Aspek Hukum Pelanggaran Kontrak Secara Material Chapter III V

BAB III
WANPRESTASI DALAM HUKUM PERJANJIAN DI INDONESIA

A. Pengertian dan Bentuk-Bentuk Wanprestasi
Dasar perjanjian adalah kesepakatan para pihak yang akan menimbulkan
prestasi, apabila salah satu pihak tidak memenuhi prestasi dalam perjanjian, maka
akan timbul suatu kondisi yang dinamakan wanprestasi (ingkar janji). Kata
wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang berarti keadaan buruk atau suatu
keadaan yang menunjukkan debitur tidak berprestasi (tidak melaksanakan
kewajibannya) dan dia dapat dipersalahkan.173
Mengenai pengertian wanprestasi sendiri, masih belum mendapat
keseragaman atau masih terdapat bermacam-macam istilah maupun pengertian
yang digunakan untuk menggambarkan wanprestasi. Menurut Sophar Maru
Hutagalung, wanprestasi atau cidera janji adalah tidak terlaksananya prestasi atau
kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap para
pihak. Tindakan wanprestasi ini akan membawa konsekuensi terhadap timbulnya
hak pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi agar
melakukan ganti rugi.174
Menurut Salim HS, wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai
melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang


173

Handri Raharjo, op. cit., hlm. 79.
Sophar Maru Hutagalung, Hukum Kontrak di ASEAN Pengaruh SIstem Hukum
Common Law dan Civil Law, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm. 66.
174

68
Universitas Sumatera Utara

69

dibuat antara kreditur dengan debitur.175 Sementara menurut Prof. Subekti,
wanprestasi adalah suatu tindakan dimana si berutang (debitur) tidak melakukan
apa yang dijanjikannya dalam perjanjian atau melanggar perjanjian dengan
melakukan apa yang tidak boleh dilakukannya atau bisa dikatakan bahwa si
debitur alpa, lalai, atau ingkar janji.176
Pengertian-pengertian diatas sejalan dengan pengertian wanprestasi yang
diatur dalam pasal 7.1.1 dari The Principles of International Commercial
Contracts, yang menyatakan sebagai berikut:177

Non performance is failure by a party to perform any of its obligations
under the contract, including defective performance or late performance.
Menurut Prof. Subekti, wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang
debitur dapat digolongkan menjadi 4 (empat) macam, yaitu:178
1.

Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;

2.

Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana
dijanjikannya;

3.

Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;

4.

Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.


Sementara bila dilihat dari Restatement of The Law of Contracts (Amerika
Serikat), wanprestasi atau breach of contracts hanya dikelompokkan menjadi 2
(dua) bentuk, yaitu:179

175

Salim HS, op. cit., hlm. 98.
Subekti, op. cit., hlm. 45.
177
Ricardo Simanjuntak, Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, (Jakarta: PT Gramedia,
2006), hlm. 183-184.
178
Ibid.
176

Universitas Sumatera Utara

70


1.

Total breach, yaitu keadaan dimana pelaksanaan kontrak tidak
mungkin dilaksanakan.

2.

Partial breach, yaitu keadaan dimana pelaksanaan perjanjian masih
mungkin untuk dilaksanakan.

Tidak terpenuhinya kewajiban melaksanakan prestasi (wanprestasi) dapat
disebabkan oleh 2 (dua) kemungkinan yakni:180
1.

Karena kesalahan debitur sendiri baik dengan sengaja maupun karena
kelalaian
Wanprestasi yang disebabkan adanya kesalahan debitur itu sendiri,
dimaksudkan

debitur


tidak

melaksanakan

kewajiban

bukan

dikarenakan oleh hal-hal yang diluar kemampuannya, melainkan
karena perbuatan yang disengaja atau karena kelalaian. Debitur
dianggap lalai ketika ia tidak memenuhi prestasi, maka untuk
menyatakan seorang debitur melakukan wanprestasi, diperlukan surat
peringatan tertulis dari kreditur yang diberikan kepada debitur. Surat
perintah tersebut disebut dengan somasi. Surat somasi tersebut dapat
dijadikan sebagai bukti bahwa debitur telah wanprestasi, yang diatur
dalam pasal 1238 KUH Perdata.

179


Salim HS, op. cit., hlm. 98-99.
Ines Age Santika, dkk., Penyelesaian Sengketa dan Akibat Hukum Wanprestasi Pada
Kasus Antara PT Metro Batavia Dengan PT Garuda Maintenance Facility (GMF) Aero Asia,
(Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 2015), hlm. 59.
180

Universitas Sumatera Utara

71

2.

Karena

keadaan memaksa/force majeure

yang terjadi

diluar


kemampuan debitur
Wanprestasi yang terjadi karena keadaan memaksa (overmacht)/force
majeure, yang mana debitur tidak dapat memenuhi prestasinya kepada
kreditur, yang disebabkan oleh keadaan yang berada diluar
kemampuan debitur itu sendiri dan keadaan yang timbul itu juga
berupa suatu keadaan yang tidak dapat diketahui pada waktu
perjanjian dibuat. Atau dengan kata lain force majeure terjadi bukan
atas kehendak debitur.

B. Menentukan Saat Terjadinya Wanprestasi
Dalam sebuah perjanjian, fakta telah terjadinya wanprestasi oleh mitra
berkontrak merupakan ukuran yang sangat penting bagi pihak yang dirugikan
untuk terlebih dahulu membuktikan terjadinya wanprestasi tersebut, karena tanpa
adanya pembuktian akan adanya wanprestasi maka tidak ada alasan bagi pihak
yang dirugikan untuk meminta ganti kerugian yang telah di deritanya. Hal ini
secara tegas dikatakan dalam pasal 1243 KUH Perdata yang berbunyi:181
“penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu
perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah
dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika
sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau

dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya.”

181

Abdul Rasyid Saliman, op. cit., hlm. 33.

Universitas Sumatera Utara

72

Untuk membuktikan bahwa telah terjadi wanprestasi, terdapat 2 (dua) cara
yang bisa digunakan untuk membuktikannya, seperti yang tercantum dalam pasal
1238 KUH Perdata, yaitu wanprestasi yang akan ditentukan secara hukum dan
wanprestasi yang ditentukan berdasarkan perjanjian. Dalam hal ini, pasal 1238
KUH Perdata memberikan keleluasaan bagi para pihak yang mengikatkan dirinya
dalam kontrak untuk menyepakati tata cara penentuan wanprestasi yang mana
yang akan diterapkan. Meskipun mendapat kebebasan, tetapi penentuan
wanprestasi yang dilakukan secara hukum berlaku sebagai lex generalis terhadap
penentuan wanprestasi yang dengan tegas disepakati dalam kontrak sebagai suatu
hukum yang bersifat lex specialis.182

Penentuan telah terjadinya wanprestasi secara hukum, umumnya dilakukan
apabila para pihak yang berkontrak pada akhirnya tidak menyepakati tata cara
penentuan wanprestasi dalam kontrak yang telah mereka sepakati. Dan dalam
penentuan wanprestasi secara hukum, kreditur diwajibkan untuk membangun
dasar telah terjadinya wanprestasi dengan terlebih dahulu memberikan peneguran
dalam bentuk surat peneguran (somasi/sommatie) kepada debitur. Dan apabila hal
tersebut telah dilakukan oleh si kreditur, maka alasan itu akan memberikan hak
baginya untuk menuntut debitur di pengadilan untuk memaksanya melakukan
prestasi yang belum diselesaikannya serta mengganti kerugian yang telah diderita
oleh kreditur.183
Selanjutnya, apabila seorang debitur telah diperingatkan atau sudah
dengan tegas ditagih janjinya, tetapi ia tetap tidak melakukan prestasinya, makasi

182
183

Ricardo Simanjuntak, op. cit., hlm. 185.
Ibid., hlm. 186.

Universitas Sumatera Utara


73

debitur berada dalam keadaan lalai atau alpa dan terhadap debitur dapat
diperlakukan sanksi-sanksi sebagaimana sanksi yang dapat diterapkan kepada
pihak yang telah melakukan wanprestasi.184 Atau dengan kata lain debitur baru
dikatakan wanprestasi apabila ia telah diberikan somasi oleh kreditur atau juru sita
dan pemberian somasi minimal telah dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali oleh
kreditur atau juru sita. Dan apabila prosedur seperti diatas telah dilakukan dan
kreditur tetap tidak mengindahkannya, maka kreditur berhak membawa persoalan
itu ke pengadilan dan pengadilan akan memutuskan apakah debitur wanprestasi
atau tidak.185
Penerapan somasi dalam hukum perjanjian dapat diterapkan pada semua
jenis perjanjian. Namun, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa terdapat
pengecualian untuk penerapan somasi yang terdapat pada pasal 1238 KUH
Perdata, yakni apabila para pihak yang mengikatkan dirinya dalam kontrak telah
menyepakati secara bersama-sama saat kapan sebuah perbuatan dapat dikatakan
sebagai sebuah pelanggaran kontrak. Selain itu, apabila tidak ada diatur lebih
khusus mengenai tata cara penentuan wanprestasi dalam kontrak, maka
pemberlakuan somasi seperti yang diatur dalam pasal 1243 KUH Perdata harus

diberlakukan.

184
185

Subekti, op. cit., hlm. 47.
Firman Floranta Adonara, op. cit., hlm. 63.

Universitas Sumatera Utara

74

C. Akibat Hukum Terjadinya Wanprestasi
Secara singkat dapat dijelaskan dari KUH Perdata yang juga mengatur
mengenai akibat hukum yang terjadi apabila tidak terpenuhinya kewajiban atau
dengan kata lain telah terjadi wanprestasi dalam sebuah perjanjian, akibat hukum
yang dapat dirumuskan dalam KUH Perdata dapat dilihat dalam pasal berikut: 186
1.

Pasal 1243 KUH Perdata yang berisi, “penggantian biaya, rugi dan
bunga karena tidak terpenuhinya suatu perikatan, barulah mulai
diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi
perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus
diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam
tenggang waktu yang telah dilampaukannya.”

2.

Pasal 1237 KUH Perdata yang berisi, “dalam hal adanya perikatan
untuk memberikan suatu kebendaan tertentu, kebendaan itu semenjak
perikatan dilahirkan, adalah atas tanggungan si berpiutang.”

3.

Pasal 1266 KUH Perdata yang berisi, “syarat batal dianggap selalu
dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang bertimbal balik,
manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.”

Akibat yang sangat penting dari tidak dipenuhinya perjanjian ialah bahwa
kreditur dapat meminta ganti rugi atas ongkos, rugi dan bunga yang di deritanya.
Untuk adanya kewajiban ganti rugi bagi debitur maka undang-undang
menentukan bahwa debitur harus terlebih dahulu dinyatakan berada dalam
keadaan lalai (ingerbrekestelling). Pernyataan lalai ini adalah merupakan upaya
186

Ines Age Santika, dkk., op. cit., hlm. 60.

Universitas Sumatera Utara

75

hukum untuk sampai kepada suatu fase, dimana debitur dinyatakan ingkar janji
(wanprestasi).187
Setelah si debitur dapat dengan pasti dinyatakan telah melakukan kelalaian
atau wanprestasi, maka pada dasarnya ada 4 (empat) akibat yang akan muncul
setelah terjadinya wanprestasi, yaitu:188
1.

Penuntutan pelaksanaan prestasi oleh kreditur;

2.

Pembayaran ganti rugi oleh debitur kepada kreditur (pasal 1243 KUH
Perdata);

3.

Beban risiko beralih untuk kerugian rebitur, apabila halangan tersebut
timbul setelah debitur wanprestasi, kecuali bila ada kesengajaan atau
kesalahan besar dari pihak kreditur. Oleh karena itu, debitur tidak
dibenarkan untuk berpegang pada keadaan memaksa;

4.

Kreditur dapat membebaskan diri dari kewajiban memberikan kontra
prestasi dalam perjanjian timbal balik dengan dasar pasal 1266 KUH
Perdata.

Apabila dijabarkan, akibat-akibat yang akan timbul setelah terjadinya
wanprestasi bagi pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak adalah:189
1.

Bagi debitur
Bagi debitur, hal yang akan muncul sebagai akibat dari terjadinya
peristiwa wanprestasi adalah si debitur akan dipaksa mengganti

187

Mariam Darus Badrulzaman (2), KUH Perdata Buku III: Hukum Perikatan Dengan
Penjelasan, (Bandung: Alumni, 1983), hlm. 24.
188
Firman Floranta Adonara, op. cit.
189
Handri Raharjo, op. cit., hlm. 81-82.

Universitas Sumatera Utara

76

kerugian karena telah melakukan wanprestasi dan objek perjanjian
tetap akan menjadi tanggungjawab si debitur, dengan kata lain debitur
akan tetap dituntut untuk menyelesaikan prestasinya. Lain hal apabila
terdapat klausula pembatalan kontrak apabila terjadi wanprestasi.
2.

Bagi kreditur
Sementara bagi kreditur, berdasarkan pasal 1267 KUH Perdata,
kreditur

yang

merasa

dirugikan

karena

terjadinya

peristiwa

wanprestasi dapat menuntut pemenuhan perikatan kepada debitur,
ganti kerugian oleh debitur kepada kreditur dan pembayaran bunga
yang mana adalah keuntungan yang diharapkan namun tidak diperoleh
kreditur karena terjadinya wanprestasi oleh debitur. Di sisi lain,
kreditur juga dapat menuntut pembatalan perikatan, pemenuhan
perikatan dan ganti kerugian, pembatalan perikatan dan ganti
kerugian, peralihan risiko dan pembayaran biaya-biaya perkara kepada
debitur apabila penyelesaian perkara sampai ke pengadilan.
Menurut Mariam Darus Badrulzaman, setelah terjadi wanprestasi maka
akan muncul hak-hak bagi kreditur yang merasa dirugikan akan adanya
wanprestasi tersebut, yaitu hak untuk menuntut pemenuhan perikatan (nakomen),
hak untuk menuntut pemutusan perikatan atau apabila perikatan itu bersifat timbal
balik maka hak yang akan muncul adalah hak untuk menuntut pembatalan
perikatan (outbinding), lalu hak untuk menuntut ganti rugi (schade vergoeding),

Universitas Sumatera Utara

77

hak menuntut pemenuhan perikatan dengan ganti rugi, dan hak untuk menuntut
pemutusan atau pembatalan perikatan dengan ganti rugi.190
Sementara menurut Ahmadi Miru, akibat dari adanya wanprestasi pada
dasarnya hanya terdapat dua bentuk saja, yaitu pembatalan kontrak (disertai atau
tidak disertai dengan ganti rugi) dan pemenuhan kontrak (disertai atau tidak
disertai dengan ganti rugi). Namun, apabila kedua kemungkinan pokok tersebut
dijabarkan, bentuk akibat dari terjadinya wanprestasi dapat menjadi 4 (empat)
bentuk, yaitu:191
1.

Pembatalan kontrak

2.

Pembatalan kontrak disertai tuntutan ganti rugi

3.

Pemenuhan kontrak

4.

Pemenuhan kontrak disertai tuntutan ganti rugi

Akibat

yang

ditimbulkan

dari

terjadinya

wanprestasi

hampir

keseluruhannya melibatkan ganti rugi terhadap pihak kreditur oleh debitur akibat
wanprestasi yang dilakukannya. Namun, terdapat beberapa hal penting dalam
persoalan ganti rugi, yaitu:192
1.

Komponen ganti rugi terdiri dari biaya-biaya yang telah dikeluarkan,
kerugian yang nyata dan bunga;

2.

Ganti rugi tidak dapat diminta jika wanprestasi terjadi karena force
majeure dan debitur tidak dalam keadaan beritikad baik;

190

Mariam Darus Badrulzaman (2), op. cit., hlm. 26
Ahmadi Miru (2), op. cit., hlm. 75.
192
Sophar Maru Hutagalung, op. cit., hlm. 68-69.

191

Universitas Sumatera Utara

78

3.

Kerugian yang wajib dibayar dapat berupa kerugian yang benar-benar
telah diderita dan kehilangan keuntungan yang sedianya harus dapat
dinikmati kreditur;

4.

Ganti rugi yang dapat diminta oleh kreditur sebatas pada kerugian dan
kehilangan keuntungan yang merupakan akibat langsung dari
wanprestasi tersebut;

5.

Apabila di dalam kontrak ada provisi yang menentukan jumlah ganti
rugi yang harus dibayar oleh pihak debitur jika debitur wanprestasi,
maka pembayaran ganti rugi tersebut hanya sejumlah yang
ditetapkand alam kontrak, tidak boleh lebih tidak boleh kurang;

6.

Terhadap perikatan pembayaran sejumlah uang, maka ganti rugi
hanya terdiri dari bunga yang ditetapkan oleh undang-undang (KUH
Perdata), kecuali ada undang-undang yang mengatur secara khusus.

D. Penyelesaian Perselisihan Karena Wanprestasi
Dalam perjalanan suatu perjanjian, sengketa yang muncul tidak selalu
disebabkan oleh ketidaksempurnaan perancangan perjanjian. Sengketa dapat juga
terjadi pada perjanjian yang sebenarnya secara teknis telah dirancang dengan
sangat baik dan berhati-hati. Atau dengan kata lain, permasalahan-permasalahan
yang tidak dapat diperhitungkan (unpredictable dispute) selalu mungkin terjadi
walaupun perjanjian tersebut telah dirancang dengan sangat baik dan didasari oleh
niat baik dari masing-masing pihak dalam perjanjian. Banyak faktor yang
mendorong terjadinya permasalahan dalam perjanjian. Penyelesaian permasalahan
bisa dengan mudah dilakukan dengan langkah damai (amicable settlement)

Universitas Sumatera Utara

79

melalui penyelesaian di luar pengadilan (out court of settlement), walaupun tidak
sedikit yang harus diselesaikan melalui pengadilan (litigation process).193
Salah satu contoh permasalahan yang tidak dapat diperhitungkan adalah
wanprestasi. Meskipun pada dasarnya setiap perjanjian dibuat dengan itikad baik,
namun adanya kemungkinan terjadi wanprestasi dalam perjanjian tidak dapat
dihindarkan. Wanprestasi dapat terjadi karena kesengajaan debitur maupun karena
kelalaian debitur untuk melaksanakan prestasinya.194 Apabila salah satu pihak
tidak melaksanakan prestasinya, maka timbullah kerugian bagi pihak lainnya.
Kerugian tersebut haruslah diganti oleh pihak yang melakukan wanprestasi
sebagai konsekuensi dari tindakannya yang tidak mau mengikuti perjanjian.
Pergantian inilah yang dalam hukum dikenal dengan istilah ganti rugi. 195
Komponen-komponen yang terdapat dalam ganti rugi adalah sebagai
berikut:196
1.

Biaya
Yang dimaksudkan dalam komponen biaya adalah segala biaya (cost)
yang sudah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan dalam hubungan
dengan perjanjian tersebut. Misalnya adalah biaya notaris, biaya
akomodasi dan perjalanan, dan sebagainya.

193

Ricardo Simanjuntak, op. cit., hlm. 222.
Firman Floranta Adonara, op. cit., hlm. 64.
195
Abdul Rasyid Saliman, op. cit., hlm. 52.
196
Ahmadi Miru (2), op. cit., hlm. 74.

194

Universitas Sumatera Utara

80

2.

Rugi
Dalam komponen rugi atau kerugian, yang dimaksudkan adalah
berkurangnya nilai kekayaan dari pihak yang dirugikan karena adanya
wanprestasi dari pihak lainnya itu.

3.

Bunga
Sedangkan dalam komponen bunga, yang dimaksudkan adalah
sebagai kekurangan yang seharusnya diperoleh, tetapi tidak jadi
diperoleh oleh pihak kreditur karena adanya tindakan wanprestasi dari
pihak debitur. Pengertian bunga disini lebih luas dan tidak hanya
sekedar bunga uang atau bunga bank dalam pengertian sehari-hari.

Menurut Munir Fuady, terdapat model-model ganti rugi yang timbul akibat
wanprestasi dalam suatu perjanjian, yaitu dijabarkan sebagai berikut: 197
1.

Ganti rugi dalam kontrak
Dalam hal ini jenis dan besarnya ganti rugi disebutkan dengan tegas
dalam kontrak yang bersangkutan. Jika ini terjadi, maka pada
prinsipnya ganti rugi tersebut hanya dapat dimintakan seperti tertulis
dalam kontrak tersebut, tidak boleh dilebihi atau dikurangi. Kadangkadang dalam praktek, model ganti rugi dalam kontrak ini muncul
dalam bentuk denda keterlambatan.

197

Munir Fuady (1), op. cit., hlm. 21-24.

Universitas Sumatera Utara

81

2.

Ganti Rugi Ekspektasi
Ganti rugi dalam bentuk ekspektasi ini adalah cara menghitung ganti
rugi dengan membayangkan seolah-olah perjanjian tidak jadi
dilaksanakan. Jadi, yang merupakan ganti rugi dalam hal ini pada
prinsipnya adalah perbedaan antara nilai seandainya perjanjian
tersebut dilaksanakan dengan penuh dengan nilai yang terjadi karena
adanya wanprestasi. Oleh karena itu, dalam hal ini ikut dihitung juga
keuntungan yang seyogianya diperoleh seandainya perjanjian tersebut
jadi dilaksanakan. Dengan demikian, kehilangan keuntungan yang
diharapkan merupakan inti dari model ganti rugi ekspektasi ini.

3.

Pergantian Biaya
Ganti rugi berupa pergantian biaya atau yang disebut dengan ganti
rugi out of pocket atau reliance damages merupakan bentuk ganti rugi
dimana ganti rugi dibayar sejumlah biaya-biaya yang telah
dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan dalam hubungan dengan
perjanjian tersebut. biasanya biaya yang dikeluarkan tersebut
ditunjukkan dengan adanya kuitansi-kuitansi, sehingga ganti rugi ini
dapat disebut juga dengan ganti rugi kuitansi.
Dengan model ganti rugi penggantian biaya ini, para pihak dalam
perjanjian tersebut ditempatkan pada posisi status quo ante. Artinya,
para pihak ditempatkan pada tempat seolah-olah perjanjian tidak
pernah terjadi.

4.

Restitusi

Universitas Sumatera Utara

82

Yang dimaksud dengan restitusi adalah suatu nilai tambah atau
manfaat yang telah diterima oleh pihak yang melakukan wanprestasi,
dimana nilai tambah tersebut terjadi akibat pelaksanaan prestasi dari
pihak lainnya. Maka nilai tambah tersebut harus dikembalikan kepada
pihak yang telah dirugikan karenanya. Jika nilai tambah ini tidak
dikembalikan, maka pihak yang melakukan wanprestasi disebut dalam
ilmu hukum sebagai telah memperkaya diri tanpa hak (unjust
enrichment), dan hal ini tidak dibenarkan. Misalnya, jika dengan
kontrak tersebut salah satu pihak telah menerima manfaat atau
mendapatkan brang tertentu dari pihak lainnya, maka jika pihak lain
tersebut wanprestasi, manfaat atau barang tersebut mesti dikembalikan
secara utuh.
5.

Quantum Meruit
Quantum meruit memiliki kesamaan dengan ganti rugi dalam bentu
restitusi. Bedanya adalah jika dalam ganti rugi bentuk restitusi yang
dikembalikan adalah manfaat atau barang tertentu, maka dalam
quantum meruit manfaat atau barang tersebut sudah tidak dapat lagi
dikembalikan, misalnya manfaat atau barang tersebut sudah dialihkan
ke pihak lain, atau sudah dipakai, musnah atau sudah berubah wujud.
Maka dengan model ganti rugi quantum meruit ini, yang dikembalikan
adalah nilai wajar (reasonable value) dari hasil pelaksanaan kontrak
tersebut. misalnya, jika seorang pekerja sudah bekerja 2/3 (dua
pertiga) dari pekerjaannya, kemudian perjanjian diputus oleh pihak

Universitas Sumatera Utara

83

pemberi kerja, maka pihak pekerja berhak untuk dinilai sedara wajar
dan dibayar atas hasil kerjanya yang 2/3 (dua pertiga) tersebut.
6.

Pelaksanaan Kontrak
Dalam hal-hal tertentu justru yang paling adil jika oleh pihak yang
dirugikan karena pihak lain telah melakukan wanprestasi dapat
memintakan agar perjanjian tersebut dilaksanakan secara utuh, dengan
atau tanpa gantu rugi dalam bentuk lainnya. Dalam hal ini pihak yang
melakukan wanprestasi

oleh hukum dipaksakan untuk tetap

melakukan prestasinya. Pelaksanaan perjanjian akibat dari wanprestasi
ini sering disebut dengan istilah specific performance, equitable
performance, atau equitable relieve. Dalam perjanjian jual beli, maka
apabila yang dipaksakan adalah penyerahan barang objek jual beli, ini
disebut dengan istilah replevin sementara jika yang dipaksakan adalah
penyerahan harga jual beli, maka hal seperti ini disebut dengan istilah
price action. Salah satu alasan mengapa atau dalam hal apa model
pelaksanaan kontrak akibat wanprestasi ini ditetapkan adalah jika
benda yang menjadi objek perjanjian sangat khas. Misalnya,
perjanjian pembuatan lukisan dari seorang pelukis terkenal. Maka jika
pihak pelukis wanprestasi yakni tidak mau membuat dan menyerahkan
barang lukisan tersebut, bagi pihak pembeli tidak mungkin mendapat
lukisan serupa dari pelukis yang lain, karena naramg tyersenut tidak
akan sama jika dibuat oleh pelukis yang lain. Maka dalam hal seperti
ini, oleh hukum dipandang adil jika pihak pelukis dimintakan untuk

Universitas Sumatera Utara

84

tetap membuat luikisan tersebut seperti yang sudah pernah
dijanjikannya, dan menyerahkan kepada pihak yang memesannya.

E. Wanprestasi Dalam Sistem Hukum Common Law
Dalam dunia hukum, terdapat beberapa sistem hukum. Keberagaman
sistem hukum itu bisa terbentuk karena sistem hukum terbentuk di suatu wilayah
hukum tertentu yang terdiri dari berbagai tata hukum yang saling terpaut namun
berlatar belakang budaya hukum yang serumpun atau menjalankan gaya hukum
yang sama, contohnya adalah sistem hukum common law dan civil law. Secara
umum, terdapat beberapa perbedaan antara sistem hukum common law dan
common law, yakni:198

1. Sumber
Dalam civil law, hukum merupakan produk dari badan legislasi,
sedangkan dalam common law hukum berasal dari keputusan-keputusan
badan peradilan yang mengakui, mengukuhkan dan menerapkan
kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat.
2. Struktur
Mengenai struktur hukumnya, pada sistem hukum civil law hanya
duakui hukum statuter dan tidak mengenal lembaga equity law. Dan
pada penerapan civil law juga dibangun pembedaan antara hukum
publik dan hukum perdata sebagai akibat dari doktrin Ulpianus. Tetapi
198

Budiono Kusumohamidjojo, op. cit., hlm. 39-42.

Universitas Sumatera Utara

85

dalam common law tidak mengenal pembedaan antara hukum publik
dan hukum perdata tetapi mengenal penggunaan lembaga equity law.
3. Sistematik
Kaidah-kaidah common law terhimpun dalam himpunan (compendium)
keputusan-keputusan hakim, sedangkan kaidah-kaidah civil law
tersusun secara sistematis dalam codices tertentu, seperti KUH Perdata,
KUH Dagang, KUH Pidana, dan sebagainya.
4. Proses peradilan
Common law biasanya menerapkan sistem adversarial (perlawanan),
dimana dua pihak yang bermasalah mengajukan kasusnya kepada
hakim yang netral. Sebaliknya, dalam sistem civil law biasa digunakan
sistem inquisitorial (interogasi) yang dilakukan oleh magistrat (jaksa)
untuk menjalankan peran membangun pembuktian dan argumentasi
bagi pihak yang satu dan kemudian untuk pihak yang lain pada tahap
penyelidikan.
Sedangkan dalam hal yang lebih khusus, yaitu dalam pengaturan mengenai
hukum perjanjian, terdapat juga beberapa perbedaan antara sistem civil law dan
common law.Dalam hukum common law, unsur dalam perjanjian dibagi menjadi
4, yakni adanya proses tawar-menawar (bargain), adanya kesamaan kehendak
(agreement), kontrak bersifat mengikat dan kapasistas (capacity) para pihak yang
berkontrak.199

199

Catherine Elliott dan Frances Quinn, (Inggris: Perason Education Limited, 2011), hlm.

12.

Universitas Sumatera Utara

86

Di dalam hukum common law, jika terjadi wanprestasi (breach of
contract), maka kreditur dapat menggugat debitur untuk membayar ganti rugi
(damages), dan bukan menuntut pemenuhan prestasi (performance). Akan tetapi
dalam perkembangannya, muncul juga kebutuhan akan gugatan pemenuhan
prestasi yang lebih umum.200 Sementara seperti yang dijelaskan sebelumnya,
dalam sistem hukum civil law, apabila telah terjadi wanprestasi masih terdapat
beberapa kemungkinan yang bisa dilalui guna menyelesaikan perselisihan yang
muncul diantara para pihak sebagai akibat dari wanprestasi tersebut.201
Selain itu, terdapat juga perbedaan antara sistem hukum common law dan
civil law dalam bentuk tanggungjawab pihak yang lalai setelah terjadinya
wanprestasi. Dalam hal ini, civil law masih terlihat lunak untuk menanggapi
adanya wanprestasi, terutama terhadap wanprestasi. Sementara dalam sistem
hukum common law, para pengacara lebih dominan untuk mempertanyakan siapa
yang harus menanggung risiko, ketimbang harus mempertanyakan apakah pihak
yang menimbulkan kondisi tersebut harus dipersalahkan. Hal tersebut dikarenakan
para pihak yang mengikatkan dirinya dalam perjanjian di dalam sistem hukum
common law, memiliki kewajiban absolut untuk melaksanakan kontrak mereka
dengan cermat.202
Dalam berkontrak, umumnya setiap pihak yang mengikatkan dirinya
dalam kontrak memiliki harapan mengenai keuntungan yang akan diperolehnya
setelah mengikatkan dirinya dalam kontrak apabila kontrak tersebut berjalan
dengan lancar. Namun, apabila dalam perjalanannya kontrak tidak berjalan
200

Salim HS, op. cit., hlm. 100.
Ibid., hlm. 102.
202
Budiono Kusumohamidjojo, op. cit., hlm. 79-81
201

Universitas Sumatera Utara

87

dengan baik (wanprestasi), maka dalam kondisi tersebut akan muncul sebuah
situasi yang pada negara common law disebut dengan damages. Damages adalah
kompensasi yang diberikan oleh pengadilan kepada pihak yang tidak melanggar
kontrak yang telah dirugikan akibat tidak berjalannya kontrak dengan baik, dan
kompensasi tersebut dibebankan oleh pengadilan kepada pihak yang melanggar
kontrak.203
Disini juga terletak perbedaan antara perjanjian dalam sistem hukum
common law dan perjanjian dalam sistem hukum civil law, yaitu ketika pihak
yang menjadi korban dari tidak dilaksanakannya atau dilanggarnya ketentuanketentuan suatu kontrak menghendaki agar hak-haknya dipulihkan berdasarkan
kontrak yang telah dibuatnya. Dalam negara penganut sistem hukum civil law,
biasanya bentuk pemulihan hak itu telah disepakati dalam kontrak dengan
penggantian berupa ganti rugi, biaya, bunga dan sebagainya. Tapi sebelum
menuntut pemulihan hak tersebut, biasanya pihak yang dirugikan akan
memberikan peringatan lalai, untuk memberi waktu bagi pihak lawan untuk
melaksanakan prestasinya yang tertunda atau bahkan mengadakan amandemen
kontrak untuk membuat sebuah keadaan seimbang (doktrin rebus sic stantibus)
seperti yang dilakukan di Norwegia. Namun dalam negara common law tidak
seperti itu. Pada negara common law, apabila terjadi wanprestasi, para pihak yang
dirugikan akan menuntut ganti rugi kepada pihak yang melakukan wanprestasi,
karena pada negara common law, ganti rugi dianggap sebagai pemulihan utama
ketika terjadi pelanggaran kontrak. Mengenai tata cara penuntutan pemulihan hak,
pada negara common law, pihak yang dirugikan dapat langsung menuntut ganti
203

Martin A. Frey, dkk., An Introduction to the Law of Contracts, (New York: Delmar,
2000), hlm. 7.

Universitas Sumatera Utara

88

rugi kepada pihak yang melakukan wanprestasi apabila sebelumnya sudah
dilakukan pengujian untuk membuktikan apakah kerugian yang timbul adalah
sebagai akibat langsung dari wanprestasi, walaupun belum ada keputusan yang
menentukan apakah pihak yang melakukan wanprestasi berada dalam posisi salah
atau tidak.204
Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan dalam bab ini, dapat
disimpulkan bahwa ketentuan hukum Indonesia mengatur wanprestasi sebagai
sebuah perbuatan ingkar janji terhadap perjanjian yang telah disepakati
sebelumnya oleh salah satu pihak yang terikat didalam kontrak, terlepas dari
apakah wanprestasi itu terjadi karena adanya unsur kesengajaan dari debitur atau
karena adanya keadaan memaksa yang terjadi diluar kemampuan debitur.
Dalam hukum Indonesia diatur juga mengenai tata cara penuntutan yang
akan dilakukan oleh debitur sebagai akibat dari terjadinya wanprestasi.
Penuntutan akan hak-haknya dapat dilakukan oleh kreditur apabila sebelumnya
kreditur telah memberikan surat somasi sebagai bentuk peringatan telah terjadi
wanprestasi dalam hubungan hukum yang terjadi diantara keduanya. Apabila surat
somasi tersebut telah diberikan tapi tak terlihat itikad baik dari debitur, maka
kreditur dapat menuntut hak-haknya di muka pengadilan.
Tidak hanya sampai disitu, hukum Indonesia juga mengatur mengenai
akibat yang timbul dari adanya wanprestasi dalam kontrak. Pada umumnya akibat
yang akan timbul adalah ganti kerugian, pembatalan kontrak, pemenuhan kontrak,
atau kombinasi antara ganti kerugian dengan pembatalan kontrak dan kombinasi
antara ganti kerugian dan pemenuhan kontrak.
204

Budiono Kusumohamidjojo, op. cit., hlm. 83-88.

Universitas Sumatera Utara

BAB IV
PELANGGARAN KONTRAK SECARA MATERIAL (MATERIAL
BREACH OF CONTRACT) DAN AKIBAT HUKUMNYA

A. Pengertian dan Unsur-Unsur Pelanggaran Kontrak Secara Material
Dalam sebuah perjanjian, ada berbagai model atau bentuk wanprestasi.
Salah satu jenisnya adalah wanprestasi berupa tidak sempurna memenuhi prestasi.
Dalam hal wanprestasi model tersebut, dalam ilmu hukum kontrak ada dikenal
suatu doktrin yang hidup di negara penganut sistem hukum common law, yaitu
doktrin “pemenuhan prestasi substansial” (substantial performance). Doktrin ini
pada intinya mengajarkan bahwa meskipun satu pihak tidak melaksanakan
prestasinya secara sempurna, tetapi jika dia telah melaksanakan prestasinya
tersebut secara substansial, maka pihak lain harus juga melaksanakan prestasinya
secara sempurna. Apabila suatu pihak tidak melaksanakan prestasinya secara
substansial, maka pihak tersebut dapat dikatakan tidak melaksanakan kontrak
secara “material” (material breach).205
Dalam sebuah kontrak pada umumnya melekat sebuah doktrin, yaitu
doktrin exception non adimpleti contractus, yakni sebuah doktrin yang
mengajarkan bahwa apabila satu pihak tidak melaksanakan prestasinya, maka
pihak lain dapat tidak melaksanakan prestasinya juga. Namun dalam beberapa
situasi, penggunaan doktrin ini dapat dikecualikan. Doktrin exception non

205

Munir Fuady (2), Hukum Kontrak Buku Kesatu, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
2015), hlm. 71.

89
Universitas Sumatera Utara

90

adimpleti contractus tidak dapat diterapkan dalam sebuah kontrak apabila dalam
kontrak tersebut telah menerapkan doktrin substantial performance.206
Akan tetapi penerapan doktrin substantial performance tidak dapat
dilakukan terhadap semua kontrak. Terhadap kontrak jual beli atau kontrak yang
berhubungan dengan tanah misalnya, doktrin substantial performance tidak dapat
diterapkan. Dalam sebuah kontrak, penerapan doktrin substantial performance
tidak diberlakukan, doktrin yang berlaku dalam kontrak tersebut adalah doktrin
pelaksanaan prestasi secara penuh, atau yang sering disebut dengan istilah-istilah
seperti strict performance rule, full performance rule, atau perfect tender rule.207
Pelanggaran kontrak secara material pada umumnya berkaitan erat dengan
doktrin substantial performance, atau bisa dikatakan bahwa adanya pelanggaran
kontrak secara material adalah sebagai bentuk pengaplikasian dari doktrin
substantial performance dalam dunia hukum kontrak. Sampai saat ini, tidak ada
sebuah definisi hukum umum dari pelanggaran kontrak secara material. Namun,
beberapa pengadilan di negara common law telah memberikan batasan-batasan
mengenai pelanggaran kontrak secara material. Sebuah kontrak dapat dikatakan
telah dilanggar secara material dilihat dari apakah hal yang dilanggar dalam
kontrak tersebut memiliki manfaat yang serius, atau apabila dengan tidak adanya
sebuah hal tersebut, manfaat dari sebuah pekerjaan itu tidak dapat ternilai sama
sekali.208

206

Ibid.
Ibid., hlm. 72.
208
Herrington and Carmichael Solicitors, “Commercial: Material Breach of Contract”,
diakses dari http://www.herrington-carmichael.com/Documents/Articles/7885fdc9-f446-4bf2b3c0-3d78ed33166a.pdf, pada tanggal 8 Mei 2017, pukul 00:50 WIB.
207

Universitas Sumatera Utara

91

Pelanggaran material juga bisa didefinisikan sebagai bentuk pelanggaran
yang dilakukan oleh salah satu pihak yang mengikatkan dirinya didalam kontrak,
yang mana pelanggaran yang dibuatnya adalah sebuah pelanggaran yang material
atau penting, sehingga menyebabkan pihak lain yang merugi dapat dibenarkan
dan dapat menuntut pemulihan akan hak-haknya.209
Berdasarkan

penjelasan

diatas,

dapat

ditarik

kesimpulan

bahwa

pelanggaran kontrak secara material (material breach) memiliki unsur-unsur
sebagai berikut:
1. Adanya sebuah pelanggaran yang serius
Dalam hal menentukan apakah salah satu pihak telah melakukan
wanprestasi dalam sebuah kontrak, tentu saja sebelumnya harus dapat
ditentukan pelanggaran apa yang telah dilakukan oleh pihak tersebut.
Namun dalam hal pelanggaran kontrak secara material, tidak cukup
hanya itu saja. Dalam pelanggaran kontrak secara material, harus dapat
ditentukan apakah pelanggaran yang dilakukan oleh pihak tersebut
merupakan sebuah pelanggaran yang serius. Makna dari pelanggaran
yang serius adalah bahwa dengan adanya pelanggaran tersebut maka
berdampak besar bagi tujuan diadakannya kontrak itu.
2. Hilangnya makna dari sebuah prestasi
Dalam melakukan pelanggaran kontrak secara material, unsur kedua
yang harus terpenuhi adalah hilangnya makna dari sebuah prestasi.
Maksudnya adalah dengan tidak dikerjakannya salah satu komponen
Jack A. Walters, “Material Breach and Repudiation”, (Jurnal: Annual Construction
Symposium, 2009), hlm. 1.
209

Universitas Sumatera Utara

92

penting dari sebuah prestasi maka nilai atau guna dari prestasi itu secara
keseluruhan tidak terlihat.
3. Tidak diperoleh manfaat oleh pihak yang dilanggar
Untuk dapat memenuhi pelanggaran kontrak secara material, maka
akibat dari pelanggaran tersebut harus terlihat dengan jelas. Atau
dengan kata lain, apabila salah satu pihak telah melakukan sebagian
dari prestasinya tetapi tidak sempurna dan pihak lainnya tidak dapat
merasakan manfaat dari prestasi tidak sempurna yang dilakukan oleh
pihak yang melanggar, maka dapat dikatakan pelanggaran yang
dilakukan oleh salah satu pihak itu adalah pelanggaran kontrak secara
material.

B. Menentukan Terjadinya Pelanggaran Kontrak Secara Material
Dalam pemberlakuan doktrin substantial performance, perlu diketahui
sebelumnya apakah pelanggaran kontrak yang telah dilakukan adalah pelanggaran
material atau tidak. Dalam menentukan apakah suatu pelanggaran dapat
dikategorikan sebagai pelanggaran yang material ternyata sering kali menemui
kesulitan dan bahkan sangat bergantung kepada kebijaksanaan hakim yang
menangani perkara tersebut, sehingga diperlukan beberapa kriteria dasar untuk
menentukan pelanggaran kontrak tersebut apakah pelanggaran material atau tidak.
Kriteria-kriteria tersebut oleh Ahmadi Miru dijabarkan sebagai berikut:210

210

Ahmadi Miru (2), op. cit., hlm. 73.

Universitas Sumatera Utara

93

1. Kelayakan kompensasi
Dalam hal ini, harus dapat dilihat apakah tersedia kompensasi yang
cukup memuaskan bagi pihak yang dirugikan karena adanya
wanprestasi. Apabila sulit untuk menghitung kompensasi atau ganti rugi
yang layak bagi pihak yang dirugikan, maka dapat dikatakan bahwa
pihak yang melakukan wanprestasi belum melaksanakan prestasinya
secara substansial, atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa telah
terjadi pelanggaran kontrak yang material.
2. Hilangnya keuntungan yang diharapkan
Berdasarkan kriteria ini, dapat dikatakan telah terjadi pelanggaran
kontrak secara material apabila dapat dipastikan bahwa keuntungan
yang hilang akibat dari adanya pelanggaran kontrak tersebut adalah
dalam jumlah yang besar.
3. Bagian kontrak yang dilaksanakan
Untuk dapat dikatakan bahwa satu pihak telah melaksanakan
prestasinya secara substansial, dapat dilihat dari seberapa banyak
prestasi yang telah dilakukan oleh pihak tersebut. Semakin sedikit
prestasi

yang

telah

diperbuatnya,

maka

semakin

besar

juga

kemungkinan telah terjadinya pelanggaran kontrak secara material.
4. Kesengajaan untuk tidak melaksanakan kontrak
Menurut kriteria ini, dapat dikatakan telah terjadi pelanggaran kontrak
secara material apabila salah satu pihak tidak melaksanakan prestasinya

Universitas Sumatera Utara

94

dengan adanya unsur kesengajaan (bukan karena kelalaian atau sebabsebab lain yang mengandung unsur itikad baik). Bentuk dari unsur
kesengajaan ini beragam, contohnya adalah apabila dengan sengaja
mengabaikan kewajibannya yang telah ditetapkan oleh kontrak atau
dengan sengaja memasang material yang tidak memenuhi standart atau
yang bukan disepakati didalam kontrak.
5. Kesediaan untuk memperbaiki prestasi
Jika pihak yang melakukan wanprestasi dapat memperbaiki dan
mempunyai itikad baik untuk menebus kesalahannya, maka dapat
dikatakan

bahwa

pelanggaran

kontrak

yang

terjadi

bukanlah

pelanggaran kontrak material.
6. Keterlambatan melaksanakan prestasi
Keterlambatan dalam melaksanakan prestasi pada umumnya tidak
menyebabkan sebuah pelanggaran kontrak disebut sebagai pelanggaran
kontrak secara material. Namun, apabila akibat yang ditimbulkan dari
keterlambatan tersebut memberikan kerugian yang besar, maka dapat
dikatakan telah terjadi pelanggaran kontrak material.
Sementara dalam menentukan bahwa telah terjadinya pelanggaran kontrak
secara material dalam proses kontrak, menurut Jack A. Walters terdapat 5 (lima)
kriteria yang dapat menentukan terjadinya pelanggaran kontrak secara material,
yakni:211

211

Jack A. Walters, op. cit.

Universitas Sumatera Utara

95

1. Sejauh mana pelanggaran kontrak yang telah dilakukan salah satu pihak
tersebut menyebabkan kerugian bagi pihak lainnya dalam kontrak;
2. Sejauh mana kerugian yang diderita oleh salah satu pihak akibat dari
adanya pelanggaran dalam kontrak dapat menghitung kompensasi yang
pantas bagi dirinya untuk mengganti kerugian yang telah didapatnya;
3. Sejauh mana pihak yang telah melakukan pelanggaran akan menerima
akibat dari tindakannya yang melanggar kontrak;
4. Adanya kemungkinan dari pihak yang melakukan pelanggaran terhadap
kontrak akan menebus kesalahannya dengan melakukan perhitungan
terhadap setiap aspek keadaan, termasuk adanya jaminan yang masuk
akal dari pihak yang melanggar; dan
5. Ada atau tidaknya perilaku baik sebagai wujud dari itikad baik dan
upaya untuk mencapai keadilan dalam berkontrak dari pihak yang
melanggar kontrak.

C. Akibat Hukum Pelanggaran Kontrak Secara Material
1.

Pengakhiran Secara Sepihak
Sebagaimana diketahui bahwa tidak terhadap semua kontrak, pembatalan

kontrak secara sepihak dapat diberlakukan. Untuk dapat membuat keterikatan
dalam kontrak berakhir secara sepihak, pihak yang dirugikan dalam kontrak harus
dapat membuktikan bahwa pelanggaran kontrak yang telah terjadi merupakan
pelanggaran kontrak yang serius. Jika dapat dipastikan bahwa pelanggaran

Universitas Sumatera Utara

96

kontrak yang terjadi adalah sebuah pelanggaran yang serius, maka pihak yang
dirugikan berhak untuk membatalkan kontrak tersebut.212
Pelanggaran kontrak dapat memberikan hak bagi pihak yang menderita
kerugian untuk mengakhiri perjajian, namun cidera janji yang memberikan hak
bagi seseorang untuk membatalkan perjanjian hanyalah cidera janji yang
sebenarnya, karena dalam pelanggaran kontrak jenis ini dapat dikatakan bahwa
pihak yang merugi hampir tidak dapat memperoleh semua manfaat dari adanya
kontrak tersebut, atau dengan kata lain telah terjadi pelanggaran kontrak secara
material.213
Menurut Ahmadi Miru, mekanisme yang dapat digunakan untuk
menentukan sejauh mana pelanggaran yang telah dilakukan terhadap suatu
kontrak adalah sebagai berikut:214
a. Melihat apakah ada ketentuan dalam kontrak yang menegaskan tidak
dilaksanakannya kewajiban yang mana saja yang dianggap pelanggaran
terhadap kontrak tersebut;
b. Jika tidak ada ketentuan dalam kontrak, hakim dapat menentukan
apakah tidak dilaksanakannya sebuah kewajiban tersebut adalah cukup
serius untuk dinyatakan sebagai pelanggaran terhadap suatu kontrak.
Menurut Jack A. Walters juga mengenai hak pihak yang dirugikan untuk
membatalkan kontrak tersebut secara sepihak diperlukan beberapa kriteria untuk

212

Ahmadi Miru (2), op. cit., hlm. 78.
Sophar Maru Hutagalung, op. cit., hlm. 107-108.
214
Ahmadi Miru (2), op. cit., hlm. 78.

213

Universitas Sumatera Utara

97

menjadi tolak ukur apakah kontrak tersebut dapat dibatalkan secara sepihak atau
tidak. Kriteria tersebut diuraikan sebagai berikut:215
a. Harus dilihat apakah pihak yang melakukan pelanggaran dapat
melakukan ganti rugi atau tidak, apabila pihak yang melakukan
pelanggaran tidak bisa melakukan ganti rugi yang masuk akal, maka
kontrak tersebut dapat dibatalkan secara sepihak;
b. Harus dilihat sejauh mana ketegasan dalam kontrak tersebut mengatur
mengenai pelanggaran kontrak, apabila sudah diatur dengan sangat
tegas tetapi pihak yang dengan sukarela mengikatkan dirinya ke dalam
kontrak tetap melanggarnya, maka bisa dipastikan bahwa kurang
terlihat itikad baik dari pihak tersebut dan pihak lainnya dapat
mengakhiri kontrak dengan sepihak.
2.

Ganti Kerugian
Sebelumnya telah jelas bahwa maksud dari masing-masing pihak untuk

mengikatkan dirinya dalam sebuah kontrak adalah untuk mencapai tujuan dalam
bantuk keuntungan yang telah direncanakan. Ketika suatu kontrak yang telah
disepakati tidak berjalan dengan semestinya, tentu saja ini akan memberikan
potensi kerugian pada pihak yang terkena wanprestasi tersebut. Sebab, dengan
adanya pelanggaran kontrak pasti akan membuyarkan seluruh rencananya untuk
mendapatkan keuntungan dari pelaksanaan kontrak, baik di masa sekarang
ataupun di masa yang akan datang.216

215
216

Jack A. Walters, op. cit., hlm. 3.
Ricardo Simanjuntak, op. cit., hlm. 190.

Universitas Sumatera Utara

98

Setelah terjadi pelanggaran kontrak tersebut, atau apabila pelanggaran
mengakibatkan satu pihak tidak dapat memperoleh hampir semua manfaat dari
perjanjian, maka pihak yang menderita kerugian dapat memilih untuk mengakhiri
perjanjian. Namun terdapat pilihan lain, yaitu ganti kerugian atas apa yang
diderita sebagai akibat langsung dari adanya pelanggaran kontrak. Ganti rugi
secara kontraktual akan diberikan kepada pihak yang menderita kerugian dalam
bentuk uang sebagai pengganti kerugian uang yang timbul sebagai akibat dari
pelanggaran kontrak. 217
Dalam sebuah kontrak biasanya telah disepakati sebelumnya oleh para
pihak besaran dari kompensasi atau ganti rugi. Apabila jumlah uang yang telah
disepakati merupakan pra-estimasi kerugian murni yang mungkin akan diderita
akibat pelanggaran, maka pengadilan akan menetapkan jumlah uang kompensasi
tersebutlah

yang

harus

dibayar

sebagai

ganti

rugi

yang

ditentukan

sebelumnya/liquidated damages. Namun, apabila suatu jumlah uang dimaksudkan
sebagai denda untuk menghukum pihak yang melakukan pelanggaran, maka
pengadilan akan menetapkan besaran ganti rugi yang tidak ditentukan sebelumnya
sebagai kompensasi terhadap pihak yang telah dirugikan sebelumnya. 218
Menurut Sophar Maru Hutagalung, ada tiga cara dalam menghitung
jumlah kerugian yang diderita salah satu pihak dalam kontrak apabila terjadi
pelanggaran:219
a. Pengadilan sendiri yang akan menghitung jumlah uang yang harus
dibayarkan kepada pihak yang dilanggar. Dalam hal ini, pengadilan
217

Sophar Maru Hutagalung, op. cit., hlm. 128.
Budiono Kusumohamidjojo, op. cit., hlm. 82.
219
Sophar Maru Hutagalung, op. cit., hlm. 130.
218

Universitas Sumatera Utara

99

akan melakukan penghitungan dengan cara menghitung besaran jumlah
keuntungan yang akan diperoleh oleh pihak yang dilanggar apabila
tidak terjadi pelanggaran dalam kontrak tersebut, dan jumlah itulah
yang akan diwajibkan kepada pihak yang melanggar untuk dibayarkan
sebagai bentuk ganti rugi kepada pihak yang dilanggar.
b. Penghitungan dengan melihat apabila pihak yang menderita kerugian
sudah atau akan mengeluarkan biaya tambahan melebihi apa yang telah
diperkirakan didalam perjanjian karena harus membayar pengganti
pasokan barang atau jasa setelah pihak yang melanggar telah gagal
melaksanakan kewajibannya. Maka biaya tambahan tersebut dapat
diperoleh kembali oleh pihak yang dilanggar sebagai bentuk
kompensasi dari adanya pelanggaran kontrak.
c. Pihak yang mengalami kerugian dapat menghitung sendiri rugi yang
telah dideritanya atas dasar biaya kewajiban kontraktualnya, bukan atas
dasar harapan atau bayangan akan adanya sebuah keuntungan di masa
depan apabila kontrak tersebut berjalan dengan lancar.

D. Analisis Kasus Pelanggaran Kontrak Secara Material
Seperti yang diketahui bahwa penggolongan pelanggaran kontrak secara
material bisa muncul sebagai bentuk pengaplikasian dari doktrin substantial
performance yang berkembang di negara penganut sistem hukum common law.
Dalam hukum Indonesia tidak ada diatur mengenai pelanggaran kontrak secara
material ataupun doktrin substantial performance, namun apabila kedua belah

Universitas Sumatera Utara

100

pihak bersepakat untuk menerapkannya dalam kontrak mereka maka doktrin
tersebut bisa diterapkan selama tidak melawan hukum yang hidup di Indonesia,
dan secara tidak langsung asas kebebasan berkontrak yang menjadi penyebab bisa
diterapkannya doktrin dari negara common law tersebut di Indonesia. Untuk dapat
memahami bagaimana cara penerapannya, maka perlu diketahui dari analisis
kasus pelanggaran kontrak secara material yang pernah terjadi di negara common
law.
1.

Jacob and Youngs, Inc. vs Kent
Putusan 230 NY 239 adalah putusan mengenai perkara perdata yang

putusannya dijatuhkan pada tanggal 25 Januari 1921. Dalam perkara ini terdapat 2
(dua) pihak, yaitu antara Jacob & Young, Incorporated sebagai Penggugat
melawan George E. Kent sebagai Tergugat yang keduanya berkedudukan di New
York, Amerika.
George E. Kent awalnya membuat sebuah perjanjian dengan Jacob &
Young, Corp. yang adalah kontraktor untuk membuat sebuah rumah. Dalam
perjanjian tersebut juga dijabarkan mengenai jenis material bangunan yang ingin
digunakan, termasuk pipa yang akan digunakan sebagai komponen dari bangunan
rumah.
Dalam melaksanakan pembangunan rumah tersebut, menurut George E.
Kent telah ada sebuah pelanggaran yang dilakukan oleh Jacob & Young, Corp.
yaitu bahwa Jacob & Young, Corp. tidak menggunakan pipa yang telah disepakati
didalam kontrak, yaitu pipa dengan merek Reading tetapi menggunakan pipa
dengan merek Cohoes. Dan setelah kejadian itu, melalui arsitek yang mengerjakan

Universitas Sumatera Utara

101

bangunan, George E. Kent meminta Jacob & Young, Corp. untuk mengulang
pekerjaan terhadap pipa saluran air yang telah terpasang dan menggantinya,
sementara pengerjaan rumah sudah selesai dan hanya menunggu pengerjaan
saluran pipa air. Dan apabila akan dilakukan pengulangan terhadap pipa saluran
air, maka akan dilakukan beberapa pembongkaran dan akan menambah biaya lagi.
Hingga akhirnya penyelesaian pekerjaan tersebut terhenti karena masalah itu, dan
ketika Jacob & Young, Corp. meminta sisa pembayaran yang belum diselesaikan,
George E. Kent menolak melakukannya.
Berdasarkan hal tersebut akhirnya Jacob & Young, Corp. menggugat
George E. Kent di muka pengadilan untuk menuntut pelunasan pembayaran. Pada
saat itu, hakim Benjamin N. Cardozo yang mengadili perkara itu mengeluarkan
putusan yang pada intinya mengatakan George E. Kent harus melakukan
pelunasan pembayaran seperti apa yang diperjanjikan didalam perjanjian antara
Jacob & Young, Corp. dengan George E. Kent.
Dalam perkara ini, apabila ditinjau dari kontrak sepintas terlihat seperti
ada sebuah pelanggaran yang dilakukan oleh pihak Jacob & Young, Corp.
mengenai spesifikasi material (pipa) yang akan digunakan dalam pembangunan
rumah George E. Kent. Namun, berdasarkan fakta yang ditemukan dalam
persidangan, bahwa pipa Reading dan pipa Cohoes tidak memiliki perbedaan
dalam hal kualitas dan harga namun hanya perbedaan merek, hal tersebut yang
kemudian mendorong hakim Benjamin N. Cardozo untuk memutuskan bahwa
pihak Jacob & Young, Corp tidak melakukan pelanggaran. Selain itu di sisi lain
juga pihak Jacob & Young, Corp. telah melaksanakan kontrak tersebut secara

Universitas Sumatera Utara

102

substansial dan tidak melakukan pelanggaran material apapun dalam menjalankan
kewajibannya.
Apabila ditinjau dari doktrin yang hidup dalam hukum perjanjian negara
common law, yaitu doktrin substantial performance. Memang pada dasarnya
Jacob & Young, Corp. telah melakukan kewajibannya secara substansial, yaitu
dengan melakukan pembangunan rumah hingga pada akhirnya pihak Jacob &
Youn