Aspek Hukum Pengenaan Pajak Terhadap Usaha Waralaba Di Indonesia Chapter III V

BAB III
PENGATURAN TENTANG WARALABA DI INDONESIA

A. Sejarah Perkembangan Waralaba di Indonesia
Pembangunan di bidang ekonomi saat ini maka pesat dengan menjagkau
berbagai aspek bisnis yang saat ini makin berkembang yaitu bisnis waralaba. Di
tahun 1972 sampai awal 1988 waralaba mengalami pertumbuhan yang sangat
pesat dan menjadi metode yang banyak digunakan untuk memasuki dunia bisnis
yang didirikan di Amerika Serikat dan Eropa. 55
Pada awalnya istilah franchise tidak dikenal dalam kepustakaan Hukum
Indonesia, hal ini dapat dimaklumi karena memang lembaga franchise ini sejak
awal tidak terdapat dalam budaya atau tradisi bisnis masyarakat Indonesia.
Namun karena pengaruh globalisasi yang pernah melanda di berbagai bidang,
maka franchise ini kemudian masuk ke dalam tatanan budaya serta tatanan hukum
masyarakat Indonesia. 56
Bisnis waralaba di Indonesia mulai dikenal pada 1950an dengan
munculnya dealer kendaraan bermotor melalui pembelian lisensi atau menjadi
agen tunggal pemilik merek. 57 Waralaba semakin marak pada sekitar tahun
1970an dengan bermunculannya restaurant-restaurant cepat saji (fast food) seperti
Kentucky Fried chiken (KFC), McDonald’s, Burger King dan Pizza Hut.
Perusahaan-perusahaan waralaba lokal pun mulai bertumbuhan pada masa itu,

salah satunya ialah Es Teller 77. Pesatnya pertumbuhan penjualan sistem
55

Saling, H. S, Perkembangan Hukum Kontrak Innomuat Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2005), hlm 167.
56
Devi, T. Keizerina, Perlindungan Hukum Dalam Franchise, (2005), hlm 1-2
57
S.T Muharam, 9 Pertanyaan Wajib Sebelum Membeli Hak Waralaba diakses pada
tanggal 25 April 2017.

Universitas Sumatera Utara

waralaba disebabkan oleh faktor popularitas franchisor, hal ini tercermain dari
kemampuannya untuk menawarkan suatu bidang usaha yang probabilitas
keberhasilannya tinggi. 58Hingga tahun 1992 jumlah perusahaan waralaba di
Indonesia mencapai 35 perusahaan, 6 di antaranya adalah perusahaan waralaba
lokal dan sisanya 29 adalah waralaba asing. Perkembangan waralaba asing dari
tahun ke tahun berkembang pesat sebesar 710% sejak tahun 1992 hingga tahun
1997, sedangkan perkembangan waralaba lokal hanya meningkatkan sebesar

400% (dari sejumlah 6 perusahaan menjadi 30 perusahaan).
Namun sejak tahun 1997 terjadi krisis moneter di Indonesia. Pada tahun
inidiikuti oleh krisis ekonomi dan politik di Indonesia pada tahun 1998 yang
mengakibatkan jatuhnya industri franchise di Indonesia. Banyak franchisor asing
yang meninggalkan Indonesia dan hampir sekitar 500 outlet yang tutup oleh
karena kondisi yang tidak mendukung ini. Pada saat itu, jumlah franchise dari luar
negeri yang beroperasi di Indonesia menurun dari 230 hingga 170-180 franchise.
Tetapi justru pada saat ini, franchise lokal mulai memadati pasar franchise
Indonesia dari 30 meningkat hingga 85 merek produk yang berkembang. Hingga
saat ini, franchise lokal berkembang hingga 360 merek produk, di mana terdapat
9000 outlet, baik sebagai franchisee ataupun company owned.
Tabel perkembangan jumlah franchise di Indonesia terlihat di tabel berikut:
Tahun

1992

1995

1996


1997

2000

2001

2005

2006

Asing

29

117

210

235


222

230

237

220

Lokal

6

15

20

30

39


42

129

230

Total

35

210

230

165

261

272


366

450

*Sumber : Direktori Franchise Indonesia

58

Sutedi Adrian, Hukum Waralaba, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2008), hlm 19

Universitas Sumatera Utara

Walau sistem waralaba telah banyak mengalami perkembangan di
Indonesia, tetapi sebelum tahun 1997 belum ada dasar hukum yang khusus
mengatur waralaba. Meskipun belum ada dasar hukumnya, pada kenyataanya
pelaksanaan waralaba melalui perjanjian telah diatur dalam Buku III Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata sehingga semua perjanjian dapat dibenarkan
selama diadakan secara sah serta tidak bertentangan dengan Undang-Undang dan
kesusilaan. 59
Saat itu di Indonesia berlaku tiga undang-undang yang menjadi dasar

pemberian perlindungan hukum kepada hak milik intelektual perusahaan, yakni
Undang-Undang Paten, Undang-Undang Hak Cipta dan Undang-Undang Merek.
Dengan adanya Undang-Undang Paten memungkinkan franchisor memperoleh
perlindungan hukum terhadap kemungkinan adanya usaha peniruan. Untuk
membantu para pengusaha dalam mendaftarkan hak patennya, di Indonesia
terdapat beberapa konsultan paten, konsultan ini dapat membantu menyiapkan
segala sesuatu yang diperlukan untuk pendaftaran paten. Dengan adanya UndangUndang tersebut, walaupun belum ada ketentuan pemerintah atau suatu kode etik
khusus, sudah bisa memberikan gambaran pada ikatan perjanjian kerjasama yang
dibuat antara franchisor dan franchisee. 60
Selanjutnya, pada tahun 1997 dibuatlah Peraturan Pemerintah No. 16
Tahun 1997 tentang Waralaba. Peraturan pemerintah ini dilahirkan untuk
mengembangkan kegiatan waralaba sebagai upaya memperluas kesempatan kerja
dan kesempatan berusaha serta sebagai upaya untuk meninkatkan pelaksanaan alih

59
60

Lihat syarat sahnya perjanjian pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Ibid


Universitas Sumatera Utara

teknologi. Peraturan tersebut juga dibuat dalam upaya memberikan kepastian
usaha dan kepastian hukum bagi dunia usaha yang menjalankan waralaba,
terutama dalam upaya pengaturan, pembinaan dan pengembangan waralaba. 61
Pada

tanggal 23 Juli 2007, tonggak kepastian hukum akan format

waralaba di Indonesia yakni Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16
Tahun 1997 tentang Waralaba digantikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 42
tahun 2007 tanggal 23 Juli 2007. 62 Lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 42
Tahun 2007 tentang waralaba ini dilandasi upaya pemerintah meningkatkan
pembinaan usaha waralaba di seluruh Indonesia sehingga perlu mendorong
pengusaha nasional, terutama pengusaha kecil dan menengah untuk tumbuh
sebagai franchisor nasional yang andal dan mempunyai daya saing di dalam
negeri dan luar negeri dalam rangka memasarkan produk dalam negeri. 63
Pemerintah memandang perlu mengetahui legalitas dan bonafiditas usaha
franchisor baik franchisor dalam maupun luar negeri guna menciptakan
transparansi informasi usaha yang dapat dimanfaatkan secara optimal oleh usaha

nasional dalam memasarkan barang dan/atau jasa melalui bisnis waralaba, baik
jumlah maupun jenis usaha yang diwaralabakan. 64 Untuk itu sebelum franchisor
membuat perjanjian waralaba kepada pemerintah dan calon franchisee, franchisor
harus menyampaikan penawaran kepada pemerintah dan calon franchisee. Selain
itu apabila terjadi kesepakatan waralaba, franchisor harus menyampaikan
perjanjian waralaba tersebut kepada pemerintah, dengan peraturan pemerintah
61

Lihat penjelasan PP No. 16 Tahun 1997 Tentang Waralaba
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, (Bandung: PT. Citra
AdityaBakti, 2010), hlm.563
62

63
64

Sutedi Adrian, Op.cit., hlm.33
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


yang baru ini setidak-tidaknya dapat memberikan kepastian berusaha dan
kepastian hukum bagi keduabelah pihak dalam memasarkan produknya. 65
Mengenai perlindungan hukum waralaba di Indonesia, menurut Prof.
Sudargo Gautama, secara kebetulan bisnis waralaba selama ini belum banyak
menimbulkan masalah hukum. Kemungkinan masalah memang ada, tetapi tidak
aneh dalam dunia bisnis, meskipun demikian masalah waralaba ditampung dalam
perangkat hukum nasional. 66 Sebelum munculnya perangkat hukum yang
mengatur waralaba di Indonesia, perlindungan tetap bisa dilakukan melalui
kontrak waralaba yang dibuat oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Hal tersebut
sesuai dengan KUHPerdata yang secara tegas mengakui bahwa perjanjian yang
disepakati oleh beberapa pihak, mengikat mereka sebagai hukum. 67
Selanjutnya ketentuan-ketentuan lain yang mendukung kepastian hukum
dalam format bisnis waralaba adalah sebagai berikut:
1. Keputusan

Menteri

Perindustrian


dan

Perdagangan

RI

No.

259/MPP/KEP/7/1997 Tanggal 30 Juli 1997 tentang Ketentuan Tata Cara
Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba.
2. Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 31/MDAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Waralaba
3. Undang-undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten.
4. Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek.
5. Undang-undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang.

65

Ibid, hlm 34
G. Sudargo, Aneka Masalah Hukum Perdata Internasional (Bandung: PT.Alumni,
1985), hlm. 9
67
Ibid
66

Universitas Sumatera Utara

Banyak orang masih skeptis dengan kepastian hukum terutama dalam
bidang waralaba di Indonesia. Namun saat ini kepastian hukum untuk berusaha
dengan format bisnis waralaba jauh lebih baik dari sebelum tahun 1997. Hal ini
terlihat dari semakin banyaknya payung hukum yang dapat melindungi bisnis
waralaba tersebut. Perkembangan waralaba di Indonesia, khususnya di bidang
rumah makan siap saji sangat pesat. Hal ini ini dimungkinkan karena para
pengusaha kita yang berkedudukan sebagai penerima waralaba (franchisee)
diwajibkan mengembangkan bisnisnya melalui master franchise yang diterimanya
dengan cara mencari atau menunjuk penerima waralaba lanjutan. Dengan
mempergunakan sistem piramida atau sistem sel, suatu jaringan format bisnis
waralaba akan terus berekspansi.
Ada beberapa asosiasi waralaba di Indonesia antara lain: APWINDO
(Asosiasi Pengusaha Waralaba Indonesia), WALI (Waralaba & License
Indonesia), AFI (Asosiasi Franchise Indonesia). Selain itu terdapat beberapa
konsultan waralaba di Indonesia antara lain IFBM, The Bridge, Hans Consulting,
FT Consulting, Ben WarG Consulting, JSI dan lain-lain. Ada beberapa pameran
Waralaba di Indonesia yang secara berkala mengadakan roadshow diberbagai
daerah dan jangkauannya nasional antara lain International Franchise and
Business Concept Expo (Dyandra),Franchise License Expo Indonesia (Panorama
convex), Info Franchise Expo ( Neo dan Majalah Franchise Indonesia).
Waralaba pada mulanya dipandang bukan sebagai suatu usaha (bisnis)
melainkan suatu konsep metode ataupun sistem pemasaran yang dapat digunakan
oleh suatu perusahaan untuk mengembangkan pemasarannya tanpa melakukan
investasi langsung kepada outlet (tempat penjualan) melainkan dengan melibatkan

Universitas Sumatera Utara

kerja sama dengan pihak lain. Waralaba digambarkan sebagai perpaduan bisnis
“besar” dan “kecil” yaitu perpaduan antara energi dan komitmen individual
dengan sumber daya dan kekuatan sebuah perusahaan besar. Waralaba adalah
suatu pengaturan bisnis dimana sebuah perusahaan (franchisor) memberi hak
kepada pihak independen (franchisee) untuk menjual produk atau jasa perusahaan
tersebut dengan peraturan yang ditetapkan oleh franchisor. Artinya si franchisor
dapat menggunakan nama, goodwill, produk dan jasa, prosedur pemasaran,
keahlian, sistem prosedur operasional dan fasilitas penunjang dari perusahaan
franchisor, sebagai imbalannya franchisee membayar initial fee dan royalti (biaya
pelayanan manajemen) pada perusahaan franchisor seperti yang diatur dalam
perjanjian waralaba. 68 Hubungan kemitraan usaha antara kedua belah pihak
dikukuhkan dalam suatu perjanjian. 69
Waralaba ini suatu metode untuk melakukan bisnis yaitu metode yang
memasarkan produk atau jasa ke masyarakat, namun tidak sedikit yang
berpendapat bahwa waralaba ini tidak hanya sekedar suatu metode atau konsep
namun juga “sistem”. Suatu metode atau konsep tatanan yang membuat hubungan
lebih teratur dan terarah antara sub sistem yang satu dengan sub sistem yang
lain. 70
Dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1997, waralaba
(franchise) dirumuskan sebagai berikut:
“Franchise adalah perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak
untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual
atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu
68

Maharam, S., Waralaba Alternatif Strategi Ekspansi Paling Murah, hlm. 1
Anonymous, Defenisi Waralaba (http://www.franchise.org) diskses pada tanggal 21
April 2017 pukul 13.25 WIB.
70
Simatupang Rechart Burton, Aspek Dalam Bisnis (edisi revisi), (Jakarta: Rineke Cipta,
2007), hlm 110
69

Universitas Sumatera Utara

imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan pihak lain tersebut,
dalam rangka penyediaan dan atau penjualan barang dan atau jasa.:
Pengertian waralaba menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 42
Tahun 2007 tentang waralaba, menyebutkan bahwa:
“Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perorangan
atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam
rangka memasarkan barang dan/ atau jasa yang telah terbukti berhasil dan
dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan
perjanjian waralaba.”
Perspketif lain dalam Washington Franchise Investment Protection Act
menyatakan bahwa
“franchise means oral or written contract or agreement either express or
implied, in which a person grants to another person, a licence to use a trade
name, service mark, trademark, logo type or related characteristic in which there
is a community interest in the business of offering, selling, distributing gods or
services at wholesale or retail, leasing or otherwise and in which the franchisee is
required to pay, directly or indirectly, a franchisee fee.” 71
Meskipun terdapat perbedaan dalam merumuskan defenisi waralaba, tetapi
intinya waralaba pada umumnya

memiliki unsur yang sama, yaitu sebagai

berikut:
1. Franchise adalah perjanjian timbal balik antara franchisee dengan
franchisor.
2. Franchisee berkewajiban membayar fee kepada franchisor.
3. Franchisee diizinkan menjual dan mendistribusikan barang atau jasa
franchisor menurut cara yang telah ditentukan atau mengikuti metode
bisnis yang dimiliki franchisor.

71

D. Davidson, dkk, Principle and Cases (Boston: Massachusets, Kent Publishing Co.,
1984) hlm. 618

Universitas Sumatera Utara

4. Franchisee menggunakan merek nama perusahaan atau juga simbolsimbol komersial franchisor. 72
Jenis-jenis waralaba pada umumnyadibedakan menjadi tiga jenis, yakni: 73
1. Distributorships (Product Franchise)
Dalam waralaba ini, franchisor memberikan lisensi kepada franchisee
untuk menjual barang-barang hasil produksinya. Pemberian lisensi ini bisa
bersifat eksklusif maupun non eksklusif. Sering kali terjadi franchisee
diberi hak ekslusif untuk memasarkan di suatu wilayah tertentu.
2. Chain-Style Business
Jenis waralaba inilah yang paling banyak dikenali masyarakat. Dalam
jenis ini franchisee mengoperasikan suatu kegiatan bisnis dengan memakai
nama franchisor. Sebagai imbalan dari penggunaan nama franchisor maka
franchisee harus mengikuti metode-metode standar pengoperasian dan
berada dibawah pengawasan franchisor dalam hal bahan-bahan yang
digunakan, pilihan tempat usaha, desain tempat usaha, jam penjualan,
persyaratan para karyawan, dan lain-lain.
3. Manufacturing atau Processing Plants
Dalam waralaba jenis ini, franchisor memberitahukan bahan-bahan serta
tata cara pembuatan suatu produk, termasuk didalamnya formula-formula
rahasianya. Franchisee memproduksi, kemudian memasarkan barangbarang itu sesuai standar yang telah ditetapkan franchisor.

72

F. Sinambela, Peranan Perjanjian Kerja Antara Pengusaha dan Pekerja Pada
Perusahaan Waralaba di Kotamadya Medan (Tesis Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana USU,
Medan, 2000), hlm 52
73
Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, (Bandung: PT Alumni,
1992), hlm 157

Universitas Sumatera Utara

Sedangkan model bisnis warlaba ada tiga macam, yaitu waralaba jasa,
waralaba barang dan waralaba distribusi. Tiga betuk waralaba ini dietemukan
dalam katagorisasi waralaba yang dibuat oleh European Court of Justice pada
putusannya dalam kasus “Pronuptia”. 74 Kombinasi ketiga bentuk waralaba
tersebut terdapat di Indonesia yang umumnya dapat ditemui pada usaha restoran
cepat saji, seperti Mc Donals dan Kentucky Fried Chicken.
Di Indonesia sistem waralaba setidaknya dibagi menjadi empat jenis, yaitu
sebagai berikut:
1. Waralaba dengan sistem format bisnis.
2. Waralaba bagi keuntungan.
3. Waralaba kerja sama investasi.
4. Warlaba produksi dan merek dagang.
Dari keempat jenis sistem waralaba tersebut, sistem waralaba yang
berkembang di Indonesia saat ini ialah waralaba produk dan merek dagang serta
waralaba sistem format bisnis.
Waralaba produk dan merek dagang (product and trade franchise)
merupakan bentuk waralaba paling sederhana. Dalam waralaba produk dan merek
dagang, franchisor memberikan hak kepada franchisee untuk menjual produk
yang dikembangkan oleh franchisor yang disertai dengan pemberian izin untuk
menggunakan merek dagang milik franchisor. Atas pemberian izin penggunaan
merek dagang tersebut biasanya franchisor memperoleh keuntungan melalui
penjualan produk yang diwaralabakan kepada franchisee. Dalam bentuknya yang
74

D. Campbell adn R.Proksch (eds), Business Format Franchising (International Business
Transaction: Kuwer, 1988), hlm. 4

Universitas Sumatera Utara

sangat sederhana ini, waralaba produk dan merek dagang sering kali mengambil
bentuk keagenan, distributor atau lisensi penjualan. Dalam bentuk waralaba ini,
franchisor membantu franchisee untuk memilih lokasi yang tepat serta
menyediakan jasa untuk mengambil keputusan. 75
Sedangkan waralaba format bisnis (business format franchise) adalah
sistem waralaba yang tidak hanya menawarkan merek dagang dan logo, tetapi
juga menawarkan sistem yang komplit dan komperhensif mengenai tata cara
menjalankan bisnis, termasuk di dalamnya pelatihan dan konsultasi usaha dalam
hal pemasaran, penjualan, pengelolaan stok, akunting, personalia, pemelihara dan
pengembangan bisnis. 76 Dengan kata lain, waralaba format bisnis adalah
pemberian sebuah lisensi oleh seseorang (franchisor) kepada pihak lain
(franchisee). Lisensi tersebut memberikan hak kepada franchisee untuk berusaha
dengan menggunakan merek dagang/ nama dagang franchisor dan untuk
menggunakan keseluruhan paket yang terdiri dari seluruh elemen, yang
diperlukan unutk membuat seorang yang sebelumnya belum terlatih dalam bisnis
dan untuk menjalankannya dengan bantuan yang terus-menerus atas dasar yang
telah ditentukan. 77
Martin Mandelson menyimpulkan bahwa dalam waralaba format bisnis
terdapat ciri-ciri sebagai:
1. Konsep bisnis yang menyeluruh dari franchisor.

75

Anonymous, Mengenal Istilah Dalam Waralaba (http://www.wirausaha.com), diakses
pada tanggal 21 April 2017 pukul 14.54.
76
Sutedi Adrian, Op.cit., hlm.16
77
M. Maendelson, Franchising: Petunjuk Praktis Bagi Franchisor dan Franchisee
(Jakarta: Pustaka Binaman Presindo, 1997), hlm.87

Universitas Sumatera Utara

Konsep

ini

berhubungan

dengan

pengembangan

cara

untuk

menjalankan bisnis secara sukses yang seluruh aspeknya berasal dari
franchisor. Franchisor akan mengembangkan suatu “cetak biru”
sebagai dasar pengelolahan waralaba format bisnis tersebut. 78
2. Adanya proses permulaan dan pelatihan atas seluruh aspek
pengelolahan bisnis yang sesuai dengan konsep franchisor.
Franchisee akan diberikan pelatihan mengenai metode bisnin yang
diperlukan untuk mengelolah bisnis sesuai dengan cetak biru yang
telah dibuat oleh franchisor. Pelatihan ini biasanya menyangkut
pelatihan penggunaan peralatan khusus, metode pemasaran, penyiapan
produk, dan penerapan proses. Dalam pelatihan ini diharapkan
franchisee menjadi ahli pada seluruh bidang yang diperlukan untuk
menjalankan bisnis yang khusus tersebut.
3. Proses bantuan dan

bimbingan yang terus menerus dari pihak

franchisor. 79
Franchisor akan terus-menerus memberikan berbagai jenis pelayanan,
tergantung pada tipe format bisnis yang diwaralabakan. Secara umum,
proses ini dapat dikatakan sebagai proses pemberian bantuan dan
bimbingan yang terus-menerus yang meliputi:
a. Kunjungan berkala franchisor kepada staf di lapangan guna
membantu

memperbaiki

atau

mencegah

penyimpangan-

penyimpangan pelaksanaan cetak biru yang diperkirakan dapat
menyebabkan kesulitan dagang bagi franchisee.
78

G. Widjaja, Franchise Dalam Perspektif Hak Kekayaan Intelektual, (Majalah Info
Franchise, 2007), hlm.15
79
M. Mendelson, Op.Cit, hlm.90

Universitas Sumatera Utara

b. Menghubungkan antara franchisor dan seluruh franchisee secara
bersama-sama untuk saling bertukar pikiran dan pengalaman.
c. Inovasi produk atau konsep, termasuk penelitian mengenai
kemungkinan-kemungkinan pasar serta kesesuaiannya dengan
bisnis yang ada.
d. Melakukan riset pasar.
e. Iklan dan promosi pada tingkat lokal dan nasional.
f. Nasihat dan jasa manajemen dan akunting.
g. Penerbitan newsletter
h. Riset mengenai materi, proses dan metode bisnis. 80
Menurut Juadir Sumardi, usaha bisnis waralaba format bisnis dan waralaba
format distribusi pokok.
1. Waralaba Format Binis.
Dalam waralaba bisnis, pemegang waralaba (franchisee) memperoleh
hak untuk memasarkan dan menjual produk atau pelayanan dalam
suatu wilayah atau lokasi yang speksifik dengan menggunakan standar
operasional dan pemasaran dari franchisor. Dalam bentuk ini terdapat
tiga jenis waralaba, yaitu waralaba format pekerjaan, format usaha dan
format investasi.
a. Waralaba format pekerjaan
Waralaba yang menjalankan usaha berupa format pekerjaan yang
sebenarnya membeli dukungan untuk usahanya sendiri, misalnya
bisnis penjualan jasa penyetelan mesin mobil dengan merek
waralaba tertentu. Bentuk usaha waralaba seperti ini cenderung
paling mudah dan umumnya membutuhkan modal yang kecil

80

Ibid

Universitas Sumatera Utara

karena tidak menggunakan tempat dan perlengkapan yang
berlebihan.
b. Waralaba format usaha
Waralaba format usaha termasuk bisnis waralaba yang berkembang
paling pesat. Bentuknya berupa toko eceran yang menyediakan
barang/jasa atau restoran cepat saji (fast food). Biaya yang
dibutuhkan untuk waralaba format ini lebih besar dari waralaba
format pekerjaan karena dibutuhkan tempat usaha dan peralatan
khusus.
c. Waralaba format investasi
Ciri utama yang membedakan waralaba format ini dari waralaba
format pekerjaan dan usaha adalah besarnya usaha, khususnya
besarnya investasi yang dibutuhkan. Perusahaan yang mengambil
waralaba format investasi biasanya ingin melakukan diversifikasi
atau penganekaragaman pengelolaan tetapi karena manajemennya
tidak berpengalaman dalam mengelolah usaha baru sehingga ia
memilih jalan dengan mengambil waralaba format ini. Contoh
warlaba format investasi adalah usaha hotel dengan menggunakan
nama dan standar sarana pelayanan hotel franchisor.
Sama seperti Juadir Sumardi, Stephen Fox mengemukan ada tiga jenis
waralaba format bisnis, yaitu waralaba pekerjaan, waralaba usaha dan waralaba
investasi. 81 Berdasarkan jumlah usaha yang berhak dimiliki franchisee, ada
beberapa format warlaba, yaitu sebagai berikut:
1. Single Unit Franchise
Format ini adalah format yang paling sederhana dan paling banyak
digunakan karena kemudahannya.franchisor memberikan hak kepada
franchisee untuk menjalankan usaha atas nama usahanya serta dengan
panduan prosedur yang telah ditetapkan sebelumnya. Franchisee hanya
diperkenankan untuk menjalankan usahanya pada sebuah cabang atau unit
yang telah disepakati.
2. Area Franchise
pada format ini, franchisee memperoleh hak untuk menjalankan usahanya
dalam sebuah wilayah tertentu, misalkan pada sebuah provinsi atau kota,
dengan jumlah unit usaha/cabang yang lebih dari satu.
3. Master Franchisee
Format master franchise memberikan hak kepada franchisee untuk
menjalankan usahanya di sebuah wilayah atau sebuah negara dan bukan
hanya membuka usaha. Franchisee dapat menjual lisensi kepada subfranchisee dengan ketentuan yang telah disepakati.
81

S. Fox, Membeli dan Menjual Bisnis dan Franchise, (Jakarta: Elex Media Komputindo,
1993), hlm.18

Universitas Sumatera Utara

Menurut International Franchise Association, waralaba pada hakekatnya
melibatkan tiga elemen, yaitu merek, sistem bisnis, dan biaya. 82
1. Merek
Dalam setiap perjanjian waralaba, franchisor selaku pemilik dari
sistem waralaba memberikan lisensi kepada franchisee untuk dapat
menggunakan merek dagang atau jasa dan logo yang dimiliki oleh
franchisor.
2. Sistem bisnis
Keberhasilan dari suatu organisasi waralaba tergantung dari penerapan
sistem atau metode bisnis yang sama antara franchisor dan
franchisee.Sistem bisnis tersebut berupa pedoman yang mencakup
standarisasi produk, metode untuk mempersiapkan atau mengolah
produk atau metode jasa, standar rupa dari fasilitas bisnis, standar
periklanan, sistem reservasu, sistem akuntansi, kontrol persediaanm
kebijakan dagang, dan lain-lain.
3. Biaya
Dalam format bisnis waralaba, franchisor baik secara langsung atau
tidak langsung, menarik pembayaran dari franchisee atas pengunaan
merek dan atas partisipasi dalam sistem waralaba yang dijalankan.
Biaya biasanya terdiri atas biaya awal, biaya royalti, biaya jasa, biaya
lisensi, biaya pemasaran bersama. Biaya lainnya juga dapat berupa
biaya atas jasa yang diberikan franchisee, misalnya biaya manajamen.

82

Anonymous, Defenisi Waralaba (http://www.franchise.org) diunggah pada tanggal 21
April 2017 pukul 23.56 WIB

Universitas Sumatera Utara

Waralaba pada hakikatnya merupakan sebuah konsep pemasaran dalam
rangka memperluas jaringan usaha dengan cepat. Dengan demikian, waralaba
bukanlah sebuah alternatif, melainkan salah satu cara yang sama kuat dan sama
strateginya dengan cara konvesional dalam mengembangkan usaha. 83 Bagi para
pemula, bisnis waralaba merupakan pilihan untuk berwirausaha dan bereskpansi
dengan resiko paling kecil. Resiko bisnis kegagalan waralaba jauh lebih kecil
dibandingkan dengan konsep bisnis lain seperti MLM (Multi Level Marketing),
distributor direct sales (penjualan langsung) dan berbagai konsep bisnis lain.
Resiko kegagalan franchise ialah 5-15%, sedangkan pada bisnis biasa dapat
mencapai lebih dari 65%. Selain itu, para pengusaha yang telah menjalankan
bisnisnya, dapat mengkonversi usahanya menjadi waralaba untuk meningkatkan
keuntungan. Walaupun mendapat tambahan tuntutan untuk mempertinggi kualitas
bisnis mereka, dampak yang didapat lebih dari sekedar membangun brand image
produk atau jasa mereka. Dari uraian ini, secara umum bisnis waralaba merupakan
alternatif jalan keluar yang relatif aman bagi orang-orang yang terjun bisnis
sendiri, perusahaan-perusahaan untuk melakukan ekspansi atau pembukaan
cabang secara efektif tanpa memunculkan overhead yang tinggi dan kerumitan
manajemen yang biasanya berkaitan dengan pendirian sebuah cabang, perusahaan
untuk mengubah sistem cabang atau agensinya menjadi mesin pemasaran yang
ramping dan tangguh. 84
Ada beberapa keuntungan yang dapat diraih oleh franchisee dalam bisnis
waralaba secara umum, yaitu:
83

Anonymous, Sejarah Waralaba http://wirausaha.com (diakses pada tanggal 22 April
pukul 00.52 WIB)
84
S. T. Muharam, Apa Itu Bisnis Waralaba? http://www.paramithapiranti,com (diakses
pada tanggal 22 April 2017 pukul 01.03 WIB)

Universitas Sumatera Utara

1. Modal yang diperlukan untuk usaha waralaba lebih sedikit dibandingkan
dengan usaha mandiri yang independen.
2. Kerap kali tidak harus memiliki pengetahuan tentang bisnis yang akan
digeluti karena franchisor melakukan pelatihan.
3. Resiko bisnis berkurang karena nama dan produk franchisor sudah dikenal
dan mempunyai goodwill. Hal ini karena adanya bantuan dan dukungan
usaha terus-menerus yang diberkan franchisor dalam menjalankan
bisnis. 85
4. Adanya hak unutk mengelolah bisnis yang sudah mapan dan memiliki
identitas atau merek dagang yang legal dan populer sehingga tidak harus
mengembangkan ide dan citra produk atau jasa yang memerlukan waktu
dan tenaga
5. Franchisee hanya memerlukan proses belajar yang singkat, tujuan yang
terarah, serta kekuatan dalam kegiatan promosi yang efisien.
6. Produk atau jasa yang sudah terkenal serta merek dagang yang sudah
besar.
7. Memperoleh pendampingan manajemen dan dukungan promosi dilakukan
untuk menunjukkan ke pasar bahwa bisnis tersebut masih dalam satu
naungan.
8. Memperoleh pelatihan manajemen (pemasaran, produksi, keuangan dan
SDM)

85

T. Siambaton, Beberapa Aspek Hukum Franchise Format Bisnis di Medan (Tesis
Program Pascasarjana USU Medan-Program Studi Ilmu Hukum) hlm 85.

Universitas Sumatera Utara

9. Adanya kemudahan melakukan pinjaman kepada pihak ketiga, bila
waralabanya sudah teruji di pasar. 86
10. Memiliki sistem pemasaran yang telah teruji
11. Resiko kegagalan bisnis yang relatif rendah.
Dengan berbagai keuntungan yang telah dijelaskan, tidak mengherankan
waralaba menjadi lirikan pengusaha-pengusaha baru untuk mengembangkan
ladang bisnisnya. Sedangkan kerugian franchisee ialah sebagai berikut:
1. Meski usaha milik sendiri, kebiajakan umumnya masih ditentukan oleh
franchisor sehingga untuk membentuk sistem yang baku memerlukan
proses yang birokratis.
2. Biasanya franchisor mengontrol berbagai aspek pengoperasian bisnis,
bahkan terlalu membatasi.
3. Untuk mendapatkan hak waralaba, franchisee harus mempertibangkan
sumber dana untuk pembayaran royalti yang tinggi.
4. Keberhasilan dari setiap unit waralaba individu tergantung pada
bekerjanya perusahaan induk (franchisor) 87
5. Kebijkan franchisor tidak selalu disampaikan kepada franchisee secara
terus-menerus serta perlu kreativitas dan pemahaman sendiri dalam segu
manajemen usaha. 88

86

Yuswa., Franchisebility (http://www.yuswablog.com) diakses pada tanggal 22 April
pukul 01.29 WIB
87
T. Siambaton. Op.cit halm. 85
88
Anonymous,
Info
Dasar
untuk
Melangkah
Bisnis
Waralaba,(http://www.gacerindo.com) diunggah pada tanggal 22 April 2017 pukul 01.39 WIB

Universitas Sumatera Utara

Sedangkan pada pihak franchisor, keuntungan yang di dapat dalam
mewaralabakan bisnisnya anatara lain sebagai berikut:
1. Modal sepenuhnya berasal dari franchisee, yang juga dipakai untuk
menjalankan usaha tersebut.
2. Franchisor menerima persentase dari penghasilan kotor dan tidak
memiliki kaitan dengan keuntungan maupun kerugian franchisee,
3. Franchisee atau orang yang ditunjuk franchisee terjun sendiri menangani
operasonal usahanya.
4. Franchisee membayar biaya pelatihan. Bagi franchisee, kegiatan ini
biasanya menjadi salash satu sumber keuntungan mereka juga.
5. Bagi franchisor, debt to equity ratio menjadi positif karena tidak perlu
mencari sumber pendanaan lagi (utang).
6. Usaha dapat cepat berkembang, tetapi dengan menggunakan modal dan
motivasi dari franchisee.
7. Mudah dikembangkan suatu pasar atau perluasan wilayah baru karena
nama franchisor yang sudah terkenal.
8. Franchisee akan memiliki motivasi yang kuat untuk mengembangkan
bisnis waralaba karena dia memiliki bisnis sendiri.
9. Kecilnya modal untuk memperluas usaha karena sebagian besar modal
ditanggung oleh franchisee.
10. Jumlah karyawan franchisor relatif lebih sedIkit.
11. Setiap kali dibuka unit waralaba yang baru, biasanya daya beli kelompok
usaha relatif meningkat.

Universitas Sumatera Utara

12. Banyak dana dapat dihemat karena adanya promosi dan pelayanan yang
bersama.
13. Return on investment cukup tinggi, terutama setelah tahun kedua dan
ketiga.
Adapun kerugian bagi franchisor dalam bisnis waralaba ialah:
1. Franchisor tidak mudah mendikte franchisee sehingga tidak mudah bagi
franchisor untuk mengadakan perubahan atau inovasi bisnis yang baru.
2. Timbul kesulitan bagi franchisor karena biasanya terdapat harapan yang
terlalu tinggi baik pilihan franchisee untuk mendapat keuntungan yang
sebesar-besarnya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
3. Jika ada kenaikan dari segi biaya, biasnya franchisor tidak mudah untuk
meyakinkan franchisee.
4. Bisa menghancurkan reputasi franchisor jika franchise yang dipilih
ternyata tidak tepat.
5. Mengingat ikatan waralaba biasanya untuk jangka waktu yang lama, maka
apabila franchisor ingin mengakhiri perjanjian waralaba secara sepihak,
misalnya karena ada kejadian yang tidak terantisipasi, tidak mudah
mengakhiri perjanjian warlaba tanpa alasan-alasan yang sah.

B. Tata Cara Pendaftaran Waralaba di Indonesia
Adapun tata cara pendaftaran usaha waralaba di Indonesia adalah sebagai
berikut:

Universitas Sumatera Utara

1. Pemberi waralaba wajib mendaftarkan prospektus penawaran waralaba
sebelum membuat perjanjian waralaba dengan penerima waralaba, 89
pendaftaran prospektus waralaba ini dapat dilakukan oleh pihak lain yang
diberi kuasa.
2. Permohonan pendaftaran prospektus penawaran waralaba diajukan degan
melampirkan fotokopi prospektus penawaran waralaba dan fotokopi
legalitas usaha. 90
3. Prospektus penawaran waralaba didaftarkan oleh pemberi waralaba
berasal dari luar negeri harus dilegalisir oleh Public Notary dengan
melampiran surat keterangan dari Mentri Perdagangan R.I atau Pejabat
Kantor Perwakilan R.I di negara asal. 91
4. Penerima waralaba wajib mendaftarkan perjanjian waralaba 92, perjanjian
ini dapat dilakukan oleh pihak lain yang diberi kuasa. 93 Permohonan
pendaftaran perjanjian waralaba diajukan dengan melampirkan fotokopi
legalitas usaha, fotokopi perjanjian waralaba, fotokopi prospektus
penawaran waralaba dam fotokopi kartu tanda penduduk pemilik/
pengurus perusahaan. 94
5. Permohonan pendaftaran waralaba ini diajukan kepada Menteri, 95 dan
menteri akan menerbitkan Surat Tanda Perjanjian Waralaba (SPTW)
apabila pemohon pendaftaran waralaba telah memenuhi persyaratan,
SPWT ini berlaku untuk jangka waktu 5 (lima) tahun.
6. Pemberi waralaba wajib memiliki STPW, untuk mendapatkannya pemberi
waralaba dalam negeri wajib mendaftarkan prospektus penawaran
waralaba ke Direktorat Bina Usaha Perdagangan up. Kantor Unit
Pelayanan Perdagangan Kementrian dagang dengan mengisi formulir
yang tercantum dalam lampiran III A-1 Peraturan Mentri Perdagangan. 96
7. Penerima waralaba wajib memiliki STPW, unutk penerima waralaba dari
dalam negeri pendaftaran waralaba ke dinas yang bertanggungjawab di
bidang perdagangan Provinsi DKI Jakarta ataukabupaten/ kota atau
Kantor Pelayanan Satu Pintu di seluruh Indoneisa dengan mengisi
formulir dalam lampiran III B-2, 97 khusus untuk penerima waralaba dari
luar negeri mendapatkan SPTW dengan mendaftarkan perjanjian waralaba
ke Direktorat Bina Usaha Perdagangan up. Kantor Unit Pelayanan
Perdagangan Kementrian Perdagangan dengan mengisi formulir dalam
lampiran III B-1 Peraturan Menteri Perdagangan. 98
8. Permohonan SPTW penerima dan pemberi waralaba harus ditandatangani
penanggungjawab oleh pemilik, pengurus, atau penanggungjawab
perusahaan dengan melampirkan dokumen-dokumen yang menjadi op

89

Pasal 10 ayat (1), PP Nomor 42 Tahun 2007 Tentang Waralaba
Ibid, pasal 12 ayat (1)
91
Pasal 13, Permendagri Nomor 53/M-DAG/PER/8/2012
92
Op Cit,Pasal 11 ayat (1)
93
Ibid, pasal 11 ayat (2)
94
Ibid, pasal 12 ayat (2)
95
Ibid, pasal 12 ayat (3)
96
Op Cit, Pasal 9 ayat (2)
97
Ibid, Pasal 10 ayat (3)
98
Ibid, Pasal 10 ayat (2)
90

Universitas Sumatera Utara

citpersyaratan dalam permohonan SPTW yang tercantum dalam lampiran
IV Peraturan Menteri Perdagangan. 99
9. Pemberi dan Penerima waralaba yang telah memiliki STPW wajib
menggunakan Logo Waralaba. 100
C. Pelaksanaan Perjanjian Waralaba Di Indonesia
Sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1997 tentang
Waralaba (yang sekarang diganti dengan Peraturan Pemerintah No.42 Tahun
2007), masalah warlaba menjadi persoalan besar, karena pewaralaba harus
menggantungkan pada kesepakatan yang tertulis di dalam kontrak kerja sama.
Artinya, kedua belah pihak harus sangat teliti dan hati-hati atas apa yang
disepakati. Perlindungan dari ketetapan lain yang mengatur suatu kerja sama
waralaba dapat diasumsikan sulit diperoleh, kalaupun ada. Etika pewaralabaan
merupakan sumber yang sementara itu dapat dijadikan pedoman apakah perjanjian
yang disusun mempunyai landasan yang adil dan benar. 101
Perjanjian waralaba memuat kumpulan persyaratan, ketentuan dan
komitmen yang dibuat dan dikehendaki oleh franchisor bagi para franchisee-nya.
Di dalam perjanjian waralabatercantum ketentuan yang berkaitan dengan hak dan
kewajiban franchisee, persyaratan lokasi, ketentuan pelatihan, biaya-biaya yang
harus dibayarkan oleh franchisee kepada franchisor, ketentuan yang berkaitan
dengan lama perjanjian waralaba dan perpanjangannya, serta ketentuan lain yang
mengatur hubungan antara franchisor dengan franchisee. 102
Peraturan-peraturan yang berlaku pada perjanjian waralaba, sebelumnya
adanya peraturan yang khusus untuk mengatur waralaba, yaitu sebagai berikut:
99

Ibid, Pasal 11
Ibid, Pasal 18
101
Sutedi Adrian, Op.cit., hlm.79
102
Ibid
100

Universitas Sumatera Utara

a. Peraturan tentang perjanjian khususnya dijumpai pada Pasal 1320
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu syarat-syarat sahnya
suatu perjanjian dan pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
tentang ketentuan yang membenarkan tentang perjanjian waralaba.
b. Peraturan tentang hak milik intelektual, yaitu hak paten, merek dan hak
cipta.
c. Peraturan hukum tentang perpajakan, yaitu pajak pertambahan nilai
dan pajak penghasilan.
d. Peraturan hukum tentang ketenagakerjaan.
Berlakunya Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba
(diganti dengan Peraturan Pemerintah No.42 Tahun 2007) dan Peraturan Mentri
Perdagangan No. 12/M-Dag/Per/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara
Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba yang mewajibkan pihakpihak yang terlibat dalam sistem waralaba melakukan perjanjian waralaba.
Peraturan perjanjian waralaba merupakan salah satu aspek perlindungan hukum
kepada para pihak dari perbuatan merugikan pihak lain. Hal ini dikarenakan
perjanjian tersebut dapat menjadi dasar hukum yang kuat untuk menegakkan
perlindungan hukum bagi para pihak yang terlibat dalam sistem waralaba, jika
salah satu pihak melanggar isi perjanjian, maka pihak lain dapat menuntut pihak
yang melanggar tersebut sesuai dengan hukum yang berlaku. 103
Dlihat dari sudut pandang yuridis dalam Peraturan Pemerintah No. 42
Tahun 2007 tentang waralaba dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 12/MDag/Per/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda
103

Ibid

Universitas Sumatera Utara

Pendaftaran Usaha Waralaba, dikenal adanya pemberi dan penerima waralaba,
dimana keduanya ada suatu perjanjian atau kontrak waralaba yang wajib
didaftarkan kepada Departemen Perdagangan. 104
Dalam setiap model perjanjian waralaba sekurang-kurangnya terdapat
unsur-unsur sebagai berikut: 105
a. Adanya suatu perjanjian yang disepakati.
Perjanjian franchise dibuat oleh para pihak, yaitu franchisor dan
franchisee yang keduanya berkualfikasi sebagai subjek hukum, baik ia
sebagai badan hukum maupun hanya sebagai perorangan.
Untuk menjamin kepastian hukum, sebaiknya perjanjian franchise dibuat
di hadapan yang berwenang dalam hal ini adalah notaris, dan perlu
memperhatikan secara seksama mengenai patner, pemeliharaan standar,
hubungan para pihak, teknik operasional dan masalah antisipasi masa
datang.

b. Adanya pemberian hak.
Dalam hal ini franchisee berhak menggunakan nama, cap dagang, dan logo
milik franchisor yang sudah lebih dahulu dikenal dalam dunia
perdagangan,
c. Pemberian hak yang terbatas pada waktu dan tempat tertentu.

104

Ibid
Juajir Sumardi, Aspek-Aspek Hukum Franchisee dan perusahaan Transnasional
(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1995), hlm. 44
105

Universitas Sumatera Utara

Dalam hal ini franchisor memberi hak kepada franchisee menggunakan
nama, cap dagang, dan logo dari usahanya kepada franchisee terbatas pada
tempat dan waktu yang telah diperjanjikan dalam perjanjian franchise
yang telah mereka buat sesama.
d. Adanya pembayaran sejumlah uang tertentu dari franchisee kepada
franchisor.
Pembayaran-pembayaran ini antara lain pembayaran awal, pembayaran
selama berlangsungnya franchise, pembayaran atas pengoperan hak
franchise kepada pihak ketiga, penyediaan bahan baku, dan masalahmasalah lain yang belum tercantum dalam suatu perjanjian.
Setiap perjanjian waralaba memiliki tiga prinsip, yaitu harus jujur dan
jelas, tiap pasal dalam perjanjian harus adil, serta isi dari perjanjian dapat
dipaksakan berdasarkan hukum. 106
Perjanjian waralaba harus mempunyai syarat-syarat sebagai berikut:
a. Kesepakatan kerja sama waralaba tertuang dalam perjanjian waralaba yang
disahkan secara hukum.
b. Kesepakatan kerja sama ini menjelaskan secara rinci semua hak,
kewajiban dan tugas dari franchisor dan franchisee.
c. Masing-masing pihak yang bersepakat sangat dianjurkan, bahkan untuk
beberapa negara dijadikan syarat, mendapatkan nasihat dari ahli hukum
yang berkompeten untuk memahami isi dari perjanjian tersebut dengan
waktu yang dianggap cukup untuk memahaminya.

106

Sutedi Adrian, Op.cit., hlm.81

Universitas Sumatera Utara

Dalam kebanyakan sistem waralaba, franchisee mempunyai hak atas: logo
merek dagang (trade mark), nama dagang (trade name), dan nama baik/reputasi
(goodwill) yang terkait dengan merek dan/atau nama tersebut, format/pola usaha
yakni suatu sistem usaha yang terekam dalam bentuk buku pegangan (manual)
yang sebagian isinya adalah rahasia usaha serta dalam kasus tertentu berupa
rumus, resep dan program khusus.
Hal-hal yang berhak dimiliki franchisee tersebut harus tercantum dalam
perjanjian waralaba sehingga perjanjian tersebut bersifat sebagai berikut: 107
a. Suatu perjanjian yang dikuatkan oleh hukum (legal agreement).
b. Memberi kemungkinan franchisor untuk tetap memiliki hak atas nama
dagang dan atau merek dagang, format/pola usaha, dan hal-hal khusus
yang dikembangkannya untuk suksesnya usaha tersebut.
c. Memberi kemungkinan franchisor mengendalikan sistem usaha yang
dilisensikannya.
d. Hak, kewajiban dan tugas masing-masing pihak dapat diterima oleh
franchisee.
Walaupun suatu perjanjian waralaba merupakan kesepakatan antara dua
pihak, tetapi paling tidak ada dua pihak lain yang terkena dampak dalam isi
perjanjian waralaba yaitu franchisee lain dalam sistem waralaba yang sama dan
konsumen atau klien dari franchisee maupun masyarakat umumnya. Franchisee
lain dalam sistem waralaba (franchising) yang sama berharap bahwa franchisee
yang baru menjadi anggota akan menjaga nama dari seluruh sistem dengan
menepati standar yang telah menyebabkan seluruh sistem berhasil. Konsumen
107

Ibid

Universitas Sumatera Utara

atau masyarakat pada umumnya mengharapkan adanya produk atau jasa yang
konsisten/standar yang diterima di tempat lain. Oleh karena itu, didalam isi
perjanjian waralaba dicantumkan kekhasan produk/jasa yang ditawarkan yang
tidak dimikili sistem usaha lain. Ini sekaligus menjadi kekuatan dari sistem
waralaba yang dikembangkan. Selain itu, franchisor juga berkewajiban untuk
mengembangkan paket usaha yang semuanya tertuang secara rinci dalam
perjanjian waralaba.
Adapun substansi atau muatan materi dalam klausul-klausul yang terdapat
dalam suatu perjanjian waralaba, baik internasional maupun nasional, umumnya
sebagai berikut: 108
1. Ketentuan umum (general provisions)
Ketentuan umum memuat pembatasan istilah dan pengertian yang
digunakan dalam seluruh perjanjian. Artinya, di dalam ketentuan ini
dirumuskan defenisi-defenisi atau pembatasan pengertian dari istilahistilah yang dianggap penting dan sering digunakan dalam perjanjian,
yang disepakati oleh para pihak yang terlibat perjanjian.
2. Prasyaratan perjanjian (condotions precedent)
Klausul ini menentukan ada beberapa yang harus terjadi atau tindakan
yang harus dilakukan oleh salah satu pihak sebelun pihak lainnya
berkewajiban menjalankan suatu kontrak.
3. Pembelian waralaba (franchise grant)
Dalam bagian ini ditentukan hak waralaba oleh franchisor kepada
franchisee. Penentuan pemberian hak tersebut merinci hak-hak yang
boleh digunakan oleh franchiseee, seperti penggunaan merek dagang,
paten, hak cipta, rahasia dagang dan sebagainya.
4. Pembatasan
penggunaan
hak
waralaba
(limitaton
of
franchisee/intellectual property protection)
Dalam bagian ini ditentukan berbagai batasan dalam hal digunakannya
setiap merek dagang, logo, desain, paten atau hak cipta milik franchisor
oleh franchisee. Selanjutnya, ditegaskan juga bahwa franchisor berhak
atas hak milik intelektual tersebut, sementara franchisee hanya diberi
hak untuk menggunakannya saja.
5. Pembayaran biaya waralaba (franchise price and payment terms)

108

Ibid

Universitas Sumatera Utara

Dalam bagian ini diperincikan seluruh pembayaran dan mekanisme
pembayaran oleh franchisee kepada franchisor, misalnya royalti,
franchisee fee, initial asistance fee dan biaya promosi.
6. Jasa yang diberikan oleh franchisor (service by franchisor)
Pada bagian ini, klusul mengatur tentang kewajiban apa saja yang akan
diberikan oleh franchisor, selain pemberian izin penggunaan hak,
misalnya pelatihan tenaga kerja, bantuan manajemen usaha,
pelaksanaan operasional perusahaan, pengawasan atau evaluasi kinerja,
pemberian menual pengoperasian dan standart policily yang bersifat
rahasia, pengontrolan biaya dan akuntansi.
7. Keseragaman dan standarisasi operasi (standart and unformity of
operational)
Klausul ini mengatur mengenai kewajiban franchisee untuk mematuhi
dan melaksanakan peraturan, baik dari segi manajemen usaha,
pelayanan, mutu, laporan keuangan, dekorasi, sampai hal-hal yang
mendetail, sebab pelaksanaan suatu usaha yang dilakukan franchisee
harus sesuai dengan standar operasi yang ditentukan oleh franchisor.
8. Promosi (marketing and advertising campaign)
Klausul ini mengatur tentang besarnya biaya atau kontribusi sekian
persen dari omzet usaha franchisee yang harus disisihkan. Besarnya
biaya kontribusi, jenis promosi dan media yang digunakan juga harus
ditentukan dengan jelas.
9. Pelatihan (training)
Agar usaha waralaba dapat berjalan sesuai dengan standar operasional
franchisor maka biasanya franchisor memberikan pelatihan terlebih
dahulu, yang meliputi jenis kegiatan pelatiham, berapa lama waktu
pelatihan yang akan diadakan, tempat pelatihan dan biaya pelatihan.
10. Eksklusivitas
Klausul ini mengatur bahwa franchisee diberikan hak yang eksklusif
yang diperjanjikan di dalam suatu wilayah tertentu. Jika memang
demikian yang diperjanjikan, maka dalam hal ini, franchisor tidak
boleh memberikan hak franchisee kepada pihak lain selain franchisee
yang terkait dengan yang bersangkutan
11. Jangka waktu perjanjian (terms)
Klausul ini secara umum menentukan berapa lama perjanjian itu
berlaku atau secara khusus menentukan jangka waktu berakhirnya
pemberian hak waralaba kepad franchisee.
12. Pemilihan lokasi (premises)
Ketentuan ini mengatur mengenai tempat dimana usaha waralaba akan
dioperasikan oleh pihak franchisee.
13. Hak untuk memeriksa dan mengaudit (rights of inspection and audit)
Klausul ini mengatur tentang hak franchisor untuk sewaktu-waktu
dapat memeriksa tempat usaha, standar operasional maupun laporan
keuangan franchisee dengan izin terlebih dahulu dari franchisee.
14. Prosedur pelaporan ( report procedures)
Klausul ini mengatur mengenai kewajiban franchisee untuk
memberikan laporan tentang kegiatan usahanya pada setiap periode

Universitas Sumatera Utara

tertentu dengan format laporan keuangan tertentu. Laporan ini
diberikan bersamaan dengan pembayaran secara periodik.
15. Prinsip tanpa persaingan (non-competition)
Klausul ini menentukan bahwa untuk melindungi rahasia dagang milik
franchisor, pihak franchisee dilarang secara langsung ataupun tidak
langsung untuk membuka usaha lain yang sama atau mirip dengan
usaha waralaba tersebut selama terikat perjanjian, bahkan hingga
beberapa tahun setelah berakhirnya perjanjian. Franchisee juga tidak
dibenarkan untuk melakukan kegiatan yang dapat dikategorikan
sebagai persaingan tidak sehat sebagaimana yang telah diatur dalam
Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Namun, klausul ini tidak berarti bahwa perjanjian waralaba
merupakan suatu bentuk monopoli sebab perjanjian warlaba
merupakan suatu hubungan sitimewa yang berkaitan dengan hak-hak
istimewa seperti HaKI sehingga pemiliknya dilindungi oleh undangundang. Hal ini tercermin dalam pasal 50 huruf b Undang-Undang No.
5 tahun 1999 yang mengemukakan bahwa waralaba tidak termasuk
sebagai bentuk monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
16. Kerahasiaan produk atau sistem (confidentially/non disclosure)
Klausul ini menentukan bahwa franchisee berkewajiban untuk
menjaga rahasia atau informasi yang termasuk rahasia dagang milik
franchisor kepada pihak mana pun.
17. Perizinan dan administrasi (government approval)
Franchisee berkewajiban untuk mengurus dan menanggung biaya
yang dikeluarkan untuk hal-hal yang bersifat perizinan dan
administrasi pemerintah seperti pendaftaran usaha, IMB, izin
gangguan (HO), NPWP perusahaan dan sebagainya.
18. Karyawan dan tenaga kerja (employes)
Klausul ini menentukan bahwa setiap karyawan dari franchisee
merupakan karyawan franchisee sendiri. Tidak ada hubungan hukum
apapun dengan franchisor sehingga tidak ada tuntutan apapun oleh
pihak ketiga dalam hubngan dengan tindakan karyawan maupun oleh
karyawan itu sendiri yang dialamatkan kepada franchisor.
19. Asuransi (insurance)
Klausul mengenai asuransi biasanya ditentukan secara terperinci
mengenai asuransi apa saja yang harus diikuti oleh franchisee dan
dijamin utuk jumlah beberapa, misalnya asuransi untuk product
liability, bodily injury liability, property damage liability dan
sebagainya.
20. Jaminan terhadap tuntutan hukum dan kerugian (indemnification)
Ketentuan ini mengatur bahwa setiap kewajiban dan tanggung jawab
kontraktual apapun, yang tidak terbit sebagai akibat dari eksistensi
usaha waralaba, harus sepenuhnya dipikul oleh franchisee itu sendiri.
Oleh karena itu, franchisee berkewajiban untuk menjamin bahwa
kedudukan franchisor tetap aman dan bebas dari segala macam
tuntutan hukum.
21. Pajak (taxes)

Universitas Sumatera Utara

Ketentuan ini mengatur dengan tegas bawa seluruh pajak yang
berkenan dengan usaha franchisee akan ditanggung oleh pihak
franchisee.
22. Pengalihan hak.
Dalam perjanjian waralaba, biasanya penggunaan hak franchisee dapat
dialihkan kepada pihak lain selama ada izin tertulis dari franchisee dan
biasanya franchisor memiliki hak tolak pertama (right of firsr refsal).
Selain itu, biasanya ditentukan juga bila terjadi kematian atau
ketidakcakapan franchisee, franchisor harus memberikan izin kepada
pihak ahli waris atau yang berhak lainnya untuk meneruskan usaha
waralaba, kecuali pihak ahli waris atau yang berwenang lainnya tidak
memenuhi ketentuan atau persyaratan standar untuk menjalankan
usaha tersebut.
Dalam hal pengalihan hak, hal ini juga telah diatur dalam pasal 1338
KUHPerdata, bahwa jika setiap orang minta diperjanj