TINDAK TUTUR DALIHAN NA TPLU PADA PROPESI MAKKOBAR DALAM UPACARA PERKAWAINAN ADAT ANGKOLA-MANDILING.

(1)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... i

LEMBAR PERNYATAAN ... ii

ABSTRAK ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

UCAPAN TERIMA KASIH ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian ... 1

1.2 Batasan dan Rumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

1.5 Definisi Operasional ... 7

BAB II PERISTIWA TUTUR, TINDAK TUTUR, DAN JENIS-JENIS TINDAK TUTUR DALAM UPACARA PERKAWINAN ADAT ANGKOLA-MANDAILING 2.1 Peristiwa Tutur ... 8

2.2 Tindak Tutur ... 10

2.2.1 Tiga Tingkat Tindak Tutur ... 11

2.2.2 Jenis-jenis Tindak Tutur ... 12

2.2.3 Aspek-aspek Situasi Tuturan ... 18

2.3 Upacara Perkawinan Adat ... 21

2.3.1 Upacara Perkawinan Adat Agkola-Mandailing ... 23

2.3.2 Dalihan na Tolu ... 24

2.4 Interaksi Ritual... 25

2.5 Tuturan dalam Interaksi Ritual ... 26

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian ... 28

3.2 Sumber Data ... 28

3.2.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 29

3.3 Teknik Pengumpulan Data ... 30


(2)

BAB IV DESKRIPSI PROSESI MAKKOBAR, ANALISIS, DAN PEMBAHASAN TINDAK TUTUR YANG DIGUNAKAN

DALIHAN NA TOLU

4.1 Deskripsi Prosesi Makkobar ... 32

4.2 Analisis dan Pembahasan ... 35

4.2.1 Tindak Tutur Suhut ‘tuan rumah’ I ... 35

4.2.2 Tindak Tutur Suhut ‘tuan rumah’ II ... 39

4.2.3 Tindak tutur Kahanggi ‘barisan satu marga’ I... 50

4.2.4 Tindak Tutur Kahanggi ‘barisan satu marga’ II ... 54

4.2.5 Tindak Tutur Anakboru ‘barisan menantu’ I ... 61

4.2.6 Tindak Tutur Anakboru ‘barisan menantu’ II... 67

4.3 Tindak Tutur yang Dominan Digunakan Dalihan na tolu ... 70

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 82

5.2 Implikasi ... 84

5.3 Saran ... 86

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN


(3)

BAB I PENDAHULUAN

Bab I ini berisi pendahuluan yang membahas latar belakang penelitian. Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, peneliti melakukan batasan masalah dan rumusan masalah. Tujuan penelitian ini untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan sehingga diperoleh berbagai manfaat penelitian. Definisi operasional juga terdapat pada bab ini untuk memahami istilah-istilah yang akan dibahas pada pembahasan selanjutnya.

1.1Latar Belakang Penelitian

Indonesia memiliki keanekaragaman budaya, termasuk bahasa. Bahasa inilah yang menjadi kekayaan tersendiri. Sumatera Utara merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki kekayaan tersebut. Terdapat lima subetnis suku Batak di Sumatera Utara, di antaranya Batak Toba, Batak Simalungun, Batak Karo, Batak Pakpak, dan Angkola-Mandailing.

Masyarakat Mandailing memiliki bahasanya sendiri, yaitu bahasa Mandailing. Berdasarkan klasifikasi bahasa yang ditawarkan Mulyana, bahasa Mandailing termasuk rumpun bahasa Austronesia. Bahasa Mandailing terdiri atas lima ragam bahasa yang masing-masing kosa katanya berbeda satu sama lain.

Kelima ragam bahasa itu adalah (1) hata somal, yaitu ragam bahasa yang dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari, (2) hata andung, yaitu ragam bahasa sastra yang dipakai dalam tradisi mangandung (meratap) pada upacara adat perkawinan atau kematian, (3) hata teas dohot jampolak, yaitu ragam bahasa yang dipakai dalam pertengkaran atau mencaci-maki seseorang (4) hata si baso, yaitu


(4)

ragam bahasa yang secara khusus digunakan si baso (tokoh shaman) atau datu (dukun), dan (5) hata parkapur, yaitu ragam bahasa yang dipergunakan orang Mandailing di masa lalu ketika mereka berada di dalam hutan untuk mencari kapur barus. Misalnya kata “mata” dapat dipakai untuk memperlihatkan kosa katanya. Dalam hata somal, indra penglihatan ini disebut mata, dalam hata andung adalah simanyolong, dan dalam hata teas dohot jampolak adalah loncot.

Masyarakat Angkola-Mandailing menggunakan ungkapan dalam setiap upacara adat. Ungkapan-ungkapan itu mempunyai makna yang berupa nasihat atau petuah. Makna dari setiap ungkapan mengandung unsur mendidik.

Upacara adat adalah salah satu upacara yang penting bagi masyarakat Angkola-Mandailing yang termasuk upacara adat bagi masyarakat Angkola Mandailing adalah upacara syukuran dan kematian. Upacara syukuran terdiri dari perkawinan, memasuki rumah baru, serta kelahiran.

Perkawinan bagi masyarakat Angkola-Mandailing adalah mempertemukan Dalihan na tolu dari orang tua pengantin laki-laki dengan Dalihan na tolu dari orang tua pengantin perempuan (Siahaan, 1982:50).

Dalihan artinya tungku yang terbuat dari batu, na artinya yang, tolu artinya tiga. Jadi Dalihan na tolu adalah tiga tiang tungku. Tiga tiang tungku ini dipergunakan untuk memasak apa saja. Tungku yang baik atau sempurna apabila terdiri dari tiga tiang. Memang ada tungku yang terdiri dari dua tiang atau lebih, tetapi tidak sempurna karena alat-alat masak di atasnya masih dapat goyah (Gultom, 1992:52). Ketiga unsur yang berdiri sendiri tidak akan ada artinya, tetapi kalau ketiga unsur ini bekerja sama barulah memiliki manfaat. Unsur pertama


(5)

Dalihan na tolu terdiri atas Suhut „tuan rumah‟ dan Kahanggi „barisan satu marga‟, Mora „barisan mertua‟, dan Anakboru „barisan menantu‟.

Ketiga unsur tersebut memegang peran penting dalam lingkungan kekeluargaan masyarakat Angkola-Mandailing. Tutur sapa menjadi lancar kalau ketiga unsur tersebut jelas keberadaannya serta saling memerlukan dan berfungsi sesuai dengan kedudukannya. Dalihan na tolu dipergunakan dalam setiap upacara adat masyarakat Angkola-Mandailing tanpa Dalihan na tolu suatu upacara tidak bisa dikatakan upacara adat (Siahaan, 1982:45).

Menurut Parsadaan Marga Harahap dohot Anak Boruna bahwa upaya untuk kembali pada situasi kehidupan tradisional, sekalipun hanya dalam upacara adat merupakan upaya yang tidak ringan. Hal ini disebabkan akar budaya Mandailing telah tercabut oleh perubahan. Keadaan ini akan semakin nyata sebagai dampak nasionalisasi informasi budaya melalui jaringan siaran televisi yang lebih diperkuat lagi oleh gerakan listrik masuk desa. Erosi terhadap nilai tradisi belum berhenti sampai di situ karena sedang berlangsung pula globalisasi informasi yang dimungkinkan oleh penerimaan siaran televisi internasional (Parsadaan Marga Harahap, 1993:143).

Penelitian tentang Angkola-Mandailing pernah dilakukan oleh Hasibuan (2005) dengan judul “Perangkat Tindak Tutur dan Siasat Kesantunan Berbahasa (Data Bahasa Mandailing).” Penelitian tersebut memaparkan bahwa dalam setiap budaya, termasuk budaya penutur bahasa Mandailing, ditemukan adanya prinsip umum kesantunan. Di antara prinsip umum kesantunan itu adalah sifat kearifan,


(6)

murah hati, rendah hati, dan sifat simpati terhadap orang lain. Dalam masyarakat Mandailing, prinsip kesantunan diperoleh melalui pembelajaran agama dan norma adat setempat, baik formal maupun informal. Partisipan yang terlibat dalam interaksi seyogianya menyadari adanya prinsip dan norma semacam itu. Namun, belakangan sering terjadi kesenjangan ketika berinteraksi, tidak semua prinsip dan norma itu terlaksana.

Selain itu, Harahap pun (2007) telah meneliti tentang ragam bahasa Mandailing dengan judul “Makna Hata-hata Jampi dalam Bahasa Angkola Mandailing”. Penelitian tersebut ditemukan bahwa rangkaian hata-hata jampi berbeda dengan hata-hata umpama sebagai salah satu ragam bahasa Angkola Mandailing. Rangkaian hata-hata jampi semuanya berhubungan sehingga tidak ada yang disebut sampiran seperti halnya pantun. Adanya keterkaitan makna seluruh kata yang digunakan dalam hata-hata jampi dapat dirasakan sesudah menganalisis makna konteksnya. Jadi, dari kajian makna harfiah dan makna konteks tergambar bahwa seluruh kata yang digunakan memiliki keterkaitan. Dewasa ini pemakaian hata-hata jampi sudah jarang. Demikian juga orang yang menguasainya sudah langka dijumpai. Kalaupun ada, terbatas pada orang-orang tua yang berumur di atas tujuh puluh tahunan yang ingatan dan perhatiannya masih melekat terhadap kelangsungan budaya.

Selanjutnya, Siregar (2003) telah meneliti dengan judul “Fungsi Onang-onang dalam Upacara Adat Perkawinan Batak Angkola.” Penelitian tersebut menyatakan bahwa dalam pelaksanaan upacara adat perkawinan orang Batak Angkola, khususnya upacara adat perkawinan nagadong, penampilan onag-onang


(7)

mutlak dilaksanakan. Penampilan gondang dalam hal ini jelas tidak hanya sebagai pelengkap atau unsur tambahan dari upacara adat perkawinan tapi lebih besar dari itu kehadiran gondang ini adalah bagian dari rangkaian upacara/isi dari seluruh upacara tersebut. Di sinilah yang dimaksudkan dengan makna ganda dari penampilan onang-onang. Istilah onang-onang yang dimaksudkan disini ialah ansambel gondang, panortor, dan onang-onangnya. Tanpa pemilihan gondang, upacara perkawinan adat nagadang tidak dapat dikatakan sempurna dan lengkap juga sebaliknya, penampilan gondang tanpa adat nagodang juga tidak dapat dikatakan sempurna. Inilah yang dimaksud keunikan dari onang-onang.

Berkaitan dengan penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti tersebut. Maka penulis terinspirasi untuk melakukan penelitian tentang tindak tutur Dalihan na tolu pada prosesi makkobar dalam upacara perkawinan adat Angkola-Mandailing.

1.2Batasan dan Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan tersebut, penelitian ini mengkaji tindak tutur dalam upacara perkawinan adat Angkola-Mandailing. Karena keterbatasan waktu penelitian, penulis melakukan pembatasan masalah pada tindak tutur Dalihan na tolu pada prosesi makkobar dikaji dari jenis-jenis tindak tutur.

Sesuai dengan batasan masalah tersebut, penulis merumuskan masalah penelitian ini sebagai berikut.

1. Jenis tindak tutur apa sajakah yang digunakan Dalihan na tolu pada prosesi makkobar dalam upacara perkawinan adat Angkola-Mandailing?


(8)

2. Apakah fungsi tindak tutur yang digunakan Dalihan na tolu pada prosesi makkobar dalam upacara perkawinan adat Angkola-Mandailing?

3. Berapakah jumlah frekuensi setiap tindak tutur yang digunakan Dalihan na tolu pada prosesi makkobar dalam upacara perkawinan adat Angkola-Mandailing?

1.3Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang penelitian, batasan dan rumusan masalah yang telah diuraikan, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:

1. jenis tindak tutur yang digunakan Dalihan na tolu pada prosesi makkobar dalam upacara perkawinan adat Angkola-Mandailing,

2. fungsi tindak tutur yang digunakan Dalihan na tolu pada prosesi makkobar dalam upacara perkawinan adat Angkola-Mandailing,

3. jumlah frekuensi setiap jenis tindak tutur yang digunakan Dalihan na tolu pada prosesi makkobar dalam upacara perkawinan adat Angkola-Mandailing.

1.4Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut.

1. Mengetahui jenis tindak tutur yang digunakan Dalihan na tolu sesuai dengan fungsinya masing-masing sehingga membuat tuturan yang berbeda-beda.

2. Menambah khazanah kepustakaan atau bahan bacaan dalam bidang linguistik.


(9)

3. Memberikan sumbangan pada kajian pragmatik, khususnya kajian tindak tutur.

4. Menjadi bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya.

1.5 Definisi Operasional

Untuk menghindari kesalahan tafsir dalam penggunaan istilah, peneliti memberikan definisi istilah-istilah yang akan ditemukan dalam penelitian ini, di antaranya.

1. Prosesi makkobar adalah pertemuan antara Dalihan na tolu keluarga pengantin laki-laki dengan keluarga pengantin perempuan untuk berbicara dengan tutur sapa yang sangat khusus serta bertujuan untuk memberikan nasihat kepada kedua mempelai.

2. Dalihan na tolu „tungku yang tiga‟ (three pillars) yaitu sistem kekerabatan sosial orang Angkola-Mandailing ditinjau berdasarkan hubungan darah dan perkawinan, terdiri atas pihak Suhut dan Kahanggi (barisan satu marga), Mora (barisan mertua), dan Anakboru (barisan menantu).

Demikian uraian Bab I yang membahas pendahuluan secara umum mengenai keseluruhan tesis ini. Pada Bab II akan dibahas landasan teoretis untuk menjawab rumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya.


(10)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Pada bab II telah diuraikan teori yang digunakan dalam penelitian. Dalam bab III akan dibahas metodologi penelitian yang digunakan, terdiri atas 1) metode penelitian, 2) sumber data, 3) Lokasi dan waktu penelitian, 4) teknik pengumpulan data, serta 5) teknik analisis data.

3.1 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode deskriptif kualitatif analitis. Metode ini digunakan untuk menjelaskan/mendeskripsikan fakta maupun data apa adanya (sesuai dengan realitas). Metode deskriptif dipilih karena penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dengan jelas tentang objek yang diteliti secara alamiah. Menurut paham ini, objek-objek kajian sosial sebenarnya bukanlah apa yang sebatas penampakannya di alam indrawi, tetapi dunia kehidupan manusia adalah dunia simbolisme. Setiap wujud yang indrawi dalam kehidupan manusia merupakan simbol-simbol yang merefleksikan makna-makna (Sobur, 2004:187).

3.2 Sumber Data

Ada beberapa sumber data yang dibutuhkan dalam penelitian ini yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh secara langsung berupa tuturan lisan yaitu tindak tutur. Tuturan tersebut berbentuk kalimat yang terdiri atas satu klausa, dua klausa, atau lebih. Tuturan tersebut diujarkan oleh Dalihan na tolu yang terdiri dari enam penutur.


(11)

Data sekunder dalam penelitian ini adalah literatur yang diperoleh secara tidak langsung untuk mendukung penulisan pada penelitian ini melalui dokumen atau catatan yang berhubungan dengan upacara perkawinan adat Angkola-Mandailing.

Teknik pengambilan sampel penelitian ini digunakan purposive sampling yaitu teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2009:300). Penetapan sampling tidak didasarkan atas keterwakilan dalam hal jumlah responden (besar sampel atau kuantitas), namun berdasarkan kualitas atau ciri-ciri responden yang ingin diwakili.

Sampel dalam penelitian ini adalah pihak keluarga pengantin yang dianggap mampu berbicara tentang adat perkawinan Angkola-Mandailing, yaitu Dalihan na tolu pada pernikahan AT dan ES, yang merupakan suku Mandailing.

Jumlah penutur yang menjadi partisipan dalam penelitian ini sebanyak enam orang. Penutur-penutur tersebut adalah 2 orang Suhut, 2 orang Kahanggi, dan 2 orang Anakboru.

3.2.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

a. Lokasi

Penelitian ini dilaksanakan di Jalan Soripada Mulia Gg. Karya No.14 Padangsidimpuan, Tapanuli Selatan-Sumatera Utara.

b. Waktu Penelitian


(12)

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode simak dan teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data lisan adalah teknik sadap-rekam dengan menggunakan recorder dan catatan lapangan. Dalam proses pengumpulan data, penutur tidak sadar bahwa dirinya sedang diteliti agar didapatkan data senatural mungkin (Alwasilah, 2003:62).

Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data pada penelitian ini: 1) observasi yang dilakukan penulis memiliki langkah yaitu pengidentifikasian pihak Dalihan na tolu yaitu pihak Suhut dan Kahanggi dan pihak Anakboru. Data yang diperoleh penulis terdapat dalam cakupan konsep Dalihan na tolu tersebut. 2) Recorder yang digunakan untuk merekam tuturan Dalihan na tolu pada prosesi makkobar. 3) Dokumentasi yang berguna untuk memperkuat dalam menganalisis data.

3.4 Teknik Analisis Data

Penelitian ini memaparkan data yang telah diperoleh yakni mendeskripsikan jenis dan fungsi tindak tutur dalam upacara perkawinan adat Angkola-Mandailing.

Langkah-langkah analisis data yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut.

1. Merekam Data

Merekam tuturan Dalihan na tolu dengan menggunakan recorder. 2. Mentraskripsikan Data


(13)

Tuturan yang telah direkam dan jelas terdengar dari recorder disesuaikan dengan catatan lapangan dan ditranskripsikan ke dalam bentuk fonetik dalam tuturan ini masih menggunakan bahasa Angkola-Mandailing. Setiap data disusun berdasarkan pola kalimat atau percakapan.

3. Menerjemahkan Data

Menerjemahkan data yang diperoleh dari bahasa Angkola-Mandailing ke bahasa Indonesia dengan menggunakan kamus bahasa Angkola-Mandailing dan dibantu seorang penerjemah yang menguasai bahasa tersebut.

4. Mengklasifikasikan Data

Mengklasifikasikan tindak tutur yang disampaikan Dalihan na tolu pada prosesi makkobar tersebut. Kegiatan analisis dilakukan terus-menerus selama pengambilan data (on going analysis), kemudian disusun secara sistematis. Selanjutnya, pemaparan hasil analisis dilakukan berdasarkan jenis dan fungsi tindak tuturnya, yaitu 1) asertif/representatif, 2) direktif, 3) ekspresif, 4) Komisif, dan 5) deklaratif.

5. Menyimpulkan hasil penelitian tindak tutur yang disampaikan dalam upacara perkawinan adat Angkola-Mandailing.


(14)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Pada Bab IV telah dibahas mengenai jenis dan fungsi tindak tutur yang digunakan Dalihan na tolu beserta tindak tutur yang dominan diujarkan. Temuan dan pembahasan penelitian yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya menciptakan kesimpulan yang merupakan jawaban dari rumusan masalah penelitian ini. Dari kesimpulan tersebut menghasilkan implikasi dan saran yang relevan untuk penelitian selanjutnya.

5.1 Kesimpulan

Dari tuturan Dalihan na tolu yang terdiri dari Suhut dan Kahanggi serta Anakboru dapat diketahui bahwa tindak tutur yang dituturkan ketiga kelompok tersebut sangat berbeda sesuai dengan status sosialnya dalam upacara perkawinan Angkola-Mandailing. Status sosial ditentukan oleh kedudukan seseorang dalam adat perkawinan. Antara Suhut dan Kahangginya terhadap Anakboru maupun terhadap Mora harus bersikap sesuai dengan kedudukannya.

Suhut terhadap Kahangginya harus bijaksana terhadap Anakborunya harus pandai mengambil hatinya terhadap Mora harus hormat. Walaupun di antara ketiganya berbeda-beda. Namun satu sama lain tidak ada yang lebih rendah atau lebih tinggi. Mereka harus saling menghormati, saling menghargai kedudukan masing-masing sesuai dengan situasi, kondisi, dan kedudukannya yang dapat berganti.

Berdasarkan hasil analisis data diperoleh temuan bahwa jenis-jenis tindak tutur yang digunakan Dalihan na tolu pada prosesi makkobar dalam upacara perkawinan adat Angkola-Mandailing sebagai berikut.


(15)

1. Semua jenis tindak tutur yang dikemukakan Searle muncul dalam prosesi tersebut, yaitu direktif dengan bentuk tutur memperingatkan, memerintah, dan memberikan nasihat, komisif dengan bentuk tutur doa dan harapan, ekspresif dengan bentuk tutur mengucapkan selamat dan pengungkapan kesedihan, representatif dengan bentuk tutur menegaskan dan menjelaskan, deklaratif dengan bentuk tutur menyatakan status baru. 2. Tindak tutur yang dominan digunakan yaitu direktif sejumlah 27 tuturan

(55,12%). Tindak tutur tersebut ditujukan kepada kedua mempelai supaya bertindak benar dan tidak membuat kesalahan dalam hidup, yaitu menggunakan kebenaran dan mematuhi adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat Angkola-Mandailing. Mematuhi adat merupakan hal yang penting karena adat merupakan warisan nenek moyang yang bernilai tinggi dan sangat bermanfaat pada kehidupan sehari-hari. Mematuhi adat bukan hanya melakukan adat Mandailing saja, tetapi juga adat yang berlaku dimana tempat kaki berpijak. Fungsi tindak tutur direktif untuk menyampaikan pesan sebagai tanda kasih sayang pihak Dalihan na tolu kepada kedua mempelai. Tuturan dalam bentuk ini digunakan untuk menasihati dan memperingatkan kedua mempelai agar menjalani hidup. 3. Pada prosesi makkobar dalam Upacara Perkawinan Adat

Angkola-Mandailing ragam bahasa yang digunakan berbeda dengan bahasa sehari-hari karena pada prosesi makkobar digunakan kata, frase, dan ungkapan yang khusus disebut hata andung, yaitu ragam bahasa sastra yang dipakai dalam tradisi mangandung (meratap) pada upacara perkawinan adat.


(16)

Dari temuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa tindak tutur yang dominan digunakan Dalihan na tolu dalam perkawinan adat Angkola-Mandailing adalah direktif yang berfungsi untuk memberikan nasihat, memerintah, dan memperingatkan kedua mempelai agar melaksanakan apa yang diujarkan. Hal tersebut merupakan ungkapan kasih sayang dari Dalihan na tolu.

5.2 Implikasi

Mandailing adalah sebuah daerah di Sumatera Utara yang memiliki dan masih mempertahankan adat istiadat setempat. Salah satu aspek budaya tradisional Mandailing dapat ditemukan pada perkawinan. Pelaksanaan perkawinan tradisional Mandailing menempuh sederet upacara adat. Salah satunya yaitu prosesi makkobar yang bertujuan untuk memberikan nasihat dan pandangan tentang kehidupan yang akan dijalani kedua mempelai. Makkobar merupakan prosesi yang wajib dilaksanakan karena merupakan bagian pokok yang tidak dapat dipisahkan dalam sederet prosesi pernikahan adat.

Adat istiadat adalah kearifan leluhur yang diwariskan, maka sebagai generasi muda Mandailing harus menumbuhkan minatnya untuk mempelajari adat istiadat tersebut. Untuk itu adat harus dikembangkan sehingga benar-benar mengakar di sendi-sendi kehidupan masyarakat. Adat tidak boleh sekadar dimiliki atau dikuasai oleh sekelompok orang, misalnya kalangan bangsawan saja, tetapi seluruh masyarakat. Dengan demikian, tanggung jawab untuk menjaga dan mmelihara adat istiadat merupakan kewajiban bersama.

Adat istiadat Mandailing haruslah diaktualisasikan sebagai alat pemersatu, sebagai sumber rujukan pemecahan masalah serta motivasi dalam menjalani


(17)

hidup. Perkembangan pemikiran, gagasan, dan inovasi tidak boleh dihambat oleh adat istiadat yang kaku, melainkan harus didorong oleh fungsi adat istiadat sebagai suatu kebutuhan untuk merevitalisasi diri.

Atas dasar itulah, maka perlu diadakan model pelestarian upacara adat, salah satunya melalui pelatihan pendidikan adat. Metode yang ditawarkan berupa pemaparan awal tentang upacara adat yang terdapat di masyarakat Angkola-Mandailing, kemudian diskusi dan simulasi. Materi pelatihan disesuaikan dengan kebutuhan per bidang keahlian pemateri. Misalnya materi pernikahan adat, sistem kekerabatan sosial masyarakat Mandailing.

Sasaran pelatihan pendidikan adat yaitu 1) masyarakat yang memenuhi persyaratan adat yang ditentukan oleh dewan adat, 2) pengurus dewan adat, 3) masyarakat yang akan melaksanakan upacara adat khususnya upacara perkawinan Mandailing.

Hasil yang diinginkan setelah pelaksanaan pelatihan ini agar menjadi benteng yang menjaga generasi muda dan masyarakat adat dari ancaman niai-nilai negatif yang turut terbawa atau sengaja dibawa oleh kultur modernisasi budaya barat. Pelatihan pendidikan adat ini juga bertujuan agar generasi muda mencintai adat istiadat, maka taruhannya adalah adat harus sungguh-sungguh dikembalikan maknanya sebagai jati diri serta menjadi penanda yang membedakan etnik Mandailing dengan etnik lainnya.

5.3 Saran

Penelitian ini hanya terfokus pada jenis, fungsi, dan frekuensi tindak tutur Dalihan na tolu pada prosesi makkobar. Adapun variabel lainnya seperti perlokusi


(18)

tidak dikaji dalam penelitian ini. Maka penulis menyarankan agar penelitian selanjutnya dapat dilakukan secara longitudinal tidak hanya Dalihan na tolu dari pihak pengantin perempuan, tetapi juga dari pihak pengantin laki-laki sehingga ditemukan hasil penelitian yang lebih signifikan.

Beberapa saran yang direkomendasikan berdasarkan hasil penelitian ini di antaranya penelitian tentang jenis dan fungsi tindak tutur dalam perkawinan adat Angkola-Mandailing masih perlu dikaji secara mendalam karena banyak instrumen yang bisa digunakan. Temuan hasil penelitian jenis dan fungsi tindak tutur pada prosesi makkobar perlu ditindaklanjuti dengan penelitian yang sama ataupun berbeda pada perkawinan adat di Indonesia yang beraneka ragam budaya, misalnya tindak tutur pada upacara kematian (siluluton) dan kelahiran (siriaon).


(19)

DAFTAR PUSTAKA

Allan, Keith. 1998. Speech Acts. Tersedia:

http://www.arts.monash.edu.au/spelling/speech_acts_allan_html/ diunduh pada tanggal 24 Juni 2012.

Alwasilah, A. Chaedar. 2003. Pokoknya Kualitatif. Jakarta: Pustaka Jaya.

Austin, John L. 1962. How to do Things with Words. Oxford: Cornell University Press.

Brown, Penelope and Stephen C. Levinson. 1987. Politeness: Some Universals in Language Usage. Cambridge: Cambridge University Press.

Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Cruse, D. Alan. 2000. Meaning in Language: An Introduction to Semantic and Pragmatics. Oxford University Press.

Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Goffman, Erving. 1952. The Presentation of Self in Everyday Life. Harmondworth: Penguin.

Gultom, Rajamarpodang. 1992. Dalihan na Tolu Budaya Suku Batak. Medan: Armanda.

Hasibuan, Namsyah Hot. 2005. “Perangkat Tindak Tutur dan Siasat Kesantunan Berbahasa (Data Bahasa Mandailing).” Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra Logat. 1, (2), 87-95.

Harahap, Nuryati. 2007. “Makna Hata-hata Jampi dalam Bahasa Angkola Mandailing.” Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra Logat. 3, (1), 10-16.

Hymes, Dell. 2005. Models of The Interaction of Language and Social Life: Toward a Descriptive Theory. United Kingdom: Blackwell Publishing. Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

Utama.

Lakoff, R. 1972. Language and Woman’s place. Languange in Society. Leech, G.N. 1983. Principles of Pragmatics. London: Longman.


(20)

Levinson, Stephen C. 1983. Pragmatics. London: Cambridge University Press. Mey, Jacob. L. 2001. Pragmatics: An Introduction. Australia. Blackwell.

Nadar, F.X. 2009. Pragmatik dan Penelitian Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu. Nasution, Pandapotan. 2005. Adat Budaya Mandailing dalam Tantangan Zaman.

Sumatera Utara: Forkala.

Parera, J. D. 1990. Teori Semantik. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Parsadaan Marga Harahap dohot Anakboruna. 1993. Horja Adat Istiadat Dalihan na Tolu. Bandung: PT Grafitri.

Pateda, Mansoer. 1992. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa.

Ritonga, Parlaungan. 1997. Makna Simbolik dalam Upacara Adat Mangupa Masyarakat Angkola-Sipirok di Tapanuli Selatan. Medan: USU Press. Searle, J. 1969. Speech Acts An Essay in The Philosophy of Language. Australia:

Cambridge University Press.

Siahaan, Nalom. 1982. Adat Dalihan na Tolu: Prinsip dan Pelaksanaannya. Jakarta.

Siregar, Ani Krisna. 2003. “Fungsi Onang-onang dalam Upacara Adat Perkawinan Batak Angkola.” USU Digital Library.

Sobur, Alex. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Wardaugh, Ronald. 1986. An Introduction to Sociolinguistics. New York: Basil Blackwell.


(1)

1. Semua jenis tindak tutur yang dikemukakan Searle muncul dalam prosesi tersebut, yaitu direktif dengan bentuk tutur memperingatkan, memerintah, dan memberikan nasihat, komisif dengan bentuk tutur doa dan harapan, ekspresif dengan bentuk tutur mengucapkan selamat dan pengungkapan kesedihan, representatif dengan bentuk tutur menegaskan dan menjelaskan, deklaratif dengan bentuk tutur menyatakan status baru. 2. Tindak tutur yang dominan digunakan yaitu direktif sejumlah 27 tuturan

(55,12%). Tindak tutur tersebut ditujukan kepada kedua mempelai supaya bertindak benar dan tidak membuat kesalahan dalam hidup, yaitu menggunakan kebenaran dan mematuhi adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat Angkola-Mandailing. Mematuhi adat merupakan hal yang penting karena adat merupakan warisan nenek moyang yang bernilai tinggi dan sangat bermanfaat pada kehidupan sehari-hari. Mematuhi adat bukan hanya melakukan adat Mandailing saja, tetapi juga adat yang berlaku dimana tempat kaki berpijak. Fungsi tindak tutur direktif untuk menyampaikan pesan sebagai tanda kasih sayang pihak Dalihan na tolu kepada kedua mempelai. Tuturan dalam bentuk ini digunakan untuk menasihati dan memperingatkan kedua mempelai agar menjalani hidup. 3. Pada prosesi makkobar dalam Upacara Perkawinan Adat

Angkola-Mandailing ragam bahasa yang digunakan berbeda dengan bahasa sehari-hari karena pada prosesi makkobar digunakan kata, frase, dan ungkapan yang khusus disebut hata andung, yaitu ragam bahasa sastra yang dipakai dalam tradisi mangandung (meratap) pada upacara perkawinan adat.


(2)

Dari temuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa tindak tutur yang dominan digunakan Dalihan na tolu dalam perkawinan adat Angkola-Mandailing adalah direktif yang berfungsi untuk memberikan nasihat, memerintah, dan memperingatkan kedua mempelai agar melaksanakan apa yang diujarkan. Hal tersebut merupakan ungkapan kasih sayang dari Dalihan na tolu.

5.2 Implikasi

Mandailing adalah sebuah daerah di Sumatera Utara yang memiliki dan masih mempertahankan adat istiadat setempat. Salah satu aspek budaya tradisional Mandailing dapat ditemukan pada perkawinan. Pelaksanaan perkawinan tradisional Mandailing menempuh sederet upacara adat. Salah satunya yaitu prosesi makkobar yang bertujuan untuk memberikan nasihat dan pandangan tentang kehidupan yang akan dijalani kedua mempelai. Makkobar merupakan prosesi yang wajib dilaksanakan karena merupakan bagian pokok yang tidak dapat dipisahkan dalam sederet prosesi pernikahan adat.

Adat istiadat adalah kearifan leluhur yang diwariskan, maka sebagai generasi muda Mandailing harus menumbuhkan minatnya untuk mempelajari adat istiadat tersebut. Untuk itu adat harus dikembangkan sehingga benar-benar mengakar di sendi-sendi kehidupan masyarakat. Adat tidak boleh sekadar dimiliki atau dikuasai oleh sekelompok orang, misalnya kalangan bangsawan saja, tetapi seluruh masyarakat. Dengan demikian, tanggung jawab untuk menjaga dan mmelihara adat istiadat merupakan kewajiban bersama.

Adat istiadat Mandailing haruslah diaktualisasikan sebagai alat pemersatu, sebagai sumber rujukan pemecahan masalah serta motivasi dalam menjalani


(3)

hidup. Perkembangan pemikiran, gagasan, dan inovasi tidak boleh dihambat oleh adat istiadat yang kaku, melainkan harus didorong oleh fungsi adat istiadat sebagai suatu kebutuhan untuk merevitalisasi diri.

Atas dasar itulah, maka perlu diadakan model pelestarian upacara adat, salah satunya melalui pelatihan pendidikan adat. Metode yang ditawarkan berupa pemaparan awal tentang upacara adat yang terdapat di masyarakat Angkola-Mandailing, kemudian diskusi dan simulasi. Materi pelatihan disesuaikan dengan kebutuhan per bidang keahlian pemateri. Misalnya materi pernikahan adat, sistem kekerabatan sosial masyarakat Mandailing.

Sasaran pelatihan pendidikan adat yaitu 1) masyarakat yang memenuhi persyaratan adat yang ditentukan oleh dewan adat, 2) pengurus dewan adat, 3) masyarakat yang akan melaksanakan upacara adat khususnya upacara perkawinan Mandailing.

Hasil yang diinginkan setelah pelaksanaan pelatihan ini agar menjadi benteng yang menjaga generasi muda dan masyarakat adat dari ancaman niai-nilai negatif yang turut terbawa atau sengaja dibawa oleh kultur modernisasi budaya barat. Pelatihan pendidikan adat ini juga bertujuan agar generasi muda mencintai adat istiadat, maka taruhannya adalah adat harus sungguh-sungguh dikembalikan maknanya sebagai jati diri serta menjadi penanda yang membedakan etnik Mandailing dengan etnik lainnya.

5.3 Saran

Penelitian ini hanya terfokus pada jenis, fungsi, dan frekuensi tindak tutur Dalihan na tolu pada prosesi makkobar. Adapun variabel lainnya seperti perlokusi


(4)

tidak dikaji dalam penelitian ini. Maka penulis menyarankan agar penelitian selanjutnya dapat dilakukan secara longitudinal tidak hanya Dalihan na tolu dari pihak pengantin perempuan, tetapi juga dari pihak pengantin laki-laki sehingga ditemukan hasil penelitian yang lebih signifikan.

Beberapa saran yang direkomendasikan berdasarkan hasil penelitian ini di antaranya penelitian tentang jenis dan fungsi tindak tutur dalam perkawinan adat Angkola-Mandailing masih perlu dikaji secara mendalam karena banyak instrumen yang bisa digunakan. Temuan hasil penelitian jenis dan fungsi tindak tutur pada prosesi makkobar perlu ditindaklanjuti dengan penelitian yang sama ataupun berbeda pada perkawinan adat di Indonesia yang beraneka ragam budaya, misalnya tindak tutur pada upacara kematian (siluluton) dan kelahiran (siriaon).


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Allan, Keith. 1998. Speech Acts. Tersedia:

http://www.arts.monash.edu.au/spelling/speech_acts_allan_html/ diunduh

pada tanggal 24 Juni 2012.

Alwasilah, A. Chaedar. 2003. Pokoknya Kualitatif. Jakarta: Pustaka Jaya.

Austin, John L. 1962. How to do Things with Words. Oxford: Cornell University Press.

Brown, Penelope and Stephen C. Levinson. 1987. Politeness: Some Universals in Language Usage. Cambridge: Cambridge University Press.

Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Cruse, D. Alan. 2000. Meaning in Language: An Introduction to Semantic and Pragmatics. Oxford University Press.

Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Goffman, Erving. 1952. The Presentation of Self in Everyday Life. Harmondworth: Penguin.

Gultom, Rajamarpodang. 1992. Dalihan na Tolu Budaya Suku Batak. Medan: Armanda.

Hasibuan, Namsyah Hot. 2005. “Perangkat Tindak Tutur dan Siasat Kesantunan Berbahasa (Data Bahasa Mandailing).” Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra Logat. 1, (2), 87-95.

Harahap, Nuryati. 2007. “Makna Hata-hata Jampi dalam Bahasa Angkola Mandailing.” Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra Logat. 3, (1), 10-16.

Hymes, Dell. 2005. Models of The Interaction of Language and Social Life: Toward a Descriptive Theory. United Kingdom: Blackwell Publishing. Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

Utama.

Lakoff, R. 1972. Language and Woman’s place. Languange in Society. Leech, G.N. 1983. Principles of Pragmatics. London: Longman.


(6)

Levinson, Stephen C. 1983. Pragmatics. London: Cambridge University Press. Mey, Jacob. L. 2001. Pragmatics: An Introduction. Australia. Blackwell.

Nadar, F.X. 2009. Pragmatik dan Penelitian Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu. Nasution, Pandapotan. 2005. Adat Budaya Mandailing dalam Tantangan Zaman.

Sumatera Utara: Forkala.

Parera, J. D. 1990. Teori Semantik. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Parsadaan Marga Harahap dohot Anakboruna. 1993. Horja Adat Istiadat Dalihan na Tolu. Bandung: PT Grafitri.

Pateda, Mansoer. 1992. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa.

Ritonga, Parlaungan. 1997. Makna Simbolik dalam Upacara Adat Mangupa Masyarakat Angkola-Sipirok di Tapanuli Selatan. Medan: USU Press. Searle, J. 1969. Speech Acts An Essay in The Philosophy of Language. Australia:

Cambridge University Press.

Siahaan, Nalom. 1982. Adat Dalihan na Tolu: Prinsip dan Pelaksanaannya. Jakarta.

Siregar, Ani Krisna. 2003. “Fungsi Onang-onang dalam Upacara Adat Perkawinan Batak Angkola.” USU Digital Library.

Sobur, Alex. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Wardaugh, Ronald. 1986. An Introduction to Sociolinguistics. New York: Basil Blackwell.