STUDI TENTANG PERSEPSI NARAPIDANA TERHADAP PELAKSANAAN PROGRAM RESOSIALISASI DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DITINJAU DARI KAJIAN ANDRAGOGI: Studi Kasus di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Banceuy, Kotamadya Bandung.
STUDI TENTANG PERSEPSI NARAPIDANA TERHADAP
PELAKSANAAN PROGRAM RESOSIALISASI
DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DITINJAU DARI
KAJIAN ANDRAGOGI
(Studi Kasus di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Banceuy,
Kotamadya Bandung)
TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat
Memperoleh Gelar Magister Pendidikan
Program Studi Pendidikan Luar Sekolah
Oleh
HUSNITHAMRIN
430/C/XVI-8
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2000
LEMBAR PENGESAHAN
Pembimbing I
PROF PR H ACHMAD SANIJSI. SH.. MPA
Pembimbing II
PROF. DR. STITARYAT TRTSNAMANSYAH. M.A.
ABSTRAK
Pada sistem pemasyarakatan di negara kite, sebagaimana tertuang pada
Undang-Undang Pemasyarakatan No. 12 tahun 1995, dan Peraturan Menten
Kehakiman (No.02-PK.04.10. th. 1990, tentang Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan,
Lembaga Pemasyarakata^ disamping melaksanakan fungsi sebagai lembaga penegakan
hukum yang memberikan'derita berupa isolasi sosial (penjara), juga melaksanakan
peran lembaga pendidikan. Hal ini dimaksudkan agar kejeraan narapidana ketidakinginan untuk melakukan lagi tindak pidana - dilandasi oleh kesadaran
hukumnya. Untuk itu diupayakan agar pada diri narapidana terjadi perubahan sikap
yang berlanjut dengan perubahan perilaku ke arah yang lebih baik.
Warga belajar (warga binaan) narapidana tergolong "orang dewasa" dengan
later belakang yang variatit7homogen. Atas dasar itu maka tinjauan masalahnya dan
sudut pandang andragogi. Sedangkan yang dijadikan landasan pokok teorinya adalah
sebagai berikut:
a "Kebanyakan cara-cara bertingkah laku yang diambil seseorang selaras dengan
konsep dirinya, maka cara yang baik untuk mengubah perilaku seseorang adalah
dengan mengubah konsep dirinya (Carl Rogers);
b. "Perubahan sikap dalam konteks sosial budaya merupakan proses ajar (learning).
Proses ini dipengaruhi oleh faktor motivasi sebagai unsur psikologis yang memacu
derajat ke arah perubahan dan pengembangan ajar, yang pada orang dewasa
banyak ditentukan oleh kebutuhannya (need) mulai dari kebutuhan fisik-biologis
sampai padataraf aktualisasi diri (AH. Maslow)
Fokus masalahnya adalah : sejauhmana warga belajar narapidana
mengembangkan konsep dirinya melalui proses pembelajaran dan pemberdayaan pada
upaya resosialisasi di Lembaga Pemasyarakatan dalam rangka menjadikannya sebagai
warga yang sadar hukum, mandiri dan berintegrasi dengan masyarakat.
Metode penelitiannya adalah studi kasus dengan pendekatan kualitatif.
Dari hasil penelitian diperoleh temuan sebagai berikut:
1 UU Pemasyarakatan yang nota bene pertama kali sejak bangsa Indonesia merdeka
- yang dibuat tahun 1995 (No. 12/1995) - hingga sekarang belum ditindak lanjuti
dengan UU Organiknya sehingga secara yuridis - formal belum dapat diterap Yang sekarang dijadikan rujukan adalah Keputusan Menteri Kehakiman yang
dibuat/dikeluarkan tahun 1990 (No. 02-PK.04. 10 tahun 1990) yang tidak
bertumpu pada undang-undang yang bersifat nasional.
2 Model belajar pada pembinaan narapidana tidak disiapkan oleh instansi pusat dalam hal ini DITJEN Pemasyarakatan - melainkan diserahkan pada kebijakan
instansi bawahannya yaitu KANWEL Departemen Kehakiman dan atau LAPAS
yang bersangkutan.
Ill
"stigma" (pemberian cap sebagai penjahat) pada kehidupan masyarakat yang
menyebabkan kecilnya dukungan masyarakat.
Saran-saran yang diajukan adalah, yang bersifat praktis berupa : pengangkatan
pegawai personil Lembaga Pemasyarakatan yang khusus berperan sebagai sumber
belajar pada pendidikan luar sekolah bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan;
penentuan metodologis yang "up to date" dengan model-model belajar interaktif;
optimalisasi peran sumber daya yang ada; serta pembentukan lembaga mediasi bagi
narapidana yang akan terjun ke masyarakat; sedangkan saran yang teoritik penelitian
mengenai tema : "Peran anggota keluarga dalam menunjang pembinaan narapidana di
Lembaga Pemasyarakatan"; dan'tfektivitas pembelajaran narapidana dalam pembinaan
kesadaran hukumnya melalui proses dinamika kelompok"
IV
DAFTARISI
ABSTRAK
iii
KATA PENGANTAR
v
PENGHARGAAN DAN UCAPAN TERIMA KASIH
vii
DAFTAR ISI
ix
DAFTAR TABEL
xii
DAFTAR BAGAN/SKEMA
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
xiv
BAB
BAB
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
1
B. Fokus Penelitian
8
C. Tujuan Penelitian
13
D. Manfaat Penelitian
14
E. Premis
15
II. TINJAUAN TEORITIK
A. Program Resosialisasi di Lembaga Pemasyarakatan
18
1. Pengertian "Pemasyarakatan" dan "Lembaga Pemasyarakatan". .19
2. Pengertian"Narapidana"dan Klasifikasinya
23
3. Fungsi-Peran Yudisial Lembaga Pemasyarakatan
25
4. Fungsi-Peran Edukatif Lembaga Pemasyarakatan
34
ix
B. Beberapa Konsep dan teori Belajar dalam Pendidikan Luar Sekolah. 71
1. Konsep "Konsep Diri" dalam Pendidikan Luar Sekolah
71
2. Konsep-konsep Pendidikan Luar Sekolah yang Relevan
86
3. Andragogi :Pendidikan Orang Dewasa
BAB
BAB
115
III PROSEDUR PENELITIAN
A. Pendekatan dan Metoda Penelitian
153
B. Subjek Penelitian
153
C. Alat Pengumpul Data
154
D. Pelaksanaan Pengumpulan Data
155
E. Langkah-langkah Pengolahan dan Analisis Data
156
IV HASIL PENELITIAN
A. Penyajian Data
158
1. Gambaran Umum Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA,
Banceuy, Kotamadya Bandung
158
2. Persepsi Warga Belajar Narapidana terhadap Pelaksanaan
Program Pembinaan Resosialisasi /Pemasyarakatan
B. Analisis Data
171
202
1. Later Belakang Diri dan Keluarga
202
2. Persepsi terhadap Pembinaan Kesadaran Hukum
203
3. Persepsi terhadap Pembinaan Etos Kerja
214
4. Persepsi terhadap Pembinaan Sikap Sosial
228
x
C. Diskusi dan Implikasi
238
1. Tentang Latar Belakang Diri dan Keluarga
238
2. Tentang Persepsi terhadap Pembinaan Kesadaran Hukum
242
3. Tentang Persepsi terhadap Pembinaan EtosKerja
250
4. Tentang Persepsi terhadap Sikap Sosial
255
D. Temuan Data
BAB
262
V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
264
B. Saran-saran
265
DAFTARPUSTAKA
266
XI
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Tahapan Psikologis
117
Tabel 2. A Comparison of Assumption and Design of Pedagogy and Andragogy. 149
Tabel 3. Identitas Narapidana Subjek Penelitian
154
Tabel 4. Jumlah Penganut Agama
164
Tabel 5. Tingkat Pendidikan Narapidana
165
Tabel 6. Kegiatan Pendidikan
167
Tabel 7. PelaksanaanPendidikan Pendidikan Agama Islam
168
XII
DAFTAR BAGAN/SKEMA
Bagan 1. Alur Pikir
12
Bagan 2. Organisasi Departemen Kehakiman
28
Bagan 3 Organisasi Direktorat Jenderal Pemarsyarakatan
29
Bagan 4. Susunan Organisasi KANWIL DEPKEH Type A
30
Bagan 5 Organisasi Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA
32
Bagan 6. Proses Pemasyarakatan Narapidana
46
Bagan 7. Persepsi
77
Bagan 8. Sikap
78
Bagan 9. Hubungan antara Konsep Diri dengan Proses Belajar dan Perubahan
Sikap
:
79
Bagan 10. Variabel Penunjang Sikap
81
Bagan 11. Perubahan Sikap Dalam Model Komunikasi
82
Bagan 12. Maslow Hierarchy of Human Needs
97
Bagan 13. PerbedaanWaktu dan Kemantapan PemenuhanKebutuhan
102
Bagan 14. Denah LembagaPemasyarakatan Kelas IIA, Banceuy, Bandung
159
Bagan 15. Personalia Pada Struktur Lembaga PemasyarakatanKelas IIA, Banceuy,
Kotamadya Bandung
162
xiu
DAFTAR LAMPIRAN
LampiranA : Instrumen Penelitian
LampiranB : Foto Dokumentasi Lingkungan, Sarana Lembaga Pemasyarakatan
serta Kegiatan Warga Belajar Narapidana
LampiranC : Surat Perizinan
xrv
BAB
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
//^^lj^^
^^ **Tpga»^ ^
Sebutan "narapidana" berasal dari kata "nara" yang berarti (sama dengan)
"orang" dan "pidana" yang berarti (sama dengan) "hukuman", jadi"narapidana" adalah
orang yang sedang menjalani hukuman.
Hukuman yang dijalani itu adalah hukuman pidana dan bentuknya khusus yaitu "pidana
penjara". Pidana ini merupakan salah satu bentuk pidana sebagaimana disebutkan pada
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPid) pasal 10 sub a butir 2. Pada pidana
penjara, kemerdekaan atau kebebasan bergaul sipelaku tindak pidana dalam kehidupan
masyarakat, untuk sementara waktu dicabut oleh negara; dengan perkataan lain,
kemerdekaan bergeraknya dibatasi. Sementara itu, ia ditempatkan di suatu tempat
yang bernama Lembaga Pemasyarakatan.
Oleh karena itu berbicara tentang narapidana, menyangkut persoalan kualitas manusia
sebagai warga negara, khususnya dengan tolok ukur nilai-nilai yang bersumber dari
norma hukum pidana.
Setiap warga negara memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dari negara
dan berhak pula untuk mengembangkan kualitas dirinya, termasuk hak atas
kesempatan mengikuti pendidikan; dan disisi lain, berkewajiban untuk menaati hukum
yang berlaku dan tidak menjadi gangguan bagi masyarakat, bahkan lebih jauh dituntut
untuk aktif berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan masyarakat lingkungannya.
Narapidana - sebagai seorang warga negara - justeru berprilaku yang merugikan
masyarakat dengan perbuatan kejahatannya. Akibat kejahatan tindak pidananya itu, ia
harus menerima risiko berstatus sebagai narapidana yang dipaksa mengalami
penderitaan isolasi sosialnya. Namun sementara itu, ia tetap sebagai warga negara yang
memiliki hak perlindungan dari negaranya.
Atas dasar itu maka harus diperlakukan manusiawi, tidak keluar dari batas-batas-batas
hak asasi manusia. Di sisi lain, tetap memiliki hak atas kesempatan memperoleh
pendidikan dalam rangka meningkatkan kualitas dirinya.
Secara sosiologis, narapidana dikatagorikan sebagai yang berperilaku
menyimpang dari nilai-nilai yang dianut masyarakat; dan psikologis, dikatagorikan
sebagai yang akhlaknya cacat atau berpenyakit.
Pada Pola Pembinaan
Narapidana/Tahanan - Bab III -, diketengahkan:
Menyadari bahwa pemasyarakatan adalah suatu proses pembinaan narapidana
yang sering pula disebut "therapeutics process",, maka jelas bahwa membina
narapidana itu sama artinya dengan menyembuhkan seseorang yang sementara
tersesat hidupnya karena adanya kelemahan-kelemahan yang dimilikinya.
Karena itu, dari pandangan kriminologi, narapidana dikatagorikan sebagai orang yang
ber-"penyakit sosial". dan dari sudut pandang kewargaan negara, tergolong manusia
Indonesia yang tidak utuh.
"Penyakit"-nya itu harus disembuhkan, akhlaknya diperbaiki agar kembali menjadi
"manusia utuh", dan tempat hidupnya dikembalikan ke alam masyarakat bebas.
Upaya mengembalikan ke sikap yang baik sebagai warga negara dan mengembalikan
tempat hidup ke masyarakat bebas, dikenal sebagai upaya "rehabilitasi sosial".
Upaya kegiatan rehabilitasi sosial merupakan bentuk kegiatan Pendidikan
Luar
Sekolah,
termasuk
yang
dilakukan terhadap
narapidana.
Peraturan
Pemerintah No. 73 tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Sekolah, tidak secara
tegas menyebutkan pengaturan mengenai kegiatan rehabilitasi sosial ini. Namun
kiranya bentuk satuan pendidikannya dapat digolongkan pada Satuan Pendidikan
Sejenis.
Upaya rehabilitasi sosial terhadap narapidana diberi istilah khusus yaitu
"pemasyarakatan".
Dan
tempat
pembinaannya
diberi
nama
"Lembaga
Pemasyarakatan". Undang-Undang No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
(disingkat UU Pemasyarakatan) memberikan batasan 'Temasyarakatan" sebagai
berikut:" Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan
Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang
merupakan bagian akhir dari sistem pembinaan dalam tata peradilan pidana".
Sedangkan batasan "Lembaga Pemasyarakatan" dirumuskan sebagai berikut :
"Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana
dan anak Didik Pemasyarakatan".
Semula, perubahan sikap - ke arah yang baik-diharapkan dapat muncul sebagai
respon dari penjeraan (diterrence) berupa penderitaan akibat isolasinya. Namun
pengalaman menunjukkan bahwa penderitaan tersebut tidak otomatis membuat
narapidana menjadi jera. Soejono Dirdjosisworo (1984) mengetengahkan hasil
pengamatan Sir John Fielding :
Saya yakin dapat ditambahkan bahwa suatu penjara tidak menyembuhkan
moral-moral. Sir John Fielding melihat bahwa "seorang penjahat yang telah
dilepaskan umumnya pada masa kemudiannya, setelah pelaksanaan hukuman
mati teman-temannya, ia menjadi kepala suatu gerombolan bentukannya
sendiri", dengan pasti bertambah maju keahliannya karena pergaulan yang
didapat dalam penjara.
Kemudian, B. Simanjuntak (1981) mengungkapkan : "Bukanlah rahasia umum bahwa
justru hukuman itulah menjahatkan petindak kemudian, baik karena reaksi masyarakat
maupun karena akibat pergaulan dalam penjara".
Cukup banyaknya bekas narapidana yang menjadi residivis (mengulangi lagi
tindak pidananya) bahkan dengan bobot kejahatan yang lebih tinggi, disebabkan oleh
karena perhatian hanya ditujukan pada perbuatannya atau kejahatannya saja,
sedangkan diri pelakunya sendiri kurang mendapatkan perhatian.
Mengantisipasi pengalaman tersebut, para pakar mengkritik prinsip penjeraan
(deterrence) sebagai tujuan pidana penjara. Salah satu pokok pikiran pada gagasan
Sahardjo mengenai Konsepsi Pemayarakatan (R. Achmad S. Soema diPradja dan
Romli Atmasasmita, 1979) menyatakan bahwa: tobat tidak dapat dicapai dengan
penyiksaan, melainkan dengan bimbingan".
Orientasi pola kebijaksanaan pada perlakuan terhdap narapidana, diubah dengan lebih
mementingkan masa depan mereka dari pada hanya untuk tujuan pembalasan saja.
Mereka tidak lagi ditempatkan sebagai objek melainkan sebagai subjek, dianggap
sebagai seorang yang tengah menderita sakit dari pada sebagai penjahat.
Penyembuhannya "menggunakan pendekatan rehabilitatif melalui pembinaan/
bimbingan terhadap dirinya." Pembinaan ini terarah pada aspek mentalitas dengan
harapari akan tumbuh kesadaran hukum serta dimilikinya nilai ketaatan akan hukum.
Untuk itu kepada mereka diberikan bahan pengajaran yang berkaitan dengan
peningkatan kemampuan intelektual, nilai-nilai serta norma-norma. Upaya ini dikenal
dengan istilah "sosialisasi".
John A. Clausen (Romli Atmasasmita, 1983) merumuskan konsep "sosialisasi" sebagai
: the process by which the individual takes on the way of life of his society". Dengan
rumusan agak berbeda, sosiolog Bruce L. Cohen (Sahat Simamora, 1982) memberikan
batasan:
Sosialisasi adalah proses melalui mana manusia mempelajari tata-cara
kehidupan dalam masyarakatnya untuk memperoleh kepribadian dan
membangun kapasitas untuk berfungsi, baik sebagai individu maupun sebagai
anggota kelompok.
Perbuatan tindak pidana merupakan gejala sosial. Yang terjadi kebanyakan
merupakan akibat dari kondisi pelaku yang dialami dan dirasakannya dalam kehidupan
masyarakat lingkungannya. Teori "Learning Process" dan teori "Conflicting
Subculture" menarik kesimpulan bahwa suatu pelanggaran hukum terjadi tidak semata-
mata didorong oleh adanya kehendak bebas (free will), melainkan juga - dan terutamaoleh kondisi sosio-kultural lingkungannya Dalam hubungan ini, J.E. Sahetapi (1984)
menyatakan :
... apa yang dinamakan kejahatan pada dasarnya merupakan suatu abstraksi
mental, dan oleh karena itu seyogyanya dilihat sebagai suatu penamaan
perwujudan yang relatifini tentu berakar pada dan oleh karena itu bergantung
dari hasil proses atau intraksi dalam wadah nilai-nilai sosial, budaya dan
struktur masyarakat yang bersangkutan, yang bisa mendapat rangsangan dari
pelbagai faktor, misalnya, kemiskinan, pengangguran, ketidak seimbangan
pribadi, ketidakpuasan, ketidak selarasan keluarga, kebijaksanaan penguasaan
yang berpihak, penegakkan hukum yang tidak adil, undang-undang yang buruk,
ketidakpastian masa depan, dan sebagainya.
Sikap dan perilaku seseorang, tidak lepas dari pengaruh latar belakang
kehidupannya, dan ini berkaitan dengan kondisi lingkungan masyarakatnya, termasuk
perilaku kejahatan atau anti sosial atau tindak pidana.
Di negara kita, ide resosialisasi ini telah sejak lama dicanangkan, diketengahkan
sejak tahun 1955.
Baharudin Soerjosubroto, dalam makalahnya pada Konferensi para Direktur dan
Pemimpin Kepenjaraan tahun 1955 (R. Achmad S. Soema diPradja dkk, 1979)
mengemukakan antara lain:
.... tujuan ini hanya dapat dicapai apabila masa hilangnya kebebasan itu
diarahkan sebanyak mungkin kepada usaha agar si pelanggar hukum pidana
dapat kembali ke dalam kehidupan di dalam masyarakat, bukan saja sebagai
seorang yang cenderung, akan tetapi yang secara sungguh-sungguh dapat
menjunjung tinggi dan menghormati undang-undang, dapat mencari nafkahnya
sendiri, dengan singkat: resocialisatie.
Kemudian, pada Naskah Sejarah Pemasyarakatan (Romli Atmasasmita,
1983) dikemukakan:
sebagai peristiwa sejarah jelas bahwa istilah "pemasyarakatan" telah
dipergunakan sejak tahun 1962, dan kalau isi dari apa yang menyebabkan
timbulnya istilah "pemasyarakatan" ditelaah dan diperbandingkan dengan apa
yang terkandung dalam istilah "resosialisasi" maka tidak terdapat perbedaanperbedaan prinsipiil.
Pengertian istilah "resosialisasi" tersebut di atas lebih cenderung ke pengertian
"sosialisasi" sebab tidak mengaitkan dengan peranan masyarakat.
Resosialisasi ialah suatu proses interaksi antara narapidana, petugas Lembaga
Pemasyarakatan dan masyarakat dalam rangka mengubah sistem nilai-nilai narapidana
sehingga mereka dapat dengan baik dan efektif mereadaptasi nilai-nilai dan normanormayangberlaku dalammasyarakat.
Pemasyarakatan merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas narapidana
dengan maksud agar sikap dan perilakunya berubah menjadi baik. Upaya demikian
adalah suatu proses belajar Karena itu Lembaga Pemasyarakatan sebagai tempat
pembinaannya, merupakan suatu lembaga pendidikan.
Dengan pemberian pendidikan, termasuk pendidikan terstruktur yang mentransfer
pengetahuan
dan kemampuan serta menumbuhkan motivasi, maka Lembaga
Pemasyarakatan berfungsi sebagai sarana pendidikan.
Implikasi dari tujuan resosialisasi agar narapidana menjadi jera, memiliki kesadaran
hukum-karenanya taat akan hukum - dan memiliki etos kerja adalah tuntutan pemilikan
serta pelaksanaan nilai-nilai moral. Bertumpu dari nilai-nilai moral ini maka tiap
perilakunya merupakan pelaksanaan dari dorongan diri sendiri ("inner-order"-nya).
"Inner-order" ini akan tumbuh manakala nilai-nilai yang ditanamkan dan norma-norma
yang diajarkan itu dipersepsi sama dan sesuai dengan tujuan pembinaan yang
diprogramkan.
Dari tanggapan atas deskripsi di atas, penulis tertarik untuk meneliti faktor
persepsi narapidana terhadap proses pembelajaran dan pemberdayaan dirinya. Dan
untuk itu, thesis ini diberi judul : "Studi tentang Persepsi Narapidana terhadap
Pelaksanaan Program Resosialisasi di Lembaga Pemasyarakatan ditinjau dari Kajian
Andragogi (Studi Kasus di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Banceuy, Kotamadya
Bandung)".
B. Fokus Penelitian
Dalam menentukan fokus penelitian, akan dikemukakan terlebih dahulu alur
berfikirnya.
Baik UU Pemasyarakatan maupun pola Pembinaan-nya, menempatkan konsep
pendidikan sebagai bagian dari "pembinaan" narapidana. Dari sudut pandang
Pendidikan Luar Sekolah, "Pembinaan" itu sendiri adalah suatu proses pendidikan
yaim keseluruhan pengkondisian dan kegiatan dalam upaya merehabilitasi narapidana
melalui perubahan sikap. Konsep "pendidikan" pada peraturan tersebut adalah
pendidikan terstruktur, karena itu dapat dinyatakan sebagai "pendidikan dalam arti
sempit". Implikasinya adalah bahwa keseluruhan pengalaman dan kegiatan narapidana
di Lembaga Pemasyarakatan merupakan proses belajar.
Belajar pada hakekatnya adalah kegiatan yang dilakukan secara sadar oleh seseorang
yang menghasilkan perubahan tingkah laku pada dirinya sendiri, baik dalam bentuk
pengetahuan dan ketrampilan baru maupun dalam bentuk sikap dan nilai yang positif.
Dalam hubungan ini Hintzman (Muhibbin, 1995) menekankan proses belajar itu pada
"pengalaman yang mempengaruhi organisme seperti dinyatakannya : "Learning is a
change in organism due to experience which canaffect the organism's behavior".
Pada pembinaan/pendidikan narapidana, faktor pengalaman ini memegang peranan
penting.
LAPAS mempunyai missi ganda, bersifat yuridis dan edukatif, masing-masing :
•
Yuridis-Filosofis sebagai pelaksana penegakan hukum yaitu melaksanakan putusan
pengadilan;
•
Yuridis-Praktis : sebagai sarana pelaksanaan pidana hilang kemerdekaan (penjara),
yaitu tempat merasakan penderitaan akibat isolasi sebagai pembalasan/sanksi atas
perbuatan kejahatannya;
• Edukatif : sebagai lembaga pendidikan yaitu membina narapidana melalui
pembelajaran dan pemberdayaan agar kembali menjadi warga yang baik
(rehabilitasi).
Yang pertama - yuridis-filosofis - adalah unmk kepentingan eksistensi hukum. Tiap
pelanggaran atas norma hukum dituntut adanya sanksi.
Yang kedua, unmk kepentingan perlindungan masyarakat. Titik berat mjuannya
terletak pada perilakunya yaitu mentaati peraturan hukum.
10
Yang ketiga, unmk kepentingan individu narapidana sebagai warga negara dan
anggota masyarakat. Titik berat mjuannya terletak pada faktor mentalitasnya.
Sasarannya adalah peningkatan kualitas sosok dirinya.
Melalui pembelajaran dan pemberdayaan dirinya, diharapkan agar perilaku taat akan
hukum itu mapan/ajeg, menginternalisasi dan menjadi bagian dari nilai-nilai dirinya.
Perilaku taatnya itu bukan karena paksaan dari luar dirinya melainkan atas "perintah"
nuraninya sendiri ("inner-order"-nya), dengan kata lain karena kesadaran hukumnya.
Disamping itu, unmk mengantisipasi faktor penyebabnya, diberikan pendidikan yang
mengarah pada penumbuhan etos kerja dengan pertimbangan bahwa pada umumnya
atau sebagian besar tindak pidana dimotivasi oleh mntutan kebutuhan dasar
penghidupan yangbersifat materiel.
Kesempatan itu dimanfaatkan juga untuk menciptakan kepedulian dan rasa tanggung
jawab terhadap kepentingan bersama dalam lingkungan masyarakatnya. Dengan kata
lain ditumbuhkan sikap sosialnya agar dapat berintegrasi dengan masyarakat.
Pembelajaran narapidana di LAPAS memiliki kekhususan, baik warga
belajamya maupun proses ajarnya. Di antara karakteristik yang menonjol pada warga
belajarnya adalah:
•
Narapidana adalah orang dewasa yang tengah menjalani pidana hilang
kemerdekaan (penjara);
•
Narapidana hidup dalam kelompok yang tergolong "Kelompok Paksa (Involuntary
Group),
11
•
Kondisi narapidana homogen sebagai penderita akibat isolasi sosialnya, namun
heterogen dalam latar belakang kehidupannya.
Di antara karakteristik proses ajarnya adalah :
•
Kurikulum ditentukan oleh Lembaga (LAPAS);
•
Waktu belajarbergantung pada lamanya warga belajar menjalani pidananya.
Arah pembinaan narapidana di LAPAS adalah perubahan perilakunya. Perilaku
merupakan implikasi dari sikapnya. Yang menjadi sumber sikap adalah konsep dirinya.
Sedangkan konsep diri ditentukan oleh persepsinya; dalam hal ini, persepsi terhadap
proses ajar yang dialaminya menenmkan kualifikasi konsep dirinya sebagai produk
proses ajarnya.
Alur pikir mengenai hubungan persepsi narapidana terhadap pelaksanaan
pembinaannya - sebagai proses ajar dalam sistem pemasyarakatan/resosialisasi dengan
perubahan/perkembangan konsep dirinya, digambarkan pada bagan/skema di bawah
ini.
BAGAN1
ALUR PIKIR
MASUKAN
UU PEMASYA
RAKATAN
No
PROSES
_
-
KELUARAN
KEBIJAKAN
PEMASYAKATAN
12/1955
UMPAN
BALIK
RESOSIALISASI
PROSES PEMBELAJARAN
PROGRAM RESOSIALISASI
WARGA YANG
BAIK
PEMBINAAN DISIPLIN
•
KESADARAN
HUKUM
KONSEP
DIRI
PENDIDIKAN TERSTRUKTUR
INTERAKSI SOSIAL
•
ETOS KERJA
•
SIKAP SOSIAL
13
Bertolak dari alur fikir tersebut, maka fokus penelitiannya dirumuskan
sebagai berikut:
Sejauhmana narapidana mengembangkan konsep diri lewat
proses pembelajaran
dan
pemberdayaan
pada
upaya
resosialisasinya di Lembaga Pemasyarakatan dalam rangka
menjadikannya sebagai warga yang sadar hukum, mandiri
dan berintegrasi dengan masyarakat.
Masalah pokok tersebut dijabarkan ke dalam sub-sub masalah dalam
pertanyaan sebagaiberikut:
1. Perkembangan konsep diri apa yang dicapai narapidana dari persepsinya
terhadap pelaksanaan program pembinaan kesadaran hukumnya ?
2. Perkembangan konsep diri apa yang dicapai narapidana dari persepsinya
terhadap pelaksanaan program pembinaan etos kerjanya ?
3. Perkembangan konsep diri apa yang dicapai narapidana dari persepsinya
terhadap pelaksanaan progranrpembinaan sikap sosialnya ?
K C. Tujuan Penelitian
Secara
umum,
penelitian
ini
bertujuan
unmk
mendapatkan
gambaran/deskripsi akmal mengenai proses pembelajaran dan pemberdayaan
narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A, Banceuy Kotamadya Bandung
dalam rangka mengembalikannya ke dalam masyarakat sebagai warga yang baik.
14
Deskripsi ini lebih ditekankan pada dimensi warga belajamya dilihat dari
perkembangan konsep dirinya dari persepsinya terhadap proses pembeljaran dan
pemberdayaannya.
Secarakhusus, penelitian ini bertujuan mendapatkan data berikut:
1. Perkembangan konsep diri yang dicapai narapidana dari persepsinya terhadap
pelaksanaan programpembinaan kesadaran hukumnya.
2. Perkembangan konsep diri yang dicapai narapidana dari persepsinya terhadap
pelaksanaan programpembinaan etos kerjanya.
3. Perkembangan konsep diri yang dicapai narapidana dari persepsinya terhadap
pelaksanaan program pembinaan sukap.sosialnya.
ft P-. Manfaat Penelitian
Secara teoritik, studi ini bermanfaat bagi masukan suatu generalisasi, asumsi
dan hipotetik baru dalam konteks pendidikan bagi kepentingan pengembangan
resosialisasi narapidana.
Sedangkan segi praktisnya, dapat digunakan unmk menenmkan kebijakan
dalam proses pembelajaran dan pemberdayaan narapidana, khususnya dalam
penciptaan suasana belajar yang kondusif dengan mengantisipasi kendalakendalanya.
15
,E. Premis
Penelitian ini bertitik tolak dari premis berikut di bawah ini:
1. Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga
BinaanPemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan.
memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima
kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan.
dan dapat hidup secara wajar sebagai wargayang baik dan bertanggung jawab.
(Undang-undang Pemasyarakatan No. 12 tahun 1995 pasal 2)
2. Resosialisasi ialah suam proses interaksi antara narapidana, petugas Lembaga
Pemasyarakatan dan masyarakat, dan kedalam proses interaksi mana termasuk
mengubah sistem nilai-nilai daripada narapidana, sehingga ia akan dapat dengan
baik dan efektif mereadaptasi norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam
masyarakat.
(Romli Atmasasmita, 1983)
3. Perubahan sikap dalam konteks sosial budaya merupakan proses ajar/learning
dalam upaya menyesuaikan diri dengan lingkungan. Proses ajar ini banyak
dipengaruhi oleh faktor motivasi sebagai unsur psikologis yang memacu derajat
ke arah perubahan dan pengembangan ajar, yang pada orang dewasa banyak
ditentukan oleh tingkat atau derajat kebutuhannya (need) mulai dari kebutuhan
fisik biologis sampai padataraf aktualisasi diri.
(Maslow yang dikutip Knowles, 1977)
16
4. Pengajaran
yang
baik adalah
pengelolaan
yang baik dari dua unsur
pokok : si warga belajar serta lingkungannya.
(Lyra Srinivasan, 1977, terjemahan Slamet Soegiono, 1979).
5. Tanggung jawab fasilitator adalah mendorong dan mengasuh warga belajar
untuk mengarahkan dirinya sendiri dan mengembangkan dirinya sejauh
mungkin. Sikap guru, pembimbing, fasilitator harus didasari kepercayaan
bahwajika diciptakan situasi yang tepat, para warga belajar akan menunjukkan
hasrat dan kemampuan untuk mencari arah mereka sendiri, untuk berusaha
menguasai suam ketrampilan serta unmk mengetengahkan dirinya secara
kreatif
(Lyra Srinivasan, 1977, terjemahan Slamet Soegiono, 1979)
6. Hasil belajar yang rendah dapat terjadi bukan disebabkan oleh cara mengajar
yang tidak baik, warga belajar yang bodoh atau pemilihan bahan belajar yang
tidak tepat, melainkan akan lebih dipengaruhi oleh lingkungan belajar yang
tidak mendukung.
(D. Sudjana, 1983)
7. Pembinaan dalam lembaga, kerapkali berusaha agar narapidana menyesuaikan
diri padakeadaan lembaga daripada terhadap kondisi masyarakat luas.
(Implementation of The Standard Minimum Rules for The Treatment of
Prisoner, 1968 No. 55)
17
8. Kebanyakan cara-cara bertingkah laku yang diambil seseorang selaras dengan
konsep dirinya, maka cara yang baik untuk mengubah perilaku seseorang
adalah dengan mengubah konsep dirinya.
(C. Rogers yang dikutip Sumadi Suryabrata, 1981).
BAB HI
PROSEDUR PENELITIAN
A. Pendekatan dan Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yaitu penelitian yang
mengungkapkan, menganalisis, lalu menginterpretasikannya dari objek yang
ada pada setting tertentu, juga termasuk pengungkapan tentang makna dari
fakta-fakta tentang proses belajar yang dijalani oleh warga belajar narapidana
di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Banceuy, Kotamadya Bandung serta
mengungkapkan makna yang terkandung di dalamnya, khususnya proses
pembentukan konsep diri warga belajarnya.
Metode yang dianggap tepat pada penelitian ini adalah metode studi
kasus yang bersifat eksploratif, sebab dapat digunakan untuk mempelajari
secara intensif latar belakang, status sekarang, interaksi dengan lingkungan
dari suatu unit seperti individu, kelompok, lembaga atau suatu komunitas. Dan
kehidupan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan dapat digolongkan pada
suatu komunitas.
B. Subjek Penelitian
Yang menjadi subjek penelitian adalah narapidana sebanyak 6 (enam)
orang yang variatif dalam : jenis kelamin, umur, status keluarga, macam tindak
pidana, besarnya pidana/hukuman, dan lamanya menjalani pidana (dalam
katagori 3 macam pendekatan pengamanan/ pengawasan).
153
154
Variasi identitas sebagai narapidana tersebut digambarkan pada tabel di bawah
ini.
Tabel 3
IDENTITAS NARAPIDANA SUBJEK PENELITIAN
STAUS
KATAGORI
KAWIN/
TINDAK
BELUM
PIDANA
Kawin
Pembunuhan
JENIS
NO
UMUR
RESPONDEN
MASA
MENJALANI
PIDANA
KELAMIN
1.
PRIA
I
69 th.
PIDANA
Maximum
10 th 6 bl
Security
2.
II
Wanita
33 th
Kawin
Penculikan
Medium
2 th
Security
3.
III
Wanita
26 th
Kawin
Pembunuhan
Maximum
4 th
Security
4.
IV
Pria
35 th
Kawin
Penggelapan
Minimum
2 th
Security
5.
V
Pria
24 th
Belum
Pencurian
Minimum
11 bl
Security
6.
VI
Pria
28 th
Kawin
Pencurian
Minimum
1 th 8 bl
Security
l
C. Alat Pengumpul Data
Pengumpulan data dilakukan penelitian sendiri yang terjun langsung ke
lapangan/lokasi penelitian dengan alat pengumpul data : wawancara, observasi
dan studi dokumentasi dengan alat bantu : tape recorder, kamera dan buku
catatan.
155
Observasi yang dilakukan bersifat "snowball sampling", yaitu bila dari
sampel yang satu data yang dibutuhkan belum lengkap maka akan dihimpun
dengan sampel lain dengan karakteristik yang sama.
Observasi akan dilakukan untuk melihat pelaksanaan
pendidikan
terstruktur, hubungan sosial antar narapidana dan antara narapidana dengan
anggota keluarganya.
Pengumpulan dokumen dilakukan untuk mendapatkan data tentang
katagori narapidana, mekanisme kerja para petugas/pegawai serta hal-hal yang
menyangkut sumber, sarana dan prasarana belajar.
D. Pelaksanaan Pengumpulan Data
Pelaksanaan pengumpulan data dilakukan dalam tiga tahap, yakni (1) tahap
orientasi, (2) tahap eksplorasi dan (3) tahap pengecekan. Kegiatan masingmasing sebagai berikut:
1. Tahap Orientasi
Pada tahap ini dilakukan berbagai kegiatan sebagai persiapan agar
penelitian dapat terlaksana dengan baik. Pertama-tama menghimpun berbagai
informasi yang diambil dari buku-buku dan dokumen-dokumen yang
berhubungan langsung atau dapat menunjang pengumpulan data di lapangan.
Kegiatan ini diakhiri dengan terumuskannya instrumen penelitian.
Kemudian menguruskan kelengkapan administratif yang diperlukan yaitu Surat
Permohonan Izin Penelitian dari IKIP Bandung yang ditujukan kepada Instansi
Departemen Kehakiman, dalam hal ini Kantor Wilayah Kehakiman Jawa Barat
156
di Bandung. Selanjutnya dari kantor tersebut dikeluarkan surat izin penelitian
yang
diserahkan
kepada
Kepala
Pemasyarakatan
Kelas
IIA
Banceuy
Kotamadya Bandung.
2. Tahap Ekplorasi
Pada tahap ini dilakukan pengumpulan data melalui wawancara,
observasi dan pengumpulan dokumen.
Wawancara dilakukan terhadap narapidana sebanyak 6 orang yang telah
terpilih sesuai dengan kriteria yang diperlukan pada penelitian.
Data-data yang dijaring meliputi identitasnya, latar belakang dirinya serta
aspek-aspek konsep dirinya berikut perkembangannya yang dicapai dari
persepsinya terhadap proses pembelajaran dan pemberdayaan yang dialaminya.
Wawancara dilakukan pula terhadap fasilitator dan pimpinan Lembaga
Pemasyarakatan untuk menjaring data-data tentang kondisi umum program
resosialisasi berikut faktor penunjang serta penghambatnya.
Observasi dilakukan saat-saat ada kunjungan keluarga (bezoek), praktek
ibadah, latihan keterampilan dan kegiatan olah raga.
3. Tahap Pengecekan
Pada tahap ini dilakukan pemeriksaan kelengkapan data, bila ada
kekurangan, dilakukan kegiatan pengumpulan data kembali.
E. Langkah-Iangkah Pengolahan dan Analisis Data
Langkah-langkah pada pengolahan dan analisis data berturut-turut
sebagai berikut :
157
1 Melakukan pemeriksaan terhadap data yang terkumpul,
2. Mengklasifikasikan data dengan pengelompokkan jawaban responden
sesuai klasifikasi materi penelitian;
3. Membuat tabulasi data untuk kemudian dideskripsikan;
4. Melakukan diskusi atas hasil tabulasi;
5. Melakukan diskusi atas hasil analisis data serta menarik implikasiya.
6. Menarik kesimpulan dari hasil penelitian serta menyampaikan rekomendasi
bagi kepentingan pada pihak terkait.
BABV
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan deskripsi hasil penelitian beserta analisisnya sebagaimana telah
diketengahkan pada bab terdahulu, pada bab ini disampaikan kesimpulan dan saransaran berikut dibawah ini.
A. KESIMPULAN
1. Landasan yuridis pembinaan narapidana tidak kokoh sebab tidak bertumpu pada
undang-undang yang bersifat nasional.
2. Pelaksanaan pembinaan narapidana di LAPAS, Banceuy, Kotamadya Bandung,
tidak sesuai dengan tuntutan Pola Pembinaan-nya akibat fasilitas yang tidak
memadai, sumber belajar yang tidak kompeten serta aparatur Lembaga yang tidak
proaktif.
3. Proses pembelajaran dan pemberdayaan narapidana di LAPAS Banceuy,
Kotamadya Bandung, tidak sesuai dengan asas-asas dan teori-teori andragogi.
4. Pengamh dari proses pembelajaran di LAPAS terhadap pengembangan konsep
diri responden, relatif kecil.
Yang terbesar pengaruhnya adalah dari
hubungan/interaksi sosial dengan anggota keluarga.
5. Kendala sosiologis pada upaya resosialisasi narapidana adalah masih kentalnya
budaya "stigma" (pemberian cap sebagai penjahat) pada kehidupan masyarakat
yang menyebabkan kecilnya dukungan masyarakat.
264
265
B. SARAN-SARAN
Bertolak dari kesimpulan hasil penelitian, diajukan saran-saran yang terdiri
dari dua bagian : yang bersifat praktis dan yang bersifat teoritik bempa saran
penelitian.
a.
Saran Praktis
1. Pemerintah mengangkat pegawai sebagai pembina sumber belajar narapidana di
Lembaga Pemasyarakatan sesuai dengan kebutuhan.
2. Melalui kerjasama dengan Departemen Pendidikan Nasional atau lembaga-
lembaga di bawah naungannya, Departemen Hukum dan Perandang-Undangan
(dahulu
Departemen
Kehakiman)
menentukan
metodologi
pembelajaran
Pendidikan Luar Sekolah di Lembaga Pemasyarakatan yang "up to date" melalui
alternatif model-model pembelajaran interaktif sesuai karakteristik pribadi serta
tindak pidananya.
3. Unmk mengoptimalkan proses pembelajaran pada kondisi sekarang, Lembaga
Pemasyarakatan Banceuy, Kotamadya Bandung, meningkatkan sumber daya yang
ada seperti melengkapi literatur perpustakaan, melibatkan peran keluarga sebagai
pendukung pembinaan dan lain sebagainya.
4. Pemerintah membentuk lembaga yang berfun^si sebagai media sebelum
narapidana terjun ke masyarakat yangberperan sebagai konsultan dan fasilitator.
b. Saran Penelitian
Dilakukan penelitian mengenai tema berikut:
266
1. Peran anggota keluarga dalam menunjang pembinaan narapidana di Lembaga
Pemasyarakatan.
2. Efektivitas pembelajaran narapidana dalam pembinaan kesadaran hukumnya
melalui proses dinamika kelompok.
DAFTAU PUSTAKA
Abdurachrnan (1979). AncU. Masatah Hukum da.am Pembangunan di
Indonesia. Bandung: Alumni.
Achmad S. Soema diPradja dan Romli Atmasasmita. (1979) Sistem
Pemasyarakatan di Indonesia. Jakarta :Bina Cipta
Ani Isnanr (1983X Prestasi Belajar dan Perilaku Sosial Dilihat dari Konsep
D.rmya (Tes.s yang tidak diterbitkan). IKIP Bandung
P
AM"SOn' At^Ft(I?) Pen8an*"r PSik0,08i - '*«« ". Gelora
Cohen, A^R.OSM). Attitude Change „„d Social ,„n„c„ce. New York :Basic
Comb, "WMJ H. (I973> N P„h „Learnj„g for ^ ^
USA .International Council for Educative Development
Fre,re, Paulo. (1985). PendidiKan Tenindas (terjemanan,. ,akarta :PT, T
S0"0' San^atpuS SiS"m ^ """"» ""P--.. >*•«. :PT.
Illich. ,va„. (.982). Bebas dari Seko.an (terjemahan). Jakarta :Sinar Harapan
Jalaludin Rachmat. (1998) Psiknlnoi vnm
Rosdakarya.
-i
• rC
.
§ Kon,""'k»s' Bandung : PT. Remaja
John M. Echols dan Hasan Shadili. (1993) Kamiit' Rah*™ t
Jakarta :Gramedia Pustaka Utama.' KamUS.BahaSa InW ~Indonesia.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. (1990). Jakarta :DEPDIKBUD
Kartini Kartono. (1992). Psikologi Sosial. Jakarta :CV Rajawali
Kn°W,eS' S I S ThC M°dern P^* ^.It Education. New York
~~' ffi J^y^r :ANC8,CCtCd °f Ad^' «~«o". USA :Gulf
Koesnoen. (,961). Poliiik Penjara Nasional. Bandung :Sumur Bandung
KOSaSih ^nd^0985' Sl^'««l«« Afdctlf. Bandung :PP-rPS IKIP
267
268
Krech,, David, et all. (1962). Individual i„ Society. Tokyo .McGraw-Hill Book
company, Inc.
Kuntjaraningrat, (1990). Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta PT
Gramedia Pustaka Utama.
Lamintangoinar
PAR.
(1984). Dasar-dasar
Hukum Pidana Indonesia. Bandung
tiaru.
31'4
Mar 3t (\9n6d4oneSSiiaaP """"^ ^^^ Serta P«gukuranny-. Jakarta Ghalia
Mattew B Miles dan A Michael Huberman, (1992). Analisis Data Kualitatif
(terjemahan). Jakarta : UI-PRESS.
ai"
M°'e0"S' Roltarya95 ' MCt0d°,0gi '"'"'"^ *""'""'«• Bandu"8 :"• Remaja
^^"fflJJ^^^5"''" *"«*- »•"•• ^ung :
Mulyana JUjrt (198,). Hukun, da„ Hak Asasi Manusia. Bandung :
Mustafa, Muhammad, dar.Mulyana W^Kusumah. (1979). Keiidakadiian Struktura,
s^^'^Z^Vs5 (1980) Kemiski"""s-k>»^
NSa'im RoTdrya09^ PSik0,°Si PC"didik"- *«*>«•• Remaja
..Omi In,a„ NaomL (1999). Menggugat Pendidikan. Yogyakarta :PT. Gelora Aksara
Polak, Maijor, j.B.A.F. (1985). Sosio.ogi, Jakarta :PT lch,isar Baru Van Hoeve
Purnadi *^^-^^o. (..««>. Sendi-send „„,,k dan
Rom,i *tttAl&Z^!*&»£-«»
(l983) Kc"c»J«r««» dalam Suatu Bunga Rampai. Bandung Armico
Roscoc Pound. (1965). Tugas Hukum (terjemahan). Jakarta : Bhra.a
Sahetapy, Y.Ii. (1983). IMsau Ana.isa Kriminologi. Bandung :Armico
Sanaflah Faisal. (1981). Pendidikan Luar Sekolah.' Surabaya :CV Usaha Nasional
Santoso S^Hamidjojo
(1982). Pengertian, Falsafah dan Asas Pendidikan
Non
Formal. Bandung :F1P IKIP Bandung.
enu.aiKan Non
269
Sanusi, Achmad (1991). Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Tata Hukum
Indonesia. Bandung : Tarsito.
Selo Soemardjan. (1979). Kemiskinan Struktural dan Pembangunan, dalam YIIS
(1980) Kemiskinan Struktural (Suatu Bunga Rampai). Jakarta : YIIS.
Satjipto
Raharjo.
(tanpa
tahun).
Masalah
Penegakkan
Hukum
dalam
Pembangunan di Indonesia. Bandung : Sinar Baru.
Simanjuntak, B. (1980). Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial. Bandung :
Tarsito.
Soejono
Dirdjosisworo.
(1984).
Sejarah
dan
Azas-Azas
Penologi
(Pemasyarakatan). Bandung : Tarsito.
Soemantri, Wasti. (1984). Psikologi Pendidikan. Jakarta : Bina Aksara.
Soeleiman Joesoef. (1992). Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah. Jakarta :
Bumi Aksara.
'
''
'
Soerjono Soekanto. (1981). Fungsi Hukum dan Perubahan Sosial. Bandung :
Alumni.
(1982). Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum. Jakarta : Rajawali.
"
—
(1983). Teori Sosiologi tentang Perubahan Sosial. Jakarta : Graha
Indonesia
Sujana, D. (1983). Pendidikan Non-Formal (Wawasan - Scjarah-Azas). Bandung
: Theme 76.
(1983). Strategi Kegiatan Belajar Mengajar dalam Pendidikan NoriFormaL. Bandung : Theme 76.
Sumadi, Suryabrata. (1985). Psikologi Kepribadian. Jakarta : PT! Raja Graf.ndo
Persada..
Srinivasan, Lyra (1977). Perspektives on Non-Formal Adult Learning. USA :
World Education.
Team Observasi dan Evaluasi Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan dan Pembinaan
Personil (1982). Kcdudukan dan Fungsi Sistem Pemasyarakatan
Sebagai Salah Satu alat untuk mencegah dan Memberantas Kejahatan
Khususnya untuk Mencegah Terulangnya Perbuatan Jahat. Jakarta :
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.
Widjaya, AW. (1985). Kesadaran Hukum dan Masyarakat Pancasila. Jakarta
•
Eka Swasta.
•270
Perundang-undangan : '
-
•
UU Sistem Pendidikan Nasional ( No. 2 tahun 1989).
UU Pemasyarakatan (No. 12 tahun 1995
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (No. 8 tahun 1981).
Peraturan Pemerintah No. 73 tentang Pendidikan Luar Sekolah.
Keputusan Menteri Kehakiman No. M.02-PK.04.10 tahun 1990 tentang Pola
Pembinaan Narapidana/Tahanan
Kepres No. 5 tahun 1985 tentang Remisi.
PELAKSANAAN PROGRAM RESOSIALISASI
DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DITINJAU DARI
KAJIAN ANDRAGOGI
(Studi Kasus di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Banceuy,
Kotamadya Bandung)
TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat
Memperoleh Gelar Magister Pendidikan
Program Studi Pendidikan Luar Sekolah
Oleh
HUSNITHAMRIN
430/C/XVI-8
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2000
LEMBAR PENGESAHAN
Pembimbing I
PROF PR H ACHMAD SANIJSI. SH.. MPA
Pembimbing II
PROF. DR. STITARYAT TRTSNAMANSYAH. M.A.
ABSTRAK
Pada sistem pemasyarakatan di negara kite, sebagaimana tertuang pada
Undang-Undang Pemasyarakatan No. 12 tahun 1995, dan Peraturan Menten
Kehakiman (No.02-PK.04.10. th. 1990, tentang Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan,
Lembaga Pemasyarakata^ disamping melaksanakan fungsi sebagai lembaga penegakan
hukum yang memberikan'derita berupa isolasi sosial (penjara), juga melaksanakan
peran lembaga pendidikan. Hal ini dimaksudkan agar kejeraan narapidana ketidakinginan untuk melakukan lagi tindak pidana - dilandasi oleh kesadaran
hukumnya. Untuk itu diupayakan agar pada diri narapidana terjadi perubahan sikap
yang berlanjut dengan perubahan perilaku ke arah yang lebih baik.
Warga belajar (warga binaan) narapidana tergolong "orang dewasa" dengan
later belakang yang variatit7homogen. Atas dasar itu maka tinjauan masalahnya dan
sudut pandang andragogi. Sedangkan yang dijadikan landasan pokok teorinya adalah
sebagai berikut:
a "Kebanyakan cara-cara bertingkah laku yang diambil seseorang selaras dengan
konsep dirinya, maka cara yang baik untuk mengubah perilaku seseorang adalah
dengan mengubah konsep dirinya (Carl Rogers);
b. "Perubahan sikap dalam konteks sosial budaya merupakan proses ajar (learning).
Proses ini dipengaruhi oleh faktor motivasi sebagai unsur psikologis yang memacu
derajat ke arah perubahan dan pengembangan ajar, yang pada orang dewasa
banyak ditentukan oleh kebutuhannya (need) mulai dari kebutuhan fisik-biologis
sampai padataraf aktualisasi diri (AH. Maslow)
Fokus masalahnya adalah : sejauhmana warga belajar narapidana
mengembangkan konsep dirinya melalui proses pembelajaran dan pemberdayaan pada
upaya resosialisasi di Lembaga Pemasyarakatan dalam rangka menjadikannya sebagai
warga yang sadar hukum, mandiri dan berintegrasi dengan masyarakat.
Metode penelitiannya adalah studi kasus dengan pendekatan kualitatif.
Dari hasil penelitian diperoleh temuan sebagai berikut:
1 UU Pemasyarakatan yang nota bene pertama kali sejak bangsa Indonesia merdeka
- yang dibuat tahun 1995 (No. 12/1995) - hingga sekarang belum ditindak lanjuti
dengan UU Organiknya sehingga secara yuridis - formal belum dapat diterap Yang sekarang dijadikan rujukan adalah Keputusan Menteri Kehakiman yang
dibuat/dikeluarkan tahun 1990 (No. 02-PK.04. 10 tahun 1990) yang tidak
bertumpu pada undang-undang yang bersifat nasional.
2 Model belajar pada pembinaan narapidana tidak disiapkan oleh instansi pusat dalam hal ini DITJEN Pemasyarakatan - melainkan diserahkan pada kebijakan
instansi bawahannya yaitu KANWEL Departemen Kehakiman dan atau LAPAS
yang bersangkutan.
Ill
"stigma" (pemberian cap sebagai penjahat) pada kehidupan masyarakat yang
menyebabkan kecilnya dukungan masyarakat.
Saran-saran yang diajukan adalah, yang bersifat praktis berupa : pengangkatan
pegawai personil Lembaga Pemasyarakatan yang khusus berperan sebagai sumber
belajar pada pendidikan luar sekolah bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan;
penentuan metodologis yang "up to date" dengan model-model belajar interaktif;
optimalisasi peran sumber daya yang ada; serta pembentukan lembaga mediasi bagi
narapidana yang akan terjun ke masyarakat; sedangkan saran yang teoritik penelitian
mengenai tema : "Peran anggota keluarga dalam menunjang pembinaan narapidana di
Lembaga Pemasyarakatan"; dan'tfektivitas pembelajaran narapidana dalam pembinaan
kesadaran hukumnya melalui proses dinamika kelompok"
IV
DAFTARISI
ABSTRAK
iii
KATA PENGANTAR
v
PENGHARGAAN DAN UCAPAN TERIMA KASIH
vii
DAFTAR ISI
ix
DAFTAR TABEL
xii
DAFTAR BAGAN/SKEMA
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
xiv
BAB
BAB
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
1
B. Fokus Penelitian
8
C. Tujuan Penelitian
13
D. Manfaat Penelitian
14
E. Premis
15
II. TINJAUAN TEORITIK
A. Program Resosialisasi di Lembaga Pemasyarakatan
18
1. Pengertian "Pemasyarakatan" dan "Lembaga Pemasyarakatan". .19
2. Pengertian"Narapidana"dan Klasifikasinya
23
3. Fungsi-Peran Yudisial Lembaga Pemasyarakatan
25
4. Fungsi-Peran Edukatif Lembaga Pemasyarakatan
34
ix
B. Beberapa Konsep dan teori Belajar dalam Pendidikan Luar Sekolah. 71
1. Konsep "Konsep Diri" dalam Pendidikan Luar Sekolah
71
2. Konsep-konsep Pendidikan Luar Sekolah yang Relevan
86
3. Andragogi :Pendidikan Orang Dewasa
BAB
BAB
115
III PROSEDUR PENELITIAN
A. Pendekatan dan Metoda Penelitian
153
B. Subjek Penelitian
153
C. Alat Pengumpul Data
154
D. Pelaksanaan Pengumpulan Data
155
E. Langkah-langkah Pengolahan dan Analisis Data
156
IV HASIL PENELITIAN
A. Penyajian Data
158
1. Gambaran Umum Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA,
Banceuy, Kotamadya Bandung
158
2. Persepsi Warga Belajar Narapidana terhadap Pelaksanaan
Program Pembinaan Resosialisasi /Pemasyarakatan
B. Analisis Data
171
202
1. Later Belakang Diri dan Keluarga
202
2. Persepsi terhadap Pembinaan Kesadaran Hukum
203
3. Persepsi terhadap Pembinaan Etos Kerja
214
4. Persepsi terhadap Pembinaan Sikap Sosial
228
x
C. Diskusi dan Implikasi
238
1. Tentang Latar Belakang Diri dan Keluarga
238
2. Tentang Persepsi terhadap Pembinaan Kesadaran Hukum
242
3. Tentang Persepsi terhadap Pembinaan EtosKerja
250
4. Tentang Persepsi terhadap Sikap Sosial
255
D. Temuan Data
BAB
262
V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
264
B. Saran-saran
265
DAFTARPUSTAKA
266
XI
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Tahapan Psikologis
117
Tabel 2. A Comparison of Assumption and Design of Pedagogy and Andragogy. 149
Tabel 3. Identitas Narapidana Subjek Penelitian
154
Tabel 4. Jumlah Penganut Agama
164
Tabel 5. Tingkat Pendidikan Narapidana
165
Tabel 6. Kegiatan Pendidikan
167
Tabel 7. PelaksanaanPendidikan Pendidikan Agama Islam
168
XII
DAFTAR BAGAN/SKEMA
Bagan 1. Alur Pikir
12
Bagan 2. Organisasi Departemen Kehakiman
28
Bagan 3 Organisasi Direktorat Jenderal Pemarsyarakatan
29
Bagan 4. Susunan Organisasi KANWIL DEPKEH Type A
30
Bagan 5 Organisasi Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA
32
Bagan 6. Proses Pemasyarakatan Narapidana
46
Bagan 7. Persepsi
77
Bagan 8. Sikap
78
Bagan 9. Hubungan antara Konsep Diri dengan Proses Belajar dan Perubahan
Sikap
:
79
Bagan 10. Variabel Penunjang Sikap
81
Bagan 11. Perubahan Sikap Dalam Model Komunikasi
82
Bagan 12. Maslow Hierarchy of Human Needs
97
Bagan 13. PerbedaanWaktu dan Kemantapan PemenuhanKebutuhan
102
Bagan 14. Denah LembagaPemasyarakatan Kelas IIA, Banceuy, Bandung
159
Bagan 15. Personalia Pada Struktur Lembaga PemasyarakatanKelas IIA, Banceuy,
Kotamadya Bandung
162
xiu
DAFTAR LAMPIRAN
LampiranA : Instrumen Penelitian
LampiranB : Foto Dokumentasi Lingkungan, Sarana Lembaga Pemasyarakatan
serta Kegiatan Warga Belajar Narapidana
LampiranC : Surat Perizinan
xrv
BAB
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
//^^lj^^
^^ **Tpga»^ ^
Sebutan "narapidana" berasal dari kata "nara" yang berarti (sama dengan)
"orang" dan "pidana" yang berarti (sama dengan) "hukuman", jadi"narapidana" adalah
orang yang sedang menjalani hukuman.
Hukuman yang dijalani itu adalah hukuman pidana dan bentuknya khusus yaitu "pidana
penjara". Pidana ini merupakan salah satu bentuk pidana sebagaimana disebutkan pada
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPid) pasal 10 sub a butir 2. Pada pidana
penjara, kemerdekaan atau kebebasan bergaul sipelaku tindak pidana dalam kehidupan
masyarakat, untuk sementara waktu dicabut oleh negara; dengan perkataan lain,
kemerdekaan bergeraknya dibatasi. Sementara itu, ia ditempatkan di suatu tempat
yang bernama Lembaga Pemasyarakatan.
Oleh karena itu berbicara tentang narapidana, menyangkut persoalan kualitas manusia
sebagai warga negara, khususnya dengan tolok ukur nilai-nilai yang bersumber dari
norma hukum pidana.
Setiap warga negara memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dari negara
dan berhak pula untuk mengembangkan kualitas dirinya, termasuk hak atas
kesempatan mengikuti pendidikan; dan disisi lain, berkewajiban untuk menaati hukum
yang berlaku dan tidak menjadi gangguan bagi masyarakat, bahkan lebih jauh dituntut
untuk aktif berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan masyarakat lingkungannya.
Narapidana - sebagai seorang warga negara - justeru berprilaku yang merugikan
masyarakat dengan perbuatan kejahatannya. Akibat kejahatan tindak pidananya itu, ia
harus menerima risiko berstatus sebagai narapidana yang dipaksa mengalami
penderitaan isolasi sosialnya. Namun sementara itu, ia tetap sebagai warga negara yang
memiliki hak perlindungan dari negaranya.
Atas dasar itu maka harus diperlakukan manusiawi, tidak keluar dari batas-batas-batas
hak asasi manusia. Di sisi lain, tetap memiliki hak atas kesempatan memperoleh
pendidikan dalam rangka meningkatkan kualitas dirinya.
Secara sosiologis, narapidana dikatagorikan sebagai yang berperilaku
menyimpang dari nilai-nilai yang dianut masyarakat; dan psikologis, dikatagorikan
sebagai yang akhlaknya cacat atau berpenyakit.
Pada Pola Pembinaan
Narapidana/Tahanan - Bab III -, diketengahkan:
Menyadari bahwa pemasyarakatan adalah suatu proses pembinaan narapidana
yang sering pula disebut "therapeutics process",, maka jelas bahwa membina
narapidana itu sama artinya dengan menyembuhkan seseorang yang sementara
tersesat hidupnya karena adanya kelemahan-kelemahan yang dimilikinya.
Karena itu, dari pandangan kriminologi, narapidana dikatagorikan sebagai orang yang
ber-"penyakit sosial". dan dari sudut pandang kewargaan negara, tergolong manusia
Indonesia yang tidak utuh.
"Penyakit"-nya itu harus disembuhkan, akhlaknya diperbaiki agar kembali menjadi
"manusia utuh", dan tempat hidupnya dikembalikan ke alam masyarakat bebas.
Upaya mengembalikan ke sikap yang baik sebagai warga negara dan mengembalikan
tempat hidup ke masyarakat bebas, dikenal sebagai upaya "rehabilitasi sosial".
Upaya kegiatan rehabilitasi sosial merupakan bentuk kegiatan Pendidikan
Luar
Sekolah,
termasuk
yang
dilakukan terhadap
narapidana.
Peraturan
Pemerintah No. 73 tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Sekolah, tidak secara
tegas menyebutkan pengaturan mengenai kegiatan rehabilitasi sosial ini. Namun
kiranya bentuk satuan pendidikannya dapat digolongkan pada Satuan Pendidikan
Sejenis.
Upaya rehabilitasi sosial terhadap narapidana diberi istilah khusus yaitu
"pemasyarakatan".
Dan
tempat
pembinaannya
diberi
nama
"Lembaga
Pemasyarakatan". Undang-Undang No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
(disingkat UU Pemasyarakatan) memberikan batasan 'Temasyarakatan" sebagai
berikut:" Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan
Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang
merupakan bagian akhir dari sistem pembinaan dalam tata peradilan pidana".
Sedangkan batasan "Lembaga Pemasyarakatan" dirumuskan sebagai berikut :
"Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana
dan anak Didik Pemasyarakatan".
Semula, perubahan sikap - ke arah yang baik-diharapkan dapat muncul sebagai
respon dari penjeraan (diterrence) berupa penderitaan akibat isolasinya. Namun
pengalaman menunjukkan bahwa penderitaan tersebut tidak otomatis membuat
narapidana menjadi jera. Soejono Dirdjosisworo (1984) mengetengahkan hasil
pengamatan Sir John Fielding :
Saya yakin dapat ditambahkan bahwa suatu penjara tidak menyembuhkan
moral-moral. Sir John Fielding melihat bahwa "seorang penjahat yang telah
dilepaskan umumnya pada masa kemudiannya, setelah pelaksanaan hukuman
mati teman-temannya, ia menjadi kepala suatu gerombolan bentukannya
sendiri", dengan pasti bertambah maju keahliannya karena pergaulan yang
didapat dalam penjara.
Kemudian, B. Simanjuntak (1981) mengungkapkan : "Bukanlah rahasia umum bahwa
justru hukuman itulah menjahatkan petindak kemudian, baik karena reaksi masyarakat
maupun karena akibat pergaulan dalam penjara".
Cukup banyaknya bekas narapidana yang menjadi residivis (mengulangi lagi
tindak pidananya) bahkan dengan bobot kejahatan yang lebih tinggi, disebabkan oleh
karena perhatian hanya ditujukan pada perbuatannya atau kejahatannya saja,
sedangkan diri pelakunya sendiri kurang mendapatkan perhatian.
Mengantisipasi pengalaman tersebut, para pakar mengkritik prinsip penjeraan
(deterrence) sebagai tujuan pidana penjara. Salah satu pokok pikiran pada gagasan
Sahardjo mengenai Konsepsi Pemayarakatan (R. Achmad S. Soema diPradja dan
Romli Atmasasmita, 1979) menyatakan bahwa: tobat tidak dapat dicapai dengan
penyiksaan, melainkan dengan bimbingan".
Orientasi pola kebijaksanaan pada perlakuan terhdap narapidana, diubah dengan lebih
mementingkan masa depan mereka dari pada hanya untuk tujuan pembalasan saja.
Mereka tidak lagi ditempatkan sebagai objek melainkan sebagai subjek, dianggap
sebagai seorang yang tengah menderita sakit dari pada sebagai penjahat.
Penyembuhannya "menggunakan pendekatan rehabilitatif melalui pembinaan/
bimbingan terhadap dirinya." Pembinaan ini terarah pada aspek mentalitas dengan
harapari akan tumbuh kesadaran hukum serta dimilikinya nilai ketaatan akan hukum.
Untuk itu kepada mereka diberikan bahan pengajaran yang berkaitan dengan
peningkatan kemampuan intelektual, nilai-nilai serta norma-norma. Upaya ini dikenal
dengan istilah "sosialisasi".
John A. Clausen (Romli Atmasasmita, 1983) merumuskan konsep "sosialisasi" sebagai
: the process by which the individual takes on the way of life of his society". Dengan
rumusan agak berbeda, sosiolog Bruce L. Cohen (Sahat Simamora, 1982) memberikan
batasan:
Sosialisasi adalah proses melalui mana manusia mempelajari tata-cara
kehidupan dalam masyarakatnya untuk memperoleh kepribadian dan
membangun kapasitas untuk berfungsi, baik sebagai individu maupun sebagai
anggota kelompok.
Perbuatan tindak pidana merupakan gejala sosial. Yang terjadi kebanyakan
merupakan akibat dari kondisi pelaku yang dialami dan dirasakannya dalam kehidupan
masyarakat lingkungannya. Teori "Learning Process" dan teori "Conflicting
Subculture" menarik kesimpulan bahwa suatu pelanggaran hukum terjadi tidak semata-
mata didorong oleh adanya kehendak bebas (free will), melainkan juga - dan terutamaoleh kondisi sosio-kultural lingkungannya Dalam hubungan ini, J.E. Sahetapi (1984)
menyatakan :
... apa yang dinamakan kejahatan pada dasarnya merupakan suatu abstraksi
mental, dan oleh karena itu seyogyanya dilihat sebagai suatu penamaan
perwujudan yang relatifini tentu berakar pada dan oleh karena itu bergantung
dari hasil proses atau intraksi dalam wadah nilai-nilai sosial, budaya dan
struktur masyarakat yang bersangkutan, yang bisa mendapat rangsangan dari
pelbagai faktor, misalnya, kemiskinan, pengangguran, ketidak seimbangan
pribadi, ketidakpuasan, ketidak selarasan keluarga, kebijaksanaan penguasaan
yang berpihak, penegakkan hukum yang tidak adil, undang-undang yang buruk,
ketidakpastian masa depan, dan sebagainya.
Sikap dan perilaku seseorang, tidak lepas dari pengaruh latar belakang
kehidupannya, dan ini berkaitan dengan kondisi lingkungan masyarakatnya, termasuk
perilaku kejahatan atau anti sosial atau tindak pidana.
Di negara kita, ide resosialisasi ini telah sejak lama dicanangkan, diketengahkan
sejak tahun 1955.
Baharudin Soerjosubroto, dalam makalahnya pada Konferensi para Direktur dan
Pemimpin Kepenjaraan tahun 1955 (R. Achmad S. Soema diPradja dkk, 1979)
mengemukakan antara lain:
.... tujuan ini hanya dapat dicapai apabila masa hilangnya kebebasan itu
diarahkan sebanyak mungkin kepada usaha agar si pelanggar hukum pidana
dapat kembali ke dalam kehidupan di dalam masyarakat, bukan saja sebagai
seorang yang cenderung, akan tetapi yang secara sungguh-sungguh dapat
menjunjung tinggi dan menghormati undang-undang, dapat mencari nafkahnya
sendiri, dengan singkat: resocialisatie.
Kemudian, pada Naskah Sejarah Pemasyarakatan (Romli Atmasasmita,
1983) dikemukakan:
sebagai peristiwa sejarah jelas bahwa istilah "pemasyarakatan" telah
dipergunakan sejak tahun 1962, dan kalau isi dari apa yang menyebabkan
timbulnya istilah "pemasyarakatan" ditelaah dan diperbandingkan dengan apa
yang terkandung dalam istilah "resosialisasi" maka tidak terdapat perbedaanperbedaan prinsipiil.
Pengertian istilah "resosialisasi" tersebut di atas lebih cenderung ke pengertian
"sosialisasi" sebab tidak mengaitkan dengan peranan masyarakat.
Resosialisasi ialah suatu proses interaksi antara narapidana, petugas Lembaga
Pemasyarakatan dan masyarakat dalam rangka mengubah sistem nilai-nilai narapidana
sehingga mereka dapat dengan baik dan efektif mereadaptasi nilai-nilai dan normanormayangberlaku dalammasyarakat.
Pemasyarakatan merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas narapidana
dengan maksud agar sikap dan perilakunya berubah menjadi baik. Upaya demikian
adalah suatu proses belajar Karena itu Lembaga Pemasyarakatan sebagai tempat
pembinaannya, merupakan suatu lembaga pendidikan.
Dengan pemberian pendidikan, termasuk pendidikan terstruktur yang mentransfer
pengetahuan
dan kemampuan serta menumbuhkan motivasi, maka Lembaga
Pemasyarakatan berfungsi sebagai sarana pendidikan.
Implikasi dari tujuan resosialisasi agar narapidana menjadi jera, memiliki kesadaran
hukum-karenanya taat akan hukum - dan memiliki etos kerja adalah tuntutan pemilikan
serta pelaksanaan nilai-nilai moral. Bertumpu dari nilai-nilai moral ini maka tiap
perilakunya merupakan pelaksanaan dari dorongan diri sendiri ("inner-order"-nya).
"Inner-order" ini akan tumbuh manakala nilai-nilai yang ditanamkan dan norma-norma
yang diajarkan itu dipersepsi sama dan sesuai dengan tujuan pembinaan yang
diprogramkan.
Dari tanggapan atas deskripsi di atas, penulis tertarik untuk meneliti faktor
persepsi narapidana terhadap proses pembelajaran dan pemberdayaan dirinya. Dan
untuk itu, thesis ini diberi judul : "Studi tentang Persepsi Narapidana terhadap
Pelaksanaan Program Resosialisasi di Lembaga Pemasyarakatan ditinjau dari Kajian
Andragogi (Studi Kasus di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Banceuy, Kotamadya
Bandung)".
B. Fokus Penelitian
Dalam menentukan fokus penelitian, akan dikemukakan terlebih dahulu alur
berfikirnya.
Baik UU Pemasyarakatan maupun pola Pembinaan-nya, menempatkan konsep
pendidikan sebagai bagian dari "pembinaan" narapidana. Dari sudut pandang
Pendidikan Luar Sekolah, "Pembinaan" itu sendiri adalah suatu proses pendidikan
yaim keseluruhan pengkondisian dan kegiatan dalam upaya merehabilitasi narapidana
melalui perubahan sikap. Konsep "pendidikan" pada peraturan tersebut adalah
pendidikan terstruktur, karena itu dapat dinyatakan sebagai "pendidikan dalam arti
sempit". Implikasinya adalah bahwa keseluruhan pengalaman dan kegiatan narapidana
di Lembaga Pemasyarakatan merupakan proses belajar.
Belajar pada hakekatnya adalah kegiatan yang dilakukan secara sadar oleh seseorang
yang menghasilkan perubahan tingkah laku pada dirinya sendiri, baik dalam bentuk
pengetahuan dan ketrampilan baru maupun dalam bentuk sikap dan nilai yang positif.
Dalam hubungan ini Hintzman (Muhibbin, 1995) menekankan proses belajar itu pada
"pengalaman yang mempengaruhi organisme seperti dinyatakannya : "Learning is a
change in organism due to experience which canaffect the organism's behavior".
Pada pembinaan/pendidikan narapidana, faktor pengalaman ini memegang peranan
penting.
LAPAS mempunyai missi ganda, bersifat yuridis dan edukatif, masing-masing :
•
Yuridis-Filosofis sebagai pelaksana penegakan hukum yaitu melaksanakan putusan
pengadilan;
•
Yuridis-Praktis : sebagai sarana pelaksanaan pidana hilang kemerdekaan (penjara),
yaitu tempat merasakan penderitaan akibat isolasi sebagai pembalasan/sanksi atas
perbuatan kejahatannya;
• Edukatif : sebagai lembaga pendidikan yaitu membina narapidana melalui
pembelajaran dan pemberdayaan agar kembali menjadi warga yang baik
(rehabilitasi).
Yang pertama - yuridis-filosofis - adalah unmk kepentingan eksistensi hukum. Tiap
pelanggaran atas norma hukum dituntut adanya sanksi.
Yang kedua, unmk kepentingan perlindungan masyarakat. Titik berat mjuannya
terletak pada perilakunya yaitu mentaati peraturan hukum.
10
Yang ketiga, unmk kepentingan individu narapidana sebagai warga negara dan
anggota masyarakat. Titik berat mjuannya terletak pada faktor mentalitasnya.
Sasarannya adalah peningkatan kualitas sosok dirinya.
Melalui pembelajaran dan pemberdayaan dirinya, diharapkan agar perilaku taat akan
hukum itu mapan/ajeg, menginternalisasi dan menjadi bagian dari nilai-nilai dirinya.
Perilaku taatnya itu bukan karena paksaan dari luar dirinya melainkan atas "perintah"
nuraninya sendiri ("inner-order"-nya), dengan kata lain karena kesadaran hukumnya.
Disamping itu, unmk mengantisipasi faktor penyebabnya, diberikan pendidikan yang
mengarah pada penumbuhan etos kerja dengan pertimbangan bahwa pada umumnya
atau sebagian besar tindak pidana dimotivasi oleh mntutan kebutuhan dasar
penghidupan yangbersifat materiel.
Kesempatan itu dimanfaatkan juga untuk menciptakan kepedulian dan rasa tanggung
jawab terhadap kepentingan bersama dalam lingkungan masyarakatnya. Dengan kata
lain ditumbuhkan sikap sosialnya agar dapat berintegrasi dengan masyarakat.
Pembelajaran narapidana di LAPAS memiliki kekhususan, baik warga
belajamya maupun proses ajarnya. Di antara karakteristik yang menonjol pada warga
belajarnya adalah:
•
Narapidana adalah orang dewasa yang tengah menjalani pidana hilang
kemerdekaan (penjara);
•
Narapidana hidup dalam kelompok yang tergolong "Kelompok Paksa (Involuntary
Group),
11
•
Kondisi narapidana homogen sebagai penderita akibat isolasi sosialnya, namun
heterogen dalam latar belakang kehidupannya.
Di antara karakteristik proses ajarnya adalah :
•
Kurikulum ditentukan oleh Lembaga (LAPAS);
•
Waktu belajarbergantung pada lamanya warga belajar menjalani pidananya.
Arah pembinaan narapidana di LAPAS adalah perubahan perilakunya. Perilaku
merupakan implikasi dari sikapnya. Yang menjadi sumber sikap adalah konsep dirinya.
Sedangkan konsep diri ditentukan oleh persepsinya; dalam hal ini, persepsi terhadap
proses ajar yang dialaminya menenmkan kualifikasi konsep dirinya sebagai produk
proses ajarnya.
Alur pikir mengenai hubungan persepsi narapidana terhadap pelaksanaan
pembinaannya - sebagai proses ajar dalam sistem pemasyarakatan/resosialisasi dengan
perubahan/perkembangan konsep dirinya, digambarkan pada bagan/skema di bawah
ini.
BAGAN1
ALUR PIKIR
MASUKAN
UU PEMASYA
RAKATAN
No
PROSES
_
-
KELUARAN
KEBIJAKAN
PEMASYAKATAN
12/1955
UMPAN
BALIK
RESOSIALISASI
PROSES PEMBELAJARAN
PROGRAM RESOSIALISASI
WARGA YANG
BAIK
PEMBINAAN DISIPLIN
•
KESADARAN
HUKUM
KONSEP
DIRI
PENDIDIKAN TERSTRUKTUR
INTERAKSI SOSIAL
•
ETOS KERJA
•
SIKAP SOSIAL
13
Bertolak dari alur fikir tersebut, maka fokus penelitiannya dirumuskan
sebagai berikut:
Sejauhmana narapidana mengembangkan konsep diri lewat
proses pembelajaran
dan
pemberdayaan
pada
upaya
resosialisasinya di Lembaga Pemasyarakatan dalam rangka
menjadikannya sebagai warga yang sadar hukum, mandiri
dan berintegrasi dengan masyarakat.
Masalah pokok tersebut dijabarkan ke dalam sub-sub masalah dalam
pertanyaan sebagaiberikut:
1. Perkembangan konsep diri apa yang dicapai narapidana dari persepsinya
terhadap pelaksanaan program pembinaan kesadaran hukumnya ?
2. Perkembangan konsep diri apa yang dicapai narapidana dari persepsinya
terhadap pelaksanaan program pembinaan etos kerjanya ?
3. Perkembangan konsep diri apa yang dicapai narapidana dari persepsinya
terhadap pelaksanaan progranrpembinaan sikap sosialnya ?
K C. Tujuan Penelitian
Secara
umum,
penelitian
ini
bertujuan
unmk
mendapatkan
gambaran/deskripsi akmal mengenai proses pembelajaran dan pemberdayaan
narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A, Banceuy Kotamadya Bandung
dalam rangka mengembalikannya ke dalam masyarakat sebagai warga yang baik.
14
Deskripsi ini lebih ditekankan pada dimensi warga belajamya dilihat dari
perkembangan konsep dirinya dari persepsinya terhadap proses pembeljaran dan
pemberdayaannya.
Secarakhusus, penelitian ini bertujuan mendapatkan data berikut:
1. Perkembangan konsep diri yang dicapai narapidana dari persepsinya terhadap
pelaksanaan programpembinaan kesadaran hukumnya.
2. Perkembangan konsep diri yang dicapai narapidana dari persepsinya terhadap
pelaksanaan programpembinaan etos kerjanya.
3. Perkembangan konsep diri yang dicapai narapidana dari persepsinya terhadap
pelaksanaan program pembinaan sukap.sosialnya.
ft P-. Manfaat Penelitian
Secara teoritik, studi ini bermanfaat bagi masukan suatu generalisasi, asumsi
dan hipotetik baru dalam konteks pendidikan bagi kepentingan pengembangan
resosialisasi narapidana.
Sedangkan segi praktisnya, dapat digunakan unmk menenmkan kebijakan
dalam proses pembelajaran dan pemberdayaan narapidana, khususnya dalam
penciptaan suasana belajar yang kondusif dengan mengantisipasi kendalakendalanya.
15
,E. Premis
Penelitian ini bertitik tolak dari premis berikut di bawah ini:
1. Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga
BinaanPemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan.
memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima
kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan.
dan dapat hidup secara wajar sebagai wargayang baik dan bertanggung jawab.
(Undang-undang Pemasyarakatan No. 12 tahun 1995 pasal 2)
2. Resosialisasi ialah suam proses interaksi antara narapidana, petugas Lembaga
Pemasyarakatan dan masyarakat, dan kedalam proses interaksi mana termasuk
mengubah sistem nilai-nilai daripada narapidana, sehingga ia akan dapat dengan
baik dan efektif mereadaptasi norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam
masyarakat.
(Romli Atmasasmita, 1983)
3. Perubahan sikap dalam konteks sosial budaya merupakan proses ajar/learning
dalam upaya menyesuaikan diri dengan lingkungan. Proses ajar ini banyak
dipengaruhi oleh faktor motivasi sebagai unsur psikologis yang memacu derajat
ke arah perubahan dan pengembangan ajar, yang pada orang dewasa banyak
ditentukan oleh tingkat atau derajat kebutuhannya (need) mulai dari kebutuhan
fisik biologis sampai padataraf aktualisasi diri.
(Maslow yang dikutip Knowles, 1977)
16
4. Pengajaran
yang
baik adalah
pengelolaan
yang baik dari dua unsur
pokok : si warga belajar serta lingkungannya.
(Lyra Srinivasan, 1977, terjemahan Slamet Soegiono, 1979).
5. Tanggung jawab fasilitator adalah mendorong dan mengasuh warga belajar
untuk mengarahkan dirinya sendiri dan mengembangkan dirinya sejauh
mungkin. Sikap guru, pembimbing, fasilitator harus didasari kepercayaan
bahwajika diciptakan situasi yang tepat, para warga belajar akan menunjukkan
hasrat dan kemampuan untuk mencari arah mereka sendiri, untuk berusaha
menguasai suam ketrampilan serta unmk mengetengahkan dirinya secara
kreatif
(Lyra Srinivasan, 1977, terjemahan Slamet Soegiono, 1979)
6. Hasil belajar yang rendah dapat terjadi bukan disebabkan oleh cara mengajar
yang tidak baik, warga belajar yang bodoh atau pemilihan bahan belajar yang
tidak tepat, melainkan akan lebih dipengaruhi oleh lingkungan belajar yang
tidak mendukung.
(D. Sudjana, 1983)
7. Pembinaan dalam lembaga, kerapkali berusaha agar narapidana menyesuaikan
diri padakeadaan lembaga daripada terhadap kondisi masyarakat luas.
(Implementation of The Standard Minimum Rules for The Treatment of
Prisoner, 1968 No. 55)
17
8. Kebanyakan cara-cara bertingkah laku yang diambil seseorang selaras dengan
konsep dirinya, maka cara yang baik untuk mengubah perilaku seseorang
adalah dengan mengubah konsep dirinya.
(C. Rogers yang dikutip Sumadi Suryabrata, 1981).
BAB HI
PROSEDUR PENELITIAN
A. Pendekatan dan Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yaitu penelitian yang
mengungkapkan, menganalisis, lalu menginterpretasikannya dari objek yang
ada pada setting tertentu, juga termasuk pengungkapan tentang makna dari
fakta-fakta tentang proses belajar yang dijalani oleh warga belajar narapidana
di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Banceuy, Kotamadya Bandung serta
mengungkapkan makna yang terkandung di dalamnya, khususnya proses
pembentukan konsep diri warga belajarnya.
Metode yang dianggap tepat pada penelitian ini adalah metode studi
kasus yang bersifat eksploratif, sebab dapat digunakan untuk mempelajari
secara intensif latar belakang, status sekarang, interaksi dengan lingkungan
dari suatu unit seperti individu, kelompok, lembaga atau suatu komunitas. Dan
kehidupan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan dapat digolongkan pada
suatu komunitas.
B. Subjek Penelitian
Yang menjadi subjek penelitian adalah narapidana sebanyak 6 (enam)
orang yang variatif dalam : jenis kelamin, umur, status keluarga, macam tindak
pidana, besarnya pidana/hukuman, dan lamanya menjalani pidana (dalam
katagori 3 macam pendekatan pengamanan/ pengawasan).
153
154
Variasi identitas sebagai narapidana tersebut digambarkan pada tabel di bawah
ini.
Tabel 3
IDENTITAS NARAPIDANA SUBJEK PENELITIAN
STAUS
KATAGORI
KAWIN/
TINDAK
BELUM
PIDANA
Kawin
Pembunuhan
JENIS
NO
UMUR
RESPONDEN
MASA
MENJALANI
PIDANA
KELAMIN
1.
PRIA
I
69 th.
PIDANA
Maximum
10 th 6 bl
Security
2.
II
Wanita
33 th
Kawin
Penculikan
Medium
2 th
Security
3.
III
Wanita
26 th
Kawin
Pembunuhan
Maximum
4 th
Security
4.
IV
Pria
35 th
Kawin
Penggelapan
Minimum
2 th
Security
5.
V
Pria
24 th
Belum
Pencurian
Minimum
11 bl
Security
6.
VI
Pria
28 th
Kawin
Pencurian
Minimum
1 th 8 bl
Security
l
C. Alat Pengumpul Data
Pengumpulan data dilakukan penelitian sendiri yang terjun langsung ke
lapangan/lokasi penelitian dengan alat pengumpul data : wawancara, observasi
dan studi dokumentasi dengan alat bantu : tape recorder, kamera dan buku
catatan.
155
Observasi yang dilakukan bersifat "snowball sampling", yaitu bila dari
sampel yang satu data yang dibutuhkan belum lengkap maka akan dihimpun
dengan sampel lain dengan karakteristik yang sama.
Observasi akan dilakukan untuk melihat pelaksanaan
pendidikan
terstruktur, hubungan sosial antar narapidana dan antara narapidana dengan
anggota keluarganya.
Pengumpulan dokumen dilakukan untuk mendapatkan data tentang
katagori narapidana, mekanisme kerja para petugas/pegawai serta hal-hal yang
menyangkut sumber, sarana dan prasarana belajar.
D. Pelaksanaan Pengumpulan Data
Pelaksanaan pengumpulan data dilakukan dalam tiga tahap, yakni (1) tahap
orientasi, (2) tahap eksplorasi dan (3) tahap pengecekan. Kegiatan masingmasing sebagai berikut:
1. Tahap Orientasi
Pada tahap ini dilakukan berbagai kegiatan sebagai persiapan agar
penelitian dapat terlaksana dengan baik. Pertama-tama menghimpun berbagai
informasi yang diambil dari buku-buku dan dokumen-dokumen yang
berhubungan langsung atau dapat menunjang pengumpulan data di lapangan.
Kegiatan ini diakhiri dengan terumuskannya instrumen penelitian.
Kemudian menguruskan kelengkapan administratif yang diperlukan yaitu Surat
Permohonan Izin Penelitian dari IKIP Bandung yang ditujukan kepada Instansi
Departemen Kehakiman, dalam hal ini Kantor Wilayah Kehakiman Jawa Barat
156
di Bandung. Selanjutnya dari kantor tersebut dikeluarkan surat izin penelitian
yang
diserahkan
kepada
Kepala
Pemasyarakatan
Kelas
IIA
Banceuy
Kotamadya Bandung.
2. Tahap Ekplorasi
Pada tahap ini dilakukan pengumpulan data melalui wawancara,
observasi dan pengumpulan dokumen.
Wawancara dilakukan terhadap narapidana sebanyak 6 orang yang telah
terpilih sesuai dengan kriteria yang diperlukan pada penelitian.
Data-data yang dijaring meliputi identitasnya, latar belakang dirinya serta
aspek-aspek konsep dirinya berikut perkembangannya yang dicapai dari
persepsinya terhadap proses pembelajaran dan pemberdayaan yang dialaminya.
Wawancara dilakukan pula terhadap fasilitator dan pimpinan Lembaga
Pemasyarakatan untuk menjaring data-data tentang kondisi umum program
resosialisasi berikut faktor penunjang serta penghambatnya.
Observasi dilakukan saat-saat ada kunjungan keluarga (bezoek), praktek
ibadah, latihan keterampilan dan kegiatan olah raga.
3. Tahap Pengecekan
Pada tahap ini dilakukan pemeriksaan kelengkapan data, bila ada
kekurangan, dilakukan kegiatan pengumpulan data kembali.
E. Langkah-Iangkah Pengolahan dan Analisis Data
Langkah-langkah pada pengolahan dan analisis data berturut-turut
sebagai berikut :
157
1 Melakukan pemeriksaan terhadap data yang terkumpul,
2. Mengklasifikasikan data dengan pengelompokkan jawaban responden
sesuai klasifikasi materi penelitian;
3. Membuat tabulasi data untuk kemudian dideskripsikan;
4. Melakukan diskusi atas hasil tabulasi;
5. Melakukan diskusi atas hasil analisis data serta menarik implikasiya.
6. Menarik kesimpulan dari hasil penelitian serta menyampaikan rekomendasi
bagi kepentingan pada pihak terkait.
BABV
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan deskripsi hasil penelitian beserta analisisnya sebagaimana telah
diketengahkan pada bab terdahulu, pada bab ini disampaikan kesimpulan dan saransaran berikut dibawah ini.
A. KESIMPULAN
1. Landasan yuridis pembinaan narapidana tidak kokoh sebab tidak bertumpu pada
undang-undang yang bersifat nasional.
2. Pelaksanaan pembinaan narapidana di LAPAS, Banceuy, Kotamadya Bandung,
tidak sesuai dengan tuntutan Pola Pembinaan-nya akibat fasilitas yang tidak
memadai, sumber belajar yang tidak kompeten serta aparatur Lembaga yang tidak
proaktif.
3. Proses pembelajaran dan pemberdayaan narapidana di LAPAS Banceuy,
Kotamadya Bandung, tidak sesuai dengan asas-asas dan teori-teori andragogi.
4. Pengamh dari proses pembelajaran di LAPAS terhadap pengembangan konsep
diri responden, relatif kecil.
Yang terbesar pengaruhnya adalah dari
hubungan/interaksi sosial dengan anggota keluarga.
5. Kendala sosiologis pada upaya resosialisasi narapidana adalah masih kentalnya
budaya "stigma" (pemberian cap sebagai penjahat) pada kehidupan masyarakat
yang menyebabkan kecilnya dukungan masyarakat.
264
265
B. SARAN-SARAN
Bertolak dari kesimpulan hasil penelitian, diajukan saran-saran yang terdiri
dari dua bagian : yang bersifat praktis dan yang bersifat teoritik bempa saran
penelitian.
a.
Saran Praktis
1. Pemerintah mengangkat pegawai sebagai pembina sumber belajar narapidana di
Lembaga Pemasyarakatan sesuai dengan kebutuhan.
2. Melalui kerjasama dengan Departemen Pendidikan Nasional atau lembaga-
lembaga di bawah naungannya, Departemen Hukum dan Perandang-Undangan
(dahulu
Departemen
Kehakiman)
menentukan
metodologi
pembelajaran
Pendidikan Luar Sekolah di Lembaga Pemasyarakatan yang "up to date" melalui
alternatif model-model pembelajaran interaktif sesuai karakteristik pribadi serta
tindak pidananya.
3. Unmk mengoptimalkan proses pembelajaran pada kondisi sekarang, Lembaga
Pemasyarakatan Banceuy, Kotamadya Bandung, meningkatkan sumber daya yang
ada seperti melengkapi literatur perpustakaan, melibatkan peran keluarga sebagai
pendukung pembinaan dan lain sebagainya.
4. Pemerintah membentuk lembaga yang berfun^si sebagai media sebelum
narapidana terjun ke masyarakat yangberperan sebagai konsultan dan fasilitator.
b. Saran Penelitian
Dilakukan penelitian mengenai tema berikut:
266
1. Peran anggota keluarga dalam menunjang pembinaan narapidana di Lembaga
Pemasyarakatan.
2. Efektivitas pembelajaran narapidana dalam pembinaan kesadaran hukumnya
melalui proses dinamika kelompok.
DAFTAU PUSTAKA
Abdurachrnan (1979). AncU. Masatah Hukum da.am Pembangunan di
Indonesia. Bandung: Alumni.
Achmad S. Soema diPradja dan Romli Atmasasmita. (1979) Sistem
Pemasyarakatan di Indonesia. Jakarta :Bina Cipta
Ani Isnanr (1983X Prestasi Belajar dan Perilaku Sosial Dilihat dari Konsep
D.rmya (Tes.s yang tidak diterbitkan). IKIP Bandung
P
AM"SOn' At^Ft(I?) Pen8an*"r PSik0,08i - '*«« ". Gelora
Cohen, A^R.OSM). Attitude Change „„d Social ,„n„c„ce. New York :Basic
Comb, "WMJ H. (I973> N P„h „Learnj„g for ^ ^
USA .International Council for Educative Development
Fre,re, Paulo. (1985). PendidiKan Tenindas (terjemanan,. ,akarta :PT, T
S0"0' San^atpuS SiS"m ^ """"» ""P--.. >*•«. :PT.
Illich. ,va„. (.982). Bebas dari Seko.an (terjemahan). Jakarta :Sinar Harapan
Jalaludin Rachmat. (1998) Psiknlnoi vnm
Rosdakarya.
-i
• rC
.
§ Kon,""'k»s' Bandung : PT. Remaja
John M. Echols dan Hasan Shadili. (1993) Kamiit' Rah*™ t
Jakarta :Gramedia Pustaka Utama.' KamUS.BahaSa InW ~Indonesia.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. (1990). Jakarta :DEPDIKBUD
Kartini Kartono. (1992). Psikologi Sosial. Jakarta :CV Rajawali
Kn°W,eS' S I S ThC M°dern P^* ^.It Education. New York
~~' ffi J^y^r :ANC8,CCtCd °f Ad^' «~«o". USA :Gulf
Koesnoen. (,961). Poliiik Penjara Nasional. Bandung :Sumur Bandung
KOSaSih ^nd^0985' Sl^'««l«« Afdctlf. Bandung :PP-rPS IKIP
267
268
Krech,, David, et all. (1962). Individual i„ Society. Tokyo .McGraw-Hill Book
company, Inc.
Kuntjaraningrat, (1990). Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta PT
Gramedia Pustaka Utama.
Lamintangoinar
PAR.
(1984). Dasar-dasar
Hukum Pidana Indonesia. Bandung
tiaru.
31'4
Mar 3t (\9n6d4oneSSiiaaP """"^ ^^^ Serta P«gukuranny-. Jakarta Ghalia
Mattew B Miles dan A Michael Huberman, (1992). Analisis Data Kualitatif
(terjemahan). Jakarta : UI-PRESS.
ai"
M°'e0"S' Roltarya95 ' MCt0d°,0gi '"'"'"^ *""'""'«• Bandu"8 :"• Remaja
^^"fflJJ^^^5"''" *"«*- »•"•• ^ung :
Mulyana JUjrt (198,). Hukun, da„ Hak Asasi Manusia. Bandung :
Mustafa, Muhammad, dar.Mulyana W^Kusumah. (1979). Keiidakadiian Struktura,
s^^'^Z^Vs5 (1980) Kemiski"""s-k>»^
NSa'im RoTdrya09^ PSik0,°Si PC"didik"- *«*>«•• Remaja
..Omi In,a„ NaomL (1999). Menggugat Pendidikan. Yogyakarta :PT. Gelora Aksara
Polak, Maijor, j.B.A.F. (1985). Sosio.ogi, Jakarta :PT lch,isar Baru Van Hoeve
Purnadi *^^-^^o. (..««>. Sendi-send „„,,k dan
Rom,i *tttAl&Z^!*&»£-«»
(l983) Kc"c»J«r««» dalam Suatu Bunga Rampai. Bandung Armico
Roscoc Pound. (1965). Tugas Hukum (terjemahan). Jakarta : Bhra.a
Sahetapy, Y.Ii. (1983). IMsau Ana.isa Kriminologi. Bandung :Armico
Sanaflah Faisal. (1981). Pendidikan Luar Sekolah.' Surabaya :CV Usaha Nasional
Santoso S^Hamidjojo
(1982). Pengertian, Falsafah dan Asas Pendidikan
Non
Formal. Bandung :F1P IKIP Bandung.
enu.aiKan Non
269
Sanusi, Achmad (1991). Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Tata Hukum
Indonesia. Bandung : Tarsito.
Selo Soemardjan. (1979). Kemiskinan Struktural dan Pembangunan, dalam YIIS
(1980) Kemiskinan Struktural (Suatu Bunga Rampai). Jakarta : YIIS.
Satjipto
Raharjo.
(tanpa
tahun).
Masalah
Penegakkan
Hukum
dalam
Pembangunan di Indonesia. Bandung : Sinar Baru.
Simanjuntak, B. (1980). Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial. Bandung :
Tarsito.
Soejono
Dirdjosisworo.
(1984).
Sejarah
dan
Azas-Azas
Penologi
(Pemasyarakatan). Bandung : Tarsito.
Soemantri, Wasti. (1984). Psikologi Pendidikan. Jakarta : Bina Aksara.
Soeleiman Joesoef. (1992). Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah. Jakarta :
Bumi Aksara.
'
''
'
Soerjono Soekanto. (1981). Fungsi Hukum dan Perubahan Sosial. Bandung :
Alumni.
(1982). Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum. Jakarta : Rajawali.
"
—
(1983). Teori Sosiologi tentang Perubahan Sosial. Jakarta : Graha
Indonesia
Sujana, D. (1983). Pendidikan Non-Formal (Wawasan - Scjarah-Azas). Bandung
: Theme 76.
(1983). Strategi Kegiatan Belajar Mengajar dalam Pendidikan NoriFormaL. Bandung : Theme 76.
Sumadi, Suryabrata. (1985). Psikologi Kepribadian. Jakarta : PT! Raja Graf.ndo
Persada..
Srinivasan, Lyra (1977). Perspektives on Non-Formal Adult Learning. USA :
World Education.
Team Observasi dan Evaluasi Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan dan Pembinaan
Personil (1982). Kcdudukan dan Fungsi Sistem Pemasyarakatan
Sebagai Salah Satu alat untuk mencegah dan Memberantas Kejahatan
Khususnya untuk Mencegah Terulangnya Perbuatan Jahat. Jakarta :
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.
Widjaya, AW. (1985). Kesadaran Hukum dan Masyarakat Pancasila. Jakarta
•
Eka Swasta.
•270
Perundang-undangan : '
-
•
UU Sistem Pendidikan Nasional ( No. 2 tahun 1989).
UU Pemasyarakatan (No. 12 tahun 1995
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (No. 8 tahun 1981).
Peraturan Pemerintah No. 73 tentang Pendidikan Luar Sekolah.
Keputusan Menteri Kehakiman No. M.02-PK.04.10 tahun 1990 tentang Pola
Pembinaan Narapidana/Tahanan
Kepres No. 5 tahun 1985 tentang Remisi.