PELAKSANAAN PERIZINAN PENDIRIAN KLINIK DI KOTA DENPASAR SETELAH DIKELUARKANNYA PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG KLINIK.

(1)

i

SKRIPSI

PELAKSANAAN PERIZINAN PENDIRIAN KLINIK DI

KOTA DENPASAR SETELAH DIKELUARKANNYA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK

INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG

KLINIK

A.A. GDE BAYU PUTRA PEMAYUN NIM. 1203005030

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

ii

SKRIPSI

PELAKSANAAN PERIZINAN PENDIRIAN KLINIK DI

KOTA DENPASAR SETELAH DIKELUARKANNYA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK

INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG

KLINIK

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

A.A. GDE BAYU PUTRA PEMAYUN NIM. 1203005030

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(3)

(4)

(5)

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, oleh karena atas segala petunjuk dan bimbingan Nyalah, maka penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang menjadi persyaratan untuk dapat meraih gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana. Adapun skripsi ini berjudul “PELAKSANAAN PERIZINAN PENDIRIAN KLINIK DI KOTA DENPASAR SETELAH DIKELUARKANNYA PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG KLINIK”.Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini jauh dari sempurna mengingat keterbatasan pengetahuan dan kemampuan penulis. Untuk itu saran yang bersifat membangun demi sempurnanya skripsi ini penulis terima dengan senang hati.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mendapatkan arahan dan dukungan dari berbagai pihak baik secara materiil maupun immaterial. Melalui kesempatan yang terhormat ini penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada yang terhormat :

1. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH., MH. Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana dan selaku Pembimbing I yang sangat sabar dalam membimbing serta member masukan-masukan kepada penulis dan berkenan meluangkan waktu beliau guna memberikan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini;


(6)

vi

2. Bapak I Ketut Sudiarta, SH., MH. Selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Udayana;

3. Bapak I Wayan Bela Siki Layang, SH., MH. Selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Udayana;

4. Bapak I Wayan Suardana, SH., MH. Selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana;

5. Bapak I Ketut Suardita, SH., MH. Selaku Ketua Bagian Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana;

6. Ibu Cok Istri Anom Pemayun, SH.,MH. Selaku Pembimbing II yang telah membimbing, mengarahkan dan memberikan saran kepada penulis dengan baik hati dalam penyusunan skripsi ini;

7. Ibu Ni Made Ari Yuliartini Griadhi, SH.,MH. Selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan petunjuk dan arahan selama penulis mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Udayana;

8. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana, yang telah memberikan pengajaran selama penulis mengikuti perkuliahan;

9. Seluruh Staf Tata Usaha, Perpustakaan, Laboratorium dan seluruh pegawai Fakultas Hukum Universitas Udayana, yang telah memberikan pelayanan mendukung selama perkuliahan dan penyusunan skripsi;


(7)

vii

10.Ibu dr. Luh Putu Sri Armini, M.Kes. Selaku Kepala Dinas Kesehatan Kota Denpasar dan Bapak A.A Ngurah Bawa Nendra SH, M.Si. selaku Kepala Bidang Pengkajian dan Pengembangan pada Badan Pelayanan Perijinan Terpadu Satu Pintu & Penanaman Modal (BPPTSP&PM) Kota Denpasar, yang telah memberikan informasi kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini;

11.Kepada keluarga penulis Ayah tercinta A.A. Gde Raka Pemayun, Ibu tercinta Desak Nyoman Widiasih Nida, dan adik tersayang A.A. Gde Ari Widhiasmana Pemayun yang dengan penuh kasih mendoakan, memberikan dukungan, dan cinta kasih yang luar biasa sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini;

12.Kepada sahabat-sahabat seperjuangan penulis, Putu Kevin Saputra Ryadi, Gusti Made Triantaka, A.A Ngurah Ari Dwiatmika, Pramitha Asti, Ari Astuti, Ema Wulandari, Gek Mas, Tami, Ayu Purwati (kapal), Sulbianti, Gekin Damayanti, Dewi Lestari, Arista Wirdiantara, Putri Purnama Santhi (Boldes), Trisna Anggita, Maria Margaretha, Yudi Gabriel, Dayu, Leona, Nia, Intan, Yupit, Alit, Yeyen, Gung Ari, Nita, Ayu Purnama, Tebo, Bagus, Ayu Pasek, Gung Gus, Tamy, Baruna, Gung Dalem, Dedek, Lepok, (Teman Kelas A) serta rekan-rekan Fakultas Hukum Universitas Udayana Angkatan 2012 yang telah menemani mulai dari awal kuliah hingga menyelesaikan jenjang pendidikan sarjana ini


(8)

viii

13. Kepada kakak-kakak senior angkatan 2011, Elcyntia, Susi Hertati, Riyani Kartika Sari, Yogi Prasada, Alvin Janitra, Hendra Rusliyadi, dan Cintya Virgyanti yang telah menemani, membantu, dan memberi arahan selama perkuliahan hingga menyelesaikan jenjang pendidikan sarjana ini.

14. Kepada keluarga besar Udayana Moot Court Community (UMCC) mulai dari angkatan 2010, 2011, dan 2012 yang senantiasa memberikan pengalaman berharga dan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini, terutama fungsionaris tahun kepengurusan 2013-2014, Kak El, Kak Riyani, Kak Susi, Kak Gung Chris, Kak Nadira, Kak Usro, Kak Ebong Kak Alvin, Taka, Gekin, Kevin, Gung Arik, Ema, Mita, Tutik, Tamy, Ayu Kapal, Gek Mas (AMP), Anggi, Zaky, Balon, Dedek, Ngurah, dan delegasi Piala Prof. Soedarto IV, Kak Juli, Kak Apdila, Kak Riyani, Kak Dasri, Kak Cintya, Kak Gunggek, Kak El, Kak Aloy, Kak Yogi, Kak Alvin, Kak Susi, Taka, Kevin Saputra, Gung Arik, Gek In, Nisa, Tasya, Fachri;

15. Kepada keluarga Besar GenBI (Generasi Baru Indonesia) Provinsi Bali yang senantiasa memberikan pengalaman berharga dan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini, Kak Wiwik, Agus Satria, Mira, Widya, Purnama Wirawan, Dimas, Niza, Agus Adi, Agustin, Ayu Primayanti, Diah, Dian, Dirga, Hary, Iwan, Jeje, Sriani, Rangga, Warda; 16. Kepada keluarga KKN-PPM 2015 di Desa Nyalian, Toni, Gung In, Yesi

Dip, Agus Kage, Hendra, Agus Kesuma, Nala, Ardi, Chandra, Eka, Made Kurniawan (godel), Ayun, Dayu, Lina, Lisa, Opik, Putra, Gus Tris, Gung


(9)

ix

Is, Widy, Windek, Yuni, Asri. yang senantiasa memberikan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini,

17.Seluruh pihak yang terlibat dan tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu, mendukung dan mendoakan penulis selama perkuliahan dan penyusunan skripsi ini.

Semoga mereka yang mendoakan, memberikan arahan, bantuan dan dukungan kepada penulis, mendapatkan imbalan dan kemudahan dalam setiap langkah dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih dan semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak pada umumnya dan bagi perkembangan ilmu hukum pada khususnya.

Denpasar 19 Februari 2016


(10)

(11)

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ... i

HALAMAN PERSYARATAN GELAR SARJANA HUKUM ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... iii

HALAMAN PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ... iv

KATA PENGANTAR ... v

HALAMAN SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... x

DAFTAR ISI ... xi

ABSTRAK ... xvi

ABSTRACT ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 7

1.3 Ruang Lingkup Masalah... 8

1.4 Orisinalitas Penelitian ... 8


(12)

xii

1.6 Manfaat Penelitian ... 10

1.7 Landasan Teoritis ... 10

1.8 Metode Penelitian ... 19

1.8.1 Jenis Penelitian ... 19

1.8.2 Jenis Pendekatan ... 19

1.8.3 Sifat Penelitian ... 20

1.8.4 Sumber Data ... 20

1.8.5 Teknik Pengumpulan Data ... 20

1.8.6 Teknik Pengolahan Dan Analisis Data ... 22

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERIZINAN PENDIRIAN KLINIK ... 25

2.1 Perizinan ... 25

2.1.1 Pengertian Perizinan ... 25

2.1.2 Unsur-Unsur Perizinan ... 27

2.1.3 Fungsi Dan Tujuan Perizinan ... 34

2.1.4 Bentuk Dan Isi Perizinan ... 35


(13)

xiii

2.2.1Pengertian Klinik ... 39

2.2.2 Jenis Klinik ... 40

2.2.3 Pengaturan Klinik Di Indonesia... 41

BAB III MEKANISME PERIZINAN PENDIRIAN KLINIK DI KOTA

DENPASAR SETELAH DIKELUARKANNYA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK

INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG KLINIK ... 43

3.1 Pengaturan Mengenai Perizinan Pendirian Klinik Di Kota Denpasar Sebelum dan Setelah Dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 9 Tahun 2014 Tentang Klinik ... 43

3.1.1 Pengaturan Mengenai Perizinan Pendirian Klinik di Kota Denpasar Sebelum Dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9

Tahun 2014 Tentang Klinik ... 43

3.1.2 Pengaturan Mengenai Perizinan Pendirian Klinik di Kota Denpasar setelah Dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9

Tahun 2014 tentang Klinik ... 50

3.2 Mekanisme Perizinan Pendirian Klinik di Kota Denpasar Setelah Dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan


(14)

xiv

Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 Tentang

Klinik ... 59

3.3 Pengawasan Perizinan Pendirian Klinik di Kota Denpasar Setelah Dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014

Tentang Klinik ... 62

BAB IV HAMBATAN YANG DIHADAPI DALAM PELAKSANAAN PERIZINAN PENDIRIAN KLINIK DI KOTA DENPASAR

SETELAH DIKELUARKANNYA PERATURAN

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG KLINIK ... 65

4.1 Hambatan Yang Terjadi Dalam Pelaksanaan Perizinan Pendirian Klinik Di Kota Denpasar Setelah Dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 Tentang Klinik ... 65

4.2 Usaha Pemerintah Kota Denpasar Dalam Mengatasi Hambatan Yang Terjadi Dalam Pelaksanaan Perizinan Pendirian Klinik Di Kota Denpasar Setelah Dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 Tentang Klinik ... 75


(15)

xv

5.1 Kesimpulan ... 80

5.2 Saran ... 81


(16)

xvi ABSTRAK :

Tingginya kebutuhan atas pelayanan kesehatan menimbulkan banyaknya pertumbuhan klinik di Kota Denpasar. Untuk mengatur pertumbuhan klinik tersebut diperlukan aturan-aturan perizinan yang dapat memberikan batasan dalam penyelenggaraan klinik. Pengaturan perizinan klinik di Kota Denpasar diatur dalam Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 4 Tahun 2003 tentang Retribusi perijinan di Bidang Kesehatan, diatur lebih rinci mengenai persyaratannya dalam Keputusan Walikota Denpasar Nomor 339 Tahun 2003 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 4 Tahun 2003 tentang Retribusi perijinan di Bidang Kesehatan dan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2014 tentang Klinik. Adanya dua aturan hukum yang sama-sama mengatur mengenai klinik namun memiliki persyaratan yang berbeda membuat masyarakat menjadi bingung dan pelaksanaan dari aturan hukum menjadi kurang efektif. Penelitian ini penting dilakukan untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan perizinan pendirian klinik, juga dapat mengetahui bagaimana hambatan dan upaya dalam pelaksanaan perizinan pendirian klinik setelah dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2014 tentang Klinik.

Jenis penelitian hukum yang digunakan dalam membahas permasalahan ini adalah penelitian hukum empiris. Penelitian empiris merupakan penelitian hukum yang mengidentifikasi hukum (tidak tertulis) dan penelitian terhadap efektifitas hukum.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada Dinas Kesehatan Kota Denpasar dan Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu & Penanaman Modal Kota Denpasar bahwa aturan hukum yang dijadikan dasar pemberian izin pendirian klinik adalah Keputusan Walikota Denpasar Nomor 339 Tahun 2003 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 4 Tahun 2003 tentang Retribusi perijinan di Bidang Kesehatan disempurnakan dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2014 tentang Klinik, sehingga pelaksanaannya belum berjalan efektif. Saran yang dapat diberikan adalah dengan melakukan penyuluhan kepada masyarakat mengenai aturan yang ada dan melakukan pembentukan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Klinik agar adanya kesesuaian antara aturan-aturan hukum yang mengatur mengenai perizinan pendirian klinik di Kota Denpasar.


(17)

xvii ABSTRACT:

The high demand for health care services provokes the number of health clinics in Denpasar. To regulate this situation, licensing rules were required to regulate the limitation of health clinic implementation. The regulation of clinic licensing in Denpasar has regulated on Local Regulation Number 4 in Year 2003 concerning the Licensing Retribution in the field of Health, which has regulated in more detail on Denpasar Mayoral Decision Number 339 in Year 2003 concerning Implementation Direction of Denpasar Local Regulation Number 4 in Year 2003 concerning Licensing Retribution in the field of Health and also has regulated in Health Ministry Regulation Number 9 in Year 2014 concerning Clinic. The existence of two legal rules that are equally set on clinics but have different requirements, it causes confusion to the community and the legal implementation become less effective. This research is important to know how the implementation of licensing the establishment of clinics, and also to find out how the barriers and efforts in the implementation of licensing the establishment of the clinic after the issuance of Health Ministry Regulation Number 9 in Year 2014 concerning Clinic.

This research applies legal empiric. Empiric research is a legal research which applies legal identify (unwritten) and research against the affectivity of law.

According to the research result which has been done by the Denpasar Health Agency and also on Bapan pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu dan Penanaman Modal Kota Denpasar (Licensing Services Agency One Stop and Investment in Denpasar), the rule of law as the basis of granting permits the establishment of the clinic is Denpasar Mayoral Decision Number 339 in Year 2003 concerning Implementation Direction of Denpasar Local Regulation Number 4 in Year 2003 concerning Licensing Retribution in the field of Health improved by Health Ministry Regulation Number 9 in Year 2014 concerning Clinic, so that its implementation has not been effective. The advice can be given is to do outreach to the community about the existing rules and does the establishment of Regional Regulation on Clinical Denpasar so that compatibility between legal rules governing the licensing establishment of clinics in the city of Denpasar.


(18)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kota Denpasar merupakan ibukota Provinsi Bali yang menjadi pusat pemerintahan, perekonomian, pendidikan dan pusat kegiatan lainnya. Luas wilayah Kota Denpasar 127,78 km2 atau 2,27 persen dari seluruh luas daratan Provinsi Bali yaitu 5.632,86 Km2. Jumlah penduduk Kota Denpasar pada tahun 2010 sebanyak 788.589 jiwa yang terbagi dalam 4 kecamatan yaitu, Kecamatan Denpasar Barat, Kecamatan Denpasar Timur, Kecamatan Denpasar Selatan, Kecamatan Denpasar Utara.1 Hal ini menjadi sebuah pekerjaan rumah bagi Pemerintah Kota Denpasar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas pelayanan publik.

Pertumbuhan masyarakat dan perkembangan usaha di Kota Denpasar sangat pesat terjadi, hal ini dikarenakan Denpasar merupakan pusat kegiatan ekonomi di pulau Bali dan juga merupakan salah satu pusat pariwisata di Indonesia. Oleh karenanya Kota Denpasar memiliki daya tarik tersendiri bagi masyarakat luar negeri maupun masyarakat dalam negeri, yang mengakibatkan menumpuknya masyarakat di Kota Denpasar, entah sebagai wisatawan maupun ingin mengadu nasib mencari pekerjaan.

1

Situs Resmi Pemerintah Kota Denpasar, 2015, "Luas Wilayah, Jumlah Rumahtangga, dan Jumlah Penduduk Hasil Sensus Penduduk 2010 Menurut Kabupaten/Kota di Bali", Badan Pusat Statistik Kota Denpasar, URL: http://denpasarkota.bps.go.id/web2015/frontend /linkTabelStatis/view /id/13,diakses tanggal 18 September 2015.


(19)

2

Pemerintah Kota Denpasar dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya dalam melaksanakan kepentingan umum, dibekali dengan instrumen wewenang pemerintah untuk melakukan perbuatan pemerintahan, yang dalam konsep hukum administrasi di Belanda dikenal dengan istilah “besturhandeling” atau dalam hukum administrasi di Indonesia dikenal dengan istilah perbuatan pemerintahan atau tindakan pemerintahan.2 Tindakan pemerintah tersebut kemudian diwujudkan dalam bentuk pelayanan publik. Pelayanan publik yang merupakan kewajiban dari pemerintah kepada setiap warga negara dan penduduk sehingga metode dan prosedur serta senantiasa harus diaktualisasikan sesuai dengan kebutuhan dan harapan masyarakat. Salah satu pelayanan publik yang paling sering dijumpai dalam lalu lintas antara pemerintah dan masyarakat adalam berkaitan dengan perizinan. Pelayanan perizinan dewasa ini masih dirasakan kurang memuaskan dalam berbagai sektor perizinan.

Izin merupakan keputusan tata usaha Negara atau dikenal dengan istilah

beschikking. Beschikking memiliki definisi, “Onderbeschikking’ kan in zijn

algemeenheid worden verstaan: een besluit afkomstig van een bestuursorgaan,

dat gericht is op rechtsgevolg”3

. Secara umum, beschikking dapat diartikan;

2

Kuntjoro Purbopranoto, 1972, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara, Alumni, Bandung, h.44.

3


(20)

3

keputusan yang dikeluarkan oleh organ pemerintahan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum.4

Menurut L.P. Sinambela menyatakan bahwa masyarakat selalu menuntut adanya pelayanan publik yang terbaik dan berkualitas dari pemerintah, walaupun tuntutan tersebut tidak sesuai dengan harapan dari masyarakat, karena secara empiris di masyarakat pelayanan perizinan masih terkesan lambat, berbelit-belit, mahal dan melelahkan. Hal tersebut terjadi dikarenakan masyarakat yang masih diposisikan sebagai yang melayani bukan yang dilayani.5

Masyarakat umum (termasuk kalangan pengusaha atau swasta) masih merasakan bahwa proses pelayanan perizinan yang dilaksanakan oleh aparatur pemerintahan masih terkesan kurang baik di mata masyarakat, seperti proses yang berbelit-belit, tidak adanya transparansi dan juga melelahkan. Masyarakat yang mangajukan permohanan izin sering bolak-balik dari satu kantor ke kantor lainnya hanya untuk mengurus 1 jenis pelayanan perizinan, sehingga masyarakat menjadi malas untuk mengurus izin mereka, maka pelayanan perizinan yang dilakukan oleh aparatur pemerintahan di cap buruk oleh masyarakat. Bagi kalangan usaha permasalahan izin seperti ini tentu saja sangat menghambat, sehingga kepercayaan dari masyarakat dan kalangan usaha terhadap pemerintah akan menurun.

Merespon permasalahan tersebut sebenarnya pengaturan mengenai Pelayanan Publik itu sendiri telah diatur dalam Undang-undang Republik

4

Ridwan HR, 2007, Hukum Administrasi Negara, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.142.

5


(21)

4

Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (UU Pelayanan Publik) pada Pasal 1 menyatakan bahwa “Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.” Yang bertujuan untuk memberikan acuan kepada aparatur pemerintahan dalam memberikan pelayanan publik kepada masyarakat.

Keseriusan pemerintah akan pentingnya pelayanan publik khususnya di bidang perizinan itu sendiri juga di perkuat dengan Pasal 350 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa kepala daerah diwajibkan untuk memberikan pelayanan perizinan. Pasal ini menegaskan bahwa pelayanan perizinan juga merupakan tanggung jawab dari pemerintah daerah, sehingga pelayanan perizinan dapat dilakukan dari lapisan terdekat yaitu Kepala Daerah.

Kota Denpasar telah mengakomodir aturan dalam UU Pelayanan Publik kedalam bentuk Peraturan Walikota yang bertujuan agar mempermudah regulasi pelayanan publik di bidang perizinan yaitu Peraturan Walikota Denpasar Nomor 21 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Perizinan (Selanjutnya disebut Perwali Penyelenggaraan Pelayanan Perizinan), yakni dalam Pasal 2 pada pokoknya menyatakan bahwa, Walikota Denpasar disini menjadi penyelenggara pelayanan perizinan yang mencakup verifikasi permohonan, penandatangan,


(22)

5

penerbitan,pengawasan, pembatalan dan pencabutan izin. Selain itu Walikota Denpasar juga menyelenggarakan pelayanan perizinan yang meliputi 75 jenis izin.

Salah satu dari 75 jenis izin yang diselenggarakan oleh Kota Denpasar adalah ijin penyelenggaraan balai pengobatan / klinik. Dengan jumlah penduduk yang padat tentu saja permasalahan kesehatan juga tinggi di Kota Denpasar, hal ini mendorong banyak bermunculannya Klinik di Kota Denpasar.

Klinik merupakan pilihan tempat pengobatan bagi masyarakat di Kota Denpasar. Hal tersebut menyebabkan banyaknya jumlah klinik yang tersebar di Kota Denpasar yang mempermudah masyarakat dalam menerima pelayanan kesehatan tanpa harus pergi ke Rumah Sakit Daerah, yang mungkin bagi beberapa orang jaraknya cukup jauh.

Begitu pesatnya pertumbuhan klinik di Kota Denpasar tentu saja harus didasarkan Izin penyelenggaraan dari klinik tersebut. Secara khusus pengaturan mengenai perizinan klinik diatur melalui Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 4 Tahun 2003 tentang Retribusi Perijinan di Bidang Kesehatan (Selanjutnya disebut Perda Denpasar Nomor 4 Tahun 2003) dan diuraikan lebih rinci dalam Keputusan Walikota Denpasar Nomor 339 Tahun 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 4 Tahun 2003 tentang Retribusi Perijinan di Bidang Kesehatan di Kota Denpasar (Selanjutya disebut Keputusan Walikota Nomor 339 Tahun 2003).

Pada tahun 2014 dikeluarkanlah Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 tentang Klinik (Permenkes tentang Klinik), dan


(23)

6

dalam aturan ini mengatur mengenai persyaratan untuk mendapatkan izin mendirikan klinik. Dalam beberapa persyaratan yang diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan ini tidak diatur dalam Keputusan Walikota tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 4 Tahun 2003 tentang Retribusi Perijinan di Bidang Kesehatan di Kota Denpasar.

Dalam Permenkes tentang Klinik terdapat persyaratan izin mendirikan Klinik yang terdapat dalam Pasal 26. Begitu pula dalam Keputusan Walikota Nomor 339 Tahun 2003, dalam Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa “Permohonan ijin kegiatan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) keputusan ini wajib memenuhi persyaratan sebagaimana tercantum dalam lampiran keputusan ini”. Namun dalam lampiran Keputusan Walikota Denpasar ini terdapat perbedaan mengenai persyaratan Izin mendirikan klinik yaitu dalam Peraturan Menteri Kesehatan tentang Klinik mempersyaratkan adanya dokumen SPPL (Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan) untuk Klinik Rawat Jalan atau dokumen UKL-UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan – Upaya Pemantauan Lingkungan) untuk Klinik Rawat Inap, sedangkan di dalam Keputusan Walikota ini tidak mengharuskan adanya dokumen SPPL atau UKL-UPL. Pengurusan izin mendirikan Klinik di Kota Denpasar sebelum dikeluarkannya Permenkes tentang Klinik, beracuan kepada Keputusan Walikota Nomor 339 Tahun 2003, yang menjadi dasar hukum dalam pengurusan izin mendirikan Klinik.

Dari perbedaan persyaratan perizinan mengenai klinik tersebut tentu saja menimbulkan permasalahan di masyarakat. Adapun permasalahan tersebut seperti bingungnya masyarakat yang hendak mengajukan izin mendirikan Klinik di Kota


(24)

7

Denpasar mengenai aturan hukum mana yang digunakan, bagaimana mekanisme dalam permohonan perizinan pendirian klinik. Kebingungan lain para pengelola Klinik adalah untuk memperpanjang izin kliniknya dikarenakan adanya persyaratan-persyaratan baru yang menyebabkan beberapa klinik tidak dapat melengkapi persyaratan tersebut.

Dari latar belakang tersebut timbul keinginan untuk membahas dan menulis tugas akhir atau Skripsi dengan judul “Pelaksanaan Perizinan Pendirian Klinik Di Kota Denpasar Setelah Dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 Tentang

Klinik”

1.2.Rumusan Masalah

Berdasarkan atas latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah mekanisme perizinan pendirian klinik di Kota Denpasar setelah dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 tentang Klinik ?

2. Hambatan apa saja yang terjadi dalam pelaksanaan perizinan pendirian klinik di Kota Denpasar setelah dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 tentang Klinik ?


(25)

8

1.3.Ruang Lingkup Masalah

Dalam rangka menghindari terjadinya penyimpangan dalam pembahasan dan juga untuk mendapatkan gambaran umum mengenai apa yang penulis uraikan dalam skripsi ini, maka perlu untuk ditentukannya ruang lingkup pemasalahan, yaitu :

a. Dalam permasalahan pertama akan dibahas mengenai bagaimana mekanisme perizinan klinik di Kota Denpasar setelah dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 tentang Klinik. Mekanisme tersebut meliputi aturan hukum yang digunakan, proses permohonan izin dan pengawasan yang dilakukan setelah diterbitkannya izin.

b. Dalam permasalahan kedua akan dibahas mengenai hambatan dan upaya pemerintah dalam pelaksanaan perizinan pendirian klinik di Kota Denpasar setelah dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 tentang Klinik.

1.4. Orisinalitas Penelitian

Dalam rangka menumbuhkan semangat anti plagiat di dalam dunia pendidikan di Indonesia, maka mahasiswa diwajibkan untuk mampu menunjukan orisinalitas dari penelitian yang tengah dibuat dengan menampilkan, beberapa judul penelitian skripsi atau disertasi terdahulu sebagai pembanding. Adapun dalam penelitian ini, peneliti tidak menemukan skripsi atau disertasi yang pembahasannya berkaitan dengan Pelaksanaan Perizinan Pendirian Klinik Di Kota


(26)

9

Denpasar Setelah Dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 tentang Klinik.

1.5.Tujuan Penelitian

Adapun Tujuan dalam penelitian skripsi ini terdapat dua jenis yaitu tujuan umum dan tujuan khusus adalah sebagai berikut :

a. Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk memberikan kontribusi dan informasi kepada masyarakat mengenai perizinan pendirian klinik dan pelaksanaan perizinan pendirian klinik setelah dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 tentang Klinik di Kota Denpasar.

b. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui bagaimana mekanisme perizinan pendirian klinik di Kota Denpasar setelah dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 tentang Klinik.

2. Untuk mengetahui hambatan apa saja yang terjadi dalam pelaksanaan perizinan pendirian klinik di Kota Denpasar setelah dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 tentang Klinik.


(27)

10

1.6. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis

Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khusunya Hukum Administrasi Negara. Selain itu juga diharapkan penelitian ini bermanfaat bagi pemerintah Kota Denpasar dalam melaksanakan pelayanan publik khususnya dalam bidang perizinan dan memberikan informasi mengenai kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah mengenai pelayanan perizinan.

b. Manfaat Praktis

Untuk memberikan sumbangsih kepada yang membutuhkan informasi mengenai bagaimana aturan mengenai pelayanan publik di Kota Denpasar khususnya dibidang Perizinan Mendirikan Klinik.

Selain itu juga untuk mengetahui pelaksanaan perizinan mendirikan klinik di Kota Denpasar Setelah dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 tentang Klinik.

1.7.Landasan Teoritis

a. Teori Negara Hukum

Konsep mengenai Negara Hukum merupakan konsep yang dianggap universal oleh beberapa orang namun dalam implementasinya konsep Negara Hukum memiliki karakteristik yang beragam. Jika di perhatikan secara historis dan praktis, konsep Negara hukum ini dapat dilihat dalam beberapa model seperti Negara hukum menurut Sunnah atau namokrasi Islam dan Al-Qur’an,


(28)

11

Negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang lebih dikenal dengan

Rechtsstaat, Negara hukum menurut konsep Anglo-Saxon (Rule Of Law), konsep Sosialistlegality, dan konsep Negara hukum Pancasila.6

Negara Republik Indonesia merupakan Negara Hukum, hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Pengertian Negara hukum menurut D.Mutiara’as adalah sebagai berikut:

“Negara hukum ialah Negara yang susunannya diatur dengan sebaik-baiknya dalam undang-undang sehingga segala kekuasaan dari alat-alat pemerintahannya didasarkan hukum. rakyat tidak boleh bertindak sendiri-sendiri menurut semaunya yang bertentangan dengan hukum.”7

Prinsip-prinsip Negara hukum yang dikemukakan oleh J.B.J.M. ten Berge adalah sebagai berikut :8

1) Asas Legalitas.

2) Perlindungan Hak-hak asasi. 3) Pemerintah terikat pada hukum

4) Monopoli paksaan pemerintah untuk menjamin penegakan hukum. 5) Pengawasan oleh hakim yang merdeka.

Dalam Negara Hukum harus memenuhi dua syarat, syarat pertama adalah

supremacy before the law yaitu hukum diberikan kedudukan tertinggi, berkuasa

6

Tahir Azhary, 1992, Negara Hukum, Bulan Bintang, Jakarta, h.63

7 D.Mutiara’as, 1955,

Ilmu Tata Negara Umum,Pustaka Islam, Jakarta, h.20.

8


(29)

12

penuh dalam suatu negara dan rakyat. Syarat kedua adalah equality before the law yaitu semua orang pejabat pemerintahan maupun masyarakat biasa adalah sama statusnya atau kedudukannya didalam hukum.9

b. Teori Penegakan Hukum

Indonesia merupakan Negara hukum sehingga dalam penyelenggaraan Negara harus dilandasi oleh hukum dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Dalam negara hukum juga memperhatikan mengenai kedaulatan hukum (supremasi hukum) dalam penyelenggaraan pemerintahannya, namun tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan Pancasila.

Secara konsepsional, inti dan arti dari penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.10

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.11

9

C.S.T. Kansil, 2000, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, h.88.

10

Soerjono Soekanto, 2012, Faktor-Faktor yang Mempegaruhi Penegakan Hukum,


(30)

13

Gangguan terhadap penegakan hukum mungkin terjadi, apabila ada

ketidakserasian antara “tritunggal” nilai, kaidah, dan pola perilaku. Gangguan

tersebut terjadi apabila terjadi ketidakserasian antara nilai-nilai yang berpasangan, yang menjelma di dalam kaidah-kaidah yang bersimpang siur, dan pola perilaku tidak terarah yang mengganggu kedamaian pergaulan.12

c. Good Governance

Pengertian Good Governance menurut Bintoro Tjokroamidjojo, dalam

bukunya yang berjudul “Reformasi Nasional Penyelenggaraan Good Governance dan Perwujudan Masyarakat Mandiri” adalah sebagai

sharing/partnership pengelolaan Negara antara sektor publik yaitu pemerintah dengan sektor swasta/ usaha dan sektor organisasi masyarakat.13

United Nations Development Program tahun 1997 mengemukakan bahwa karakteristik atau prinsip-prinsip yang harus dianut dan dikembangkan dalam praktek penyelenggaraan kepemerintahan yang baik, adalah meliputi14:

a. Partisipasi (Participation): setiap orang atau setiap warga masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan harus memiliki hak suara yang sama dalam proses pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun

11

Jimly Asshiddiqie, “Penegakan Hukum” tersedia dalam URL:

http://jimly.com/makalah/ namafile/56/Penegakan_Hukum.pdf diakses tanggal 20 Oktober 2015.

12

Soerjono Soekanto, op. cit, h.7.

13

I Gusti Ngurah Wairocana, 2005, “Good Governance (Kepemerintahan yang Baik) Dalam PenyelenggaraanPemerintahan Daerah di Bali”, Desertasi Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, h.12.

14

Srijanti, A. Rahman H.I., dan Purwanto S.K, 2009, Pendidikan Kewarganegaraan untuk Mahasiswa, Graha Ilmu Yogyakarta, h.220.


(31)

14

melalui lembaga perwakilan, sesuai dengan kepentingan dan aspirasinya masing-masing.

b. Aturan Hukum (Rule of Low): kerangka aturan hukum dan perundang-undangan harus berkeadilan, ditegakkan, dan dipatuhi secara utuh, terutama aturan hukum tentang hak asasi manusia.

c. Transparansi (Transparency): Transparansi harus dibangun dalam kerangka kebebasan aliran informasi.

d. Daya tanggap (Responsiveness): setiap institusi dan prosesnya harus diarahkan pada upaya untuk melayani berbagai pihak yang berkepentingan (Stakeholders).

e. Berorientasi Konsensus (Consensus Orientation): pemerintahan yang baik (good governance) akan bertindak sebagai penengah (mediator) bagi berbagai kepentingan yang berbeda untuk mencapai konsensus atau kesepakatan yang terbaik bagi kepentingan masing-masing pihak, dan jika dimungkinkan juga dapat diberlakukan terhadap berbagai kebijakan dan prosedur yang akan ditetapkan pemerintah.

f. Berkeadilan (Equity): pemerintahan yang baik akan memberikan kesempatan yang sama baik terhadap laki-laki maupun perempuan dalam upaya mereka untuk meningkatkan dan memelihara kualitas hidupnya.

g. Efektivitas dan Efesiensi (Effectiveness and Efficiency): setiap proses kegiatan dan kelembagaan diarahkan untuk menghasilkan sesuatu yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan melalui pemanfaatan yang sebaik-baiknya berbagai sumber-sumber yang tersedia.

h. Akuntabilitas (Accountabilty): para pengambil keputusan dalam organisasi sektor publik, swasta, dan masyarakat madani memiliki pertanggungjawaban (akuntabilitas) kepada publik (masyarakat umum), sebagaimana halnya kepada para pemilik kepentingan (stakeholders).

i. Visi Strategis (Strategic Vision): para pemimpin dan masyarakat memiliki persepktif yang luas dan jangka panjang tentang penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) dan pembangunan manusia (human development), bersamaan dengan dirasakannya kebutuhan untuk pembangunan tersebut.

Keseluruhan prinsip-prinsip Good Governance diatas memiliki keterkaitan yang sangat erat dan memiliki hubungan antara prinsip satu dengan yang lainnya. Seperti halnya partisipasi masyarakat akan sangat berpengaruh dengan efektivitas dan efesiensi dari tindakan pemerintah, dengan baiknya partisipasi masyarakat maka semakin efektif pula suatu tindakan pemerintah karena


(32)

15

mempermudah pemerintah dalam mengambil keputusan untuk mencapai Good Governance.

d. Teori Hukum Perizinan

Menurut Ateng Syafrudin mengatakan, izin bertujuan dan berarti menghilangkan halangan di mana hal yang dilarang menjadi diperbolehkan15. Asep Warlan Yusuf mengatakan bahwa izin sebagai suatu instrumen Pemerintah yang bersifat yuridis preventif, yang digunakan sebagai sarana hukum administrasi untuk mengendalikan perilaku masyarakat16. Juniarso Ridwan mengutip buku Ateng Syafrudin membedakan perizinan menjadi empat macam:17

a) Izin, bertujuan dan berarti menghilangkan halangan; hal dilarang menjadi boleh penolakan atas permohonan izin memerlukan perumusan yang limitatif.

b) Dispensasi, bertujuan untuk menembus rintangan yang sebenarnya secara formal tidak diizinkan, jadi dispensasi hal yang khusus. c) Lisensi, adalah izin yang memberikan hal untuk menyelenggarakan

suatu perusahaan.

d) Konsesi, merupakan suatu izin sehubungan dengan pekerjaan besar berkenaan dengan kepentingan umum yang seharusnya menjadi

15

Ridwan HR, op.cit, h.198.

16

Juniarso Ridwan, 2010, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik,

Nuansa, Bandung, h. 31.

17


(33)

16

tugas Pemerintah, namun oleh Pemerintah diberikan hak penyelenggaraannya kepada pemegang izin yang bukan pejabat Pemerintah. Bentuknya dapat berupa kontraktual, atau bentuk kombinasi atau lisensi dengan pemberian status tertentu dengan hak dan kewajiban serta syarat-syarat tertentu.

Izin dimaksudkan untuk menciptakan kegiatan yang positif terhadap aktivitas pembangunan. Suatu izin yang dikeluarkan Pemerintah dimaksudkan untuk memberikan keadaan yang tertib dan aman sehingga yang menjadi tujuannya akan sesuai dengan yang menjadi peruntukannya pula. Juniarso Ridwan memberi pengertian tentang izin yaitu:18 ”Izin adalah perbuatan hukum administrasi negara bersegi satu yang menghasilkan peraturan dalam hal kontrol berdasarkan persyaratan dan prosedur sebagaimana ditetapkan oleh ketentuan perundang-undangan yang berlaku.” Dapat dikatakan, bahwa izin adalah perangkat hukum administrasi yang digunakan Pemerintah untuk mengendalikan warga agar berjalan dengan teratur dan untuk tujuan ini digunakan perangkat administrasi.

e. Teori Efektivitas Hukum

Efektivitas dapat diartikan sebagai suatu proses pencapaian suatu tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Suatu usaha atau kegiatan dapat dikatakan efektif apabila usaha atau kegiatan tersebut telah mencapai tujuannya. Dalam suatu istansi tujuan yang dimaksud berupa keberhasilan dalam melaksanakan program atau kegiatan menurut tugas, wewenang dan fungsi instansi tersebut.

18


(34)

17

Melihat efektivitas dalam bidang hukum, Achmad Aliberpendapat bahwa ketika ingin mengetahui sejauh mana efektivitas dari hukum, maka hal pertama yang dapat dilakukan adalah harus dapat mengukur sejauh mana aturan hukum itu ditaati atau tidak ditaati.19 Selanjutnya Achmad Ali juga berpendapat bahwa pada umumnya faktor yang banyak mempengaruhi efektivitas suatu perundang-undangan adalah profesional dan optimal pelaksanaan peran, wewenang dan fungsi dari para penegak hukum, baik di dalam menjelaskan tugas yang dibebankan terhadap diri mereka maupun dalam menegakkan perundang-undangan tersebut.

Teori efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto adalah bahwa efektif atau tidaknya suatu hukum dapat ditentukan oleh 5 (lima) faktor, yaitu :

1. Faktor hukumnya sendiri.

2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.20

Kelima faktor di atas saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada

19

Achmad Ali, 2010, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan Vol.1, Kencana, Jakarta, h.375.

20


(35)

18

efektivitas penegakan hukum. Pada elemen pertama, yang menentukan dapat berfungsinya hukum tertulis tersebut dengan baik atau tidak adalah tergantung dari aturan hukum itu sendiri.

Hukum dapat dikatakan efektif jika terdapat dampak hukum yang positif, pada saat itu hukum mencapai sasarannya dalam membimbing ataupun merubah perilaku manusia sehingga menjadi perilaku hukum. Sehubungan dengan persoalan efektivitas hukum, pengidentikkan hukum tidak hanya dengan unsur paksaan eksternal namun juga dengan proses pengadilan. Ancaman paksaan pun merupakan unsur yang mutlak ada agar suatu kaidah dapat dikategorikan sebagai hukum, maka tentu saja unsur paksaan inipun erat kaitannya dengan efektif atau tidaknya suatu ketentuan atau aturan hukum. Jika suatu aturan hukum tidak efektif dapat dikarenakan ancaman paksaan dari hukum tersebut yang kurang berat, atau karena ancaman paksaan itu tidak terkomunikasi secara memadai pada warga masyarakat.21

Berbicara mengenai efektivitas hukum berarti membicarakan daya kerja hukum itu dalam mengatur dan atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap hukum. Hukum dapat efektif jika faktor-faktor yang mempengaruhi hukum tersebut dapat berfungsi dengan sebaik-baiknya. Ukuran efektif atau tidaknya suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat dilihat dari perilaku masyarakat. Suatu hukum atau peraturan perundang-undangan akan efektif apabila warga masyarakat berperilaku sesuai dengan yang diharapkan atau

21

Achmad Ali, 1998, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Yarsif Watampone, Jakarta, h.186.


(36)

19

dikehendaki oleh atau peraturan perundang-undangan tersebut mencapai tujuan yang dikehendaki, maka efektivitas hukum atau peraturan perundang-undangan tersebut telah dicapai.

1.8. Metode Penelitian

Dalam penulisan karya ilmiah ini, tidak terlepas dari adanya suatu metodelogi yang bertujuan untuk mengadakan pendekatan atau penyelidikan ilmiah yang bertujuan untuk menggungkap kebenaran secara sistematis, metodelogis, dan konsisten.22

1.8.1 Jenis Penelitian

Penelitian hukum dibedakan dalam dua macam yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Maka jenis penelitian hukum yang digunakan dalam membahas permasalahan ini adalah penelitian hukum empiris. Menurut Soerjono Soekanto bahwa penelitian hukum sosiologis atau empiris merupakan penelitian hukum yang mengidentifikasi hukum (tidak tertulis) dan penelitian terhadap efektifitas hukum.23

1.8.2 Jenis Pendekatan

Dalam suatu karya tulis agar karya tersebut lebih baik nilainya atau lebih akuratnya penelitian tersebut haruslah menggunakan pendekatan masalah yang tepat, sehingga penelitian tersebut dapat dipertanggung jawabkan. Pendekatan masalah yang digunakan dalam skripsi ini adalah pendekatan

22

H.Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h.17.

23

Soerjono Soekanto, 2007, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto II), h.51.


(37)

20

undangan (Statue Approach), Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach), Pendekatan Fakta (The Fact Approach), hal tersebut dikarenakan dalam menyelesaikan suatu permasalahan hukum tidak terlepas dari pendekatan perundang-undangan, memperhatikan pendapat-pendapat para sarjana dan juga memperhatikan fakta yang ada.24

1.8.3 Sifat Penelitian

Dalam penelitian hukum empiris, penulis menggunakan penelitian yang sifatnya deskriptif, yaitu berusaha untuk mengembangkan lebih luas mengenai hal yang akan diteliti. Penelitian deskriptif merupakan penelitian secara umum, yang termasuk pula didalamnya mengenai penelitian ilmu hukum, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebab dari suatu gejala dalam masyarakat, atau untuk menentukan ada atau tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam suatu masyarakat. Selain itu penelitian deskriptif juga dapat membentuk teori-teori baru atau dapat juga memperkuat teori yang sudah ada.

1.8.4 Sumber Data

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang bersumber dari penelitian lapangan yaitu

24

Bambang Sunggono, 2007, Metodologi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo, Jakarta, h.184.


(38)

21

baik dari responden maupun dari informan25 dari Badan Pelayanan Perijinan Terpadu Satu Pintu & Penanaman Modal (BPPTSP&PM) Kota Denpasar dan dinas Kesehatan Kota Denpasar. Data Sekunder adalah suatu data yang bersumber dari penelitian kepustakaan yaitu data yang diperoleh tidak secara langsung dari sumber pertamanya, melainkan bersumber dari data-data yang terdokumenkan dalam bentuk bahan-bahan hukum. Adapun data sekunder yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah:

 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

 Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran;

 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik;

 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;

 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;

 Peraturan Menteri kesehatan Republik Indonesia Nomor 028/MENKES/PER/I/2011 tentang Klinik;

 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 tentang Klinik;

 Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 4 Tahun 2003 tentang Retribusi Perijinan di Bidang Kesehatan;

 Peraturan Walikota Denpasar Nomor 21 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Perijinan;

25

Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2009, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h. 69.


(39)

22

 Keputusan Walikota Denpasar Nomor 339 Tahun 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 4 Tahun 2003 tentang Retribusi Perijinan di Bidang Kesehatan.

Data sekunder yang juga digunakan adalah buku-buku tentang Negara hukum, buku-buku tentang administrasi Negara, buku-buku tentang perizinan, kamus besar bahasa Indonesia, kamus hukum, dan sumber-sumber lain yang dapat menunjang penelitian ini.

1.8.5 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian hukum empiris dikenal teknik–teknik untuk mengumpulkan data yaitu studi dokumen, wawancara, observasi, dan penyebaran quisioner/angket. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah:

a. Teknik studi dokumen

Studi dokumen merupakan langkah awal dari setiap penelitian hukum (baik normatif maupun empiris), karena penelitian hukum selalu bertolak dari premis normatif.

b. Teknik wawancara (interview)

Menurut M. Mochtar, teknik wawancara adalah teknik atau metode memperoleh informasi untuk tujuan penelitian dengan cara melakukan Tanya jawab secara langsung (tatap muka), antara pewawancara dengan responden.26 Selain dengan cara tatap muka wawancara juga akan dilakukan

26

M Mochtar, 1998, Pengantar Metodologi Penelitian, Sinar Karya Dharma IIP, Jakarta, h.78.


(40)

23

secara tidak langsung dengan telepon atau surat dengan para responden. Informasi yang diperoleh dalam penulisan Skripsi ini adalah melalui wawancara dengan Bapak A.A Ngurah Bawa Nendra SH, M.Si, selaku Kepala Bidang Pengkajian dan Pengembangan pada Badan Pelayanan Perijinan Terpadu Satu Pintu & Penanaman Modal (BPPTSP&PM) Kota Denpasar dan Ibu dr. Luh Putu Sri Armini, M.Kes, selaku Kepala Dinas Kesehatan Kota Denpasar. Responden dipilih dikarenakan mereka yang terjun langsung dan memahami mengenai Pelaksanaan perizinan pendirian Klinik di Kota Denpasar Setelah dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 tentang Klinik.

c. Teknik observasi/pengamatan

Teknik observasi dapat dibedakan menjadi dua yaitu teknik observasi langsung dan teknik observasi tidak langsung. Sedangkan yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik observasi langsung dimana dalam pengumpulan data peneliti mengadakan pengamatan secara langsung atau tanpa alat terhadap gejala-gejala subyek yang diselidiki baik pengamatan dilakukan dalam situasi buatan, yang khusus diadakan.

1.8.6 Teknik Pengolahan Dan Analisis Data

Dalam penelitian hukum empiris, teknik pengolahan data yang digunakan adalah dengan cara melakukan seleksi dan pengklasifikasian terhadap informasi-informasi yang telah didapatkan baik dari wawancara, angket atau kuesioner dan observasi. Sehingga mempermudah peneliti untuk mengaitkan hubungan antara


(41)

24

data primer dengan data sekunder dan juga bahan-bahan hukum yang telah berhasil dikumpulkan.

Setelah melakukan pengolahan data barulah peneliti melakukan analisis data yaitu proses pengkajian atau pentelaahan informasi yang dibantu oleh teori-teori yang telah diperoleh sebelumnya. Pengkajian yang dilakukan dapat berupa mengkritik, mendukung, dan memberikan kesimpulan terhadap hasil dari pada penelitian dengan dukungan dari teori yang telah dikuasai oleh peneliti.


(42)

43

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERIZINAN PENDIRIAN KLINIK

2.1 Perizinan

2.1.1 Pengertian Perizinan

Dalam kamus hukum, izin (vergunning) diartikan sebagai;

“Overheidstoestemming door wet of verordening vereist gasteld voor tal van

handeling waarop in het algemeen belang special toezicht vereist is, maar die, in

het algemeen, niet als onwenselijk worden beschouwd”27

(perkenan/ izin yang berasal dari pemerintah berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah yang di isyaratkan untuk perbuatan yang pada umumnya membutuhkan pengawasan khusus, yang tetapi pada umumnya tidaklah dianggap sebagai hal-hal yang tidak diinginkan).28 Menurut Sjachran Basah, izin adalah perbuatan hukum administrasi negara bersegi satu yang menerapkan peraturan dalam hal konkret berdasarkan prosedur dan persyaratan seperti ditetapkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan.29 Menurut E. Utrecht mengatakan bahwa bilamana pembuat peraturan umum tidak melarang suatu perbuatan, tetapi masih juga memperkenankannya asal saja diadakan secara yang ditentukan untuk

27

S.JU.Fockema Andreae, 1951, Rechtsgeleerd Handwoordenboek, Tweede Druk, J.B. Wolter’ Uitgevers-maatshappij N.V., Groningen, h.311.

28

Ridwan HR, op.cit, h.54.

29

Sjachran Basah, 1995, Pencabutan Izin Salah Satu Sanksi Hukum Administrasi, Makalah Pada Penataran Hukum Administrasi dan Lingkungan di Fakultas Hukum Unair, Surabaya, h.1-2.


(43)

44

masing hal konkret, maka keputusan administrasi negara yang memperkenankan perbuatan tersebut bersifat suatu izin (vergunning).30

Menurut Bagir Manan menyebutkan bahwa izin dalam arti luas berarti suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk memperbolehkan melakukan tindakan atau perbuatan tertentu yang secara umum dilarang.31 Menurut N.M. Spelt dan J.B.J.M ten Berge, Izin dapat diartikan dalam pengertian luas dan pengertian sempit. Dalam pengertian luas, izin adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan Pemerintah, dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan larangan perundang-undangan. Dengan memberi izin, pemerintah mengizinkan pemohon untuk melakukan perbuatan yang sebenarnya dilarang. Izin memperkenankan bagi suatu tindakan yang demi kepentingan umum harus mendapatkan pengawasan khusus atas hal tersebut.32

Menurut N.M. Spelt dan J.B.J.M ten Berge, dalam pengertian sempit, izin adalah pengikatan aktifitas-aktifitas pada suatu peraturan. Izin pada umumnya didasarkan pada keinginan pembuat Undang-undang mencapai suatu tatanan tertentu atau untuk menghalangi keadaan-keadaan yang buruk, tercela dan tidak diinginkan Pemerintah sehingga Pemerintah dapat melakukan pengawasan. Hal

30

E. Utrecht, 1988, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia , Pustaka Tinta Mas, Surabaya, h.187.

31

Bagir Manan, 1995, Ketentuan-Ketentuan Mengenai Pengaturan Penyelenggaraan Hak Kemerdekaan Berkumpul Ditinjau Dari Perspektif UUD 1945, Makalah, Tidak Dipublikasikan, Jakarta, h.8.

32

N.M. Spelt dan J.BJ.M.ten Berge, 1993, Pengantar Hukum Perizinan, disunting oleh Philipus M. Hadjon, Yuridika, Surabaya, h.2-3.


(44)

45

pokok pada pengertian izin dalam pengartian sempit bahwa suatu perbuatan tidak diperbolehkan, kecuali diperbolehkan dengan tujuan agar dalam aturan-aturan yang bersangkutan dengan hal tersebut dapat dengan teliti diberikan batasan-batasan tertentu pada setiap kasus.33

Secara yuridis pengertian izin dan perizinan tertuang didalam Pasal 1 angka 8 dan 9 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Pada Pasal 1 angka 8 ditegaskan bahwa “izin adalah dokumen yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah berdasarkan peraturan daerah atau peraturan lain yang merupakan bukti legalitas, dinyatakan sah atau diperbolehkannya seseorang atau badan untuk melakukan

usaha atau kegiatan tertentu.” Pada Pasal 1 angka 9 menegaskan bahwa “Perizinan

adalah pemberian legalitas kepada seseorang atau pelaku usaha/ kegiatan tertentu,

baik dalam bentuk izin maupun tanda daftar usaha.” Definisi izin dan perizinan

didefinisikan sama dalam Pasal 1 angka 8 dan angka 9 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perizinan Terpadu di Daerah.

2.1.2 Unsur-unsur Perizinan

Berdasarkan pengertian perizinan terdapat beberapa unsur-unsur dalam perizinan, seperti : pertama, instrument yuridis; kedua, peraturan

33


(45)

46

undangan; ketiga, organ pemerintah; keempat, peristiwa konkret; kelima, prosedur dan persyaratan.34

a. Instrument Yuridis

Tugas pemerintah dalam Negara hukum modern selain melakukan penjagaan keamanan dan menjaga ketertiban tetapi juga mengupayakan adanya kesejahteraan umum (bestuurzorg). Menjaga keamanan dan ketertiban merupakan sudah menjadi tugas pokok dan umum bagi pemerintah sampai saat ini, dan untuk melaksanakan tugas tersebut maka pemerintah dibekali dengan wewenang dalam bidang pengaturan yang melahirkan instrumen-instrumen yuridis dalam bentuk keputusan. Sesuai dengan sifat dari keputusan yaitu individual konkret, sehingga merupakan ujung tombak dari instrumen hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan,35 atau sebagai norma penutup dalam rangkaian norma hukum.36 Wujud dari keputusan adalah izin yang berdasarkan jenis-jenis keputusan, izin merupakan jenis keputusan yang bersifat konstitutif, yang berarti keputusan tersebut menimbulkan hak baru yang sebelumnya tidak ada bagi orang yang namanya di cantumkan dalam keputusan tersebut, atau “beschikkingen welke iets toestaan wat tevoren niet geoorloofd

was”,37 (keputusan yang memperkenankan sesuatu yang sebelumnya tidak

34

Ridwan HR, op.cit, h.201-202.

35

Sjachran Basah, op.cit, h.2.

36

Philipus M. Hadjon, et.al., 1993, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press,Yogyakarta, h.125.


(46)

47

dibolehkan).38 Izin disusun dengan ketentuan-ketentuan dan persyaratan yang berlaku bagi keputusan pada umumnya, merupakan instrumen yuridis berbentuk keputusan yang bersifat konstitutif, yang digunakan oleh pemerintah untuk menentukan peristiwa konkret.

b. Peraturan Perundang-undangan

Prinsip Negara hukum adalah wetmatigheid van bestuur atau pemerintahan harus berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang berarti bahwa pemerintah dalam menjalankan fungsi pengaturan dan fungsi pelayanan harus didasarkan pada wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan.

Tindakan hukum pemerintah seperti pembuatan dan penerbitan keputusan izin, haruslah didasarkan atas wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan atau berdasarkan asas legalitas. Dalam penerbitan izin harus didasarkan atas wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan, tanpa adanya wewenang tersebut maka penerbitan izin tersebut tidak sah.

Menurut Marcus Lukman, kewenangan pemerintah dalam bidang izin tersebut bersifat diskresionare power atau berupa kewenangan bebas, sehingga pemerintah diberi kewenangan untuk mempertimbangkan atas

37

C.J.N. Versteden, 1984, Inleiding Algemeen Bestuursrecht. Samsom H.D.Tjeenk Willink, Alphen aan den Rijn, h.69.

38


(47)

48

dasar inisiatif sendiri hal-hal yang berkaitan dengan izin, pertimbangan tersebut tentang :

1) Kondisi-kondisi apa yang memungkinkan suatu izin dapat diberikan kepada pemohon.

2) Bagaimana mempertimbangkan kondisi-kondisi tersebut.

3) Konsekuensi yuridis yang mungkin timbul akibat pemberian atau penolakan izin dikaitkan dengan pembatasan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

4) Prosedur apa yang harus diikuti atau dipersiapkan pada saat dan sesudah keputusan diberikan baik penerimaan maupun penolakan pemberian izin.39

c. Organ Pemerintah

Menurut Sjachran Basah, berdasarkan berbagai penelusuran penyelenggaraan pemerintahan dapat diketahui, bahwa dari administrasi negara tertinggi yaitu presiden sampai dengan administrasi Negara terendah seperti lurah berhak untuk memberikan izin, sehingga adanya keanekaragaman dalam pemberian izin sesuai dengan jabatan yang dijabatnya baik dalam tingkat pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah.40

Menurut N.M. Spelt dan J.B.J.M. ten Berge, bahwa keputusan yang memberikan izin haruslah diberikan oleh organ yang berwenang, dan hampir selalu yang terkait adalah organ pemerintah atau administrasi

39

Marcus Lukman, 1996, Eksistensi Peraturan Kebijaksanaan Dalam Bidang Perencanaan dan Pelaksanaan Rencana Pembangunan di Daerah serta Dampaknya terhadap Pembangunan Materi Hukum Tertulis Nasional, Disertasi, Universitas Padjadjaran, Bandung, h.189.

40

Sjachran Basah, 1996, Sister Perizinan Sebagai Instrumen Pengendali Lingkungan, Makalah Pada Seminar Hukum Lingkungan, Diselenggarakan Oleh KLH bekerja sama dengan Legal Mandate Compliance end Enforcement Program dari BAPEDAL, Jakarta, h.189.


(48)

49

negara. Organ-organ pada tinggat pengusa nasional adalah menteri atau tingkat penguasa-penguasa daerah.41

Dalam penerbitan izin, pejabat yang berwenang sering membutuhkan waktu yang lama, seperti pengeluaran izin memakan waktu sampai berbulan-bulan dan banyak proses yang harus dipenuhi yang tidak hanya memakan waktu dan juga biaya, sedangkan dalam dunia usaha menuntuk kecepatan dalam pengeluaran izin.42 Untuk mengatasi hal tersebut maka sering dilakukan deregulasi, yaitu peniadaan berbagai peraturan perundang-undangan yang dianggap berlebihan. Peniadaan peraturan perundang-undangan yang berlebihan berarti mengurangi campur tangan pemerintah dalam kegiatan kemasyarakatan tertentu terutama dibidang ekonomi, sehingga deregulasi dapat juga di artikan sebagai debirokratisasi.43 Pelaksanaan deregulasi sangat sering ditemukan dalam pelaksanaan perizinan, namun harus ada batasan-batasan atau rambu-rambu yang ditetapkan oleh hukum.

Deregulasi dalam peraturan kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk mempermudah dan mempercepat proses perizinan haruslah dilakukan dengan batasan-batasan yang ditentukan sesuai dengan aturan

41

N.M.Spelt dan J.B.J.M. ten Berge, op.cit, h.11.

42

Soehardjo, 1991, Hukum Administrasi Negara Pokok-Pokok Pengertian Serta Perkembangannya di Indonesia, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, h.25.

43

Bagir Manan, 1996, Bentuk-Bentuk Perbuatan Keperdataan yang Dapat Dilakukan Oleh Pemerintah Daerah, Majalah Ilmiah Universitas Padjadjaran, No.3, Vol.14, Bandung, h.33.


(49)

50

hukum. pelaksanaan deregulasi dan debirokratisasi dalam perizinan harus memperhatikan hal-hal berikut :

1) Jangan sampai menghilangkan esensi dari sistem perizinan itu sendiri, terutama dalam fungsinya sebagai pengarah kegiatan tertentu.

2) Deregulasi hanya diterapkan pada hal-hal yang bersifat teknis administratif dan financial.

3) Deregulasi dan debirokratisasi tidak menghilangkan hal-hal prinsip dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar perizinan.

4) Deregulasi dan debirokratisasi harus memerhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik (algemene beginselen van behoorlijk bestuur).44

d. Peristiwa Konkret

Izin merupakan instrumen yuridis yang berbentuk keputusan, yang digunakan oleh pemerintah untuk menentukan peristiwa konkret dan individual. Peristiwa konkret merupakan peristiwa yang terjadi pada waktu tertentu, tempat tertentu, orang tertentu, dan fakta hukum tertentu. Peristiwa konkret yang beragam sejalan dengan beragamnya perkembangan masyarakat, sehingga izin pun memiliki berbagai keragaman. izin yang memiliki jenis beragam yang dibuat dalam proses yang dipengaruhi oleh kewenangan pemberi izin, macam izin dan struktur organisasi instansi yang menerbitkannya. Berbagai jenis izin dan instansi pemberi izin dapat saja berubah-ubah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku terhadap izin tersebut, namun walaupun dapat

44


(50)

51

berubah-ubah izin akan tetap ada dan digunakan dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kemasyarakatan.

e. Prosedur dan Persyaratan

Dalam memperoleh izin harus menempuh beberapa prosedur tertentu yang ditetapkan oleh pemberi izin yang dalam hal ini adalah pemerintah. Pemohon izin selain harus memenuhi prosedur tertentu juga harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu yang berbeda-beda tergantung pada jenis izin, tujuan izin, dan instansi pemberi izin yang telah ditetapkan oleh pemerintah secara sepihak.

Menurut Soehino, syarat-syarat dalam izin bersifat konstitutif dan

kondisional. Bersifat konstitutif, karena ditentukannya suatu perbuatan atau tingkah laku tertentu yang harus (terlebih dahulu) dipenuhi, artinya dalam pemberian izin ditentukan perbuatan konkret, dan apabila tidak dipenuhi maka akan dikenakan sanksi. Bersifat kondisional, karena penilaian tersebut baru dapat dinilai setelah perbuatan atau tingkah laku yang disyaratkan itu terjadi.45

Penentuan prosedur dan persyaratan perizinan ditentukan oleh pemerintah secara sepihak, namum pemerintah tidak dapat menentukannya secara sewenang-wenang, tetapi harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dari izin tersebut. pemerintah dalam menentukan prosedur dan persyaratan perizinan tidak dapat melampaui

45


(51)

52

batas tujuan yang hendak dicapai oleh peraturan hukum yang menjadi dasar perizinan tersebut.46

2.1.3 Fungsi dan Tujuan Perizinan

Izin merupakan instrumen yuridis yang sangat penting, dikarenakan melalui izin pemerintah dapat mengontrol masyarakat untuk mengikuti apa yang diinginkan oleh pemerintah demi mencapai suatu tujuan. Izin sebagai instrumen hukum memiliki fungsi sebagai perekayasa, pengarah, dan perancang masyarakat adil dan makmur dapat terwujud. Dalam izin terkandung peryaratan-persyaratan yang merupakan sebuah pengendali untuk pemohon izin dalam memfungsikan izin tersebut.47 Izin dapat difungsikan sebagai instrumen pengendali dan instrumen untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, hal tersebut dilakukan melalui persyaratan-peryaratan dari izin tersebut dan melaksanakan yang diamanat oleh alenia keempat dari Pembukaan UUD 1945. Menurut Prajudi Atmosudirdjo, bahwa berkenaan dengan fungsi-fungsi hukum modern, izin dapat diletakan dalam fungsi menertibkan masyarakat.48 Menertibkan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari yaitu melalui izin, dengan adanya persyaratan-persyaratan dalam permohonan izin makan pemerintah dapat mengontrol dan menertibkan masyarakat.

46

Ibid., h.98.

47

Sjachran Basah II, op.cit, h.3.

48

Prajudi Atmosudirdjo, 1981, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, h.23.


(52)

53

Tujuan perizinan sangat dipengaruhi oleh kenyataan konkret, sehingga tujuan dari perizinan dapat berbeda-beda dan beragam sesuai dengan bagaimana kenyataan konkret yang ada. Secara umum tujuan dari perizinan adalah sebagai berikut.

a. Keinginan mengarahkan (mengendalikan “sturen”) aktivitas-aktivitas tertentu (misalnya izin bangunan).

b. Mencegah bahaya bagi lingkungan (izin-izin lingkungan).

c. Keinginan melindungi objek-objek tertentu (izin terbang, izin membongkar pada monumen-monumen).

d. Hendak membagi benda-benda yang sedikit (izin menghuni di daerah padat penduduk).

e. Pengarahan, dengan menyeleksi orang-orang dan aktivitas-aktivitas (izin berdasarkan “drank en horecawet”, di mana pengurus harus memenuhi syarat-syarat tertentu).49

2.1.4 Bentuk Dan Isi Perizinan

Dilihat dari sifatnya, izin merupakan keputusan yang dimuat dalam bentuk tertulis. Sebagai keputusan tertulis, Secara umum didalam izin memuat hal sebagai berikut.50

a. Organ Yang Berwenang

Dalam setiap izin organ yang berwenang sangat penting di dalam suatu izin. Pada umumnya organ yang berwenang dalam suatu izin dapat dilihat dalam kepala surat dan juga penandatanganan izin akan nyata organ mana yang memberikan izin. Pada umumnya organ yang paling

49

N.M.Spelt dan J.B.J.M. ten Berge, op.cit, h. 4-5.

50


(53)

54

berwenang dalam bidang izin adalah organ pemerintah, sehingga apabila didalam suatu undang-undang tidak dinyatakan dengan jelas organ mana dari lapisan pemerintah tertentu yang memiliki wewenang untuk itu, tetapi

hanya menyatakan secara umum bahwa “haminte” yang berwenang, maka

yang dimaksud adalah wali haminte dengan anggota pengurus harian. Dalam undang-undang untuk mencegah keraguan maka selalu dicantumkan ketentuan definisi.

b. Yang Diamanatkan

Izin lahir setelah dimohonkan oleh para pihak yang berkepentingan untuk izin tersebut, sehingga izin di tujukan kepada pihak yang berkepentingan. Pihak yang berkepentingan tersebut dapat seperti perseorangan atau badan hukum. Pemerintah sebagai pemberi izin juga tetap memperhitungkan keberadaaan pihak ketiga yang mungkin memiliki keterkaitan dengan penggunaan izin tersebut.

c. Diktum

Demi menjaminnya kepastian hukum maka keputusan yang memuat izin harus menguraikan secara jelas untuk apa izin tersebut diberikan. Dalam uraian tersebut dijelaskan mengenai akibat-akibat hukum yang ditimbulkan yang disebut dengan diktum. Diktum juga harus berisi mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dituju oleh keputusan tersebut.


(54)

55

d. Ketentuan-Ketentuan, Pembatasan-pembatasan, dan Syarat-syarat

Dalam keputusan terutama yang memuat mengenai izin, pada umumnya mengandung ketentuan-keetentuan, pembatasan-pembatasan, dan juga syarat-syarat (voorschriften, beperkingen, en voorwaarden). Ketentuan-ketentuan pada izin banyak terdapat dalam praktek Hukum Administrasi Negara, misalnya dalam undang-undang gangguan ditunjuk ketentuan-ketentuan seperti berikut.

1) Ketentuan-ketentuan tujuan (dengan maksud mewujudkan tujuan-tujuan tertentu, seperti mencegah pengotoran tanah).

2) Ketentuan-ketentuan sarana (kewajiban menggunakan sarana tertentu).

3) Ketentuan-ketentuan instruksi (kewajiban bagi pemegang izin untuk memberi instruksi-instruksi tertulis kepada personel dalam lembaga).

4) Ketentuan-ketentuan ukur dan pendaftaran (pengukuran untuk menilai kadar bahaya dan gangguan).

Dalam pembuatan keputusan khususnya yang memuat izin dimasukan pembatasan-pembatasan. Pembatasan-pembatasan dalam izin member kemungkinan untuk secara praktis melingkari lebih lanjut tindakan yang dibolehkan. Pembatasan tersebut dibentuk dengan menunjuk batas-batas dalam waktu, tempat, atau dengan cara lain. Syarat


(55)

56

dalam keputusan yang memuat izin akibat-akibat hukum tertentu digantungkan pada timbulnya suatu peristiwa di kemudian hari yang belum pasti. Dalam keputusan yang memuat izin juga dapat dimuat syarat-syarat penghapusan dan juga syarat-syarat penangguhan.

e. Pemberian Alasan

Pemberian alasan di dalam perizinan memuat beberapa hal penting seperti, penyebutan ketentuan undang-undang, pertimbangan-pertimbangan hukum, dan penetapan fakta.51 Penyebutan ketentuan undang-undang berguna sebagai aspek penting dalam menilai keputusan mengenai perizinan yang digunakan oleh para pihak terkait seperti organ pemerintah dan para pihak yang berkepentingan. Pertimbangan-pertimbangan hukum lahir dari interprestasi organ pemerintah terhadap ketentuan undang-undang, yang berperan bagi organ pemerintah untuk dapat memberikan keputusan mengenai ditolak atau diterimanya permohonan izin. Penetapan fakta merupakan interprestasi yang digunakan oleh organ pemerintah, yang tidak hanya melihat berdasarkan aturan-aturan yang berlaku tetapi juga melihat fakta-fakta yang ada.

f. Pemberitahuan-Pemberitahuan Tambahan

Pemberitahuan tambahan merupakan aspek penting dalam suatu perizinan, karena dalam pemberitahuan tambahan tersebut jelaskan

51


(56)

57

mengenai akibai-akibat dari pelanggaran izin seperti sanksi-sanksi dari ketidaktaatan. Pemberitahuan tambahan juga dapat berisikan mengenai petunjuk-petunjuk bagaimana cara yang tepat untuk mengajukan permohonan-permohonan berikutnya atau dapat juga berisikan informasi umum dari organ pemerintah mengenai kebijakan-kebijakan pada saat ini maupun kemudian hari. Pemberitahuan-pemberitahuan tambahan dapat digolongkan dalam pertimbangan yang berlebihan, yang pada dasarnya terlepas dari diktum yang merupakan inti dari keputusan, sehingga secara formal seseorang tidak dapat menggugat bagian pemberitahuan tambahan pada hakim administrasi.

2.2 Klinik

2.2.1 Pengertian Klinik

Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dalam Pasal 1

angka 7 menjelaskan bahwa, “Fasilitas pelayanan kesehatan adalah suatu alat

dan/atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan

oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat”. Klinik merupakan

salah satu dari fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan kepada masyarakat.

Dalam Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

dalam Pasal 1 angka 9 menyatakan bahwa “Sarana pelayanan kesehatan adalah


(57)

58

praktik kedokteran atau kedokteran gigi”. Klinik juga dikatagorikan sebagai

sarana kesehatan, karena klinik menyelenggarakan upaya kesehatan kepada masyarakat.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 tentang klinik, secara jelas dalam Pasal 1 angka 1 menyatakan bahwa “ Klinik adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan

perorangan yang menyediakan pelayanan medis dasar dan/atau spesialistik”.

Dalam memberikan pelayanan kesehatan pada suatu fasilitas pelayanan kesehatan atau Klinik dilakukan oleh tenaga kesehatan. Pada Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan pada Pasal 1 angka 6 menjelaskan

bahwa, “Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam

bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan

kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan”.

2.2.2 Jenis Klinik

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 tentang klinik, membedakan jenis klinik berdasarkan atas jenis pelayanannya yaitu Klinik Pratama dan Klinik Utama. Klinik Pratama merupakan jenis klinik yang memberikan pelayanan medik dasar yang mencakup pelayanan umum dan khusus. Klinik Utama merupakan jenis klinik yang memberikan pelayanan medik spesialistik atau pelayanan medik dasar dan pelayanan medik spesialistik. Dari kedua jenis klinik tersebut, klinik pratama dan klinik utama dalam memberikan


(58)

59

pelayanan kesehatan dapat mengkhususkan kepada bidang tertentu berdasarkan disiplin ilmu atau sistem organ tertentu.

2.2.3 Pengaturan Klinik Di Indonesia

Secara umum pengaturan mengenai klinik di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dimana klinik dalam undang-undang kesehatan ini digolongkan kedalam fasilitas pelayanan kesehatan. Pengaturan mengenai fasilitas pelayanan kesehatan dalam Undang-undang Kesehatan dituangkan dalam Pasal 30 – Pasal 35, yang pada pokoknya mengatur mengenai pembagian fasilitas pelayanan kesehatan menurut jenis pelayanannya, kewajiban dari fasilitas pelayanan kesehatan, kompetensi dari manajemen kesehatan, dan hak dari pemerintah daerah dalam fasilitas pelayanan kesehatan.

Dalam Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik kedokteran juga mengatur mengenai klinik, namun dalam Undang-undang Praktik Kedokteran ini klinik disebut sebagi Sarana Pelayanan Kesehatan. Dalam Undang-undang ini pengaturan mengenai sarana pelayanan kesehatan lebih di ditekankan kepada kaitan antara sarana pelayanan kesehatan dengan dokter dan dokter gigi sebagai pemberi pelayanan kesehatan.

Pengaturan secara lebih khusus mengenai Klinik diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 tentang Klinik. Dalam peraturan menteri ini sudah lebih mengkhusus karena tidak lagi menyebut secara umum sebagai fasilitas pelayanan kesehatan atau sarana pelayanan kesehatan namun sudah secara jelas menyebut sebagai klinik. Secara umum dalam


(59)

60

Peraturan Menteri Kesehatan tentang Klinik ini mengatur mengenai, ketentuan umum, jenis klinik, persyaratan klinik, perizinan, penyelenggaraan, pembinaan dan pengawasan, dan ketentuan peralihan.


(1)

55

d. Ketentuan-Ketentuan, Pembatasan-pembatasan, dan Syarat-syarat

Dalam keputusan terutama yang memuat mengenai izin, pada umumnya mengandung ketentuan-keetentuan, pembatasan-pembatasan, dan juga syarat-syarat (voorschriften, beperkingen, en voorwaarden). Ketentuan-ketentuan pada izin banyak terdapat dalam praktek Hukum Administrasi Negara, misalnya dalam undang-undang gangguan ditunjuk ketentuan-ketentuan seperti berikut.

1) Ketentuan-ketentuan tujuan (dengan maksud mewujudkan tujuan-tujuan tertentu, seperti mencegah pengotoran tanah).

2) Ketentuan-ketentuan sarana (kewajiban menggunakan sarana tertentu).

3) Ketentuan-ketentuan instruksi (kewajiban bagi pemegang izin untuk memberi instruksi-instruksi tertulis kepada personel dalam lembaga).

4) Ketentuan-ketentuan ukur dan pendaftaran (pengukuran untuk menilai kadar bahaya dan gangguan).

Dalam pembuatan keputusan khususnya yang memuat izin dimasukan pembatasan-pembatasan. Pembatasan-pembatasan dalam izin member kemungkinan untuk secara praktis melingkari lebih lanjut tindakan yang dibolehkan. Pembatasan tersebut dibentuk dengan menunjuk batas-batas dalam waktu, tempat, atau dengan cara lain. Syarat


(2)

56

dalam keputusan yang memuat izin akibat-akibat hukum tertentu digantungkan pada timbulnya suatu peristiwa di kemudian hari yang belum pasti. Dalam keputusan yang memuat izin juga dapat dimuat syarat-syarat penghapusan dan juga syarat-syarat penangguhan.

e. Pemberian Alasan

Pemberian alasan di dalam perizinan memuat beberapa hal penting seperti, penyebutan ketentuan undang-undang, pertimbangan-pertimbangan hukum, dan penetapan fakta.51 Penyebutan ketentuan undang-undang berguna sebagai aspek penting dalam menilai keputusan mengenai perizinan yang digunakan oleh para pihak terkait seperti organ pemerintah dan para pihak yang berkepentingan. Pertimbangan-pertimbangan hukum lahir dari interprestasi organ pemerintah terhadap ketentuan undang-undang, yang berperan bagi organ pemerintah untuk dapat memberikan keputusan mengenai ditolak atau diterimanya permohonan izin. Penetapan fakta merupakan interprestasi yang digunakan oleh organ pemerintah, yang tidak hanya melihat berdasarkan aturan-aturan yang berlaku tetapi juga melihat fakta-fakta yang ada.

f. Pemberitahuan-Pemberitahuan Tambahan

Pemberitahuan tambahan merupakan aspek penting dalam suatu perizinan, karena dalam pemberitahuan tambahan tersebut jelaskan

51


(3)

57

mengenai akibai-akibat dari pelanggaran izin seperti sanksi-sanksi dari ketidaktaatan. Pemberitahuan tambahan juga dapat berisikan mengenai petunjuk-petunjuk bagaimana cara yang tepat untuk mengajukan permohonan-permohonan berikutnya atau dapat juga berisikan informasi umum dari organ pemerintah mengenai kebijakan-kebijakan pada saat ini maupun kemudian hari. Pemberitahuan-pemberitahuan tambahan dapat digolongkan dalam pertimbangan yang berlebihan, yang pada dasarnya terlepas dari diktum yang merupakan inti dari keputusan, sehingga secara formal seseorang tidak dapat menggugat bagian pemberitahuan tambahan pada hakim administrasi.

2.2 Klinik

2.2.1 Pengertian Klinik

Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dalam Pasal 1

angka 7 menjelaskan bahwa, “Fasilitas pelayanan kesehatan adalah suatu alat

dan/atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan

oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat”. Klinik merupakan

salah satu dari fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan kepada masyarakat.

Dalam Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

dalam Pasal 1 angka 9 menyatakan bahwa “Sarana pelayanan kesehatan adalah


(4)

58

praktik kedokteran atau kedokteran gigi”. Klinik juga dikatagorikan sebagai

sarana kesehatan, karena klinik menyelenggarakan upaya kesehatan kepada masyarakat.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 tentang klinik, secara jelas dalam Pasal 1 angka 1 menyatakan bahwa “ Klinik adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan

perorangan yang menyediakan pelayanan medis dasar dan/atau spesialistik”.

Dalam memberikan pelayanan kesehatan pada suatu fasilitas pelayanan kesehatan atau Klinik dilakukan oleh tenaga kesehatan. Pada Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan pada Pasal 1 angka 6 menjelaskan

bahwa, “Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam

bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan

kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan”.

2.2.2 Jenis Klinik

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 tentang klinik, membedakan jenis klinik berdasarkan atas jenis pelayanannya yaitu Klinik Pratama dan Klinik Utama. Klinik Pratama merupakan jenis klinik yang memberikan pelayanan medik dasar yang mencakup pelayanan umum dan khusus. Klinik Utama merupakan jenis klinik yang memberikan pelayanan medik spesialistik atau pelayanan medik dasar dan pelayanan medik spesialistik. Dari kedua jenis klinik tersebut, klinik pratama dan klinik utama dalam memberikan


(5)

59

pelayanan kesehatan dapat mengkhususkan kepada bidang tertentu berdasarkan disiplin ilmu atau sistem organ tertentu.

2.2.3 Pengaturan Klinik Di Indonesia

Secara umum pengaturan mengenai klinik di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dimana klinik dalam undang-undang kesehatan ini digolongkan kedalam fasilitas pelayanan kesehatan. Pengaturan mengenai fasilitas pelayanan kesehatan dalam Undang-undang Kesehatan dituangkan dalam Pasal 30 – Pasal 35, yang pada pokoknya mengatur mengenai pembagian fasilitas pelayanan kesehatan menurut jenis pelayanannya, kewajiban dari fasilitas pelayanan kesehatan, kompetensi dari manajemen kesehatan, dan hak dari pemerintah daerah dalam fasilitas pelayanan kesehatan.

Dalam Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik kedokteran juga mengatur mengenai klinik, namun dalam Undang-undang Praktik Kedokteran ini klinik disebut sebagi Sarana Pelayanan Kesehatan. Dalam Undang-undang ini pengaturan mengenai sarana pelayanan kesehatan lebih di ditekankan kepada kaitan antara sarana pelayanan kesehatan dengan dokter dan dokter gigi sebagai pemberi pelayanan kesehatan.

Pengaturan secara lebih khusus mengenai Klinik diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 tentang Klinik. Dalam peraturan menteri ini sudah lebih mengkhusus karena tidak lagi menyebut secara umum sebagai fasilitas pelayanan kesehatan atau sarana pelayanan kesehatan namun sudah secara jelas menyebut sebagai klinik. Secara umum dalam


(6)

60

Peraturan Menteri Kesehatan tentang Klinik ini mengatur mengenai, ketentuan umum, jenis klinik, persyaratan klinik, perizinan, penyelenggaraan, pembinaan dan pengawasan, dan ketentuan peralihan.