah
berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan,
yaitu pada tanggal 1 Januari 1984. Sebelumnya istilah yang dipergunakan bukan
bentuk usaha tetap, tetapi pendirian tetap.
Penggantian istilah pendirian tetap dengan bentuk usaha tetap didasari
alasan bahwa istilah pendirian tetap lebih berkonotasi kepada pendapat atau
pemikiran, bukan kepada bentuk usaha76. Ditanamkan kembali dalam konteks ini
berarti sebuah perusahaan yang menjadi wajib pajak luarnegeri sesuai peraturan
perundang-undangan mendirikan kembali perusahaan nya di Indonesia dan
dianggap menjadi wajib pajak dalam negeri.
Ketentuan mengenai peraturan penanaman kembali pph terhadap BUT ini,
diatur lebih jelas dalam peraturan menteri keuangan nomor 14/PMK.03/2011
tanggal 24 januari 2011, dimana jelas diatur dalam pasal 1 ayat 3 dijelaskan
bahwa pengecualian pengenaan pph pasal 26 diberikan apabila seluruh
penghasilan kena pajak sesudah dikurangi pph but yang ditanamkan kembali di
indonesia dalam bentuk :
1. Penyertaan

modal

terhadap

perusahaan

yg

didirikan

atau

berkedudukan di Indonesia dalam hal sebagai pendiri atau peserta
pendiri
2. Penyertaan modal padaperusahaan yang sudah didirikan dan
berkedudukan di Indonesia sebagai pemegang saham

76

Jaja Zakaria, Op.Cit,hlm.61

Universitas Sumatera Utara

3. Pembelian aktiva tetap yang digunakan oleh but untuk menjalankan
usaha atau bentuk kegiatan usaha tetap di Indonesia.
4. Investasi berupa aktiva tidak berwujud oleh but untuk menjalankan
kegiatan usaha di Indonesia.
Dalam hal pengecualian kena pajak sesuai pasal 1(3) dijelaskan terkait syarat
terkait ketentuan tersebut dalam pasal 2 yaitu :
a. Penanaman kembali harus dilakukan paling lama akhir tahun pajak
berikutnya, setelah tahun pajak diperolehnya penghasilan bagi but
yag bersangkutan
b. BUT menyampaikan permohonan secara tertulis mengenai bentuk
penanaman modalnya, dan realisasinya saat mulai beroperasi di
kantor yang didirikan atau tempat kedudukannya sesuai yang
terdaftar pada kantor pelayanan pajak wilayah setempat.
Untuk penanaman kembali BUT di Indonesia dalam bentuk penyertaan modal
dalam pasal 1(3) butir a hingga d, maka persyaratannya ialah :
1) perusahaan yang didirikan di Indonesia dan secara aktif telah melakukan
kegiatan selama setahun sejak perushaan didirikan.
2) BUT tidak boleh melakukan pengalihan penyertaan modal selama 2 tahun
sejak perusahaan beroperasi teemasuk dalam hal pengalihan aktiva yang
bersangkutan selama 3 tahun.
Perlakuan yang diterpkan tersebut dibuat berdasarkan pertimbangan pemerintah
terkait PMK nomor 257/03.2008 yang belum menerapkan mengenai pengecualian
terhadap but yang ditanamkan kembali ke Indonesia,agar diharapkan adanya
kepastian hukum. Bagi wajib pajak baik dalam mupun luarkhususnya dalam

Universitas Sumatera Utara

negeri dan diharap dapat meningkatkan iklim investasi dan minat investor guna
peningkatan ekonomi nasional.

E. Perlakuan Perpajakan Terhadap Bentuk Usaha Tetap (BUT)
sebagai Wajib Pajak Penghasilan (PPh)
Sebagaimana telah diuraikan di atas, bentuk usaha tetap dikategorikan
sebagai subjek pajak luar negeri yang sudah barang tentu juga wajib
sebagai wajib pajak luar negeri. Perbedaan penting antara wajib pajak
luar negeri dan wajib pajak dalam negeri terletak dalam pemenuhan
kewajiban antara lain sebagai berikut ;
1. Wajib pajak dalam negeri dikenakan pajak atas penghasilan
yang diterima atau yang diperoleh dari Indonesia dan dari luar
Indonesia/ penghasilan global (world wide home), sedangkan
wajib pajak luar negeri dikenakan pajak hanya terbatas yang
berasal dari sumber penghasilan di Indonesia (principle).
2. Wajib pajak dalam negeri dikenakan pajakatas penghasilan kena
pajak, yang diperoleh dari pengurangan penghasilan brutto
dengan pengurangan yang diperkenankan (net basis of taxation),
dengan menggunakan tarif umum (progresif) yaitu tarif pasal 17
UU PPh, sedangkan wajib pajak luar negeri pada dasarnya
dikenakan pajak atas penghasilan bruto dengan menggunakan
tarif sepadan (flate rate) yaitu tarif pasal 26 UU PPh sebesar

Universitas Sumatera Utara

20% atau sesuai dengan Perjanjian Penghindaran Pajak
Berganda77.
3. Wajib pajak dalam

negeri

wajib menyampaikan Surat

Pemberitahuan Tahunan (SPT), sedangkan wajib pajak luar
negeri tidak diwajibkan karena kewajiban pembayaran pajaknya
dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final oleh si
pemberi hasil.
4. Wajib pajak dalam negeri dikenakan pajak dengan assesment
(ketetapan), sedangkan wajib pajak luar negeri kecuali yang
menjalankan BUT yang juga dikenakan pajak dengan metode
pemotongan pajak (witholding system) oleh pihak ketiga78.
WPLN yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di
Indonesia melalui BUT dikenakan pajak selayaknya usaha yang
dijalankan atau kegiatan yang dilakukan WPDN. Hal tersebut
diterapkan selaras dengan prinsip pemajakan internasional yang
menghendaki perlakuan non diskriminasi, BUT dikenakan pajak
antara lain berdasarkan basis neto, tarif umum, hak atau kompensasi
kerugian, dan kewajiban administrasi lainnya 79.
Walaupun terhadap WPLN yang memperoleh penghasilan
usaha melalui BUT di Indonesia, administrasi pengenaan pajak
dilakukan dengan penetapan (SPT dan SKP), namun sebagai subjek
pajak sui generis, BUT yang dimiliki WPLN orang pribadi tidak bisa

77

Siti Resmi, Perpajakan Teori dan Kasus, (Yogyakarta: Penerbit Salemba Empat, 2007),

hlm.63
78
79

Gunandi, Pajak Internasional, (Jakarta: Fakultas Ekonomi UI), Hlm. 62
Ibid, hlm.86

Universitas Sumatera Utara

diberikan PTKP oleh UU PPh. Hal ini berbeda dengan perusahaan
orang pribadi WPDN yang kepadanya diberikan PTKP. Komentar
P3B model OECD atas pasal 24, menyebutkan bahwa demi
kesetaraan perlakuan (equal treatment), antar orang pribadi WPLN
dengan WPDN adalah terserah pada negara pemungut pajak apabila
berkehendak untuk juga memberikan PTKP kepada orang pribadi
WPLN. Namun juga disadari bahwa karena BUT hanya merupakan
sebagian saja dari seluruh usaha dan kegiatan WPLN orang pribadi
yang jauh lebih besar dari penerapan pajak terbatas (territorial
principle) menyebabkan tidak mudahnya negara tempat BUT untuk
mengetahui kemampuan membayar (ability to pay) sepenuhnya dari
WPLN orang pribadi dimaksud. Oleh karena itu, seandainya PTKP
dan keringanan lain yang dikaitkan dengan keadaan pribadi subjek
pajak tidak tersedia di negara sumber, hal demikian dapat disadari dn
bukan merupakan halangan atas ketentuan non diskriminasi80.
Namun demikian khusus untuk BUT, walaupun BUT
mempunyai
perpajakannya

status

sebagai

WPLN,

pemenuhan

kewajiban

dipersamakan

dengan

pemenuhan

kewajiban

perpajakan bagi wajib pajak dalam negeri yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007.

80

Ibid, hlm.63

Universitas Sumatera Utara

Dengan

demikian,

BUT

antara

lain

berkewajiban

mendaftarakan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP) dan menyampaiakan SPT Tahunan sebagai sara untuk
menetapkan besarnya pajak terutang dalam suatu tahun pajak, serta
pengenaan pajak dilaksakan atas penghasilan kena pajak dengan
menggunakan tarif umum seperti berlaku untuk WPDN pada
umumnya81.
Sebenarnya dengan diwajibkannya BUT menyampaikan SPT
PPh yang tentunya harus dilampiri dengan laporan keuangan berupa
neraca dan daftar rugi laba akan terjadi keganjilan karena pada
hakikatnya BUT tidak memiliki aktiva maupun pasiva. Pihak yang
memiliki aktiva dan pasiva tersebut adalah kantor pusatnya. Sebagai
contoh, apabila BUT memilii gedung kantor, pada hakikatnya yang
memiliki kantor pusat adalah BUT tersebut. Apabila BUT tidak
mempunyai utang (pasiva) pada hakikatnya yang berutang itu adalah
kantor pusat BUT yang bersangkutan.
Kantor perwakilan perusahaan luar negeri , pada hakikatnya
tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha di Indonesia.
Keberafdaan

kantor

perwakilan

tersebut

hanyalah

mewakili

perusahaan untuk melakukan kegiatan yang sifatnya tidak mencari
laba. Misalnya kegiatan yang beupa pengumpulan data, melakukan
feasibility

study,

kegiatan

promosi

dan

sebangainya

untuk

kepentingan perusahaan luar negeri yang bersangkutan.
81

Jaja Zakaria, Perlakuan Perpajakan Terhadap Bentuk Usaha Tetap (Jakarta, Penerbit
Raja Grafindo Persada, 2005), hlm.13

Universitas Sumatera Utara

Namun sekarang orang mempertanyakan apakah BUT
dikenakan pajak per basis global atau teritorial ? pertanyaan tersebut
muncul dengan adanya beberapa petunjuk seperti ;
a) Eliminasi perusahaan penghasilan dari luar Indonesia pada
penjelasan pasal 5 ayat 1 huruf a UU PPh;
b) Penegasan sumber penghasilan BUT hanya “terbatas” pada
tempat BUT menjalankan usaha serta melakukan kegiatan
usaha atau kegiatan sesuai pasal 24 ayat 3 huruf e UU PPh;
c) Pembatasan pemberian kredit pajak luar negeri hanya kepada
WPDN, pasal 24 ayat 1 UU PPh.
Berdasarkan beberapa petunjuk tersebut, nampak bahwa BUT
dikenakan pajak per basis teritorial, sebatas penghasilan yang
diperoleh dari sumber di Indonesia tempat BUT melakukan kegiatan
usahanya. Perlakuan demikian selain memperlonggar iklim usaha
dan investasi asing juga akan menyebabkan administrasi pengenaan
pajak82.
Untuk keperluan pemajakan, walaupun secara legal mereka
merupakan satu kesatuan entitas, BUT dan kantor pusat secara
administratif dianggap mempunyai kewajiban perpajakan tersendiri.
Hal demikian tampaknya telah diterima secara internasional.
Misalnya, dalam paragraph 11 komentar pasal 7 ayat 2 OECD 2003
dinyatakan bahwa laba yang dialokasikan kepada BUT adalah laba
yang seluruhnya diperoleh BUT apabila ia seandainya seolah-olah

82

Gunandi, Op.Cit, hlm.32

Universitas Sumatera Utara

tidak berhubungan dengan kantor pusat, telah bermitra usaha tetap
dengan suatu perusahaan yang mandiri berdasarkan persyaratan dan
dan harga yang berlaku di pasar bebas83.

83

Ibid, hlm.36

Universitas Sumatera Utara

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, maka
dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Pokok-pokok pengaturan PPh sesuai dengan yang tertera dalam
Undang-Undang PPh Nomor 36 Tahun 2008 yaitu Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 yang telah mengalami perubahan terakhir
yaitu Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan, dan
didasari pada UUD 1945 sebagai dasar dan landasan dalam
pemungutan pajak, sebagai upaya mengamankan penerimaan negara
yang semakin meningkat dan mewujudkan sistem perpajakan yang
netral serta memberi kepastian hukum bagi seluruh rakyat
Indonesia, disamping itu pula terdapat beberapa hal pokok dalam
UU

PPh

yaitu

penurunan

tarif

pajak

penghasilan

guna

menyeimbangkan tarif pajak dengan negara lain, pembebasan
kewajiban pembayaran fiskal luar negeri, penghasilan tidak kena
pajak (PTKP), penerapan tarif pemotongan/pemungutan PPh yang
lebih tinggi bagi WP yang tidak memiliki NPWP,dan perluasan
biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, serta
pengecualian dari objek PPh, pengaturan ini sangatlah baik bila
dilihat dari segi ekonomi karena dapat meningkatkan iklim
perekonomian nasional.

Universitas Sumatera Utara

2. Bentuk Usaha Tetap (BUT) suatu usaha yang didirikan di negara
Indonesia dengan tujuan komersil dan memperoleh keuntungan,
dengan jangka waktu kurang dari 12 bulan, namun secara ekonomi
tetap dianggap sebagai salah satu sumber pemasukan negara dari
penarikan setoran pajaknya. BUT tidak dapat menikmati tax treaty
Indonesia dengan negara Treaty Partner lainnya karena ia bukan
penduduk Indonesia, laba bersihnya juga berupa branch profit tax.
dilihat dari Undang-Undang Pajak Penghasilan merupakan wajib
pajak Luar Negeri (WPLN). Dengan berlakunya UU PPh dan
keterkaitannya

dengan

pajak

berganda

akan

menimbulkan

keuntungan dari segi penerimaan terhadap negara, Pajak berganda
dalam BUT ini juga bertujuan pada dimungkinkannya pertukaran
informasi dan pencegahan penyelundupan pajak antar dua negara
yang

terlibatdengan

berlakunya

ketentuan-ketentuan

dalam

perjanjian perpajakan dalam UU PPh terhadap BUT dan perusahaan
yang merupakan penduduk di negara mitra tersebut, selain didasari
kepada ketentuan-ketentuan dalam UU PPh juga didasari pada
ketentuan pada perjanjian perpajakan yang berlaku di Indonesia.
3. Perlakuan perpajakan terhadap Badan Usaha Tetap sebagai Wajib
Pajak Penghasilan (PPh) yaitu wajib pajak luar negeri yang
menerima penghasilan yang bersumber di Indonesia dapat dilakukan
dengan cara :
a. Menjalankan kegiatan atau usaha di indonesia dan
memenuhi syarat sebagai BUT, pemajakan terhadap BUT

Universitas Sumatera Utara

Menurut UU PPh bisa didasarkan pada tarif umum pasal 17
dan 23 UU PPh;
b. Menjalankan kegiatan usaha di Indonesia dan belum
memenuhi syarat sebagai BUT , pemajakan terhadap WPLN
ini terutang PPh pasal 26, menurut UU PPh dan kewajiban
perpajaknnya menjadi tanggung jawab subjek pajak dalam
negeri yang membayarkan penghasilannya kepada sumber
pajak luar negeri tersebut.
Apabila tidak ada perjanjian perpajakan penghindaran pajak
berganda (P3B) antara pemerintah dengan pemerintah WPLN
negara tersebut, maka WPLN berlaku penuh pada UU No.17 Tahun
2000 jo. UU No.36 Tahun 2008 tentang PPh, apabila terdapat P3B
dengan pemerintah dari WPLN, maka ketentuan yang berlaku atau
ketentuan yang tercantum dalam P3B. kriteria BUT, objek pajak
BUT, dan laba setelah BUT mengacu pada isi P3B tersebut dan
mengesampingkan sebagaimana tercantum dalam UU PPh.

B. Saran
Dari kesimpulan yang telah diperoleh tersebut, penulis mencoba
memberikan beberapa saran sebagai masukan sebagai berikut ;
1.

Pemerintah hendaknya menambah aturan lebih rinci lagi terkait azas
pengenaan pajak penghasilan terkait subjek pajak dan objek pajak,

Universitas Sumatera Utara

dimana di setiap negara azas ini berbeda penerapannya, dan Indonesia
juga harus lebih menekankan bahwa pengenaan pajak ini diterapkan
bagi seluruh wajib pajak yang ada di dalam maupun luar negeri tanpa
tebang pilih. Pemerintah harus mampu melihat bagaimana pajak
penghasilan sebagai salah satu sektor penarikan atau pungutan pajak
sebagai sumber pemasukan negara yang besar, sehingga secar umum
Indonesia harus mampu meninjau bagaimana cara penentuan serta tata
cara yang tepat dalam proses pemungutan PPh di indonesia agar tepat
sasaran dan manfaat bagi negara indonesia melalui tinjauan baik dari
segi sosial maupun yuridis.
2.

Pemerintah juga sebaiknya mempermudah syarat dan proses
pengurusan dalam hal pemungutan maupun pendaftaran wajib pajak
melihat bagaimana bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia sebagai
wajib pajak luar negeri (WPLN) sebagi subjek pajak dengan meninjau
lagi proses dan tata cara yang seharusnya tidak menyulitkan namun
tetap memberikan manfaat bagi Indonesia maupun WPLN selaku
penjalan usaha di Indonesia maupun negara asing, sehingga
memberikan kemajuan bagi iklim investasi dan peningkatan nilai
perpajakan di indonesia. agar semua wajib pajak lebih gampang dan
dengan sadar membayar kewajibannya melalui peraturan yang ringan
namuntetap tegas dan berpihak pada kepentingan rakyat dan negara.

3.

Pemerintah harusnya lebih meningkatkan kualitas sumber daya
manusia di bidang perpajakan, perdagangan dan perekonomian harus
mampu mengejar ketertinggalannya terutama akibat krisis moneter,

Universitas Sumatera Utara

agar mampu bersaing dengan usaha asing, terutama dalam
pemahaman dan pengetahuan yang mendalam lagi mengenai tax
treaty apabila ingin mengembangkan usaha dan menjalin kerja sama
dalam perdagangan barang dan jasa dengan pihak luar negeri,
terutama dalam perdagangan internasional yang semakin berkembang
pesat dewasa ini.

Universitas Sumatera Utara