PEMAKNAAN PADA SYAIR “SYAIR TANPO WATHON” (Studi Semiotik Deskriptif Kualitatif Pemaknaan Syair Pada “Syair Tanpo Wathon”).

PEMAKNAAN PADA SYAIR “SYAIR TANPO
WATHON”
(Studi Semiotik Deskriptif Kualitatif Pemaknaan Syair Pada “Syair Tanpo
Wathon”)

SKRIPSI
(Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pada
FISIP UPN “Veteran” J awa Timur )

Oleh :
FIKRI ROSYADI
NPM. 0743010148

YAYASAN KESEJ AHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” J AWA TIMUR
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
SURABAYA
2012

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

PEMAKNAAN PADA SYAIR “SYAIR TANPO WATHON”
(Studi Semiotik Deskr iptif Kualitatif Pemaknaan Syair Pada “Syair Tanpo Wathon”)

Disusun :
FIKRI ROSYADI
NPM. 0743010148

Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skr ipsi

Menyetujui
Pembimbing Utama

Zainal Abidin Achmad. S.Sos, M.Si. M.ED
NPT. 37305990170.1

Mengetahui
DEKAN


Dr a. Hj. Supar wati, M.Si
NIP. 195507181983022001

i

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrohim
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala berkah, rahmat,
karunia dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini dengan judul
“PEMAKNAAN PADA SYAIR “SYAIR TANPO WATHON”. Tujuan penulis meneliti syair
ini adalah untuk mengetahui isi makna yang terkandung di dalamnya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa Skripsi ini masih jauh dari sempurna dan masih
banyak kekurangannya meskipun penulis sudah berusaha sebaik-baiknya. Hal tersebut karena
masih kurangnya ilmu, penulis bersedia menerima saran dan kritik yang bersifat membangun
demi perbaikan dan penyempurnaan Skripsi ini.
Penyelesaian Skripsi ini dapat terselesaikan berkat dorongan, bantuan dan bimbingan dari

berbagai pihak. Mengingat hal tersebut, maka pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa
terima kasih yang sebesar-besarnya untuk Bpk. Zainal Abidin Achmad. S.Sos, M.Si. M.ED
selaku Dosen Pembimbing Penulis yang sangat membantu dan memberikan banyak masukan
kepada penulis dalam menyelesaikan Skripsi ini. Dan tak lupa juga Penulis mengucapkan
banyak-banyak terima kasih kepada :
1.

Allah SWT. yang senantiasa melimpahkan segala karuniaNYA sehingga penulis
mendapatkan kemudahan selama proses pengerjaan Skripsi.

2.

Prof. Dr. Ir. Teguh Soedarto, MP selaku Rektor Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Jawa Timur.

iii

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.


3.

Ibu Dra. Hj. Suparwati, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UPN
“Veteran” Jawa Timur.

4.

Bapak Juwito, S. Sos., Msi, selaku Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik UPN “Veteran” Jawa Timur.

5.

Bapak / Ibu Dosen serta staf karyawan Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik yang telah memberi banyak dorongan pada penulis.

6.

Alm. H. Drs. A. Dimyathi Bishri, M.M dan Ibunda Hj. Fauzun Asofa, kakak Sofie
Fikriyati, mas Puger dan yang terkasih Firdausinabah, S.sos yang tidak pernah berhenti
memberikan dorongan dalam segala hal baik moral maupun material yang membuat

penulis lebih bersemangat dalam menyelesaikan Skrispi.

7.

Sahabat-sahabat terbaik entah di kampus maupun sahabat komunitas-komunitas lain dan
teman-teman lainnya yang selalu memberikan dukungan moral dan semangat yang tiada
henti.

8.

Dan pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh Penulis yang sangatsangat membantu untuk menyelesaikan Skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan Skripsi ini belum sempurna dan penuh keterbatasan.

Dengan harapan bahwa laporan ini dapat berguna untuk teman-teman mahasiswa di Jurusan Ilmu
Komunikasi, maka saran dan kritik yang membangun sangatlah dibutuhkan untuk memperbaiki
kekurangan yang ada.
Surabaya, Mei 2012

Penulis


iv

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PERSETUJ UAN ...................................................................

i

LEMBAR PENGESAHAN .....................................................................

ii

KATA PENGANTAR .............................................................................

iii

DAFTAR ISI ...........................................................................................


v

ABSTRAKSI ...........................................................................................

vii

BAB I

PENDAHULUAN .....................................................................

1

1.1. Latar Belakang Masalah .......................................................

1

1.2. Perumusan Masalah ............................................................

7


1.3. Tujuan Penelitian ................................................................

7

1.4. Kegunaan Penelitian ............................................................

8

BAB II KAJ IAN PUSTAKA .................................................................

9

2.1. Landasan Teori ....................................................................

9

2.1.1. Komunikasi Verbal ..................................................

9


2.1.2. Pengertian Linguistik ...............................................

11

2.1.3. Pengertian Sastra ......................................................

13

2.1.4. Semiotik Linguistik dan Semiotik Sastra ..................

14

2.1.5. Syair Dalam Kajian Semiotika .................................

17

2.1.6. Simbologi Agama ....................................................

18


2.1.7. Pendekatan Bahasa ..................................................

20

2.1.8. Semiotika Dalam Kajian Ilmu Komunikasi ..............

23

2.1.9. Tanda dan Makna .....................................................

25

2.1.10. Teori-Teori Makna ..................................................

27

2.2. Kerangka Berpikir ...............................................................

29


BAB III METODE PENELITIAN .........................................................

31

3.1. Metode Penelitian ...............................................................

31

3.2. Definisi Operasional.............................................................

33

3.2.1. Data dan Sumber Data ...............................................

33

v

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

3.3. Kerangka Operasional .........................................................

33

3.3.1. Corpus .......................................................................

33

3.4. Teknik Pengumpulan Data ..................................................

39

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................

42

4.1. Gambaran Umum Objek Penelitian .....................................

40

4.1.1. Biografi Pencipta Syair .............................................

40

4.2. Penyajian dan Analisis Data.................................................

43

4.2.1. Pemaknaan Syair ”Tanpo Wathon” ...........................

43

4.2.2. Syair ”Tanpo Wathon” Menurut Teori Tanda Saussure

73

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................

77

5.1. Kesimpulan .........................................................................

77

5.2. Saran ..................................................................................

79

DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................

81

LAMPIRAN ............................................................................................

84

vi

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

ABSTRAKSI
FIKRI ROSYADI, “ PEM AKNAAN PADA SYAIR “ SYAIR TANPO WATHON “ ”
(St udi Semiot ik Deskript if Kualit at if Pemaknaan Syair Pada “ Syair Tanpo
Wat hon” ).
Penelit ian Syair Tanpo Wat hon ini didasari pada ket ert arikan penelit i
unt uk lebih menget ahui makna yang t erkandung dalam syair sert a
kepopulerannya di masyarakat . Pada penelit ian ini, penelit i berkesem pat an
unt uk bert emu langsung dengan pencipt a syair, yait u, KH. M uhammad Nizam AsShofa, Lc, pengasuh pondok pesant ren As-Shofa w al Wafa di Wonoayu –
Sidoarjo.
Dari hasil analisis t erhadap Pemaknaan Syair Pada “ Syair Tanpo Wat hon” ,
diperoleh beberapa kesimpulan dari int erpret asi dat a yait u, pencipt a syair
menggunakan met ode pemaknaan syair ini t erhadap realit as yang t erjadi di
masyarakat dengan menggunakan met ode pendekat an bahasa dan syair juga
pendekat an dari segi agama, menjadi sebuah media komunikasi melalui t anda
bahasa dan budaya sehingga mampu melekat t erhadap masyarakat .
Kat a kunci : Syair Tanpo Wat hon, KH. M uhammad Nizam As-Shofa, Lc

ABSTRACT
“ M EANING IN SYAIR “ SYAIR TANPO WATHON” , (Semiot ic st udy in M eaning in
Syair “ Syair Tanpo Wat hon” ).
This research of Syair Tanpo Wat hon based t o t he at t ract of w rit er t o
know ing deeply about t he means in t his syair, also t he w ell know n of t his syair in
communit y. In t his research, researcher meet KH. M uhammad Nizam As-Shofa,
Lc, as t he creat or of t he syair, he also know n as ow ner of As-Shofa w al Wafa
dormit ory in Wonoayu – Sidoarjo.
The result of t his analize, it can t ake t he final answ ers t hat t he creat or
using t he met hode depends on t he realit y in people and also using t his syair
based on religion view , becomes a communicat ion media t hrought a languages
sign and cult ure, so it can reflect direct ly t o t he people.
Keyw ords : Syair Tanpo Wat hon, KH. M uhammad Nizam As-Shofa, Lc

viii

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Syair adalah salah satu jenis puisi lama. Ia berasal dari Persia
(sekarang Iran) dan telah dibawa masuk ke Nusantara bersama-sama dengan
kedatangan Islam. Kata syair berasal dari bahasa Arab syu’ur yang berarti
perasaan. Kata syu’ur berkembang menjadi kata syi’ru yang berarti puisi
dalam pengertian umum. Syair dalam kesusastraan Melayu merujuk pada
pengertian puisi secara umum. Akan tetapi, dalam perkembangannya syair
tersebut mengalami perubahan dan modifikasi sehingga syair di desain sesuai
dengan keadaan dan situasi yang terjadi.
Mencipta Puisi (syi'ir) adalah salah satu bakat kreatif yang dimiliki
bangsa Arab. Kemampuan puitik bangsa Arab yang tinggi menunjukkan
tingkat kemajuan peradaban mereka, khususnya tingkat kecanggihan
bahasanya. Karya-karya puitik hanya dapat lahir dari sebuah bahasa yang
matang agar mampu mengungkapkan gagasan atau perasaan yang hendak
disampaikan. Dalam hal ini, Bahasa Arab telah melampaui proses formatif
yang cukup panjang. Di mulai dari Bahasa Arab Adnaniyah, sebuah sempalan
dari bahasa semitik, penyempurnaan formasi bahasa itu terus berlangsung
hingga menghasilkan bahasa Arab Mudhar. Dari bahasa Arab Mudhar inilah
1
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

2

lahir puisi, syi'ir. Bahasa puisi Arab ini menurut catatan sejarah ditemukan
kurang lebih dari dua ratus tahun sebelum Hijrah (Ar- Rafi i, 1974: 22).
Diyakini bahwa kemampuan puitik bangsa Arab awal adalah anugerah
dan bukan peniruan terhadap bangsa-bangsa lain. Puisi Arab kuno, selain
diakui keindahan penyusunan isi dan diksinya, juga memiliki pola ritmik dan
musikal yang baku yang direalisasikan dalam bentuk wazan dan qa:fiyah,
anasir yang tidak (secara lengkap) dimiliki oleh karya-karya puisi bangsa lain
sejamannya, seperti Ibrani dan Suryani. Bangsa Suryani tidak menyaratkan
adanya qa:fiyah dalam puisi-puisi mereka meskipun memiliki wazan.
Sedangkan bangsa Ibrani menyaratkan qa:fiyah tetapi tidak mengharuskan
keberpolaan (wazan). Di samping itu, pola-pola ritmik dan musikal puisi
Arab tidak ditemukan di dalam khazanah puitik bangsa lain (Ar-Rafi i, 1974:
24).
Puisi bagi masyarakat Arab adalah media untuk mengungkapkan
kemuliaan perangai, kenangan hari indah, pujian pada negeri, patriotisme,
kebanggaan pada suku, elegi (maratsin), cinta, pembalasan dendam dan
seruan untuk berbuat baik (Abdullah, tt.: 343). Di awal kemunculannya, puisi
Arab adalah pendek-pendek sesuai dengan kebutuhan penyairnya yang juga
masih sangat sederhana.

Beberapa nama penyair besar yang muncul di

masa-masa awal itu antara lain Adiy bin Rabi ah at-Taghlabi atau yang
dijuluki Muhalhil yang disebut-sebut sebagai orang yang mula- mula
melantunkan puisinya yang terdiri dari 30 bait (Al-Rafi’i: 1994-27), beberapa
penyair mu’allaqa:t, antara lain Amr al-Qais, Zuhair bin Abi Sulma,

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

3

Nabighah al-Dzubyani, Tharafah bin Abd al-Bakri, Amr bin Kultum, Labid
bin Rabi ah, dan al-A sya (Abdullah, tt.: 343).
Pada abad pertama hijriah atau abad ke-6 masehi, ketika kaum
muslimin masih disibukkan oleh ekspansi dan pembangkangan, seperti
perang riddah (632 M) pada masa Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq, penulisan
karya sastra belum berkembang. Sampai abad ke-7 baru ada penulisan Al-Qur
an. Pengumpulan karya sastra baru dilakukan pada akhir abad ke-8
(Abdullah, tt.: 343). Sedang karya prosa tertua, yaitu Nahj al- Balaghah karya
Ali bin Abi Thalib, baru dikumpulkan pada abad ke 10 atau ke-11 (Abdullah,
tt.: 344).
Belakangan, pada masa kekhalifahan Islam paska khulafaur rasyidin
(yang merangkum masa kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin
Khatthab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib) muncul genre karya
sastra lain yang disebut nadzam. Karya yang disebut terakhir muncul seir- ing
dengan kemajuan peradaban dan ilmu pengetahuan di dunia Islam. Se- cara
formal, kedua genre karya sastra, syi'ir dan nadzam, ini memiliki keserupaan yang secara sepintas tidak menampakkan perbedaan substansial
antara keduanya. Oleh karena itu, belakangan muncul perbedaan pandan- gan
dalam memahami kedua genre karya ini di kalangan sastrawan Arab.
Sejumlah sastrawan dan kritikus sastra Arab mencoba menegaskan
perbedaan dan karakteristik masing-masing syi'ir dan nadzam. Husain (1970:
61), misalnya, menengarai setidaknya ada tiga pengertian dan definisi syi'ir.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

4

Pertama, pandangan yang memaknai syi'ir sebagai tuturan yang ditata
sedemikian rupa sesuai dengan neraca atau timbangan puisi (wazan) yang
telah disepakati kalangan masyarakat Arab

terutama para sastrawannya.

Kedua, pandangan yang mendefinisikan syi'ir sebagai tuturan imajinatif dan
artistik yang memiliki kekuatan emotif untuk mempengaruhi penikmatnya.
Ketiga, pandangan yang merangkum dua pengertian syi'ir sebelumnya,
mendefinisikannya sebagai tuturan imajinatif yang tertata (mauzu:n) secara
artistik berdasarkan aturan-aturan (wazan) yang telah disepakati masyarakat
Arab yang mengandung kekuatan emotif untuk mempengaruhi hati dan
perasaan penikmatnya.

Jika kita menulis kata “syi’ir” di Google, maka akan turut di
belakangnya kata “Tanpo Waton” atau “Gus Dur”. Kemudian jika mulai
mengaksesnya, kita akan diajak melancong ke berbagai situs. Mesin
pencarian akan mengarahkan kita ke syi’ir yang populer di masyarakat, yaitu
“Syi’ir Tanpo Waton” atau “Shalawat Gus Dur”. Ini sekedar menggambarkan
popularitas “Syi’ir tanpo Waton di dunia maya.

Syi’ir tersebut mulai populer beberapa bulan setelah Gus Dur wafat 31
Desember 2009. Pada akhir tahun 2010, peneliti sudah menjumpai shalawat
tersebut dipasarkan para penjual kaset di salah satu pasar tradisional di
Kediri, Jawa Timur. Kini hampir di berbagai tempat, khususnya di Jawa,
orang mengenalnya.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

5

Syi’ir tersebut lumrah dilantunkan dalam acara-acara kegamaan
seperti tahlilan, tasyakuran, lailatul ijtima’, bahkan dalam rapat-rapat
organisasi dan pertemuan ibu-ibu arisan. Banyak warga yang hapal di luar
kepala, meski syair ini agak panjang.

Ada beberapa faktor kepopuleran syi’ir tersebut. Pertama adalah Gus
Dur sendiri. Gus Dur menjadi daya tarik dari segi apa pun. Dari tindakannya,
pernyataannya, humornya. Dari segi apa pun, orang sudah paham.

Faktor kedua, adalah faktor primordial masyarakat Nusantara yang
akrab dengan syi’ir-syi’ir. Dulu, ajaran-ajaran disampaikan melalui tembang.
Dan

sangat

luar

biasa

pengaruhnya.

Jadi meskipun belakangan banyak orang yang tahu kalau syi’ir ini ternyata
tidak diciptakan atau dilantunkan Gus Dur, masyarakat tak peduli. Mereka
dari awal sudah sangat akrab dan terlanjur gandrung denang dengan syi’ir.

Ketertarikan peneliti memilih syi’ir Tanpo Wathon lebih cenderung
dikarenakan penelitian ini bermaksud utnuk mengangkat makna tersembunyi
dari syair tersebut yang menggunakan simbo-simbol bahasa yang singkat,
padat namun memiliki filsafah yang meluas.

Berdasarkan beberapa hal diatas maka peneliti melihat bahwa Syi’ir
Tanpo Wathon sangat komprehensif untuk diteliti dengan menggunakan
pendekatan semiotik Saussure, dengan latar belakang isi syair yang menurut
penulis memiliki kandungan nilai agama, sosial dan nasehat-nasehat halus

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

6

yang sesuai dan bermanfaat bagi kenyataan yang terdapat di seluruh lapisan
masyarakat pada era saat ini. Sehingga penelitian ini berupaya lebih menitik
beratkan pada makna dari isi syair tersebut yang diciptakan oleh KH.
Muhammad Nizam As-Shofa, Lc. yang popular dengan sebutan "Syi’ir Gus
Dur”. Dalam metode Saussure, dikembangkan sebuah model relasi yang
disebut signifier dan signified. Signifier adalah bunyi yang bermakna (aspek
material), yakni apa yang dari ditulis atau dibaca. Signified adalah gambaran
mentak yakni pikiran atau konsep (aspek mental) dari bahasa (Bartends,
1985:382 dalam Kurniawan, 2004:14), dan Roland Barthes yang menekankan
kepada teks.
Lebih ringkasnya peneliti disini meneliti tentang suatu sistem tanda,
salah satunya bagaimana pencipta syair tersebut dengan memberi makna pada
lirik syair tersebut dan seperti apa KH. Muhammad Nizam As-Shofa, Lc.
merefleksikan fenomena ke dalam sistem tanda komunikasi berupa syair.
Penelitian tentang suatu sistem penelitian ini secara khusus untuk
mengetahui bagaimana makna nasehat-nasehat yang menggunakan pola
bahasa sastra Jawa tersebut dituangkan di dalam syair yang terkenal dengan
sebutan Syi’ir Tanpo Wathon atau Syi’ir Gus Dur.

1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka perumusan masalah
dalam penelitian ini adalah

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

7

1. Bagaimanakah tanda dan penanda yang terdapat dalam syair
Tanpo Wathon?
2. Bagaimana uraian makna yang terkandung di dalam syair
Tanpo Wathon tersebut?

1.3 Tujuan Penelitian
Setiap kegiatan yang dilakukan tentu saja mempunyai tujuan.
Penelitian yang penulis lakukan terhadap syair Tanpo Wathon yang populer
setelah wafatnya KH. Abdurrahman Wachid ini mempunyai tujuan. Sesuai
dengan masalah penelitian yang telah diuraikan terlebih dahulu penelitian ini
bertujuan.
1. Mendeskripsikan kepada masyarakat tentang tanda-penanda
yang terdapat di dalam Syair Tanpo Waton
2. Menguraikan tentang makna-makna yang terkandung di dalam
Syair Tanpo Wathon hingga sekiranya masyarakat luas
memahami pemaknaan menurut sudut pandang peneliti.
1.4 Kegunaan Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah literatur
penelitian ilmu komunikasi berupa syair dengan menggunakan
pendekatan semiotik khususnya semiotik Saussure.
2. Manfaat Praktis

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

8

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi khalayak
luas penikmat Syi’ir Tanpo Wathon yang terkenal dan dapat
membantu dalam memahami makna yang terkandung dalam syair
tersebut dalam sudut pandang sisi linguistik dari peneliti.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

BAB II
KAJ IAN PUSTAKA

2.1.Landasan Teori
2.1.1. Komunikasi Verbal
Kata komunikasi atau communication dalam bahasa Inggris berasal
dari kata Latin communis yang berarti “sama” adalah istilah yang paling
sering disebut sebagai asal-usul kata komunikasi, yang merupakan akar dari
kata-kata latin lainnya yang mirip. Komunikasi menyatakan bahwa suatu
pikiran, suatu makna, atau suatu pesan dianut secara sama.
Partisipan komunikasi menyampaikan pesan dengan menggunakan
simbol atau lambang-lambang. Simbol atau lambang tersebut dibentuk
berdasarkan kesepakatan bersama. Pesan diwujudkan dalam bentuk berupa
kata-kata, gambar dan tulisan (pesan verbal), dan perilaku non verbal.
Komunikasi disebut sistem simbolik karena penggunaan simbol-simbol yang
terorganisasi da disepakati secara umum sebagai wahana pertukaran gagasan.
Apa saja yang dipakai, dimakan dan dikerjakan, benda apa saja yang
diciptakan, merupakan simbol-simbol komunikasi.
Komunikasi adalah suatu proses simbolik, yakni penggunaan
lambang-lambang yang diberi makna. Lambang atau simbol adalah sesuatu
yang digunakan untuk menunjuk atau mewakili sesuatu atau yang lainnya

9
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

10

berdasarkan kesepakatan bersama. Tetapi, lambang pada dasarnya tidak
mempunyai makna. Kita lah yang memberi makna pada suatu lambang. Tidak
ada hubungan alami atau pasti antara lambang dengan apa yang
dilambangkan, jadi hubungannya anatara lambang dengan apa yang
dilambangkan bersifat sembarang atau makna suka (Mulyana, 1999:80).
Pesan yang dikomunikasikan pada dasarnya terdiri dari dua aspek, yaitu
aspek isi pesan (the content of the message) dan aspek lambang (symbol),
konkritnya isi pesan itu adalah pikiran atau perasaan dan lambang adalah
bahasa (Effendy, 2000:30).
Dalam sebuah syair terkait dengan sebuah bahasa yang harus diteliti
dalam semua jenis fungsinya serta adanya sebuah skema faktor pembentuk
dalam komunikasi verbal. Menurut Roman Jakobson dalam “Aart Van Zoest”
bukunya Serba-Serbi Semiotika bahwa semua faktor yang terdapat dalam
komunikasi verbal dapat digambarkan sebagai berikut :
KONTEKS
PESAN
PENGIRIM :::::::::::::::::::::: PENERIMA
KONTAK
KODE
(Jakobson, 1992:70-71 dalam Linguistik dan Bahasa Puitis)
Masing-masing dari keenam unsur ini menentukan fungsi bahasa yang
berbeda, orientasi pada Konteks disebut fungsi referensial (petunjuk terhadap
berbagai literatur), fungsi denotatif (makna sesungguhnya) dan fungsi

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

11

kognitif (berkaitan dengan perasaan, emosi, ekspresi), pesan pada pokoknya
ditujukan untuk menciptakan, memperpanjang atau memutuskan percakapan,
untuk meneliti kembali apakah komunikasi berjalan dengan baik atau tidak.
Mencari Kontak ini yaitu berfungsi fatik yaitu fungsi yang dapat diperagakan
dengan tukar-menukar ritus formula, dengan dialog yang lengkap sematamata untuk memperpanjang komunikasi, sedangkan kode menyangkut dengan
fungsi metalinguistik, artinya bagaimana proses maksud dari bahasa yang
dimaksud.
Bahasa verbal adalah saran utama kata-kata yang merepresentasikan
berbagai aspek realitas individual kita, konsekuensinya kata-kata adalah
abstraksi realitas yang tidak mampu menimbulkan reaksi yang merupakan
totalitas objek atau konsep yang diwakili kata-kata itu, contoh kata rumah,
begitu banyak ragam rumah, ada rumah bertingkat, mewah, Rumah
Sederhana (RS), Rumah Sangat Sederhana (RSS) (Mulyana, 2000:238)

2.1.2. Pengertian Linguistik
Menurut Verhaar (1987:1) linguistik berarti “ilmu bahasa”. Kata
“linguistik” berasal dari kata lingua ‘bahasa’. Kata Latin itu masih kita
jumpai dalam banyak bahasa yang berasal dari bahasa Latin, misalnya Prancis
(langue, langage), Itali (lingua) atau Spanyol (lengua). Selanjutnya Verhaar
(2001:4) ilmu linguistik sering disebut “linguistik umum” artinya ilmu
linguistik tidak hanya meneliti salah satu bahasa saja (seperti bahas Inggris,

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

12

atau bahasa Indonesia), tetapi linguistik itu menyangkut bahasa pada
umumnya. Dengan memakai istilah de Saussure, dapat dirumuskan bahwa
ilmu linguistik tidak hanya meneliti salah satu langue saja, tetapi juga
langage itu, yaitu bahasa pada umumnya.
Linguistik membahas bahasa sebagai kajian yang hakiki dalam
kegiatan manusia. Kegiatan manusia akan menjadi hakikat bahasa jika
dengan mudah untuk memahami bahasa tersebut. Sifat atau ciri bahasa itu
antara lain : (1) bahasa adalah sebuah sistem, (2) bahasa berwujud lambang,
(3) bahasa berupa bunyi, (4) bahasa bersifat arbitrer, (5) bahasa itu bermakna,
(6) bahasa bersifat konvensional, (7) bahasa bersifat unik, (8) bahas bersifat
universal, (9) bahasa itu produktif, (10) bahasa itu bervariasi, (11) bahasa itu
dinamis, (12) bahasa itu berfungsi sebagai alat interaksi sosial, dan (13)
bahasa itu merupakan identitas penuturnya, Chaer (1994:33).
Menurut Ridwan (2006:1), bahasa demikian berperan dan pentingnya,
dan demikian pula luas jangkaunnya dan ruang lingkupnya, sehingga kadang
kala timbul pendapat yang mengatakan “tanpa bahasa, kehidupan manusia
tidak mempunyai arti sama sekali”.
Selanjutnya manusia dalam hubungannya dengan bahasa sudah seakan
seperti lepat dengan daun yang tidak dapat dipisahkan. Bentuk dan keinginan
apapum yang dipunyai manusia memerlukan bahasa, demikian pentingnya
kedudukan dan fungsi sehingga hadirnya berbagai batasan mengenai bahasa.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

13

2.1.3. Pengertian Sastra
Pengertian sastra sampai sekarang ini masih menjadi polemik dalam
kesusastraan barat dan lokal (Nusantara), karena batasan-batasan yang mutlak
terhadap sastra belum memaksimalkan dalam kajian-kajian sasr=tra, sehingga
sastra menjadi lahan perdebatan dalam lingkungan sastrawan, seniman,
budayawan dan akademikus untuk memobjektivitaskan kebenaran sastra.
Pandangan dari berbagai kalangan untuk pengertian sastra masih
banyak yang harus dibenahi shingga tidak lagi kontroversi dalam konvensi
sastra. Adapun menurut beberapa ahli tentang sastra berpendapat bahwa
sastra itu adalah; menurut Luxemburg Jan Van dkk (1982:9) sastra bukanlah
sebuah benda yang kita jumpai, sastra adalah sebuah nama yang dengan
alasan tertentu diberikan kepada sejumlah hasil tertentu dalam suatu
lingkungan kebudayaan. Sedangkan menurut Laelasari dkk (2006:225) sastra
adalah setiap bahasa berbentuk syair berisi imajinasi yang baikm ilustrasi
yang indah, makna yang kuat dan hikmah yang sesuai yang berpengaruh
terhadap pembinaan jiwa, kepekaan rasa dan kefasihan lisan.
Beberapa teori yang telah dikemukanan beberapa ahli tersebut, maka,
sastra itu objektif ataukah subjektif. Dalam tataran satra, sastra memiliki tiga
tataran yaitu; 1. Puisi, 2. Prosa dan 3. Drama. Ketiga tataran ini dinamakan
interdisipliner ilmu sastra. Sedangkan multidisiplinernya terbagi atas
sosiosastra, psikosastra, sejarah sastra, teori sastra, kritik sastra, sastra
bandingan, semiotik dll yang berbicara tentang sastra.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

14

Kedudukan syair pada tataran yang mana? Pusisi, prosa ataukah
drama. Jika dirunut pada ketiga tataran tersebut, maka yang lebih banyak
untuk mendekati kepada syair dari bentuk, fungsinya dan makna adalah puisi.
Karena menurut Laelasari dkk (2006:240) syair adalah karya sastra yang
berasal dari kesusastraan Arab yang merupakan puisi lama yang terdiri dari
empat baris dan semuanya adalah isi; setiap baris terdiri dari 8-12 suku kata
puisi lama yang tiap-tiap bait terdiri atas empat larik (baris yang terakhir
dengan bunyi atau rima yang sama).

2.1.4. Semiotik Linguistik dan Semiotik Sastra
Menurut Zoest (1996) semiotika adalah ilmu tanda; istilah tersebut
berasal dari kata Yunani “Semeion” yang berarti “tanda”. Tanda terdapat
dimana-mana: kata adalah tanda, demikian pula gerak isyarat, lampu lalu
lintas, bendera dan sebagainya. Struktur karya sastra, struktur film, bangunan
atau nyanyian dapat dianggap sebagai tanda. Selanjutnya Kridalaksana (1993)
semiotika Anglo-Amerika. Ilmu yang mempelajari lambang-lambang dan
tanda-tanda lalu lintas, kode morse dan sebagainya. Beberapa kalangan
sarjana menganggap linguistik adalah cabang dari semiotika.
Maka semiotik atau semiologi sebagai ilmu tanda menjadi makin
populer dan makin luas bidangnya, karena melingkupi tidak hanya bahasa
(linguistik) dan sastra tetapi juga aspek atau pendekatan tertentu dalam ilmu

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

15

seni (estetika), antropologi, budaya, filsafat dan lain-lain menurut Teeuw
(2003:40).
Dikemukanan Pradopo (1995:140) yang mengutip dari Abrams,
bahwa terdapat empat pendekatan terhadap karya sastra, yaitu pendekatan (1)
mimetik yang menganggap karya sastra tiruan alam (kehidupan), (2)
Pendekatan pragmatik yang menganggap karya sastra itu adalah alat untuk
mencapai tujuan tertentu, (3) pendekatan ekspresif, yang menganggap karya
sastra sebagai ekspresi perasaan, pemikiran dan pengalam penyair
(pengarang) dan (4) pendekatan objektif yang menganggap karya sastra
sebagai sesuatu yang otonom, terlepas dari alam sekitarnya, pembaca dan
pengarang itu sendiri.
Masalah yang penting dalam hubungan penelitian ini adalah apakah
dan sampai dimanakah pembaca dalam reaksinya terhadap karya sastra
mewakili kelompok atau lapisan atau kelas tertentu dalam masyarakat yang
bersangkutan. Karena yang lebih penting, dalam penelitian mengenai fungsi
tanda dan penanda dalam syair Tanpo Wathon adalah tergantung pada faktor
waktu. Hal itu berarti bahwa faktor diakronis merupakan sesuatu yang hakiki
untuk memahami dengan baik terhadap makna dan fungsi sebuah syair Tanpo
Wathon.
Sudjiman (1984:73) mengatakan syair meru[akan jenis puisi lama
yang tiap baitnya terdiri atas empat larik yang bersajak sama, isinya
merupakan kisahan yang mengandung unsur mitos maupun sejarah.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

16

Sedangkan Pradopo (1995:142) berpendapat sajak adalah struktur yang
merupakan susunan keseluruhan yang utuh. Tiap unsur dalam situasi tertentu
tidak mempunyai arti dengan sendirinya, melainkan artinya ditentukan oleh
hubungannya dengan unsur-unsur lainnya yang terlibat dalam situasi tesebut.
Untuk memperjelas makna syair Tanpo Wathon perlu pembacaan semiotik
yaitu

pembacaan

heruistik

dan hermeneutika.

Pembacaan heruistik

bermaksud untuk memperjelas hubungan antar unsur kebahasaannya dan arti
linguistiknya. Pembacaan hermeneutika untuk memberikan makna syair. Hal
itu disebabkan bahwa syair itu sebagai sistem tanda tingkat keduayang
mempunyai konvensi sendiri yang lain dari koncensi bahasa sebagai tanda
tingkat pertama.
Semiotik linguistik dan semiotik sastra merupakan suatu gejala
semiotik sosial yang terjadi di kalangan masyarakat. Hal ini terjadi pada
situasi asumsi umum untuk semiotik bahwa tanda dan penanda mengacu pada
objek, bagian dari material dan dunia sosial budaya yang terdapat di
masyarakat. Oleh karena itu dengan mempresentasikan syair dalam tanda dan
penanda di dalam syair Tanpo Wathon akan terdapat hakikat hidup dan
kehidupan manusia dari sudut pandang agama, budaya dan sosial.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

17

2.1.5. Syair Dalam Kajian Semiotika
Semiotik memberikan tempat yang sentral terhadap tanda. Semiotik
melihat kebudayaan sebagai suatu sistem pemaknaan (Signifying system)
(Danesi dan Perron, 1999:23).
Secara semiotik, kebudaayan merupakan reaksi dari competence yang
dimiliki bersama oleh anggota-anggota suatu masyarakat untuk mengenal
lambang-lambang, untuk menginterpretasi dan untuk menghasilkan sesuatu
(Aart van Zoest, 1992:96).
Kebudayaan dalam batasan itu akan menjelma terutama sebagai
performance, sebagai suatu keseluruhan dari kebiasaan-kebiasaan tingkah
laku dan hasil-hasil darinya sehingga orientasinya menyibukkan diri dengan
mempelajari hasil-hasil karya.
Terkait dengan penelitian ini, maka mengutamakan situasi dan kondisi
yang menjadi latar belakang pembuatan syair di dalam syair Tanpo Wathon,
sebagai sesuatu yang berarti dalam proses pembentukan pesan. Pesan tersebut
dipaparkan dalam pembentukan tanda-tanda kata-kata dalam bentuk bahasa
dalam format sebuah syair dan di dalam tanda tersebut terdapat makna
agama.
Budaya bahasa sangat kental dan berpengaruh dalam pembuatan syair
tersebut sehingga bagaimana karya syair tersebut dalam masyarakat dapat
dipandang, dituangkan, dinilai dan diimplementasikan. Hal inilah yang
kemudian dijadikan alasan penggunaan model semiotik Saussure, karena

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

18

Saussure dalam hal ini lebih memperhatikan realita pembongkaran makna
terhadap sebuah nilai-nilai bahasa yang sedang berlaku dalam budaya itu
yaiyu sebuah ideologi (keterkaitan sejumlah asumsi yang memungkinkan
penggunaan tanda) yang terdapat di dalam syair Tanpo Wathon. Dalam Aart
Van Zoest mendefinisikan kebudayaan adalah suatu keterampilan yang
dimiliki oleh sekelompok masyarakat untuk mengenali, menginterpretasikan
dan memproduksi tanda-tanda dengan cara yang sama. Pada akhirnya hal itu
diartikan, bahwa suatu kebudayaan merupakan sesuatu keseluruhan utuh
kebiasaan-kebiasaan semiotika yang saling terkait satu sama lain, kebiasaankebiasaan tersebut memberi efisiensi tertentu terhadap pergaulan kita dengan
dunia dan segala sesuatu merupakan tanda.

2.1.6. Simbologi Agama
Dalam bahasa komunikasi, simbol sering diistilahkan sebagai
lambang. Lambang atau simbol adalah sesuatu yang digunakan untuk
menunjuk sesuatu yang lainnya, berdasarkan kesepakatan sekelompok orang.
Lambang meliputi kata-kata (pesan verbal), prilaku non verbal dan objek
yang maknanya disepakati bersama (Mulyana, 2002:84). Hal ini terkait
dengan syair Tanpo Wathon yang di dalamnya terdapat konstruksi simbologi
agama.
Sejauh ini pendekatan terhadap agama dilakukan dengan pendekatan
sejarah.

Pendekatan

ini

berusaha

untuk

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

menelusuri

asal-usul

dan

19

pertumbuhanide-ide agama dan lembaga-lembaganya dengan perantaraan
periode-periode tertentu dari perkembangan tertentu. Pengalaman agama
dimanifestasikan untuk dimasukkan pada suatu skema yang sudah ditentukan
terlebih dahulu seperti halnya manusia mencari hakikat dari Yang Maha Esa
dan mempelajari tindak laku agamis sehingga akan menemukan eksistensi
diri tentang hakikat dan pemahaman tentang nilai-nilai moral.
Di dalam kamus besar Bahasa Indonesia, agama adalah kepercayaan
terhadap Tuhan. Dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang
bertalian dengan kepercayaan itu sehingga jelas dalam manifestasi dalam
sebuah keyakinan terhadap smeua penciptaan yang ada di dunia.
Syair merupakan sebuah ekspersi tertulis dalam komunikasi verbal
yang menjelaskan terhadap makna isi syair yang terdapat di dalamnya, bisa
jadi syair tersebut menggambarkan ototritas terhadap agama dalam sebuah
keyakinan manusia seperti halnya ekspresi teoritis pengalaman agama yang
terutama adalah mitos, doktrin dan dogma, dan ekspresi teoritis bisa saja
berbentuk simbol, oral dan juga tulisan seperti halnya di dalam agama-agama
besar mempunyai Credu yaitu suatu ungkapan pendek tentang keyakinan
“Syahadat Dua Belas: dalam agama Kristen, dan “Dua Syahadat” dalam
agama Islam, juga “Shema” dalam Yahudi (Ali, 1996:79). Di dalam
ajarannya, agama mengimani segala aturan-aturannya juga berusaha
mengajukan apa yang dapat dilakukan untuk mengembangkan dan
mengokohkan kekuasaannya atas jiwa manusia.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

20

Bahkan kekuatan sebuah agama dalam menyangga nilai-nilai sosial,
menurut Geertz (1992:57), terletak pada kemampuan simbol-simbolnya untuk
merumuskan sebuah dunia tempat nilai-nilai tersebut, dan juga kekuatankekuatan yang melawan perwujudan nilai tersebut untuk menjadi bahan
dasarnya. Agama melukiskan kekuatan imajinasi manusia untuk membangun
sebuah gambaran kenyataan.

2.1.7. Pendekatan Bahasa
Penggunaan bahasa memiliki peranan yang penting dalam sebuah
syair, artinya, bahasa dalam syair merupakan titik sentral dalam penggunaan
tanda dalam metode Saussure. Dalam logika modern dibedakan antara dua
tingkatan tentang bahasa; “bahasa objek” yang membicarakan benda dan
metabahasa yang membicarakan bahasa. Metabahasa bukan hanya alat ilmiah
yang digunakan oleh ahli logika dan liguistik saja, metabahasa juga
memainkan perananan yang penting dalam percakapan sehari-hari (Jakobson,
1992:74).
Di dalam bukunya “Serba-Serbi Semiotika” tentang Libuistik dan
bahasa Poetik oleh Roman Jakobson mengatakan bahwa “Pembentukan
pikiran mempunyai kekuasaan yang tertinggi dalam bahasa” (Zoest,
1992:69). Di dalam kamus besar Bahasa Indonesia, bahasa adalah 1. Sistem
lambang

bunyi berartikulasi (yang dihasilkan alat ucap) yang bersifat

konvensional dan sewenang-wenang yang dipakai sebagai alat komunikasi

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

21

untuk melahirkan perasaaan dan pikiran, 2. Perkataan-perkataan yang dipakai
oleh suatu bangsa (suku, bangsa, negara, daerah, dsb), 3. Percakapan
(perkataan) yang baik, sopan santun, tingkah laku yang baik. Sehingga bahasa
memiliki peran yang sentral dalam semiotik, perlu adanya pendektanan
bahasa dalam tanda-penanda yang terdapat di dalam sebuah syair.
Pendekatan bahasa dalam metode Saussure membagi tanda itu
tersusun atas dua bagian,yaitu signifier (penanda) dan signified (petanda),
penanda adalah aspek material dari bahasa, apa yang dikatakan, apa yang
didengar dan apa yang ditulis atau dibaca, sedangkan petanda sendiri adalah
gambaran mental, pikiran, konsep jadi petanda adalah aspek mental dari
bahasa (Bartens, 2001:180) yang harus diperhatikan adalah bahwa dalam
tanda bahasa yang konkrit, kedua unsur tidak dapat dilepaskan. Tanda dua
unsur tersebut merupakan fakta dasar bahasa dalam metode Saussure. Dalam
konteks penelitian ini adalah penggunaan dua bahasa, yaitu penggunaan
bahasa Jawa yang merujuk ke bahasa Jawa Tengahan jika dirunut dari aksen
dan pola bahasanya dan pengartian dari bahasa Jawa tersebut menjadi bahasa
Indonesia yang baku. Menurut Wibowo (2001:3), bahasa adalah sistem
simbol bunyi yang bermakna dan berartikulasi (dihasilkan oleh alat ucap)
yang bersifat arbitrer dan konvensional, yang dipakai sebagai alat
berkomunikasi oleh sekelompok manusia untuk melahirkan perasaan dan
pikiran.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

22

Bahasa Jawa mengenal undhak-undhuk basa dan menjadi bagian
integral dalam tata krama (etiket) masyarakat Jawa dalam berbahasa. Dialek
Surakarta biasanya menjadi rujukan dalam hal ini. Bahasa Jawa bukan satusatunya bahasa yang mengenal hal ini karena beberapa bahasa Austronesia
lain dan bahasa-bahasa Asia Timur seperti bahasa Korea dan bahasa Jepang
juga mengenal hal semacam ini. Dalam sosiolinguistik, undhak-undhuk
merupakan salah satu bentuk register. Terdapat tiga bentuk utama variasi,
yaitu ngoko ("kasar"), madya ("biasa"), dan krama ("halus"). Di antara
masing-masing bentuk ini terdapat bentuk "penghormatan" (ngajengake,
honorific) dan "perendahan" (ngasorake, humilific). Seseorang dapat
berubah-ubah

registernya

pada

suatu

saat

tergantung

status

yang

bersangkutan dan lawan bicara. Status bisa ditentukan oleh usia, posisi sosial,
atau hal-hal lain. Seorang anak yang bercakap-cakap dengan sebayanya akan
berbicara dengan varian ngoko, namun ketika bercakap dengan orang tuanya
akan menggunakan krama andhap dan krama inggil. Sistem semacam ini
terutama dipakai di Surakarta, Yogyakarta, dan Madiun. Dialek lainnya
cenderung kurang memegang erat tata-tertib berbahasa semacam ini.
Sebagai tambahan, terdapat bentuk bagongan dan kedhaton, yang
keduanya hanya dipakai sebagai bahasa pengantar di lingkungan keraton.
Dengan demikian, dikenal bentuk-bentuk ngoko lugu, ngoko andhap,
madhya, madhyantara, krama, krama inggil, bagongan, kedhaton.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

23

2.1.8. Semiotika Dalam Kajian Ilmu Komunikasi
Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji
tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang dipakai dalam upaya berusaha
mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama
manusia.

Semiotika pada dasarnya

hendak

mempelajari

bagaimana

kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai berarti bahwa
obyek-obyek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana obyek-obyek
itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusikan sistem terstruktur
dari tanda (Sobur, 2003:15).
Semiotika modern mempunyai tokoh yaitu Ferdinand de Saussure,
dimana melalui tokoh tersebut kemudian muncul cikal bakal linguistik umum.
Ferdinand de Saussure memberikan tekanan pada teori tanda dan
pemahamannya dalam suatu konteks tertentu, suatu tanda menandakan
sesuatu selain dirinya sendiri dan makna (meaning) adalah hubungan antara
suatu objek atau ide dan merupakan suatu tanda.
Menurut Littlejohn (1996:64) dalam Sobur (2001:15), tanda-tanda
(signs) adalah basis dari seluruh komunikasi. Manusia dengan tanda-tanda
dapat melakukan komunikasi dengan sesamanya. Semiotika seperti kata
Lechte (2001:191) adalah teori tentang tanda dan penandaan. Lebih kritis
lagi, semiotika adalah, suatu disiplin yang menyelidiki semua bentuk
komunikasi yang terjadi dengan saran signs “tanda-tanda” dan berdasarkan
pada sign system (code) (Segers, 2000:4). Hjelmslev (dalam Christomy,
2001:7), mendefinisikan tanda sebagai “suatu keterhubungan antara wahan

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

24

ekspresi (expression plan) dan wahana isi (content plant). Charles Morris
menyebut semiosis sebagai suatu “proses tanda, yaitu proses ketika sesuatu
merupakan tanda bagi beberapa organisme. Dari beberapa definisi diatas,
maka semiotika atau semiosis adalah ilmu atau proses yang berhubungan
dengan tanda.
Pada dasarnya semiosis daoat dipandang sebagai suatu proses tanda
yang dapat diberikan dalam istilah semiotika sebagai suatu hubungan antara
lima istilah :

S (s, I, e ,r, c)
S adalah semiotic relation (hubungan semiotik); e untuk efek atau
pengaruh (misalnya suatu disposisi dalam i akan bereaksi dengan cara
tertentu terhadap r oada kondisi-kondisi tertentu, c karena s; r untuk reference
(rujukan); dan c untuk context (konteks) atau conditions (kondisi).

Saat ini dikenal dua jenis semiotika, yaitu semiotika komunikasi dan
semiotika signifikasi.
1. Semiotika komunikasi yang dikembangkan oleh Charles Sanders
Pierce lebih menekankan pada teori tentang produksi tanda yang
salah satu diantaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam
komunikasi, yaitu pengirim, penerima kode (sistem tanad), pesan,
saluran komunukasi dan acuan.
2. Semiotika signifikasi yang dikembangkan oleh Ferdinand de
Saussure memberikan tekanan pada teori tanda dan pemahamannya

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

25

dalam suatu konteks tertentu. Suatu tanda menandakan sesuatu
selain dirinya sendiri dan makna (meaning) adalah hubungan
antara suatu objek atau ide dan suatu tanda.

2.1.9. Tanda dan Makna
Tanda sebenarnya representasi dari gejala yang memiliki sejumlah
kriteria seperti : nama, peran, fungsi dan tujuan, keinginan. Tanda tersebut
berada pada kehidupan manusia, maka ini berarti tanda dapat pula berada
pada kebudayaan manusia dan menjadi sistem tanda yang mengatur
kehidupannya. Oleh karenanya tanda-tanda itu (yang berada pada sistem
tanda) sangatlah akrab dan bahkan melekat pada kehidupan manusia yang
penuh makna (meaningful action) seperti teraktualisasi pada bahasa, religi,
seni sejarah, ilmu pengetahuan (Budianto dalam Sobur, 2006:124).
Pemikiran Saussure yang paling penting dalam konteks semiotik
adalah pandangannya mengenai tanda. Saussure meletakkan tanda dalam
konteks komunikasi manusia dengan melakukan pemilahan antara apa yang
disebut signifier (penanda) dan signified (petanda). Signifier adalah bunyi
yang bermakna atau coretan yang bermakna (aspek material), yakni apa yang
dikatakan dan apa yang ditulis atau dibaca. Signified adalah gambaran mental,
yaitu pikiran atau konsep aspek mental dari bahasa. Kedua unsur ini seperti
dua sisi dari sekeping mata uang yang tidak dapat dipidahkan. Tanda bahasa
dengan demikian dapat menyatukan, bukan hal dengan nama, melainkan
konsep dan gambaran akustis.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

26

Saussure menyebut signifier sebagai bunyi atau coretan bermakna,
sedangkan signified adalah gambaran mental atau konsep sesuatu dari
signifier. Hubungan antara keberadaan fisik tanda dan konsep mental tersebut
dinamakan signification. Ddengn kata lain, signification adalah uoaya dalam
memberi makna terhadap dunia (Fiske, 1990 dalam Sobur, 2006:125).
Pada dasarnya apa yang disebut signifier dan signified tersebut adalah
produk kultural. Hubungan diantara keduanya bersifat arbitrer (manasuka)
dan hanya berdasarkan konvensi, kesepakatan atau peraturan dari kultur
pemakai bahasa tersebut. Hubungan antara signifier dan signified tidak dapat
dijelaskan dengan nalar apapun, pilihan bunyi-bunyinya maupun pilihan
untuk mengaitkan rangkaian bunyi tersebut dengan benda atau konsep yang
dikamsud, karena hubungannya yang terjadi antara signifier dan signified
bersifat arbitrer, maka signifier harus dipelajari yang berarti ada struktur yang
pasti atau kode yang membantu menafsirkan makna.
Sifat arbiter antara signifier dan signified serta kaitan antara kedua
komponen ini menarik bila diakaitkan dengan nasehat, maksudnya,
bagaimana sebuah makna dari sebuah nasehat dapat menentukan signified
mana yang boleh dikaitkan dengan signifier. Hal ini bisa terjadi dalam sebuah
tutur kata nasehat. Maksudnya bagaimana sebuah nasehat dapat menentukan
signified mana yang boleh dikaitkan dengan signifier. Hal ini bisa terjadi di
dalam konteks kemaslahatan masyarakat dimana sebuah nasehat yang keluar
dari seseorang yang memiliki kedudukan dari segi agama yang terinterpretasi

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

27

melalui sebuah karya sastra syair yang dapat membuat signified bisa
mengikuti signifier.
Ketika bahasa berupaya mendefinisikan realitas, ada bahaya bahwa
bahasa sendiri tereduksi menjadi suatu rangkaian signifier belaka tanpa
referensi langsung terhadap yang ditandakan (signified). Suatu pengertian
atau definisi tentang sesuatu tinggal sebagai rangkaian perumusan yang
tersimpan dalam kamus atau memori saja.
Hubungan antara signifier dan signified ini, yaitu (Kurniawan,
2001:30) :
1. Signifier atau penanda adalah bunyi yang bermakna (aspek
material), yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis atau
dibaca
2. Signified atau petanda adalah gambaran mental, yakni pikiran atau
konsep (aspek mental) dari bahasa.

2.1.10. Teori-Teori Makna
Beberapa teori tentang makna dikembangkan oleh Alston (1964:1126) dalam Sobur (2001:259) diantaranya adalah :
1. Teori Acuan (Referential Theory)
Teori Acuan merupakan salah satu jenis teori makna yang
mengenali atau mengidentifikasikan makna suatu ungkapan
dengan apa yang diacunya atau dengan hubungan acuan itu.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

28

2. Teori Ideasional (The Identional Theory)
Teori ideasional adalah suatu jenis teori makna yang mengenali
atau mengidentifikasi makna ungkapan dengan gagasan-gagasan
yang berhubungan dengan ungkapan tersebut. Dalam hal ini, teori
ideasional menghubungkan makna atau ungkapan dengan suatu
ide atau representasi psikis yang ditimbulkan kata atau ungkapan
tersebut kepada kesadara