Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pembuktian dalam Transaksi Elektronik di Indonesia dan Singapura T1 312012009 BAB II

(1)

15

PEMBAHASAN

2.1 Pembuktian

Bukti, pembuktian, atau membuktikan dalam hukum Belanda disebut “bewijs” dan dalam Hukum Inggris disebut proof dan evidence. Menurut Prof. Dr. R.M. Soedikno Mertokusumo, membuktikan mempunyai arti yuridis. Dalam ilmu hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan mutlak yang berlaku bagi setiap orang serta menutup segala kemungkinan akan bukti lawan, akan tetapi merupakan pembuktian yang konvensional yang bersifat khusus. Pembuktian dalam arti yuridis ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang berperkara atau yang memperoleh hak dari mereka. Dengan demikian, pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju pada kebenaran mutlak. Hal ini terlihat karena adanya kemungkinan bahwa pengakuan, kesaksian, atau surat-surat yang tidak benar atau dipalsukan. Maka dalam hal ini dimungkinkan adanya bukti dari lawan.1

Pengertian mengenai Pembuktian juga dikemukakan oleh R.Soebekti, pembuktian adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.2 Penulis berpendapat yang di maksud dengan pembuktian dalam ilmu hukum adalah suatu proses, baik dalam acara perdata

1 Ahmad Ali. Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2013, hal. 16.


(2)

maupun pidana, dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah, dilakukan tindakan dengan prosedur khusus, untuk mengetahui suatu fakta atau pernyataan, khususnya fakta atau pernyataan yang dipersengketakan di pengadilan, yang diajukan dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam proses pengadilan.

Menurut asas hukum acara perdata, hakim dianggap mengetahui akan hukumnya, baik hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis dan hakimlah yang bertugas menerapkan hukum perdata (materil) terhadap perkara yang diperiksa dan diputuskannya. Pasal 1865 B.W. mengatakan bahwa: barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa atas mana ia mendasarkan sesuatu hak, diwajibkan membuktikan peristiwa-peristiwa itu, sebaliknya barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa guna pembantahan hak orang lain, diwajibkan juga membuktikan peristiwa-peristiwa itu. Ini berarti bahwa penggugat maupun tergugat dapat dibebani dengan pembuktian. Terutama penggugat wajib membuktikan gugatannya, dan tergugat wajib membuktikan sangkalannya. 3

Dengan pembuktian dalam proses perdata, bertujuan untuk menyelesaikan persengketaan para pihak yang berperkara, dengan jalan seadil-adilnya, dengan member kepastian hukum baik bagi para pihak yang berperkara maupun masyaralat pada umumnya.4

Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting dalam acara pidana. Jika majelis hakim hendak meletakkan kebenaran yang ditemukan dalam keputusan yang akan

3Ibid

4 Wiwie Heryani, Asas-Asas Hukum Pembuktian Hukum Perdata, Kencana Prenandamedia, Jakarta, hal., 59.


(3)

dijatuhkan kebenaran itu harus diuji dengan alat bukti, dengan cara dan dengan kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti yang ditemukan.5

Mencari kebenaran materil itu tidaklah mudah. Alat-alat bukti yang tersedia menurut undang-undang sangat relatif. Bagi majelis hakim harus benar-benar sadar dan cermat menilai dan mempertimbangkan kekuatan pembuktian yang ditemukan selama pemeriksaan persidangan.6 Alat-alat bukti seperti kesaksian, menjadi kabur dan sangat relatif. Kesaksian diberikan oleh mansia yang pada dasarnya mempunyai sifat pelupa. Bahkan menurut psikologi, penyaksian suatu peristiwa yang baru saja terjadi beberapa orang akan berbeda-beda.

Oleh karena itulah, dahulu orang berpendapat bahwa alat bukti yang paling dapat dipercaya ialah pengakuan terdakwa sendiri karena ialah yang mengalami peristiwa tersebut. Di usahakanlah memperoleh pengakuan terdakwa tersebut dalam pemeriksaan, yang akan menentramkan hati hakim yang meyakini ditemukannya kebenaran materil itu.

Dalam alasan mencari kebenaran materil itulah maka asas akusator (accusatoir) yang memandang terdakwa sebagai pihak sama dengan dalam perkara perdata, ditinggalkan dan diganti dengan asas inkisitor (inquisitoir) yang memandang terdakwa sebagai objek pemeriksaan bahkan kadangkala dipakai alat penyiksa untuk memperoleh pengakuan terdakwa. Pihak-pihak yang berperkaralah yang berkewajiban membuktikan peristiwa-peristiwa yang dikemukakannya. Pihak-pihak

5 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta, hal.,253.


(4)

yang berperkara di pengadilan tidak perlu memberitahukan dan membuktikan peraturan hukumnya.

2.2 Teori-Teori Pembuktian

Dalam sistem atau teori pembuktian secara umum terbagi atas:

A. Teori Berdasar Undang-Undang Secara Positif (Positif Wttelijke Beweijs Theorie)

Teori ini hanya didasarkan pada undang-undang, artinya jika sesuatu perbuatan terbukti sesuai dengan alat bukti yang disebutkan dalam undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan lagi. Sistem pembuktian ini disebut juga pembuktian formal (formale bewijstheori). Menurut Simons, bahwa sistem atau teori pembuktian berdasar undang-undang secara positif bertujuan untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut pembuktian yang keras. 7

Menurut Wirjono Prodjodikoro teori ini sudah selayaknya tidak dianut lagi din Indonesia, karena bagaimana hakim dapat menetapkan kebenaran selaian dengan cara menyatakan keyakinannya tengang suatu kebenaran. Keyakinan seorang hakim yang jujur dan berpengalaman mungkin sekali sesuai dengan keyakinan masyarakat. 8

7 Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1983, hal 229.

8 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Bandung, Sumur Bandung, 1983, hal 111.


(5)

B. Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu (Conviction Intivie)

Perlu disadari bahwa alat bukti pengakuan seorang terdakwa tidak harus membuktikan kebenaran kesalahan terdakwa, sehingga pengakuan itu kadang-kadang tidak menjamin terdakwa benar-benar telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Oleh karena itu diperlukan keyakinan hakim sendiri untuk memutuskan kesalahan atau tidaknya terdakwa.

Menurutu teori ini, tidak dibutuhkan suatu peraturan tentang pembuktian, dan menyerahkan segala sesuatunya pada kebijaksanaan dan pendapat hakim, yang bersifat perseorangan.9 Keberatan terhadap teori ini ialah, bahwa terkandung di dalamnya suatu kepercayaan yang terlalu besar kepada ketepatan kesan-kesan perseoranagan belaka dari seorang hakim. Pengawasan terhadap putusan-putusan hakim seperti ini sukar untuk dilakukan, karena badan pengawas tidak tahu apa yang menjadi pertimbangan hakim yang menghasilkan pendapat terhadap suatu putusan.

C. Teori Pembuktian Bebas

Menurut teori ini, bahwa alat-alat dan cara pembuktian tidak ditentukan atau terikat dalam undang-undang. Namun teori ini mengakui adanya alat-alat dan cara pembuktian, tetapi hakim dapat menentukan alat-alat dan cara pembuktian sendiri yang tidak diatur dalam undang-undang. Salah satu penganut teori ini adalah Culp Davis, menurutnya sebaiknya hakim dalam setiap langkahnya menggunakan hasil

9 Yahyah Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, hal., 256


(6)

pendidikan dan pengalamannya sendiri dan tidak dibatasi oleh pemikiran-pemikiran yang mengikat misalnya ketentuan mengenai beban pembuktian.10

Teori ini menginginkan hakim sama sekali tidak diikat dengan hukum positif tertulis dalam hal pembuktin, tetapi penilaian pebuktian diserahkan kepada hakim.11 Adapun perbedaan antara teori ini dengan teori pembuktian berdasar keyakinan hakim yaitu pada teori pembuktian bebas hakim mengakui adanya alat dan cara pembuktian yang diatur dalam undang-undang. Sedangkan teori berdasar keyakinan hakim tidak mengakui adanya alat dan cara pembuktian menurut undang-undang. Selain perbedaan ada juga persamaannya yaitu sama-sama berdasarkan keyakinan hakim.

D. Teori Pembuktian Bedasar Keyakinan Hakim Atas Alasan Yang Logis (La Conviction Raisonnee)

Teori ini disebut juga teori pembuktian bebas, karena hakim bebas untuk menyebutkan alaasan-alasan keyakinannya12. Sistem ini dibagi lagi menjadi dua arah

yaitu pertama pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis. Kedua pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief wettelike

bewijstheorie).

Persamaan antara keduannya adalah sama-sama berdasar pada keyakinan hakim, artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan hakim

10 Culp Davis, A System Judicial Notice Vase on Fairness and Convinience, Little Brown Company, Boston, 1946, hal., 79.

11Ibid. 12Ibid.


(7)

bahwa ia bersalah. Sedangkan perbedaan antara keduanya yaitu pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis berpangkal tolak pada keyakinan hakim, tetapi keyakinan itu harus didasarkan kepada suatu kesimpulan yang logis dan tidak berdasarkan kepada undang-undang, tetapi ketentuan-ketentuan menurut ilmu pengetahuan hakim sendiri menurut pilihannya sendiri tentang pembuktian mana yang ia gunakan.

Pembuktian berdasar undang-undang secara negatif berpangkal tolak pada aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif dalam undang-undang dan harus diikuti oleh keyakinan hakim. 13

1.3 Analisis Perbandingan Hukum Pembuktian Dalam Kepustakaan di Singapura dengan Kepustakaan Tentang Hukum Pembuktian di Indonesia 1.3.1 Pembuktian di Singapura

Singapura adalah negara dengan sistem common law. Sistem pembuktian Singapura dijadikan pokok bahasan dalam skripsi ini, mengingat Singapura adalah negara kecil dan merupakan salah satu negara maju, tidak saja di Asia melainkan juga di dunia, yang memiliki sistem hukum modern sama seperti Indonesia. Sistem hukum di Singapura tidak dapat dipisahkan dari tradisi common law Inggris, demikian pula halnya negara-negara tetangga sekitarnya seperti India, Malaysia, Brunei dan Myanmar.

13 Andi Sofyan, H. Abd. Azis, Hukum Acara Pidana, Makassar, Kencana Prenada Media Group, 2014, hal., 236.


(8)

Sekalipun menganut common law, sumber hukum di Singapura khususnya hukum pembuktian antara lain terdapat dalam The Supreme Court of Judicature Act (undang-undang tentang beracara di Supreme Court), Singapore Court Practice Tahun 2003, Rules of Court (Amandemen ke 2) Tahun 1999, Electronic Transaction

Act Tahun 1998 dan 2010, Civil Procedure Rules yang diatur dalam Civil Prosedure

Act Tahun 1997, Civil Evidence Act Tahun 1995 yang dilengkapi dengan Evidence Act (Amandemen) Tahun 1996 dan the Evidence Regulation Tahun 2005.

Dalam proses pembuktian di pengadilan, Hakim dan Jaksa di Singapura tergantung pada pokok perkara atau substansi yang akan dibuktikan di pengadilan. Dengan demikian setiap hal yang disampaikan dalam pembuktian di pengadilan dapat dikelompokkan ke dalam macam-macam bukti sesuai dengan kelompok namanya. Pada prinsipnya penamaan terhadap kelompok bukti tersebut adalah testimony (bukti kesaksian), hearsay evidence (bukti kesaksian berdasarkan hasil pendengaran),

documentary evidence (bukti surat), real evidence (benda sebagai bukti), dan

circumstantial evidence (bukti yang tidak langsung).

Testimony, adalah pernyataan langsung dari saksi yang disampaikan di muka

persidangan dan menyampaikan keterangan sebagai bukti tentang kebenaran dari apa yang dituntut. Kesaksian secara langsung (direct testimony) adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan pernyataan saksi yang menjelaskan kenyataan apa yang ia rasakan, fakta-fakta yang relevan atau peristiwa yang terjadi.

Dengan kata lain, kesaksian yang berhubungan dengan fakta-fakta yang dimiliki oleh saksi atau tuntutan perseorangan atau hal-hal yang diketahui pertama


(9)

kalinya (first hand knowledge). Lawan dari kesaksian secara langsung adalah kesaksian tidak langsung yang diperoleh dari hasil pendengaran (hearsay).

Hearsay evidence, dalam bahasa yang umum hearsay digunakan untuk

menggambarkan pernyataan, kabar angin biasa yang belum tentu benar. Dalam hukum pembuktian, kata hearsay digunakan dalam pengertian yang luas, yaitu dapat diartikan sebagai setiap pernyataan, selain yang disampaikan oleh saksi dengan cara menyampaikan kesaksiannya di persidangan, berdasarkan hasil pendengaran dari pihak lain, baik di bawah sumpah atau janji dan dapat disampaikan secara lisan, tertulis atau dengan tanda dan isyarat, yang disampaikan untuk membuktikan kebenaran pokok perkara.

Documentary evidence adalah pembuktian dengan surat/dokumen yang terdiri

dari surat-surat yang dibuat untuk pemeriksaan di persidangan. Suatu surat/dokumen, yang dimaksudkan sebagai bukti, memiliki tidak hanya satu pengertian, yaitu tidak saja hanya berarti sebagai surat/dokumen dalam bentuk tertulis, tetapi juga suatu peta, suatu rencana, grafik, gambar, foto, disk, tape, video tape, film dan klise (negatives film). Surat dapat dibuat untuk menunjukkan muatan isinya, keberadaannya, atau bentuk fisiknya. Isi dari bukti surat dapat diterima sebagai pembuktian suatu kebenaran, atau untuk maksud lainnya seperti misalnya untuk membuktikan suatu surat atau untuk menunjukkan apa pikiran penulis surat tersebut.

Real evidence, biasanya berbentuk benda atau barang yang dijadikan bukti

dalam pemeriksaan di pengadilan, yang dapat digunakan untuk membuktikan baik secara langsung ataupun tidak langsung. Misalnya, untuk menjelaskan ciri-ciri seorang anak melalui warna kulit atau warna rambut merupakan bukti langsung,


(10)

sedangkan bukti tak langsung adalah bahwa seseorang yang memiliki karakter yang sama dengan anak itu adalah ayahnya. Macam-macam real evidence adalah sebagai berikut: Material objects (benda/barang); the appearance of persons and animal (orang atau binatang); the demeanour of witnesses (sikap/tingkah laku saksi);

documents (surat-surat); tape recordings (tape perekam) dan pictorial evidence

seperti photographs (foto), x-rays (sinar x), dan motion picture (film); views (pendapat/pandangan) dan demonstration (demonstrasi) yang disebut juga dengan

demonstrative evidence seperti misalnya peta, diagram atau model.

Circumstantial evidence yaitu bukti tidak langsung yang dapat dibentuk

berdasarkan bukti kesaksian, bukti surat atau bukti barang/benda (real evidence). Beberapa contoh dari bukti tidak langsung ini adalah: motive (alasan/sebab seseorang melakukan suatu perbuatan), plans and`preparatory acts (rencana dan persiapan suatu perbuatan), capacity (kapasitas untuk melakukan suatu perbuatan), opportunity (kesempatan), identity (identitas).14

2.3.1.2 Hasil Penelitian Pembuktian dalam Yurisprudensi Singapura Chwee Kin Keong dan Lainnya v Digilandmall.com Pte Ltd [2004] 2 SLR 594; [2004] SGHC 71.

Pada awalnya Samuel Teo, seorang karyawan DIL Digilandmall.com, secara tidak sengaja menguggah (upload) isi dari template pelatihan karyawan ke situs perdagangan Digiland yang dioperasikan oleh DIL. Ketidaksengajaan tersebut mengakibatkan terunggahnya informasi yang keliru mengenai printer laser, "HPC

14 Graham C Lilly, An Introduction to the Law of Evidence, West Publishing CO, St. Paul, Minn, Virginia, 1996, hlm., 592.


(11)

9660A Color LaserJet 4600" yang djual oleh DIL. Harga printer laser, "HPC 9660A Color LaserJet 4600" yang sebenarnya $ 3,448 terganti menjadi $66. Dengan harga yang sangat murah, memancing keinginan banyak orang untuk membeli printer tersebut, salah satunya Chwee Kin Keong (Penggugat).

Setelah mengetahui tentang harga tersebut penggugat menghubungi lima puluh empat temannya melalui e-mail (surat elektronik) agar segera mengecek dan membeli printer laser itu. Dari komunikasi antara penggugat dan teman-temannya diketahui bahwa penggugat telah mengetahui bahwa ada kesalahan dari DIL dalam mencantumkan harga barang. Oleh karena itu penggugat menyarankan teman-temannya membeli printer tersebut sebelum pihak DIL menyadari kesalahnnya. Penggugat dan lima temannya memesan lebih dari 1000 unit printer dengan menggunakan akun mereka masing-masing yang sudah terdaftar di Digilandmall.com. Setelah pemesanan dilakukan, penggugat dan teman-temannya mendapat pesan elektronik otomatis dari Digilandmall.com yang menyatakan pesanan mereka berhasil. Salah seorang teman tergugat telah membayar melalui kartu kredit dan printer yang ia pesan tinggal menunggu untuk dikirim.

Pihak DIL akhirnya menyadari kesalahan harga tersebut pada saat ada seorang pelanggan bertanya kepada mereka melalui telepon mengenai harga printer laser "HPC 9660A Color LaserJet 4600" yang tercantum di website dengan harga yang sangat murah. Setelah mengetahui telah terjadi kekeliruan informasi harga, DIL kemudian membatalkan semua pembelian dan pemesanan untuk barang "HPC 9660A


(12)

Color LaserJet 4600”. Karena merasa dirugikan, penggugat meminta ganti rugi materiil dan imateriil kepada tergugat karena pembatalan pembelian sepihak.15

Menurut penggugat berdasarkan Pasal 15 (1) Electronic Transaction Act 2010, pesan otomatis diakui keabsahannya selama pesan tersebut telah masuk dan dapat diakses oleh penerima pesan. Dengan kata lain, pesan otomatis yang dikirim Digilandmall.com berisi pernyataan bahwa pesanan tergugat telah berhasil, wajib diakui dan Digilandmall.com dianggap tahu mengenai harga yang tercantum di websitenya.

Dalam kasus itu Hakim mengacu pada Yurisprudensi Pengadilan Tinggi

Aircharter World Pte Ltd v Kontena Nasional Bhd [1999] 3 SLR 1 di [30] dan [31],

dan Projection Pte Ltd v The Tai Ping Insurance Co Ltd[2001] 2 SLR 399 di [15].

Menurut Hakim, dalam kasus ini terjadi kesalahan oleh salah satu pihak dan pihak yang lain seharusnya atau wajib mengetahui. Penggugat secara sadar mengetahui bahwa ada kekeliruan dalam deskripsi harga printer di website Digilandmall.com, dan kemudian memanfaatkannya untuk mendapatkan keuntungan pribadi.

Hakim juga mengacu pada Yurisprudensi Ho Seng Lee Construction Pte Ltd v

Nian Chuan Construction Pte Ltd [2001] 4 SLR 407 di [84], dan kemudian hakim

berpendapat bahwa kesalahan sepihak ini tidak dapat di kategorikan penipuan atau kelalaian untuk melaksanakan kontrak. Yang menjadi masalah adalah ketidaktahuan tergugat mengenai kekeliruannya dan karena ada program pesan otomatis yang dikirim kepada pembeli yang menyatakan pemesanan berhasil. Untuk membuktikan

15 Yurisprudensi Singapura Chwee Kin Keong dan Lainnya v Digilandmall.com Pte Ltd [2004] 2 SLR 594; [2004] SGHC 71.


(13)

apakah tergugat bersalah atau tidak, Hakim mendasarkan keyakinannya pada Teori Pembuktian Bebas.

Artinya, alat-alat dan cara pembuktian tidak terikat atau ditentukan dalam undang-undang, namun teori pembuktian bebas mengakui adanya alat-alat bukti dengan cara pembuktian dan hakim dapat menentukan alat bukti mana yang ditentukan oleh undang-undang dan mana yang tidak.16 Berdasarkan alat bukti dan keyakinan hakim, hakim memutuskan untuk membatalkan kontrak jual beli elektronik melalui website Digilandmall.com dan pesan elektronik otomatis, karena terbukti bahwa tergugat melakukan kesalahan yang tidak disengaja, tidak berniat menipu dan tidak adanya kesepakatan antara penggugat dan tergugat selaku penjual dan pembeli mengenai harga yang tercantum dalam website.

2.3.2 Pembuktian di Indonesia

Sistem hukum Indonesia baik dalam hukum materiil yang bersumber pada

Burgerlijke Wetboek (BW) maupun hukum formal yang bersumber pada het Herziene

Indische Reglement (HIR) dan Reglement Buitengewesten (RBg), menganut sistem

hukum civil law yang berlaku di negara-negara Eropa Kontinental. Berlakunya sistem

civil law di Indonesia disebabkan adanya asas konkordansi, karena Indonesia pernah

dijajah oleh Belanda dalam kurun waktu yang sangat lama.

Untuk membuktikan dan mengungkap kasus Perdata dan Pidana, para penegak hukum berpedoman pada KUHAP. Membuktikan berarti memberi kepastian kepada

16Op.cit.


(14)

hakim tentang adanya peristiwa-peristiwa tertentu. Adapun enam butir pokok yang menjadi alat ukur dalam teori pembuktian, dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Dasar Pembuktian

Yang dimaksud dengan Dasar Pembuktian adalah dasar-dasar yang dipergunakan untuk mendapatkan suatu kebenaran atas fakta-fakta. Dengan kata lain dasar pembuktian itu adalah isi/materi dari alat bukti itu sendiri. Dapatlah dikatakan bahwa jikalau alat bukti itu adalah wadahnya, maka dasar pembuktian adalah isi dari wadah tersebut.

2. Alat Bukti

Milton C. Jacobs mengartikan alat bukti sebagai “Evidence is the medium

of proof, proof is the effect of evedince”.17 Kemudian Prof. Dr. R.M. Soedikno

Mertokusumo, S.H. menyatakan bahwa, apakah sesuatu itu merupakan alat bukti, atau tidak tergantung apakah sesuatu itu terjadi atau diajukan dalam persidangan, tetapi ditentukan oleh sifatnya dan tidak ditetapkan oleh kenyataan apakah sesuatu itu diajukan dalam persidangan atau tidak.18

Jadi dapat disimpulkan alat bukti adalah alat-alat yang dipergunakan untuk menggambarkan atau menerangkan suatu keadaan atau peristiwa pidana berdasarkan fakta-fakta yang terjadi diwaktu yang lampau guna keperluan proses pidana dan perdata.

17 Milton C. Jacobs, “Civil Trial Evidence”. Second Edition, New York, 1949, hlm., 1. 18 R.M. Soedikno Mertokusumo, Kuliah Hukum Acara Perdata Program S-II Universitas Gajah Mada Yogyakarta, 1982.


(15)

Matrix 8: Perbandingan Alat Bukti dalam KUHPerdata dan KUHPidana

Sumber: KUHPerdata dan KUHPidana

3. Penguraian Alat Pembuktian

Penguraian Pembuktian adalah cara-cara yang dipergunakan untuk menguraikan suatu peristiwa atau keadaan berdasarkan penggunaan alat bukti yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana. Penguraian Pembuktian memegang peranan yang sangat penting didalam pemeriksaan perkara di pengadilan, karena berdasarkan bukti-buktilah Hakim menetapkan keyakinannya.

4. Kekuatan Pembuktian

Yang dimaksud Kekuatan Pembuktian disini adalah kekuatan pembuktian dari masing-masing alat bukti. Dalam perkara pidana biasanya kekuatan pembuktian terletak pada fakta-fakta, dimana pembuktiannya didasarkan atas kebenaran dari fakta-fakta yang telah teruji kebenarannya oleh Hakim.

5. Beban pembuktian adalah pembebanan dari hakim kepada para pihak yang berperkara untuk:

a. Mengajukan alat bukti sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku Alat Bukti Hukum Acara Perdata

(Pasal 164 HIR, 1866 BW)

Alat Bukti Hukum Acara Pidana Pasal 184 KUHAP

1. Tulisan/Surat

2. Saksi-saksi

3. Persangkaan

4. Pengakuan

5. Sumpah

1. 1.Keterangan Saksi

2. 2.Keterangan Ahli

3. 3.Surat

4. 4.Petunjuk


(16)

b. Membutikan kebenaran fakta yang dikemukakannya berdasarkan alat bukti yang diajukan sehingga, hakim yakin akan kebenaran fakta yang dikemukakan.19

6. Prinsip bukti minimum pada pembuktian artinya prinsip yang mengatur batas yang harus dipenuhi untuk membuktikan kesalahan terdakwa.20 Dengan kata

lain, asas minimum pembuktian adalah prinsip yang menjadi pedoman dalam menilai cukup atau tidaknya alat bukti yang membuktikan salah tidaknya terdakwa.

Seiring dengan perkembangan teknologi saat ini, para pelaku kejahatan menggunakan modus operandi dan teknologi yang canggih sehingga dalam proses beracara diperlukan teknik atau prosedur khusus untuk mengungkap suatu kejahatan.21 Teknik atau prosedur khusus tersebut dilakukan melalui proses pembuktian di pengadilan. Oleh karena itu selain berpedoman pada KUHAP, pemerintah juga memberlakukan UU No. 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi dan UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai dasar dalam proses pembuktian kasus dengan menggunakan teknologi.

Dengan di berlakukannya kedua Undang-Undang tersebut maka secara otomatis terjadi penambahan alat bukti konvensional yang diatur dalam KUHAP. Alat bukti

19 Wiwi Heryani, Asas Hukum Pembuktian Perdata, Jakarta, Kencana, 2013, hal., 107.

20 Op.Cit hal. 22. 21

Krisnawati, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006, hal.3.


(17)

yang ditambahkan adalah alat bukti yang berkaitan dengan kejahatan menggunakana teknologi.

Dalam pembuktian tidak selalu pihak penggugat saja yang harus membuktikan dalilnya. Hakim yang memeriksa perkara itu yang akan menentukan siapa diantara pihak-pihak yang berperkara yang akan diwajibkan memberikan bukti, apakah pihak penggugat atau sebaliknya pihak tergugat. Secara ringkas disimpulkan bahwa hakim sendiri yang menentukan pihak yang mana yang akan memikul beban pembuktian. Didalam soal menjatuhkan beban pembuktian, hakim harus bertindak arif dan bijaksana, serta tidak boleh berat sebelah. Semua peristiwa dan keadaan yang konkrit harus diperhatikan dengan seksama olehnya.

Sebagai pedoman, dijelaskan oleh pasal 1865 BW, bahwa: "Barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa atas mana dia mendasarkan suatu hak, diwajibkan membuktikan pristiwa itu; sebaliknya barang siapa mengajukan peristiwa guna pembantahan hak orang lain, diwajibkan juga membuktikan peristiwa-peristiwa itu".

Pembuktian menurut KUHAP, menganut sistem pembuktian menurut undang- undang secara negatif (negatief wettelijk stelsel) yaitu sistem pembuktian yang merupakan keseimbangan antara sistem keyakinan hakim (conviction in time) dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif (berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan di dalam undang-undang).22 Kedua sistem ini saling bertolak

belakang secara ekstrim. Dimana kedua sistem ini dikenal dengan sistem pembuktian

22 Achmad Ali, Op.Cit, hal,. 87.


(18)

secara negatif dengan memadukan antara keyakinan hakim dengan undang-undang secara positif.

Dalam suatu proses perdata, salah satu tugas hakim adalah untuk menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau tidak. Adanya hubungan hukum inilah yang harus terbukti apabila penggugat mengiginkan kemenangan dalam suatu perkara. Apabila penggugat tidak berhasil membuktikan dalil-dalilnya yang menjadi dasar gugatannya, maka gugatannya akan ditolak, sedangkan apabila berhasil, maka gugatannya akan dikabulkan.

Tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan kebenarannya, untuk dalil-dalil yang tidak disangkal, apabila diakui sepenuhnya oleh pihak lawan, maka tidak perlu dibuktikan lagi. Beberapa hal/keadaan yang tidak harus dibuktikan antara lain :

1. hal-hal/keadaan-keadaan yang telah diakui 2. hal-hal/keadaan-keadaan yang tidak disangkal

3. hal-hal/keadaan-keadaan yang telah diketahui oleh khalayak ramai (notoire

feiten/fakta notoir). Atau hal-hal yang secara kebetulan telah diketahui sendiri oleh

hakim.

2.3.2.1 Hasil Penelitian Pembuktian dalam Putusan Pidana No. Nomor: 133 Pid.B/2012 PN. Pwk

Para pihak dalam kasus ini adalah PT. Telkomsel melawan Ahmad Hanafi. Kasus ini bermula ketika Ahmad Hanafi sebagai terdakwa diajak oleh temannya


(19)

Fachrizal Ahmad Sumardjo (terdakwa dalam penuntutan yang terpisah) untuk mencoba membobol (Penetration Test) server PT. Telkomsel. Terdakwa bertugas untuk memilah data-data yang biasa dipergunakan dan dimanfaatkan untuk mencari internet gratis, mencari perintah untuk pengisian pulsa dan menjual pulsa. Terdakwa selanjutnya diberi akses berupa internet gratis melalui VPN (Virtual Private Network) yang langsung menuju ke server OVO milik PT. Telkomsel.

Kemudian Fachrizal Ahmad Sumardjo menemukan URL (Uniform Resource

Locator) recharge untuk pengisian pulsa secara illegal melalui server Telkomsel.

URL itu digunakan oleh terdakwa untuk masuk ke jaringan internal PT. Telkomsel dan terdakwa dapat melakukan koneksi ke seluruh server milik PT. Telkomsel. Terdakwa masuk ke beberapa server PT. Telkomsel untuk dapat terhubung pada server regae dan URP (Universal Recharge Platform) dan berhasil melakukan pengisian pulsa milik PT. Telkomsel tanpa harus melakukan pembayaran.

Tindakan tersebut mengakibatkan kerugian yang sangat besar bagi PT. Telkomsel, sehingga berdasarkan bukti-bukti, keterangan saksi dan saksi ahli maka Majelis Hakim memutuskan bahwa terdakwa telah melanggar Pasal 51 ayat (2), Pasal 36, Pasal 30 ayat (1), (2) , (3), Pasal 32 ayat (2), Pasal 34 ayat (1) b UU RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Pasal 3 UU RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pasal 55 KUHPidana serta pasal 197 Undang-undang Republik Indonesia.23

Dalam proses pembuktian di persidangan kasus PT. Telkomsel melawan Ahmad Hanafi, pertimbangan Majelis Hakim didasarkan pada Teori Pembuktian

23


(20)

Berdasarkan Undang-Undang secara Negatif (negatief wettelike bewijstheorie). Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan pada aturan-aturan pembuktian yang telah ditetapkan secara limitatif dalam undang-undang, tetapi harus diikuti dengan keyakinan hakim. 24

Kejahatan yang dilakukan terdakwa dikategorikan sebagai cyber crime. Dengan demikian pertimbangan majelis hakim mengenai alat bukti didasarkan pada Pasal 5 UU ITE Tahun 2008, oleh karena itu alat bukti dalam kasus ini yaitu data dan informasi elektronik atau dokumen elektronik pada sistem elektronik pihak lain yang dalam hal ini merupakan milik PT.Telkomsel sah sebagai alat bukti dalam persidangan.

Sejalan dengan itu, dalam Pasal 183 KUHAP juga dinyatakan bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindakan pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

2.3.2.2 Pembuktian dalam Putusan Perdata No. 298 / Per.G /2012/PN. Jkt. Sel

Para pihak dalam kasus ini adalah PT. PACIFIC ROYALE AIRWAYS melawan 1 CSDS AIRCRAFT SALES AND LEASING INC. yang berkedudukan di Indonesia, berdasarkan Letter of Intent tertanggal 08 November 2011, Penggugat berniat untuk menyewa pesawat udara Airbus A320-214 msn/nomor seri pabrik: 2529, 2619, 2654 dan 2668 (empat pesawat udara) yang ditujukan kepada CSDS

24 Andi Sofyan, H. Abd.Azis, Hukum Acara Pidana, Makassar, KencanaPrenadamedia Group, 2014, hlm. 236.


(21)

Aircraft Sales and Leasing Inc. (Tergugat). Setelah sepakat mengenai jumlah down

payment penyewaan pesawat tersebut, penggugat mentransfer uang tersebut ke

rekening atas nama tergugat.

Kemudian Tergugat menyodorkan Escrow Agreement tanpa tanggal, bulan dan tahun yang telah ditanda tanganinya tersebut kepada Penggugat. Dalam dunia penerbangan internasional untuk sewa menyewa pesawat udara biasanya menggunakan atau memakai Nomor Rekening Agen Penampung (dalam hal ini IATS) tersebut, persyaratannya sangat ketat yang nantinya para pihak yang terkait dalam sewa menyewa pesawat udara tidak ada yang dirugikan. Penggugat menanda tangani Escrow Agreement, karena merasa yakin diikutsertakannya pihak IATS dalam proses sewa menyewa pesawat udara tersebut, kemudian penggugat menstransfer uang Refundable Deposit sebesar USD 1,340,000.- ke nomor rekening penampung.

Namun setelah pembayaran dan hingga batas waktu penyerahan pesawat telah lewat, tergugat tidak juga menyerahkan pesawat yang telah disepakati dengan alasan bahwa pesawat tersebut baru akan dibeli dan masih di bawah kekuasaan penjual yaitu Air Berlin 4. LeaseLux S.a.r.I.25

Dalam memutus kasus ini pertimbangan hukum Majelis Hakim didasarkan pada Teori Pembuktian Positif. Dalam pembuktian kasus perdata hakim hanya mencara kebenaran formal. Sehingga berdasarkan alat bukti berupa e-mail (surat elektronik) antara penggugat dan tergugat yang berisi kesepakatan sewa menyewa pesawat, harga sewa pesawat, tanggal penyerahan pesawat, keberatan penguggat mengenai kelalaian


(22)

tergugat dalam pelaksanaan perjanjian, serta bukti transfer penggugat kepada nomor rekening atas nama penggugat dan atas nama Agen Penampung (IATS) dari BCA diakui keabsahannya sesuai dengan ketentuan alat bukti dalam Pasal 5 UU ITE Tahun 2008.

2.3.2.3 Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Kupang Nomor. 15/G/2010 /PTUN KPG

Dalam putusan ini Talul Ludofikus dan Leonard Saka menggugat Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPPU) Kabupaten Timor Tengah Utara melalui Mahkamah Agung, dengan objek sengketa yaitu, pertama Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPPU) Kabupaten Timor Tengah Utara Nomor: 18 Tahun 2010 tanggal 23 Agustus 2010 tentang Penetapan Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebagai Peserta Pemilihan Umum Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Timor Tengah Utara Tahun 2010. Objek sengketa kedua adalah Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPPU) Kabupaten Timor Tengah Utara Nomor 19 Tahun 2010 tanggal 27 Agustus 2010 tentang Penetapan Nomor Urut Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Timor Tengah Utara Tahun 2010.

Isi dari kedua Keputusan KPPU tersebut yaitu menggugurkan pasangan Talul Ludofikus dan Leonard Saka sebagai CalonPeserta Pemilihan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Timor Tengah Utara Tahun 2010. Alasannya karena pasangan calon kepala daerah tersebut tidak memenuhi syarat yang ditentukan KKPU, dalam hal ini tidak memenuhi ketentuan untuk Surat Pernyataan Kesepakatan


(23)

Antara Partai Politik Peserta Pemilihan Dalam Pencalonan Pasangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Surat pernyataan seharusnya di tanda tangani langsung oleh Felix Leba sebagai Ketua Partai Penegak Demokrasi Indonesia (perwakilan partai-partai pendukung).

Namun yang menjadi masalah adalah berdasarkan keterangan saksi dan alat bukti berupa rekaman pembicaraan melalui telepon seluler diketahui bahwa, tanda tangan pada Surat Pernyataan Kesepakatan Antara Partai Politik Peserta Pemilihan Dalam Pencalonan Pasangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tanda tangan Felix Saba menggunakan tanda tangan scan atau Tanda Tangan Elektronik.26

Tanda tangan scan diartikan sama dengan tanda tangan elektronik yang mana tanda tangan elektronik sesuai dengan pasal 1 ayat (12) UU ITE tahun 2008 menyatakan, Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas informasi elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan informasi elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentik. Kemudian dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a UU ITE tahun 2008 menyatakan: Tanda tangan elektronik memiliki kekuatan hukum tetap dan akibat hukum sah selama memenuhi persyaratan sebagai berikut: data pembuatan Tanda Tangan Elektronik terkait hanya kepada penanda tangan.

Majelis Hakim berpendapat, jika dihubungkan antara keterangan saksi dan alat bukti dengan ketentuan mengenai tanda tangan elektronik menurut UU ITE tahun 2008, maka tanda tangan scan yang digunakan dalam Surat Dukungan Suara bukan atas kepentingan pribadi (Felix Saba) melainkan untuk 1.989 suara yang mendukung


(24)

salah satu pasangan calon. Hal ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 11 (1) huruf a UU ITE 2008.

Oleh karena bukti surat ditanda tangani menggunakan scan maka terhadap bukti tersebut adalah dinyatakan tidak sah. Dengan demikian tidak memenuhi ketentuan pasal 15 (1) dan ayat 2 huruf (a) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 13 Tahun 2010 Tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pencalonan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Majelis Hakim berkesimpulan, karena tanda tangan dari Ketua Parta Penegak Demokrasi (PPDI) atas nama Felix Leba dinyatakan tidak sah maka, suara dukungan dari PPDI sejumlah 1.989 suara untuk bakal pasangan calon juga dinyatakan tidak sah. Karena jika suara tidak sah tersebut dikurangi dengan suara yang sah maka hasilnya 14.730 suara. Dengan jumlah suara yang demikian, penggugat (bakal calon wakil kepala daerah) tidak memenuhi syarat 15% dari total suara sah Pemilu tahun 2009 sejumlah 106.944 yaitu 16.041 suara.

Berdasarkan pertimbangan dan putusan Majelis Hakim sistem pembuktian dalam hukum acara pidana di Indonesia adalah Sistem Pembuktian menurut undang-undang secara negatif (Negatif Wettelijke Bewijs Theori). Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 183 Undang-Undang Nomor 81 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang berbunyi sebagai berikut :

“ Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim


(25)

yang didasarkan pada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang.

2.4 Pembuktian dalam Perundang-Undangan

2.4.1 Pembuktian Dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi

Perubahan Iingkungan global dan perkembangan teknologi telekomunikasi yang berlangsung sangat cepat telah mendorong terjadinya perubahan mendasar, melahirkan Iingkungan telekomunikasi yang baru, dan perubahan cara pandang dalam penyelenggaraan telekomunikasi, termasuk hasil konvergensi dengan teknologi informasi. Oleh karena itu UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE dan UU 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi tidak dapat dipisahkan.

Sebagai contoh hasil konvergensi antara telekomunikasi dan teknologi informasi yaitu pada saat ini jasa telekomunikasi dengan mudah dapat merambah ke penyelenggaraan jasa lain yang berhubungan dengan dan teknologi informasi. Sementara itu, sebaliknya, jasa teknologi informasi juga sudah dapat menunjang penyelenggaraan telekomunikasi.

Undang-Undang ini menjadi penting karena, dalam pasal Pasal 42 (2) diatur secara jelas mengenai alat bukti elektronik yang sah dan diakui di pengadilan. Seperti yang diketahui KUHAP juga telah terlebih dahulu mengatur mengenai alat bukti untuk mengungkap suatu peristiwa hukum. Dalam pasal 1 (1) UU 36 Tahun 1999 Telekomunikasi diartikan sebagai setiap pemancaran, pengiriman, dan atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar,


(26)

suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya. 27Kemudian alat bukti elektronik yang di atur UU Telekomunikasi 1999

adalah dalam pasal Pasal 42 (2) di nyatakan bahwa, Rekaman informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan untuk proses peradilan pidana.28

2.4.2 Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Perkembangan dan kemajuan Teknologi Informasi yang demikian pesat telah menyebabkan perubahan kegiatan kehidupan manusia dalam berbagai bidang yang secara langsung telah memengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum baru. Pemanfaatan Teknologi Informasi berperan penting dalam perdagangan dan pertumbuhan perekonomian nasional untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah perlu mendukung pengembangan Teknologi Informasi melalui infrastruktur hukum dan pengaturannya sehingga pemanfaatan Teknologi Informasi dilakukan secara aman untuk mencegah penyalahgunaannya dengan memperhatikan nilai-nilai agama dan sosial budaya masyarakat Indonesia. Hal-hal tersebut merupakan alasan diberlakukannya UU ITE tahun 2008 di Indonesia.

Dalam pasal 1 (1) Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol,

27 Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Pasal 1 (1). 28Ibid.


(27)

atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Kemudian pasal 1 (2) Transaksi Elektronik diartikan sebagai perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya.

Untuk tindak pidana terdapat dalam Bab VII Pasal 27-37. Tindak pidana atau Perbuatan yang dilarang oleh undang-undang ini berkaitan dengan informasi elektronik adalah mendistribusikan atau mentransmisikan atau membuat diaksesnya informasi elektronik yang muatannya berisi melanggar kesusilaan, muatan perjudian, penghinaan atau pencemaran nama baik atau pemerasan dan/atau pengancaman. Muatan yang berisi melanggar kesusilaan di antaranya adalah penayangan gambar-gambar porno dalam situs-situs internet maupun di telepon seluler.29 Kemudian untuk sengketa perdata diatur dalam BAB V Pasal 17-22. Dalam hukum perdata dan bisnis yang diatur dalam UU ITE didasarkan pada transaksi elektronik dan kontrak elektronik.

Undang-undang ini pun menjadi menarik karena dilihat dari segi alat bukti, ada alat bukti baru yang disahkan oleh pemerintah. Alat-alat bukti ini diatur Pasal 5 UU ITE Tahun 2008, dinyatakan bahwa alat bukti informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Padahal tindak kejahatan yang melanggar hukum pidana dan hukum perdata jelas jauh berbeda. Namun untuk pengelompokan tindak kejahatan terdapat pemisahan antara pidana dan perdata dalam UU ITE Tahun 2008.

29 Siswanto Sunarso, Hukum Informasi dan Transaksi Elektronik (Studi Kasus: Prita Mulyasari),Rineka Cipta, 2009, Jakarta. Hal 135.


(28)

Pembuktian perkara tindak pidana teknologi informasi di pengadilan didasarkan pada Pasal 183 KUHAP. Selain itu sebagai penganut sistem civil law, peraturan yang berlaku di Indonesia bersumber dari Undang-Undang. Oleh karena itu dalam proses pembuktian, pertimbangan hakim didasarkan pada peraturan mengenai alat bukti dan cara pembuktian yang diatur dalam undang-undang dan keyakinan hakim itu sendiri. Pembuktian seperti ini disebut dengan Teori Pembuktian berdasarkan Undang-Undang Secara Negatif. Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan dan termasuk pula alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik.

2.4.3 Pembuktian dalam Electronic Transaction Act (ETA) 2010 Singapore

Singapura mempunyai misi untuk menjadi pusat kegiatan perdagangan elektronik internasional, di mana transaksi perdagangan yang elektronik dari daerah dan di seluruh bumi diproses. The Electronic Transactions Act telah diberlakukan pada tanggal 10 Juli 1998 yang kemudian mengalami perubahan pada tahun 2010, untuk menciptakan kerangka yang sah tentang undang-undang untuk transaksi perdagangan elektronik di Singapura yang memungkinkan bagi Menteri Komunikasi Informasi dan Kesenian untuk membuat peraturan mengenai perijinan dan peraturan otoritas sertifikasi di Singapura.

Tujuan dibuatnya ETA pertama memudahkan komunikasi elektronik atas arsip elektronik yang penting. Kedua memudahkan perdagangan elektronik, yaitu menghapuskan penghambat perdagangan elektronik yang tidak sah atas penulisan dan


(29)

persyaratan tanda tangan, dan untuk mendorong pengembangan dari undang-undang dan infrastruktur bisnis diperlukan untuk menerapkan menjamin perdagangan elektronik. Ketiga memudahkan penyimpanan secara elektronik tentang dokumen pemerintah dan perusahaan menurut undang-undang, dan untuk mendukung penyerahan yang efisien pada kantor pemerintah atas bantuan arsip elektronik yang penting. Keempat meminimalkan timbulnya arsip elektronik yang sama (double), perubahan yang tidak disengaja dan disengaja tentang arsip, dan penipuan dalam perdagangan elektronik. Kelima membantu menuju keseragaman aturan, peraturan dan mengenai pengesahan dan integritas dari arsip elektronik. Keenam mempromosikan kepercayaan, integritas dan keandalan dari arsip elektronik dan perdagangan elektronik, dan untuk membantu perkembangan dan pengembangan dari perdagangan elektronik melalui penggunaan tanda tangan elektronik untuk menjamin keaslian dan integritas surat menyurat yang menggunakan media elektronik.30

Dalam ETA 2010, transaksi elektronik diartikan sebagai data, teks, gambar, suara, kode, program komputer, software dan database dikomunikasikan, diterima atau disimpan secara elektronik dalam suatu sistem informasi atau untuk transmisi dari satu sistem informasi lain serta berkaitan dengan teknologi yang menggunakan listrik, berhubungan dengan angka-angka untuk sistem perhitungan tertentu, berhubungan dengan penomoran atau digital, maknit, nirkabel atautanpa kawat, kemampuan optik, dan elektromagnetik. Dengan demikian segala hal yang dihasilkan melalui sistem elektronik diakui sebagai alat bukti yang sah di persidangan.


(30)

Namun sebagai negara dengan sistem hukum common law, Singapura menerapkan Teori Pembuktian Bebas. Dalam proses pembuktian dalam persidangan khususnya kasus yang melanggar ETA 2010. Berdasarkan teori tersebut hakim mengakui adanya alat bukti dan cara pembuktian yang diatur dalam undang-undang, namun kesimpulan dari kasus tersebut tetap dilandaskan pada keyakinan hakim apakah ia akan menggunakan alat bukti menurut undang-undang atau alat bukti lain yang menurut hakim dapat lebih mengungkapkan kebenaran dari sebuah peristiwa.

2.5 Perbandingan Transaksi Elektronik Undang No. 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik dengan Electronic Transaction Act 2010 Singapura

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah menyebabkan hubungan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial, ekonomi, dan budaya secara signifikan berlangsung demikian cepat. Perubahan itulah yang mengharuskan Indonesia dan Singapura memberlakukan undang-undang mengenai transaksi elektronik. Walaupun sama-sama mempunyai peraturan mengenai transaksi elektronik, terdapat perbedaan dan persamaan antara UU Telekomunikasi 1999, UU ITE 2008, dan ETA 2010 yang pertama ditinjau dari latar belakang di buatnya undang-undang ini.

UU Telekomunikasi 1999 dan UU ITE 2008 diberlakukan karena hukum harus mengikuti perkembangan zaman yang semakin canggih dan maraknya kasus cyber


(31)

crime karena kurangnya ketegasan hukum serta lemahnya kontrol terhadap penggunaan ITE. Alasan lainnya adalah untuk menjamin kepastian hukum khusunya tanda tangan elektronik dan penggunaan arsip elektronik.

Sedangkan latar belakang Singapura dalam pembuatan ETA 2010 adalah selain untuk kepastian hukum juga untuk keperluan akan perdagangan elektronik. Pemerintah Singapura ingin agar pembentukan undang-undang ini dapat memenuhi keperluan perdagangan elektronik yang akan membantu perekonomian negara. Maka dari itu, dampak perekonomian akibat penggunaan ITE di Singapura menjadi relatif lebih tinggi. ETA 2010 ini juga untuk keperluan transaksi perdagangan elektronik. UU ini memungkinkan untuk membuat peraturan mengenai perizinan dan peraturan otoritas sertifikasi Singapura.

Perbedaan kedua tampak pada pembuktianmenurut UU Telekomunikasi 1999, UU ITE 2008 dan ETA 2010, yang menjadi Issue dalam skripsi ini. Berdasarkan asas pembagian beban pembuktian yang diterapkan di Indonesia, pada prinsipnya sesuai dengan Pasal 15 UU Telekomunikasi 1999 dan Pasal 7 UU ITE 2008, penggugatlah yang pertama-tama harus dibebani pembuktian oleh hakim baru kemudian diberikan kesempatan pada tergugat untuk melakukan pembuktian balik.

Pembuktian yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa masih harus dinilai, yang berwenang menilai pembuktian adalah hakim.

Pada umumnya sepanjang undang-undang tidak mengatur sebaliknya, hakim bebas untuk menilai kekuatan pembuktian dari suatu alat bukti. Dalam hal ini, pembentuk undang-undang dapat mengikat hakim pada alat-alat bukti tertentu


(32)

(misalnya alat bukti surat), sehingga hakim tidak bebas menilainya. Alat bukti surat mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat bagi hakim maupun para pihak.

Sedangkan pada pembuktian di Singapura hakim diberikan kebebasan untuk menilai pembuktian suatu alat bukti, misalnya keterangan saksi mempunyai kekuatan pembuktian yang bebas, artinya diserahkan pada hakim untuk menilai pembuktiannya, hakim boleh terikat atau tidak pada keterangan yang diberikan oleh saksi. Hal ini jelas dinyatakan dalam Pasal 19 ETA 2010, bahwa setiap proses yang melibatkan catatan elektronik dianggap ada kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.

Perbedaan ketiga mengenai waktu berlakunya kontrak. Mengingat dalam kasus ITE waktu berlakunya kontrak merupakan hal yang sangat penting dan salah satu faktor utama untuk menentukan dan membuktikan telah terjadi pelanggaran menggunakan teknologi. Selain itu ketiga peraturan ini sama-sama mengatur mengenai kontrak elektronik maka penulis berpendapat hal ini perlu dibandingkan. Pasal 13 (2) ETA 2010 secara jelas merumuskan bahwa kontrak elektronik dinyatakan diterima pada saat kontrak tersebut bisa di unduh oleh penerimanya.

Sedangkan menurut UU Telekomunikasi 1999 dan UU ITE 2008, waktu berlakunya kontrak pada saat kontrak elektronik diterima oleh penerima dan ada pernyataan serta persetujuan bahwa kontrak tersebut telah diterima.

Perbedaan keempat adalah dalam UU ITE 2008 tidak ada pemisahan untuk pembuktian dalam hal ini tindak pidana dan sengketa perdata. Namun UU ITE 2008 secara jelas menngelompokan tindakan mana yang termasuk pidana dan tindakan yang termasuk perdata. Apabila dibandingkan dengan ETA 2010, undang-undang ini sangat tertuju pada peraturan untuk perdagangan elektronik dan kontrak elektronik.


(33)

Dengan kata lain, ETA 2010 secara rinci mengatur tentang hubungan keperdataan dalam kontrak dan tanda tangan elektronik. Untuk tindakan yang tergolong tindak pidana berkaitan dengan transaksi atau sistem elektronik diatur secara terpisah dalam undang-undang yang lain.

Selain perbedaan ada juga persamaan dari ketiga peraturan ini,yaitu terletak pada alat bukti. Adapun persamaan tersebut dapat di lihat pada Pasal 42 (2) UU Telekomunikasi 1999, Pasal 5 UU ITE 2008, dan Pasal 6 ETA 2010 ditentukan bahwa siapapun, termasuk pengadilan, tidak boleh menolak efek hukum, validitas hukum, dan pelaksanaan hukum hanya karena hal tersebut merupakan data elektronik. Disamping itu, pengadilan tidak boleh pula menolak efek hukum dari sebuah dokumen jika para pihak memang tidak mungkin mendapatkan naskah asli dari dokumen yang dijadikan alat bukti dalam kasus ITE.

2.6 Perbandingan Pembuktian dalam Putusan Pengadilan Mengenai ITE di Indonesia dan Yurisprudensi di Singapura

Sistem common law Singapura mempunyai karakteristik doktrin judicial

precedent (stare decicis). Menurut doktrin tersebut, hukum dibentuk oleh hakim

melalui penerapan prinsip-prinsip hukum terhadap fakta-fakta atau peristiwa- peristiwa dalam kasus-kasus yang terjadi. Dalam hal ini, hakim-hakim hanya diharuskan untuk menerapkan alasan-alasan atau pertimbangan-pertimbangan yang dapat diterima dalam menjatuhkan putusan (the ratio decidendi) pada pengadilan yang lebih tinggi dalam hirarkhi yang sama.


(34)

Oleh karena itu, di Singapura the ratio decidendi dapat ditemukan dalam putusan-putusan hakim pada pengadilan Singapura untuk tingkat banding yang langsung mengikat, baik pada Singapore High Court (Pengadilan Tinggi/pengadilan tingkat Banding), the District Court (Pengadilan Distrik) dan The Magistrate’s Court (Pengadilan Magistrat).

Sedangkan jika dibandingkan dengan Indonesia yang menganut sistem Civil Law, hakim memiliki peranan besar dalam mengarahkan dan memutus perkara. Selain itu hakim aktif dalam menemukan fakta dan menilai alat bukti. Hakim juga diberi keluasaan untuk memutus perkara tanpa perlu meneladani keputusan-keputusan hakim terdahulu sebagai dasar dari putusannya.

Kemudian dilihat dari Sistem Pembuktian, terdapat perbedaan antara Yurisprudensi Singapura dan Putusan Pengadilan Indonesia. Indonesia menganut sistem Pembuktian pembuktian menurut undang-undang yang negatif. Artinya Hakim hanya dapat menjatuhkan hukuman, apabila sedikit-dikitnya jumlah alat bukti yang telah ditentukan adalah undang-undang ada, ditambah dengan keyakinan hakim akan kesalahan terdakwa terhadap peristiwa pidana yang dituduhkan kepadanya.

Untuk dapat menjatuhkan pemidanaan kepada seseorang haruslah terdapat minimal dua alat bukti dari lima alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP yang mengatur secara limitatif alat bukti yang sah menurut undang-undang. Hal tersebut diatas, juga mengisyaratkan bahwa KUHAP juga menganut prinsip Batas Minimum Pembuktian yang mengatur batas tentang keharusan yang dipenuhi dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Walaupun alat-alat bukti lengkap, akan tetapi jika hakim tidak yakin tentang kesalahan terdakwa, maka harus diputus bebas. Dalam


(35)

sistem ini bukan undang-undang yang berkuasa melainkan hakim, tetapi kekuasaan itu dibatasi oleh undang-undang.

Oleh karena itu, konsep keyakinan hakim tersebut baru dapat terbentuk dengan didasarkan pada adanya alat bukti yang sah menurut KUHAP. Keyakinan hakim yang akan terbentuk tersebut pada akhirnya nanti hanya terdiri dari dua macam, yaitu keyakinan bahwa terdakwa tidak terbukti bersalah atau sebaliknya keyakinan bahwa terdakwa terbukti bersalah.

Aktualisasi dari kombinasi kedua konsep dalam ketentuan Pasal 183 KUHAP tersebut dapat dilihat dalam rumusan kalimat baku setiap diktum putusan perkara pidana yang menyatakan “secara sah dan meyakinkan”. Kata “sah” dalam hal ini berarti bahwa hakim dalam memberikan putusan tersebut didasarkan pada alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam KUHAP dan peraturan perundang-undangan lainnya. Sedangkan kata “meyakinkan” dalam hal ini berarti bahwa dari alat bukti yang sah tersebut maka terbentuk keyakinan hakim.

Kemudian jika dibandingkan dengan Yurispridensi Singapura mengenai ITE, hakim memutus perkara Chwee Kin Keong dan Lainnya v Digilandmall.com Pte Ltd

[2004] 2 SLR 594; [2004] SGHC 71 berdasarkan Teori Pembuktian Bebas. Hal

tersebut dapat di simpulkan karena, walaupun dalam Pasal 6 ETA 2010 sudah ada pengaturan mengenai alat bukti yang sah, namun Majelis Hakim tidak membatasi jika ada alat bukti lain dari kedua pihak yang bersengketa yang dapat membuktikan kebenaran dari kasus tersebut.

Sistem pembuktian dalam hukum Singapura dengan sistem hukum common law bersifat terbuka. Artinya untuk membuktikan kebenaran peristiwa di persidangan


(36)

tidak terikat pada alat bukti yang telah ditentukan secara limitatif dalam undang-undang, melainkan para pihak diperkenankan mengajukan segala hal yang dapat dijadikan alat bukti sebagai bukti ke pengadilan.

Dalam menentukan macam-macam dan banyaknya alat-alat bukti yang dipandang cukup untuk menentukan kesalahan terdakwa, hakim mempunyai keleluasaan yang penuh. Ia bebas untuk menetapkan apakah alat yang diajukan para pihak dapat dijadikan alat bukti atau tidak. Adapun peraturan yang mengikat kepada Hakim adalah bahwa dalam keputusannya ia harus menyebutkan pula alasan-alasan dari putusanya tersebut. Sistem ini menganggap atau mengakui juga adanya alat-alat bukti tertentu, akan tetapi alat-alat bukti ini tidak ditetapkan dalam undang-undang seperti sistem pembuktian menurut undang-undang yang positif dan sistem pembuktian menurut undang-undang yang negatif.

Selain mengenai penerapan teori atau sistem pembuktian, perbedaan lainnya juga terlihat dalam Beban Pembuktian. Untuk beban pembuktian di Indonesia majelis hakim cenderung mewajibkan beban pembuktian pada penggugat. Sama halnya dengan putusan Pidana No. Nomor: 133 Pidana. B/2012 PN. Pwk, Putusan Perdata No. 298/ Perdata. G/2012 / PN.Jkt. Sel, dan PTUN yang dibebani untuk membuktikan fakta dari masing-masing peristiwa adalah penggugat. Sesuai dengan Pasal 1865 KUHPerdata: barangsiapa yang mengaku mempunyai hak atau yang mendasarkan pada suatu peristiwa untuk menguatkan haknya itu atau untuk menyangkal hak orang lain harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu.

Berbeda dengan Singapura, pada Yurispridensi Chwee Kin Keong dan Lainnya


(37)

dibebankan kepada kedua pihak baik penggugat maupun tergugat. Jadi tidak selalu di bebankan kepada penggugat, atau selalu kedua pihak, atau selalu dibebankan kepada tergugat. Dalam beberapa Yurisprudensi ada kalanya tergugat yang di bebankan pembuktian dalam hal jika ia menyangkal gugatan. Di sisi lain penggugat tidak diwajibkan membuktikan kebenaran dari sangkalan tergugat.

Perbedaan juga tampak pada alat bukti. Melalui Putusan-putusan Pengadilan yang telah di jelaskan pada sub bagian 2.3.2.1 sampai sub bagian 2.3.2.3, majelis hakim hanya menerima alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang dalam kasus ITE.

Jika dibandingkan dengan Hukum Singapura dalam hal ini ETA 2010 dan UU Telekomunikasi 1999 erta UU ITE 2008 telah mengakui alat bukti elektronik merupakan alat bukti yang sah, namun pada Yurisprudensi Singapura Hakim tidak membatasi alat bukti seperti yang diatur dalam perundang-undangan. Hakim menerima alat bukti lain yang diajukan oleh pihak penggugat dan tergugat selama alat bukti tersebut dapat mengungkap fakta dari kasus tersebut.


(1)

(misalnya alat bukti surat), sehingga hakim tidak bebas menilainya. Alat bukti surat mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat bagi hakim maupun para pihak.

Sedangkan pada pembuktian di Singapura hakim diberikan kebebasan untuk menilai pembuktian suatu alat bukti, misalnya keterangan saksi mempunyai kekuatan pembuktian yang bebas, artinya diserahkan pada hakim untuk menilai pembuktiannya, hakim boleh terikat atau tidak pada keterangan yang diberikan oleh saksi. Hal ini jelas dinyatakan dalam Pasal 19 ETA 2010, bahwa setiap proses yang melibatkan catatan elektronik dianggap ada kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.

Perbedaan ketiga mengenai waktu berlakunya kontrak. Mengingat dalam kasus ITE waktu berlakunya kontrak merupakan hal yang sangat penting dan salah satu faktor utama untuk menentukan dan membuktikan telah terjadi pelanggaran menggunakan teknologi. Selain itu ketiga peraturan ini sama-sama mengatur mengenai kontrak elektronik maka penulis berpendapat hal ini perlu dibandingkan. Pasal 13 (2) ETA 2010 secara jelas merumuskan bahwa kontrak elektronik dinyatakan diterima pada saat kontrak tersebut bisa di unduh oleh penerimanya.

Sedangkan menurut UU Telekomunikasi 1999 dan UU ITE 2008, waktu berlakunya kontrak pada saat kontrak elektronik diterima oleh penerima dan ada pernyataan serta persetujuan bahwa kontrak tersebut telah diterima.

Perbedaan keempat adalah dalam UU ITE 2008 tidak ada pemisahan untuk pembuktian dalam hal ini tindak pidana dan sengketa perdata. Namun UU ITE 2008 secara jelas menngelompokan tindakan mana yang termasuk pidana dan tindakan yang termasuk perdata. Apabila dibandingkan dengan ETA 2010, undang-undang ini sangat tertuju pada peraturan untuk perdagangan elektronik dan kontrak elektronik.


(2)

Dengan kata lain, ETA 2010 secara rinci mengatur tentang hubungan keperdataan dalam kontrak dan tanda tangan elektronik. Untuk tindakan yang tergolong tindak pidana berkaitan dengan transaksi atau sistem elektronik diatur secara terpisah dalam undang-undang yang lain.

Selain perbedaan ada juga persamaan dari ketiga peraturan ini,yaitu terletak pada alat bukti. Adapun persamaan tersebut dapat di lihat pada Pasal 42 (2) UU Telekomunikasi 1999, Pasal 5 UU ITE 2008, dan Pasal 6 ETA 2010 ditentukan bahwa siapapun, termasuk pengadilan, tidak boleh menolak efek hukum, validitas hukum, dan pelaksanaan hukum hanya karena hal tersebut merupakan data elektronik. Disamping itu, pengadilan tidak boleh pula menolak efek hukum dari sebuah dokumen jika para pihak memang tidak mungkin mendapatkan naskah asli dari dokumen yang dijadikan alat bukti dalam kasus ITE.

2.6 Perbandingan Pembuktian dalam Putusan Pengadilan Mengenai ITE di Indonesia dan Yurisprudensi di Singapura

Sistem common law Singapura mempunyai karakteristik doktrin judicial precedent (stare decicis). Menurut doktrin tersebut, hukum dibentuk oleh hakim melalui penerapan prinsip-prinsip hukum terhadap fakta-fakta atau peristiwa- peristiwa dalam kasus-kasus yang terjadi. Dalam hal ini, hakim-hakim hanya diharuskan untuk menerapkan alasan-alasan atau pertimbangan-pertimbangan yang dapat diterima dalam menjatuhkan putusan (the ratio decidendi) pada pengadilan yang lebih tinggi dalam hirarkhi yang sama.


(3)

Oleh karena itu, di Singapura the ratio decidendi dapat ditemukan dalam putusan-putusan hakim pada pengadilan Singapura untuk tingkat banding yang langsung mengikat, baik pada Singapore High Court (Pengadilan Tinggi/pengadilan tingkat Banding), the District Court (Pengadilan Distrik) dan The Magistrate’s Court (Pengadilan Magistrat).

Sedangkan jika dibandingkan dengan Indonesia yang menganut sistem Civil Law, hakim memiliki peranan besar dalam mengarahkan dan memutus perkara. Selain itu hakim aktif dalam menemukan fakta dan menilai alat bukti. Hakim juga diberi keluasaan untuk memutus perkara tanpa perlu meneladani keputusan-keputusan hakim terdahulu sebagai dasar dari putusannya.

Kemudian dilihat dari Sistem Pembuktian, terdapat perbedaan antara Yurisprudensi Singapura dan Putusan Pengadilan Indonesia. Indonesia menganut sistem Pembuktian pembuktian menurut undang-undang yang negatif. Artinya Hakim hanya dapat menjatuhkan hukuman, apabila sedikit-dikitnya jumlah alat bukti yang telah ditentukan adalah undang-undang ada, ditambah dengan keyakinan hakim akan kesalahan terdakwa terhadap peristiwa pidana yang dituduhkan kepadanya.

Untuk dapat menjatuhkan pemidanaan kepada seseorang haruslah terdapat minimal dua alat bukti dari lima alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP yang mengatur secara limitatif alat bukti yang sah menurut undang-undang. Hal tersebut diatas, juga mengisyaratkan bahwa KUHAP juga menganut prinsip Batas Minimum Pembuktian yang mengatur batas tentang keharusan yang dipenuhi dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Walaupun alat-alat bukti lengkap, akan tetapi jika hakim tidak yakin tentang kesalahan terdakwa, maka harus diputus bebas. Dalam


(4)

sistem ini bukan undang-undang yang berkuasa melainkan hakim, tetapi kekuasaan itu dibatasi oleh undang-undang.

Oleh karena itu, konsep keyakinan hakim tersebut baru dapat terbentuk dengan didasarkan pada adanya alat bukti yang sah menurut KUHAP. Keyakinan hakim yang akan terbentuk tersebut pada akhirnya nanti hanya terdiri dari dua macam, yaitu keyakinan bahwa terdakwa tidak terbukti bersalah atau sebaliknya keyakinan bahwa terdakwa terbukti bersalah.

Aktualisasi dari kombinasi kedua konsep dalam ketentuan Pasal 183 KUHAP tersebut dapat dilihat dalam rumusan kalimat baku setiap diktum putusan perkara pidana yang menyatakan “secara sah dan meyakinkan”. Kata “sah” dalam hal ini berarti bahwa hakim dalam memberikan putusan tersebut didasarkan pada alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam KUHAP dan peraturan perundang-undangan lainnya. Sedangkan kata “meyakinkan” dalam hal ini berarti bahwa dari alat bukti yang sah tersebut maka terbentuk keyakinan hakim.

Kemudian jika dibandingkan dengan Yurispridensi Singapura mengenai ITE, hakim memutus perkara Chwee Kin Keong dan Lainnya v Digilandmall.com Pte Ltd [2004] 2 SLR 594; [2004] SGHC 71 berdasarkan Teori Pembuktian Bebas. Hal tersebut dapat di simpulkan karena, walaupun dalam Pasal 6 ETA 2010 sudah ada pengaturan mengenai alat bukti yang sah, namun Majelis Hakim tidak membatasi jika ada alat bukti lain dari kedua pihak yang bersengketa yang dapat membuktikan kebenaran dari kasus tersebut.

Sistem pembuktian dalam hukum Singapura dengan sistem hukum common law bersifat terbuka. Artinya untuk membuktikan kebenaran peristiwa di persidangan


(5)

tidak terikat pada alat bukti yang telah ditentukan secara limitatif dalam undang-undang, melainkan para pihak diperkenankan mengajukan segala hal yang dapat dijadikan alat bukti sebagai bukti ke pengadilan.

Dalam menentukan macam-macam dan banyaknya alat-alat bukti yang dipandang cukup untuk menentukan kesalahan terdakwa, hakim mempunyai keleluasaan yang penuh. Ia bebas untuk menetapkan apakah alat yang diajukan para pihak dapat dijadikan alat bukti atau tidak. Adapun peraturan yang mengikat kepada Hakim adalah bahwa dalam keputusannya ia harus menyebutkan pula alasan-alasan dari putusanya tersebut. Sistem ini menganggap atau mengakui juga adanya alat-alat bukti tertentu, akan tetapi alat-alat bukti ini tidak ditetapkan dalam undang-undang seperti sistem pembuktian menurut undang-undang yang positif dan sistem pembuktian menurut undang-undang yang negatif.

Selain mengenai penerapan teori atau sistem pembuktian, perbedaan lainnya juga terlihat dalam Beban Pembuktian. Untuk beban pembuktian di Indonesia majelis hakim cenderung mewajibkan beban pembuktian pada penggugat. Sama halnya dengan putusan Pidana No. Nomor: 133 Pidana. B/2012 PN. Pwk, Putusan Perdata No. 298/ Perdata. G/2012 / PN.Jkt. Sel, dan PTUN yang dibebani untuk membuktikan fakta dari masing-masing peristiwa adalah penggugat. Sesuai dengan Pasal 1865 KUHPerdata: barangsiapa yang mengaku mempunyai hak atau yang mendasarkan pada suatu peristiwa untuk menguatkan haknya itu atau untuk menyangkal hak orang lain harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu.

Berbeda dengan Singapura, pada Yurispridensi Chwee Kin Keong dan Lainnya v Digilandmall.com Pte Ltd [2004] 2 SLR 594; [2004] SGHC 71 beban pembuktian


(6)

dibebankan kepada kedua pihak baik penggugat maupun tergugat. Jadi tidak selalu di bebankan kepada penggugat, atau selalu kedua pihak, atau selalu dibebankan kepada tergugat. Dalam beberapa Yurisprudensi ada kalanya tergugat yang di bebankan pembuktian dalam hal jika ia menyangkal gugatan. Di sisi lain penggugat tidak diwajibkan membuktikan kebenaran dari sangkalan tergugat.

Perbedaan juga tampak pada alat bukti. Melalui Putusan-putusan Pengadilan yang telah di jelaskan pada sub bagian 2.3.2.1 sampai sub bagian 2.3.2.3, majelis hakim hanya menerima alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang dalam kasus ITE.

Jika dibandingkan dengan Hukum Singapura dalam hal ini ETA 2010 dan UU Telekomunikasi 1999 erta UU ITE 2008 telah mengakui alat bukti elektronik merupakan alat bukti yang sah, namun pada Yurisprudensi Singapura Hakim tidak membatasi alat bukti seperti yang diatur dalam perundang-undangan. Hakim menerima alat bukti lain yang diajukan oleh pihak penggugat dan tergugat selama alat bukti tersebut dapat mengungkap fakta dari kasus tersebut.


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlindungan Hukum terhadap Pemegang Uang Elektronik (E-Money) dalam Transaksi Elektronik T1 312012063 BAB II

5 58 73

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pembuktian dalam Transaksi Elektronik di Indonesia dan Singapura T1 312012009 BAB I

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pembuktian dalam Transaksi Elektronik di Indonesia dan Singapura

0 0 11

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pembuktian dalam Transaksi Elektronik di Indonesia dan Singapura

0 0 122

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kedudukan Hukum Tanda Tangan Elektronik (Digital Signature ) dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik T1 312009062 BAB II

2 20 43

T1 Judul Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Jaringan dan Informasi serta Transaksi Elektronik

0 7 10

T1__BAB III Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Jaringan dan Informasi serta Transaksi Elektronik T1 BAB III

0 0 3

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Jaringan dan Informasi serta Transaksi Elektronik T1 BAB II

0 1 52

T1__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Jaringan dan Informasi serta Transaksi Elektronik T1 BAB I

0 0 10

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbandingan Lembaga Pengawas Persaingan Usaha di Singapura dan di Indonesia T1 BAB II

0 0 61