PEMANFAATAN HASIL ANALISIS KOSAKATA BAHASA ANSUS SEBAGAI BAHAN AJAR MUATAN LOKAL DAN KONTRIBUSINYA TERHADAP BAHASA INDONESIA DI DISTRIK YAPEN BARAT KABUPATEN KEPULAUAN YAPEN.

(1)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...………... i

UCAPAN TERIMA KASIH ... iii

DAFTAR ISI .………... vii

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

PETA BAHASA ... xiv

BAB I PENDAHULUAN .……… 1

A. Latar Belakang Penelitian... 1 B. Pembatasan Masalah ... 12

C. Perumusan Masalah ... 14

D. Tujuan Penelitian ... 14 E. Definisi Operasional... 15

1. Pemanfaatan ... 15

2. Analisis Kosakata ... 16

3. Bahan Ajar ... 17

4. Muatan Lokal ... 17

5. Kontribusi terhadap Bahasa Indonesia... 17

F. Manfaat Penelitian ... 18

BAB II LANDASAN TEORETIS ……… ... 20

A. Sekilas tentang Masyarakat dan Bahasa Ansus ... 20


(2)

C. Proses Morfologis ... 35

D. Teori Kosakata ... 37

E. Pengertian dan Jenis Kata ... 40

1. Pengertian Kata ... 40

2. Jenis Kata ... 41

a. Nomina ... 41

b. Verba ... 41

c. Pronomina ... 42

d. Numeralia ... 43

e. Adjektiva ... 43

f. Adverbia ... 44

g. Kata Tugas ... 44

F. Pendekatan Linguistik ... 46

G. Kurikulum Muatan Lokal ... 48

BAB III METODE DAN TEKNIK PENELITIAN ...………... 50

A. Metode Penelitian .………... 50

B. Populasi dan Sampel ... 52

C. Sumber dan Jenis Data ……… ... 53

D. Teknik Penelitian ………... 54

1. Teknik Pengumpulan Data ……….. 54

a. Teknik Wawancara ... 54

b. Teknik Pengamatan ... 55


(3)

d. Teknik Dokumentasi ... 56

e. Alat Pengumpulan Data ... 56

2. Teknik Pengolahan Data ... 57

3. Teknik Analisis Data ... 58

E. Asumsi Penelitian ... 61

BAB IV ANALISIS KOSAKATA BAHASA ANSUS ... 62

A. Deskripsi Kosakata Bahasa Ansus ……….. 62

1. Morfem Bebas ……….. 63

2. Morfem Terikat berupa Kata ……… 73

3. Morfem Terikat berupa Akar Kata ………... 80

B. Analisis Kosakata Bahasa Ansus ………... 85

1. Analisis Morfem Bebas ……… 86

2. Analisis Morfem Terikat berupa Kata ……… 90

3. Analisis Morfem Terikat berupa Akar Kata …………... 92

4. Pola Pembentukan Kosakata Bahasa Ansus ……….. 96

a. Pola Kelompok I Kata Ganti Orang ... 97

b. Pola Kelompok II Penambahan Fonem /y, b, d/ dan Morfem /bu, bo/ ... 101

1) Pola Kelompok IIa Penambahan Fonem /y, b, d/ dan Morfem /bu, bo/ ... 101

2) Pola Kelompok IIb Penambahan Morfem /yo, bo, do/ ... 106


(4)

3) Pola Kelompok IIc Penambahan Morfem

/ye, bo, de/ ... 111

c. Pola Kelompok III Morfem Anggota Tubuh... 115

d. Pola Kelompok IV Penambahan Fonem /e, u, i/ dan Perubahan Fonem /a, t/ ... 124

1) Pola Kelompok IVa Penambahan Fonem /e/ ... 126

2) Pola Kelompok IVb Penambahan Fonem /e, u, i/ ... 128

3) Pola Kelompok IVc Perubahan Fonem /a/ .…... 137

4) Pola Kelompok IVd Perubahan Fonem /t/ ... 145

5) Pola Kelompok IVe Penambahan Fonem /w, y/ ... 149

e. Pola Kelompok V Morfem We ……….. 157

f. Pola Kelompok VI Morfem Ane ……… 159

g. Pola Kelompok VII Morfem Ne ………... 163

C. Proses Morfologis Kosakata Bahasa Ansus …………... 166

1. Nomina ………... 166

2. Verba ………... 177

3. Adjektiva ………... 185

4. Numeralia ………... 189

5. Adverbia ………... 194


(5)

D. Bahan Ajar Muatan Lokal ………... 197

E. Penggunaan Bahasa Indonesia ………... 206

F. Rencana Pengajaran Bahasa Ansus ... 212

G. Kontribusi Bahasa Ansus terhadap Bahasa Indonesia ... 224

BAB V PENUTUP ... 229

A. Simpulan ... 229

B. Saran ... 238

DAFTAR PUSTAKA ... 239 LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 242 – 387


(6)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Bahasa merupakan alat komunikasi yang vital dalam kehidupan manusia untuk menyatakan pikiran dan perasaan seseorang terhadap orang lain. Pernyataan pikiran dan perasaan tersebut ditujukan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan untuk melanjutkan kehidupan. Manusia akan mengalami kesulitan apabila tidak dapat berkomunikasi dengan sesamanya karena manusia saling membutuhkan dalam kehidupan bersama. Dengan demikian, bahasa memiliki fungsi utama sebagai alat komunikasi dan interaksi. Widjono (2005:11-17) menyatakan bahwa bahasa mempunyai fungsi sebagai berikut: (1) bahasa sebagai sarana komunikasi, (2) bahasa sebagai sarana integrasi dan adaptasi, (3) bahasa sebagai sarana kontrol sosial, (4) bahasa sebagai sarana memahami diri, (5) bahasa sebagai sarana ekspresi diri, (6) bahasa sebagai sarana memahami orang lain, (7) bahasa sebagai sarana mengamati lingkungan sekitar, (8) bahasa sebagai sarana berpikir logis, (9) bahasa sebagai sarana membangun kecerdasan, (10) bahasa sebagai sarana mengembangkan kecerdasan ganda, (11) bahasa sebagai sarana membangun karakter, (12) bahasa sebagai sarana mengembangkan profesi, (13) bahasa sebagai sarana menciptakan kreativitas baru.

Bahasa Indonesia memiliki banyak fungsi dalam kedudukannya sebagai bahasa negara yaitu sebagai (1) lambang kebanggaan bangsa Indonesia, (2) lambang identitas bangsa Indonesia, (3) alat penyatuan berbagai suku bangsa dengan berbagai latar belakang sosial budaya dan bahasa, dan (4) alat


(7)

perhubungan antarbudaya dan antardaerah (Halim dalam Nababan, 1991:40). Bahasa dalam fungsinya sebagai alat penyatuan berbagai suku bangsa dengan berbagai latar belakang sosial budaya dan bahasa memang sangat berperanan dalam menyatukan berbagai etnik yang ada di Indonesia. Dengan bahasa Indonesia kita dapat berkomunikasi, walau berbeda suku dengan perbedaan bahasa karena masing-masing suku bangsa memiliki bahasanya.

Penggunaan bahasa Indonesia yang semakin meluas dalam kehidupan masyarakat Indonesia sangat menguntungkan dalam komunikasi antarsuku di Indonesia karena dapat menyatukan berbagai suku. Hal ini sangat menguntungkan karena kebanyakan masyarakat Indonesia yang hidup di kota-kota terutama, bercampur baur dari berbagai etnik sehingga bahasa Indonesia sangat tepat sebagai alat persatuan untuk memfasilitasi kehidupan bersama. Apabila kita berada di suatu daerah tertentu di wilayah Indonesia, kita tidak akan mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia, kecuali jika kita menggunakan bahasa daerah kita masing-masing. Selain hal positif tersebut di atas, penggunaan bahasa Indonesia yang semakin meluas dalam kehidupan masyarakat Indonesia juga mempengaruhi perkembangan bahasa daerah sehingga sedikit demi sedikit bahasa daerah mulai tersingkir dalam komunikasi sehari-hari, khususnya di perkotaan. Jadi, bahasa Indonesia sudah mulai menggantikan kedudukan bahasa daerah dalam komunikasi sehari-hari karena adanya perbedaan bahasa dari setiap daerah tersebut. Keadaan ini lambat laun menyebabkan bahasa daerah semakin tersingkir dan dikhawatirkan dapat musnah.


(8)

Penggunaan bahasa Indonesia dalam masyarakat yang masih menggunakan bahasa daerah dalam pergaulan sehari-hari, seperti bahasa Sunda atau Jawa, mungkin ancaman kemusnahan bahasa daerah tidak terasa atau bahkan tidak terjadi karena kedua bahasa ini masih digunakan secara luas. Sebaliknya, penggunaan bahasa Indonesia dalam masyarakat tertentu yang sudah semakin jarang berkomunikasi dalam bahasa daerahnya, seperti bahasa Ansus, keadaan ini merupakan ancaman serius terhadap kemusnahan bahasa daerah. Hal yang menyebabkan bahasa Ansus ini semakin jarang dikomunikasikan adalah masyarakat heterogen, keterbatasan lingkup bahasa daerah, dan keragaman bahasa daerah. Masyarakat heterogen yang terdiri dari berbagai sukubangsa, misalnya Jawa, Makasar, Bugis, Buton, Batak, Toraja, dan sebagainya, mengharuskan orang Ansus menggunakan bahasa Indonesia dalam komunikasi sehari-hari karena tidak memungkinkannya menggunakan bahasa Ansus, sedangkan sehari-hari ia bergaul dengan masyarakat heterogen tersebut. Kondisi ini terjadi ketika orang Ansus berkomunikasi dengan orang dari suku lain dalam menjual hasil laut atau hasil kebun, membeli sesuatu di warung (kios), berobat di puskesmas, dan lain sebagainya. Keadaan ini akan tampak jelas ketika orang Ansus meninggalkan kampung halamannya dan tinggal di kota Serui. Mereka semakin jarang menggunakan bahasanya karena sering berkomunikasi dengan orang dari berbagai suku bangsa.

Keterbatasan lingkup bahasa daerah berkaitan dengan penggunaan suatu bahasa dalam lingkup daerah tertentu, artinya suatu bahasa daerah tidak dapat digunakan dalam lingkup bahasa yang lebih luas karena adanya perbedaan bahasa.


(9)

Ada beberapa bahasa yang berbeda dalam suatu wilayah tertentu yang menyebabkan komunikasi dalam satu bahasa daerah tertentu sulit dilakukan, misalnya di wilayah Kabupaten Kepulauan Yapen, ada bahasa Onate, bahasa Ansus, bahasa Pom, bahasa Ambai, bahasa Saweru, bahasa Menawi, dan lain-lain. Ada bahasa yang masih serumpun, namun ada yang berbeda bahasanya. Jadi, orang Ansus yang berdiam di Distrik Yapen Barat, tidak dapat berbahasa Ansus jika berkomunikasi dengan orang Yapen yang berbahasa Onate padahal masih dalam satu wilayah kabupaten.

Keragaman bahasa daerah yang ada dalam suatu wilayah tertentu khususnya di Kabupaten Kepulauan Yapen dan dalam wilayah yang lebih luas secara umum wilayah Provinsi Papua dapat menyebabkan suatu bahasa daerah tidak dapat digunakan secara maksimal dalam kehidupan sehari-hari. Penutur suatu bahasa hanya dapat menggunakan bahasanya dalam lingkup daerah yang menggunakan bahasa tersebut. Atau penutur bahasa daerah hanya dapat berkomunikasi dengan orang yang berasal dari daerah yang sama dan menggunakan bahasa yang sama. Orang Ansus dapat menggunakan bahasa Ansus di wilayah Distrik Yapen Barat dan secara khusus di kampung Ansus, kecuali apabila ia berkomunikasi dengan orang yang tidak menguasai bahasa Ansus. Orang Ansus juga dapat menggunakan bahasa Ansus apabila berkomunikasi dengan sesama orang Ansus di daerah lain. Jadi, orang Ansus yang bermukim di Serui, Jayapura, Biak, dan daerah lainnya di wilayah Papua hanya dapat menggunakan bahasa Ansus dalam komunikasi dengan sesama orang Ansus;


(10)

sedangkan dalam komunikasi dengan orang Papua lainnya yang bukan orang Ansus, mereka menggunakan bahasa Indonesia.

Selain penggunaan bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu, bahasa daerah juga perlu digunakan dalam komunikasi di lingkungan bahasa tersebut karena bahasa daerah berfungsi sebagai lambang identitas daerah dan alat pelaksanaan kebudayaan daerah (Nababan, 1991:40). Oleh karena fungsi tersebut di atas, bahasa daerah harus dihormati dan dipelihara oleh negara. Hal ini telah dijelaskan dalam penjelasan UUD 1945 pasal 36 sebagai berikut, di daerah-daerah yang mempunyai bahasa sendiri yang dipelihara oleh rakyatnya dengan baik-baik (misalnya bahasa Jawa, Sunda, Madura, dan sebagainya) bahasa-bahasa itu akan dihormati dan dipelihara juga oleh negara (dalam BP-7 Pusat, 1994:21). Adapun bahasa daerah yang ada di Irian Jaya yang telah diteliti sekitar 251 bahasa daerah, dan diperkirakan lebih dari 600 bahasa yang belum diteliti termasuk ragam bahasa subkelompok (Silzer dan Helja, 1991:1). Oleh sebab itu, perlu ada usaha untuk meneliti bahasa daerah karena masih banyak yang belum diteliti.

Salah satu bahasa daerah di Papua yang sudah diteliti tetapi belum secara keseluruhan adalah bahasa Ansus, yang digunakan di Distrik Yapen Barat, Kabupaten Kepulauan Yapen. Bahasa Ansus telah diteliti oleh J.C. Anceaux pada tahun 1961, namun hanya merupakan tinjauan umum tentang situasi bahasa di Pulau Yapen. J.C. Anceaux membandingkan 259 kata dalam 18 bahasa, yaitu Ansus, Woi, Papuma, Marau, Munggui, Wadapi-Laut, Serui-Laut, Ambai, Pom, Wandamen, Kurudu, Wabo, Biak, Dusner, Ron, Irarutu, Mor, dan Waropen. Kata-kata yang diperbandingkan tersebut berkaitan dengan anggota tubuh sebanyak 29


(11)

kata, kata kerja sebanyak 33 kata, kata benda sebanyak 135 kata, kata sifat sebanyak 22 kata, kata-kata yang menunjukkan waktu sebanyak 6 kata, kata penghubung sebanyak 6 kata, kata bilangan sebanyak 13 kata, dan kata ganti sebanyak 15 kata. Silzer dan Helja (1991:38) mengatakan bahwa bahasa Ansus termasuk rumpun bahasa Austronesia, subkelompok Teluk Cenderawasih yang digunakan di pantai selatan Pulau Yapen dengan jumlah penuturnya 4600 penutur. Anceaux mengatakan bahwa jumlah penutur bahasa Ansus diperkirakan kurang lebih 3600 penutur termasuk orang-orang Ansus yang tinggal di Serui dalam jumlah yang besar (1961:7). Penelitian lain yang telah dilakukan terhadap bahasa Ansus yakni penelitian yang telah dilakukan oleh Agustinus Sutarto dalam Skripsi yang berjudul ”Pembentukan Kata Kerja Bahasa Ansus : Suatu Sumbangan dalam Strategi Pengajaran Kata Kerja Bahasa Indonesia”. Selain itu, ada juga penelitian yang telah dilakukan oleh Fonny Hermelina Patay Musi mengenai ungkapan dalam bahasa Ansus pada makalahnya yang berjudul “Ungkapan Tradisional Dalam Bahasa Ansus (Kajian Makna, Penggunaan dan Fungsi)”. Penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti sudah mendalam tentang bahasa Ansus, namun masih terbatas pada kata kerjanya, belum secara keseluruhan. Begitu pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Fonny Hermelina Patay Musi yang terbatas pada ungkapan menyangkut makna, penggunaan, dan fungsi. Kedua penelitian ini baru mencakup kata kerja dan ungkapan yang merupakan sebagian kecil dari bahasa Ansus. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, penulis bermaksud meneliti bahasa Ansus secara keseluruhan, melanjutkan penelitian terdahulu yang


(12)

hanya sebatas kata kerjanya saja, dan secara khusus dapat memberikan sumbangan sebagai bahan ajar muatan lokal di sekolah dasar dan menengah.

Penelitian yang telah dilakukan oleh J.C. Anceaux merupakan perbandingan bahasa dan masih bersifat deskriptif. Begitu pula penelitian yang telah dilakukan oleh Silzer dan Helja yang berupa indeks bahasa yang ada di Irian Jaya. Penelitian ini memang dapat memberikan gambaran tentang peta bahasa yang ada di Irian Jaya yang mencakup lokasi bahasa, rumpun bahasa, dan jumlah penuturnya. Selain itu, penelitian yang telah dilakukan oleh Fonny Hermelina Patay Musi mencakup ungkapan dalam bahasa Ansus pada kajian makna, penggunaan dan fungsi. Penelitian-penelitian tersebut belum mengkaji bahasa Ansus secara analitik, walaupun penelitian yang telah dilakukan oleh Agustinus Sutarto sudah menganalisis pembentukan kata kerja, namun belum menyangkut jenis kata yang lain yang ada dalam bahasa Ansus. Berdasarkan hal tersebut, maka penulis perlu mendokumentasikan kosakata bahasa Ansus dan menganalisis kosakata tersebut berdasarkan proses pembentukannya.

Pendekatan yang penulis gunakan dalam menganalisis bahasa Ansus yakni menggunakan pendekatan deskriptif yaitu dengan mempelajari pelbagai aspek bahasa pada suatu masa tertentu. Hal yang dipentingkan dalam linguistik ialah apa yang sebenarnya diungkapkan seseorang, dan bukannya apa yang menurut si penyelidik seharusnya diungkapkan (Nikelas, 1988: 13, 14). Bambang Yudi Cahyono (1995:165) menjelaskan bahwa para analis bahasa mengumpulkan sampel-sampel bahasa yang diteliti dan berusaha untuk menguraikan struktur bahasa itu menurut struktur yang digunakan sehari-hari, bukannya menurut


(13)

pandangan bagaimana bahasa seharusnya digunakan. Pendekatan deskriptif atau pendekatan struktural itu menjadi landasan untuk menjelaskan struktur bahasa-bahasa yang berbeda. Dengan pendekatan ini, penulis dapat menganalisis kosakata bahasa Ansus berdasarkan proses pembentukannya. Misalnya kata benda dalam bahasa Ansus seperti /airoku/, /aiwoa/, /aikamang/, /airawong/, dibentuk dari kata /ai/ yang berarti pohon/kayu dengan kata lain /roku/, /woa/, /kamang/, dan /rawong/. Kata-kata seperti /airoku/ berarti lesung, /aiwoa/ berarti akar pohon, /aikamang/ berarti patok, /airawong/ berarti batang kayu merupakan kayu atau benda yang ada hubungannya dengan kayu atau dengan kata lain terbuat dari kayu. Tetapi /ai/ tidak hanya berarti kayu melainkan memiliki arti lain yang dibedakan dari lafalnya, seperti kata /aimiomang/ berarti pemuda.

Peristilahan muatan lokal baru dipopulerkan pada tahun 1987 melalui SK Mendikbud RI No. 0412/U/1987. Muatan lokal dalam SK tersebut adalah program pendidikan yang isi dan media penyampaiannya dikaitkan dengan lingkungan alam, lingkungan sosial budaya, serta kebutuhan daerah dan wajib dipelajari murid di daerah itu (Aryani, 1999:76). Muatan lokal muncul sebagai pelajaran yang berdiri sendiri seperti halnya pelajaran lain, hanya saja guru sering mengalami kesulitan untuk menemukan materi untuk pembelajaran muatan lokal. Kadangkala kurikulum muatan lokal sudah diedarkan ke sekolah-sekolah, namun materi muatan lokal belum disusun di daerah masing-masing. Guru mengalami kesulitan untuk menentukan materi dalam mengajarkan mata pelajaran Muatan Lokal karena materinya belum disusun oleh Dinas Pendidikan dan Pengajaran Provinsi maupun kabupaten di Papua. Materi muatan lokal tidak disediakan dari


(14)

pusat, tetapi merupakan tanggung jawab masing-masing daerah karena materi muatan lokal berkaitan dengan kebutuhan masing-masing daerah. Oleh karena itu, bahasa Ansus dapat merupakan bahan ajar muatan lokal. Hal ini berhubungan erat dengan materi muatan lokal yang berkaitan dengan lingkungan alam (mata pencarian dan pekerjaan sehari-hari), lingkungan sosial budaya (bahasa daerah dan budaya setempat), serta kebutuhan daerah (pengembangan potensi alam dan budaya). Bahasa daerah setempat termasuk salah satu materi muatan lokal dari aspek sosial budaya.

Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pengajaran muatan lokal bahasa Ansus karena bahasa Indonesia dikuasai oleh masyarakat Ansus. Bahasa Indonesia digunakan dalam komunikasi sehari-hari apabila orang Ansus berbicara dengan orang lain yang tidak memahami bahasa Ansus seperti orang dari daerah lain dan orang dari suku lain yang tinggal di Ansus. Orang dari daerah lain seperti orang Pom, orang Ambai, orang Waropen, orang Wandamen, orang Biak, dan sebagainya yang juga memiliki bahasa daerah tersendiri. Sedangkan orang dari suku lain seperti orang Makasar, Bugis, Jawa, Ambon, dan sebagainya yang berasal dari luar Papua. Orang-orang ini jumlahnya terbatas dan mereka bekerja di Ansus sebagai petugas kesehatan, petugas pemerintahan, guru, pedagang, dan pendeta. Selain itu, bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa pengantar di sekolah, di gereja, di pasar, di puskesmas, dan tempat umum lainnya yang melibatkan masyarakat heterogen. Tetapi orang Ansus dalam berkomunikasi sering melihat situasi pembicaraan yakni dengan siapa mereka berbicara. Apabila mereka berbicara dengan sesama


(15)

orang Ansus, mereka akan menggunakan bahasa Ansus sekalipun di tempat umum. Orang Ansus harus menggunakan bahasa Indonesia apabila mereka pergi ke kampung lain di wilayah Kabupaten Kepulauan Yapen dan daerah lain di wilayah Provinsi Papua. Keadaan penggunaan bahasa Ansus yang semakin terbatas menyebabkan generasi penerusnya lebih cenderung menggunakan bahasa Indonesia karena mereka merasa bahwa dengan menggunakan bahasa Indonesia mereka dapat berkomunikasi dengan siapa pun tanpa terkecuali. Hal ini menyebabkan penguasaan kosakata bahasa Ansus di kalangan generasi muda semakin kurang sehingga bahasa Ansus harus diajarkan di Sekolah Dasar untuk generasi berikut agar bahasa Ansus ini tetap dapat digunakan sebagai ciri daerah dan kekayaan budaya.

Penelitian ini dapat memberi gambaran tentang kosakata bahasa Ansus, baik kata kerjanya, kata benda, kata sifat, kata bilangan, kata ganti, kata penghubung, dan kata keterangan yang ada dalam bahasa Ansus. Selanjutnya kosakata bahasa Ansus tersebut dapat merupakan bahan ajar mata pelajaran Muatan Lokal di Sekolah Dasar khususnya di daerah Yapen Barat, Kabupaten Kepulauan Yapen. Penelitian ini juga dapat bermanfaat bagi penutur bahasa Ansus untuk mempelajari bahasanya sendiri dan mencintai budayanya, khususnya penutur bahasa Ansus di daerah lain yang sudah jarang menggunakan bahasa Ansus. Selain itu, anak-anak sebagai generasi penerus dapat mempelajari bahasanya sendiri sejak dini, terutama anak-anak penutur bahasa Ansus yang tinggal di daerah perkotaan yang sudah menggunakan bahasa Indonesia.


(16)

Hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi penggunaan bahasa Indonesia oleh masyarakat Ansus karena dengan mengetahui perbedaan bentuk kata kerja kedua bahasa, kesalahan penggunaan kata kerja bahasa Indonesia dengan menggunakan bentuk kata kerja bahasa Ansus dapat dihindari. Apabila penutur bahasa Ansus menggunakan bahasa Indonesia maka ia sepenuhnya menggunakan bahasa Indonesia dan sebaliknya apabila penutur bahasa Ansus akan menggunakan bahasa Ansus maka ia sepenuhnya menggunakan bahasa Ansus sehingga tidak terjadi kesalahan penggunaan dalam bahasa Indonesia karena pencampuran bentuk bahasa Ansus dengan bentuk bahasa Indonesia khususnya penggunaan kata kerja. Penggunaan kata seperti /ewekarja/ (saya kerja), /eweperlu/ (saya perlu), /werajin/ (kau rajin), dll. dapat dihindari sehingga penutur bahasa Ansus dapat langsung menggunakan bahasa Indonesia seperti /kerja/, /perlu/, /rajin/, dan apabila hendak menggunakan persona maka persona tersebut ditambahkan di depan kata seperti /saya kerja/, /saya perlu/, /kau rajin/ untuk menyatakan unsur persona. Sebaliknya penutur dapat langsung menggunakan bahasa Ansus seperti /yompi/ (saya kerja), /ewepandung/ (saya perlu), /moaya weng/ (kau rajin) sehingga tidak mencampurkan bentuk kedua bahasa.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, penulis merasa perlu untuk meneliti bahasa Ansus secara keseluruhan untuk melestarikan bahasa Ansus dan menjadikannya sebagai bahan ajar muatan lokal di Sekolah Dasar, khususnya di daerah Yapen Barat, Kabupaten Kepulauan Yapen, Provinsi Papua.


(17)

B. Pembatasan Masalah

Salah satu bidang kajian linguistik yang membahas tentang kata adalah bidang morfologi. Morfologi ialah bagian dari ilmu bahasa yang membicarakan atau yang mempelajari seluk beluk struktur kata serta pengaruh perubahan-perubahan struktur kata terhadap golongan dan arti kata (Ramlan, 1980:2). Morfologi adalah bagian linguistik yang mempelajari morfem. Morfologi mempelajari dan menganalisis struktur, bentuk, klasifikasi kata-kata (Alwasilah, 1993:110). Morfologi mempelajari tentang morfem, morf, alomorf, dan kata. Morfem dapat berupa bentuk bebas dan bentuk terikat. Morfem bebas adalah morfem yang dapat berdiri sendiri sebagai kata, dan morfem terikat adalah morfem yang tidak dapat berdiri sendiri, tetapi harus dipadukan dengan morfem lain. Morfem bentuk terikat merupakan imbuhan termasuk alomorf. Alomorf adalah bentuk-bentuk fonemis yang berbeda dari morfem yang mempunyai makna yang sama atau mengandung makna yang sama (Nikelas, 1988:111). Misalnya bentuk mem-, men-, meng-, meny-, me- yang terdapat dalam kata membaca, mendengar, menggoreng, menyapu, melatih merupakan alomorf dari morfem meN-.

Kata dapat dikelompokkan dalam beberapa kelas kata seperti kata benda, kata kerja, kata ganti, kata bilangan, kata sifat, kata keterangan, dan kata tugas. Kata tugas terbagi dalam lima jenis kata yaitu kata depan, kata sambung, kata seru, artikel, dan partikel (pembagian kelas kata dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia). Kata benda adalah kata yang mengacu pada manusia, binatang, benda, dan konsep atau pengertian. Kata kerja adalah kata yang mengacu pada suatu


(18)

aksi/perbuatan, tindakan, proses, gerak, keadaan atau terjadinya sesuatu. Kata ganti adalah kata yang dipakai untuk mengacu ke nomina lain, misalnya nomina perawat dapat diacu dengan pronomina dia. Kata bilangan adalah kata-kata yang menyatakan jumlah atau satuan kumpulan atau urutan tempat dari nama-nama benda. Kata sifat adalah kata yang dipakai untuk mengungkapkan sifat atau keadaan orang, benda, atau binatang. Kata keterangan adalah kata yang memberi keterangan pada verba, adjektiva, nomina predikatif (predikatnya kata benda), atau kalimat. Kata tugas adalah kata atau gabungan kata yang tugasnya semata-mata memungkinkan kata lain berperanan dalam kalimat. Berikut ini termasuk kata tugas.

1. Preposisi (kata depan) merupakan kata yang bertugas merangkaikan kata atau bagian kalimat.

2. Konjungsi (kata sambung) adalah kata tugas yang menghubungkan dua klausa atau lebih.

3. Interjeksi (kata seru) adalah kata tugas yang mengungkapkan rasa hati manusia.

4. Artikel adalah kata tugas yang membatasi makna jumlah nomina.

5. Partikel adalah kata tugas yang berupa klitika karena diletakkan pada kata yang mendahuluinya.

Masalah dalam penelitian ini adalah adanya ancaman terhadap kemusnahan suatu bahasa daerah (bahasa Ansus), belum adanya penelitian yang lebih lengkap terhadap bahasa Ansus, dan belum adanya materi bahasa daerah (bahasa Ansus) pada mata pelajaran Muatan Lokal di Distrik Yapen Barat.


(19)

Masalah dalam penelitian ini dibatasi pada analisis kosakata bahasa Ansus berdasarkan proses pembentukannya. Proses pembentukan ini meliputi proses morfologis pada setiap jenis kata karena morfologi menyelidiki kata, unsur, dan proses pembentukannya. Pendekatan untuk menganalisis kosakata bahasa Ansus adalah pendekatan deskriptif yang menyelidiki kata dalam kurun waktu tertentu dan menganalisis kata berdasarkan bentuknya yang digunakan sehari-hari.

C. Perumusan Masalah

Masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.

1. Bagaimana proses analisis kosakata bahasa Ansus berdasarkan proses pembentukannya?

2. Bagaimana proses pemanfaatan kosakata bahasa Ansus sebagai bahan ajar muatan lokal?

3. Bagaimana proses pembelajaran bahasa Ansus dengan menggunakan bahasa Indonesia?

4. Sejauhmana kontribusi bahasa Ansus terhadap bahasa Indonesia?

D. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. mengidentifikasi kosakata yang ada dalam bahasa Ansus;

2. mengelompokkan kosakata bahasa Ansus menurut jenis katanya;

3. menganalisis kosakata bahasa Ansus berdasarkan proses pembentukannya; 4. memanfaatkan kosakata bahasa Ansus sebagai bahan ajar muatan lokal;


(20)

5. menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam pengajaran bahasa Ansus;

6. pengajaran kosakata bahasa Ansus dapat memberikan kontribusi terhadap penggunaan kosakata bahasa Indonesia;

7. mengiventarisasi dan mendokumentasikan kosakata bahasa Ansus; dan 8. melestarikan bahasa Ansus sebagai aset budaya bangsa Indonesia.

E. Definisi Operasional

Judul penelitian ini menggunakan beberapa istilah yang dapat ditafsirkan orang dengan batasan yang berbeda-beda sehingga istilah-istilah tersebut perlu didefinisikan sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian agar ada keseragaman pandangan dengan hal yang dimaksudkan oleh penulis. Definisi operasional mengenai beberapa istilah dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut.

1. Pemanfaatan

Istilah pemanfaatan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah memanfaatkan atau menggunakan hasil analisis bahasa Ansus sebagai bahan ajar mata pelajaran Muatan Lokal di Distrik Yapen Barat. Hal ini disebabkan belum adanya materi mata pelajaran Muatan Lokal padahal kurikulumnya sudah diterapkan di sekolah-sekolah.


(21)

2. Analisis kosakata

Analisis kosakata merupakan kegiatan untuk mempelajari, memahami, menguraikan, dan menjelaskan kosakata secara mendalam untuk mengetahui proses pembentukannya. Kegiatan analisis kosakata merupakan penguraian atau pembahasan kosakata berdasarkan proses pembentukannya. Kegiatan analisis jauh lebih mendalam dari sekedar mempelajari dan memahami sesuatu, melainkan dapat menguraikan dan menjelaskan sesuatu menyangkut hal-hal yang tidak diketahui secara umum. Analisis merupakan kegiatan mempelajari, memahami, menguraikan, dan menjelaskan suatu hal secara mendalam untuk mengetahui perinciannya.

Kosakata merupakan dasar pembentukan suatu bahasa karena adanya kosakata menunjukkan adanya bahasa. Keraf dalam Sardila (2003:28) mengatakan bahwa untuk memudahkan komunikasi dengan anggota masyarakat lainnya, setiap orang perlu mengetahui sebanyak-banyaknya kosakata dalam bahasa. Pembelajaran suatu bahasa diawali dengan mempelajari kosakata dalam bahasa tersebut, dan semakin banyak kosakata yang dikuasai seseorang, semakin memungkinkannya menguasai suatu bahasa.

Analisis kosakata yang penulis maksudkan dalam penelitian ini ialah menguraikan dan menjelaskan kosakata bahasa Ansus berdasarkan proses pembentukannya. Analisis tersebut dilakukan terhadap setiap jenis kata yang ada dalam bahasa Ansus terutama menyangkut pola-pola pembentukannya.


(22)

3. Bahan ajar

Bahan ajar merupakan materi yang disusun secara sistematis untuk diajarkan dalam pengajaran (Sardila, 2003:21). Bahan ajar adalah materi yang disampaikan kepada siswa dalam pengajaran. Bahan ajar yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah kata-kata dalam Bahasa Ansus yang disusun secara sistematis sebagai materi mata pelajaran Muatan Lokal.

4. Muatan lokal

Muatan lokal adalah mata pelajaran tertentu yang materinya berkaitan dengan lingkungan di sekitar kehidupan siswa. Lingkungan kehidupan siswa mencakup lingkungan alam dan lingkungan sosial budaya termasuk bahasa. Jadi, lingkungan sosial budaya siswa di Ansus menyangkut adat istiadat dan bahasanya yakni bahasa Ansus sehingga bahasa Ansus dapat menjadi materi muatan lokal bagi siswa pada pendidikan dasar. Muatan lokal yang penulis maksudkan dalam penelitian ini adalah suatu mata pelajaran yang materinya adalah bahasa Ansus.

5. Kontribusi terhadap Bahasa Indonesia

Kontribusi berarti sumbangan atau andil (KBBI, 2008:730) sehingga kontribusi bahasa Ansus terhadap bahasa Indonesia berarti sumbangan atau andil dari bahasa Ansus terhadap bahasa Indonesia. Dalam hubungannya dengan penelitian ini, kontribusi yang dimaksudkan adalah bahwa hasil penelitian kosakata bahasa Ansus yang telah dimanfaatkan sebagai bahan ajar Muatan Lokal dapat memberikan sumbangan dalam penggunaan bahasa Indonesia. Sumbangan


(23)

ini dimaksudkan untuk penggunaan bahasa Indonesia secara baik oleh penutur bahasa Ansus setelah mempelajari perbedaan bentuk kata kerja bahasa Ansus dengan bentuk kata kerja bahasa Indonesia.

Bahasa Indonesia adalah sebagai bahasa nasional bangsa Indonesia yang berfungsi sebagai bahasa persatuan karena dapat menyatukan berbagai sukubangsa yang ada di wilayah negara Republik Indonesia. Bahasa Indonesia dalam fungsinya sebagai bahasa persatuan dikuasai oleh hampir seluruh rakyat Indonesia sehingga bahasa Indonesia dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pengajaran bahasa daerah di tingkat pendidikan dasar khususnya di wilayah Provinsi Papua yang memiliki banyak bahasa daerah.

F. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini bagi penutur bahasa Ansus adalah memperlancar komunikasi dalam masyarakat, khususnya penggunaan kosakata bahasa Ansus dalam komunikasi sehari-hari. Anak-anak dari penutur bahasa Ansus yang tinggal di perkotaan dan sudah tidak menggunakan bahasa Ansus, melainkan menggunakan bahasa Indonesia, dapat mempelajari kosakata bahasa Ansus dan menggunakannya dalam komunikasi sehari-hari dengan sesama penutur bahasa Ansus. Minimal komunikasi ini terjadi di dalam keluarga sebelum meluas pada lingkungan penutur bahasa Ansus, sehingga akan muncul kecintaan anak pada bahasa dan budayanya sendiri.

Penelitian ini juga bermanfaat bagi pengembangan pendidikan, khususnya pengajaran bahasa daerah sebagai bahan ajar muatan lokal. Oleh karena salah satu


(24)

aspek dari materi muatan lokal berhubungan dengan lingkungan sosial budaya, maka bahasa daerah mempunyai potensi sebagai materi muatan lokal. Oleh sebab itu, kosakata bahasa Ansus dapat dijadikan bahan ajar muatan lokal.

Penelitian ini dapat melengkapi penelitian sebelumnya mengenai bahasa daerah, secara khusus bahasa Ansus yang masih terbatas pada pembentukan kata kerja bahasa Ansus dan ungkapan dalam bahasa Ansus. Dengan adanya penelitian ini dapat memberikan kontribusi kosakata bahasa Ansus yang lebih lengkap sehingga dapat dijadikan bahan ajar muatan lokal.

Selain itu, penelitian ini dapat bermanfaat bagi pemerintah dalam usaha pelestarian budaya daerah, khususnya bahasa daerah sebagai salah satu aset budaya. Bahasa daerah yang penutur bahasanya makin lama makin berkurang karena pengaruh globalisasi bahasa lain, dan tidak adanya regenerasi bahasa, dapat menyebabkan kepunahan suatu bahasa daerah, sehingga pelestarian bahasa daerah mutlak diperlukan agar bahasa tersebut tidak punah. Bahasa Ansus merupakan salah satu bahasa daerah yang dengan sendirinya perlu dilestarikan karena lingkup penggunaan bahasa Ansus sangat terbatas yakni di wilayah kampung Ansus.


(25)

BAB III

METODE DAN TEKNIK PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiyono, 2007:2). Metode penelitian merupakan cara pemecahan masalah penelitian yang dilaksanakan secara terencana dan cermat dengan maksud mendapatkan fakta dan simpulan agar dapat memahami, menjelaskan, meramalkan, dan mengendalikan keadaan (Syamsuddin dan Damaianti, 2006:14). Metode penelitian mempunyai peranan yang penting untuk mendapatkan data yang dapat dipergunakan dalam mencapai tujuan penelitian untuk suatu kegunaan tertentu. Pemilihan metode penelitian yang tepat akan membantu peneliti mencapai tujuan penelitian. Penelitian akan berhasil apabila peneliti dapat memperoleh data penelitian sesuai dengan tujuan penelitiannya.

Berdasarkan tujuan-tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian deskriptif analitik. Metode deskriptif analitik adalah metode yang digunakan dengan cara menguraikan dan menganalisis untuk menggambarkan keadaan objek yang diteliti yang dijadikan pusat perhatian dalam penelitian (Ratna, 2007:39). Metode deskriptif yaitu metode yang bertujuan menggambarkan atau melukiskan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu atau untuk menentukan frekuensi atau penyebaran suatu gejala dan gejala lain dalam masyarakat (Koentjaraninggrat, 1991:29). Menurut Fraenkel dan Wallen (1993:11), penelitian deskriptif menjelaskan keadaan mengenai hal atau peristiwa dengan lengkap dan dikerjakan dengan


(26)

hati-hati. Contoh penelitian deskriptif yaitu penemuan dalam bidang biologi mengenai jenis tumbuhan dan binatang yang diteliti dan dikelompokkan berdasarkan jenisnya. Dengan demikian, metode deskriptif analitik dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis yang bertujuan menguraikan keadaan objek yang diteliti. Penulis menggunakan metode ini karena penelitian yang dilakukan penulis merupakan penelitian bahasa daerah dalam suatu masyarakat tertentu. Peneliti menggunakan metode penelitian deskriptif analitik karena peneliti bermaksud menggambarkan keadaan bahasa Ansus dan menganalisis gejala-gejala bahasa dalam proses pembentukannya.

Langkah-langkah yang ditempuh oleh peneliti untuk mengkaji kosakata bahasa Ansus adalah sebagai berikut.

1. Memilih lokasi penelitian sesuai dengan data yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Penelitian ini berlokasi di kelurahan Ansus dan desa Wimoni yang masyarakatnya menggunakan bahasa Ansus.

2. Peneliti berusaha untuk tinggal di lokasi penelitian untuk memudahkan pengumpulan data, dan membangun hubungan keakraban dengan masyarakat. 3. Mengidentifikasi informan yang dapat memberi keterangan, misalnya guru,

petugas kesehatan, aparat desa, tokoh masyarakat, dan siapa saja yang berkompeten untuk memberi informasi mengenai data yang peneliti butuhkan. Informan harus menguasai bahasa Ansus dan minimal dapat berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. Apabila informan tidak dapat berkomunikasi dalam bahasa Indonesia, hanya dalam bahasa Ansus, maka peneliti akan menggunakan mediator.


(27)

4. Mencatat segala sesuatu yang terjadi di lokasi penelitian, baik yang diperoleh dari dokumen yang ada, wawancara dengan informan, pengamatan terhadap objek, dan segala informasi yang berkaitan dengan data bahasa yang dibutuhkan peneliti.

B. Populasi dan Sampel

Istilah populasi dalam penelitian kualitatif oleh Spradley dalam Sugiyono (2007:215) dinamakan ”social situation” atau situasi sosial yang terdiri atas tiga unsur yaitu tempat (place), pelaku (actors), dan aktivitas (activity). Situasi sosial dapat dinyatakan sebagai objek penelitian yang ingin dipahami secara mendalam ”apa yang terjadi” di dalamnya. Pada situasi sosial atau objek penelitian ini peneliti dapat mengamati secara mendalam aktivitas orang-orang yang ada pada tempat tertentu. Tetapi sebenarnya, objek penelitian kualitatif tidak semata-mata pada situasi sosial yang terdiri atas tiga unsur tersebut, tetapi juga bisa berupa peristiwa alam, tumbuh-tumbuhan, binatang, kendaraan, dan sejenisnya. Oleh karena objek penelitian kualitatif bisa berupa peristiwa alam, tumbuh-tumbuhan, binatang, kendaraan, dan sejenisnya maka dalam penelitian ini yang menjadi objek penelitian adalah bahasa Ansus. Berdasarkan hal tersebut, populasi dalam penelitian ini adalah semua unsur yang berhubungan dengan bahasa Ansus. Unsur-unsur tersebut berupa bahasa dan unsur di luar bahasa. Unsur bahasa mencakup struktur interen bahasa dan unsur di luar bahasa mencakup segala hal yang berkaitan dengan kegiatan manusia di dalam masyarakat, sebab tidak ada kegiatan yang tanpa berhubungan dengan bahasa (Chaer, 2007:59).


(28)

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiyono, 2007:81). Sampel adalah suatu kelompok dalam studi penelitian yang dapat diperoleh informasi (Fraenkel dan Wallen, 1993:78). Sampel merupakan bagian dari populasi yang mewakili populasi tersebut sehingga sampel dalam penelitian ini adalah semua kosakata yang ada dalam bahasa Ansus.

C. Sumber dan Jenis Data

Sumber data berasal dari dokumen-dokumen tentang kosakata bahasa Ansus, data statistik, peta, dan tulisan-tulisan yang berkaitan dengan kosakata bahasa Ansus. Sumber data lainnya berasal dari hasil observasi peneliti, rekaman, dan wawancara dengan informan. Informan merupakan sumber data yang utama sebab dokumentasi tertulis sangat terbatas jumlahnya. Tidak semua orang dapat dijadikan informan sehingga untuk memperoleh beberapa informan sebagai sampel sumber data, peneliti menggunakan teknik pengambilan sampel.

Teknik pengambilan sampel sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling dan snowball sampling. Sugiyono (2007:219) menjelaskan purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu, misalnya orang tersebut dianggap paling tahu tentang hal yang kita harapkan atau sebagai penguasa sehingga memudahkan peneliti menjelajahi objek/situasi sosial yang diteliti. Snowball sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data yang pada awalnya jumlahnya sedikit, lama-lama menjadi besar. Informan yang pertama merekomendasikan informan yang lain sehingga semakin banyak.


(29)

Jenis data yang hendak dikumpulkan dalam penelitian ini adalah kata-kata dalam bahasa Ansus.

D. Teknik Penelitian

1. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan oleh peneliti dengan menggunakan teknik-teknik pengumpulan data yang relevan dengan jenis data yang hendak diperoleh dalam penelitian ini. Teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti adalah teknik wawancara untuk mengumpulkan data kosakata bahasa Ansus, teknik pengamatan untuk mengamati kehidupan masyarakat Ansus, teknik rekaman untuk merekam bunyi kosakata bahasa Ansus, dan teknik dokumentasi untuk mengumpulkan data mengenai kosakata bahasa Ansus dari dokumen.

a. Teknik Wawancara

Wawancara adalah suatu percakapan dengan tujuan. Tujuan dilakukan wawancara untuk memperoleh konstruksi yang terjadi sekarang tentang orang, kejadian, aktivitas, organisasi, perasaan, motivasi, pengakuan, kerisauan dan sebagainya; rekonstruksi keadaan tersebut berdasarkan pengalaman masa lalu; proyeksi keadaan tersebut yang diharapkan terjadi pada masa yang akan datang; dan verifikasi, pengecekan dan pengembangan informasi (konstruksi, rekonstruksi dan proyeksi) yang telah didapat sebelumnya (Lincoln & Guba dalam


(30)

Syamsuddin & Damaianti, 2006:94). Wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara bebas terpimpin yaitu peneliti melakukan wawancara berdasarkan pedoman wawancara yang telah disusun. Pedoman wawancara tidak disertai alternatif jawaban sehingga responden bebas menjawab sesuai dengan hal yang diketahuinya, dalam kaitannya dengan pertanyaan yang diajukannya.

b. Teknik Pengamatan

Pengamatan (observasi) yaitu melakukan pengamatan secara langsung ke objek penelitian untuk melihat dari dekat kegiatan yang dilakukan (Riduwan, 2007:104). Observasi digunakan bila penelitian berkenan dengan perilaku manusia, proses kerja, gejala-gejala alam dan bila responden yang diamati tidak terlalu besar (Sugiyono, 2007:145). Observasi digunakan dalam penelitian ini untuk mengamati kehidupan masyarakat Ansus dalam hubungannya dengan pendokumentasian kosakata bahasa Ansus. Jenis observasi yang digunakan peneliti adalah observasi partisipan yakni peneliti secara langsung terlibat dalam kehidupan bermasyarakat sambil melakukan pengamatan dan pengumpulan data.

c. Teknik Rekaman

Teknik rekaman dimaksudkan untuk mengidentifikasi bunyi kosakata bahasa Ansus sehingga pelafalannya jelas menurut penuturan penutur bahasa Ansus. Hal ini untuk menghindari salah pengucapan atau interpretasi makna dari yang dimaksud. Selain itu, dapat mengidentifikasi keberagaman dialek bahasa


(31)

Ansus dengan bahasa Papuma, atau bahasa Ansus dengan bahasa lainnya yang termasuk dalam kelompok kewio rei.

d. Teknik Dokumentasi

Teknik dokumentasi digunakan untuk mengumpulkan data dari sumber nonmanusia yang terdiri atas dokumen dan rekaman (Syamsuddin dan Damaianti, 2006:108). Teknik dokumentasi dalam penelitian ini dimaksudkan untuk menemukan dan menganalisis data-data mengenai kosakata bahasa Ansus dan data-data lain yang relevan dengan penelitian ini dari dokumen-dokumen, tulisan-tulisan, dan hasil rekaman.

e. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data atau instrumen berupa alat bantu yang dibutuhkan untuk mengumpulkan data penelitian secara sistematis. Instrumen pengumpulan data adalah alat bantu yang dipilih dan digunakan oleh peneliti dalam kegiatannya mengumpulkan agar kegiatan tersebut menjadi sistematis dan dipermudah olehnya (Riduwan, 2007:98). Instrumen yaitu suatu prosedur atau alat untuk mengumpulkan data secara sistematis (Fraenkel dan Wallen, 1993:551). Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah daftar kosakata (modifikasi Syamsuddin A.R., 1994). Daftar kosakata tersebut sudah dimodifikasi sesuai dengan keadaan kosakata yang ada dalam bahasa Ansus dalam arti bahwa terjadi penambahan kata-kata tertentu yang ada dalam bahasa Ansus, namun belum terdapat pada daftar tersebut. Selain itu juga terjadi penghilangan kata-kata


(32)

tertentu yang tidak ada dalam bahasa Ansus. Selanjutnya kosakata dalam daftar kosakata tersebut sudah dikelompokkan berdasarkan jenis kata yang ada dalam bahasa Ansus (lampiran 1).

2. Teknik Pengolahan Data

Data yang telah dikumpulkan diperiksa dengan seksama untuk mengetahui bahwa semua data yang dibutuhkan sudah ada. Data primer berupa kosakata BA yang diperoleh melalui alat pengumpulan data dan rekaman didokumentasikan secara tertulis. Data sekunder yang diperoleh dari hasil wawancara berupa perubahan bentuk kata yang menunjukkan unsur persona sebagai pelaku atau yang mengalami kegiatan tertentu didokumentasikan secara tertulis.

Selanjutnya dipilih data yang ada hubungannya dengan penelitian dan benar-benar otentik. Kemudian data-data primer tersebut yang berupa kosakata diklasifikasikan berdasarkan kelas katanya masing-masing. Pengklasifikasian ini berdasarkan kelas kata yang ada dalam bahasa Indonesia sebagai acuannya, namun dalam pengklasifikasian tidak dipaksakan bahwa kelas kata bahasa Ansus harus sesuai dengan kelas kata yang ada dalam bahasa Indonesia, sebab bisa jadi, kelas kata dalam bahasa Ansus akan berbeda dari kelas kata dalam bahasa Indonesia. Pengklasifikasian berdasarkan kelas kata dalam bahasa Indonesia hanya dimaksudkan untuk memudahkan peneliti karena bahasa yang dikuasai peneliti adalah bahasa Indonesia.

Kosakata dalam bahasa Ansus dikelompokkan lagi sesuai dengan kebutuhan siswa dan keseringan penggunaannya dalam masyarakat.


(33)

Pengelompokkan ini dilakukan dari masing-masing jenis kata sehingga memudahkan pengelompokkan, dan hasil pengelompokkan ini disusun secara sistematis sebagai bahan ajar muatan lokal. Adanya bahan ajar muatan lokal berupa kosakata bahasa Ansus ini dapat membantu siswa untuk menggunakan kata-kata tersebut dalam komunikasi sehari-hari. Selain itu, siswa lain yang tidak menguasai bahasa Ansus, dapat mempelajari kosakata tersebut untuk menambah pengetahuannya tentang bahasa Ansus, atau membantunya dalam komunikasi dengan menggunakan bahasa Ansus. Siswa lain yang dimaksud di sini adalah siswa pendatang dari luar Ansus yang berasal dari suku lain, tetapi bersekolah di Ansus.

3. Teknik Analisis Data

Menurut Fraenkel dan Wallen (1993:384), menganalisis data sebuah penelitian kualitatif pada dasarnya mensintesa informasi yang diperoleh peneliti dari berbagai macam sumber (seperti dari, pengamatan, interview, analisis dokumen) ke dalam sebuah uraian koheren tentang apa yang telah diamati atau yang tidak ditemukan. Sugiyono (2007:245) menjelaskan bahwa analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum memasuki lapangan, selama di lapangan, dan setelah selesai di lapangan. Analisis data sebelum peneliti memasuki lapangan dilakukan terhadap data hasil studi pendahuluan (data sekunder) yang akan digunakan untuk menentukan fokus penelitian.

Teknik analisis yang digunakan adalah teknik analisis kata atau yang disebut teknik analisis struktur kata. Teknik analisis struktur kata adalah suatu


(34)

teknik yang menganalisis bagian kata yang selalu muncul dalam bentuk gabungan sehingga dengan mengingat kata dasarnya, maka semua kata yang mempergunakan dasar tadi dapat diduga maknanya secara tepat (Keraf, 1986:72). Teknik analisis struktur kata adalah salah satu cara yang efektif untuk mengembangkan kosakata dan sebagian besar disimpulkan dari makna kata. Salah satu aspek dari analisis struktur kata biasanya menggunakan prefiks dan sufiks (Wallace, 1984:86). Edgar Dale dalam Ansari (1992:28) memisahkan teknik ini dalam tiga bagian dengan nama teknik prefiks, teknik afiks, dan teknik akar kata. Jadi, teknik analisis kata ini terdiri atas prefiks, sufiks, infiks, dan akar kata atau dasar kata.

Setelah data-data kosakata bahasa Ansus dikumpulkan melalui teknik pengumpulan data dan dikelompokkan berdasarkan jenis katanya, maka selanjutnya kata-kata tersebut yang berupa data primer dan data sekunder dianalisis berdasarkan proses pembentukannya dengan menggunakan teknik analisis kata. Kosakata dalam bahasa Ansus merupakan kata-kata yang terdiri atas prefiks, infiks, sufiks, dan akar kata. Akar kata yang mendapat penambahan fonem/morfem di awal kata (prefiks) dan diakhir kata (sufiks) dan mendapat penyisipan di tengah kata (infiks) dengan tujuan untuk menyatakan persona pada kosakata bahasa Ansus.

Proses analisis kata tersebut di atas seperti prefiks, infiks, sufiks dan akar kata termasuk dalam proses afiksasi yaitu proses penambahan imbuhan pada bentuk dasar sehingga analisis kosakata BA melibatkan proses analisis yang lebih luas yakni proses morfologis. Hal ini juga disebabkan kata-kata dalam BA juga


(35)

mengalami proses morfologis. Analisis dilakukan dengan menggunakan proses morfologis yang disesuaikan dengan keadaan data sebagaimana adanya. Proses morfologis yang digunakan yakni proses afiksasi, reduplikasi, perubahan interen, suplisi, modifikasi kosong, derivasi, infleksi, komposisi, penambahan (aditif), penggantian (replesif), dan pengurangan (substraktif). Proses morfologis tersebut tidak semuanya diterapkan pada kata yang dianalisis tetapi kata tersebut dianalisis sesuai dengan proses morfologis yang tepat untuk menganalisis kata tersebut.

Adapun model analisis yang digunakan adalah model analisis induktif yang menganalisis data dalam lingkup yang lebih kecil atau sederhana hingga lingkup yang lebih besar atau kompleks dari data yang telah dikumpulkan. Analisis data kualitatif adalah merupakan suatu proses induktif dalam mengorganisir data menjadi beberapa kategori dan mengidentifikasikan pola-pola (hubungan) di antara banyak kategori (Mc.Millan dan Sally Schumacher, 2001:461). Analisis induktif berarti bahwa berbagai kategori dan pola muncul/berasal dari data dan bukan dibebankan pada data sebelum pengumpulan data. Proses induktif menghasilkan suatu kumpulan data deskriptif yang lebih abstrak (Mc.Millan dan Sally Schumacher, 2001:462). Kosakata bahasa Ansus dianalisis berdasarkan struktur kata dan kemudian menganalisis proses morfologis yang terjadi pada kosakata tersebut. Selanjutnya hasil analisis ditafsirkan dan diinterpretasikan sesuai dengan penjabarannya dalam penulisan. Langkah selanjutnya adalah memanfaatkan hasil analisis sebagai bahan ajar yakni memilih kosakata yang relevan dalam kehidupan sehari-hari yang kemudian akan menjadi bahan ajar Muatan Lokal di Distrik Yapen Barat.


(36)

E. Asumsi Penelitian

Berdasarkan pada rumusan masalah tersebut di atas, maka penulis mengasumsikan hal-hal berikut.

1. Bahasa Ansus memiliki kosakata seperti halnya bahasa-bahasa daerah lainnya. Kosakata tersebut dapat dikelompokkan dalam beberapa jenis kata, yakni kata kerja, kata benda, kata bilangan, kata sifat, dan kata keterangan.

2. Kosakata bahasa Ansus dipilih sesuai dengan kegunaannya dalam percakapan. Pemilihan tersebut disesuaikan dengan kebutuhan siswa dalam berkomunikasi. Pemilihan ini dimaksudkan untuk memudahkan para siswa dalam mempelajari kosakata bahasa Ansus sebagai bahan ajar muatan lokal. 3. Bahasa Indonesia dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam

pengajaran muatan lokal bahasa Ansus karena bahasa Indonesia dikuasai oleh masyarakat Ansus. Hal ini disebabkan beberapa hal yaitu lingkup pemakaian bahasa Ansus yang sangat terbatas, terdapat banyak bahasa daerah, dan adanya masyarakat heterogen.


(37)

BAB V PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian mengenai kosakata bahasa Ansus dan pembahasan tentang pembentukan kosakata bahasa Ansus dalam penulisan ini, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut.

1. Pembentukan kosakata bahasa Ansus tidak terlepas dari unsur persona sebagai pelaku perbuatan, atau yang mengalami perbuatan, bahkan juga menunjukan kepemilikan terhadap suatu benda. Penggunaan kata ganti orang merupakan dasar pembentukan kata bahasa Ansus terutama kata kerja dan kata sifat, sedangkan pembentukan kata bahasa Ansus yang berkaitan dengan kata benda menggunakan unsur persona untuk menyatakan milik dan untuk pembentukan menjadi kata kerja.

2. Kosakata bahasa Ansus dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok besar yakni pertama, morfem bebas yang sudah dapat digunakan dalam tataran frasa dan kalimat yang sebagian besar merupakan kata benda; kedua, morfem terikat berupa kata yang sudah memiliki makna tertentu tetapi belum dapat digunakan dalam tataran frasa dan kalimat; dan ketiga, morfem terikat berupa akar kata yang menunjukkan makna tertentu tetapi belum dapat digunakan dalam tataran frasa dan kalimat. Kata dalam kelompok kedua dan ketiga dapat digunakan dalam tataran frasa dan kalimat apabila sudah mengalami proses


(38)

afiksasi yang melibatkan unsur persona, baik sebagai pelaku maupun yang mengalami keadaan tertentu.

3. Bahasa Ansus mengalami proses pembentukan dengan mengikuti pola-pola tertentu. Pola-pola tersebut dianalisis berdasarkan proses pembentukan kosakata bahasa Ansus dan pola-pola ini berkaitan dengan pembentukan kosakata bahasa Ansus secara keseluruhan dalam semua jenis kata. Secara umum, pola-pola pembentukan dapat dirumuskan sebagai berikut.

a. Pola Kelompok I berkaitan dengan penggunaan kata ganti orang, yakni saya /yau/, kau /au/, dia /i/ untuk di akhir kata dan /andi/ untuk di awal kata, kami /tata/, kami dua /taru/, kami tiga /totoru/, kita /ama/, kita dua /auru/, kita tiga /antoro/, kalian (kamu) /mia/, kamu dua /maru/, kamu tiga /mitoru/, mereka /ya/, mereka dua /asaru/, mereka tiga /itoru/, pada kata bahasa Ansus.

b. Pola penambahan fonem ditandai dengan adanya fonem /y/ yang ditambahkan pada akar kata BA untuk menyatakan saya, fonem /b/ untuk menyatakan kau, fonem /d/ untuk menyatakan dia, dan morfem /tata/ untuk kami, /tura/ untuk kami dua, /tora/ untuk kami tiga, /meta/ untuk menyatakan kamu, /mura/ untuk kamu dua, /mitora/ untuk kamu tiga, /eta/ untuk mereka, /ura/ untuk mereka dua, /itora/ untuk mereka tiga, dan /amata/ untuk menyatakan kita. Morfem-morfem tersebut di atas mengalami perubahan fonem akhir /a/ menjadi fonem vokal yang lain sesuai dengan fonem awal akar kata BA. Pola ini terdiri atas tiga pola yaitu pola kelompok IIa, IIb, dan IIc. Pada pola kelompok IIa, untuk menyatakan kau fonem /b/ dapat berubah


(39)

menjadi /bu/ dan /bo/; dan pada pola kelompok IIb fonem /y/, /b/, /d/ berubah menjadi /yo/, /bo/, /do/ dengan berbagai variasi bentuk; serta pada pola kelompok IIc fonem /y/, /b/, /d/ berubah menjadi /ye/, /bo/, /de/ untuk menyatakan saya, kau, dan dia.

c. Pola kelompok III yang berhubungan dengan anggota tubuh ditandai dengan fonem /u/ yang disisipkan pada akar kata BA untuk menyatakan saya, fonem /m/, /mu/, /n/, /ng/ untuk menyatakan kau, akar kata yang menunjukkan anggota tubuh untuk menyatakan dia, dan morfem /tan/, /tas/, /tam/, /tang/, untuk kami, /tun/, /tus/, /tum/, /tung/ untuk kami dua, /ton/, /tos/, /tom/, /tong/ untuk kami tiga, /men/, /mes/, /mem/, /meng/ untuk menyatakan kamu, /mun/, /mus/, /mum/, /mung/ untuk kamu dua, /miton/, /mitos/, /mitom/, /mitong/ untuk kamu tiga, /en/, /es/, /em/, /eng/ untuk mereka, /un/, /us/, /um/, /ung/ untuk mereka dua, /iton/, /itos/, /itom/, /itong/ untuk mereka tiga, dan /aman/, /amas/, /amam/, /amang/ untuk menyatakan kita.

Akar kata yang menunjukkan anggota tubuh yaitu /du/ (bagian kepala), /re/ (mata/wajah), /tara/ (telinga/pipi), /wope/ (hidung), /wore/ (bagian mulut), /wora/ (pinggang), /dere/ (gigi), /rau/ (leher), /wara/ (bagian tangan), /aro/ (dada), /karu/ (punggung), /ama/ (bagian pinggul), /awa/ (paha), dan /ae/ (bagian kaki). Akar kata tersebut dapat menyatakan milik, perbuatan yang dilakukan dengan melibatkan anggota tubuh, atau hal yang dialami oleh anggota tubuh.

d. Pola kelompok IV merupakan penambahan dan perubahan fonem yang terdiri atas lima pola yaitu IVa, IVb, IVc, IVd dan IVe. Pola ini ditandai


(40)

dengan fonem /e/ yang ditambahkan pada akar kata BA untuk menyatakan saya, sedangkan untuk menyatakan kau dan dia tidak mengalami perubahan bentuk dasarnya yakni pada pola kelompok IVa. Pada pola kelompok IVb terjadi penambahan fonem /u/ dan /o/ untuk menyatakan kau dan fonem /i/ untuk menyatakan dia. Pada pola kelompok IVc terjadi perubahan fonem kedua pada akar kata yakni fonem /a/ berubah menjadi fonem /o/ untuk menyatakan kau dan fonem /e/ untuk menyatakan dia. Pada pola kelompok IVd terjadi penambahan fonem /u/ untuk menyatakan kau, serta perubahan fonem awal /t/ menjadi /s/ untuk menyatakan dia. Pada pola kelompok IVe dibentuk dengan penambahan fonem /w/ dan /wo/ untuk menyatakan kau, fonem /y/ dan /ye/ untuk menyatakan dia.

Bentuk jamak untuk menyatakan kami, kami dua, kami tiga, kamu, kamu dua, kamu tiga, mereka, mereka dua, mereka tiga, dan kita menggunakan pola tertentu sesuai dengan fonem awal akar kata. Akar kata yang berawal dengan fonem /m/ dan /n/ menyebabkan perubahan menjadi /ta/ untuk kami, /tu/ untuk kami dua, /to/ untuk kami tiga, dst. Akar kata yang berawal dengan fonem /r/, dan /t/ menyebabkan perubahan menjadi /tan/ untuk kami, /tun/ untuk kami dua, /ton/ untuk kami tiga, dst. Akar kata yang berawal dengan fonem /p/, /b/ dan /w/ menyebabkan perubahan menjadi /tam/ untuk kami, /tum/ untuk kami dua, /tom/ untuk kami tiga, dst. Akar kata yang berawal dengan fonem /k/ menyebabkan perubahan menjadi /tang/ untuk kami, /tung/ untuk kami dua, /tong/ untuk kami tiga, dst. Akar kata yang berawal dengan fonem /a/ dan /y/


(41)

menyebabkan perubahan menjadi /tas/ untuk kami, /tus/ untuk kami dua, /tos/ untuk kami tiga, dan seterusnya.

e. Pola kelompok V berkaitan dengan penggunaan morfem we yang dibentuk dengan penambahan morfem /ewe/ untuk menyatakan saya, /we/ untuk menyatakan kau/dia, dan morfem /tambe/ untuk kami, /tumbe/ untuk kami dua, /tombe/ untuk kami tiga, /membe/ untuk menyatakan kamu, /mumbe/ untuk kamu dua, /mitombe/ untuk kamu tiga, /embe/ untuk mereka, /umbe/ untuk mereka dua, /itombe/ untuk mereka tiga, dan /amambe/ untuk menyatakan kita.

f. Pola kelompok VI berkaitan dengan penggunaan morfem ane yang dibentuk dengan penambahan morfem /aneu/ untuk menyatakan saya; /anem/, /anemu/, /anen/, /aneng/ untuk menyatakan kau; dan /ane/ untuk menyatakan dia; serta morfem /tasane/ untuk kami, /tusane/ untuk kami dua, /tosane/ untuk kami tiga, /mesane/ untuk menyatakan kamu, /musane/ untuk kamu dua, /mitosane/ untuk kamu tiga, /esane/ untuk mereka, /usane/ untuk mereka dua, /itosane/ untuk mereka tiga, dan /amasane/ untuk menyatakan kita.

g. Pola kelompok VII berkaitan dengan penggunaan morfem ne yang dibentuk dengan penambahan morfem /neu/ untuk menyatakan saya; /nemu/ dan /nen/ untuk menyatakan kau; dan /ane/ untuk menyatakan dia; serta morfem /tane/ untuk kami, /tune/ untuk kami dua, /tone/ untuk kami tiga, /mene/ untuk menyatakan kamu, /mune/ untuk kamu dua, /mitone/ untuk kamu tiga, /ene/ untuk mereka, /une/ untuk mereka dua, /itone/ untuk mereka tiga, dan /amane/ untuk menyatakan kita.


(42)

4. Kata benda BA mengalami proses derivasi menjadi kata ganti orang dengan menggunakan pola kelompok III, IV, VI, dan VII dan mengalami proses derivasi menjadi kata kerja dengan mengikuti pola kelompok IV. Kata benda juga terbentuk dengan melalui proses afiksasi yaitu penambahan fonem dan morfem tertentu pada kata tertentu sehingga terbentuk kata dengan makna yang berbeda. Pemajemukan banyak terjadi dalam pembentukan kata benda yakni penggabungan dua kata dengan makna yang berbeda menjadi kata baru dengan makna yang baru pula. Pada kata benda terjadi penggabungan kata atau morfem yang merupakan pengulangan yang bermakna tunggal. Modifikasi tanujud terjadi pada kata benda bahasa Ansus yang memiliki bentuk yang sama, tetapi memiliki makna yang berbeda dengan kelas kata yang berbeda pula. Perbedaan makna kata dan kelas kata dapat dibedakan dalam konteks penggunaannya.

5. Proses afiksasi terjadi pada semua bentuk kata kerja BA yang menyebabkan perubahan bentuk kata kerja. Pada proses ini terjadi penambahan fonem atau morfem, perubahan fonem, dan penghilangan fonem pada bentuk jamak. Penambahan fonem terjadi pada pola kelompok II yaitu penambahan fonem /y/, /b/, /d/, dan pada sebagian kata yang menunjukkan perbuatan yang dilakukan oleh anggota tubuh tertentu pada pola kelompok III. Penambahan fonem vokal pada pola kelompok IVb dan penambahan fonem konsonan pada pola kelompok IVe. Selain itu, terjadi proses pengimbuhan pada kata kerja BA dengan mengikuti pola kelompok V, VI, dan VII yang merupakan hasil derivasi dari akar kata sifat.


(43)

Infleksi kata kerja BA terjadi pada pola kelompok I yakni dengan penambahan bentuk persona pada kata kerja sehingga terjadi perubahan bentuk yang menyatakan persona sebagai pelaku perbuatan tanpa mengubah kelas kata dan terjadi pada semua kata kerja yang bentuk dasarnya atau akar katanya menunjukkan pekerjaan karena perubahan untuk menyatakan orang yang melakukan pekerjaan tersebut tidak menyebabkan perubahan kelas kata. Proses derivasi menjadi kata kerja terjadi dari kata benda dan sebagian besar dari akar kata sifat. Pemajemukan kata kerja BA merupakan penggabungan dari jenis kata lain menjadi kata kerja dan juga terjadi perulangan morfem kata kerja BA yang bermakna pekerjaan yang dilakukan berulang kali.

6. Kata sifat dalam bahasa Ansus sebagian besar merupakan akar kata yang menunjukkan sifat dan mengalami proses afiksasi untuk menunjukkan sifat dari suatu benda atau orang. Selain itu, terjadi penambahan fonem dan morfem tertentu pada kata tertentu sehingga terbentuk kata dengan makna yang berbeda dari jenis kata yang lain. Kata sifat BA sebagian besar merupakan verba ajektiva yang mengalami derivasi menjadi kata kerja karena diikuti oleh unsur persona yang menyatakan perbuatan. Pemajemukan kata sifat terjadi dari jenis kata lain yang membentuk kata sifat.

7. Kata bilangan BA merupakan penggabungan kata dengan morfem /ea/ yang dapat berarti tambah dan morfem /we/ yang dapat diartikan sebagai kali untuk membentuk bilangan yang lebih tinggi. Numeralia belasan memiliki pola 10 + angka satuan, misalnya /ura ea koiri/ dan numeralia puluhan dari 10 – 50 merupakan penggabungan morfem-morfem, sedangkan dari 60 – 90


(44)

menggunakan kelipatan dua puluh untuk bilangan genap dan penambahan 10 untuk bilangan ganjil. Bilangan di antara angka puluhan seperti 21-29, 31-39, 41-49, 51-59, 61-69, 71-79, 81-89, dan 91-99 menggunakan rumus angka puluhan + angka satuan. Numeralia ratusan menggunakan kelipatan dua puluh dengan penambahan 100 untuk seratus sampai tiga ratus, sedangkan untuk empat ratus sampai sembilan ratus menggunakan perkalian bilangan dua ratus untuk bilangan genap dan penambahan 100 untuk bilangan ganjil. Numeralia ribuan menggunakan kelipatan dua ratus dengan penambahan 1000 untuk seribu sampai tiga ribu, sedangkan untuk empat ribu sampai sepuluh ribu menggunakan perkalian bilangan dua ribu untuk bilangan genap dan penambahan 1000 untuk bilangan ganjil.

8. Kata keterangan sebagian besar digunakan di akhir kata dan juga dibentuk dengan penambahan morfem dan penggabungan kata (pemajemukan). Begitu pula dengan kata tugas yang dibentuk dengan penambahan morfem dan penggabungan kata (pemajemukan) serta beberapa kata digunakan pada awal kata.

9. Muatan lokal merupakan pelajaran tersendiri dengan cakupan materi yang meliputi lingkungan alam berupa keterampilan-keterampilan yang dapat menunjang kehidupan dan mata pencaharian; lingkungan sosial budaya berupa bahasa daerah (bahasa Ansus), lagu bahasa daerah (bewi/anwai), tarian adat, dan ukiran-ukiran; dan kebutuhan daerah merupakan materi-materi yang diarahkan untuk pengembangan potensi alam dan budaya, misalnya budidaya ikan, budidaya teripang, budidaya kerang mutiara, budidaya ganggang, dan


(45)

lain-lain. Cakupan materi bahasa Ansus sebagai bahan ajar Muatan Lokal meliputi anggota tubuh, kekerabatan, jenis binatang secara umum, jenis tumbuhan, benda-benda di lingkungan sekitar, bagian rumah, bagian-bagian perahu, kata kerja dasar, kata sifat yang sering digunakan, dan kata bilangan.

10. Bahasa Indonesia berperan penting dalam pengajaran bahasa Ansus sebagai bahan ajar Muatan Lokal. Bahasa Indonesia dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pengajaran bahasa Ansus. Bahasa Indonesia dapat dijadikan sebagai bahan acuan untuk mengajarkan bahasa Ansus yakni dengan menggunakan bahasa Indonesia untuk menyebutkan benda yang dimaksud sebelum menyebutkan nama benda tersebut dalam bahasa Ansus. Bahasa Indonesia sebagai bahan pembanding dalam mengajarkan bahasa Ansus terutama pengajaran yang berhubungan dengan kata kerja dan kata sifat sehingga siswa dapat menghindari kesalahan dalam menggunakan kata kerja bahasa Indonesia.

11. Bahasa Ansus dapat memberikan kontribusi terhadap bahasa Indonesia karena dengan mempelajari bahasa Ansus dan memahami perbedaan bentuk kata kerja kedua bahasa, siswa dapat menghindari kesalahan penggunaan kata kerja bahasa Indonesia dengan menggunakan bentuk kata kerja bahasa Ansus. Bahasa Ansus dapat memberikan kontribusi terhadap bahasa Indonesia dalam lingkup yang lebih luas untuk pengembangan ilmu bahasa khususnya bidang kajian morfologi bahasa Indonesia. Selain itu, bahasa Ansus dapat memberi kontribusi dalam hal nama-nama hewan laut.


(46)

B. Saran

Berdasarkan masalah yang dibahas dalam penulisan ini, penulis menyarankan hal-hal sebagai berikut.

1. Bahasa daerah merupakan aset budaya bangsa Indonesia yang perlu dilestarikan sehingga perlu dikembangkan penelitian-penelitian terhadap bahasa daerah khususnya bahasa daerah yang belum diteliti.

2. Usaha penelitian dan pengembangan bahasa daerah perlu ditingkatkan karena bahasa daerah merupakan salah satu bahan ajar mata pelajaran Muatan Lokal di sekolah dasar. Dari hasil penelitian bahasa daerah ini dapat disusun bahan ajar Muatan Lokal di lingkungan pengguna bahasa daerah tersebut.

3. Para guru sekolah dasar diharapkan untuk mengajarkan bahasa daerah sebagai bahan ajar Muatan Lokal. Apabila materinya belum ada, guru diharapkan dapat menyusun materi bahan ajar bahasa daerah tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk pelestarian bahasa dan budaya daerah bagi kepentingan pengembangan bahasa dan budaya nasional.

4. Bahasa daerah dapat merupakan bahan referensi bagi pengembangan ilmu bahasa sehingga usaha penelitian dan pendokumentasian bahasa daerah perlu ditingkatkan pada masa-masa mendatang sejalan dengan perkembangan ilmu bahasa. Dalam pembelajaran ilmu bahasa, selain mempelajari contoh-contoh bahasa asing, kita juga dapat menggunakan contoh-contoh dalam bahasa daerah sebagai bahan perbandingan.


(47)

DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, A. Chaedar. 1993. Linguistik Suatu Pengantar. Bandung : Angkasa. Anceaux, J. C. 1961. The Linguistic Situation In The Islands Of Yapen, Kurudu,

Nau and Miosnum, New Guinea. Institut Bahasa dan Tatabahasa.

Ansari, Khairil. 1992. Penerapan Teknik Analisis Kata dan Teknik Petunjuk Konteks pada Pemahaman Makna Kosakata (Istilah) dalam Pengajaran Kosakata. Tesis IKIP Bandung: tidak diterbitkan.

Aryani, Wiwik Dyah. 1999. Pengajaran Bahasa Lampung sebagai Muatan Lokal di Wilayah Transmigrasi Kab. Lampung Tengah. Tesis Sps UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah. 2009. Penyusunan Peta Blueprint Pembangunan Kabupaten Kepulauan Yapen (bahan seminar). Serui: PT. Citra Trirasa Konsultan.

Cahyono, Bambang Yudi. 1995. Kristal-kristal Ilmu Bahasa. Surabaya : Airlangga University Press.

Chaer, Abdul. 2002. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta.

Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta : Rineka Cipta.

Depdikbud. 1988. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka. Depdikbud. 1994. UUD – P4 – GBHN. Jakarta : BP-7 Pusat.

Depdiknas. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi ke-4). Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

Fraenkel, Jack R. dan Norman E. Wallen. 1993. How to Design and Evaluate Research in Education. New York : McGraw-Hill.

Keraf, Gorys. 1986. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta : Gramedia.

Koentjaraninggrat. 1991. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : Gramedia.

Komaruddin. 1984. Kamus Riset. Bandung : Angkasa.


(48)

Millan, James H. Mc. dan Sally Schumacher. 2001. Research in Education. San Francisco : Priscilla McGeehon.

Nababan, P.W.J. 1991. Sosiolinguistik. Jakarta : PT Gramedia.

Nurhadi. 1995. Tata Bahasa Pendidikan. Semarang : IKIP Semarang Press.

Nikelas, Syahwin. 1988. Pengantar Linguistik untuk Guru Bahasa. Jakarta : Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.

Parera, Jos Daniel. 2004. Teori Semantik. Jakarta : Erlangga.

Patay Musi, Fonny Hermelina. 2003. Ungkapan Tradisional dalam Bahasa Ansus. Skripsi FPBS Universitas Cenderawasih Jayapura: tidak diterbitkan. Pateda, Mansoer. 1988. Linguistik Sebuah Pengantar. Bandung : Angkasa. Pateda, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta : PT Rineka Cipta. Prakuso, Bambang. 1992. Kamus Kata Baku. Jakarta : Arcan.

Purba, Theodorus T. 1997. Morfologi Bahasa Ormu. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Ramlan, M. 1980. Morfologi (Suatu Tinjauan Deskriptif). Yogyakarta : UP

Karyono.

Ramlan, M. 1987. Morfologi (Suatu Tinjauan Deskriptif). Yogyakarta : C.V. Karyono.

Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Riduwan. 2007. Metode dan Teknik Menyusun Tesis. Bandung : Alfabeta.

Runtuboi, Orgenes. 1994. Implementasi Proyek Resettlement Penduduk dalam Program Pengembangan Kawasan Terpadu (PKT) di Kelurahan Ansus Kecamatan Yapen Barat Kabupaten Yapen Waropen Irian Jaya. Tesis Universitas Gadjah Mada Yogyakarta : tidak diterbitkan.

Salem, Laurensius. 1999. Tingkat Keterbacaan Bahan Muatan Lokal bagi Murid SD Berdasarkan Pertimbangan Pakar dan Hasil Tes. Tesis Sps UPI Bandung : tidak diterbitkan.


(49)

Sardila, Vera. 2003. Kajian Kode Bahasa, Kode Sastra, dan Kode Budaya dalam Novel Pergolakan Karya Wildan Yatim sebagai Bahan Ajar Sastra. Tesis Sps UPI Bandung : tidak diterbitkan.

Silzer, J. Peter and Helja Heikkinan Clouse. 1991. Index Of Irian Jaya Languages. Jayapura: Universitas Cenderawasih – Summer Institute Of Linguistics.

Sudaryat, Yayat. 2008. Makna dalam Wacana (Prinsip-prinsip Semantik dan Pragmatik). Bandung : CV. Yrama Widya.

Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung : Alfabeta.

Suryati, Yati. 2003. Kemampuan Memahami dan Mengunakan Kosa Kata Bahasa Indonesia Siswa Sekolah dasar di Kabupaten Serang. Tesis Sps UPI Bandung : tidak diterbitkan.

Sutarto, Agustinus. 1996. Pembentukan Kata Kerja Bahasa Ansus : Suatu Sumbangan dalam Strategi Pengajaran Kata Kerja Bahasa Indonesia. Skripsi FPBS Universitas Cenderawasih Jayapura : tidak diterbitkan. Syamsuddin, AR. 1992. Studi Wacana, Teori Analisis Pengajaran. Bandung :

Mimbar Pendidikan Bahasa dan Seni FPBS IKIP Bandung.

Syamsuddin, AR. 2007. Modul Struktur Bahasa Indonesia. Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia, Modul tidak diterbitkan.

Syamsuddin AR dan Vismaia S. Damaianti. 2006. Metode Penelitian Pendidikan Bahasa. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Universitas Pendidikan Indonesia. 2007. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia.

Verhaar, J.W.M. 2008. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Wallace, Michael. 1984. Teaching Vocabulary. Heinemann Educational Books Ltd.

Wengkang, Thelma Ivonne Maria. 1993. Pemilihan Bahasa Daerah untuk Diajarkan pada Pendidikan Dasar di Kawasan Multilingual Daerah Minahasa. Tesis Sps UPI Bandung : tidak diterbitkan.


(1)

menggunakan kelipatan dua puluh untuk bilangan genap dan penambahan 10 untuk bilangan ganjil. Bilangan di antara angka puluhan seperti 21-29, 31-39, 41-49, 51-59, 61-69, 71-79, 81-89, dan 91-99 menggunakan rumus angka puluhan + angka satuan. Numeralia ratusan menggunakan kelipatan dua puluh dengan penambahan 100 untuk seratus sampai tiga ratus, sedangkan untuk empat ratus sampai sembilan ratus menggunakan perkalian bilangan dua ratus untuk bilangan genap dan penambahan 100 untuk bilangan ganjil. Numeralia ribuan menggunakan kelipatan dua ratus dengan penambahan 1000 untuk seribu sampai tiga ribu, sedangkan untuk empat ribu sampai sepuluh ribu menggunakan perkalian bilangan dua ribu untuk bilangan genap dan penambahan 1000 untuk bilangan ganjil.

8. Kata keterangan sebagian besar digunakan di akhir kata dan juga dibentuk dengan penambahan morfem dan penggabungan kata (pemajemukan). Begitu pula dengan kata tugas yang dibentuk dengan penambahan morfem dan penggabungan kata (pemajemukan) serta beberapa kata digunakan pada awal kata.

9. Muatan lokal merupakan pelajaran tersendiri dengan cakupan materi yang meliputi lingkungan alam berupa keterampilan-keterampilan yang dapat menunjang kehidupan dan mata pencaharian; lingkungan sosial budaya berupa bahasa daerah (bahasa Ansus), lagu bahasa daerah (bewi/anwai), tarian adat, dan ukiran-ukiran; dan kebutuhan daerah merupakan materi-materi yang diarahkan untuk pengembangan potensi alam dan budaya, misalnya budidaya ikan, budidaya teripang, budidaya kerang mutiara, budidaya ganggang, dan


(2)

lain-lain. Cakupan materi bahasa Ansus sebagai bahan ajar Muatan Lokal meliputi anggota tubuh, kekerabatan, jenis binatang secara umum, jenis tumbuhan, benda-benda di lingkungan sekitar, bagian rumah, bagian-bagian perahu, kata kerja dasar, kata sifat yang sering digunakan, dan kata bilangan.

10. Bahasa Indonesia berperan penting dalam pengajaran bahasa Ansus sebagai bahan ajar Muatan Lokal. Bahasa Indonesia dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pengajaran bahasa Ansus. Bahasa Indonesia dapat dijadikan sebagai bahan acuan untuk mengajarkan bahasa Ansus yakni dengan menggunakan bahasa Indonesia untuk menyebutkan benda yang dimaksud sebelum menyebutkan nama benda tersebut dalam bahasa Ansus. Bahasa Indonesia sebagai bahan pembanding dalam mengajarkan bahasa Ansus terutama pengajaran yang berhubungan dengan kata kerja dan kata sifat sehingga siswa dapat menghindari kesalahan dalam menggunakan kata kerja bahasa Indonesia.

11. Bahasa Ansus dapat memberikan kontribusi terhadap bahasa Indonesia karena dengan mempelajari bahasa Ansus dan memahami perbedaan bentuk kata kerja kedua bahasa, siswa dapat menghindari kesalahan penggunaan kata kerja bahasa Indonesia dengan menggunakan bentuk kata kerja bahasa Ansus. Bahasa Ansus dapat memberikan kontribusi terhadap bahasa Indonesia dalam lingkup yang lebih luas untuk pengembangan ilmu bahasa khususnya bidang kajian morfologi bahasa Indonesia. Selain itu, bahasa Ansus dapat memberi kontribusi dalam hal nama-nama hewan laut.


(3)

B. Saran

Berdasarkan masalah yang dibahas dalam penulisan ini, penulis menyarankan hal-hal sebagai berikut.

1. Bahasa daerah merupakan aset budaya bangsa Indonesia yang perlu dilestarikan sehingga perlu dikembangkan penelitian-penelitian terhadap bahasa daerah khususnya bahasa daerah yang belum diteliti.

2. Usaha penelitian dan pengembangan bahasa daerah perlu ditingkatkan karena bahasa daerah merupakan salah satu bahan ajar mata pelajaran Muatan Lokal di sekolah dasar. Dari hasil penelitian bahasa daerah ini dapat disusun bahan ajar Muatan Lokal di lingkungan pengguna bahasa daerah tersebut.

3. Para guru sekolah dasar diharapkan untuk mengajarkan bahasa daerah sebagai bahan ajar Muatan Lokal. Apabila materinya belum ada, guru diharapkan dapat menyusun materi bahan ajar bahasa daerah tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk pelestarian bahasa dan budaya daerah bagi kepentingan pengembangan bahasa dan budaya nasional.

4. Bahasa daerah dapat merupakan bahan referensi bagi pengembangan ilmu bahasa sehingga usaha penelitian dan pendokumentasian bahasa daerah perlu ditingkatkan pada masa-masa mendatang sejalan dengan perkembangan ilmu bahasa. Dalam pembelajaran ilmu bahasa, selain mempelajari contoh-contoh bahasa asing, kita juga dapat menggunakan contoh-contoh dalam bahasa daerah sebagai bahan perbandingan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, A. Chaedar. 1993. Linguistik Suatu Pengantar. Bandung : Angkasa. Anceaux, J. C. 1961. The Linguistic Situation In The Islands Of Yapen, Kurudu,

Nau and Miosnum, New Guinea. Institut Bahasa dan Tatabahasa.

Ansari, Khairil. 1992. Penerapan Teknik Analisis Kata dan Teknik Petunjuk Konteks pada Pemahaman Makna Kosakata (Istilah) dalam Pengajaran Kosakata. Tesis IKIP Bandung: tidak diterbitkan.

Aryani, Wiwik Dyah. 1999. Pengajaran Bahasa Lampung sebagai Muatan Lokal di Wilayah Transmigrasi Kab. Lampung Tengah. Tesis Sps UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah. 2009. Penyusunan Peta Blueprint Pembangunan Kabupaten Kepulauan Yapen (bahan seminar). Serui: PT. Citra Trirasa Konsultan.

Cahyono, Bambang Yudi. 1995. Kristal-kristal Ilmu Bahasa. Surabaya : Airlangga University Press.

Chaer, Abdul. 2002. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta.

Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta : Rineka Cipta.

Depdikbud. 1988. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka. Depdikbud. 1994. UUD – P4 – GBHN. Jakarta : BP-7 Pusat.

Depdiknas. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi ke-4). Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

Fraenkel, Jack R. dan Norman E. Wallen. 1993. How to Design and Evaluate Research in Education. New York : McGraw-Hill.

Keraf, Gorys. 1986. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta : Gramedia.

Koentjaraninggrat. 1991. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : Gramedia.

Komaruddin. 1984. Kamus Riset. Bandung : Angkasa.


(5)

Millan, James H. Mc. dan Sally Schumacher. 2001. Research in Education. San Francisco : Priscilla McGeehon.

Nababan, P.W.J. 1991. Sosiolinguistik. Jakarta : PT Gramedia.

Nurhadi. 1995. Tata Bahasa Pendidikan. Semarang : IKIP Semarang Press.

Nikelas, Syahwin. 1988. Pengantar Linguistik untuk Guru Bahasa. Jakarta : Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.

Parera, Jos Daniel. 2004. Teori Semantik. Jakarta : Erlangga.

Patay Musi, Fonny Hermelina. 2003. Ungkapan Tradisional dalam Bahasa Ansus. Skripsi FPBS Universitas Cenderawasih Jayapura: tidak diterbitkan. Pateda, Mansoer. 1988. Linguistik Sebuah Pengantar. Bandung : Angkasa. Pateda, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta : PT Rineka Cipta. Prakuso, Bambang. 1992. Kamus Kata Baku. Jakarta : Arcan.

Purba, Theodorus T. 1997. Morfologi Bahasa Ormu. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Ramlan, M. 1980. Morfologi (Suatu Tinjauan Deskriptif). Yogyakarta : UP

Karyono.

Ramlan, M. 1987. Morfologi (Suatu Tinjauan Deskriptif). Yogyakarta : C.V. Karyono.

Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Riduwan. 2007. Metode dan Teknik Menyusun Tesis. Bandung : Alfabeta.

Runtuboi, Orgenes. 1994. Implementasi Proyek Resettlement Penduduk dalam Program Pengembangan Kawasan Terpadu (PKT) di Kelurahan Ansus Kecamatan Yapen Barat Kabupaten Yapen Waropen Irian Jaya. Tesis Universitas Gadjah Mada Yogyakarta : tidak diterbitkan.

Salem, Laurensius. 1999. Tingkat Keterbacaan Bahan Muatan Lokal bagi Murid SD Berdasarkan Pertimbangan Pakar dan Hasil Tes. Tesis Sps UPI Bandung : tidak diterbitkan.


(6)

Sardila, Vera. 2003. Kajian Kode Bahasa, Kode Sastra, dan Kode Budaya dalam Novel Pergolakan Karya Wildan Yatim sebagai Bahan Ajar Sastra. Tesis Sps UPI Bandung : tidak diterbitkan.

Silzer, J. Peter and Helja Heikkinan Clouse. 1991. Index Of Irian Jaya Languages. Jayapura: Universitas Cenderawasih – Summer Institute Of Linguistics.

Sudaryat, Yayat. 2008. Makna dalam Wacana (Prinsip-prinsip Semantik dan Pragmatik). Bandung : CV. Yrama Widya.

Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung : Alfabeta.

Suryati, Yati. 2003. Kemampuan Memahami dan Mengunakan Kosa Kata Bahasa Indonesia Siswa Sekolah dasar di Kabupaten Serang. Tesis Sps UPI Bandung : tidak diterbitkan.

Sutarto, Agustinus. 1996. Pembentukan Kata Kerja Bahasa Ansus : Suatu Sumbangan dalam Strategi Pengajaran Kata Kerja Bahasa Indonesia. Skripsi FPBS Universitas Cenderawasih Jayapura : tidak diterbitkan. Syamsuddin, AR. 1992. Studi Wacana, Teori Analisis Pengajaran. Bandung :

Mimbar Pendidikan Bahasa dan Seni FPBS IKIP Bandung.

Syamsuddin, AR. 2007. Modul Struktur Bahasa Indonesia. Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia, Modul tidak diterbitkan.

Syamsuddin AR dan Vismaia S. Damaianti. 2006. Metode Penelitian Pendidikan Bahasa. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Universitas Pendidikan Indonesia. 2007. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia.

Verhaar, J.W.M. 2008. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Wallace, Michael. 1984. Teaching Vocabulary. Heinemann Educational Books Ltd.

Wengkang, Thelma Ivonne Maria. 1993. Pemilihan Bahasa Daerah untuk Diajarkan pada Pendidikan Dasar di Kawasan Multilingual Daerah Minahasa. Tesis Sps UPI Bandung : tidak diterbitkan.