Citra Perempuan Dalam Syair Jahiliyah

(1)

CITRA PEREMPUAN

DALAM SYAIR JAHILIYAH

OLEH:

DR. CAHYA BUANA, MA


(2)

CITRA PEREMPUAN DALAM SYAIR JAHILIYAH 2010 © DR. CAHYA BUANA


(3)

PENGANTAR

Eporia dan semangat keislaman untuk membedakan kondisi bangsa Arab sebelum dan setelah kedatangan Islam, membuat sebagian kelompok buta dan menutup mata dari realitas yang sebenarnya, sehingga terkesan pada masa Jahiliyah perempuan sama sekali tak bermakna baik secara individu maupun sosial. Perlakuan bangsa Arab Jahiliyah yang sangat buruk terhadap kaum perempuan, terkesan di blow up oleh umat Islam tanpa memperdulikan kenyataan-kenyataan lain yang terjadi. Hal inilah yang pada akhirnya menimbulkan fanatisme keagamaan yang berlebihan, sehingga bila ada informasi baru yang berbeda, dianggap bertentangan dengan nilai-nilai religi tanpa kompromi dan konfirmasi.

Agama Islam sendiri sudah bersikap sangat netral, al-Qur’an tidak hanya

memberitakan hal negatif tentang perempuan pada masa Jahiliyah, namun juga sisi positifnya. Di dalam al-Qur’an al-Karîm sebagai sebuah data yang paling otentik, ada dua versi tentang perempuan pada masa Jahiliyah yang merupakan fakta dan realita yang tidak dapat disanggah kebenarannya. Pertama, perempuan-perempuan yang memiliki kedudukan dan peranan yang mulia dan terhormat dalam struktur sosial

masyarakat saat itu, seperti, ratu Balqis dari kerajaan Saba’, kedua istri Nabi Ibrahim as, dan lainnya. Bahkan di dalam al-Qur’an al-Karim, Saba’, kerajaan yang dipimpin oleh ratu Balqis, diabadikan sebagai nama sebuah surat. Hal ini sebuah indikasi, bahwa pada masa Jahiliyah, perempuan tidak selalu sebagai kaum yang tertindas, namun juga di antaranya memiliki peranan yang sangat besar. Fakta yang kedua yang juga tidak dapat disanggah kebenarannya adalah fakta yang menceritakan tentang nasib serta image buruk yang dialami kaum perempuan. Salah satu contoh nasib buruk yang dialami perempuan Jahiliyah adalah tidak adanya hukum yang melarang wa’d al-banât yaitu kebiasaan mengubur hidup-hidup anak perempuan. Sedangkan Image buruk perempuan


(4)

Jahiliyah, salah satunya ditunjukkan lewat tingkah laku dan perilaku Umu Jamil istri Abu Lahab yang suka mengadu domba dan memfitnah.

Di sisi lain, syair dalam lintasan sejarah sastra Arab, memiliki peranan yang sangat penting dalam sistem sosial budaya bangsa Arab. Syair selain berfungsi sebagai media untuk mengekspresikan imajinasi dan emosi, oleh bangsa Arab digunakan juga untuk menginformasikan hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan mereka, seperti untuk melukiskan peperangan yang mereka alami, kondisi lingkungan yang mereka tempati, hal-hal yang membanggakan, dan lain sebagainya, sehingga selain disebut dengan istilah syair ia juga dinamakan dengan dîwan al-Arab atau catatan sejarah bangsa Arab.

Syair adalah karya sastra dan sastra adalah cermin dari sistem sosial yang ada dalam masyarakat, sistem kekerabatan, sistem ekonomi, sistem politik, sistem pendidikan, sistem kepercayaan yang terdapat dalam masyarakat. Sastra juga cermin dari sistem ide dan sistem nilai, serta gambaran tentang apa yang dikehendaki dan apa yang ditolak oleh masyarakat. Syair Jahiliyah sebagai karya sastra pada hakekatnya adalah gambaran tentang kehidupan masyarakat termasuk perempuan yang hidup pada masa itu, sehingga dengan mengkaji syair Jahiliyah diharapkan citra dan realita tentang perempuan Jahiliyah yang sesungguhnya dapat terungkap.

Sebagai gambaran, buku ini dibagi ke dalam 5 bab. Bab I secara khusus berbicara tentang syair Jahiliyah dan kritik sastra feminis. Bab II berbicara tentang citra perempuan istana (hadlari) pada masa Jahiliyah. Bab III berbicara tentang citra perempuan badawi pada masa Jahiliyah. Bab IV berbicara tentang peran dan kontribusi perempuan pada masa Jahiliyah. Bab V Penutup. Demikian buku ini disusun, semoga dapat memberi manfaat.

Wassalam Penulis


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

PENGANTAR………...……

DAFTAR ISI ………..

BAB I : SEKILAS TENTANG KRITIK SASTRA FEMINIS DAN SYAIR

JAHILIYAH

A. Kritik Sastra Feminis ………. B. Syair Jahiliyah Antara Karya Sastra dan Fakta Sejarah ...……..

C. Bahasa Sebagai Simbol ……….

BAB II : CITRA PEREMPUAN ISTANA (HADLARI)

A. Latar Balakang Sosial Politik (Tiga Kerajaan Kecil) …………

B. Penyair Istana ………

C. Citra Perempuan Istana (High Class Women) …………..……. BAB III : CITRA PEREMPUAN BADAWI

A. Konstruksi Sosial Masyarakat Badawi………. B. Penyair Badawi: Sha`âlîk dan Ghair Sha`âlîk……….. C. Citra Perempuan Sha’âlîk ………. D. Citra Perempuan Ghair Sha’âlîk ……….. BAB IV : CITRA DIRI PEREMPUAN JAHILIYAH: PERAN DAN

KONTRIBUSI

A. Perempuan Jahiliyah dalam Konstruksi Sejarah ………..…… B. Citra Diri Perempuan dalam Syair ………... C. Peran dan Kontribusi Perempuan Jahiliyah dalam Syair …... D. Citra Perempuan Merdeka (al-hurrah) ……….

BAB V : PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA ………...


(6)

BAB I

SEKILAS TENTANG KRITIK SASTRA FEMINIS

DAN SYAIR JAHILIYAH

A. Kritik Sastra Feminis 1. Feminisme dan Gender

Feminisme dan gender adalah dua istilah yang satu sama lain saling berkaitan, dan merupakan sebuah fenomena kausalitas. Gender sebagai sebab, sedangkan feminisme merupakan akibat. Kaum feminis membedakan antara istilah seks dan gender, meskipun dalam kamus kedua kata tersebut adalah sinonim. Menurut Ensiklopedia Feminisme, gender adalah kelompok atribut yang dibentuk secara kultural yang ada pada laki-laki atau perempuan.1 Sedangkan seks adalah jenis kelamin yakni kondisi biologis seseorang apakah dia secara anatomi laki-laki atau perempuan.2 Jenis kelamin adalah suatu hal yang bersifat alamiah (takdir) yang seharusnya tidak menimbulkan diskriminasi antara laki-laki dan perempuan, sedangkan gender pada hakekatnya adalah persoalan sudut pandang dan penilaian sosial budaya masyarakat yang berbeda antara satu budaya dengan budaya lainnya.3 Untuk itu Kamla Bahsin menegaskan bahwa gender lebih bersifat sosial budaya dan merupakan produk manusia, merujuk pada tanggung jawab peran, pola perilaku, kualitas, kapabilitas, dan lain-lain yang bersifat maskulin dan feminine. Selain itu, gender juga bersifat tidak tetap, ia berubah dari waktu ke waktu, dari satu kebudayaan ke kebudayaan lainnya, bahkan dari

1 Maggie Humm, Ensiklopedi Feminisme, terjemah Mundi Rahayu, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002), hal. 158

2 Maggie Humm, Ensiklopedi Feminisme, hal.421

3 Menurut konsep gender, jenis kelamin dan gender adalah dua hal yang berbeda. Setiap orang lahir sebagai laki-laki dan perempuan, namun setiap kebudayaan memiliki cara pandang tersendiri dalam menilai laki-laki dan perempuan, serta cara memberikan mereka peran. Semua proses ‘pengemasan’

sosial dan budaya yang dilakukan terhadap perempuan dan laki-laki semenjak lahir itulah yang dinamakan dengan pengenderan (gendering). Kamla Bhasin, Memahami Gender, (Jakarta: Teplok Press, 2001), hal. 1-2


(7)

satu keluarga ke keluarga lainnya. Suatu hal yang pasti adalah bahwa gender merupakan sesuatu hal yang dapat dirubah.4

Menurut Mansur Fakih, gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal dengan sifatnya yang lemah lembut, cantik, emosional, dan keibuan, sedangkan di sisi lain laki-laki selalu dianggap kuat, rasional, gagah, dan perkasa..5 Perbedaan perlakuan akibat penggenderan (gendering) tersebut kemudian menjadi persoalan karena menimbulkan banyak ketidakadilan bagi kaum perempuan, sehingga selanjutnya menimbulkan reaksi menentang fenomena tersebut. Muncullah kemudian sebuah gerakan yang diberi nama feminisme.

Untuk itu yang dimaksud dengan feminisme, menurut Moelino ialah gerakan perempuan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum perempuan dan laki-laki.6 Sedangkan menurut Goefe, feminisme ialah teori tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan di bidang politik, ekonomi, dan sosial, atau kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan perempuan.7 Untuk itu di dalam kamus sosiologi disebutkan bahwa semua varian teori feminis cenderung mengandung tiga unsur atau tiga asumsi pokok, pertama, gender adalah suatu konstruksi yang menekan kaum perempuan, sehingga cenderung menguntungkan kaum laki-laki. Kedua, konsep patriarkhi atau dominasi laki-laki dalam lembaga sosial, dianggap sebagai landasan utama konstruksi tersebut. Ketiga, untuk itu, pengalaman dan pengetahuan kaum perempuan harus dilibatkan dalam mengembangkan suatu masyarakat non-seksis di masa mendatang.8

Berdasarkan hal tersebut, maka yang dimaksud dengan feminisme secara umum adalah ideologi pembebasan perempuan. Hal ini terlihat dari semua pendekatan yang

4 Kamla Bhasin, Memahami Gender, (Jakarta: Teplok Press, 2001), hal. 1-2

5 Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hal. 8

6 Sugihastuti, Wanita di Mata Wanita; Perspektif Sajak-sajak Toeti Heraty, (Bandung: Nuansa, 2000), hal. 37

7 Sugihastuti, Wanita di Mata Wanita; Perspektif Sajak-sajak Toeti Heraty, hal. 37

8 Adam Kuper & Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, (Jakarta: PT Rajawali Grafindo Persada, 2000), cet. 1, jilid 2, hal. 354


(8)

digunakannya yang berkeyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan akibat jenis kelaminnya.9 Dengan demikian, feminisme pada intinya adalah gerakan untuk menuntut persamaan gender.

2. Sastra feminis dan kritik sastra

Sebelum membahas secara detail tentang kritik sastra feminis, perlu dipahami terlebih dahulu tentang apa yang dimaksud dengan sastra feminis itu sendiri. Menurut A. Teww sebagaimana dikutip oleh Atmazaki, istilah sastra itu sendiri tidak memiliki definisi yang baku, definisi-definisi yang dibuat terkadang hanya menekankan pada satu aspek karya sastra saja, atau hanya berlaku pada sastra tertentu, atau sebaliknya batasan yang dibuat terlalu luas dan longgar, sehingga masuk ke dalamnya hal-hal yang sebenarnya bukan termasuk unsur sastra.10 Namun demikian Syauqi Dlaif, memberikan definisi sastra dengan “ungkapan (kalâm) yang bagus (balîgh),11 yang mampu mempengaruhi perasaan pembaca maupun pendengar, baik dalam bentuk puisi maupun prosa.12 Dari definisi tersebut, dapat dipastikan bahwa yang dimaksud dengan sastra secara spesifik adalah puisi dan prosa sebagai karya cipta manusia.

Berdasarkan definisi tersebut, Ibrâîhim Mahmûd Khalîl mengklasifikasikan sastra feminis (al-adab al-nisa’i) ke dalam dua kategori. Pertama, sastra (puisi atau prosa) yang dibuat oleh penulis perempuan yang mengilustrasikan penilaiannya tentang dirinya sendiri, pandangannya terhadap laki-laki, serta keterkaitannya dengan laki-laki, atau yang menceritakan tentang pengalaman dan perjalanan hidup seorang perempuan, baik fisik maupun mental, maupun problem personal sebagai seorang perempuan. Kedua, sastra (puisi atau prosa) yang ditulis laki-laki namun di dalamnya membicarakan perempuan serta bagaimana ia memperlakukan perempuan dalam karyanya tersebut.13

9 Maggie Humm, Ensiklopedi Feminisme, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002), hal. 158 10 Atmazaki, Ilmu Sastra; Teori dan Terapan, (Padang: Angkasa Raya, 1990), hal. 16

11 Istilah balîgh dalam sastra Arab biasanya mengacu pada makna fasih dan juga sesuai dengan situasi dan kondisi.

12 Syauqi Dlaif, Târikh al-Adab al-Arabi, (Kairo: tp, 1960), hal. 10

13 Ibrâîhim Mahmûd Khalîl, al-Naqd al-Adabi al-Hadîts; min al-Muhâkah ila al-Tafkîk, (Oman: Dâr al-Masîrah, 1424 H / 2003 M), cet.1, hal. 134-135. Lihat juga Yûsuf `Izzuddîn, Fi al-Adab al-`Arabi al-Hadîts: Buhûts wa Maqâlât Naqdiyah, (Riyâdl: Dâr al-`Ulûm, 1401 H / 1981 M), cet. 3, hal. 261. Bandingkan pengertian al-Adab al-nisâ’i (sastra feminis) di atas dengan al-shahâfah al-nisâ’iyah (media


(9)

Adapun yang dimaksud dengan kritik secara terminologi berasal dari bahasa Yunani yaitu krinein yang artinya menghakimi, membanding, dan menimbang.14 Maka kegiatan menilai, menghakimi, menimbang sebuah karya sastra itulah yang dimaksud dengan kritik sastra. Sedangkan menurut Ahmad al-Syâyib, kritik sastra adalah menimbang atau mengukur suatu karya sastra secara akurat, serta menjelaskan nilai dan kualitas karya sastra tersebut. Untuk itu menurutnya, proses penilaian sebuah karya sastra adalah dimulai dengan memahaminya, menafsirkannya, menganalisanya, menimbangnya, dan yang terakhir adalah memberikan penilaian tentang baik buruknya karya tersebut secara objektif dengan berlandaskan pada prinsip-prinsip dasar sastra dan kritik sastra, baik secara umum, maupun berdasarkan pada jenis sastra tertentu.15

Untuk menilai apakah sebuah karya sastra berpihak pada perempuan atau tidak, dibutuhkan sebuah tolak ukur yang mengacu pada prinsip-prinsip dasar feminisme. Namun demikian, keterkaitan sastra feminis dengan banyak aspek lainnya, membuat kritik sastra feminis tidak memiliki definisi tunggal dan baku. Banyak definisi kritik sastra feminis yang diberikan oleh para pakar. Masing-masing definisi tergantung dari sudut pandang mana ia membidik perempuan dalam karya sastra. Ibrahim Muhammad Khalil misalnya, ia mendefinisikan kritik sastra feminis dengan sebuah kritik yang secara khusus mengkaji sejarah perempuan yang terdapat dalam karya sastra. Kritik ini bertujuan guna mengungkap perbedaan perlakuan terhadap perempuan dalam tradisi dan budaya di samping untuk mengungkap peranannya dalam berkarya.16

feminis) yang digambarkan oleh Farûq Abu Zaid sebagaimana dikutip oleh Ridlâ `Abd al-Wâhid, bahwa yang dimaksud dengan al-shahâfah al-nisâ’iyah menurutnya adalah media yang menyajikan secara khusus berbagai problematika perempuan dan eksistensinya dalam semua aspek kehidupan, baik yang disajikan oleh perempuan itu sendiri maupun oleh laki-laki, dan bukan media yang dikelola oleh perempuan namun menyajikan problematika secara umum. Untuk itu Najwâ Kâmil membedakan media feminis ke dalam dua kategori, yaitu majallât taqlîdiyah / womens magazines (majalah perempuan) yang di dalamnya membicarakan tentang makanan, keluarga, fashion, dan furniture. Dan yang kedua adalah

majallât ghair taqlîdiyah/feminist magazines (majalah feminis), yang di dalamnya membicarakan tentang hal-hal yang ada hubungannya dengan gerakan perempuan (feminisme). Ja`far Abd al-Salâm (editor),

Shûrat al-Mar’ah fi al-I`lâm, (Kairo: Râbithat al-Jâmi`at al-Islâmiyah, 1427 H/2006 M), hal. 107-108 14 Atar Semi, Kritik Sastra, (Bandung: Angkasa, 1989), hal. 7

15 Ahmad al-Syâyib, Ushul al-Naqd al-Adabi, (tth: Maktabah al-Nahdlah al-Misriyah, 1964), cet. 7, hal. 16

16 Ibrâhîm Muhmud Khalîl, al-Naqd al-Adabî al-Hadîts min al-Muhâkah ilâ al-Tafkîk, (Oman: Dâr al-Masîrah, 1424 H / 2003 M), hal. 135


(10)

James Romesburg dalam Definitions of Feminist Literary Criticism, menyajikan tidak kurang dari lima belas definisi maupun pendapat tentang kritik sastra feminis yang ia rangkum dari berbagai pakar sastra feminis. Di antaranya, kritik sastra feminis adalah sebuah metode analisis sastra dengan cara mengkaji perempuan, peran dan kedudukannya dari balik karya sastra. Secara umum kajian ini bertujuan untuk mengkounter dan menentang, atau bahkan berupaya menghapus pemikiran, tradisi, budaya, dan ideologi patriarkhi, juga dominasi dan superioritas kaum adam terhadap kaum hawa baik dalam konteks pribadi maupun publik dalam karya sastra.17

Maggie Humm, dalam Ensiklopedia Feminisme memberikan definisi bahwa kritik sastra feminis adalah sebuah kajian dengan cara membaca tulisan, ideologi, serta kultur dengan perspektif yang berpusat pada perempuan. Untuk itu, suatu kritik dinilai berperspektif feminis jika mengkritik disiplin yang ada, paradigma tradisional mengenai perempuan, peran sosial atau alamiah, atau dokumen-dokumen karya feminis lain dari sudut pandang perempuan.18

Dari gambaran di atas, dapat dipastikan bahwa kritik sastra feminis pada dasarnya adalah perpanjangan tangan dari gerakan feminisme. Untuk itu, ada tiga tujuan utama dari kritik ini, pertama mengkaji karya sastra yang ditulis oleh penulis-penulis perempuan untuk menampilkan inferioritasnya sebagai perempuan, dan yang kedua adalah untuk menampilkan citra (stereotype) perempuan dalam karya penulis-penulis laki-laki untuk menampilkan superioritasnya sebagai laki-laki. Sedangkan yang terakhir adalah mengetahui peranan dan perjuangan perempuan yang tersirat dalam karya sastra.

3. Kritik Ideologi: gender, kelas (class), dan kekuasaan (power)

Tidak adanya acuan baku dalam kritik sastra feminis, memotivasi munculnya beragam metode analisis. Soenarjati Djayanegara dalam bukunya Kritik Sastra Feminis menyebutkan sebanyak enam corak kritik sastra feminis yang biasa digunakan para peneliti untuk menganalisis, yaitu ideologis, ginokritik, sosialis-Marxis, psikoanalitik,

17James Romesburg, Definitions of Feminist Literary Criticism, (hubcap.clemson.edu/~spark/f/c/flitcrit,html), link update in July 2003


(11)

ras, dan lesbian.19 Keenam ragam kritik tersebut terkadang memiliki keterkaitan satu sama lain, dan saling melengkapi.

Kritik ideologis, adalah sebuah kritik yang melibatkan perempuan sebagai pembaca atau dikenal dengan istilah reading as women20 (membaca sebagai perempuan). Dalam kritik ini yang menjadi pusat perhatian adalah citra serta stereotipe perempuan yang terkandung dalam karya sastra. Kritik ini juga digunakan untuk meneliti kesalahpahaman tentang perempuan, dan faktor penyebab mengapa perempuan sering tidak diperhitungkan, bahkan nyaris diabaikan dalam kritik sastra. Kritik ideologis ini dengan sendirinya berbeda dengan male critical theory atau teori kritik laki-laki yang merupakan suatu konsep kreativitas sastra, sejarah sastra, serta penafsiran sastra yang seluruhnya didasarkan pada pengalaman laki-laki yang disodorkan sebagai suatu teori semesta yang berlaku secara universal.21

Kritik sastra feminis yang kedua adalah kritik yang secara khusus mengkaji penulis-penulis perempuan. Dalam kritik ini, termasuk penelitian tentang sejarah karya sastra perempuan, gaya penulisan, tema, genre, dan struktur tulisan perempuan. Di samping itu, dikaji juga kreativitas penulis perempuan, profesi dan juga adat istiadat, tradisi dan budaya yang mempengaruhi pola pikir penulis perempuan tersebut. Jenis kritik ini dinamakan dengan gynocritics yang berbeda dari kritik ideologis. Ginokritik bertujuan untuk mencari perbedaan antara tulisan laki-laki dan perempuan.22

Ragam kritik ketiga adalah kritik sastra feminis sosialis atau disebut juga dengan kritik sastra feminis Marxis. Kritik ini digunakan untuk meneliti tokoh-tokoh perempuan yang terdapat dalam sastra ditinjau dari sudut pandang sosialis, yakni

19 Soenarjati Djayanegara, Kritik Sastra Feminis; Sebuah Pengantar, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 27-39, menjelaskan secara singkat kelima ragam kritik tersebut. Akan tetapi sangat disayangkan, penulis tidak memuat secara rinci metode analisis dari masing-masing teori. Hal ini mungkin dikarenakan setiap peneliti memiliki persepsi yang berbeda tentang teori-teori tersebut, sehingga yang ia gambarkan hanya kerangka umumnya saja.

20 Konsep reading as women yang diperkenalkan oleh Culler digunakan untuk membongkar praduga dan ideologi kekuasaan laki-laki yang androsentris atau patrialkhal, yang hingga kini diasumsikan menguasai penulisan dan pembacaan dalam dunia sastra. Sugihastuti, Wanita di Mata Wanita; Perspektif Sajak-sajak Toeti Heraty, hal. 37

21 Soenarjati Djayanegara, Kritik Sastra Feminis, hal. 28-29. lihat juga James Romesburg,

Definitions of Feminist Literary Criticism, link update in July 2003 22 Soenarjati Djayanegara, Kritik Sastra Feminis, hal. 29-30


(12)

berdasarkan kelas-kelas dalam masyarakat. Menurut teori ini, perempuan dimasukkan ke dalam kubu rumah yang kehidupannya hanya ada dalam lingkungan rumah, sedangkan laki-laki menguasai kubu umum, yaitu lingkungan dan kehidupan di luar rumah. Kritik sastra feminis-sosialis ini berupaya menunjukkan bahwa tokoh-tokoh perempuan dalam karya sastra lama adalah manusia-manusia yang tertindas, yang tenaganya dimanfaatkan untuk kepentingan kaum laki-laki tanpa memiliki hak untuk menerima imbalan.23

Kritik sastra feminis lainnya adalah kritik sastra feminis-psikoanalitik. Kritik ini diterapkan pada tulisan-tulisan perempuan yang dianggap sebagai cermin kepribadian penulisnya. Ragam kritik ini berawal dari penolakan kaum feminis terhadap teori-teori Sigmund Freud yang menyatakan bahwa perempuan iri pada laki-laki karena tidak memiliki penis (penis-envy). Lalu perempuan melahirkan bayi yang kemudian dianggap sebagai pengganti penis yang dirawat dan diasuh dengan penuh kasih sayang. Maka secara natural, perempuan bersifat affective (penyayang), emphatic (ikut merasakan perasaan orang lain), dan nurturant (peduli). Bagi kaum feminis, perempuan tidaklah iri pada penis yang dimiliki kaum laki-laki, namun pada kekuasaan yang mereka miliki. Selain itu, karakter yang melekat pada perempuan, bukanlah sesuatu yang bersifat alami, bukan pula takdir, sebab karakter tersebut dibentuk oleh lingkungannya, yaitu masyarakat patrialkal.24

Ragam kritik sastra feminis yang kelima adalah kritik sastra feminis-ras atau kritik sastra feminis etnik. Kaum feminis-etnik di Amerika menganggap dirinya berbeda dari kaum feminis kulit putih. Mereka bukan saja mengalami diskriminasi seksual dari kaum laki-laki kulit putih dan kulit hitam, tetapi juga diskriminasi rasial dari kelompok mayoritas kulit putih baik laki-laki maupun perempuan.25

23 Soenarjati Djayanegara, Kritik Sastra Feminis, hal. 30-31. Aliran Sosialis-Marxis terkenal dengan teorinya yang disebut teori pertentangan kelas. Teori ini pula yang melandasi aliran Sosialis dalam sastra. Menurut Marxisme, sastra adalah refleksi masyarakat yang secara terus menerus berusaha mencerminkan masyarakat. Setiap karya sastra mencerminkan cara pandang dan kepriabadian kelas tertentu, karena itu karya sastra dapat dijadikan sebagai alat perjuangan. Atmazaki, Ilmu Sastra; Teori dan Terapan, (Padang: Angkasa Raya, 1990), hal. 45-46

24 Soenarjati Djayanegara, Kritik Sastra Feminis, hal. 31-32 25 Soenarjati Djayanegara, Kritik Sastra Feminis, hal. 36


(13)

Corak kritik sastra feminis yang terakhir adalah kritik sastra feminis lesbian. Jenis kritik ini menekankan kajian pada penulis dan tokoh perempuan yang bersifat individual. Karena berbagai faktor, kritik jenis ini masih terbatas kajiannya. Pertama, para feminis rupanya kurang menyukai kelompok perempuan homoseksual, dan memandang mereka sebagai kelompok feminis radikal. Kedua, tulisan-tulisan tentang perempuan bermunculan pada awal tahun 1970-an, sedangkan jurnal-jurnal kajian perempuan untuk kurun waktu yang cukup panjang tidak memuat tulisan tentang lesbianisme. Ketiga, kaum lesbian sendiri belum menemukan kesepakatan tentang definisi lesbianisme. Keempat, banyak kendala yang dihadapi oleh kritikus sastra lesbian. Sikap antipati para feminis dan masyarakat misogini26 terhadap kaum lesbian, membuat penulis lesbian terpaksa menulis dunia lesbian dalam bahasa yang terselubung, menggunakan simbol-simbol, serta menyensor dirinya sendiri. Bagi penulis lesbian, menulis secara terang-terangan berarti mengundang problem dan konflik.27

Di antara keenam ragam kritik tersebut, kritik ideologis atau lebih dikenal dengan reading as women adalah ragam kritik yang paling banyak digunakan untuk menganalisis karya satra. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, disebutkan bahwa salah satu makna dari ideologi adalah cara berfikir seseorang atau suatu golongan.28 Maka yang dimaksud dengan kritik ideologis dalam kajian ini adalah cara pandang penulis dalam membaca perempuan yang terdapat dalam syair Jahiliyah. Konsep

26 Kebencian terhadap kaum perempuan

27 Soenarjati Djayanegara, Kritik Sastra Feminis, hal. 33-36

28 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: Balai Pustaka, 1995), hal. 366. Dalam The Ensyclopedia of Philosophy disebutkan bahwa kata ideology

pada mulanya bukanlah sebuah terma yang bersifat abuse (salah pakai) seperti yang dipahami saat ini, yaitu sebuah terma yang selalu dikaitkan dengan keyakinan tentang sesuatu, seperti kekuasaan, agama, dan lainnya. Istilah ideologi yang original, diperkenalkan pertama kalinya oleh Destutt de Tracy pada tahun 1796. Destutt dan kawan-kawannya menggulirkan istilah tersebut dengan sebuah harapan bahwa ide-ide ilmiahnya, yaitu sebuah program untuk mereduksi analisis berbasis semantik, diakui secara institusi dan disosialisasikan ke sekolah-sekolah yang ada di Perancis. Konsep ini lalu diadopsi oleh Marx dalam teori-teori ekonomi marxisnya. Paul Edward, The Ensyclopedia of Philosophy, (New York: The Free Press, 1967), vol. 3&4, hal. 124-125


(14)

reading as women itu sendiri pertama kali diperkenalkan oleh Culler29 dan digunakan untuk membongkar praduga dan ideologi kekuasaan laki-laki yang androsentris atau patrialkhal, yang hingga kini diasumsikan menguasai penulisan dan pembacaan dalam dunia sastra.30

Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa dalam kritik ideologis yang menjadi pusat perhatian adalah citra serta stereotipe perempuan yang terkandung dalam karya sastra. Berdasarkan hal tersebut, penulis dalam hal ini -sebagaimana Culler- ingin menjadikan ragam kritik ini sebagai alat untuk membongkar praduga dan ideologi kekuasaan laki-laki yang androsentris atau patrialkhal dalam budaya Arab yang tercitrakan dalam syair Jahiliyah yang kemudian menjadikan perempuan sebagai kelompok inferior dan subordinasi.

Kritik sastra feminis yang diartikan sebagai reading as women, berpandangan bahwa kritik ini tidak mencari metodologi atau model konseptual tunggal, tetapi sebaliknya bersifat pluralis, baik dalam teori maupun praktiknya. Untuk itu, kritik ini menggunakan kebebasan dalam metodologi maupun pendekatannya, disesuaikan dengan tujuan dari penelitian.31 Maka untuk membongkar praduga dan ideologi kekuasaan laki-laki, penulis menggunakan teori gender, class dan power.

Gender, sebagaimana disebutkan di atas, yaitu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun cultural32 yang kemudian berubah menjadi seksisme (sexism), yaitu suatu ideologi bahwa jenis kelamin tertentu memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibanding dengan jenis kelamin lainnya yang kemudian membentuk superioritas dan inferioritas antara dua jenis kelamin

29 Nama lengkapnya Jonathan Culler. Ia memperkenalkan istilah tersebut dalam bukunya yang berjudul Stucturalist Poetics pada tahun 1977. Menurutnya yang dimaksud dengan ‘membaca sebagai

perempuan’ adalah kesadaran pembaca bahwa ada perbedaan penting dalam jenis kelamin pada makna

dan perebutan makna karya sastra.

30 Sugihastuti, Wanita di Mata Wanita; Perspektif Sajak-sajak Toeti Heraty, hal. 37 31 Sugihastuti Suharto, Kritik Sastra Feminis; Teori dan Aplikasinya, hal. 10

32 Lih. definisi sebelumnya, Maggie Humm, Ensiklopedi Feminisme, terjemah Mundi Rahayu, hal. 158. lih. juga, Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, hal. 8. Elizabeth Fox-Genovese, Gender, Class and Power: Some Theoretical Consedirations, (http://www.jstor.org/stable/493546: Society for the History of Education, accessed: 28/04/2008 01:12)


(15)

tersebut dalam kehidupan sosial. Istilah ini secara umum terkait erat dengan praduga laki-laki (male prejudice) dan diskriminasi perempuan.33

Dalam teori feminisme, ideologi seksisme atau konstruksi gendering ini dilatarbelakangi oleh berbagai faktor, di antaranya disebabkan oleh sistem stratifikasi sosial (class) yang biasa dianut oleh masyarakat, serta ideologi kekuasaan (power) yang mewarnainya. Ketiga istilah (gender, class dan power) tersebut menurut Elizabeth Fox, semuanya merujuk pada konteks hubungan sosial, hanya saja jika gender dan class merujuk pada peta hubungan sosial, power adalah unsur yang mempengaruhi seluruh pola hubungan sosial tersebut.34

Berkaitan dengan kelas, dalam teori sosiologi, dikenal tiga sistem stratifikasi sosial, yaitu slavery (perbudakan), castes (kasta) dan class (kelas). Menurut Amin Nurdin dan Ahmad Abrari, stratifikasi sosial adalah tingkatan kedudukan sosial dalam masyarakat yang ditentukan oleh perbedaan privilege/property (kekayaan), pertige (kehormatan), dan power (kekuasaan).35 Perbudakan merupakan sistem sosial yang paling ekstrim karena melegalkan seorang manusia dimiliki dan dikuasai oleh manusia lain layaknya barang. Sedangkan kasta merupakan sistem stratifikasi sosial tertutup dan biasanya berhubungan dengan konteks ideologi. Seseorang yang lahir dalam kasta tertentu, secara otomatis menjadi anggota dari kasta tersebut, dan tidak dapat berpindah status ke dalam kasta yang lain. Kasta biasanya diasosiasikan dengan penganut agama Hindu di India. 36

Adapun yang dimaksud dengan kelas dalam sosiologi pada dasarnya adalah perbedaan status seseorang yang ditentukan oleh kedudukan ekonomi yang kemudian memberi pengaruh terhadap mobilisasi sosial, sehingga terkait erat dengan kekuasaan

33 Richard T. Schaefer, Sociology, (New York: McGraw-Hill Higher Education, 2003), edisi 8, hal. 310

34 Elizabeth Fox-Genovese, Gender, Class and Power: Some Theoretical Consedirations, hal. 255

35 Amin Nurdin dan , Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi, Jakarta: UIN Press, 2006, cet. 1, hal. 126. Tidak berbeda dengan Amin NurdinRichard T. Schaefer menyebutkan dua buah tolak ukur status sosial seseorang, yaitu proverty (jumlah kekayaan) dan prestige (prestise).

36 Richard T. Schaefer, Sociology, (New York: McGraw-Hill Higher Education, 2003), edisi 8, hal. 213-214


(16)

(power).37 Menurut Marx sebagai perintis teori ini, perbedaan kelas yang disebabkan oleh hasil produksi ini menimbulkan inequality antara kelas borjuis sebagai upper class dan proletar sebagai lower class.38 Sedangkan bagi kaum feminis adanya kelas-kelas dalam masyarakat tersebut menjadikan perempuan sebagai manusia-manusia yang tertindas, yang tenaganya dimanfaatkan untuk kepentingan kaum laki-laki tanpa memiliki hak untuk menerima imbalan.39

Menurut Max Weber, kelas maupun stratifikasi sosial lainnya, secara umum merupakan repleksi dari kekuasaan (power). Kekuasaan itu sendiri diartikan sebagai kemampuan seseorang mempengaruhi orang lain sesuai dengan kehendaknya.40 Bila kekuasaan itu melembaga dan diakui masyarakatnya maka disebut dengan wewenang (authority).41 Dalam sosiologi diakui bahwa kekuasaan sebagai bagian penolong dalam kehidupan masyarakat, namun bagi kaum feminis kekuasaan (power) terkadang berubah fungsi dari yang semula dimaknai sebagai hegemoni legitimasi atau fungsi pengaturan menjadi semacam penindasan (violence) atau upaya ke arah penindasan (threat of violence). 42

Perwujudan dan sumber kekuasaan itu sendiri beragam, ada yang berdasarkan properti, kedudukan sosial, birokrasi dan intelektualitas. Sedangkan unsur-unsur pokok yang mendasari keberadaan kekuasaan biasanya berupa rasa takut, rasa cinta, kepercayaan, pemujaan, maupun sugesti. 43 Untuk itu menurut Barret, perkembangan

37 Richard T. Schaefer, Sociology, (New York: McGraw-Hill Higher Education, 2003), edisi 8, hal. 214. Munandar Sulaiman, Ilmu Sosial Dasar, (Bandung: PT. Eresco, 1995), hal. 91. Elizabeth Fox-Genovese, Gender, Class and Power: Some Theoretical Consedirations, hal. 255

38 Richard T. Schaefer, Sociology, (New York: McGraw-Hill Higher Education, 2003), edisi 8, hal. 217. Lihat juga Atmazaki, Ilmu Sastra: Teori dan Terapan, (Padang: Angkasa Raya, 1990), cet. 10, hal. 45

39 Soenarjati Djayanegara, Kritik Sastra Feminis, hal. 30-31

40 Richard T. Schaefer, Sociology, (New York: McGraw-Hill Higher Education, 2003), edisi 8, hal. 218. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006), hal. 35

41 Syahrial Syarbaini, dkk., Sosiologi dan Politik, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004), hal. 48 42 Elizabeth Fox-Genovese, Gender, Class and Power: Some Theoretical Consedirations, hal. 255

43 Syahrial Syarbaini, dkk., Sosiologi dan Politik, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004), hal. 48. Menurut Miriam Budiardjo, sumber kekuasaan terdapat dalam pelbagai aspek, bisa bersumber pada kekerasan fisik, seperti seorang polisi yang dapat memaksa penjahat untuk mengakui kejahatannya karena dari segi persenjataan polisi lebih kuat. Selain itu dapat juga bersumber pada kedudukan, seperti


(17)

konsep kekuasaan tidak terbatas pada negara, individu, ekonomi, dan lainnya, namun istilah tersebut merupakan sebuah konsep mikro, bahkan termasuk di dalamnya strategi dan teknologi kekuasaan.44 Dengan demikian konsep kekuasaan dapat dipahami secara beragam, dari menguasai kekayaan atau produktivitas seperti yang diajarkan Marx, kemampuan mempengaruhi dan menguasai orang lain (Weber), hingga konstitusi hubungan sosial, baik yang bersifat lembaga maupun individu. Kekuasaan bukan hanya eksis dalam sistem institusi, namun menjangkau seluruh aspek kehidupan dan interaksi sosial.45

Sistem kelas dalam tradisi dan budaya menurut Max Weber selalu terkait erat dengan dimensi politik. 46 Untuk itu menurut kaum feminis, kelas (class) terkait erat dengan kekuasaan (power) antara kelompok superior dan inferior. Dan superioritas laki-laki di satu sisi, dan inferioritas perempuan di sisi lain pada hakekatnya menunjukkan adanya kekuasaan (power) yang memainkan peranan di antara keduanya. Di samping itu, perempuan sebagai kelompok inferior dan laki-laki sebagai kelompok superior juga menjelaskan tentang adanya kelas yang membedakan antara keduanya. Power dalam kajian ini dijadikan sebagai alat untuk menganalis kelas-kelas sosial yang terdapat dalam tradisi dan budaya bangsa Arab Jahiliyah serta akibatnya terhadap kontruksi gender yang tersirat dalam syair Jahiliyah.

Konstruksi gender yang terjadi dalam sistem sosial masyarakat adalah salah satu problem sosiologi yang mengakibatkan terjadinya marginalisasi terhadap perempuan. Menurut teori konflik –sebagaimana disampaikan Tim Curry dkk- tidak adanya

kedudukan komandan dengan bawahannya, kepala kantor dengan pegawainya, dan lainnya. Sumber lainnya adalah kekayaan, kepercayaan dan lain sebagainya. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, hal. 36

44 Nickie Charles dan Felicia Hughes (editor), Practising Feminism; Identity, Difference, Power, (London and New York: Routledge, 1996), hal. 14, dikutip dari Michele Barret dan Mary McIntosh,

Feminist Review, (tp: Etnhocentrism and Socialist Feminist Theory, 1985), hal. 25-47

45 Nickie Charles dan Felicia Hughes (editor), Practising Feminism; Identity, Difference, Power, hal. 13 dan 15


(18)

persamaan antara laki-laki dan perempuan disebabkan oleh lemahnya posisi perempuan dalam sistem stratifikasi sosial.47

Teori class dan power oleh Nickie Charles dijadikan sebagai landasan teoritis untuk menganalisis praktek politik perempuan Amerika, sedangkan oleh Chistine Griffin teori kekuasaan dijadikan alat untuk menganalisis dimensi gender, ras dan kelas dalam berbagai aspek kehidupan perempuan.48 Tokoh-tokoh peneliti tersebut menggunakan teori class dan power untuk menganalisis fenomena sosial yang tampak dalam kehidupan secara rill, namun dalam kajian ini, power dan class dijadikan sebagai landasan teoritis untuk mengetahui pengaruh kedua konsep ideologis tersebut terhadap citra perempuan Jahiliyah yang tersirat dalam syair. Ideologi, bahwa power dan class adalah dua faktor yang turut mempengaruhi konstruksi gendering dalam tradisi dan budaya Arab Jahiliyah, oleh penulis dijadikan sebagai landasan reading as women, atau membaca syair Jahiliyah berdasarkan kaca mata dan sudut pandang perempuan.

D. Syair Jahiliyah Antara Karya Sastra dan Fakta Sejarah

Syair dalam tradisi dan budaya Arab Jahiliyah, selain sebagai karya sastra juga sebagai fakta sejarah yang tak terbantahkan, sebab syair bagi bangsa Arab bukan semata-mata sebagai media untuk mengekspresikan perasaan dan fikiran, lebih dari itu syair adalah kebanggaan dan identitas mereka selama berabad-abad lamanya, sehingga tidak salah bila ada yang menyatakan bahwa bangsa Arab Jahiliyah tidak memiliki seni dan budaya apapun selain dari syair. Syair –sebagaimana dinyatakan oleh Umar ibnu al-Khathâb- adalah pengetahuan bangsa Arab dan tidak ada ilmu lain selain syair yang melebihi kebenarannya.49 Maka syair selain sebagai karya sastra, bagi masyarakat Arab Jahiliyah adalah representasi dari pola fikir, sikap, sejarah dan realitas kehidupan. Untuk itu, maka untuk mengetahui citra perempuan Jahiliyah dalam syair, maka pembahasan tentang syair Jahiliyah itu sendiri adalah hal yang sangat urgen.

47 Tim Curry dkk, Sociology for the Twenty First Century, hal. 244

48 Nickie Charles dan Felicia Hughes (editor), Practising Feminism; Identity, Difference, Power, hal. 1 & 180

49 Badawi Thabâbah, Dirâsat fi al-Naqd al-Adabî, (Kairo: Maktabah al-Enjelo al-Mishriyah, 1965), cet. 4, hal. 43, dikutip dari Ibnu Salâm al-Jamahi, Thabaqât al-Syu’arâ, hal. 17


(19)

1. Syair Jahiliyah sebagai karya sastra

a. Pengertian Syair Jahiliyah

Syair adalah sebuah seni yang menggunakan bahasa sebagai medianya, sebagaimana musik dengan iramanya, gambar dengan aneka warnanya, tarian dengan gerakannya, dan lain-lain.50 Banyak definisi diberikan oleh para kritikus sastra agar dapat memahami syair dengan benar. Definisi klasik yang diberikan para sastrawan Arab terhadap syair selalu merujuk pada makna yang diberikan para ahli Arûdh,51 sebagai contoh definisi yang diberikan oleh Qudâmah ibn Ja’far, yaitu ‘kalâm al-mauzûn al-muqaffâ’, yakni untaian kata yang disusun dengan berdasarkan wazan52 dan

qâfiyah53.54 Definisi ini pada dasarnya dibuat untuk membedakan antara jenis puisi dan prosa dalam sastra Arab, sehingga hanya menampilkan aspek fisik semata.

Bila pada awal perkembangannya, definisi syair hanya mengacu pada bentuk fisiknya saja, Setelah mengalami perkembangan, definisi tersebut ditambahkan dengan aspek lainnya yang turut mempengaruhi syair. Definisi klasik oleh para fakar sastra Arab dianggap kurang representatif, karena tidak menunjukkan makna syair yang

50 Muhammad Zaghlûl Sallâm, Târikh al-Naqd al-Adabi wa al-Balâghah, (al-Iskandariyah:

Mansya’ah al-Ma’ârif, 1996), hal. 34

51 Arudh adalah ilmu yang mempelajari tentang wazan-wazan yang benar dan yang salah dalam syair. Chatîb al-Umam, al-Muyassar fi ‘Ilm al-‘Arûdl, (Jakarta: Syirkat Hikmat Syahîd Indah, 1992), cet.2, hal. 4

52Wazan dan qâfiyah biasanya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan metre dan rhyme, atau dalam bahasa Indonesianya matra dan rima. Keduanya merupakan unsur pembentuk fisik syair.

Wazan adalah kumpulan taf`îlah (Pola-pola kata yang terdapat dalam bahr). Wazan dinamakan juga dengan bahr atau al-buhûr al-syi’riyah, yakni bentuk-bentuk pola irama yang membentuk corak musik yang beranekaragam dalam syair Arab. Wazan dinamakan dengan bahr karena menyerupai lautan yang tidak pernah kehabisan air meskipun terus dikuras, demikian pula halnya dengan syair.

53 Adapun yang dimaksud dengan qâfiyah dalam syair Arab adalah lafaz terakhir pada bait syair, yang dihitung dari huruf akhir bait sampai dengan huruf hidup sebelum huruf mati yang ada di antara keduanya. Sebagai contoh:

دل م يل حا ءايض ا نمف

# ْكأ رئاس ىرْصب هب ءاضأ نا

ا كم ضرأ نم اشلا ر صق ح

# نب خما ش ا نم همأ أر ناي

Kedua akhir kata yang digaris bawahi adalah contoh qâfiyah. Seperti kata ‘kuat’ dan ‘buat’ yang terdapat dalam bahasa Indonesia.

54 Muhammad Zaghlûl Salâm, Târikh al-Naqd al-Adabi wa al-Balâghah, (Iskandariah:

Mansya’ah al-Ma’ârif, 1996), hal. 34. Definisi ini juga diadopsi oleh Emil Badi’ Ya’qub dalam al-Mu’jam al-Mufashshal fi ‘Ilm al-‘Arûdl wa al-Qûfiyah wa Funûn al-Syi’r, (Beirut: Dâr Kutub

al-‘Ilmiyah, 1991 M/1411 H), hal. 376. Ahmad al-Hâsyimi, Jawâhir al-Adab fi Adabiyât wa Insyâ wa Lughât al-‘Arab, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1978 M / 1398 H), hal. 250


(20)

sebenarnya, namun hanya mengacu pada aspek bentuk semata. Untuk itu, beberapa fakar sastra merumuskan definisi lain untuk menyempurnakannya, sehingga tidak terbatas pada makna performa saja. Seperti menurut Ahmad Hasan al-Zayyat, syair adalah ungkapan (kalâm) yang disusun dengan berdasarkan wazan dan qâfiyah, untuk menggambarkan imajinasi dengan cara yang indah dan menarik”.55 Untuk itu dalam kesusateraan Arab, syair adalah ucapan atau susunan kata-kata yang fasih yang terikat pada rima (pengulangan bunyi) dan matra (unsur irama yang berpola tetap) dan biasanya mengungkapkan imajinasi yang indah, berkesan dan memikat.56

Definisi lain yang lebih rinci dikemukakan oleh al-Âmadi, menurutnya syair tidak lain adalah ungkapan yang bagus, mudah dipahami, menggunakan diksi yang tepat, meletakkan lafaz sesuai dengan maknanya, dan meletakkan makna sesuai dengan konteksnya, serta menggunakan metafora (isti’ârah) dan perumpamaan (tamtsîl) secara tepat. Untuk itu, sebuah syair tidak dianggap bagus dan elegan bila belum memenuhi persyaratan tersebut.57

Definisi syair seperti di atas, tidak jauh berbeda dengan definisi yang diberikan pakar sastra Indonesia, misalnya Herman J. Waluyo, menurutnya, puisi adalah salah satu bentuk kesusastraan yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengkonsentrasikan semua kekuatan bahasa yakni dengan mengkonsentrasikan struktur fisik dan stuktur batinnya. Untuk itu puisi terdiri atas dua unsur pokok pembentuk yakni struktur fisik dan struktur batin. Kedua bagian itu terdiri atas unsur-unsur yang saling mengikat keterjalinan dan semua unsur tersebut membentuk totalitas makna yang utuh.58

55 Ahmad Hasan al-Zayyât, Târikh al-Adab al-‘Arabi, (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1422 H / 2001 M), cet. 7, hal. 25. Hal senada diungkapkan oleh Ahmad al-Hâsyimi, Jawâhir al-Adab fi Adabiyât wa Insyâ wa Lughât al-‘Arab, (Beirut: Dâr Kutub Ilmiyah, 1978 M / 1398 H), hal. 250. Ahmad

al-Iskandari dan Mushtafa ‘Inâni, al-Wasîth fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi, (Mesir: Dâr al-Mâ’arif , tth), hal. 42

56 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1999), jilid 4, hal. 340

57 Muhammad Zaghlûl Sallâm, Târikh al-Naqd al-Adabi wa al-Balâghah, hal. 34 58 Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi, ttp: Erlangga, 1995, hal. 28-29


(21)

Secara garis besar ada dua unsur pembangun sebuah puisi, yaitu unsur fisik dan unsur batin. Adapun yang dimaksud dengan unsur fisik yaitu unsur estetik yang membangun struktur luar dari puisi. Unsur-unsur estetik tersebut pada dasarnya dapat dikaji secara terpisah, meskipun merupakan satu kesatuan utuh. Menurut Herman J. Waluyo, yang termasuk unsur-unsur fisik sebuah puisi, yaitu: diksi, pengimajian, kata konkret, bahasa piguratif (majas), ferifikasi, dan tata wajah puisi.59

Dengan demikian, syair dapat ditinjau dari dua aspek, yaitu aspek bentuk dan aspek kandungan. Dari definisi di atas dapat disimpulkan, bahwa syair terbentuk dari beberapa unsur, yaitu: wazan, qâfiyah, al-ghardh (tujuan) dan khayâl (imajinasi). Wazan dan qafiyah, keduanya adalah unsur pembentuk syair dari aspek fisik atau performace, sedangkan al-ghardh atau tema dan unsur khayâl merupakan unsur pembangun batin atau kandungan syair. Unsur-unsur inilah yang membangun sebuah syair dan menjadi karakteristiknya.

Adapun yang dimaksud dengan Jahiliyah adalah periode sejarah bangsa Arab sebelum datangnya agama Islam.60 Definisi ini dijumpai di hampir setiap buku yang

59 .Keterangan lengkap lih. Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi, hal. 71-101

60 Terjadi perbedaan pendapat ketika istilah Jahiliyah diartikan sebagai masa kebodohan dan kebiadaban (time of ignorance and barbarism) sebagaimana dipahami dari maknanya secara leksikologi yang berasal dari kata ja-hi-la yang berarti bodoh dan tidak berperadaban. Pemahaman seperti ini menjadikan masyarakat Arab Jahiliyah secara umum identik dengan masyarakat yang bodoh, biadab dan tanpa peradaban. Padahal menurut Philip K. Hitti sebagaimana dikutip oleh Ismail Hamid, istilah Jahiliyah adalah masa sebelum diutusnya Nabi Muhammad saw. menjadi Rasul dan belum memiliki Kitab suci sebagai pedoman hidup. Apabila Jahiliyah dimaknai sebagai jaman kebodohan, hal itu jelas tidak relevan dengan situasi dan kondisi Arab bagian selatan (Yaman) yang sangat maju dan memiliki peradaban yang tinggi. Ismail Hamid, Arabic and Islamic Literary Tradtion, (Kuala Lumpur: Utusan Publications & Distributors Sdn. Berhad, 1982), hal. 1.

Menurut Goldziher, mengartikan zaman Jahiliyah dengan zaman kebodohan adalah sebuah konsepsi yang salah dan tidak beralasan, sebab apa yang diekpresikan oleh Nabi Muhammad dengan istilah tersebut tidak lebih dari kondisi masyarakat Arab sebagaimana yang terdokumentasi dalam puisi-puisi Arab Jahili. Nabi Muhammad saw. diutus bukan untuk menghapus tradisi dan budaya bangsa Arab, namun untuk memperbaiki moral mereka, seperti kesombongan kabilah, permusuhan yang terus menerus, memuja dendam, tidak mau memaafkan dan watak buruk lainnya sebelum kedatangan Islam. Menurut Goldziher, istilah Jahiliyah diberikan oleh Nabi Muhammad saw. hanya untuk membedakan waktu sebelum dan sesudah kedatangan agama Islam. Untuk mendukung pendapatnya tersebut, Goldziher memberikan argumentasi lain dari sisi kebahasaan. Menurutnya dalam dokumen bahasa Arab klasik terdapat kata ilm (knowladege) yang dikonfrontasikan dengan kata jahl (ignorance), sehingga jahl

merupakan antonim dari ilm. Namun istilah ilm hanyalah makna antonim kedua dari suku kata ja-hi-la, sebab makna antonim yang pertama adalah hilm, yang berarti tegas, kuat, kekuatan fisik, sehat, integritas


(22)

membahas tentang sejarah Islam maupun sejarah sastra Arab. Istilah Jahiliyah itu sendiri muncul setelah agama Islam datang. Definisi ini disimpulkan dari beberapa ungkapan yang beredar di kalangan masyarakat Arab sendiri, seperti ungkapan Umar Ibn al-Khathab ra.,

ف ع ي ه ل ف

ن ن

, “aku bernazar pada saat Jahiliyah untuk melaksanakan i’tikaf61 ”. Ungkapan lain disampaikan oleh Aisyah ra.,

ل ك

ء حن عب ع ي ه ل ف

,

Nikah pada masa Jahliyah dilakukan dengan empat

cara”, dan lain sebagainya. Dalam al-Qur’an sendiri banyak ayat yang menyebutkan kata jahiliyah seperti “

غ ت ي ه ل م حف

“, Apa hukum Jahiliyah yang kamu inginkan?. Istilah yang muncul tersebut selanjutnya disimpulkan bahwa Jahiliyah adalah sebuah masa di mana bangsa Arab tidak mengenal Tuhan dan ajaran Agama dengan benar.62 Menurut penulis, kesimpulan ini pada dasarnya bersifat generalisasi dari tradisi bangsa Arab yang mayoritas menganut ideologi watsaniyah (kepercayaan terhadap berhala) dan benda-benda kongkrit lainnya, seperti matahari, bintang, dan lainnya.63

moral, stabil, matang, sikap yang halus. Maka seorang halîm secara singkat diartikan sebagai seseorang yang berperadaban. Dikutip oleh Ismail Hamid, Arabic and Islamic Literary Tradtion, hal. 1-2

Namun Ibrâhîm Ali al-Khasyab dan Ahmad Abd. Al-Mun’im al-Bahâ berpendapat, bahwa sama saja apakah Jahiliyah itu diartikan sebagai antonim kata ilm (knowledge), hilm (firmness) atau diartikan langsung dengan kebodohan, karena hal tersebut memang pantas untuk orang-orang yang hidup di sebuah jazirah, menyembah berhala, mengotori akidah, dan menyekutukan Allah, memuja hawa nafsu, senang menumpahkan darah, fanatik kesukuan yang amat berlebihan, dan sifat biadab lainnya. Ibrâhîm

‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, (tp: Bayân

al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 11

Menurut penulis kedua pendapat tersebut adalah benar, hanya persepsi sejarah dan sudut pandang mereka yang berbeda. Jika istilah Jahiliyah diberlakukan kepada bangsa Arab secara luas, meliputi semua keturunan Semit (Qahthân dan Adnân), jelas kata Jahiliyah itu tidak tepat, karena salah satu keturunannya yaitu Qahthan yang lebih dikenal dengan bangsa Arab Selatan menempati suatu wilayah yang memiliki peradaban yang tinggi yaitu Yaman dan sebagian dari mereka sudah memeluk agama Samawi. Sedangkan argumen yang menyatakan bahwa istilah Jahiliyah adalah tepat bagi bangsa Arab, maka sesungguhnya bangsa Arab yang dimaksud adalah bangsa Arab Utara keturunan Adnan yang menempati Jazirah Arab dan wilayah Hijaz lainnya tempat Nabi Muhammad saw. dilahirkan. Kedua ras besar tersebut memiliki garis kehidupan yang berbeda satu sama lain, baik secara sosiologi, ekonomi, politik, maupun tingkat intelektual.

61I’tikaf adalah mengasingkan diri dengan tujuan beribadah

62Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, (tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 12.

63 Berdasarkan fakta sejarah, bangsa Arab bukanlah sebuah bangsa yang tidak mengenal Tuhan dan ajaran agama sama sekali, sebab terbukti di antara mereka ada yang memeluk agama Nasrani,


(23)

Berdasarkan hal itu, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan syair Jahiliyah adalah syair yang digubah sebelum datangnya agama Islam. Meskipun, sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa secara historis sangat sulit menentukan kapan syair Arab Jahiliyah mulai lahir dalam tradisi masyarakat Arab. Jika yang dimaksud dengan syair Jahiliyah adalah syair yang digubah sebelum datangnya agama Islam, maka yang dimaksud dengan perempuan Jahiliyah adalah perempuan yang hidup pada periode tersebut.

b.Tema Syair Jahiliyah (aghrâd al-syi’r al-jâhili)

Para ahli sastra Eropa, biasanya membagi puisi ke dalam tiga jenis, yang pertama adalah puisi kepahlawanan (syi’r a/-malhamah atau heroic poem) atau disebut juga dengan epik (al-syi’r al-qashasi atau epic poetry) 64. Kedua adalah puisi lirik (

Yahudi, ataupun agama Ibrahim yang hanîf. Sebagaimana banyak dilansir dalam buku-buku sejarah Islam, bahwa pemeluk agama Yahudi menempati kota Yatsrib yang kemudian dinamakan Madinah. Mereka terdiri dari Bani Nadhîr, Bani Qainuqâ, dan Bani Quraizhah. Mereka menempati kota Madinah bersama-sama dengan suku Aus dan Khazraj. Hubungan mereka terkadang bersahabat, namun juga terkadang bermusuhan.

Adapun Agama Nasrani tersebar di kabilah Rabi’ah dan Ghassan, serta sebagian kabilah Qudla’ah, hal ini karena mereka sering berhubungan dengan bangsa Romawi. Di kerajaan Hirah sendiri

dari berbagai suku yang mendiaminya terdapat sebuah kabilah Arab yang biasa dipanggil dengan ‘al

-‘Ibad’, yang merupakan keturunan Bani Taghlib yang memeluk agama Nasrani. Kota yang paling terkenal yang tempati pemeluk Nasrani adalah Nejran yang terletak di Yaman. Di antara penyair yang

terkenal dari wilayah ini yaitu Qiss, ‘Adi ibnu Zaid dan Umayah ibnu abi al-Shilat. Dari sekian banyak penduduk Arab, terdapat kelompok yang mempercayai adanya Tuhan dan menyembahnya secara murni tanpa menyekutukannya, seperti Waraqah ibn Naufal. Bahkan sebagaimana diungkapkan Philip K. Hitti, bahwa salah satu konsep keagamaan penting yang dikenal di kawasan Hijaz adalah konsep tentang Tuhan. Bagi masyarakat Hijaz, Allah adalah Tuhan yang paling utama, meskipun bukan satu-satunya. Al-Ilah itu sendiri berasal dari bahasa kuno. Tulisannya banyak muncul dalam tulisan-tulisan Arab Selatan, yaitu tulisan orang Minea di al-Ula, dan tulisan orang Saba, tetapi nama tersebut mulai berbentuk dengan untaian huruf HLH dalam tulisan-tulisan Lihyan pada abad ke-5 S.M. Philip K. Hitti., History of The Arabs, (terjemah), hal. 126. Bandingkan dengan Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, hal. 26. Kisah beberapa penyair religi Arab Jahiliyah dapat dilihat pada pembahasan kategorisasi syair Jahiliyah.

64 Epik (epic, epique) adalah sajak kisahan panjang yang bercerita tentang seorang pahlawan, biasanya berdasarkan peristiwa dalam sejarah. Ada yang termasuk tradisi lisan, ada yang termasuk sastra tulisan. Beberapa cirri khasnya, tokoh utama yang harum namanya dan luar biasa sifatnya, petualangan yang berbahaya, pengaruh adikodrati yang menyelamatkan atau menghukum, pengulangan dalam uraian, digresi, gaya yang melambung. Istilah lain: epos dan wiracarita. Panuti Sudjiman, Kamus Istilah Sastra, (Jakarta: UI-Press, 1990), hal. 28


(24)

syi’r al-ghinâ’i/lyric, lirique)65, yaitu puisi dalam bentuk nyanyian yang digubah penyair untuk mengekspresikan perasaannya dan segala emosi yang berkecamuk di dadanya, seperti puisi ghazal (percintaan) dan fakhr (narsisisme)66 yang terdapat dalam sastra Arab. Ketiga adalah puisi drama atau teatrikal (al-syi’r al-tamtsîli / dramatic poetry), yaitu puisi yang digunakan untuk menggambarkan suatu peristiwa yang diperankan oleh berbagai tokoh atau lakon dengan menggunakan puisi sebagai alat komunikasinya.67

Sebagaimana kita ketahui sebelumnya, bahwa kehidupan masyarakat Arab Jahiliyah tidak pernah terlepas dari peperangan antar kabilah, namun demikian, di dalam khazanah sastra Arab tidak ditemukan puisi-puisi heroik (malhamah) yang panjang. Hal ini menurut al-Iskandari dkk., disebabkan keterbatasan daya imajinasi dan pengetahuan mereka, di samping peradaban mereka yang masih rendah, sehingga tidak semua orang mampu mengungkapkan perasaan mereka ke dalam susunan puisi yang indah dan berkesinambungan. Namun berdasarkan bentuknya yang lebih mengutamakan matra dan rima, maka bisa dipastikan bahwa mayoritas syair Arab Jahiliyah masuk ke dalam kategori puisi lirik (al-syi’r al-ghinâ’i), yaitu puisi yang lebih mengutamakan aspek keindahan irama dan musik.68

Para ahli sastra Arab biasanya membagi jenis syair Arab ke dalam beberapa bagian yang dikenal dengan istilah aghrâdl al-syi’r. Adapun yang dimaksud dengan aghrâd al-syi’r di dalam syair Jahiliyah adalah tema yang dibuat para penyair yang berkaitan dengan tujuan mereka dalam menggubah syairnya atau secara singkat tujuan pembuatan syair. Sebagai contoh, jika penyair menggubah syairnya dengan tujuan untuk mengagung-agungkan dirinya atau sukunya, maka syairnya disebut dengan fakhr, namun bila penyair menggubah syairnya untuk menyanjung dan mengagumi seseorang,

65 Lirik (lyric, lirique) adalah (1) sajak yang merupakan susunan kata yang berbentuk nyanyian. (2) karya sastra yang berisi curahan perasaan pribadi yang mengutamakan lukisan perasaan. Panuti Sudjiman, Kamus Istilah Sastra, hal. 49

66 Narsisisme (narcissism) adalah kekaguman yang berlebih-lebihan akan sifat fisik atau watak diri sendiri. Narcissus adalah nama seorang pemuda –dalam mitologi Barat klasik- yang tertarik sekali kepada bayangannya sendiri dalam sebuah kolam. Panuti Sudjiman, Kamus Istilah Sastra, hal. 54

67 al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 43


(25)

baik keberaniannya, kedermawanannya, atau sifat lainnya, maka syairnya tersebut disebut madh, dan lainnya.69 Tema-tema tersebut terkait erat dengan kondisi sosiologi dan budaya bangsa Arab saat itu. Ada beberapa tema yang biasanya digemari oleh penyair Jahiliyah, di antaranya; ghazal70, madh, hijâ, hamâsah, ritsâ, fakhkhar, dan

washaf.

Ghazal71 merupakan salah satu tema syair Jahiliyah yang sangat terkenal. Ghazal, menurut Husein ‘Athwan merupakan muqadimah syair Jahiliyah yang paling populer. Oleh sebab itu, setiap penyair dianggap kurang afdal bila belum mengucapkan ghazal dalam pembukaan syairnya.72 Ghazal sendiri secara bahasa mengandung arti menyebut atau membicarakan tentang perempuan73, yang kemudian di dalam istilah sastra Arab lebih cenderung pada rayuan, cinta dan asmara. Ghazal sangat erat kaitannya dengan nasîb atau tasybîb. Ketiga istilah tersebut, sering kali dipadankan artinya. Ketiga istilah tersebut secara semantik memiliki keterkaitan makna yaitu sama-sama membicarakan berbagai hal tentang perempuan, baik kecantikannya maupun tingkah lakunya, lahir maupun batin. Namun sebagian para kritikus berupaya

membedakan kedua istilah tersebut, sebagai contoh Qudâmah ibn Ja’far memberikan

definisi ghazal dengan trik-trik merayu perempuan dengan menggunakan elemen-elemen perempuan itu sendiri sebagai mediatornya. Rayuan tersebut dimaksudkan untuk menarik perhatian perempuan, sehingga akhirnya menyukainya. Adapun yang dimaksud dengan nasîb adalah berbagai upaya yang dilakukan seorang laki-laki untuk memperoleh cinta perempuan dengan menunjukkan bukti-bukti kecintaannya tersebut, seperti dengan cara menyebutkan hal-hal yang berhubungan dengan kerinduan,

69 Nabilah Lubis, al-Mu’în fi al-Adab al-‘Arabi wa Târikhihi, (Jakarta: Kuliyyat Adab wa

al-‘Ulûm al-Insâniyah Jâmiah Syarîf Hidâyatullah, 2005), hal. 27

70 Dalam kamus Istilah Sastra disebutkan bahwa ghazal adalah salah satu jenis puisi lirik asmara terdiri dari delapan larik, tiap lariknya berakhir dengan kata yang sama. Gazal berasal dari sastra Persia dan berpengaruh pada sastra Melayu Lama. Panuti Sudjiman, Kamus Istilah Sastra, (Jakarta: UI-Press, 1990), hal. 33

71 Menurut Abu al-Faraj al-Ishfahâni, al-Muhalhil ibn Rabî’ah adalah orang yang pertama kali menggunakan ghazal sebagai mukadimah dalam syairnya. Pendapat ini juga didukung oleh ‘Abd al-Qâdir al-Baghdâdi. Husein ‘Athwân, Muqaddimah al-Qasîdah al-‘Arabiyah fi al-‘Ashr al-Jâhili, (Mesir: Dâr al-Ma’ârif, tth), hal. 92

72Husein ‘Athwân, Muqaddimah al-Qasîdah al-‘Arabiyah fi al-‘Ashr al-Jâhili, hal. 92 73Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lâm, hal. 550


(26)

mengingat tempat-tempat percintaan dengan semilir angin, kilat yang berkilau, burung merpati pembawa kabar, mimpi-mimpi yang hadir, puing-puing bangunan yang masih tersisa, serta benda-benda lainnya yang mulai menghilang.74

Nasîb dalam literature sastra Arab Jahiliyah memiliki peranan yang sangat penting, dan menempati posisi awal dalam tema-tema syair lainnya. Sehingga meskipun yang diinginkan adalah tema-tema lain, namun nasîb akan disajikan terlebih dahulu sebagai prolog75. Nasîb dianggap sebagai hiburan hati dan kesenangan jiwa, karena spiritnya adalah cinta, dan cinta adalah rahasia dalam setiap kehidupan manusia. Dan masyarakat Badawi adalah kelompok manusia yang paling merindukan cinta, karena perasaan sepi yang selalu meliputi mereka, pertemuan dengan beraneka macam suku baik pada saat musim panas maupun musim semi. Maka pada saat perpisahan terjadi, setiap pecinta menguntai kata cintanya, lalu di kemudian hari mereka kembali ke tempat tersebut dan membangkitkan perasaan duka akibat perpisahan, lalu kembali menguntai kata dengan syair untuk mengingat kembali hal yang telah terjadi di antara mereka pada saat melihat jejak-jejak dan puing-puing yang ditinggalkan kekasihnya.76

Berkaitan dengan kedudukan perempuan dalam syair Jahiliyah, al-Iskandari dkk., dalam bukunya al-Mufashshal fi al-Adab al-‘Arabi menyatakan bahwa, penyair Jahiliyah, selain dalam syair ritsâ, biasanya hanya menggunakan satu metode dalam menyusun kasidahnya, yaitu selalu diawali dengan tasybîb, yakni menyebutkan terlebih dahulu dalam kasidahnya perempuan dan segala hal yang berkaitan dengannya, seperti menyebutkan kepergian mereka dari satu tempat ke tempat lain, berhenti di atas puing-puing peninggalan mereka, menangisi rumah sepeninggal mereka, kecantikannya, perasaan cintanya pada perempuan, kendaraan atau unta yang dikendarainya, cepat dan lambatnya cara mereka berjalan, dan lain sebagainya.77

74 Muhammad Ridla Marawwah, Umru al-Qais; al-Malik al-Dlillîl, (Beirut: Dâr Kutub al-Ilmiyah, 1411 H/ 1990 M), cet. 1, hal. 45-46

75 Prolog (prologue) adalah pembukaan atau permulaan yang mengantarkan karya sastra dan yang merupakan bagian karya sastra tersebut, namun sifatnya berbeda dari prakata. Dalam bahasa Arab disebut dengan mukadimah.

76 Ahmad al-Iskandari dan Mushtafa ‘Inani, al-Wasîth fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi, hal. 47 77 Al-Iskandari dkk., al-Mufashshal fi al-Adab al-‘Arabi, (tp: Maktabah al-Adab, tth), hal. 112-113


(27)

Untuk itu menurut Yûsuf Khalîf, perempuan menempati posisi yang sangat penting dalam tradisi sastra Arab Jahiliyah, sehingga dalam budaya tersebut, ia ibarat ruh yang menghidupkan sebuah syair. Tasybîb78 dalam syair Jahiliyah sudah dianggap

sebagai tardisi sakral yang tidak boleh terlewatkan.79 Syair dalam bentuk seperti ini sangat disukai para penyair Arab Jahiliyah bahkan hingga saat ini.80

Berikut ini contoh ghazal dari penyair Badawi terkenal ‘Antarah ibn Syaddad untuk sang kekasih ‘Ablah:

ء ع حي م ل تم

81

م ظحل

ب

ء ن ل

82

Gadis cantik nan rupawan itu memanah hatiku

Dengan panah (kerlingan) matanya yang tidak ada obatnya

ه ن نيب يعل

م

83

ء ن حل

ل ل م

Pada hari raya ia berjalan di antara gadis-gadis

Bagai mentari-mentari, kerlingan mata mereka bagaikan kijang

Tradisi ghazal, nasîb ataupun tasybîb ini, biasanya hanya dilakukan oleh para penyair pria, untuk itu saya (penulis) menganggap bahwa inilah salah satu corak syair feminis yang terdapat dalam syair Jahiliyah, yaitu syair hasil karya kaum laki-laki yang secara khusus berbicara tentang perempuan, sikap dan cara pandang mereka terhadap perempuan, baik mewakili individu masing-masing ataupun hal-hal yang menggambarkan perilaku sosial secara umum.

Tema lainnya yang disukai penyair Jahiliyah adalah madh. Madh adalah sejenis syair yang dibuat dengan tujuan untuk memuji sesuatu atau seseorang. Pada dasarnya ada kemiripan antara syair madh dan fakhr, yaitu keduanya sama-sama berisikan pujian.

78 Yusuf Khalif menyebut al-tasybib dengan sebutan al-muqaddimat al-gharamiyah yang artinya pendahuluan puisi cinta.

79 Yusuf Khalîf, Dirâsat fi al-Syi’r al-Jâhili, (ttp: Maktabah Gharîb, tth), hal. 74

80Muhammad Sa’ad ibnu Husain, al-Adab al-‘Arabi wa Tarikhihi, (al-Mamlakah al-‘Arabiyah al-Su’udiyah: Wuzarat al-Ta’lim al-‘Ali, 1410 H), hal.

81‘Adzrâ adalah gadis yang belum disentuh laki-laki (virgin) 82Bahr kâmil: mutafâ’ilun-mutafâ’ilun, dengan qâfiyah mutawâtir

83 Nawâhid adalah bentuk jamak dari nâhid atau nâhidah yang artinya anak gadis dengan payudara yang bulat dan membusung, artinya gadis remaja yang sedang ranum.


(28)

Akan tetapi jika madh merupakan pujian untuk orang lain, fakhr adalah pujian yang digunakan untuk membanggakan diri sendiri (narsis).84

Di dalam syair Jahiliyah, tradisi madh biasanya tidak dilakukan kecuali jika orang yang dijadikan objek pujian itu memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari sang penyair. Untuk itu, madh seperti ini, biasanya dibuat secara berlebih-lebihan dengan tujuan untuk mengambil hati seseorang atau mencari muka agar orang tersebut tertarik dan memberikan imbalan padanya. Corak syair seperti ini, mayoritas dilakukan oleh para penyair istana.85 Sebagai contoh, syair madh yang dibuat al-Nâbighah al-Dzubyâni penyair istana (penyair komersil) yang ditujukan untuk al-Nu’mân ibn al-Mundzir saat ia mohon pengampunan atas kesalahan yang ia lakukan, yang salah satunya bait berikut ini:

س

ع ه ت مل

ب ي ن ،ك م لك ت

86

Tidakkah engkau melihat, bahwa Allah telah memberikan kedudukan yang tinggi padamu, yang dengan itu engkau dapat menyaksikan semua raja yang ada di bawahnya merasa tergoncang

بك ك

ل س ش كن ف

بك ك ن م ي مل تع

87

Sesungguhnya engkau adalah mentari, dan raja-raja itu bintangnya Jika mentari terbit, tidak ada satupun bintang yang tampak

Tema yang ketiga adalah hijâ’ atau syi’ir ejekan88. Syair hijâ adalah syair yang dibuat untuk membangkitkan permusuhan, kemarahan, kebencian, kedengkian,

84 Ibrâhîm ‘Alî Abu al-Khasyâb dan Ahmad ‘Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi Adab

al-Jâhili, hal. 54

85 Ibrâhîm ‘Alî Abu al-Khasyâb dan Ahmad ‘Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi Adab

al-Jâhili, hal. 55-56

86Bahr Thawîl: fa`ûlun - mafâ`îlun - fa`ûlun - mafâ`ilun

87 ‘Abbâs ‘Abd al-Sâtir, Dîwân al-Nâbighah al-Dzubyâni, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1416 H/1996 M), hal. 28

88 Di dalam sastra Barat hija’ mungkin yang dikenal dengan istilah sarkasme (sarcasm,

sarcasme), sebuah bentuk ironi yang mengandung kepahitan serta kekasaran. Sarkasme bersifat mencemoohkan, menyakitkan hati, selalu ditujukan kepada pribadi tertentu. Kamus Istilah Sastra, hal. 71


(29)

perselisihan, perpecahan, fanatisme kesukuan, membela seseorang, dan yang paling popular pada masa Jahiliyah adalah untuk mengobarkan api peperangan.89

Penulis buku al-Hija, membagi jenis syair ini ke dalam lima bagian, yaitu al- hijâ al-syakhshî, al- hijâ al-akhlâqî, al- hijâ al-siyâsî, al- hijâ al-dînî, dan hijâ al-ijtimâ’î. Al- hijâ al-syakhshî adalah syair yang dibuat untuk mengejek pribadi seseorang dari segi fisik seperti mulut, gigi, mata, jenggot, rambut, kulit yang hitam, suara, dan lain sebagainya. Al- hijâ al-akhlâqî digunakan untuk mengejek seseorang dari segi mental, seperti sifat pengecut, pelit, dungu, dan sifat-sifat negative lainnya. Al- hijâ al-siyâsî adalah syair yang dibuat untuk kepentingan politik. Pada masa Jahiliyah syair seperti ini sangat digemari oleh masyarakat karena terkait erat dengan fanatisme kesukuan sebagai salah satu sistem politik yang mereka anut, di samping itu tentu saja untuk membangkitkan semangat peperangan dan balas dendam di antara mereka.

Al- hijâ al-dînî adalah bentuk syair yang dibuat dalam rangka membela dan mempertahankan agama. Jenis ini lebih banyak dilakukan pasca kedatangan agama Islam, sebab pada masa Jahiliyah, agama bukanlah suatu elemen yang dapat memicu suatu peperangan. Sebagaimana kita ketahui, peperangan pada masa itu biasanya lebih disebabkan oleh persoalan ekonomi. Al- hijâ al-ijtimâ’î adalah syair yang dibuat untuk mengkritisi kondisi sosial yang tidak sesuai dengan apa yang mereka inginkan dan harapkan. Sebagaimana diketahui bahwa masyarakat Arab Jahiliyah memiliki tradisi yang mengagungkan keberanian, kedermawanan, memelihara kehormatan tetangga, dan membalas dendam, maka jika ada anggota masyarakat yang tidak melakukan hal-hal seperti itu, inilah yang kemudian menjadi sasaran dari Al- hijâ al-ijtimâ’î (kritik sosial).90

Sebagai contoh syair yang diucapkan oleh Ubaid ibn Abrash untuk Umru al-Qais, setelah kaumnya membunuh ayah Ubaidh:

89Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, (tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 56

90 Keterangan lengkap tentang syair hijâ , lih., Tim Penulis, al-Hijâ, (ttp: Dâr al-Ma’arif, tth), hal. 5-91


(30)

ع ج ف لأ نحن

# ج

يل م ج مث كع

91

Kamilah yang terbaik, maka kumpulkanlah pasukanmu Lalu hadapkan pada kami

ي ح ل حي م ا # ـي ح م حب ل

92

Kami halalkan yang kamu lindungi

Namun tidak halal (bagimu) apa yang kami lindungi

Syair ini adalah salah satu contoh dari al-hija al-siyasi yang dibuat oleh penyair untuk menantang seseorang atau kelompoknya yang dalam hal ini adalah kaum dari Umru al-Qais untuk berperang.

Hamâsah (heroic poems). Secara umum yang dimaksud dengan hamâsah adalah syair kepahlawanan. Di dalam sastra Arab yang dimaksud dengan hamâsah adalah salah satu jenis syair yang bertemakan tentang peristiwa peperangan yang sangat terkenal, tempat peristiwa peperangan, kisah kepahlawanan yang fenomenal, kemenangan yang terus menerus, kekuatan dan keberanian, intrik dan strategi perang, pertahanan dan perlindungan terhadap kabilah, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan dunia perang. Dunia padang pasir yang sangat keras juga tradisi mereka yang suka berperang, menjadikan hamâsah sebagai salah satu corak syair yang digemari di kalangan masyarakat Arab Jahiliyah.93

Syair hamâsah terkait erat dengan syair fakhr, bedanya adalah jika fakhr merupakan syair yang digunakan untuk membanggakan diri secara umum, sedangkan hamâsah digubah secara khusus sebagai spirit saat maju ke medan perang, mengahadapi

marabahaya. Sebagai contoh syair Shafiyyah binti Tsa’labah al-Syaibâniyah yang

91Bahr Kâmil: mutafâ`ilun - mutafâ`ilun - mutafâ`ilun

92Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, hal. 57

93Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, hal. 61


(31)

bergelar al-Hujajiyah94, saat ia datang pada Kabilah Dzuhl mengajak mereka untuk memerangi Kisrâ95 berikut ini:

ل ي ا عل ي يل

خ يج م ي

96

Hari ini adalah hari kemenangan, bukan hari penyesalan

Hari bagi orang-orang yang bersenjata lembing, para pahlawan, dan prajurit

م

ت ج

أ هب ي

غ ضي ل ت ف س

م

ل

Hari di mana para arwah terpisah dengan jelas

Kalian pasti akan melihat bangsa ini esok pagi tersenyum bahagia

مت يل عف له

ص

Andai Bani Dzuhl bersabar, pasti kemenangan hari ini akan sempurna

Jenis syair lainnya yang sangat digemari terutama oleh penyair perempuan adalah ritsâ. Jenis syair ritsâ telah dikenal lama di dalam perjalanan sastra Arab Jahiliyah. Di dalam sastra dunia, ritsâ dikenal dengan istilah elegi, yaitu sajak atau lagu yang mengungkapkan rasa duka atau keluh kesah karena sedih, rindu, atau murung, terutama karena kematian seseorang.97 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan ritsâ dalam syair Arab adalah syair ratapan. Syair ini biasanya digubah sebagai ungkapan bela sungkawa atas kejadian yang menyedihkan.

Menurut tim penulis buku al-Ritsâ98, ada tiga jenis ritsâ yang biasanya dibuat

oleh penyair, yaitu al-nadb, al-ta’bîn, dan al-‘azâ. Al-nadb adalah ritsâ yang dibuat untuk meratapi dan menangisi orang yang meninggal dunia sebagai ungkapan duka cita, dengan menggunakan kata-kata yang menyayat hati, sehingga mampu membuat luluh hati yang keras dan melelehkan air mata yang beku. Bagaimana tidak, sebab biasanya ritsâ ini diungkapkan secara berlebihan, diucapkan dengan suara yang keras dan

94 al-Hujajiyyah berasal dari kata hujjah yang berarti argumen. Gelar ini diberikan pada Shafiyyah karena kemampuannya dalam berdiplomasi politik, sehingga ia mampu mempersatukan kabilah-kabilah Arab untuk menyerang raja Persia.

95 Gelar bagi raja Persia

96Bahr Rajaz: mustaf`ilun - mustaf`ilun - mustaf`ilun

97 Istilah lain dalam bahasa Indonesia adalah puisi ratapan atau sajak ratap. Panuti Sudjiman,

Kamus Istilah Sastra, hal. 27

98 Tim Penulis, al-Ritsâ, (ttp: Dâr al-Ma’ârif, tth). Penjelasan lengkap mengenai ritsâ, dapat dilihat dalam buku tersebut.


(1)

Mahmud Khalil, Ibrahim, al-Naqd al-Hadits min al-Muhakah ila al-Tafkik, Oman: Dar al-Masira, 1424 H/ 2003 M

Mernissi, Fatima, translated by Mary Jolake Land, Women and Islam; An Historical and Theological Enquiry, Oxford & Cambridge: Blackwell, 1991

Misbah, Ma’ruf, dkk, Sejarah Peradaban Islam, Semarang: Wicaksana, 1994 ---, Dîwan Tharfah ibn al-`Abd, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1407 H/1987 M Muhanif, Ali, Perempuan Dalam Literatur Islam Klasik, Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama, 2002

Muhammad Khamîs, Muhammad, Dirâsât fi al-Adab al-`Arabi al-Hadîts, ttp: Jâmi`ah al-Azhar, 2001

Murawwah, Muhammad Ridla, Umru al-Qais; al-Malik al-Dlillîl, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1411 H/1990 M

Muthahhari, Murtadha, The Right of Women In Islam, Tehran: Wofis, 1981 M / 1401 H Nababa, P.W.J., Sosiolinguistik; Suatu Pengantar, Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama, 1993

Nâshif, Mushthafâ, Dr., Dirâsat al-Adab al-Arabî, Kairo: al-Dâr al-Qawmiyah, tth Nashiruddin, Mahdi Muhammad (syarah), Dîwan Ahthal, Beirut: Dâr kutub

al-Ilmiyah, 1414 H/ 1994 M.

Nashr, Muhammad Ibrahim, al-Naqd al-Adabi fi al-`Ashr al-Jâhili wa Shadr al-Islâm, Riyadh: Dâr al-Fikr al-‘Arabi, 1398 H

Nasucha, Ahmad Masruch, Kaum Wanita dalam Pembelaan Islam, Semarang: CV. Toha Putra, tth.

Nasution, Harun, Teologi Islam, Jakarta: UI-Press, 1986

Al-Nawaihi, Muhammad, al-Syi’r al-Jahili; Manhaj fi Dirâsatihi wa Taqwîmihi, Kairo: al-Dar al-Qaumiyah li al-Thaba’ah wa al-Nasyr, tth.

Nurdin, M. Amin, dan Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi, Jakarta: UIN Press, 2006, cet. 1


(2)

Pateda, Mansoer, Sosiolinguistik, Bandung: Angkasa, 1992

Pattie, David, The Complete Critical Guide to English Literature, London and NewYork: Routledge, 2000, cet. 1

Quthb, Muhammad, Manhaj al-Fann al-Islâmi, Kairo: Dâr al-Syurûq, 1408 H/ 1987 M Al-Rabî’i, Mahmûd, fi al-Naqd al-Syi’r, Mesir: Dâr al-Ma’ârif, 1968

Ramet, Sabrina Petra, Gender Reversals & Gender Cultures, Routledge: London and New York, 1996

Rasyâd, Ahmad, Dîwan Hâtim al-Thâ’i, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1406 H/1986 M), cet. 1

Rasyîd al-`Uwayid, Muhammad, Min Ajli Tahrîr Haqîqi li al-Mar’ah, Kuwait: Dâr ibn Hazm, 1413 H/1993 M

Roded, Ruth, Women in Islamic Biographical Collections, London: Lynne Rienner, 1994

Romesburg, James, Definitions of Feminist Literary Criticism, (hubcap.clemson.edu/~spark/f/c/flitcrit,html), link update in July 2003

ْْْAl-Sadawi, Nawal, & Arab Feminist Poetics, Men, Women, and God (s), Bakeley, Los Angeles, dan London: California Press, 1995

---, The Hidden Face of Eve, (terjemah), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001

---, al-Wajh al-`Ârî li al-Mar’ah al-`Arabiyah, Kairo: Dâr wa Mathâbi` al-Mustaqbal, 1994, cet. 3

Sa’îd Mubaidh, Muhammad Ilâ Ghair al-Muhajjabât Awalan, Daha: Dâr al-Tsaqâfah, 1988

Sallâm, Muhammad Zaghlûl, Târikh al-Naqd al-Adabî wa al-Balâghah, Iskandariyah: Mansya’ah al-Ma’ârif, 1996

Schaefer, Richard T., Sociology, New York: McGraw-Hill, 2003

Salim, Muhammad Ibrahim (tahqîq), Thabâ’i al-Nisâ’ wa mâ Jâ’a fihâ min ‘Ajâ’ib wa Gharâ’ib wa Akhbâr wa Asrâr li al-Faqîh Ahmad ibn Muhammad ibn ‘Abd Rabbah al-Andalusî Shâhib al-‘Aqd al-Farîd, Kairo: Maktabah al-Qur’an, tth


(3)

Sâlim, Ahmad Muhammad, Mar’ah fi Fikr `Arabi Hadîts, Mesir: Hai’at al-Mishriyat al`Âmah li al-Kitâb, 2003

Al-Sahamrânî, Ahmad, al-Mar’ah fi al-Târîkh wa al-Syarî`ah, Beirut: Dâr al-Nafâ’is, 1410 H/1989 M.

Sapir, Edward, Language, ttp: tp, tth

Selden, Rahman, Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991, cet. 2

Semi, Atar, Kritik Sastra, Bandung: Angkasa, tth ---, Metode penelitian Sastra, Bandung: Angkasa, tth

Shaikh, N.M., Women in Muslim Society, New Delhi: Kitab Bhavan, 1991

Siyaba’i, Muhammad al-, al-Mar’ah al-Jadîdah fî Markazihâ al-Ijtimâ’i, tp: Husnaini Husein, tth

Soekanto, Soerjono, Sosiologi; Suatu Pengantar, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002, cet. 34

Al-Solh, Camillia Fawzi, & Judy Mabro, Muslim Womens; Choices, Religious belief and Social Reality, Oxford: Berg, 1994

Sudarno, M.Ed, drs. dan Eman A. Rahman, drs, Terampil Berbahasa Indonesia, (Jakarta: PT Hikmat Syahid Indah, tth

Sudjiman, Panuti, Kamus Istilah Sastra, Jakarta: UI-Press, 1990

Sugihasti, Wanita di Mata Wanita Perpspektif sajak-sajak Toeti Herawaty, Bandung: Nuansa, 2000

Suharto, Sugihastuti, Kritik Sastra Feminis; Teori dan Aplikasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, cet. 2

Syâhîn, Kâmil al-Sayyid, al-Lubâb fi al-`Arûdl wa al-Qâfiyah, Mesir: Jumhûriyat Mishr al-`Arabiyah, 1414 H/ 1993 M

Al-Syâyib, Ahmad, Ushul al-Naqd al-Adabi, tth: Maktabah al-Nahdlah al-Misriyah, 1964


(4)

Thababah, Badawi, Dirasat fi Naqd Adabi Arabi, Kairo: Maktabah Enjelo al-Mishriyah, 1965, cet. 4

Tim penulis Pusat Studi Wanita (PSW), Pengantar Kajian Gender, Jakarta: PSW UIN Syarif Hidayatullah McGill Project/IISEP, 2003

Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: Balai Pustaka, 1995, edisi ke-2, cet. 5

Tim Penulis, al-Ritsâ, (ttp: Dâr al-Ma’ârif, tth

Tong, Rosemarie Putnam, Feminist Thought, terjemah Aquarini Priyatna Prabasmoro, Yogyakarta: Jalasutra, 1998

Al-Umam, Chathîb, al-Muyassar fi `Ilm al-`Arûdl, Jakarta: Syirkah Hikmah Syahid Indah, 1992

Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an, Jakarta: Paramadina, 2001

Umar Nasif, Fatimah, Menggugat Sejarah Perempuan, terjemah dari Women In Islam: A Discourse in Rights and Obligations, (Jakarta: CV. Cendekia Sentra Muslim, 2001

‘Uwain, Muhammad ibn ‘Abdillah al-, Shûrah al-Mar’ah fi al-Qishshah al-Su’ûdiyah, (Riyâdh: Maktabah al-Malik ‘Abd al-‘Azîz al-‘Âmah, 1423 H / 2002 M), hal. 14631-484

Vadet, Jean-Claude, (terjemah Ibrâhîm al-Kailâni), al-Ghazal `ind al-`Arab, Suriah: Wuzârat al-Tsaqâfah, 1985, cet. 2

Wâfî, `Alî Abd al-Wâhid, al-Lughah wa al-Mujtama`, Kairo: Dâr al-Nahdlah Mashra` al-Mathba` wa al-Nasyr, 1971

Waluyo, Herman J., Teori dan Apresiasi Puisi, ttp: Erlangga, 1995

Wehr, Hans, A Dictionary of Modern Written Arabic, Beirut: Maktabah Lubnan, 1974 Wellek, Renne dan Austin Warren, Teori kesusastraan, Jakarta: Gramedia, 1995

Wolf, Naomi (terjemah Alia Swastika), Mitos Kecantikan: Kala Kecantikan Menindas Perempuan, Yogyakarta: Niagara, 2004


(5)

Ya`qub, Emil Badî’, al-Mu’jam al-Mufashshal fi Ilm al-‘Arudh wa al-Qâfiyah wa Funûn al-Syi’r, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1991 M/1411 H

Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995, cet. 3

Yusuf Farran, Muhammad, Zuhair ibn Abi Sulma; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1411 H/1990 M

Al-Zabî’, Muhammad ibnu Abd al-Rahmân, Adab Arabi wa Târikhuhu, al-Mamlakat al-Arabiyat al-Su’ûdiyah: Wuzârat al-Ta’lîm al-‘A’lâ, 1410 H

Zahrân, al-Badrâwi, Muqaddimah fi ‘Ulûm al-Lughah, Mesir: Dâr al-Ma’ârif, 1993, cet. 5

Al-Zauzani, Ibn `Abdillah al-Husein, Syarh al-Mu`allaqât al-Sab`, Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyah

Zaidan’s, Jurji, History of Islamic Civilization, New Delhi: Kitab Bhavan, 1978 ---, al-`Arab Qabla al-Islam, tp: Dar al-Hilal, tth

Al-Zayâdî, Muhammad Fathullah, Dr., Ta’ammulât fi Qadlâya al-Mar’at al-Muslimah, tp: Jami`yât al-Da`wat al-Islamiyât al-`Âlamiyah, 1430 H/2000 M.

Zayyât, Ahmad Hasan al-, Târikh al-Adab al-Arabi, Kairo: Dâr al-Nahdhah, tth

Zurzûr, Na`îm (syarah dan tahqîq), Dîwân Imâm `Ali, (Beirut: Dâr Kutub al-`Ilmiyah, 1316 H/ 1995 M)


(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Cahya Buana, lahir di desa Sirnasari kecamatan Agrabinta kabupaten Cianjur pada tanggal 30 Juni 1975 dari seorang ayah berprofesi guru dan ibu petani. SDN Sirnasari adalah pendidikan formal pertama yang dikecap oleh penulis antara tahun 1982-1988. Pada tahun yang 1988 penulis melanjutkan pendidikan tingkat menengah di MTsN Tanggeung yang masih terletak di kabupaten Cianjur dan menjadi alumni pada tahun 1991. Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan di pondok pesantren Daarul Ulum Bantar Kemang Bogor selama empat tahun dan menjadi alumni pada tahun 1995. Pada tahun 1995, penulis melanjutkan pendidikan di Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta jurusan Bahasa dan Sastra Arab dan menyelesaikan studi selama 8 semester atau tepatnya hingga tahun 1999 dengan predikat terbaik fakultas. Pada tahun 2001, penulis melanjutkan ke tingkat Magister (S2) di Pascasarjana UIN Syairif Hidayatullah Jakarta dengan konsentrasi Bahasa dan Sastra Arab hingga tahun 2003. Pada tahun 2003 pula penulis mulai mengajar sebagai tenaga honorer di Fakultas Adab dan Humaniora dan pada akhir tahun 2003 diangkat menjadi CPNS di fakultas yang sama. Pada tahun 2006 penulis melanjutkan studi Doktoral (S3) di Sekolah Pasacasarja UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan konsentrasi yang sama selama 5 semester dan lulus pada tahun 2009 sebagai mahasiswa tercepat studi. Saat ini penulis aktif sebagai salah seorang pengajar dan Sekretaris Jurusan Bahasa dan Sastra Arab di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.