PENGEMBANGAN LKS IPA BERBASIS PENDEKATAN SCIENTIFIC UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS SISWA KELAS VII SMP.

(1)

PENGEMBANGAN LKS IPA BERBASIS PENDEKATAN SCIENTIFIC UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS

SISWA KELAS VII SMP

Oleh:

Anggita Darmastuti 10315244023

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui kualitas LKS IPA berbasis pendekatan scientific dengan tema “Perubahan Materi dan Pemanfaatannya untuk Memisahkan Campuran”, (2) mengetahui respon siswa kelas VII terhadap LKS IPA berbasis pendekatan scientific, (3) mengetahui apakah ada peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa setelah penggunaan LKS berbasis pendekatan scientific hasil pengembangan.

Jenis penelitian ini merupakan penelitian dan pengembangan atau R & D (Research and Development). Model pengembangan yang digunakan diadaptasi dari model Borg & Gall dengan 5 tahapan utama, yaitu (1) Research and Information Collecting, (2) Planning, (3) Develop Preliminary of Product, (4) Preliminary Field Testing, dan (5) Main Product Revision. Validasi LKS dilakukan oleh 2 orang dosen ahli dan 2 orang guru IPA. Uji coba produk LKS dilakukan kepada 34 siswa di kelas VII B SMP Negeri 15 Yogyakarta pada semester ganjil tahun ajaran 2015/2016. Teknik pengambilan sampel yang digunakan yaitu dengan teknik purposive sampling. Uji coba dilakukan dengan metode quasi eksperimen dengan desain eksperimen non-equivalent control group design. Instrumen yang digunakan meliputi lembar penilaian LKS IPA, soal pretest dan posttest, angket respon siswa, dan lembar observasi keterlaksanaan pembelajaran. Teknik analisis data kualitas LKS dilakukan dengan analisis deskriptif berdasarkan hasil penilaian LKS, saran dan komentar oleh validator, analisis data respon siswa dilakukan dengan analisis deskriptif berdasarkan hasil penilaian LKS oleh siswa, sedangkan analisis peningkatan keterampilan berpikir kritis menggunakan uji t dan gain score.

Hasil dari penelitian ini adalah (1) LKS IPA berbasis pendekatan scientific yang dikembangkan memiliki kualitas sangat baik, (2) LKS IPA mendapatkan respon sangat baik dari siswa kelas VII B, (3) LKS IPA berbasis pendekatan scientific yang diterapkan di kelas eksperimen dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa dengan peningkatan rerata skor sebesar 28,06 dan perolehan rerata gain score sebesar 0,51 yang tergolong dalam kategori sedang. Sedangkan pembelajaran di kelas kontrol tanpa menggunakan LKS IPA berbasis pendekatan scientific hasil pengembangan, peningkatan rerata skor yang terjadi lebih rendah yaitu 24,41 dan perolehan gain score yang termasuk pada kriteria sedang dengan nilai 0,43.


(2)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan suatu rangkaian proses yang tak akan pernah berhenti selama manusia masih hidup. Pendidikan akan terus berkembang seiring perkembangan jaman karena dengan adanya proses pendidikan dalam diri manusia, manusia akan senantiasa mengembangkan kemampuan dan perilaku yang ada dalam diri sehingga dapat dimanfaatkan dalam kehidupannya. Proses pendidikan akan terus berjalan karena pendidikan sangat berkaitan erat dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia yang semakin pesat menuntut masyarakat saat ini dan di masa mendatang memiliki pemikiran visioner dan inovatif agar dapat bertahan dalam persaingan di masa mendatang yang semakin ketat. Oleh sebab itu perlu dimunculkannya bibit-bibit unggul penerus bangsa yang berkualitas dan mampu bersaing di masa mendatang.

Proses pembelajaran yang berkualitas akan mendukung munculnya siswa-siswa unggul yang cerdas dan memiliki pemikiran kritis dan kreatif. Proses pembelajaran ini dilakukan tentunya melalui berbagai disiplin ilmu yang diajarkan kepada siswa, salah satunya yaitu pada mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Pembelajaran IPA yang dahulu bersifat pengajaran, yakni berpusat pada guru di mana guru memberikan mentah-mentah ilmu tentang alam kepada siswa tanpa adanya proses yang menggiring siswa belajar, kini dengan semakin berkembangnya pendidikan dan sistem


(3)

2

pembelajaran, siswa tidak hanya memperoleh ilmu dari ucapan guru semata namun ada proses di mana siswa belajar menemukan ilmu tersebut melalui berbagai aktivitas dan percobaan ilmiah.

Perubahan kurikulum pendidikan dari yang sebelumnya bernama Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menjadi Kurikulum 2013 sedikit menimbulkan kebingungan di kalangan guru, termasuk guru IPA di sekolah tempat peneliti melaksanakan kegiatan KKN-PPL. Salah satu kesulitan yang dialami guru adalah ketika materi IPA dalam Kurikulum 2013 ini disampaikan secara terpadu dan tematik. Guru merasa sedikit kesulitan karena basis pendidikan guru IPA di Sekolah Menengah Pertama (SMP) rata-rata merupakan lulusan pendidikan biologi atau pendidikan fisika, sedangkan tuntutan bagi guru adalah guru harus mengajarkan materi IPA terpadu secara tematik di mana di dalamnya memuat materi biologi, fisika dan kimia yang dipadukan dalam suatu tema tertentu. Adanya keterpaduan materi IPA tidak mengubah esensi dari materi IPA itu sendiri, justru dengan menyajikan materi IPA secara tematik, khasanah pengetahuan siswa akan bertambah dan siswa akan mencerna ilmu pengetahuan itu secara utuh serta tidak terkotak-kotak menjadi biologi, fisika, dan kimia karena pada dasarnya ilmu pengetahuan alam merupakan sesuatu yang utuh. Hal ini sejalan dengan pernyataan Darliana bahwa:

Alam semesta terbentuk dari objek dan interaksinya yang menimbulkan fenomena.Fenomena tersebut tidaklah terkotak-kotak seperti disiplin ilmu-ilmu dasar atau terapan. Hanya keterbatasan kompetensi manusia lah yang menyebabkan ilmu mengenai alam terkotak-kotak dalam berbagai disiplin ilmu (Darliana, 2007:1)


(4)

3

Hal ini juga sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang standar isi yang menyatakan bahwa isi dari mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) pada SMP/MTs merupakan IPA Terpadu.

Menurut Pusat Kurikulum (2010: 4), Ilmu Pengetahuan Alam berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara secara sistematis sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja, tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Jadi pembelajaran IPA hendaknya mengarahkan siswa untuk aktif mencari tahu dan menggali informasi tentang alam sekitar secara mandiri agar memperoleh pemahaman konsep yang lebih mendalam.

Permendikbud No. 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah telah mengisyaratkan tentang perlunya proses pembelajaran yang dipandu dengan kaidah-kaidah pendekatan saintifik atau ilmiah (Imas Kurniasih dan Berlin Sani, 2014:141) Melalui pendekatan ini, siswa akan lebih banyak terlibat dalam aktivitas pembelajaran karena siswa akan diajak untuk menjadi seperti seorang ilmuwan yang menemukan fakta-fakta dan konsep-konsep dan kemudian mengolah serta menganalisis sendiri untuk menuju ke suatu kesimpulan dengan dibimbing oleh guru. Kemendikbud (2013) dalam Imas Kurniasih dan Berlin Sani, (2014:141) memberikan konsepsi tersendiri bahwa pendekatan ilmiah dalam pembelajaran di dalamnya mencakup komponen: mengamati, menanya, mencoba, mengolah, menyajikan, menyimpulkan, dan mencipta.


(5)

4

Untuk menunjang penerapan Kurikulum 2013 ini, kementrian pendidikan juga telah mendistribusikan buku guru dan buku siswa di semua mata pelajaran termasuk IPA sebagai acuan untuk melaksanakan Kurikulum 2013 dalam pembelajaran secara tepat. Untuk mendukung pembelajaran yang baik, selain buku teks juga diperlukan bahan ajar yang berkualitas salah satunya adalah Lembar Kerja Siswa (LKS). Namun LKS yang beredar di masyarakat saat ini belum sesuai dengan esensi Kurikulum 2013 yang mengedepankan kaidah pendekatan ilmiah sehingga guru sendiri-lah yang harus kreatif menciptakan LKS yang dapat digunakan untuk menunjang pembelajaran berbasis pendekatan ilmiah.

Dari hasil observasi terhadap LKS yang digunakan oleh guru dan siswa kelas VII di SMP 15 Yogyakarta, guru menggunakan LKS yang dibuat sendiri oleh guru karena adanya aturan untuk tidak mengambil pungutan dari siswa sehingga tidak boleh membeli LKS dari luar sekolah. Dengan demikian guru maupun siswa tidak menggunakan LKS dari luar sekolah. Kondisi ini seharusnya menjadi tantangan bagi guru untuk dapat menyediakan LKS yang jauh lebih baik daripada LKS di pasaran. Selain guru dapat menyesuaikan dengan kebutuhan siswa untuk memperoleh ilmu pengetahuan, guru juga dapat mengembangkan kemampuan maupun keterampilan lain pada siswa melalui LKS buatannya sendiri. Namun kenyataannya guru belum dapat menyediakan LKS yang baik dan sesuai dengan kurikulum 2013. Kelemahan pada LKS yang dibuat oleh guru adalah LKS tidak dicetak oleh guru untuk tiap siswa. Guru hanya membacakan dan siswa diminta untuk mencatat.


(6)

5

Akibatnya alokasi waktu banyak yang terbuang sehingga mengurangi waktu untuk melakukan kegiatan percobaan dan beberapa langkah pembelajaran lain menjadi tidak terlaksana. Pembelajaran yang seharusnya dilakukan dengan melaksanakan langkah mengamati, menanya, menalar, mencoba, dan mengkomunikasikan sebagai implementasi Kurikulum 2013 menjadi kurang dilaksanakan secara utuh. Karena adanya permasalahan tersebut maka kegiatan pembelajaran yang dilakukan hanya sebatas menyampaikan materi dan siswa kurang mendapat kesempatan untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis. Hal ini ditunjukkan dengan siswa belum mampu mengatasi sendiri kendala yang dihadapi saat melakukan percobaan dan lebih sering bergantung pada guru. Kalaupun siswa bertanya hanya berkaitan dengan hal yang teknis dan belum merupakan pertanyaan yang mendalam dan kritis.

Meskipun guru tidak menggunakan LKS yang dibuat oleh percetakan, namun peneliti mencoba mengobservasi LKS yang dijual di pasaran atau di luar sekolah. Analisis terhadap LKS yang beredar di pasaran menunjukkan bahwa : 1) LKS menyajikan materi yang sangat banyak dan lengkap; 2) Pada tiap sub bab materi terdapat satu macam aktivitas yang dapat dikerjakan oleh siswa namun dengan porsi yang sangat sedikit dibandingkan dengan keseluruhan isi LKS. LKS pada dasarnya merupakan panduan siswa yang digunakan untuk melakukan kegiatan penyelidikan atau pemecahan masalah (Trianto, 2010:111) sehingga LKS yang baik seharusnya berisi panduan-panduan untuk siswa belajar menemukan konsep melalui berbagai macam aktivitas dilengkapi info-info penting yang diperlukan siswa sebagai


(7)

6

petunjuk. LKS yang beredar tersebut menjadi kurang sesuai karena porsi jumlah materi pelajaran justru lebih banyak daripada porsi aktivitas siswa itu sendiri disertai dengan latihan soal yang hanya fokus pada hasil belajar di mana jawaban sudah ada pada rangkuman materi tanpa siswa harus mengolah informasi sendiri.

Berdasarkan hasil observasi terhadap peserta didik di SMP Negeri 15 Yogyakarta, guru telah memanfaatkan laboratorium IPA untuk kegiatan percobaan dengan dengan baik, akan tetapi pelaksanaan kegiatan percobaan tersebut banyak mengalami hambatan dari segi siswa. Hal yang menghambat penyampaian materi pembelajaran melalui kegiatan percobaan diantaranya tidak semua siswa dapat memahami dengan mudah maksud dan prosedur dari kegiatan yang sedang mereka laksanakan dan siswa hanya sekedar melaksanakan perintah guru. Hal ini ditunjukkan dengan siswa seringkali membuat kesalahan dalam melakukan percobaan dan kesalahan dalam menuliskan hasil percobaan sehingga beberapa kali guru harus melakukan koreksi pada proses dan hasil percobaan siswa. Kekurangpahaman siswa akan pembelajaran juga tidak diwujudkan dengan mengajukan pertanyaan. Antusiasme untuk mengajukan pertanyaan kepada guru masih rendah, terlihat hanya kurang dari lima siswa dalam kelas yang bertanya kepada guru. Adapun siswa yang bertanya, masih merupakan hal-hal yang teknis saja seperti penulisan suatu istilah dan belum pertanyaan yang lebih mendalam dan kritis. Selain itu, LKS yang berbasis pendekatan scientific yang sesuai dengan anjuran dalam Kurikulum 2013 belum banyak diciptakan.


(8)

7

Hal ini menggugah peneliti untuk mencoba memperbaiki kondisi tersebut dengan menciptakan sebuah produk berupa LKS yang dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritis siswa SMP kelas VII melalui berbagai aktivitas ilmiah yang tercakup dalam sebuah LKS berbasis pendekatan ilmiah. Maka dari itu peneliti menyusun sebuah penelitian dengan judul “Pengembangan Lembar Kerja Siswa Berbasis Pendekatan Scientific untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa Kelas VII SMP”. Peneliti mencoba menciptakan perangkat pembelajaran dan LKS berbasis pendekatan scientific yang dapat digunakan untuk menunjang pembelajaran IPA yang telah mengimplementasikan Kurikulum 2013.

Materi tentang perubahan fisika dan perubahan kimia serta pemisahan campuran untuk SMP kelas VII memungkinkan untuk dikembangkan menjadi sebuah LKS berbasis pendekatan ilmiah karena dalam materi tersebut kemampuan siswa dalam mengamati, menanya, mencoba, mengolah, menyajikan, dan menyimpulkan dapat dikembangkan. Dalam materi tentang perubahan fisika dan perubahan kimia serta pemisahan campuran memadukan materi dari aspek fisika dan kimia dengan mengambil tema “Perubahan Materi dan Pemanfaatannya untuk Memisahkan Campuran”.

Dengan pengembangan LKS IPA Terpadu ini, peneliti berharap produk yang dihasilkan dapat menjadi contoh konkret bagi guru dan diharapkan siswa dapat memahami konsep-konsep IPA secara utuh dan meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa serta siswa dapat lebih mudah memahami konsep-konsep IPA.


(9)

8 B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang, maka dapat diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut:

1. Kurikulum 2013 yang belum lama diterapkan mengakibatkan masih terbatasnya jumlah buku dan bahan ajar pendukung yang sesuai dengan Kurikulum 2013.

2. Basis pendidikan guru yang terspesifik fisika maupun biologi menjadi kurang maksimal dalam penyampaian materi IPA.

3. LKS yang diproduksi dari luar sekolah (percetakan) kurang sesuai standar LKS yang baik dan benar dan cenderung lebih banyak jumlah porsi rangkuman materi pelajaran daripada porsi aktivitas siswa.

4. Belum banyak tersedia LKS IPA berbasis pendekatan scientific yang dapat dijadikan sebagai contoh konkret guru IPA dalam rangka implementasi pembelajaran IPA yang sesuai dengan Kurikulum 2013. C. Batasan Masalah

Untuk menghindari luasnya permasalahan yang akan diteliti, peneliti membatasi permasalahan hanya pada permasalahan berikut:

1. Belum banyak tersedia LKS IPA berbasis pendekatan scientific yang dapat dijadikan sebagai contoh konkret guru IPA dalam rangka implementasi pembelajaran IPA yang sesuai dengan Kurikulum 2013. 2. Perangkat pembelajaran yang dikembangkan dalam penelitian adalah

LKS dengan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan scientific sebagai sarana untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa.


(10)

9

3. Kajian materi pengembangan LKS dibatasi pada materi IPA dengan tema “Perubahan Materi dan Pemanfaatannya untuk Memisahkan Campuran” yang diajarkan pada siswa kelas VII SMP.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi dan batasan masalah, maka permasalahan yang akan diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah LKS IPA berbasis pendekatan scientific dengan tema “Perubahan Materi dan Pemanfaatannya untuk Memisahkan Campuran” memiliki kualitas yang baik sebagai bahan ajar IPA ditinjau dari kesesuaian dengan syarat didaktik, konstruksi, dan teknis berdasarkan penilaian dan peninjauan dari validator?

2. Bagaimanakah respon siswa kelas VII terhadap LKS IPA berbasis pendekatan scientific dengan tema “Perubahan Materi dan Pemanfaatannya untuk Memisahkan Campuran”?

3. Apakah terdapat peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa setelah penggunaan LKS IPA berbasis pendekatan scientific dengan tema “Perubahan Materi dan Pemanfaatannya untuk Memisahkan Campuran”? E. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian dan pengembangan ini adalah:

1. Mengetahui kualitas LKS IPA berbasis pendekatan scientific dengan tema “Perubahan Materi dan Pemanfaatannya untuk Memisahkan Campuran” untuk digunakan sebagai bahan ajar IPA ditinjau dari kesesuaian dengan


(11)

10

syarat didaktik, konstruksi, dan teknis berdasarkan penilaian dan peninjauan dari validator.

2. Mengetahui respon siswa kelas VII terhadap LKS IPA berbasis pendekatan scientific dengan tema “Perubahan Materi dan Pemanfaatannya untuk Memisahkan Campuran”.

3. Mengetahui apakah ada peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa setelah penggunaan LKS berbasis pendekatan scientific dengan tema “Perubahan Materi dan Pemanfaatannya untuk Memisahkan Campuran”. F. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dengan penelitian pengembangan LKS IPA berbasis pendekatan scientific ini antara lain:

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini memiliki manfaat untuk menambah ilmu pengetahuan dan memberikan kosep-konsep baru mengenai pengembangan ilmu pendidikan khususnya bagi IPA terpadu.

2. Manfaat Praktis a. Bagi peneliti

Penelitian pengembangan ini dapat memberikan bekal pengalaman dalam membuat LKS terutama yang berbasis pendekatan scientific.

b. Bagi guru

Hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai wawasan bagi guru dan menjadi referensi bahan ajar sehingga guru dapat


(12)

11

melaksanakan pembelajaran IPA yang berkualitas serta dapat memotivasi guru sehingga mau menciptakan bahan ajar yang lebih baik lagi.

c. Bagi siswa

Dapat memfasilitasi siswa untuk memiliki pengalaman belajar IPA yang berbasis pendekatan scientific sehingga dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis dan pemahaman konsep siswa yang lebih baik.


(13)

12 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori 1. Hakikat IPA

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan bagian dari ilmu pengetahuan atau sains. Kata sains berasal dari bahasa latin yaitu scientia yang berarti “saya tahu” (Trianto, 2010:135). Menurut Pusat Kurikulum (2010:4), Ilmu Pengetahuan Alam berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara secara sistematis sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja, tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Powler (dalam Winataputra, 1992:122) mengemukakan bahwa IPA merupakan ilmu yang berhubungan dengan gejala-gejala alam dan kebendaan yang sistematis yang tersusun secara teratur, berlaku umum yang berupa kumpulan dan hasil observasi dan eksperimen. Dalam bukunya, Winataputra (1992:123) berpendapat bahwa IPA tidak hanya merupakan kumpulan pengetahuan tentang benda atau makhluk hidup, tetapi merupakan cara kerja, cara berfikir, dan cara memecahkan masalah.

Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Das Salirawati (2008:10) yang menyatakan bahwa IPA merupakan himpunan pengetahuan yang objeknya pengalaman manusia yang berupa gejala-gejala alam, yang dikumpulkan melalui metode ilmiah dan memiliki manfaat untuk kesejahteraan manusia. IPA dikembangkan melalui suatu proses ilmiah


(14)

13

yang menghasilkan informasi ilmiah berupa fakta-fakta, konsep, generalisasi, prinsip, teori, dan hukum IPA. Cara kerja IPA dalam mengungkap keilmuannya melalui proses ilmiah yang disebut dengan metode ilmiah.

Hakikat IPA meliputi empat unsur utama (Kemendikbud, 2013:213) yaitu:

a. Sikap: rasa ingin tahu tentang benda, fenomena alam, makhluk hidup, serta hubungan sebab akibat yang menimbulkan masalah baru yang dapat dipecahkan melalui prosedur yang benar; IPA bersifat open ended;

b. Proses: prosedur pemecahan masalah melalui metode ilmiah; metode ilmiah meliputi penyusunan hipotesis, perancangan eksperimen atau percobaan, evaluasi, pengukuran, dan penarikan kesimpulan;

c. Produk: berupa fakta, prinsip, teori, dan hukum;

d. Aplikasi: penerapan metode ilmiah dan konsep IPA dalam kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan penjelasan para ahli di atas, jadi yang dimaksud IPA dalam penelitian ini adalah sekumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip yang diperoleh melalui proses penemuan dengan langkah-langkah yang sistematis dan penerapannya diperoleh terbatas pada gejala-gejala alam.

2. Lembar Kerja Siswa (LKS)

Lembar Kerja Siswa (LKS) adalah lembaran yang berisi tugas yang harus dikerjakan oleh peserta didik. LKS biasanya berupa petunjuk, langkah untuk menyelesaikan suatu tugas. Suatu tugas yang diperintahkan dalam LKS harus jelas kompetensi dasar yang akan dicapainya (Depdiknas, 2004:18). LKS merupakan sarana yang dapat digunakan guru


(15)

14

dalam meningkatkan keterlibatan atau aktivitas siswa dalam proses belajar-mengajar (Hendro Darmodjo dan Jenny R. E. Kaligis,1992:40). Pendapat lainnya dikemukakan oleh Trianto (2010:111), yang menyatakan bahwa LKS adalah panduan siswa yang digunakan untuk melakukan kegiatan penyelidikan atau pemecahan masalah. LKS dapat berupa panduan untuk latihan pengembangan aspek kognitif maupun panduan untuk pengembangan semua aspek pembelajaran dalam bentuk panduan eksperimen atau demonstrasi. Sedangkan menurut Batjo (1993:8), LKS adalah lembar kerja yang berisi informasi dan perintah/instruksi dari guru kepada siswa untuk mengerjakan suatu kegiatan belajar dalam bentuk kerja, praktek, atau dalam bentuk penerapan hasil belajar untuk mencapai suatu tujuan.

Andi Prastowo (2011:204) menyatakan bahwa LKS merupakan materi ajar yang sudah dikemas sedemikian rupa sehingga siswa diharapkan dapat materi ajar tersebut secara mandiri. Dalam LKS, siswa akan mendapatkan materi, ringkasan, dan tugas yang berkaitan dengan materi. Selain itu, siswa juga dapat menemukan arahan yang terstruktur untuk memahami materi yang diberikan dan pada saat yang bersamaan siswa diberikan materi serta tugas yang berkaitan dengan materi tersebut.

Depdiknas (2008:42-43) menyatakan bentuk LKS bermacam-macam, dan bentuk tersebut sesuai dengan tujuan dari pengemasan LKS itu sendiri. Adapun macam-macam bentuk LKS berdasarkan tujuan pengemasan materi yang ada di dalam LKS yaitu:


(16)

15

a. LKS membantu siswa menemukan konsep

b. LKS membantu siswa menerapkan dan mengintegrasikan konsep yang telah ditemukan

c. LKS berfungsi sebagai penuntun belajar d. LKS berfungsi sebagai penguatan

e. LKS berfungsi sebagai petunjuk praktikum

Pembelajaran IPA pada dasarnya merupakan pembelajaran yang dapat memberikan pengalaman langsung kepada siswa sehingga siswa dapat belajar dari pengalaman tersebut serta didukung oleh guru sebagai pendamping dan fasilitator bagi siswa dalam menjalankan proses pembelajaran. LKS selain berperan sebagai panduan bagi siswa, juga bermanfaat bagi guru. Adapun manfaat dari penggunaan LKS bagi guru menurut Hendro Darmodjo dan Jenny R. E. Kaligis (1992 :40) antara lain:

a. Memudahkan guru dalam mengelola proses belajar, misalnya mengubah kondisi belajar dari suasana “guru sentris” menjadi “peserta didik sentris”.

b. Membantu guru mengarahkan peserta didiknya untuk dapat menemukan konsep-konsep melalui aktivitasnya sendiri atau dalam kelompok kerja.

c. Dapat digunakan untuk mengembangkan keterampilan proses, mengembangkan sikap ilmiah serta membangkitkan minat peserta didik terhadap alam sekitarnya.

d. Memudahkan guru memantau keberhasilan peserta didik untuk mencapai sasaran belajar.

Menurut Dikna (2004) (dalam Andi Prastowo, 2011:212-215), dalam penyusunan LKS terdapat langkah-langkah yang perlu dilakukan, antara lain:

a. Analisis Kurikulum

Analisis kurikulum merupakan langkah pertama dalam menyusun LKS. Langkah ini dimaksudkan untuk menentukan materi-materi yang menentukan bahan ajar LKS. Pada umumnya, dalam


(17)

16

menentukan materi, langkah analisisnya dilakukan dengan cara melihat materi pokok, pengalaman belajar, serta materi yang akan diajarkan. Selanjutnya, kita juga harus mencermati kompetensi yang mesti dimiliki oleh peserta didik. Jika semua langkah itu telah dilakukan, maka kita harus bersiap untuk memasuki langkah berikutnya, yakni menyusun peta kebutuhan lembar kegiatan siswa. b. Menyusun Peta Kebutuhan LKS

Peta kebutuhan LKS sangat diperlukan untuk mengetahui jumlah LKS yang harus ditulis serta melihat sekuensi atau urutan LKS-nya. Sekuensi LKS sangat dibutuhkan dalam menentukan prioritas penulisan. Langkah ini biasanya diawali dengan analisis kurikulum dan analisis sumber belajar.

c. Menentukan Judul LKS

Perlu kita ketahui bahwa judul LKS ditentukan atas dasar kompetensi-kompetensi dasar, materi-materi pokok atau pengalaman belajar yang terdapat dalam kurikulum. Satu kompetensi dasar dapat dijadikan judul LKS apabila kompetensi tersebut tidak terlalu besar. Adapun besarnya kompetensi dasar dapat dideteksi, antara lain dengan cara apabila diuraikan ke dalam materi pokok (MP) mendapatkan maksimal 4 MP, maka kompetensi tersebut dapat dijadikan sebagai satu judul LKS. Namun, apabila kompetensi dasar itu bisa diuraikan lebih dari 4 MP, maka harus kita pikirkan kembali apakah kompetensi dasar itu perlu dipecah, contohnya menjadi dua judul LKS. Jika


(18)

judul-17

judul LKS telah kita tentukan, maka langkah selanjutnya yaitu mulai melakukan penulisan.

d. Penulisan LKS

Untuk menulis LKS, langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut.

1) Perumusan KD yang harus dikuasai dengan tepat, untuk merumuskan kompetensi dasar, dapat kita lakukan dengan menurunkan rumusannya langsung dari kurikulum yang berlaku. 2) Menentukan instrumen penilaian, penilaian kita lakukan terhadap

proses kerja dan hasil kerja peserta didik.

3) Menyusun materi, materi LKS dapat berupa informasi pendukung yaitu, yaitu gambaran umum atau ruang lingkup substansi yang akan dipelajari. Materi dapat diambil dari berbagai sumber, seperti buku, majalah, internet, jurnal hasil penelitian, dan sebagainya.

4) Struktur LKS memuat judul, SK-KD, tujuan pembelajaran, materi ajar, langkah kerja, data hasil pengamatan, serta tugas yang harus diisi siswa.

Dalam penyusunan suatu LKS sebagai salah satu suatu penunjang pembelajaran, LKS harus memenuhi berbagai persyaratan yaitu syarat didaktik, syarat konstruksi, dan syarat teknik. (Hendro Darmodjo dan Jenny R.E. Kaligis 1992:41-46).


(19)

18 a. Syarat Didaktik

LKS harus memenuhi syarat didaktik, artinya LKS harus mengikuti azas-azas pembelajaran efektif, yaitu :

1) LKS yang baik memperhatikan adanya perbedaan individu sehingga dapat digunakan oleh seluruh siswa yang memiliki kemampuan yang berbeda. LKS dapat digunakan oleh siswa lamban, sedang, maupun pandai.

2) LKS menekankan pada proses untuk menemukan konsep-konsep sehingga berfungsi sebagai penunjuk bagi siswa untuk mencari informasi bukan alat pemberi tahu informasi. 3) LKS memiliki variasi stimulus melalui berbagai media dan

kegiatan siswa sehingga dapat memberikan kesempatan pada siswa untuk menulis, bereksperimen, praktikum, dan lain sebagainya.

4) LKS mengembangkan kemampuan komunikasi sosial, emosional, moral, dan estetika pada diri anak, sehingga tidak hanya ditujukan untuk mengenal fakta-fakta dan kosep-konsep akademis maupun juga kemampuan sosial dan psikologis.

5) LKS menentukan pengalaman belajar dengan tujuan pengembangan pribadi siswa bukan materi pelajaran.

b. Syarat Konstruksi

Syarat konstruksi adalah syarat-syarat yang berhubungan dengan penggunaan bahasa, susunan kalimat, kosakata, tingkat kesukaran, dan kejelasan dalam LKS. Syarat konstruksi tersebut adalah:

1) LKS menggunakan bahasa yang sesuai dengan tingkat kedewasaan anak.

2) LKS menggunakan struktur kalimat yang jelas.

Hal-hal yang perlu diperhatikan agar kalimat menjadi jelas yaitu:

a) Hindari kalimat kompleks.

b) Hindari kata-kata tidak jelas misalnya “mungkin”, “kira-kira”

c) Hindari kalimat negatif, apalagi kalimat negatif ganda. d) Menggunakan kalimat positif lebih jelas daripada

kalimat negatif.

3) LKS memiliki tata urutan pelajaran yang sesuai dengan tingkat kemampuan siswa, artinya dari hal-hal sederhana menuju hal-hal yang lebih kompleks.

4) LKS menghindari pertanyaan yang terlalu terbuka. Pertanyaan dianjurkan merupakan isian atau jawaban yang didapat dari hasil pengelolaan informasi, bukan mengambil dari perbendaharaan pengetahuan yang tak terbatas.


(20)

19

5) LKS mengacu pada buku standar dalam kemampuan keterbatasan siswa.

6) LKS menyediakan ruang yang cukup untuk memberi keleluasaan pada siswa untuk menulis maupun menggambarkan hal-hal yang ingin disampaikan.

7) LKS menggunakan kalimat yang sederhana dan pendek. Kalimat yang panjang tidak menjamin kejelasan instruksi atau isi. Namun kalimat yang terlalu pendek juga dapat mengundang pertanyaan.

8) LKS menggunakan lebih banyak ilustrasi daripada kata-kata.

9) LKS dapat digunakan untuk anak-anak, baik yang lambat maupun cepat dalam hal penguasaan materi.

10) LKS memiliki tujuan belajar yang jelas serta manfaat sebagai sumber motivasi.

11) LKS memiliki identitas untuk memudahkan administrasinya. Misalnya kelas, mata pelajaran, topik, nama-nama kelompok, tanggal, dan sebagainya.

c. Syarat Teknis 1) Tulisan

Tulisan dalam LKS diharapkan memperhatikan hal-hal berikut:

a) Menggunakan huruf cetak dan tidak menggunakan huruf latin/ romawi.

b) Menggunakan huruf tebal yang agak tebal untuk topik, bukan huruf biasa yang diberi garis bawah.

c) Menggunakan maksimal 10 kata dalam 1 baris.

d) Menggunakan bingkai untuk membedakan kalimat perintah dengan jawaban siswa.

e) Membandingkan antara huruf dan gambar dengan serasi.

2) Gambar

Gambar yang baik adalah yang menyampaikan pesan secara efektif pada pengguna LKS.

3) Penampilan

Penampilan dibuat menarik karena anak pertama-tama akan tertarik pada penampilan bukan isinya.

Kualitas LKS yang disusun juga harus memenuhi aspek-aspek penilaian (diadaptasi dari Hermawan, 2004:17-18 dalam Regina Tutik Padmaningrum, 2006) yang meliputi :


(21)

20 a. Aspek Pendekatan Penulisan

1) Menekankan keterampilan proses.

2) Menghubungkan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan kehidupan.

3) Mengajak siswa aktif dalam pembelajaran. b. Aspek Kebenaran Konsep

1) Kesesuaian konsep dengan konsep yang dikemukakan oleh ahli.

2) Kebenaran susunan materi tiap bab dan prasyarat yang digunakan.

c. Aspek Kedalaman Konsep

1) Muatan latar belakang sejarah penemuan konsep, hukum, atau fakta.

2) Kedalaman materi sesuai dengan kompetensi siswa berdasarkan kurikulum.

d. Aspek Keluasan Konsep

1) Kesesuaian konsep dengan materi pokok dalam kurikulum. 2) Hubungan konsep dengan kehidupan sehari-hari.

3) Informasi yang dikemukakan mengikuti perkembangan zaman.

e. Aspek Kejelasan Kalimat

1) Kalimat tidak menimbulkan makna ganda. 2) Kalimat yang digunakan mudah dipahami. f. Aspek Kebahasaan

1) Bahasa yang digunakan mengajak siswa interaktif. 2) Bahasa yang digunakan baku dan menarik.

g. Aspek Penilaian Hasil Belajar

1) Mengukur kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik. 2) Mengukur kemampuan siswa secara mendalam dan

berdasarkan standar kompetensi yang ditentukan oleh kurikulum.

h. Aspek Kegiatan/ Eksperimen

1) Memberikan pengalaman langsung.

2) Mendorong siswa menyimpulkan konsep, hukum, atau fakta.

3) Kesesuaian kegiatan siswa/ percobaan dengan materi pelajaran dalam kurikulum.

i. Aspek Keterlaksanaan

1) Materi pokok sesuai dengan alokasi waktu di sekolah. 2) Kegiatan siswa/ percobaan dapat dilaksanakan. j. Aspek Penampilan Fisik

1) Desain yang meliputi konsistensi, format, organisasi, dan daya tarik buku baik.

2) Kejelasan tulisan dan gambar.


(22)

21

Menurut Slamet Suyanto, Paidi, dan Insih Wilujeng (2011), komponen LKS meliputi hal-hal berikut:

a. Nomor LKS, hal ini dimaksudkan untuk mempermudah guru mengenal dan menggunakannya. Misalnya untuk kelas 1, KD, 1 dan kegiatan 1, nomor LKS-nya adalah LKS 1.1.1. Dengan nomor tersebut guru langsung tahu kelas, KD, dan kegiatannya.

b. Judul kegiatan, berisi topik kegiatan sesuai dengan KD, seperti Komponen Ekosistem.

c. Tujuan, adalah tujuan belajar sesuai dengan KD.

d. Alat dan bahan, jika kegiatan belajar memerlukan alat dan bahan, maka dituliskan alat dan bahan yang diperlukan.

e. Prosedur kerja, berisi petunjuk kerja untuk siswa yang berfungsi mempermudah siswa melakukan kegiatan belajar. f. Tabel data, berisi tabel di mana siswa dapat mencatat hasil

pengamatan atau pengukuran. Untuk kegiatan yang tidak memerlukan data, maka bisa diganti dengan kotak kosong di mana siswa dapat menulis, menggambar, atau berhitung. g. Bahan diskusi, berisi pertanyaan-pertanyaan yang menuntun

siswa melakukan analisis data dan melakukan konseptualisasi. Untuk beberapa mata pelajaran, seperti bahasa, bahan diskusi bisa berupa pertanyaan-pertanyaan yang bersifat refleksi.

Surachman (1998:47) menjelaskan bahwa untuk keperluan penyusunan LKS diperlukan bentuk kegiatan yang memungkinkan siswa berhubungan dengan orang lain. Oleh karena itu untuk kemudahannya LKS dibagi menjadi 3 model yaitu:

a. LKS model tertutup (Structured/ Guided)

Sifat tertutup pada LKS ini menunjukkan belajar yang dikemas pendidik sedemikian ketatnya sehingga tidak memberi peluang kepada siswa untuk berpikir kreativitas, minat, dan daya imajinasinya. Siswa dipaksa mengikuti arahan dan mengerjakan tugas-tugas sesuai dengan petunjuk yang telah ditetapkan oleh pendidik. Penerapan bentuk LKS


(23)

22

ini biasanya ditujukan pada siswa yang mulai belajar. Apa yang dikerjakan siswa, secara tersembunyi sesungguhnya adalah semua jawaban yang diketemukan siswa dalam kegiatan yang sudah ditetapkan pendidik.

b. LKS semi terbuka (Semi Structured)

LKS ini mirip dengan model tertutup namun beberapa bagiannya sengaja diberikan kepada siswa untuk dikembangkan. Bagian-bagian yang diserahkan siswa umumnya dirancang pendidik untuk mengembangkan beberapa kemampuan spesifik pada diri siswa. c. LKS terbuka (Free Inquiry/ Unguided)

LKS model terbuka memberi makna adanya pemberian peluang besar bagi siswa mengembangkan kreativitas dan daya nalarnya. Arahan yang diberikan pendidik biasanya lebih bersifat sebagai stimuli bagi siswa untuk mengerjakan suatu kegiatan belajar, misalnya penyajian problema yang harus dipecahkan siswa lewat kajian ekperimental atau dapat pula disajikan sebagai bentuk studi kasus. Dalam hal ini desain dan pelaksanaan eksperimennya dikerjakan siswa. Selama kegiatan belajar pendidik lebih banyak memerankan sebagai motivator dan fasilitator

Berdasarkan pengertian LKS menurut para ahli, dapat disimpulkan bahwa LKS adalah sarana pembelajaran berupa panduan kegiatan siswa yang dapat membantu guru untuk meningkatkan keaktifan siswa dalam proses pembelajaran baik berupa kegiatan penyelidikan maupun


(24)

23

pemecahan masalah sehingga siswa dapat memaksimalkan pemahamannya. Model LKS yang digunakan dalam pengembangan LKS berbasis pendekatan scientific ini adalah LKS model tertutup (Structured/ Guided) di mana peneliti telah menentukan segala rancangan kegiatan siswa serta tugas-tugas yang harus dikerjakan sesuai petunjuk dengan bimbingan guru. Komponen LKS yang disusun peneliti dalam penelitian ini mencakup 9 komponen utama, meliputi: (1) judul LKS; (2) nomor kegiatan; (3) judul kegiatan; (4) tujuan kegiatan; (5) alat dan bahan; (6) langkah kerja; (7) tabel data; (8) bahan diskusi; dan (9) kesimpulan.

Dengan memperhatikan syarat penyusunan LKS, maka dalam penyusunan LKS ini disusun dengan memenuhi syarat didaktik, konstruksi, dan teknis. Pertama, syarat didaktik meliputi: (1) memperhatikan perbedaan individu, (2) menekankan pada proses penemuan dan pengorganisasian konsep; (3) kesesuaian konsep dengan materi pokok dalam Kurikulum 2013; (4) memberikan pengalaman langsung; (5) mendorong siswa menyimpulkan konsep, hukum, atau fakta; (6) kesesuaian konsep dengan konsep yang dikemukakan ahli; (7) kesesuaian materi dengan kompetensi pembelajaran berdasarkan Kurikulum 2013; dan (8) kesesuaian kegiatan siswa dengan materi pelajaran berdasarkan Kurikulum 2013. Kedua, syarat konstruksi meliputi: (1) kejelasan kalimat, yang terdiri dari struktur kalimat yang digunakan jelas dan efektif, kalimat tidak menimbulkan makna ganda, dan kalimat yang digunakan sederhana, pendek, dan mudah dipahami; (2) kebahasaan,


(25)

24

yang terdiri dari bahasa sesuai tingkat kedewasaan anak dan menggunakan bahasa yang baku dan sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang benar; (3) memberikan tempat yang leluasa untuk menulis; (4) kelengkapan identitas LKS; dan (5) kelengkapan dan sistematika komponen LKS. Ketiga, syarat teknis meliputi (1) desain (konsistensi, format, dan daya tarik) baik; (2) kejelasan tulisan dan gambar serta gambar mendukung kejelasan konsep; (3) kombinasi warna baik.

Mengacu pada definisi operasional di atas, maka dikembangkan kisi-kisi pengembangan LKS IPA yang digunakan sebagai pedoman pengembangan LKS IPA yang disajikan pada Lampiran 3.3.

3. Pendekatan Scientific

Kurikulum 2013 menekankan penerapan pendekatan scientific pada proses pembelajaran. Pendekatan scientific dalam pembelajaran sebagaimana dimaksud meliputi mengamati, menanya, mencoba, mengolah, menyajikan, menyimpulkan, dan mencipta untuk semua mata pelajaran (Sudarwan dalam Kemendikbud, 2013:212).

Menurut Nur (dalam Muslimin, 2010:3), pendekatan atau metode scientific adalah pendekatan atau metode untuk mendapatkan pengetahuan melalui dua jalur yaitu jalur akal (nalar) dan jalur pengamatan. Adapun wujud operasional dari pendekatan scientific adalah penyelidikan ilmiah. Penyelidikan ilmiah ini didefinisikan sebagai usaha sistematik untuk mendapatkan jawaban atas masalah atau pertanyaan. Dengan demikian, ciri khas pendekatan scientific adalah pemecahan masalah melalui


(26)

25

penalaran dan pengamatan. Pendekatan scientific ini relevan dengan teori belajar yang dikemukakan oleh Bruner. Teori belajar Bruner disebut juga teori belajar penemuan. Ada empat hal pokok berkaitan dengan teori belajar Bruner (Carin & Sund, 1975). Pertama, individu hanya belajar dan mengembangkan pikirannya apabila ia menggunakan pikirannya. Kedua, dengan melakukan proses-proses kognitif dalam proses penemuan, siswa akan memperoleh sensasi dan kepuasan intelektual yang merupakan suatu penghargaan intrinsik. Ketiga, satu-satunya cara agar seseorang dapat mempelajari teknik-teknik dalam melakukan penemuan adalah ia memiliki kesempatan untuk melakukan penemuan. Keempat, dengan melakukan penemuan maka akan memperkuat retensi ingatan. Empat hal di atas adalah bersesuaian dengan proses kognitif yang diperlukan dalam pembelajaran menggunakan metode scientific.

Untuk memperkuat pendekatan scientific diperlukan adanya penalaran dan sikap kritis siswa dalam rangka pencarian (penemuan). Agar dapat disebut ilmiah, metode pencarian (method of inquiry) harus berbasis pada bukti-bukti dari objek yang dapat diobservasi, empiris, dan terukur dengan prinsip-prinsip penalaran yang spesifik. Karena itu metode ilmiah umumnya memuat rangkaian kegiatan koleksi data atau fakta melalui observasi dan eksperimen, kemudian memformulasi dan menguji hipotesis. Sebenarnya apa yang dibicarakan dengan metode ilmiah merujuk pada: (1) adanya fakta, (2) sifat bebas prasangka, (3) sifat objektif, dan (4) adanya analisa. Dengan metode ilmiah seperti ini


(27)

26

diharapkan kita akan mempunyai sifat kecintaan pada kebenaran yang objektif, tidak gampang percaya pada hal-hal yang tidak rasional, ingin tahu, tidak mudah membuat prasangka, selalu optimis (Kemendikbud, 2013: 141).

Mc Collum (2009) (dalam Kemendikbud, 2013:213-214) mengemukakan bahwa komponen-komponen penting dalam mengajar menggunakan pendekatan scientific diantaranya adalah guru harus menyajikan pembelajaran yang dapat (1) meningkatkan rasa keingintahuan (Forster a sense of wonder); (2) meningkatkan keterampilan mengamati (Encourage observation); (3) melakukan analisis (Push for analysis); dan (4) berkomunikasi (Require communication).

Langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan ilmiah digambarkan dengan bagan di bawah ini. (Kemendikbud, 2013:194)

Gambar 1. Skema Langkah Pembelajaran dengan Pendekatan Ilmiah (Sumber: Kemendikbud, 2013)


(28)

27 a. Mengamati (Observing)

Metode mengamati sangat bermanfaat bagi pemenuhan rasa ingin tahu peserta didik. Sehingga proses pembelajaran memiliki kebermaknaan yang tinggi. Dengan metode observasi peserta didik menemukan fakta bahwa ada hubungan antara obyek yang dianalisis dengan materi pembelajaran yang digunakan oleh guru.

Menurut Permendikbud Nomor 81A Tahun 2013 lampiran IV, mengamati meliputi kegiatan membaca, mendengar, menyimak, melihat, dan memperhatikan hal yang penting dari suatu benda atau objek. Dengan kata lain, mengamati merupakan kegiatan yang memanfaatkan panca indera untuk memperoleh informasi atau fakta dari suatu benda atau objek. Guru memfasilitasi siswa mengamati untuk melatih kesungguhan, ketelitian, serta keterampilan mencari informasi.

Kegiatan mengamati dalam pembelajaran dilakukan dengan menempuh langkah-langkah seperti berikut ini.

1) Menentukan objek apa yang akan diobservasi.

2) Membuat pedoman observasi sesuai dengan lingkup objek yang akan diobservasi.

3) Menentukan secara jelas data-data apa yang perlu diobservasi, baik primer maupun sekunder.

4) Menentukan di mana tempat objek yang akan diobservasi. 5) Menentukan secara jelas bagaimana observasi akan

dilakukan untuk mengumpulkan data agar berjalan mudah dan lancar.

6) Menentukan cara dan melakukan pencatatan atas hasil observasi, seperti menggunakan buku catatan, kamera, tape recorder, video perekam, dan alat-alat tulis lainnya.


(29)

28 b. Menanya (Questioning)

Pertanyaan dimaksudkan untuk memperoleh tanggapan verbal. Istilah “pertanyaan” tidak selalu dalam bentuk “kalimat tanya”, melainkan juga dapat dalam bentuk pernyataan, asalkan keduanya menginginkan tanggapan verbal.

Kegiatan menanya menurut Permendikbud Nomor 81A Tahun 2013 ialah kegiatan mengajukan pertanyaan tentang informasi yang tidak dipahami dari apa yang diamati atau pertanyaan untuk mendapatkan informasi tambahan tentang apa yang diamati (dimulai dari pertanyaan faktual sampai ke pertanyaan yang bersifat hipotetik). Kompetensi yang dikembangkan melalui aktivitas ini meliputi kreativitas, rasa ingin tahu, kemampuan merumuskan pertanyaan, untuk membentuk pikiran kritis yang perlu untuk hidup cerdas dan belajar sepanjang hayat.

Dengan kata lain kegiatan menanya merupakan kegiatan menghimpun ide-ide yang diwujudkan dalam sebuah pertanyaan, baik tentang hal yang tidak dipahami maupun mendapatkan informasi tambahan tentang apa yang diamati.

c. Menalar (Associating)

Penalaran adalah proses berfikir yang logis dan sistematis atas fakta-kata empiris yang dapat diobservasi untuk memperoleh simpulan berupa pengetahuan. Istilah asosiasi dalam pembelajaran merujuk pada kemampuan mengelompokkan beragam ide dan


(30)

29

mengasosiasikan beragam peristiwa untuk kemudian memasukannya menjadi penggalan memori.

Dalam Permendikbud No 81A Tahun 2013, kegiatan menalar atau mengasosiasi merupakan kegiatan mengolah informasi yang sudah dikumpulkan baik terbatas dari hasil kegiatan mengumpulkan/ eksperimen maupun hasil dari kegiatan mengamati dan kegiatan mengumpulkan informasi. Pengolahan informasi yang dikumpulkan dari yang bersifat menambah keluasan dan kedalaman sampai kepada pengolahan informasi yang bersifat mencari solusi dari berbagai sumber yang memiliki pendapat yang berbeda sampai kepada yang bertentangan.

Melalui kegiatan mengasosiasi, siswa dapat mengembangkan sikap jujur, teliti, disiplin, taat aturan, kerja keras, kemampuan menerapkan prosedur, dan kemampuan berpikir induktif serta deduktif dalam menyimpulkan.

d. Mencoba (Experimenting)

Untuk memperoleh hasil belajar yang nyata atau autentik, peserta didik harus mencoba atau melakukan percobaan, terutama untuk materi atau substansi yang sesuai. Pada mata pelajaran IPA, misalnya, peserta didik harus memahami konsep-konsep IPA dan kaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Peserta didik pun harus memiliki keterampilan proses untuk mengembangkan pengetahuan tentang alam sekitar, serta mampu menggunakan metode ilmiah dan


(31)

30

bersikap ilmiah untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya sehari-hari.

Menurut Permendikbud Nomor 81A Tahun 2013, Kegiatan mengumpulkan informasi dilakukan melalui eksperimen, membaca sumber lain selain buku teks, mengamati objek/ kejadian, aktivitas, wawancara dengan narasumber, dan sebagainya.

Melalui kegiatan ini, siswa dapat mengembangkan sikap teliti, jujur, sopan, menghargai pendapat orang lain, kemampuan berkomunikasi, menerapkan kemampuan mengumpulkan informasi melalui berbagai cara yang dipelajari, mengembangkan kebiasaan belajar dan belajar sepanjang hayat.

Aplikasi metode eksperimen atau mencoba dimaksudkan untuk mengembangkan berbagai ranah tujuan belajar, yaitu sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Aktivitas pembelajaran yang nyata untuk ini adalah: (1) menentukan tema atau topik sesuai dengan kompetensi dasar menurut tuntutan kurikulum; (2) mempelajari cara-cara penggunaan alat dan bahan yang tersedia dan harus disediakan; (3) mempelajari dasar teoritis yang relevan dan hasil-hasil eksperimen sebelumnya; (4) melakukan dan mengamati percobaan; (5) mencatat fenomena yang terjadi, menganalisis, dan menyajikan data; (6) menarik simpulan atas hasil percobaan; dan (7) membuat laporan dan mengkomunikasikan hasil percobaan.


(32)

31

e. Mengkomunikasikan (Communicating)

Mengkomunikasikan meliputi kegiatan menyampaikan hasil pengamatan, kesimpulan, berdasarkan hasil analisis secara lisan, tertulis, atau media lainnya. Kompetensi yang dikembangkan dalam kegiatan ini ialah sikap jujur, teliti, toleransi, kemampuan berpikir sistematis, mengungkapkan pendapat dengan singkat dan jelas, dan mengembangkan kemampuan berbahasa yang baik dan benar.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa pendekatan scientific merupakan pendekatan pembelajaran di mana siswa diajak melakukan pencarian pengetahuan melalui proses penemuan dengan menekankan pada penguasaan keterampilan yang meliputi mengamati, menanya, mencoba, mengolah, menyajikan, menyimpulkan, dan mencipta untuk semua mata pelajaran. Merujuk pada pendapat para ahli, langkah-langkah dalam pembelajaran berbasis pendekatan scientific yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:

a. Mengamati, yaitu kegiatan memanfaatkan panca indera untuk memperoleh informasi atau fakta dari suatu benda atau objek. Panca indera yang dimaksud meliputi indera penglihatan, indera menciuman, indera pendengaran, indera peraba, maupun indera pengecap.

b. Menanya, yaitu kegiatan menghimpun ide-ide yang diwujudkan dalam sebuah pertanyaan, baik tentang hal yang tidak dipahami maupun mendapatkan informasi tambahan tentang apa yang diamati. Kegiatan


(33)

32

yang dimaksud adalah mengajukan pertanyaan yang betkaitan dengan objek pengamatan dalam bentuk tertulis maupun lisan.

c. Mencoba, yaitu kegiatan mengumpulkan informasi atau fakta melalui suatu aktivitas atau dengan mengamati objek atau kejadian. Kegiatan yang dimaksud adalah melakukan langkah-langkah prosedural untuk melakukan kegiatan percobaan dan pengamatan.

d. Menalar, yaitu kegiatan berpikir secara mendalam, logis, dan sistematis untuk mengolah informasi atau fakta untuk memperoleh simpulan. Kegiatan yang dimaksud meliputi menjawab pertanyaan untuk mengumpulkan informasi yang diperlukan dan membuat kesimpulan dari kegiatan mengolah informasi.

e. Mengkomunikasikan, yaitu kegiatan menyampaikan hasil pengamatan dan kesimpulan berdasarkan hasil analisis baik secara secara lisan maupun tertulis. Kegiatan yang dimaksud meliputi menyajikan hasil pengamatan secara tertulis dalam bentuk tabel pengamatan dan menyampaikan hasil pengamatan dan kesimpulan secara lisan.

Mengacu pada definisi operasional di atas, maka dikembangkan kisi-kisi pendekatan scientific yang digunakan sebagai pedoman pengembangan LKS IPA berbasis pendekatan scientific yang disajikan pada Lampiran 3.1.

LKS berbasis pendekatan scientific dalam penelitian ini ialah panduan kegiatan siswa untuk meningkatkan keaktifan siswa dalam proses pembelajaran yang didalamnya mencakup aktivitas yang dikembangkan


(34)

33

sesuai dengan langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan scientific yaitu (1) mengamati, (2) menanya, (3) mencoba, (4) menalar, dan (5) mengkomunikasikan.

4. Keterampilan Berpikir Kritis

Berpikir pada umumnya didefinisikan sebagai proses mental yang dapat menghasilkan pengetahuan. Berpikir adalah suatu kegiatan akal untuk mengolah pengetahuan yang telah diperoleh melalui indera dan ditujukan untuk mencapai kebenaran (Rakhmat, 1991:138). Ngalim Purwanto (2007:43) berpendapat bahwa berpikir adalah suatu keaktifan pribadi manusia yang mengakibatkan penemuan terarah kepada suatu tujuan, Manusia berpikir untuk menemukan pemahaman/ pengertian yang dikehendakinya. Menurut Sardiman (1996:45), berpikir merupakan aktivitas mental untuk dapat merumuskan pengertian, mensintesis, dan menarik kesimpulan. Berdasarkan pendapat yang dikemukakan para ahli, berpikir pada dasarnya merupakan suatu aktivitas mental yang terjadi pada diri manusia yang tidak hanya melibatkan kerja otak tetapi juga melibatkan fisik, perasaan, dan kehendak. Berpikir terjadi pada segala aspek aktivitas mental dan fisik manusia dengan tujuan untuk memecahkan suatu masalah maupun untuk mengambil keputusan.

Berpikir kritis adalah cara berpikir reflektif yang masuk akal atau berdasarkan nalar yang difokuskan untuk menentukan apa yang harus diyakini dan dilakukan. (Ennis dalam M. Akshir, 2007:3). Dede Rosyada (2004:170) menyatakan bahwa :


(35)

34

“Berpikir kritis adalah kemampuan siswa dalam menghimpun berbagai informasi lalu membuat kesimpulan evaluatif dari berbagai informasi tersebut. Kemampuan tersebut merupakan sesuatu yang amat rasional untuk dikembangkan. Berpikir kritis pada intinya adalah kegiatan mengakses berbagai informasi lain, dari berbagai sumber yang tidak dibatasi hanya buku teks, lalu informasi tersebut dianalisis menggunakan pengetahuan dasar dari bahan ajar formal, lalu mereka membuat kesimpulan.”

Sedangkan menurut Paul Chance (dalam Dike, 2008:16-17), berpikir kritis sebagai kemampuan yang berkaitan dengan kemampuan menganalisis berbagai kenyataan, membuat generalisasi, mengorganisasikan dan mempertahankan ide-ide, membuat komparasi, menilai argumen-argumen, membuat kesimpulan dan memecahkan masalah.

Berpikir kritis menurut Elaine B. Johnson (2009:183) merupakan sebuah proses yang terarah dan jelas yang digunakan dalam kegiatan mental seperti memecahkan masalah, mengambil keputusan, membujuk, menganalisis asumsi, dan melakukan penelitian ilmiah.

Amien (1973) (dalam Asri Widowati, 2010:103) mengemukakan bahwa berpikir kritis biasanya diuraikan menjadi langkah-langkah sebagai berikut :

a. Mengenal dan merumuskan suatu problem

b. Menerangkan problem dengan membuat definisi-definisi yang sesuai, membedakan antara fakta-fakta dan asumsi-asumsi, dan mengumpulkan serta menyusun informasi-informasi yang relevan.

c. Merumuskan penjelasan-penjelasan dan pemecahan-pemecahan yang mungkin.

d. Menyatakan atau menarik kesimpulan-kesimpulan berdasarkan eksperimen.


(36)

35

Prosedur berpikir kritis dapat dikembangkan untuk sampai melahirkan rumusan-rumusan berpikir kritis, seperti yang dikemukakan Donal P. Kauchak (Dede Rosyada, 2004:179) yakni sebagai berikut:

Tabel 1. Rumusan Berpikir Kritis (Dede Rosyada, 2004:179)

No Perbuatan Proses

1. Observasi Membandingkan dan membuat klasifikasi. 2. Perumusan berbagai

macam pola pilihan dan generalisasi

Merumuskan berbagai macam pola pilihan dan menggeneralisasikannya.

3. Perumusan kesimpulan

berdasarkan pada pola-pola yang telah dikembangkan

Penyimpulan, memprediksi, membuat hipotesis, mengidentifikasi kasus dan efek-efeknya.

4. Mengevaluasi kesimpulan berdasarkan data

Mendukung kesimpulan dengan data, mengamati konsistensinya, mengidentifikasi bias, stereo tipe pengulangan serta mengangkat kembali berbagai asumsi yang tidak pernah terumuskan, memahami kemungkinan generalisasi yang terlampau besar atau kecil, serta mengidentifikasi berbagai informasi yang relevan dan yang tidak relevan.

Dalam rangka mengetahui bagaimana mengembangkan berpikir kritis pada diri seseorang, Ennis dan Norris mengemukakan bahwa kemampuan berpikir kritis dikelompokkan ke dalam 5 langkah, yaitu: (1) memberikan penjelasan sederhana, (2) membangun keterampilan dasar, (3) menyimpulkan, (4) memberikan penjelasan lanjut, dan (5) mengatur strategi dan taktik. Sejalan dengan ini, menurut Ennis dalam Hanumi Oktiyani Rusdi (2007:12-15) ada 12 indikator kemampuan berpikir kritis yang dikelompokkan menjadi 5 aspek kelompok keterampilan berpikir.


(37)

36

Tabel 2. Indikator Berpikir Kritis menurut R. Ennis (dalam Hanumi Oktiyani Rusdi, 2007:12-15)

No Aspek

Kelompok Indikator Sub-indikator

1. Memberikan penjelasan sederhana

Memfokuskan pertanyaan

 Mengidentifikasi atau merumuskan pertanyaan.  Mengidentifikasi atau

merumuskan kriteria untuk mempertimbangkan

kemungkinan jawaban.  Menjaga kondisi berpikir. Menganalisis

argumen

 Mengidentifikasi kesimpulan.  Mengidentifikasi

kalimat-kalimat pernyataan.  Mengidentifikasi

kalimat-kalimat bukan pernyataan.  Mengidentifikasi dan

menangani ketidaktepatan.  Melihat struktur dari suatu

argumen.

 Membuat ringkasan. Bertanya dan

menjawab pertanyaan

 Memberikan penjelasan sederhana (mengapa?, apa ide utamamu?, apa yang anda maksud dengan?, apakah yang membuat perbedaan?, apakah faktanya?, inikah yang anda katakan….?, dapatkah anda mengatakan beberapa hal itu?)

 Menyebutkan contoh (sebutkan contoh dari? Sebutkan yang bukan contoh….?)


(38)

37 No Aspek

Kelompok Indikator Sub-indikator

2. Membangun keterampilan dasar Mempertimbang kan apakah sumber dapat dipercaya atau tidak  Mempertimbangkan keahlian.  Mempertimbangkan kemenarikan konflik.  Mempertimbangkan kesesuaian sumber.

 Mempertimbangkan reputasi  Mempertimbangkan

penggunaan prosedur yang tepat.

 Mempertimbangkan resiko untuk reputasi.

 Kemampuan untuk memberikan alasan.  Kebiasaan berhati-hati. Mengobservasi

dan

mempertimbang kan laporan observasi

 Melibatkan sedikit dugaan.  Menggunakan waktu yang

singkat antara observasi dan laporan.

 Melaporkan hasil observasi.  Merekam hasil observasi.  Menggunakan bukti-bukti

yang benar.

 Menggunakan akses yang baik

 Menggunakan teknologi.  Mempertanggungjawabkan

hasil observasi. 3. Menyimpulk

an

Mendeduksi dan mempertimbang kan hasil deduksi

 Siklus logika-Euler.  Mengkondisikan logika.  Menyatakan tafsiran.


(39)

38 No Aspek

Kelompok Indikator Sub-indikator

Menginduksi dan

mempertimbang kan hasil induksi

 Mengemukakan hal yang umum.

 Mengemukakan kesimpulan dan hipotesis

1) Mengemukakan hipotesis 2) Merancang eksperimen. 3) Menarik kesimpulan

sesuai.

4) Menarik kesimpulan dari hasil menyelidiki.

Membuat dan menentukan nilai pertimbangan

 Membuat dan menentukan hasil pertimbangan

berdasarkan fakta-fakta.  Membuat dan menentukan

hasil pertimbangan berdasarkan akibat.

 Membuat dan menentukan hasil pertimbangan

berdasarkan penerapan fakta.  Membuat dan menentukan

hasil pertimbangan keseimbangan, masalah. 4 Memberikan

penjelasan lanjut Mendefinisikan istilah dan mempertimbang kan suatu definisi

 Membuat bentuk definisi (sinonim, klasifikasi, rentang, ekivalen, operasional,

contoh, dan bukan contoh).  Strategi membuat definisi.

1) Bertindak dengan memberikan penjelasan lanjut.

2) Mengidentifikasi dan menangani

ketidakbenaran yang disengaja.

 Membuat isi definisi. Mengidentifikasi

asumsi-asumsi

 Penjelasan bukan pernyataan.  Mengkonstruksi argumen.


(40)

39 No Aspek

Kelompok Indikator Sub-indikator

5. Mengatur strategi dan taktik

Menentukan tindakan

 Mengungkap masalah.  Memilih kriteria untuk

mempertimbangkan solusi yang mungkin.

 Merumuskan solusi alternatif.

 Menentukan tindakan sementara.

 Mengulang kembali.  Mengamati penerapannya. Berinteraksi

dengan orang lain

 Menggunakan argumen.  Menggunakan strategi logika.  Menggunakan strategi

retorika.

 Menunjukkan posisi, orasi, atau tulisan.

Berpijak pada pendapat mengenai pengertian berpikir kritis yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa berpikir kritis merupakan serangkaian proses berkaitan dengan cara berpikir yang masuk akal guna menghimpun berbagai informasi kemudian melakukan analisis terhadap informasi tersebut untuk menghasilkan suatu kesimpulan dan memecahkan masalah. Berpikir kritis memungkinkan seseorang untuk mengolah pemikirannya sendiri dalam menganalisis suatu kejadian yang ada di sekitarnya.

Berdasarkan pertimbangan dari beberapa ahli, maka indikator keterampilan berpikir kritis dalam penelitian ini meliputi:

a. Memberikan penjelasan sederhana yang berhubungan dengan masalah


(41)

40 b. Merumuskan pertanyaan

c. Menganalisis dan menyusun informasi

d. Mendefinisikan istilah yang berhubungan dengan masalah. e. Merumuskan solusi dari suatu masalah.

Berdasarkan definisi operasional di atas, maka dikembangkan kisi-kisi keterampilan berpikir kritis yang disajikan pada Lampiran 3.2. Mengacu pada kisi-kisi keterampilan berpikir kritis tersebut peneliti kemudian mengembangkan instrumen keterampilan berpikir kritis berbentuk tes tertulis yaitu pretest dan post test.

5. Siswa SMP

a. Definisi Siswa SMP

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 pasal 1 ayat 4 menegaskan bahwa siswa atau peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu. Hal senada juga disebutkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bahwa siswa adalah peserta didik terutama pada tingkat sekolah dasar dan menengah (pelajar).

Menurut Abin Syamsuddin (2003:155), siswa adalah individu yang mengembangkan dirinya seoptimal mungkin melalui berbagai kegiatan (belajar) guna mencapai tujuannya sesuai dengan tahapan perkembangan yang dijalaninya.


(42)

41

Sekolah Menengah Pertama disingkat SMP merupakan jenjang pendidikan dasar pada pendidikan formal di Indonesia setelah lulus sekolah dasar (atau sederajat). SMP ditempuh dalam waktu 3 tahun mulai dari kelas 7 sampai kelas 9. (Kemendikbud, 2012)

Merujuk pada pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa siswa SMP adalah anggota masyarakat yang merupakan komponen dari sistem pendidikan yang sedang menjalankan proses pembelajaran formal di jenjang sekolah menengah pertama (SMP). b. Karakteristik Siswa SMP

Siswa SMP rata-rata berada pada usia 12-15 tahun. Masa usia SMP merupakan masa usia transisi dari masa anak-anak menuju masa remaja. Usia siswa SMP termasuk dalam fase remaja. M. Dimyati Mahmud (1989:42) dalam bukunya menyebutkan bahwa masa remaja disebut juga masa adolensi, berlangsung kira-kira antara umur 12 tahun sampai 18 tahun, usia sekolah lanjutan tingkat pertama, dan sekolah lanjutan tingkat atas. Masa remaja merupakan masa transisi, baik biologis, psikologis, sosial, maupun ekonomis.

Memahami perubahan-perubahan fundamental yang terjadi pada masa remaja akan membantu para calon guru memahami murid-muridnya secara lebih baik (M. Dimyati Mahmud, 1989:42).


(43)

42

c. Perkembangan Kognitif Siswa SMP

Menurut Laurence Steinberg (2002) (dalam Syamsu Yusuf, 2012:78) ada tiga perubahan fundamental pada masa remaja, yaitu sebagai berikut:

1) Biologis, seperti mulai matangnya alat reproduksi, tumbuhnya buah dada pada anak wanita, dan tumbuhnya kumis pada anak pria.

2) Kognitif, yaitu kemampuan untuk memikirkan konsep-konsep yang abstrak (seperti persaudaraan, demokrasi, dan moral), dan mampu berpikir hipotesis (mampu memikirkan hal-hal yang mungkin terjadi berdasarkan pengalamannya. 3) Sosial, yaitu perubahan dalam status sosial yang

memungkinkan remaja (khususnya remaja akhir) masuk ke peranan-peranan aktivitas baru, seperti bekerja, atau menikah.

Pembahasan selanjutnya mengenai perkembangan remaja adalah mengenai perkembangan kognitif. Menurut Jean Piaget, perkembangan kognitif remaja berada pada tahap “Formal Operation

Stage”, yaitu tahap keempat atau terakhir dari tahapan perkembangan

kognitif. Periode ini ditandai dengan kemampuan untuk mengoperasikan kaidah-kaidah logika formal yang tidak terikat lagi oleh objek-objek yang bersifat konkrit. Perilaku kognitif yang tampak antara lain: (Abin Syamsudin, 2003:103-104)

1) Kemampuan berpikir hipotetis-deduktif (hypothetico-deductive thinking).

2) Kemampuan mengembangkan suatu kemungkinan berdasarkan dua atau lebih kemungkinan yang ada (a combinational analysis).

3) Kemampuan mengembangkan suatu proporsi atau dasar proporsi-proporsi yang diketahui (proportional thinking). 4) Kemampuan menarik generalisasi dan inferensasi dari


(44)

43

Jean Jacques Rousseau dalam H. Djaali (2012: 26) menyatakan bahwa dalam tahap remaja, perkembangan fungsi penalaran intelektual pada anak sangat dominan. Dengan adanya pertumbuhan sistem saraf serta fungsi pikirannya, anak mulai kritis dalam menanggapi suatu ide atau pengetahuan dari orang lain.

Ahli psikologi ”information-processing” memandang pikiran manusia merupakan sistem kognitif yang kompleks, yang dianalogikan dengan komputer digital. Seperti sebuah komputer, sistem manipulasi atau memproses informasi yang masuk. (Syamsu Yusuf, 2012: 84-85)

Terkait dengan pemrosesan informasi tentang kognitif remaja adalah menyangkut bagaimana remaja memperoleh, menyimpan, dan menggunakan informasi untuk berpikir dan memecahkan masalah. Dalam pemrosesan informasi ini ada dimensi penting yang perlu diperhatikan, yaitu atensi (attention), memori (memory), dan pemungsian eksekutif (executive functioning).

1) Atensi, yaitu konsentrasi atau pemusatan perhatian. Ada atensi selektif, atensi terbagi, atensi pemelihara, dan atensi eksekutif.

2) Memori, yaitu daya ingat terhadap informasi yang telah lalu. Ada 3 sistem memori meliputi short-term memory (ingatan jangka pendek), working memory, long-term memory (ingatan jangka panjang),

3) Pemungsian eksekutif, yaitu proses kognitif yang bersifat kompleks meliputi pengambilan keputusan, berpikir kritis, berpikir kreatif, dan metakognisi. Pemungsian eksekutif ini berkembang secara kuat pada usia remaja.

Berdasarkan pendapat yang telah dikemukakan oleh para ahli, dapat disimpulkan bahwa siswa SMP adalah anggota masyarakat yang


(45)

44

merupakan komponen dari sistem pendidikan yang sedang menjalankan proses pembelajaran formal di jenjang sekolah menengah pertama (SMP). Siswa SMP memiliki karakteristik tertentu yang perlu dipahami oleh pendidik ketika membelajarkan siswa agar pendekatan maupun strategi pembelajaran yang dilakukan sesuai dengan perkembangan kognitifnya.

Siswa SMP yang berada pada fase remaja sedang mengalami perkembangan kognitif, yakni ditandai dengan mulai dapat: (1) berpikir tentang kemungkinan-kemungkinan di balik apa yang dapat diamatinya secara langsung; (2) berpikir melalui hipotesis dengan mempergunakan metode ilmiah untuk memecahkan masalah; (3) menalar melalui serangkaian proporsi; dan (4) berpikir tentang konsep-konsep yang abstrak. Dengan mengacu pada tingkat perkembangan kognitif remaja tersebut, maka pembelajaran menggunakan pendekatan scientific sudah sesuai untuk diaplikasikan pada siswa siswa SMP dan kemampuan berpikir kritis siswa SMP sudah dapat diamati, dinilai dan dikembangkan.

B. Kajian Keilmuan

1. Perubahan Fisika dan Perubahan Kimia a. Sifat-sifat dan Perubahan Fisika

Warna, kilap, dan kekerasan adalah beberapa sifat fisika yang dapat digunakan untuk menerangkan penampilan sebuah objek. Sifat fisika ialah ciri khas suatu zat yang dapat diamati tanpa mengubah zat-zat penyusun materi tersebut.


(46)

45

Suatu proses perubahan penampilan fisis dari suatu objek dengan identitas dasar tak berubah, disebut perubahan fisika. Sebuah kubus logam tembaga dapat dipipihkan menjadi lempeng yang sangat tipis; tembaga adalah logam yang dapat ditempa. Tembaga juga dapat dibuat menjadi kawat yang sangat halus. Melelehnya es dan mendidihnya air juga merupakan contoh perubahan fisika. (Ralph H. Petruci, 1987:1-2)

b. Sifat-sifat dan Perubahan Kimia

Sifat kimia adalah ciri-ciri suatu zat yang berhubungan dengan terbentuknya zat jenis baru. Sifat kimia dapat diamati setelah terjadinya perubahan kimia. Perubahan kimia adalah perubahan yang bersifat “kekal”, artinya hasil perubahannya tidak begitu saja dapat kembali menjadi zat semula. Misalnya kertas dibakar: abu dan gas yang dihasilkan tidak kembali menjadi kertas. Ciri yang lebih rinci dari perubahan kimia adalah sebagai berikut.

Gambar 2. Penguapan air, salah satu contoh perubahan fisika. (sumber: www.detektif-fisika-doni.blogspot.com)

Gambar 3. Pembakaran kertas, salah satu contoh perubahan kimia.


(47)

46

a) Zat baru yang terbentuk berubah sama sekali sifatnya dari zat semula. Misalnya fase titik titik didih, titik lebur, bau, warna, dan sebagainya.

b) Zat terbentuk hampir tak mungkin kembali lagi ke bentuk semula, baik bentuk maupun sifat-sifatnya.

c) Peristiwa perubahan selalu disertai efek panas. (Hendro Darmodjo, 1992)

2. Pemisahan Campuran

Campuran ada dua macam. Ada campuran yang tiap bagian dari sistem mempunyai susunan yang sama. Campuran semacam ini disebut campuran seba sama atau campuran homogen. Contohnya air, sirup, udara yang dimasukkan dalam tabung. Adapun campuran yang tiap bagian tidak terdiri dari bagian yang sama disebut campuran tak serba sama atau campuran heterogen. Contohnya lumpur,air kopi. Ada berbagai cara untuk memisahkan campuran misalnya penyaringan, penyulingan, pengkristalan, dan sebagainya. Cara yang digunakan tergantung dari sifat campuran dan tujuan pemisahannya (Hendro Darmodjo, 1992:315-318).

a. Penyaringan

Penyaringan adalah cara pemisahan campuran berdasarkanperbedaan ukuran dari partikel-partikel komponen campuran. Penyaring yang digunakan harus memiliki pori yang ukurannya lebih kecil dari ukuran partikel salah satu komponen


(48)

47

penyusun campuran, tetapi lebih besar dari komponen yang lainnya. Sebagai contoh, kita memiliki campuran heterogen antara zat padat dan cairan di mana ukuran partikel zat padat lebih besar dari ukuran partikel zat cair. Untuk memisahkan keduanya, kita dapat menggunakan penyaring yang memiliki ukuran pori lebih kecil dari ukuran partikel zat padat dan lebih besar dari ukuran partikel zat cair. Dengan demikian, kertas saring dapat dilewati oleh partikel cairan, tetapi tidak dapat dilewati oleh partikel zat padat (Saeful Karim, 2009:113)

b. Penyulingan

Penyulingan adalah proses pemisahan campuran zat cair yang didasarkan pada perbedaan titik didih zat. Contoh pemisahan campuran secara destilasi antara lain: memperoleh bensin dari campuran antara air dan bensin, memperoleh air murni dari campuran air yang sudah terkotori zat padat yang larut didalamnya, memperoleh air dari campuran air dan garam (Teguh Sugiyarto dan Eny Ismawati, 2008:134)

c. Kristalisasi

Digunakan untuk mendapatkan kristal zat murni dari campurannya. Misalnya garam yang didapat dari penguapan air laut. Garam natrium chlorida yang murni dapat diperoleh melalui jalan kristalisasi. (Hendro Darmodjo, 1992:319)


(49)

48 d. Dekantasi

Dekantasi adalah suatu cara pemisahan antara larutan dan padatn yang paling sederhana yaitu dengan menuangkan cairan perlahan-lahan sehingga endapan tertinggal di bagian dasar bejana. Cara ini dapat dilakukan jika endapan memiliki ukuran partikel yang besar dan massa jenisnya pun besar, sehingga dapat terpisah dengan baik terhadap cairannya. Contoh dekantasi ialah pemisahan antara air dan pasir atau campuran suspense lain antara padatan dan cairan (Krisnadwi, 2013)

C. Penelitian yang Relevan

Penelitian lain dilakukan oleh Ach. Basuni (2014) dengan judul penelitian “Pengembangan Perangkat Pembelajaran IPA Berorientasi Saintifik untuk Melatihkan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa pada Topik Perubahan Materi”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keterampilan berpikir kritis yang dinilai dari hasil pengamatan kinerja ilmiah mengalami peningkatan rata-rata 90%.

Penelitian lain dilakukan oleh Hunaepi (2014) dengan judul “Pengembangan Worksheet Tematik-Integratif pada Mata Pelajaran IPA Terpadu untuk Menumbuhkan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa”. Hasil penelitian ini menunjukkan keterampilan berpikir kritis setelah dilakukannya pembelajaran IPA dengan worksheet Tematik-Integratif adalah mencapai nilai rata-rata 76,7 (kategori kritis) untuk kelas VIIA dan 84,4 (kategori sangat kritis) untuk kelas VIIB.


(50)

49

Berpijak pada kedua penelitian di atas, pembelajaran dengan pendekatan scientific dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis asalkan kegiatan yang dilakukan mencakup keseluruhan langkah pendekatan scientific serta LKS yang disajikan lebih menarik akan menambah ketertarikan siswa untuk belajar dan bereksperimen.

D. Kerangka Berpikir

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) bukan hanya sekedar kumpulan pengetahuan yang memuat fakta-fakta, konsep-konsep, maupun prinsip semata. Lebih dari itu, IPA merupakan suatu proses penemuan di mana di dalamnya mencakup berbagai macam proses yang dialami oleh manusia guna menemukan fakta-fakta, konsep-konsep, maupun prinsip-prinsip ilmu pengetahuan alam. Proses yang dimaksud meliputi kemampuan mengamati, menanya, mencoba, mengolah, menyajikan, menyimpulkan, dan mencipta. Proses tersebut merupakan kemampuan yang harus dimiliki oleh peserta didik dalam melaksanakan pembelajaran IPA. Hal itu sesuai dengan tuntutan kurikulum terbaru yang akan diterapkan secara menyeluruh ke semua jenjang pendidikan dari SD, SMP, sampai dengan SMA/ SMK.

Pembelajaran IPA pada kurikulum 2013 dilaksanakan secara tematik dengan mencocokkan kompetensi dasar yang sesuai untuk dipadukan menjadi sebuah tema yang menarik untuk dipelajari siswa. Dalam penyampaian materi IPA dilaksanakan melalui suatu pendekatan yang mendorong siswa untuk dapat menumbuhkan kemampuan berpikir kritis, bekerja aktif, bersikap


(51)

50

ilmiah, serta mengkomunikasikannya. Pendekatan yang dapat dilaksanakan yaitu pendekatan scientific melalui berbagai kegiatan eksperimen.

Dengan diterapkannya kurikulum 2013 pada tahun ajaran 2014/2015 di SMP N 15 Yogyakarta, menyebabkan guru belum banyak memperoleh referensi bahan ajar penunjang untuk mengimplementasikan kurikulum 2013 dalam pembelajaran IPA selain buku guru dan buku siswa yang diperoleh dari pemerintah. Padahal untuk melaksanakan pembelajaran yang baik diperlukan bahan ajar yang berkualitas sebagai penunjang untuk tercapainya tujuan pembelajaran. Akibatnya pembelajaran IPA menjadi kurang melatih siswa untuk dapat berpikir kritis dalam menghadapi permasalahan yang ada di lingkungan sekitar.

Maka dari itu, perlu dikembangkan Lembar Kerja Siswa sebagai penunjang proses pembelajaran agar kualitas pembelajaran menjadi semakin baik karena LKS merupakan salah satu penunjang kesuksesan kegiatan belajar mengajar. LKS berperan penting untuk memandu siswa dalam melakukan kegiatan eksperimen sehingga siswa dapat menemukan konsep-konsep IPA secara mandiri melalui pemikiran siswa sendiri dan tentu saja dengan bimbingan guru. LKS yang dikembangkan oleh peneliti adalah LKS IPA berbasis pendekatan scientific yang sesuai dengan kurikulum 2013. Melalui penyusunan LKS ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar siswa, serta pembelajaran IPA akan lebih bermakna dan tidak hanya sekedar menghafal konsep yang ada. Berikut ini disajikan bagan kerangka berpikir dalam pengembangan LKS IPA.


(52)

51 LKS

Berbasis Pendekatan

Scientific

Gambar 4. Bagan Kerangka Berpikir Pengembangan LKS IPA Merumuskan pertanyaan

Menganalisis dan menyusun informasi

Mendefinisikan istilah yang berhubungan dengan masalah

Kegiatan Mari Menggali Informasi

Kegiatan Ayo Menanya!

Mengisi tabel hasil pengamatan Membuat solusi dari permasalahan

yang disajikan

Kegiatan Ayo Menalar! Membuat solusi dari permasalahan

yang disajikan Merumuskan pertanyaan

Merumuskan solusi dari suatu masalah

Menganalisis dan menyusun informasi

Memberikan penjelasan sederhana yang berhubungan dengan masalah

Menganalisis dan menyusun informasi

Merumuskan solusi dari suatu masalah mencakup

langkah

Kegiatan Ayo Menalar! Kegiatan Ayo Menanya!

Kegiatan Ayo Menalar! Indikator Keterampilan Berpikir Kritis Implementasi dalam LKS

Mengamati

Menanya

Mencoba

Menalar

Mengkomuni-kasikan


(1)

73

maka Ha ditolak dan H0 diterima atau berarti tidak terdapat perbedaan yang signifikan keterampilan berpikir kritis antara siswa yang belajar menggunakan LKS IPA berbasis pendekatan scientific hasil pengembangan dengan yang tidak menggunakan LKS IPA berbasis pendekatan scientific hasil pengembangan.

c. Perhitungan Peningkatan Keterampilan Berpikir Kritis

Analisis ini digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya peningkatan (gain) keterampilan berpikir kritis pada siswa yang pembelajarannya menggunakan LKS IPA berbasis pendekatan scientific (kelas eksperimen) dengan siswa yang tidak menggunakan LKS IPA berbasis pendekatan scientific (kelas kontrol). Untuk mengetahui ada atau tidaknya peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa, digunakan rumus gain standarisasi (David E. Meltzer, 2002:1260) sebagai berikut:

pretest pretest posttest

Gain (g)

skor rerata -maksimum skor

skor rerata skor

rerata 

Kriteria peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa siswa dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 7. KlasifikasiInterpretasi Nilai Gain Ternormalisasi

Nilai g Kategori

g> 0,7 Tinggi

0,3 ≤ g ≤ 0,7 Sedang

g < 0,3 Rendah

(Sumber: Richard R. Hake, 1999:1)


(2)

74

3. Analisis Keterlaksanaan Pembelajaran dengan Pendekatan Scientific Data keterlaksanaan pembelajaran dianalisis dengan mengkonversikan data berupa tanda centang (√) ke dalam bentuk angka. Jika kegiatan dapat terlaksana maka mendapat skor 1 namun jika tidak terlaksana tidak mendapat skor atau skor 0. Skor yang diperoleh selanjutnya diakumulasikan pada tiap pertemuan di tiap kelas (kelas eksperimen dan kelas kontrol). Hasil perolehan skor kemudian dikonversikan ke dalam skala 4 dengan pedoman konversi seperti yang tersaji pada Tabel 5. Kemudian diperoleh pedoman konversi nilai kuantitatif menjadi kategori kualitatif seperti pada Tabel 8 dan Tabel 9.

Tabel 8. Konvesi Skor Menjadi Kategori Kualitatif (Kelas eksperimen)

No Rentang Skor Nilai Kategori

1. X > 9,33 A Sangat Baik

2. 9,33 > X > 7 B Baik

3. 7 > X > 4,67 C Kurang

4. X < 4,67 D Sangat Kurang

Tabel 9. Konvesi Skor Menjadi Kategori Kualitatif (Kelas kontrol)

No Rentang Skor Nilai Kategori

1. X > 7,33 A Sangat Baik

2. 7,33 > X > 5,5 B Baik

3. 5,5 > X > 3,67 C Kurang


(3)

121

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Aly dan Eny Rahma. (2008). Ilmu Alamiah Dasar. Jakarta: Bumi Aksara.

Abin Syamsuddin Makmun. (2003). Psikologi Kependidikan: Perangkat Sistem Pengajaran Modul. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Ach. Basuni. (2014). Pengembangan Perangkat Pembelajaran IPA Berorientasi Saintifik untuk Melatihkan Ketrampilan Berpikir Kritis Siswa pada Topik Perubahan Materi. Jurnal Unesa. 2(3). 4-5

Anas Sudjono. (2008). Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo. Andi Prastowo. (2011). Panduan Kreatif Membuat Bahan Ajar Inovatif.

Yogyakarta: Diva Press.

Anni Winarsih, dkk. (2008). IPA Terpadu untuk SMP/ MTs kelas VII. Jakarta: Depdiknas.

Asri Widowati. (2009). Pengembangan Critical Thinking melalui Penerapan Model PBL ( Problem Based learning ) dalam Pembelajaran Sains. Jurnal Kurikulum dan Teknologi pembelajaran. Yogyakarta : FIP UNY.

Batjo. (1993). Menulis dan Menerapkan LKS. Ujung Pandang : Depdikbud Sulsel. Borg, Walter R. and Gall, Meredith D. (1989). Educational Research: An

Introduction. New York: Longman.

Carin, A.A. & Sund, R.B. (1975). Teaching Science trough Discovery, 3rd Ed. Columbus: Charles E. Merrill Publishing Company.

Daniel Dike. (2008). Peningkatan Kemampuan Berfikir Kritis Siswa dengan Model TASC (Thinking Actively in a Social Context) pada Pembelajaran IPS SD. Tesis tidak diterbitkan PPS-UNY.

Darliana. (2007). IPA Terpadu. Bandung: Depdiknas (Science Education Development Center).

Das Salirawati. (2008). Ilmu Alamiah Dasar. Yogyakarta: Kanwa Publisher. Depdiknas. (2004). Pedoman Umum Pengembangan Bahan Ajar Sekolah

Menengah Atas. Jakarta: Depdiknas.

_________. (2008). Panduan Pelaksanaan Materi Pembelajaran Sekolah Menengah Pertama (SMP) tahun 2008. Jakarta: Depdiknas.


(4)

122

Dede Rosyada. (2004). Paradigma Pendidikan Demokratis: Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: Prenada Media.

Dimyati dan Mudjiono. (2009). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Djemari Mardapi. (2008). Teknik Penyusunan Instrumen Tes dan Non Tes. Yogyakarta: Mitra Cendekia.

E. Mulyasa. (2007). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Emzir. (2013). Metodologi Penelitian Pendidikan Kuantitatif dan Kualitatif. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Hake, Richard R. (1999). Analyzing Change/Gain Scores. diakses pada tanggal 24 Maret 2014, dari: http://www.physics.indiana.edu/~sdi/AnalyzingChange-Gain.pdf.

Hanumi Oktiyani Rusdi. (2007). Analisis Ketrampilan Berpikir Kritis Kelas XI pada Pembelajaran Sistem Koloid Melalui Metode Praktikum dengan Menggunakan Bahan Sehari-hari. Bandung: UPI Bandung.

H. Djaali. (2012). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Hendro Darmodjo. (1992). Pendidikan IPA 1. Jakarta: Depdikbud

Hendro Darmodjo dan Jenny R.E. Kaligis. (1992). Pendidikan IPA II. Jakarta: Depdikbud.

Hunaepi. (2014). Pengembangan Worksheet Tematik-Integratif pada Mata Pelajaran IPA Terpadu untuk Menumbuhkan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa. Jurnal Unesa. 2. 6-7

Iqbal Hasan. (2006). Analisis Data Penelitian dengan Statistik. Jakarta: Bumi Aksara.

Imas Kurniasih dan Berlin Sani. (2014). Implementasi Kurikulum 2013 Konsep dan Penerapan. Surabaya: Kata Pena.

Jalaluddin Rakhmat. (1991). Psikologi Komunikasi, edisi revisi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Jamil Suprihatiningrum. (2013). Strategi Pembelajaran: Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.


(5)

123

Johnson, Elaine B. (2009). Contextual Teaching and Learning. Bandung: Mizan Learning Centre (MLC).

Kemendikbud. (2013). Modul Pelatihan Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta: Badan PSDMPK-PMP.

Kemendikbud. (2012). Sekolah Menengah Pertama. diakses pada tanggal 21 Agustus 2015 dari http://www.kemendiknas.go.id.

Krisnadwi. (2013). Pemisahan Campuran: Dekantasi. diakses pada tanggal 10 Agustus 2016 dari http://www.bisakimia.com.

M. Akshir Ab Kadir. (2007). “Critical Thinking: A Famili Resemblance in Conceptions”. Journal of Education and Human Development, diakses pada 3 Juli 2014.

M. Dimyati Mahmud. (1989). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Depdikbud.

Meltzer, David E. (2002). “The Relationship Beetwen Mathemathic Preparation and Conceptual Learning Gain in Physics: A Possible “Hidden Variable” in Diagnostic Pretest Scores.” American Journal of Physics 70 (12). Hlm 1259-1267.

Muslimin Ibrahim. (2010). Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Surabaya: Unesa University Press.

Nana Sudjana. (2004). Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

____________. (2009). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Nana Syaodih Sukmadinata. (2008). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Nanang Martono. (2010). Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.

Ngalim Purwanto. (2007). Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya. N. Mulyono dan C.H. Wijaya. (2009). Bahan Tambahan Pangan, Pewarna,

Spesifikasi, Regulasi dan Aplikasi Praktis. Bogor : IPB Press.


(6)

124

Petruci, Ralph H. (1987). Kimia Dasar: Prinsip dan Terapan Modern. Jakarta: Erlangga.

Poerwadarminta. (1982). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Regina Tutik Padmaningrum, M.Si. (2006). Penilaian Lembar Kerja Siswa.

Makalah pada Kegiatan Pengabdian pada Masyarakat, Laboratorium Kimia FMIPA UNY.

Saeful Karim, dkk. (2009). Membuka Cakrawala Alam Sekitar untuk Kelas VII. Jakarta: Depdiknas.

Sardiman A.M. (1996). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Pers.

Slamet Suyanto, Paidi, dan Insih Wilujeng. (2011). Lembar Kerja Siswa (LKS). Makalah pada kegiatan Pembekalan Guru Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal di Akademi Angkatan Udara Yogyakarta. FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta.

Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

________. (2013). Metode Penelitian Kombinasi. Bandung: Alfabeta.

Suharsimi Arikunto. (2007). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Sukarjo. (2006). Kumpulan Materi Evaluasi Pembelajaran. Yogyakarta: Program Pasca Sarjana UNY.

Surachman. (2007). Lembar Kerja Siswa. Yogyakarta: FMIPA UNY.

Syamsu Yusuf. (2012). Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Rajawali Pers. Teguh Sugiyarto dan Eny Ismawati. (2008). Ilmu Pengetahuan Alam untuk

SMP/MTs Kelas VII. Jakarta: Depdiknas.

Tengku Zahara Djaafar. (2001). Kontribusi Strategi Pembelajaran Terhadap Hasil Belajar. Jakarta: Universitas Negeri Padang.

Trianto. (2010). Model Pembelajaran Terpadu. Jakarta: Bumi Aksara.

Udin S. Winataputra, dkk. (1992). Strategi Belajar Mengajar IPA. Jakarta: Depdikbud. Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Bagian Proyek Penataran Guru SLTP Setara D-III.