Hubungan Ekspresi NF-KB pada astrositoma dengan sistem klasifikasi WHO dan Luaran di RSUP. H. Adam Malik Medan tahun 2015.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Glioma dan bentuk epitel paling malignan, glioblastoma, merupakan sekumpulan
tumor otak primer, dimana pengobatannya belum dapat ditemukan hingga saat ini. Meskipun
dengan terapi paling radikal saat ini, nilai median ketahanan hidup penderitanya hanya 14,8
bulan. Tanpa terapi apapun nilai median ketahanan hidup penderitanya antara 1 hingga 3
bulan. Ilmu sains telah mencapai batasan terbaiknya dalam menemukan sebuah taget
terapeutik yang berpotensial menyembuhkan, dimana obat kemoterapi saat ini tidak terlalu
bermanfaat di otak dalam hal penyembuhan. Jalur NF-κB merupakan sinyal utama yang
meregulasi progresi dan resistensi tumor serta memegang peran penting dalam merespon
cedera dan inflamasi sehingga memperlihatkan target potensial dalam menjadi terapi
kedepannya

(Omuro, 2013).

NF-κB pada glioma sendiri dan aktifasi secara berkesinambungan merupakan faktor
utama dalam progresi tumor, proliferasi sel tumor, kemampuan invasif dan transisi terhadap
fenotipe mesenkim yang lebih agresif, namun, masih belum dapat diketahui pasti dalam
tingkatan apa NF-κB mengirim sinyal dalam cakupan mikro tumor yang nantinya
berkontribusi ke progresi glioma. Lingkungan mikro GBM terdiri atas endotelium, makrofag/

mikroglia yang berhubungan dengan tumor, neuroglia, sel-sel neural dan matriks
ekstraseluler sekitarnya (Puliyappadamba et al., 2014).
Sebuah penelitian memeriksa efek defisiensi NF-κB stromal pada pertumbuhan dan
invasi GBM dengan cara menggunakan tikus transgenik yang mempunyai reseptor 1 faktor
nekrosis tumor yang kurang (TNFR-/-) dan berupa keturunan yang memiliki faktor
transkripsi RelA/p65 (p65+/-) dan dibandingkan dengan tikus yang serupa namun akan
diimplankan sel GBM (GL261), peneliti menemukan sel GBM tikus yang dengan NF-κB,

Universitas Sumatera Utara

lebih rendah dari tikus lainnya. Dari sudut imunohistokimianya ditemukan adanya penurunan
reaktifitas astroglial dan berkurangnya infiltrasi makrofag/mikroglia yang berkaitan dengan
tumor (TAM) ini meskipun adanya argumentasi mengenai densitas mikrovaskularnya.
Makrofag ini menunjukkan pengurangan Arginase secara drastis, yaitu penanda alternatif
mikroglia yang teraktifasi (M2), berhubungan dengan TAM. Dalam menganalisa astrosit
dengan defisiensi NF-κB dapat menunjukkan pengurangan migrasi dan peningkatan produksi
proteoglikan ECM yang dapat dikonfirmasi secara in vivo. Peneliti menemukan ECM yang
terakumulasi lebih banyak terinhibisi pada otak dengan defisiensi NF-κB, hal ini dapat
menjadi alasan lain dipilihnya fenotipe ini. Kesimpulannya, hasil – hasil ini menunjukkan
bahwa inhibisi sinyal NF-κB pada stroma otak menciptakan lingkungan mikro yang kurang

reaktif namun lebih tidak teratur untuk progresi tumor, menggaris bawahi relevansi jalur ini
sebagai target penting dalam terapi GBM (Atkinson, Nozell, & Benveniste, 2010).
Glioma merupakan tumor otak primer malignan paling sering terjadi pada orang dewasa.
Tumor ini dapat tumbuh dimana saja pada sistem saraf pusat (SSP), baik di otak maupun di
tulang belakang, namun paling sering di otak. Glioma berasal dari dari jaringan glial dan
merupakan kelompok neoplasma yang bersifat heterogen didalam SSP, dalam morfologi,
potensi pertumbuhan dan kemampuan invasif, penyebaran berdasarkan usia dan jenis
kelamin, kemampuan progresi dan dalam reaksi menerima obat-obatan terbaru (Omuro,
2013).

2.1.

Epidemiologi
Tumor otak primer diderita sebanyak 2 persen dari seluruh jenis kanker pada orang

dewasa di AS, dari 17.000 tumor primer otak yang terdiagnosis tiap tahunnya, sekitar 60-80%
merupakan glioma. Nilai insidensi glioma berdasarkan usia (ICD-O-3 morphology codes
9440 - 9480) berkisar 4,67 hingga 5,73 dari 100.000 orang. Glioma (ICD-O-3 morphology

Universitas Sumatera Utara


codes 9380-9384, 9391-9460, 9480) didapati mencapai 28% dari seluruh tumor SSP dan 80%
dari tumor malignan (Ostrom et al., 2013). Glioblastoma dapat dikategorikan sebagai tumor
primer ataupun sekunder, melalui dua jalur, yaitu de novo dan progresif (gambar 1).
Astrositoma yang melalui jalur de novo berarti berasal dari fokus primer (astrosit itu sendiri).

Gambar 1. Mekanisme terjadinya glioma (Ohgaki & Kleihues, 2013)

Glioblastoma primer mencakup mayoritas daripada kasus (60%) pada orang dewasa
usia lebih dari 50 tahun. GBM primer muncul tanpa gejala klinis atau histopatologi yang
spesifik, dengan lesi yang terlihat tidak terlalu malignan dan riwayat gejala klinis yang
pendek, biasanya kurang dari 3 bulan (Ohgaki & Kleihues, 2013).
Pada pasien dengan usia dibawah 45 tahun (40% dari keseluruhan) GBM sekunder
berkembang melalui progresi dari astrositoma derajat rendah (WHO Gr.II) ataupun
astrositoma anaplastik (WHO Gr.III). Terdapat sebuah variasi berhubungan yang dengan
perkembangan tumor ini, yaitu berjarak kurang dari 1 tahun hingga dapat lebih dari 10 tahun,

Universitas Sumatera Utara

dengan interval nilai mean 4-5 tahun. Glioblastoma primer dan sekunder membentuk cakupan

penyakit khusus yang berkembang melalui jalur-jalur berbeda, mengenai kelompok umur
berbeda, dan merespon secara berbeda terhadap terapi standar. Sebagai hasil perhitungan dari
mutasi multipel glioblastoma, didapatkan jumlah perubahan genetik yang tertinggi jika
dibandingkan dengan astrositoma jenis lainnya. Namun, kedua tumor ini tidak dapat
dibedakan secara morfologis dan klinis, terlihat hanya dari persamaan prognosisnya yang
buruk jika diukur berdasarkan usia pasien (Ohgaki & Kleihues, 2013).

2.2.

Grading WHO
Diagnosis glioma malignan berdasarkan tampilan histopatologi dan sitopatologinya,

kebanyakan dilakukan dengan pemeriksaan menggunakan pewarnaan hematoxylin dan eosin
pada lesi. Dalam beberapa tahun ini banyak cara yang telah digunakan dan dikembangkan
untuk mengklasifikasikan dan menghitung derajatnya. WHO mengkategorikan glioma
berdasarkan ICD-O-3 (International Classification of Diseases - Oncology, version 3)
terbarunya, baik yang berasal dari oligodendrositik, astrositik ataupun gabungan keduanya,
dan sekarang diklasifikasikan luas dengan kalsifikasi Mayo, yang mempunyai banyak
keuntungan prognostik dibandingkan dengan kriteria Kernohan (Louis et al., 2007).
St.Anne/Mayo (SA/M) mempelajari empat kriteria histologi tentang neoplasmaneoplasma astrositik, termasuk atypia nuklear, mitosis, sel endotelial dan nekrosis yang

berhubungan dengan ketahanan hidup pasien. Atypia nuklear menjelaskan tentang
hiperkromatasia dan/atau variasi bentuk dan ukuran. SA/M mengkarakteristikkan konfigurasi
normal atau abnormal dalam mitosis dan membedakan proliferasi endotelial apakah terdapat
sel endotelial yang “piled-up” disekitar lumina vaskular, tidak termasuk terjadinya
hipervaskularisasi. Bentuk nekrosis hanya dimasukkan jika terlihat secara jelas,
bagaimanapun juga bentuk samar (pseudopalisading) tunggal tidak diikut sertakan. Grade 1

Universitas Sumatera Utara

ditentukan jika tidak adanya (0) fitur, grade 2 dengan 1 fitur, grade 3 dengan 2 fitur dan grade
4 dengan 3 atau 4 fitur. Proliferasi nekrosis dan endotelial merupakan kriteria tunggal untuk
glioblastoma dimana hal ini hanya ditemukan 8% dari astrositoma grade 3 (Louis et al.,
2007).
Verhaak et al mengintegrasi analisis genomik dan mengkategorikannya dalam subtipe
yang berhubungan klinis kedepannya yaitu klasikal videlicet, neural, proneural dan
mesenkimal. Mutasi GBM yang paling sering terjadi didalam TP53. Pada GBM tipe klasikal
dapat ditemukan amplifikasi kromosom 7 dan delesi kromosom 10, sebagaimana dengan
amplifikasi EGFR digabungkan dengan mutasi EGFRvIII dan delesi Ink4a/ARF. Di lain hal
mutasi


TP

53

berkurang.

Subtipe

mesenkim

dijelaskan

dengan

mutasi/delesi

neurofibromatosis (NF1) dan munculnya CHI3LI, MET dimana keduanya penting dalam
faktor nekrosis dan NF-kappaB15. GBM proneural menjadi mayoritas pada TP53 LOHs dan
menunjukkan PDGFRa (Platelet Growth Factor Receptor a) yang berbeda, baik secara
menahan fenotipe G-CIMP (Glioma CpG island methylator) yang berhubungan dengan

mutasi di IDH ½ (isocitrate dehydrogenase) ataupun secara tanpa G-CIMP dan mutasi IDH
½. Diferensiasi ini menentukan dua subkelas lanjutan pada subkelas16 proneural. Pada
subkelas neural tidak ada abnormalitas molekuler martikular yang bisa ditemukan (Verhaak
et al., 2010).
Klasifikasi genetik mempunyai banyak implikasi, sebagaimana mutasi dan amplifikasi
spesifik dapat digunakan sebagai terapi molekular yang kemudian mempengaruhi
perkembangan ketahanan hidup, khususnya pada glioblastoma rekuren.

Universitas Sumatera Utara

2.3.

Lokasi
Glioblastoma multiform paling sering timbul di area subkortikal bagian white matter

dari hemisfer otak. Lokasi tumor paling sering adalah di lobus temporal (31%), parietal
(24%), frontal (23%), dan lobus oksipital (16%). Lebih tepatnya paling sering di lobus
frontotemporal. Infiltrasi tumor sering berekstensi ke korteks didekatnya atau ke ganglia
basalis. Ketika tumor di korteks frontal menyebar melewati korpus kalosum menuju ke
hemisfer kontralateralnya, akan menciptakan gambaran lesi yang simetris bilateral, yang

disebut juga dengan glioma kupu-kupu (Omuro, 2013).

2.4.

Presentasi Klinis
Gejala dan tanda klinis pasien dengan tumor otak primer dapat berupa general ataupun

fokal. Pada tahap inisial penyakit ini (tumor derajat rendah), kebanyakan gejala terlihat secara
fokal; hanya pada tumor dengan pertambahan ukuran maka gejala generalnya muncul lebih
sering. Gejala general yang paling sering muncul ialah sakit kepala, mual, muntah – muntah,
kejang, dan gangguan fungsi mental (Omuro, 2013).

2.5.

Komorbid
Fisher et.al melakukan analisis komorbid sebelum dan sesudah diagnosis dan

melapokan bahwa kejang merupakan komorbid yang paling sering ditemukan.Schwartzbaum
et.


al.

menunjukkan

resiko

epilepsi

dalam

tujuh

tahun

sebelum

diagnosis

ditegakkan.Tindakan operasi meningkatkan resiko thrombosis vena dalam dan emboli paru,
baik akibat tumor itu sendiri maupun akibat terapi, meskipun tidak signifikan (Omuro, 2013).


Universitas Sumatera Utara

2.6.

Diagnosis
Untuk diagnosis astrositoma, radiologi memegang peranan penting. Hingga sekarang

tidak ada pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis. Menggunakan CT atau
MRI konvensional sangat sulit untuk melakukan klasifikasi.Perkembangan MRI saaat ini
sudah memungkinkan melakukan klasifikasi secara non invasif, mengevaluasi perkembangan
tumor, atau menilai kesuksesan terapi (Omuro, 2013).
Pada CT scan, gambaran khas adalah masa yang menyangat kontras pada bagian tepi
dengan nekrosis sentral atau kista. Bentuk lesi biasanya tidak beraturan disertai dengan
penumbra. Green et.al menunjukkan sel tumor dapat ditemukan sampai sejauh 15 mm diluar
cincin (Omuro, 2013).
Pada MRI penyangatan ini dapat terlihat pada T1 karena bagian ini merupakan bagian
yang pada dengan sel tumor disertai pembuluh darah yang abnormal.Inti yang nekrosis
tampak sebagai daerah hipointens dan sinyal yang berkurang dibagian tepi menunjukkan
edema (Omuro, 2013).

Positron emission tomografi (PET) dapat digunakan untuk membedakan nekrosis
dengan perdarahan dan memiliki nilai prognosis. Peningkatan metabolism glukosa
berhubungan dengan harapan hidup yang lebih rendah dan berguna untuk menentukan
volume tumor yang tersisa setelah operasi (Omuro, 2013).
MR Spectroscopy (MRS) menunjukkan penurunan N-asetil aspartate (NAA)
dibandingkan jaringan saraf normal. Peningkatan laktat ditemukan pada daerah yang nekrosis
dan hipoksia.Pemingkatan rasio kolin-kreatin menunjukkan proliferasi seluler dan
progresifitas glioma (Omuro, 2013).

Universitas Sumatera Utara

2.7.

Terapi
Modalitas terapi yang ada saat ini tidak bersifat kuratif. Tantangan terbesar adalah

tumor yang heterogen dan agesif, disertai sulitnya melakukan kontrol local (Ishkanian, 2011).
Penatalaksanaan standar meliputi pembedahan radikal diikuti dengan radioterapi maupun
kemoterapi (Ishkanian, 2011). Secara umum, kombinasi temozolamide dan kemoterapi
terbukti memberikan keuntungan. Didapati peningkatan harapan hidup sebesar tiga bulan dan
kemungkinan harapan hidup sebesar 17% (Omuro, 2013).
Terapi yang kurang agresif, biasanya berupa radiasi atau kemoterapi saja kadangkadang dianjurkan pada kelompok usia tua atau dengan resiko tinggi. Pada kelompok pasien
dengan usia diatas 70 tahun, radioterapi saja meningkatkan harapan hidup dibandingkan
kelompok yang tidak menjalani radioterapi. Secara umum, rerata harapan hidup penderita
GBM yang hanya mendapat pembedahan adalah sebesar 6,9 bulan (Omuro, 2013).
2.7.1. Terapi molekular
Reseptor tirosin kinase selama ini diketahui memegang peranan penting dalam
proses terjadinya tumor. PDGFR, VEGFR, dan EGFR akan mengaktifasi jalur
PI3K/AKT dan memfasilitasi tumbuhnya tumor. Amplifikasi gen EGFR dan mutasi
menjadi fenotip EGFR III terjadi pada 40-50% kasus glioma. Mutasi ini akan
meingkatkan efek onkogenik dari EFGR. Sayangnya, inhibitor EGFR tirosin kinase
tidak menunjukkan hasil yang menjanjikan seperti pada tumor paru.Meskipun
demikian, Gacomitinib, generasi kedua inhibitor EGFR tirosin kinase sepertinya
cukup menjanjikan dan saat ini sedang diujicobakan pada ujin klinis fase II (Omuro,
2013).
EGFR akan menyebabkan peningkatan aktivitas STAT3. Selain itu, EGFR akan
mengaktifasi NF-κB. Aktifasi NF-κB akan menyebabkan tumor semakin ganas dan

Universitas Sumatera Utara

resistensi terhadap temozolamide. Karena itu, NF-κB dapat menjadi salah satu target
terapi molekuler (Omuro, 2013).
2.7.2. Pembedahan
Prinsip pembedahan pada GBM bukanlah kuratif, meskipun luasnya pembedahan
dan jumlah sisa tumor setelah operasi akan mempengaruhi harapan hidup secara
signifikan. Pada kelompok pasien dengan sisa masa yang menyangat kontras, harapan
hidup adalah sebesar 11,8 bulan. Sementara itu, jika masa yang menyangat kontras
tidak terlihat pada MRI kontras, harapan hidup adalah 16,7 bulan. Reseksi total pada
prinsipnya akan memberikan keuntungan yang lebih jika dibandingkan reseksi
subtotal. Dua meta-analis menunjukkan rata – rata harapan hidup lebih panjang tiga
bulan pada kelompok yang mendapat reseksi total. Reseksi subtotal akan
meningkatkan resiko perdarahan setelah operasi dan kemungkinan herniasi, disebut
wounded glioma syndrome. Karena itu luasnya pembedahan harus ditentukan sebelum
operasi karena hal ini dipengaruhi loksasi tumor.Fado et.al menunjukkan korelasi
antara morbiditas dan mortalitas dengan lokasi tumor.Mortalitas dan komplikasi
setelah operasi lebih banyak terjadi pada lesi yang berlokasi di garis tengah dan otak
dalam (Y.-H. Kim & Kim, 2012)
Kontraindikasi relatif untuk pembedahan adalah lesi luas pada sisi dominan, lesi
dengan keterlibatan bilateral yang hebat, GBM multipel, usia tua, dan karnofsky
dibawah 70. Sebagai alternatif Piepmeyer dan Quigley menyarankan bahwa tujuan
operasi adalah mengurangi efek masa, bukan hanya sitoreduksi (Hentschel & Lang,
2003).
Kualitas hidup harus selalu menjadi pertimbangan.Dengan bantuan radiologi
modern, kualitas hidup lebih mungkin untuk dipertahankan tanpa menyebabkan
munculnya defisit baru.Kebanyakan rekurensi GBM terjadi pada dasar tumor atau 2

Universitas Sumatera Utara

cm disekitar tumor.Operasi kembali pada kasus ini sebaiknya dipertimbangkan hanya
pada kasus dengan efek masa yang jelas. PET scan dan MR spektroskopi akan
berguna untuk membedakan tumor rekuren dengan nekrosis setelah radiasi. PET scan
dilaporkan lebih superior dibandingkan MR spektroskopi untuk menyingkirkan perlu
tidaknya dilakukan operasi kembali (Y.-H. Kim & Kim, 2012)
2.7.3. Radioterapi
Radioterapi menunjukkan meningkatnya angka harapan hidup 3 – 4 bulan sampai
7 – 12 bulan dibandingkan dengan operasi saja. Dosis 60 Gy sebanyak 5 hari dalam
seminggu dengan dosis terbagi 1,8-2,0 Gy selama 6 minggu adalah dosis lazim yang
digunakan. Dosis dibawah 45 Gy tidak dianjurkan karena angka median survival yang
rendah yaitu 4 bulan dibandingkan dengan radiasi standar (Taw, Gorgulho, Selch, &
De Salles, 2012).
Respon radiasi terhadap glioblastoma ditemukan bervariasi.Karakteristik GBM
adalah fase remisi terjadi hanya dalam jangka waktu pendek. Rekurensi terutama
terjadi pada satu tahun pertama dan berhubungan dengan perburukan klinis.meskipun
demikian, pada dasarnya radioterapi akan menyebabkan fase remisi dengan perbaikan
difisit neurologis serta berkurangnya masa yang menyangat kontras. Fokal radioterapi
digunakan untuk mengurangi kerusakan jaringan disekitar otak. Hal ini didukung oleh
dua studi yang membandingkan radiasi whole-brain dan rekurensi tumor dimana
rekurensi tumor terjadi 2 cm dari tempat tumor awal sebanyak 90% dan terjadi pada
78% pasien. Meskipun demikian resiko terjadinya efek samping lebih tinggi pada
pasien yang menjalani radiasi whole-brain (Taw et al., 2012).
Untuk mengurangi kerusakan pada jaringan otak yang sehat, brakiterapi mungkin
dapat menjadi pilihan. Sayangnya, brakiterapi tidak terbukti meningkatkan harapan
hidup secara signifikan.Sneed et.al dalam penelitiannya menunjukkan median harapan

Universitas Sumatera Utara

hidup dua bulan lenih panjang pada kelompok brakiterapi.Kelemahan utama
brakiterapi adalah lebih dari separuhnya memerlukan pembedahan tambahan untuk
membuang jaringan sudah rusak akibat radiasi.Waters et.al hanya mampu
menbuktikan perbaikan progression free survival, tetapi overall survival tidak
berbeeda dengan kelompok radioterapi konvensional (Taw et al., 2012).
Pada GBM yang rekuren, peranan radioterapi masih diperdebatkan. Beberapa
penelitian membuktikan stereotaktik radiosurgery akan bermanfaat, tetapi beberapa
penelitian lain tidak mendukung hal tersebut. Harapan pada masa depan antara lain
adalah dengan penggunaan radio sensitizer atau kemoterapi dengan target molekuler
(Taw et al., 2012).
2.7.4. Kemoterapi
Sekitar seperempat pasien mengalami peningkatan harapan hidup signifikan
setelah pemberian kemoterapi adjuvant. Dalam meta-analisisnya, Stewart et.al
menyimpulkan kemoterapi meningkatkan survival rate satu tahun pada 6 sampai 10
persen kasus (Nagasawa et al., 2012).
Kemoterapi yang paling banyak digunakan saat ini adalah temozolamide.
Temozolamide merupakan kemoterapi oral yang digunkan pada penderita yang baru
pertama kali didiagnosis dengan GBM.Kemoterapi ini disetujui penggunaanya oleh
FDA pada tahun 2005 dan telah terbukti meningkatkan harapan hidup. Pemberian
temozolamide

bersamaan

dengan

radiasi

berhubungan

dengan

peningkatan

progression free survival (6,9 dibandingakn 5 bulan), overall survival (14,6
dibandingkan 12,1 bulan), serta kecenderungan untuk tetap hidup setelah dua tahun
(26% dibandingkan 10%) (Nagasawa et al., 2012).
Temozolamide akan memetilasi rantai DNA, membentuk N-3-metil adenine, N-7metilguanin, dan O-6-guanin. Proses ini akan merusak rantai DNA dan pada akhirnya

Universitas Sumatera Utara

menyebabkan terjadinya apoptosis. Sayangnya, 60% sel glioma memiliki O-6-metilguanin metil transferase (MGMT) yang menghalangi metilasi ini dan menyebabkan
resistensi terhadap temozolomide. Jika gen ini dapat dihambat, misalnya melalui
metilasi gen promoter MGMT, akan terjadi gangguan sintesis enzim perbaikan tumor
pada 40% kasus. Ini terbukti meningkatkan harapan hidup menjadi 21,7 bulan
(dibandingkan 12,7 bulan) dan harapan hidup dua tahun menjadi 46% (dibandingkan
13%). Penggunaan kortikosteroid ditakutkan akan menghalangi aktifitas metilasi
MGMT dan menyebabkan MGMT lebih stabil. Hal lain yang dapat menyebabkan
resistensi terhadap temozolomide adalah base excision repair (BER) dan poly (ADPribose) polymerase (PARP) (Nagasawa et al., 2012).
Obat-obatan yang dapat mengatasi permasalahan MGMT ini antara lain O6benzilguanin, inhibitor PARP. Selain itu, pSTAT3 kelihatannya dapat menjadi target
yang potensial karena berperan dalam peningkatan MGMT setelah transkripsi dan
terlihat ikut meningkat bersama MGMT pada kasus glioblastoma rekuren (Nagasawa
et al., 2012).
Meskipun temozolamide merupakan terapi glioblastoma lini pertama, penelitian
lebih lanjut masih diperlukan untuk menentukan kelompok mana yang paling banyak
mendapatkan manfaat dari kemoterpi ini (Nagasawa et al., 2012).
Selain temozolomide, kemoterapi lain yang banyak digunakan adalah nitrosourea,
terutama carmustine (BCNU). BCNU merupakan polimer yang ditanamkan pada
dasar tumor.BCNU meningkatkan harapan hidup sebesar dua bulan dengan respon
maksimum sebesar 30 sampai 40%.Sayangnya, penggunaan BCNU berhubungan
dengan peningkatan resiko kebocoran CSF dan peningkatan TIK akibat edema dan
efek masa (Nagasawa et al., 2012).

Universitas Sumatera Utara

Pembedahan yang dilanjutkan dengan radioterapi meningkatkan harapan hidup
satu tahun (44%), 3 tahun (6%) dan 5 tahun (0%). Sebagai perbandingan, jika
dilakukan penambahan BCNU atau cisplatin sebagai adjuvant, harapan hidup satu
tahun menjadi 46%, 3 tahun menjadi 18%, dan 5 tahun menjadi 18% (Nagasawa et
al., 2012).
Pada kasus glioblastoma rekuren, kemoterapi belum terbukti meningkatkan
harapan hidup. Pada kasus rekuren, kemoterapi antiangiogenik memberikan sedikit
keuntungan.Kombinasi Bevacizumab dengan irinotecan memperbaiki survival 6 bulan
menjadi 46% (dibandingkan 21% pada kelompok yang hanya mendapatkan
temozolamide).Keuntungan

tambahan

dari

penggunaan

bevacizumab

adalah

berkurangnya edema disekitar tumor (Nagasawa et al., 2012).
Hambatan terbesar dari kemoterapi pada SSP adalah sawar darah otak. Sawar
darah otak akan sangat menghalangi masuknya kemoterapi pada SSP. Salah satu cara
mengatasinya adalah dengan pemberian intraventrikel. Meskipun demikian, belum
ada penelitian yang membuktikan efektivitas metode ini (Nagasawa et al., 2012).
2.8.

Harapan hidup
Pada glioma ganas ada tiga faktor independen yang mempengaruhi harapan hidup.

Derajat keganasan glioma akan mempengaruhi harapan hidup. Pada kelompok anaplastik
astrositoma harapan hidup adalah 2-3 tahun.Sementara itu pada GBM harapan hidup
kebanyakan pasien adalah dibawah satu tahun (Colen & Allcut, 2012).
Faktor kedua adalah usia. Separuh penderita berusia dibawah 40 tahun memiliki harapan
hidup sampai 18 bulan, sementara pada kelompok usia diatas 60 tahun, harapan hidup 18
bulan hanya berkisar 10% (Colen & Allcut, 2012).

Universitas Sumatera Utara

Faktor ketiga adalah keadaan umum pasien.Kebanyakan penilaian dilakukan dengan skor
karnofsky.Jika skor karnofsky diatas 70, harapan hidup 18 bulan mencapai 34%.Sebaliknya
jika karnofsky dibawah 60, harapan hidup 18 bulan hanyalah 13% (Colen & Allcut, 2012).
Pemberian terapi termutakhir sekalipun hanya akan meningkatkan harapan hidup satu
tahun pendertita GBM menjadi 36% dan harapan hidup dua tahun menjadi 12%. Dalam
analisisnya, Burger et.al menemukan empat kelompok resiko yang berbeda.Kelompok resiko
rendah adalah pasien berusia dibawah 40 tahun dan tumor berlokasi di frontal.Rerata hidup
pada kelompok ini adalah 33 bulan dengan kemungkinan bertahan hidup selama 2 tahun
mencapai 65%.Jika tumor berada di luar lobus frontal, harapan hidup turun menjadi 18 bulan
dengan kemungkinan bertahan hidup dua tahun menjadi 35%. Pada usia diatas 40 tahun,
status pasien akan menjadi lebih menentukan. Jika skor karnnofsky diatas 70, harpan hidup
16 bulan tetapi dengan emungkinan berthan hidup dua tahun sebesar 17%.Kelompok resiko
tinggi merupakan pasien berusia 65 tahun atau pasien berusia dibawah 65 tahun dengan skor
karnofsky dibawah 80. Selain itu kelompok resiko tingggi lain adalah kelompok pasien yang
hanya mendapatkan tindakan biopsy. Harapan hidup kelompok ini adalah 9 bulan dengan
kemungkinan berthan hidup selama dua tahun sebesar 4% (Colen & Allcut, 2012).
2.9.

NF-κB
NF-κB adalah kelompok faktor transkripsi yang berikatan dengan rantai ringan

immunoglobulin kappa pada sel B yang aktif. Secara structural, NF-κB terdiri dari
homodimer dan heterodimer berupa NF-κB1, NF-κB2, REL A, dan c-REL. pada sel yang
tidak aktif, NF-κB biasanya tidak aktif akibat peranan inhibitor IκBa. Jika terjadi stimulus
berupa sitokin maupun kerusakan DNA, terjadi fosforilasi IkBa, dan pada akhirnya
menyebabkan lepasnya NF-κB.NF-κB yang sudah bebas kemudian bergerak menuju nucleus
dan berperan sebagai faktor transkripsi. Sitokin-sitokin yang dapat mengaktifkan NF-κB ini
antara lain TNF, EGF, dan VEGF (Puliyappadamba et al., 2014).

Universitas Sumatera Utara

2.9.1. NF-κB dan GBM
Beberapa penelitian menunjukkan adanya aktifasi NF-κB pada GBM. Pada
glioma, target NF-κB antara lain adalah gen pengatur siklus sel, sitokin inflamasi, dan
molekul perlekatan sel yang mengatur tumbuhnya tumor dan metastasis. Target utama
tersebut adalah cyclin B1, protein pengatur siklus sel, XIAP1, protein anti apoptosis,
serta protein inflamasi seperti IL6, IL8, dan MMP9 (Puliyappadamba et al., 2014).
2.9.2. Mekanisme Utama Aktifasi NF-κB

Aktifasi NF-kB bisa melalui dua cara yaitu jalur klasik dan jalur alternatif. Pada
jalur klasik aktivasi NF-kB terjadi melalui heterodimer p50 & p65 selanjutnya NF-kB
dimer diinaktifkan oleh protein I-kB. Signal reseptor cenderung mengaktivasi
multisubunit I-kB kinase (IKK) kompleks yang akan memfosforilasi I-kB dalam dua
kunci serin. Fosforilasi I-kB menandainya untuk degradasi translokasi ke dalam inti,
mengikat DNA dan terjadi aktivasi transkripsi. Sementara pada jalur alternatif, NF-kB
dimer dalam kondisi inaktif oleh adanya pemanjangan domain C-terminal pada salah
satu bentuk prekursor, p50 atau p52. p50 & p52 disintesis sebagai prekursor yg lebih
panjang menjadi p105 dan p100. Pemanjangan domain C-terminal pada prekursor
(strukturnya homolog dengan I-kB dan memiliki fungsi yang sama). Jika prekursor
p105 diproses menjadi p50, maka p100 tidaklah demikian, tetapi disimpan sebagai
partner regulator pada NF-kB heterodimer. Pada jalur survival sel B terlihat ikatan
heterodimer p100-RelB yg akan menjadi inaktif oleh adanya pemanjangan domain Cterminal sampai p100 diaktifkan oleh molekul famili TNF (B -cell activating factor,
BAFF) (Furnari, 2007).

Pada tingkatan molekul, sistem imun innate yang dipusatkan pada aktivasi dari
NF-kB mempunyai kemampuan menginduksi transkripsi dari beberapa sitokin

Universitas Sumatera Utara

proinflamasi, kemokin, molekul adesi, NO dalam merespon stimulasi oleh sinyal yang
berhubungan dengan patogen atau stres. Selain itu NF-kB mengontrol ekspresi dari
banyak gen adaptif seperti MHC dan gen penting untuk regulasi apoptosis (Furnari,
2007).

Gambar 2.Mekanisme aktivasi NF-κB.

Universitas Sumatera Utara