INTERNALISASI KEJUJURAN MELALUI MODEL INTEGRATIF PEMBELAJARAN MATEMATIKA: Studi Di Sekolah Dasar Kota Banjarmasin.

(1)

Muhammad Royani, 2013

Internalisasi Kejujuran Melalui Model Integratif Pembelajaran Matematika Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

INTERNALISASI KEJUJURAN MELALUI MODEL INTEGRATIF

PEMBELAJARAN MATEMATIKA

(STUDI DI SEKOLAH DASAR KOTA BANJARMASIN)

DISERTASI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Doktor Ilmu Pendidikan

Dalam Bidang Pendidikan Umum

OLEH:

MUHAMMAD ROYANI

NIM 0908539

JURUSAN PENDIDIKAN UMUM/NILAI

S E K O L A H P A S C A S A R J A N A

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

B A N D U N G


(2)

Muhammad Royani, 2013

Internalisasi Kejujuran Melalui Model Integratif Pembelajaran Matematika

Internalisasi Kejujuran Melalui Model Integratif

Pembelajaran Matematika

(Studi di Sekolah Dasar Kota Banjarmasin)

Oleh

Muhammad Royani

Drs. FKIP Unlam Banjarmasin, 1991 M.Pd. Universitas Negeri Malang, 2003

Sebuah Disertasi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Doktor Pendidikan (Dr.) pada Program Studi Pendidikan Umum/Nilai Sekolah Pascasarjana UPI

Bandung

© Muhammad Royani 2013 Universitas Pendidikan Indonesia

Juli 2013

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Disertasi ini tidak boleh diperbanyak seluruhnya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis.


(3)

Muhammad Royani, 2013

Internalisasi Kejujuran Melalui Model Integratif Pembelajaran Matematika Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu


(4)

INTERNALISASI KEJUJURAN MELALUI MODEL INTEGRATIF

PEMBELAJARAN MATEMATIKA (STUDI DI SEKOLAH DASAR KOTA BANJARMASIN)

Disertasi Muhammad Royani dengan Tim Promotor Prof. Dr. H. Ishak Abdulhak, M.Pd., Bana G. Kartasasmita, Ph.D., Prof. Ace Suryadi, M.Sc., Ph.D.

Belajar matematika dapat mengembangkan daya konsentrasi, meningkatkan kemampuan mengeluarkan pendapat dengan singkat dan tepat, berpikir rasional, dan mengambil keputusan secara tepat. Unsur-unsur kedisiplinan yang terdapat di dalam matematika merupakan sarana untuk menanamkan, mengembangkan dan membina karakter karena bahasa simbol matematika yang universal sarat dengan nilai-nilai sosial universal. Kebenaran dan kejujuran dua hal yang mendasar dalam matematika. Kejujuran dapat ditanamkan dengan membiasakan menyebutkan sifat, rumus, teorema yang digunakan. Siswa yang belajar matematika dengan sadar atau tidak ia mempraktekkan kebenaran dan kejujuran. Kebenaran dan kejujuran dalam berpikir, bertutur kata, menulis dan bertindak merupakan kebaikan yang diperoleh secara tidak langsung dari belajar matematika. Akan tetapi masih banyak kita temukan perilaku ketidakjujuran siswa seperti berbohong terhadap teman, mengambil milik teman, melihat pekerjaan teman, bertanya atau nyontek pada saat tes dan kecurangan lainnya. Belajar matematika selama ini hanya dari aspek kognitif saja dan belum menyentuh aspek afektifnya. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui: gambaran kejujuran siswa sebagai akibat dari pembelajaran matematika dilaksanakan guru, proses model integratif pembelajaran matematika menginternalisasi kejujuran, serta pengaruh model integratif pembelajaran matematika terhadap internalisasi kejujuran siswa.

Metode eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan

Pretest-Postest Design dan Quasi Experimental Design. Teknik pengumpulan data

menggunakan angket, observasi, dan dokumentasi. Teknik analisis data pada uji coba pertama dan kedua menggunakan T-Test tipe Paired Samples Test, sedangkan uji coba ketiga menggunakan T-Tes tipe Independent Samples Test. Semua data diolah dengan fasilitas software SPSS ver.18.

Hasil penelitian menujukkan bahwa (1) masih banyak siswa SD yang belum jujur, terutama terhadap teman, saudara, orang tua, dan guru, maupun situasi dilematis dengan kualifikasi perkembangan sebagian besar belum tampak, mulai tampak dan mulai berkembang; (2) proses model integratif pembelajaran matematika adalah pengungkapan dan penekanan nilai kejujuran pada setiap momen pembelajaran yang dimulai dengan masalah matematika yang memuat nilai-nilai sosial budaya, pengelompokan untuk penugasan, studi lapangan untuk pengumpulan informasi berupa data, diskusi kelompok dan diskusi kelas, kesimpulan dan penghargaan; (3) model integratif pembelajaran matematika memiliki pengaruh terhadap internalisasi kejujuran siswa dan variabel status sosial ekonomi siswa tidak berpengaruh langsung.


(5)

Muhammad Royani, 2013

INTERNALIZING HONESTY THROUGH INTEGRATIVE MATHEMATICS TEACHING MODEL (STUDY IN ELEMENTARY SCHOOLS IN THE CITY OF BANJARMASIN)

Disertation. Muhammad Royani. Promoters: Prof. Dr. H. Ishak Abdulhak, M.Pd.; Bana G. Kartasasmita, Ph.D.; Prof. Ace Suryadi, M.Sc., Ph.D.

Learning mathematics can develop concentration, improve the skill to express opinion concisely and precisely, and encourage rational thingking and accurate decision making. The aspects of self-discipline in mathematics accommodate character development, cultivation, and guidance because the universal symbols of mathematics abound with universally social values. Veracity and honesty are the two principles in mathematics. Honesty can be developed by habituating properties, formulations, and theorems used. Students learning mathematics, whether unconsciously or not, are practicing veracity and honesty. Veracity and honesty in thinking, speaking, writing, and acting are direct benefits from learning mathematics. Nevertheless, dishonesty among students still prevails, such as lying to their friends,

taking others’ property, peeking at friends’ work, asking or cheating during test, and

other dishonesty behaviors. Until recently, learning mathematics has been focused on the cognitive, not the affective aspect. Thus, the research aimed to find the

descriptions of students’ honesty as a result of learning mathematics with teachers,

the process of how the model of integrative mathematics teaching learning internalizes honesty, and the impact of the model of integrated mathematics teaching

learning on the internalization of students’ honesty.

The research employed experimental method with pretest-posttest design and quasi experimental design. Data collection techniques employed were questionnaires, observation, and documentation. Data from the first and second tests were analyzed usingPaired Samples t-Test, while the analysis of the third test used Independent Samples t-Test. All data were processed using the software of SPSS version18. The results demonstrate that: (1) There was still a large number of students who were not honest, especially to their friends, siblings, parents, and teachers, and the dilemmatic situations began to surface and develop; (2) The process of integrated mathematics teaching learning model is the expression and emphasis on the value of honesty in each moment of the teaching learning, starting from mathematical problems containing socio-cultural values, grouping for assignment, field study, group and class discussion, conclusion and reward; (3) The integrated mathematics

teaching learning model had an impact on the internalization of students’ honesty,


(6)

Muhammad Royani, 2013

Internalisasi Kejujuran Melalui Model Integratif Pembelajaran Matematika

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ……….... LEMBAR PERSETUJUAN ………... PERNYATAAN ………. ABSTARK ………. ABSTRACT ………...

KATA PENGANTAR ..………..

UCAPAN TERIMA KASIH ……….. DAFTAR ISI ……….. DAFTAR TABEL ……….. DAFTAR GAMBAR ………. DAFTAR LAMPIRAN ………..

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ………..

B. Identifikasi Masalah, Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian ………….. C. Definisi Operasional ………...

D. Tujuan Penelitian ……….

E. Kerangka Berpikir

F. Manfaat Penelitian ………...

BAB II. KAJIAN PUSTAKA

A. Hakikat Pembelajaran Matematika ……….

B. Hakikat Pendidikan Nilai ………

C. Hakikat Pembelajaran Integratif ………. D. Karakter Jujur dalam Kajian Pendidikan Umum ……… E. Hasil Kajian yang Relevan dengan Kejujuran dan Model Integratif ………….. BAB III. PROSEDUR PENELITIAN

A. Metode Penelitian ………

B. Langkah-langkah Penelitian ………

C. Populasi dan Sampel/Subjek Penelitian……….. D. Teknik Pengumpulan

E. Pengembangan Instrumen

F. Teknik Analisis Data………..…… BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Tempat Penelitian

B. Deskripsi Kejujuran dari Proses Pembelajaran Konvensional ……….……….. C. Deskripsi Model Integratif

D. Hasil Pengujian Model Integratif E. Pembahasan I ii iii iv v vi viii xi xiii xv xvi 1 11 14 14 15 18 19 41 87 121 124 130 131 135 136 137 138 142 158 178 182 195


(7)

Muhammad Royani, 2013

Internalisasi Kejujuran Melalui Model Integratif Pembelajaran Matematika Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

BAB V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan Umum ………..……

B. Kesimpulan Khusus ……….……

C. Rekomendasi………

DAFTAR PUSTAKA ……….

LAMPIRAN-LAMPIRAN ……….

217 219 219 221 228


(8)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kita tidak ingin anak-anak kita berbohong, menyontek dalam ujian, atau mengambil apa yang bukan menjadi miliknya, tetapi kita ingin agar mereka berbicara jujur, berlaku adil, sopan, menghormati para orangtua dan guru mereka, menyelesaikan pekerjaan rumah mereka, dan bersikap baik satu sama lain. Singkatnya, walaupun kita berada dalam sebuah lingkungan di mana masyarakatnya memiliki makna nilai yang bertentangan, kepedulian, tanggung jawab, dan manifestasi kehidupan kitalah yang sebenarnya menjadi dasar dari kehidupan moral kita. Mengenal pemikiran dasar yang secara umum dapat diterima oleh seluruh masyarakat adalah langkah awal yang paling utama dalam memberikan pendidikan tentang nilai di sekolah (Lickona, 1991:74). Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti kejujuran, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain. Menurut Lickona (1992: 70) ada tiga kelompok karakter yang baik, yaitu moral knowing, moral feeling, dan moral

action.

Pada masyarakat sekarang ini, setiap orang dituntut untuk memiliki tingkat literasi matematika yang memadai (Hayat & Yusuf, 2010: 211). Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan mengembangkan


(9)

daya pikir manusia, oleh karena itu untuk menguasai dan mencipta teknologi di masa depan diperlukan penguasaan matematika yang kuat sejak dini (Departemen Pendidikan Nasional, 2006). Hal ini senada dengan pendapat Zhang (2005) bahwa matematika merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat modern, secara faktual pendidikan matematika merupakan suatu kekuatan yang mendorong masyarakat untuk maju, oleh karena itu reformasi pendidikan matematika tidak boleh berhenti. Pemerintah mencoba mereformasi pendidikan dengan mengubah paradigma proses pendidikan dari paradigma pengajaran ke paradigma pembelajaran (Departemen Pendidikan Nasional, 2007). Pendidikan adalah suatu usaha yang sadar dan sistematis dalam mengembangkan potensi peserta didik. Sedangkan karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap dan bertindak.

Sujono (1988:19-20) menyatakan bahwa dengan belajar matematika maka karakter atau watak seseorang dapat dibina atau dikembangkan. Ini terjadi karena belajar matematika dapat mengembangkan daya konsentrasi, meningkatkan kemampuan mengeluarkan pendapat dengan singkat dan tepat, berpikir rasional, dan mengambil keputusan secara tepat. Unsur-unsur kedisiplinan yang terdapat di dalam matematika ternyata merupakan sarana yang baik untuk membina dan mengembangkan karakter. Kebenaran dan kejujuran dua hal yang mendasar dalam matematika. Kejujuran dapat ditumbuhkan dengan membiasakan siswa


(10)

memeriksa kembali hasil kerjanya. Jika dari hasil pemeriksaan kembali ternyata hasilnya salah, maka dengan tulus hati dan kejujuran siswa yakin bahwa ia berbuat salah. Kejujuran juga ditanamkan melalui pelajaran matematika. Dalam pelajaran ini siswa dibiasakan menyebutkan sifat, rumus, teorema yang digunakan. Ini berarti bahwa dalam diri siswa ditanamkan kebiasaan untuk mengetahui dan menghargai bantuan orang lain. Matematika adalah bidang studi penuh kebenaran dan kepastian. Bila seseorang mencintai maka ia mencintai kebenaran. Siswa yang mempelajari matematika dengan sadar atau tidak ia mempraktekkan kebenaran. Kebenaran dalam berpikir, bertutur kata, menulis dan bertindak merupakan kebaikan yang diperoleh secara tidak langsung dari belajar matematika. Cinta akan kebenaran dan kejujuran, dua nilai terpuji ini ditanamkan dalam jiwa siswa melalui pelajaran matematika.

Menurut Soedjadi (2000:66-67) bahwa pembelajaran matematika tidak hanya mengandung nilai edukasi yang bersifat mencerdaskan siswa tetapi juga nilai edukasi yang membantu membentuk pribadi siswa. Memang untuk dapat mengetahui apakah nilai edukasi pembentuk pribadi siswa telah tercapai tidaklah mudah, lebih-lebih dalam waktu yang singkat. Untuk itu diperlukan upaya terencana, kontinu dan pengamatan yang cukup lama. Selama ini nilai-nilai yang terkandung dalam pembelajaran matematika diharapkan akan tercapai dengan sendirinya. Melalui pembelajaran matematika diharapkan dengan sendirinya para siswa akan cermat dalam melakukan pekerjaan, akan kritis dan konsisten dalam bersikap, akan jujur dan lain sebagainya yang disebut pembelajaran by-chance.


(11)

Akan tetapi sekarang kita lebih memerlukan perencanaan pembelajaran matematika yang secara sengaja memasukkan pembelajaran nilai-nilai tersebut yang disebut pembelajaran by-design. Dalam pembelajaran ini perlu dilengkapi dengan tujuan domain afektif maupun psikomotor yang memerlukan instrumen pengukurnya.

Menurut Mulyana (2004: 179) secara ideal pembelajaran matematika semestinya mengembangkan kognisi, afeksi dan psikomotor sebagai komponen esensial. Dalam pemahaman seperti itu, maka pengembangan nilai dan etika dalam pembelajaran matematika tidak tepat lagi jika hanya diposisikan sebagai komponen krusial atau kurikulum tersembunyi (hidden curriculum). Nilai, moral dan etika harus secara eksplisit dijabarkan dan diperkaya dalam setiap topik pembelajaran. Melalui pembelajaran seperti itu, keseimbangan antara kepemilikan pengetahuan, kompetensi teknologi, moral individu dan apresiasi terhadap nilai-nilai sosial dan budaya dapat ditingkatkan. Pembelajaran matematika perlu juga diarahkan pada pencapaian tujuan pendidikan yang berdiversifikasi. Beberapa tujuan yang harus dicapai dalam pendidikan matematika adalah membangkitkan peserta didik agar memiliki dorongan untuk tahu dan paham, memiliki kemampuan mengumpulkan data, menemukan makna, berpikir logis, memilih alternatif pilihan beserta akibatnya, memahami manusia pada posisi manusiawi, dan menghargai perbedaan pendapat.

Pembelajaran matematika yang disertai oleh pengembangan nilai, moral, dan etika diyakini akan mampu menumbuhkan potensi peserta didik melebihi apa


(12)

yang dicapai dalam pembelajaran konvensional. UNESCO mencatat bahwa pembelajaran matematika yang dilakukan secara terpadu dengan kebutuhan pendidikan nilai akan mampu merubah makna belajar dan meningkatkan kemampuan peserta didik dalam menghargai kontribusi iptek, mengembangkan minat mereka dalam belajar, dan memiliki sikap ilmiah yang jelas. Karena itu, materi pembelajaran yang dikembangkan harus sampai pada materi-materi esensial yang terkandung di dalamnya. Materi esensial adalah pokok-pokok bahasan tentang matematika yang di dalamnya terkandung nilai, moral, dan etika yang harus dimiliki oleh peserta didik dan dianggap krusial andai kata hal tersebut tidak disampaikan dalam proses pembelajaran (Mulyana, 2004:179-180). Dengan demikian perlu pengintegrasian nilai, moral dan etika ke dalam pembelajaran matematika dengan menggunakan model terintegrasi yang disebut model integratif. Model integratif adalah model pembelajaran yang mengintegrasikan nilai-nilai sosial budaya atau nilai-nilai kemanusiaan ke dalam mata pelajaran.

Pembelajaran matematika seperti telah dikemukakan di atas selain dapat memperluas wawasan berpikir siswa tentang matematika, namun juga dapat menanamkan dan mengembangkan kesadaran akan nilai-nilai yang secara esensial terdapat di dalamnya. Pemahaman tentang substansi materi matematika tidak ditempatkan sebagai akhir proses pembelajaran. Cara seperti itu sesuai apa yang dikatakan Brameld (1975) sebagai education of power yang menekankan pentingnya pendidikan untuk pengembangan sistem nilai agar peserta didik


(13)

mampu berpikir, bersikap, dan bertindak lebih matang. Sebaliknya ketika pembelajaran matematika lebih mengutamakan substansi materi dengan tidak terlalu berurusan pada kesadaran nilai, maka proses pembelajaran berpihak pada

knowledge as power.

Kemendiknas (2010:4) mengemukakan bahwa pengembangan pendidikan budaya dan karakter sangat strategis bagi keberlangsungan dan keunggulan bangsa di masa mendatang. Pengembangan itu harus dilakukan melalui perencanaan yang baik, pendekatan yang sesuai, dan metode belajar serta pembelajaran yang efektif. Sesuai dengan sifat suatu nilai, pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah usaha bersama sekolah; oleh karenanya harus dilakukan secara bersama oleh semua guru dan pemimpin sekolah, melalui semua mata pelajaran, dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari budaya sekolah.

Menurut Soedarsono (2009: 23) pada umumnya kita akan sepakat tentang kondisi masyarakat Indonesia saat ini yang sedang menghadapi hal serius, yaitu masalah moral dan sosial yang akar permasalahannya memerlukan solusi yang sistemik. Diantara kita pasti akan sudah sampai pada kesimpulan bahwa ternyata ada hubungan yang sangat erat antara kehidupan masyarakat dan pendidikan karakter individu. Hal yang tak mungkin pernah terjadi ialah memenuhi hasrat untuk mengembangkan masyarakat yang penuh dengan kepemilikan nilai, tanpa kita mengembangkan kebajikan dalam hati, pikiran, dan jiwa dalam diri manusia secara individual. Oleh karena itu pula, pendidikan karakter itu harus kita mulai dari diri sendiri dan berkembang seterusnya kekeluarga, lingkungan, masyarakat


(14)

yang lebih luas, dan bangsa secara nasional. Masing-masing komponen di atas harus mengambil inisiatif dan proaktif mengambil bagian dalam membangun budaya berkarakter. Keluarga, sekolah, dan masyarakat yang berkarakter akan sangat ditentukan oleh kesungguhan kita untuk berkomitmen pada pendidikan karakter.

Persepsi bahwa matematika sulit tidak terlepas dari proses pembelajaran matematika yang disajikan guru di kelas yang kurang menarik, kurang realistik, kurang kontekstual, sehingga seolah-olah tidak terkait dengan masalah kehidupan dan bukan realitas. Padahal dalam gerak gerik kehidupan manusia tidak lepas dari matematika, baik kehidupan pribadi, sosial, berbangsa, bernegara, maupun beragama. Menurut Sobel & Maletsky (2004: 2) banyak sekali guru yang menggunakan waktunya untuk membahas tugas yang lalu, memberi pelajaran baru, dan memberi tugas baru, padahal pendekatan ini dikategorikan 3M, yaitu membosankan, menghambat, merusak minat siswa. Menurut Turmudi (2009: 8) bahwa kenyataannya belajar matematika tanpa pemahaman berlangsung cukup lama, padahal visi matematika sekolah didasarkan kepada belajar matematika dengan pemahaman.

Pembelajaran matematika yang dilaksanakan guru harus memperhatikan karakteristik siswa yang belajar dan karakteristik matematika yang dipelajari. Pembelajaran matematika selama ini kurang memperhatikan kedua karakteristik tersebut, dan lebih cenderung pada pola pembelajaran yang sama, baik pendidikan dasar maupun pendidikan menengah, bahkan ada pada pendidikan


(15)

tinggi. Pola pembelajaran matematika yang dilaksanakan guru dikelas cenderung mengikuti pola yang dimulai dengan penjelasan konsep atau prinsip yang disebut rumus, dilanjutkan dengan pemberian contoh penggunaan rumus yang bersifat prosedural/mekanistik, kemudian siswa diberi latihan agar lebih paham, dan diakhiri dengan pemberian pekerjaan rumah (PR). Secara singkat polanya adalah jelaskan, contoh, latihan, dan PR

Pada saat ini pola pembelajaran matematika seperti itu masih banyak dipakai oleh guru, dan masih sedikit guru yang menggunakan hasil inovasi-inovasi pembelajaran yang terbaru untuk meningkatkan pemahaman siswa. Orientasi pembelajaran matematika selama ini nampak jelas hanya untuk menguasai matematika itu dari aspek kognitif, tanpa memperhatikan aspek afektif dan psikomotrik. Dengan kata lain belajar matematika hanya untuk kepentingan pengembangan daya pikir siswa tanpa memperhatikan bagaimana bersikap dan berperilaku sesuai dengan kondisi lingkungan hidup dan perkembangan peradaban manusia.

Menurut Zamroni (2000:45) usaha meningkatkan kualitas pendidikan di tingkat manapun juga akan sulit terlaksana, apabila kualitas pendidikan yang lebih rendah tidak ditingkatkan mutunya. Oleh karena itu, peningkatan kualitas pendidikan di tingkat dasar merupakan kondisi mutlak yang diperlukan untuk meningkatkan mutu lulusan pendidikan menengah. Guru yang mengimplementasikan prinsip-prinsip mutu di kelasnya menurut Arcaro


(16)

(2006:49) melaksanakan pembelajaran yang berpusat pada siswa, siswa berpartisipasi dalam mengelola semua fungsi kelas.

Pembelajaran yang bermutu adalah pembelajaran yang mampu memfasilitasi peserta didik untuk terlibat secara fisik dan mental dalam proses belajar untuk memperoleh pengetahuan, dan pada akhirnya dapat membentuk kepribadian peserta didik yang baik. Akan tetapi menurut Aunillah (2011:47) bahwa banyak persoalan yang terjadi di negara kita saat ini antara lain disebabkan oleh semakin menipisnya kejujuran. Padahal dapat dikatakan bahwa kejujuran termasuk salah satu sendi utama yang bisa menopang tegaknya sendi-sendi kehidupan. Sebagai contoh, pejabat yang tidak jujur menyebabkan ia korupsi, pelajar yang tidak jujur menyebabkan ia suka menyontek. Hasil penelitian Hakam (2010: 287) menunjukkan bahwa bentuk-bentuk sikap dan perbuatan immoral yang umum terjadi di sekolah seperti nyontek pada saat ulangan, tidak mengerjakan PR, malak adik kelas, mencuri makanan di kantin, mencuri buku perpustakaan, berkelahi. Kadang-kadang juga terjadi bias nilai moral oleh warga sekolah secara spontan dihadapan siswa.

Sekolah telah berupaya dengan berbagai cara untuk bisa melatih atau proses pembiasaan berperilaku sesuai dengan nilai, moral dan norma-norma yang berlaku, baik secara langsung maupun tidak langsung. Seperti yang dilakukan oleh sekolah-sekolah yang ada di kota Banjarmasin, pesan-pesan moral secara langsung sering disampaikan pada akhir pembelajaran atau momen-momen tertentu, namun belum diintegrasikan dalam pembelajaran (pesan moral terkait


(17)

materi yang dipelajari atau dampak strategi yang digunakan). Sedangkan pesan moral secara tidak langsung melalui berbagai media, diantaranya tulisan-tulisan

berbentuk poster seperti kalimat “Biasakan LISA (Lihat Sampah Ambil)” yang di tempatkan di depan pintu masuk halaman sekolah, kalimat “Jadilah Anak Yang

Jujur” yang ditempatkan di Kantin Kejujuran. Hasil dari upaya yang telah dilakukan belum maksimal karena hanya berupa himbauan, karena belum menyentuh tentang dampak apa yang ia ketahui, yang ia rasakan dan apa yang ia lakukan.

Banyak sekolah di kota Banjarmasin yang membuka kantin kejujuran (tanpa ada yang menjaga). Namun banyak yang gagal atau bangkrut, ada juga kantinnya dijaga oleh petugas seperti yang terjadi di SDN Antasan Besar 7 Banjarmasin, SDN Mawar 7 Banjarmasin tidak memiliki kantin kejujuran lagi, SDN Telaga Biru 1 Banjarmasin dan SD Kristen Kanaan Banjarmasin selalu ada petugas yang menjaganya. Hal ini mengindikasikan mulai hilangnya kejujuran. Kebangkrutan kantin kejujuran merupakan salah satu indikator ketidakjujuran telah terjadi dalam lingkungan sekolah apapun alasannya. Hal ini menunjukkan adanya warga sekolah yang tidak jujur. Di samping itu, dari hasil wawancara dengan guru dikatakan bahwa ketidakjujuran kadang terjadi pada saat tes seperti ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir semester dengan nyontek pekerjaan teman, dan bahkan pada saat ujian akhir sekolah berstandar nasional (UASBN) maupun ujian nasional (UN) sering kita dengar terjadi kecurangan oleh siswa dengan berbagai cara. Seperti yang dikemukakan Kesuma dkk (2011: 16)


(18)

bahwa kejujuran dalam penyelenggaraan sekolah saat ini dapat kita identifikasi ketika sekolah menghadapi Ujian Nasional (UN). Banyak dugaan bahwa pelaksanaan UN banyak dimanipulasi oleh penyelenggara sekolah itu sendiri, bahkan beberapa kepala sekolah dan guru mengakui akan hal itu. Jika anak mempersepsikan ketidakjujuran dalam UN ini sebagai hal yang biasa, maka telah terbentuk dalam diri anak karakter toleran terhadap kebohongan, bahkan

menganggap “harus berbohong” . Tentu saja hal ini sangat berbahaya untuk

penguatan karakter anak. Persolaan tersebut menurut Aunillah (2011:18) hampir terjadi setiap tahun, baik secara terang-terangan maupun terselubung. Dari berbagai media, kita sering kali mendengar ada lembaga pendidikan yang sengaja melakukan kecurangan demi memperoleh nilai yang bagus bagi peserta didiknya. Mengingat kejujuran merupakan salah satu sikap yang penting dimiliki oleh semua lapisan masyarakat, maka perlu bagi sekolah-sekolah untuk menanamkan sikap ini kepada peserta didik agar mereka memahami pentingnya bersikap jujur sejak dini. Menanamkan kejujuran bagi para peserta didik sejak dini tentu saja dapat dilakukan saat mereka masih duduk di bangku sekolah dasar. Terkait itu, banyak pihak yang berpendapat bahwa sekolah dasar dinilai menjadi wadah utama dalam pembentukan karakter (Aunillah, 2011:48)

Berdasarkan hal-hal yang telah dikemukakan di atas, perlu suatu model pembelajaran matematika berdiversifikasi yang dapat menginternalisasikan kejujuran kepada peserta didik secara terintegrasi dengan pengetahuan matematika yang dipelajari.


(19)

B. Identifikasi Masalah, Rumusan Masalah, dan Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, dapat diidentifkasi beberapa masalah yang ada di sekolah dasar kota Banjarmasin berikut.

1. Dalam setiap kelas selalu ada siswa yang berperilaku kurang terpuji seperti berbicara dengan berteriak, mengejek teman, membuang sampah sembarangan, menyalin PR pekerjaan teman, menunggu dan berharap bantuan teman bahkan nyontek pada saat tes.

2. Guru belum melaksanakan kebijakan pemerintah tentang pengitegrasian pendidikan karakter melalui mata pelajaran, karena mengalami kesulitan dan mempertanyakan bagaimana cara mengintegrasikannya ke dalam mata pelajaran matematika.

3. Pengembangan diri melalui kegiatan ekstra kurikuler yang dilaksanakan sekolah seperti pramuka, usaha kesehatan sekolah (UKS), kegiatan keagamaan dan lain-lain dalam rangka mendukung penanaman nilai-nilai kemanusiaan belum berjalan dengan baik sebagaimana yang diharapkan. 4. Budaya sekolah yang dikembangkan nampaknya hanya sekedar formalitas

ritual yang harus dilakukan seperti berbaris saat mau masuk kelas (nilai disiplin) namun pada saat belanja di kantin rebutan, berdoa sebelum memulai pelajaran (nilai religius) namun pada saat makan di kantin tidak berdoa bahkan makan sambil bercanda, guru mengatakan pada saat tes tidak boleh ada yang nyontek, namun ada saja siswa yang berusaha untuk menunggu dan


(20)

berharap bantuan teman bahkan nyontek bila ada kesempatan. Dengan kata lain budaya sekolah yang dikembangkan belum mampu menanamkan nilai-nilai kemanusian dengan baik pada siswa.

5. Belum ada kesinambungan komitmen guru dalam integrasi nilai-nilai kemanusiaan antara budaya sekolah dan pengembangan diri yang dilaksanakan dengan kegiatan pembelajaran di kelas secara terencana, walaupun ada sifatnya spontanitas.

6. Kejujuran siswa diragukan bahkan dipertanyakan walaupun pihak sekolah sudah berupaya menciptakan budaya sekolah dan melakukan sosialisasi melalui berbagai kesempatan (nasehat-nasehat pada saat upacara) dan media banner yang dipasang di dalam dan di luar kelas sebagai pengingat.

7. Suasana pembelajaran matematika kurang menyenangkan, pendekatan dan strategi yang digunakan guru terlalu berorientasi pada substansi matematika

(instructional effect) dan terabaikannya nilai-nilai kemanusian (nurturant effect).

8. Belum adanya model pembelajaran terintegrasi antara pendidikan nilai dengan mata pelajaran, khususnya mata pelajaran matematika yang dapat membantu guru dalam mengimplementasikannya dengan langkah-langkah yang sederhana dan jelas.

Masalah utama dalam penelitian ini adalah: mengapa pembelajaran matematika di sekolah dasar belum mampu menginternalisasi karakter jujur pada peserta didik? dan bagaimana pembelajaran matematika di sekolah dasar dengan


(21)

model integratif dapat menginternalisasikan kejujuran pada peserta didik? Agar masalah penelitian lebih rinci, maka dirumuskan pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimanakah gambaran kejujuran siswa sebagai akibat dari proses pembelajaran konvensional?

2. Bagaimana proses pembelajaran matematika yang dilaksanakan guru selama ini? 3. Bagaimana proses model integratif pembelajaran matematika menginternalisasi

kejujuran?

4. Bagaimanakah efektivitas model integratif pembelajaran matematika dalam menginternalisasi kejujuran?

5. Apakah status sosial ekonomi siswa berpengaruh langsung terhadap kejujuran siswa?

C. Definisi Operasional

Untuk mempertegas variabel dalam penelitian ini, dikemukakan definisi operasional penelitian berikut:

1. Internalisasi kejujuran adalah proses mengalirkan atau menanamkan sifat jujur (lurus, hati tidak berbohong, tidak curang, tulus, dan ikhlas) yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam berkata dan berperilaku terhadap teman, saudara, orang tua, guru, dan situasi dilematis.


(22)

2. Model Integratif adalah model integrasi matematika ke dalam pendidikan nilai, yaitu rangkaian langkah-langkah pembelajaran yang memfasilitasi terjadinya interaksi siswa dengan guru dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar dengan suasana dan nuansa pembelajaran matematika yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan.

D. Tujuan Penelitian

Tujuan umum yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas model integratif pembelajaran matematika dalam menginternalisasikan kejujuran. Sedangkan tujuan khusus penelitian ini adalah untuk:

1. Menggambarkan keadaan kejujuran siswa sebagai akibat dari proses pembelajaran matematika yang dilaksanakan guru selama ini.

2. Mendeskripsikan pembelajaran matematika yang dilaksanakan guru selama ini.

3. Mendeskripsikan proses model integratif pembelajaran matematika menginternalisasi kejujuran.

4. Mengetahui ada tidaknya perbedaan kejujuran antara siswa yang belajar matematika menggunakan model integratif dengan siswa yang belajar matematika secara konvensional.

5. Menguji pengaruh status sosial ekonomi terhadap kejujuran siswa.


(23)

Fitrah manusia menurut perspektif agama adalah cenderung kepada kebaikan, namun masih mengakui adanya pengaruh lingkungan yang dapat mengganggu proses tumbuhnya fitrah. Hal ini memberikan pembenaran perlunya faktor nurture atau lingkungan budaya, pendidikan, dan nilai-nilai yang perlu disosialisasikan kepada anak-anak. Oleh karena itu Tuhan menurunkan para Nabi/Rasul atau orang-orang bijak untuk mendidik dan mengingatkan kembali akan perlunya menjalankan prinsip-prinsip kebajikan agar manusia dapat memelihara fitrahnya (Megawangi, 2004:26). Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain. Baik buruknya perbuatan tergantung pada niat (Shubhi, 2001: 266). Dengan demikian guru sebagai orang yang dipercaya dalam menanamkan kebajikan memegang peranan yang sangat penting dalam pembentukan akhlak mulia peserta didik. Mengingatkan dan menempatkan niat yang benar dalam berpikir, bersikap, dan berperilaku melalui berbagai kesempatan termasuk pada saat pembelajaran berlangsung dengan materi apapun. Nilai-nilai dasar budaya (akal-pikiran) dan kebudayaan (Perilaku, nilai, norma) diletakkan melalui proses sosialisasi, enkulturasi, dan internalisasi (Koentjaraningrat, 1990:227).

Internalisasi atau penanaman nilai kejujuran melalui dua jalur, jalur di luar sekolah dan jalur sekolah. Pada jalur di luar sekolah melalui keluarga dan masyarakat. Sedangkan jalur sekolah sesuai dengan kebijakan pemerintah bisa melalui integrasi ke dalam masing-masing mata pelajaran, pengembangan diri


(24)

melalui kegiatan ekstra kurekuler dan budaya sekolah yang dikembangkan oleh semua warga sekolah. Dengan demikian guru memiliki tugas untuk mengintegrasikan kejujuran melalui mata pelajaran dan salah satunya adalah matematika. Tujuan pembelajaran matematika tidak hanya pada aspek kognitif saja (cerdas matematika), tetapi juga aspek afektif (memiliki nilai-nilai sosial budaya). Akan tetapi guru mengalami kesulitan dalam mengintegrasikan pendidikan nilai pada umumnya dan khususnya kejujuran melalui pembelajaran matematika. Pertanyaan yang sering muncul dari guru pada berbagai kesempatan

pertemuan peneliti dengan guru adalah “bagaimana caranya”. Karena belum ada

model-model pembelajaran yang secara eksplisit dalam langkah-langkahnya mengintegrasikan secara langsung, terutama berdasarkan analisis bahan ajar atau materi dalam perencanaannya memuat nilai-nilai sosial budaya atau nilai-nilai kemanusiaan, serta pengungkapan dan penekanan nilai-nilai tersebut selama pembelajaran berlangsung. Walaupun dalam praktiknya ada, akan tetapi masih bersifat implisit atau hidden, misalnya pada saat guru menggunakan model kooperatif secara tidak langsung mempraktikkan nilai kepedulian, demokrasi, kerjasama. Namun nilai-nilai tersebut jarang diungkapkan dan kurang mendapat penekanan dari guru matematika, karena guru lebih fokus pada matematikanya. Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan di atas dapat dibuat kerangka berpikir jalur internalisasi kejujuran seperti pada gambar berikut.


(25)

KERANGKA BERPIKIR

INTERNALISASI KEJUJURAN KELUARGA MASYARAKAT PENGEMBANGAN DIRI INTEGRASI MAPEL M O DEL I NTEG RA TI F DILUAR SEKOLAH SEKOLAH BUDAYA SEKOLAH

1. SISWA CERDAS MATEMATIKA

2. SISWA MEMILIKI KEJUJURAN

Gambar 1.1

Jalur Internalisasi Kejujuran

F. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Secara teoritis sebagai sumbangan akademis terhadap konsep dan pengembangan pendidikan nilai di sekolah pada umumnya dan pendidikan matematika pada khususnya dalam rangka membangun manusia Indonesia yang berakhlak mulia dan cerdas.

2. Secara praktis turut serta membantu guru dalam menyelesaikan masalah realitas perilaku kurang terpuji yang dilakukan peserta didik dan bagi guru


(26)

dapat dijadikan sebagai salah satu model integrasi pendidikan karakter melalui mata pelajaran.

3. Sebagai bahan masukan bagi penulis buku ajar, buku pengayaan, dan lembar kerja siswa.


(27)

130

BAB III

PROSEDUR PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap eksplorasi dan tahap eksperimen. Pada tahap eksplorasi menggunakan metode deskriptif kuantitatif dan kualitatif. Pada tahap eksplorasi dimaksudkan untuk memberikan gambaran (deskripsi) tentang perilaku kejujuran siswa SD dan pembelajaran matematika yang dilakukan guru selama ini sebagai dasar dalam merancang model integratif pembelajaran berdasarkan analisis model faktual yang diperoleh. Pada tahap eksperimen menggunakan metode eksperimen dengan pendekatan kuantitatif. Sugiyono (2009: 107) menyatakan bahwa metode penelitian eksperimen dapat diartikan sebagai metode penelitian yang digunakan untuk mencari pengaruh perlakuan tertentu terhadap yang lain dalam kondisi yang terkendalikan. Sedangkan menurut Creswell (2010: 27-28) strategi eksperimen ini diterapkan untuk menilai perilaku-perilaku, baik sebelum maupun sesudah proses eksperimen dan data dikumpulkan menggunakan insrumen khusus yang dirancang untuk menilai perilaku-perilaku, kemudian data dianalisis menggunakan prosedur statistik dan pengujian hipotesis.

Eksperimen ini menggunakan dua model eksperimen, yaitu pada uji coba pertama implementasi model integratif menggunakan Pretest-Postest Design (tanpa kelas kontrol) di tiga sekolah berbeda masing-masing satu kelas.


(28)

Sedangkan uji coba kedua implementasi model integratif menggunakan Quasi

Experimental Design (menggunakan kelas kontrol) yang dilaksanakan di tiga

sekolah berbeda, dan masing-masing dua kelas. Eksperimen yang dilakukan dalam penelitian ini dimaksudkan untuk menguji efektivitas atau pengaruh penggunaan model integratif pembelajaran matematika dalam menginternalisasi kejujuran siswa SD.

B. Langkah-langkah Penelitian

Langkah-langkah yang dilaksanakan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap eksplorasi dan tahap eksperimen. Tahap eksplorasi dimaksudkan untuk memperoleh gambaran umum tentang pembelajaran matematika yang dilaksanakan selama ini, profil sekolah terkait pendidikan karakter/pendidikan nilai, dan kondisi awal kejujuran siswa. Sedangkan tahap eksperimen dimaksudkan untuk menguji hasil internalisasi kejujuran melalui model integratif pembelajaran matematika.

1. Tahap Eksplorasi

Langkah-langkah penelitian pada tahap studi eksplorasi meliputi: a. Menyebarkan Angket kepada Guru

Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran tentang (1)

pengembangan silabus dan penyusunan RPP, (2) model pembelajaran yang sering digunakan guru dalam mengajar matematika selama ini, (3) pendekatan pembelajaran yang digunakan selama ini, (4) pengetahuan kebijakan integrasi pendidikan karakter melalui mata pelajaran, dan (5)


(29)

implementasi integrasi pendidikan karakter melalui pembelajaran dan nilai-nilai yang ditanamkan kepada siswa.

b. Dokumentasi Profil Sekolah

Dokumentasi profil sekolah ini dimaksudkan untuk memperoleh informasi terkait dengan upaya sekolah terhadap pembentukan karakter peserta didik, seperti visi, misi, tujuan, program kerja, budaya sekolah, pengembangan diri, tata nilai, dan lain-lain.

c. Observasi Kelas Matematika

Observasi kelas matematika ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran riil dalam pembelajaran matematika sebagai informasi tambahan dan perbandingan hasil angket guru yang diperoleh sebelumnya.

d. Menyebarkan Angket Kejujuran kepada Siswa

Angket kejujuran yang disebarkan kepada siswa ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran kondisi kejujujuran awal siswa sebelum diberikan perlakuan (treatment) pembelajaran matematika dengan model integratif. 2. Tahap Eksperimen

a. Selama tahap eksperimen implementasi model integratif pembelajaran matematika ini dilakukan observasi kejujuran siswa, baik kelas eksperimen maupun kelas kontrol. Langkah-langkah penelitian pada tahap eksperimen model integratif pembelajaran matematika meliputi dua kali pengujian dengan model eksperimen yang berbeda. Uji coba pertama


(30)

tanpa kelas kontrol dilaksanakan di tiga sekolah dasar berbeda masing-masing satu kelas. Uji coba kedua menggunakan kelas kontrol dilaksanakan di tiga sekolah dasar berbeda dan masing-masing dua kelas. Kelas yang dijadikan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol pada masing-masing sekolah dengan klasifikasi SD Negeri Percontohan, SD Negeri RSBI, SD Negeri Biasa, dan SD Swasta ditetapkan seperti pada tabel rancangan eksperimen berikut.

Tabel 3.1 Rancangan Eksperimen

SD Kelas Banyak Siswa Kelompok Uji Coba

A VI U 36 Eksperimen Pertama tanpa control

B VI A 30 Eksperimen Kedua

VI B 31 Kontrol Kedua

VI C 30 Eksperimen Pertama tanpa control C VI A 27 Eksperimen Pertama tanpa control

VI B 26 Eksperimen Kedua

VIC 27 Kontrol Kedua

D VI A 28 Eksperimen Kedua

VI B 27 Kontrol Kedua

Keterangan:

1. SD A: Sekolah Dasar Negeri Percontohan Antasan Besar 7 Banjarmasin. 2. SD B: Sekolah Dasar Negeri RSBI Telaga Biru 1 Banjarmasin.

3. SD C: Sekolah Dasar Swasta Kristen Kanaan Banjarmasin. 4. SD D: Sekolah Dasar Negeri Mawar 7 Banjarmasin.

5. Kelompok kontrol adalah kelas dengan pembelajaran matematika yang biasanya dilakukan oleh guru dengan langkah-langkah guru menjelaskan


(31)

konsep atau rumus, memberikan contoh, siswa mengerjakan latihan, dan diakhiri dengan pemberian PR.

6. Kelompok eksperimen adalah kelas dengan pembelajaran matematika menggunakan model integratif yang dimulai dengan masalah matematika yang memuat nilai-nilai sosial budaya, pengelompokan untuk penugasan, studi lapangan untuk pengumpulan informasi berupa data, diskusi kelompok dan diskusi kelas, membuat kesimpulan dan pemberian penghargaan.

Langkah-langkah penelitian ini sesuai tahapannya dapat digambarkan sebagai berikut.

:

1. TAHAP EKSPLORASI

Distribusi Angket

Guru

Studi Lapangan tentang Model Pembelajaran yang biasa digunakan

oleh guru

Distribusi Angket Kejujuran Awal Siswa

KESIMPULAN

Revisi Model Uji Coba

2. TAHAP EKSPERIMEN

Desain Model Integratif

Penyusunan Perangkat Model

Integratif Uji Coba Pertama

Model Integratif

Revisi Model Uji Coba Pertama Analisis Kejujuran

Awal-Akhir

Uji Coba Kedua Model Integratif

Analisis Kejujuran Kelas Kontrol-Kelas Eksperimen


(32)

Gambar 3.1

Langkah-langkah Penelitian

C. Populasi dan Sampel/Subjek Penelitian

Populasi dan sampel dalam penelitian ini dibagi menjadi dua bagian pada tahap eksplorasi dan tahap eksperimen.

1. Populasi dan sampel tahap eksplorasi

Populasi guru, kelas, dan siswa pada tahap studi pendahuluan ini adalah seluruh guru, kelas dan siswa SD di Kota Banjarmasin yang tersebar di 283 SD negeri dan swasta. Sampel guru sebanyak 125 orang guru sebagai responden pengisian angket yang sedang mengikuti KKG (Kelompok Kerja Guru) di dua tempat yakni SD Pasar Lama 3 Banjarmasin dan SD Antasan Besar 1 Banjarmasin. Sampel kelas matematika untuk observasi awal melibatkan 4 kelas dari sekolah yang berbeda seperti pada tabel berikut.

Tabel 3.2

Daftar Sekolah Kelas Observasi Awal

No Nama Sekolah Kelas Observasi Materi 1 SDN Percontohan

Antasan Besar 7

V Unggulan Penjumlahan Pecahan


(33)

2 SDN Mawar 4 VB KPK

3 SDN Mawar 7 VIB Operasi Hitung

Bilangan Bulat

4 SDN Basirih 3 VIA Penyajian Data

Sedangkan sampel siswa yang terlibat dalam eksplorasi ini adalah siswa kelas VI SD sebanyak 262 orang sebagai responden pengisian angket kejujuran awal dari empat sekolah yang dijadikan tempat penelitian pada tahap eksperimen. Kelas yang di observasi adalah Distribusi sampel kelas dan sampel siswa pada eksperimen disajikan pada tabel berikut.

Tabel 3.3

Distribusi Sampel Siswa

No SD Banyaknya Kelas Banyaknya Siswa

1 A 1 36

2 B 3 91

3 C 3 80

4 D 2 55

J u m l a h 9 262

2. Populasi dan sampel tahap eksperimen

Populasi kelas, dan siswa pada tahap eksperimen ini adalah seluruh kelas, dan siswa SD di Kota Banjarmasin yang tersebar di 283 SD negeri dan swasta. Guru yang dilibatkan pada tahap eksperimen ini sebanyak empat orang guru. Sedangkan sampel kelas sebanyak sembilan kelas dari empat sekolah yang berbeda. Sampel siswa yang dilibatkan dalam eksperimen ini sebanyak 262 orang siswa kelas VI SD yang di observasi selama eksperimen


(34)

berlangsung. Distribusinya sampel kelas dan sampel siswa seperti pada tabel 3.3 di atas.

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan angket, dokumentasi, dan observasi langsung.

a. Angket yang dibuat ada 2, yaitu angket siswa untuk memperoleh data kejujuran awal siswa dan angket guru untuk memperoleh gambaran tentang pengembangan silabus dan penyusunan RPP, model dan pendekatan pembelajaran yang sering digunakan guru dalam mengajar, pengetahuan dan implementasi kebijakan integrasi pendidikan karakter melalui mata pelajaran. Dari hasil angket siswa dan guru diperoleh informasi awal adanya masalah kejujuran awal siswa dan gambaran pembelajaran matematika.

b. Dokumentasi dimaksudkan untuk memperoleh gambaran profil sekolah terkait dengan upaya sekolah dalam membentuk karakter peserta didik melalui budaya sekolah yang dikembangkan dan pengembangan diri yang dilaksanakan.

c. Observasi dilakukan sebanyak dua kali. Observasi pertama terhadap pembelajaran matematika yang dilaksanakan guru selama ini, yang dimaksudkan untuk memperoleh gambaran faktual proses pembelajaran matematika yang dilaksanakan oleh guru selama ini sebagai informasi pendukung yang diperoleh dari angket yang diisi oleh guru. Observasi kedua


(35)

terhadap proses internalisasi kejujuran siswa selama eksperimen implementasi model integratif pembelajaran matematika dilaksanakan.

E. Pengembangan Instrumen

Instrumen yang dikembangkan dan digunakan dalam penelitian ini adalah angket untuk guru dan angket untuk siswa serta lembar observasi.

1. Angket pembelajaran guru dimaksudkan untuk memperoleh data yang menggambarkan tentang model pembelajaran yang digunakan selama ini dalam pembelajaran matematika dan informasi awal tentang pengintegrasian pendidikan karakter ke dalam mata pelajaran, serta pengetahuan guru tentang kebijakan integrasi pendidikan karakter melalui mata pelajaran.

2. Angket kejujuran siswa dimaksudkan untuk memperoleh informasi awal tentang kejujuran siswa.

Angket kejujuran yang disusun diujicobakan dan dianalisis menggunakan software SPSS ver.18 untuk mengetahui koefisien reliabilitas hasil ukur skala psikologi. Hal ini perlu dilakukan karena menurut Azwar (2000a: 83) bahwa reliabilitas sebenarnya mengacu kepada konsistensi atau keterpercayaan hasil ukur, yang mengandung makna kecermatan pengukuran. Uyanto (2009: 273-274) menyatakan bahwa dengan analisis reliabilitas akan didapatkan nilai alpha Cronbach yang merupakan indeks internal consistency dari skala pengukuran secara keseluruhan. Skala pengukuran yang reliabel sebaiknya memiliki Alpha Cronbach minimal 0,70. Berdasarkan analisis hasil uji coba


(36)

instrumen berupa angket diperoleh nilai reliabilitas sebesar 0,86. Dengan demikian angket layak digunakan dalam penelitian.

3. Lembar observasi kejujuran dimaksudkan untuk memperoleh data tentang kejujuran siswa selama proses internalisasi kejujuran melalui model integratif pembelajaran matematika.

F. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakana dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Data dari hasil angket yang diisi oleh guru menggunakan statistik deskriptif tendensi sentral modus yang disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi. 2. Data hasil observasi pembelajaran matematika dideskripsikan secara naratif. 3. Data tentang nilai kejujuran awal siswa dan kejujuran selama observasi pada

uji coba terdiri 10 item dengan pilihan ya atau tidak. Jika pernyataannya negatif, maka pilihan ya diberi skor 0 dan pilihan tidak diberi skor 1. Jika pernyataannya positif, maka pilihan ya diberi skor 1 dan pilihan tidak diberi skor 0. Dengan demikian skor minimum adalah 0 dan skor maksimum adalah 10, dan kemudian dikonversi ke dalam nilai skala 100. Jadi nilai kejujuran yang diperoleh adalah (skor perolehan : skor maksimum) x 100. Indeks kejujuran (perbandingan banyak siswa jujur dengan banyaknya responden), sehingga diperoleh indeks terendah adalah 0 dan tertinggi adalah 1. Dengan demikian indeks kejujuran berada dalam interval dari 0 sampai dengan 1. Indeks 0 berarti tidak jujur dan indeks 1 berarti jujur. Mengadopsi rentang


(37)

indeks kesukaran dalam teori evaluasi dapat dibuat kategori kejujuran sebagai berikut:

Tabel 3.4

Kategori Indeks Kejujuran Interval Skor Indeks Kualifikasi

< 0,30 Kurang Jujur (KJ) 0,30 – 0,70 Cukup Jujur (CJ)

>0,70 Jujur (J)

Adaptasi klasifikasi pengembangan pendidikan budaya dan karakter dapat dibuat perkembangan kejujuran seperti pada tabel berikut.

Tabel 3.5

Klasifikasi Perkembangan Kejujuran Nilai Perkembangan Kualifikasi

0 - 20 Belum Tampak (BT) 21 - 40 Mulai Tampak (MT) 41 - 60 Mulai Berkembang (MB) 61 – 80 Sudah Berkembang (SB) 81 – 100 Menjadi Kebiasaan (MK) (Adaptasi dari Kemendiknas, 2010: 23)

4. Data nilai kejujuran (awal dan akhir) pada kelas uji coba pertama dianalisis menggunakan T-Test tipe Paired Samples Test , sedangkan data nilai kejujuran (kelas eksperimen dan kelas kontrol) pada uji coba kedua


(38)

implementasi model menggunakan T-Tes tipe Independent Samples Test. Semua data diolah dengan fasilitas software SPSS versi.18.

Langkah-langkah uji-t adalah uji normalitas, uji homogenitas, dan uji-t dengan kriteria penolakan hipotesis nol adalah jika p-value ≤ 0,05.

Menurut Furqon (2001: 168-169) bahwa uji-t dapat digunakan dengan memadai walaupun distribusi data setiap kelompok yang dibandingkan tidak normal, bukan berarti kita langsung menggunakan uji-t. Uji-t dapat dipertahankan jika penyimpangan data dari distribusi normal tidak terlalu ekstrim. Dampak pelanggaran terhadap asumsi homogenitas adalah peluang kekeliruan tipe I dan tipe II bergantung pada banyaknya data kedua kelompok. Jika jumlah subjek pada kedua kelompok sama besar, maka dampak pelanggaran atas asumsi homogenitas varians terhadap uji-t dapat diabaikan.

Teknik analisis data kejujuran berdasarkan SES (Social Economic Status) menggunakan uji regresi dengan kriteria penolakan hipotesis nol adalah jika


(39)

(40)

LANGKAH-LANGKAH MODEL INTEGRATIF

Matematika

• Fakta (apa, siapa, kapan, berapa, di mana sesuai kenyataan)

• Konsep (defenisi, identifikasi, klasifikasi, ciri-ciri)

• Prinsip (dalil, hukum, rumus)

• Prosedur (langkah pekerjaan secara urut)

• Nilai (sikap dan perilaku)

Pendekatan

• Problem Solving

• Kontekstual

• Realistik

• Berbasis Pendidikan Nilai

Karakter Jujur

• Berpikir (moral knowing)

• Bersikap(moral feeling)

• Berperilaku (moral action)

Konfirmasi

Presentasi Diskusi Kelas

Elaborasi

Diskusi Kelompok Diskusi Kelompok

Eksplorasi


(41)

Masalah

Pengelompokan

Studi Lapangan

Diskusi Kelompok

Diskusi Kelas

Membuat Kesimpulan


(42)

DESKRIPSI LANGKAH-LANGKAH MODEL INTEGRATIF

1. Masalah: diawali dengan mengemukakan dan menjelaskan masalah (masalah matematika yang memuat nilai sesuai konteks dan realitas kehidupan siswa yang relevan dengan fakta, konsep, prinsip, dan prosedur bahan ajar).

Contoh masalah: Guru mengemukakan masalah dengan bercerita tentang korban peristiwa kebakaran dekat sekolah mereka yang banyak menimbulkan kerugian materi berupa rumah, pakaian, perlengkapan sekolah, dan lain-lain. Sebagai wujud kepedulian kita terhadap warga lingkungan sekolah yang menjadi korban kebakaran, apa yang bisa kita perbuat dalam rangka meringankan beban korban kebakaran tersebut? Bagaimana kalau kita mengumpulkan bantuan berupa uang sesuai dengan kemampuan dan keihlasan masing-masing. Karena sekolah kita memiliki 12 kelas, maka kita bentuk kelompok sebanyak 12 kelompok yang terdiri dari 2 atau 3 orang. Setiap kelompok setelah selesai mengumpulkan bantuan harus melaporkan banyaknya bantuan yang diberikan masing-masing kelas.

2. Pengelompokan: membentuk kelompok dengan anggota masing-masing 3 – 4 siswa (heterogen kemampuan dan gender).


(43)

3. Studi Lapangan: masing-masing siswa mengumpulkan data (sesuai petunjuk LOS), menyajikan data, membaca data, dan mengolah data (sesuai petunjuk LKS).

4. Diskusi Kelompok: masing-masing kelompok melakukan diskusi (sesuai petunjuk LKK).

5. Diskusi kelas: diskusi kelas melalui presentasi masing-masing kelompok dalam bentuk display LKK dan penjelasan.

6. Membuat kesimpulan: siswa membuat kesimpulan dengan arahan dan bantuan guru sesuai dengan tujuan yang termuat dalam RPP.

7. Tes: tes dilakasanakan dalam rangka mengetahui ketercapain tujuan.

8. Pemberian penghargaan: pemberian penghargaan didasarkan pada pengamatan guru terhadap aktivitas fisik dan mental siswa secara kelompok dari studi lapangan hingga membuat kesimpulan melalui lembar pengamatan sesuai kategori penghargaan: (1) kerja sama terbaik, (2) penyajian terbaik, (3) penyelesaian masalah terbaik, (4) perilaku terbaik. Pemberian penghargaan ini dimaksudkan untuk lebih memotivasi siswa dalam belajar berikutnya.

Langkah-langkah pembelajaran matematika berbasis nilai: Kegiatan Pendahuluan (5 menit)

1. Guru menyampaikan SK, KD, Indikator, dan Tujuan pembelajaran (kognitif, afektif, dan psikomotor).


(44)

2. Menyampaikan apersepsi sesuai prasyarat materi yang akan dipelajari.

Kegiatan Inti (60 menit)

1. Guru mengemukakan dan menjelaskan masalah matematika berbasis nilai sesuai konteks dan realitas kehidupan siswa yang relevan dengan bahan ajar. (5 menit)

2. Guru membentuk kelompok belajar terdiri dari 3- 4 siswa yang anggotanya heterogen berdasarkan kemampuan dan jenis kelamin, dilanjutkan pembagian LOS (Lembar Observasi Siswa) dan LKS (Lembar Kerja Siswa) untuk setiap siswa, serta LKK (Lembar Kerja Kelompok) untuk setiap kelompok. (5 menit)

3. Siswa dalam kelompok masing-masing memahami petunjuk dan perintah yang ada pada LOS, LKS, dan LKK, serta menanyakan hal-hal yang kurang jelas kepada anggota kelompoknya atau guru. (5 menit)

4. Secara individual siswa mengumpulkan, menyajikan, membaca dan mengolah data sesuai tema dan petunjuk pada LOS dan LKS tentang fakta, konsep, prinsip dan prosedur yang bernilai jujur (tahap eksplorasi). 15 menit

5. Siswa berdiskusi dalam kelompok masing-masing yang dimulai dari klarifikasi data yang diperoleh masing-masing anggota kelompok dan dilanjutkan pengisian LKK (tahap elaborasi). 10 menit

6. Masing-masing kelompok menampilkan dan menyampaikan hasilnya pada diskusi kelas dengan arahan, bimbingan dan penjelasan guru tentang


(45)

keterkaitan nilai jujur pada fakta, konsep, prinsip dan prosedur matematika (tahap konfirmasi). 20 menit

Kegiatan Penutup (5 menit)

Siswa membuat kesimpulan dengan bimbingan guru dan diakhiri dengan pemberian penghargaan kepada kelompok berupa bintang kelas (dan bingkisan sederhana jika memungkinkan) dengan empat kategori: (1) kerja sama terbaik, (2) penyajian terbaik, (3) penyelesaian masalah terbaik, (4) perilaku terbaikan

LANDASAN TEORI LANGKAH-LANGKAH DAN TUJUAN MODEL INTEGRATIF

No Langkah-langkah Landasan Teori Tujuan

1 Masalah Polya, Ausubel Melatih dalam

menyelesaikan masalah matematika kontekstual realitas kehidupan

2 Pengelompokan Slavin Melatih kerjasama untuk

saling membantu, memberi dan menerima

3 Studi lapangan Bruner, Gagne, Menumbuhkan rasa ingin tahu, kejujuran melalui pengumpulan berbagai informasi berupa fakta dalam bentuk data

4 Diskusi kelompok Slavin Menumbuhkan keberanian

berargumentasi dengan penalaran yang mudah dipahami orang lain


(46)

tanggungjawab keberanian berargumentasi dengan penalaran yang mudah dipahami orang lain dan 6 Kesimpulan Ausubel, Polya

7 Penghargaan Slavin Menumbuhkan motivasi

belajar dan memiliki daya saing (kompetetif)

LEMBAR PENILAIAN 4: AKTIVITAS SISWA

Tujuan: Agar pembelajaran berpusat pada siswa berhasil, antara lain siswa harus aktif dan saling membantu satu sama lain. Pengamatan ini akan memusat pada bagaimana perilaku siswa pada saat berada di dalam kelas atau di dalam kelompok mereka.

Petunjuk: Amati suatu kelas mulai dari pendahuluan sampai dengan penutup. Untuk aktivitas 1 sd 5 amati salah satu kelompok tertentu. Untuk aktivitas 6 sd 8 amati seluruh kelas. Setiap 2 menit, bubuhkan tanda toil pada perilaku berikut ini yang teramati. Sebagai pengamat, Anda seyogyanya mengambil tempat di dekat satu kelompok yang Anda amati.

---

Frekuensi Aktivitas Siswa

---

--- 1. Membaca (mencari informasi dan sebagainya) --- 2. Mendiskusikan tugas

--- 3. Mencatat

--- 4. Mendengarkan ceramah/penjelasan guru

--- 5. Melakukan pengamatan, percobaan, atau bekerja --- 6. Bertanya kepada guru

--- 7. Mengkomunikasikan informasi meliputi presentasi, bertanya, dan menyampaikan pendapat


(47)

--- 8. Perilaku tidak relevan

---

Pengamat

( )

Diadaptasi oleh Mohamad Nur. 2005. PSMS Unesa.

Sumber: Arends, R.I. 2004. Guide to Field Experiences and Portfolio Development to Accompany Learning Teach. Boston: McGraw-Hill.


(48)

217 BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan Umum

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dikemukakan pada bab IV, maka dirumuskan kesimpulan secara umum sesuai dengan tujuan penelitian sebagai berikut:

1. Keadaan kejujuran siswa sebagai akibat dari pembelajaran konvensional selama ini adalah:

a. Berdasarkan indeks kejujuran, setiap sekolah memiliki siswa yang kurang jujur, cukup jujur, dan jujur secara variatif, dan sebagaian besar siswa belum jujur.

b. Masih banyak siswa yang belum jujur, terutama terhadap teman dilanjutkan secara berurutan terhadap saudara di rumah, orang tua, situasi dilematis, dan guru.

c. Masih sedikit siswa menjadikan kejujuran sebagai suatu kebiasaan, dan sebagian besar masih dalam tahap berkembang, walaupun masih ada yang belum tampak.

d. Dari penilaian siswa guru menempati posisi tertinggi sebagai orang yang dipercaya.

e. Perkembangan kejujuran siswa cukup variatif untuk masing-masing klasifikasi, di mana siswa yang sudah menjadi kebiasaan relatif sedikit


(49)

baru mencapai 15% dan sudah berkembang 34%, sisanya baru mulai berkembang, mulai tampak dan bahkan belum tampak.

2. Model pembelajaran matematika yang digunakan guru selama ini cenderung model pembelajaran langsung yang berpusat pada guru dan belum mengintegrasikan nilai ke dalam pembelajaran, serta lebih berorientasi pada penguasaan aspek kognitif dengan langkah jelaskan konsep dan rumus, beri contoh, latihan, dan diakhiri dengan pemberian PR.

3. Proses model integratif pembelajaran matematika adalah pengungkapan dan penekanan nilai kejujuran pada setiap momen pembelajaran yang dimulai dengan masalah matematika yang memuat nilai-nilai sosial budaya, pengelompokan untuk penugasan yang memuat nilai, studi lapangan untuk pengumpulan informasi berupa data atau fakta yang terkait dengan nilai, diskusi kelompok dan diskusi kelas yang sarat dengan nilai, kesimpulan dan penghargaan sebagai apresiasi terhadap nilai.

4. Ada perbedaan yang signifikan nilai kejujuran siswa antara siswa yang belajar matematika menggunakan model integratif dengan siswa yang belajar matematika secara konvensional. Dengan kata lain bahwa model integratif pembelajaran matematika berbasis nilai terbukti efektif dalam menginternalisasi kejujuran siswa SD.

5. Regresi berganda variabel kejujuran dengan variabel SES (anak ke, banyaknya saudara kandung, banyaknya anggota keluarga, etnis, pendidikan terakhir ayah, pekerjaan ayah, penghasilan ayah, pendidikan terakhir ibu,


(50)

pekerjaan ibu, penghasilan ibu) secara statistik tidak signifikan. Artinya variasi kejujuran sebagai dependent variable tidak dapat dijelaskan oleh perubahan dalam variabel SES sebagai independent variable. Dengan kata lain bahwa kejujuran siswa tidak dipengaruhi langsung oleh status social ekonominya.

B. Kesimpulan Khusus

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dikemukakan pada bab IV, maka dirumuskan kesimpulan khusus sesuai dengan tujuan penelitian sebagai berikut:

1. Situasi dilematis bisa menyebabkan siswa tidak jujur karena ada kepentingan dan kesempatan.

2. Guru lebih dipercaya oleh siswa dibandingkan teman, saudara maupun orang tua.

3. Matematika adalah kebenaran dan kejujuran yang dapat membentuk akhlak mulia manusia.

4. Pengungkapan dan penekanan nilai pada saat pembelajaran adalah kunci keberhasilan model integratif.

5. Status sosial ekonomi siswa tidak berpengaruh langsung terhadap kejujuran siswa.


(51)

Berdasarkan hasil temuan dalam penelitian ini, dapat direkomendasikan beberapa hal berikut:

1. Peran guru sangat diperlukan dan menjadi ujung tombak pembentukan karakater, karena guru adalah orang yang lebih dipercaya oleh siswa.

2. Pelajaran matematika dapat dijadikan sebagai sarana atau kendaraan dalam melakukan internalisasi kejujuran dan nilai-nilai moral lainnya.

3. Berpikir positif terhadap matematika, karena pada hakikatnya adalah kejujuran yang menggerakkan setiap denyut nadi kehidupan sebagai pembentuk karakter manusia yang manusiawi.

4. Para pengambil kebijakan, baik dinas pendidikan, kepala sekolah, dan guru dapat mengambil perannya masing-masing dalam sosialisasi dan implementasi internalisasi melalui model integratif pembelajaran matematika. 5. Model integratif pembelajaran matematika berbasis nilai dapat dijadikan

sebagai salah satu alternatif model pembelajaran dalam menginternalisasi nilai-nilai sosial dan budaya di sekolah.

6. Model integratif pembelajaran matematika berbasis nilai masih perlu dikembangkan dan diimplementasikan tidak hanya di sekolah dasar.

7. Model integratif dapat dijadikan salah satu alternatif model pendidikan karakter melalui mata pelajaran.

8. Implementasi model integratif pembelajaran matematika memerlukan daya dukung pengembangan buku ajar, buku pengayaan, dan atau lembar kerja


(52)

siswa berbasis masalah matematika yang memuat nilai-nilai sosial budaya atau nilai-nilai kehidupan.

9. Perlu penelitian lanjutan untuk penyempurnaan model integratif pembelajaran matematika berbasis pendidikan nilai.


(53)

221

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z. (2006). Filsafat Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat. Bandung: PT Rosda Karya.

Agustian AG. (2009). Bangkit dengan 7 Budi utama. Jakarta: PT Arga Publishing.

Al-Hasyimi, A.M. (2006). Kepribadian Seorang Muslim. Riyadh: International Islamic Publishing House (IIPH).

Alisah,E. & Dharmawan, P.E. (2007). Filsafat Dunia Matematika. Pengantar untuk

Memahami Konsep-konsep Matematika. Jakarta: Prestasi Pustaka. Al-Qur’an Digital

Alwasilah, A.C. (2012). Pokoknya Rekayasa Literasi. Bandung: Kiblat & SPs UPI. Amril, M. (2005). Etika dan Pendidikan.Yogyakarta: Aditya Media, dan Pekanbaru:

LSFK2P.

Anderson, L.W. & Krathwohl, D.R. (Ed). (2010). Kerangka Landasan untuk

Pembelajaran, Pengajaran, dan Asesmen. Penerjemah Agung Prihantoro.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

---. (2001). A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing: A Revision of

Bloom’s Taxonomy of Educational Objective. New York: Addison Wesly Longman, Inc.

Arend R.I. (2008). Learning to Teach (Belajar untuk Mengajar). Penerjemah Helly Prajitno S. & Sri Mulyantini S. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Arcaro J.S. (2006). Pendidikan Berbasis Mutu: Prinsi-prinsip Perumusan dan Tata

Langkah Penerapan. Penerjemah Yosal Iriantara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Aunillah, N.I. (2011). Panduan Menerapkan Pendidikan Karakter di Sekolah. Yogyakarta: Laksana.

Azwar, S. (2000a). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

--- (2000b). Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Bertens, K. (2007). Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Umum.


(54)

222

BSNP. (2007). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16

Tahun 2007 pembelajaran by-chance. Tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Jakarta: BSNP.

Borba, M. (2001). Building Moral Intelligence (The Seven Essensial Virtues That Teach

Kids to Do the Right Thing. Alih bahasa Lina Jusuf. (2008).Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama.

Budimansyah, D. (2011). Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter. Bandung: Program Studi Pendidikan Umum/Nilai SPs UPI.

Burhanuddin. (2010). Internalisasi Nilai-nilai Ibadah Saum di Pondok Pesantren (Studi

Kasus Kesalehan Sosial di Pondok Pesantren Al-Muhajirin Purwakarta).

Disertasi: UPI Bandung.

Case, K.A.N. Reagan, T.G. & Case, C.W. (2009). Guru Profesional: Penyiapan dan

Pembimbingan Praktisi Pemikir. Jakarta: Indeks.

Creswell, J.W. (2010). Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Dahar, R.W. (1988). Teori-teori Belajar. Jakarta: PPLPTK Dirjen Dikti Depdibud. Departemen Pendidikan Nasional. (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.

Jakarta: Depdiknas.

---. (2007). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No.41

Tahun 2007tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Tersedia: http://www.bnsp-indonesia.org/ standar-proses.php.

---. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Jakarta Press.

Djahiri, Kosasih. (1996). Menelusuri Dunia Afektif untuk Moral dan Pendidikan Nilai

Moral. Bandung:LPPMP.

Eggen P. & Kauchak D. (2012). Strategi dan Model Pembelajaran. Penerjemah Satrio Wahono. Jakarta: Indeks

Elias, J.J. (1989). Moral Education: Secular and religious. Florida: Robert E. Krieger Publishing Co., Inc.

Elmubarok, Z. (2007). Membumikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta. Furqon. (2001). Statistika Terapan untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.


(55)

223

Fadillah. (2010). Pengembangan Model Pembinaan Nilai Kejujuran Melalui Pendidikan

Matematika Sebagai Upaya Meningkatkan Kecerdasan Moral Peserta Didik.

Disertasi. UPI Bandung

Gagne, R.M. (1983). The Conditions of Learning. Tokyo: Holt-Saunders.

Gardner, H. (2003). Multiple Intelligences(Kecerdasan Majemuk: Teori dalam Praktek). Alih Bahasa Alexander Sindoro. Batam: Interaksa.

Gravemeijer, K.P.E. (1994). Developing Realistic Mathematics Education. Utrecht: FreudentalInstitute.

Gredler M.E.B. (1991). Belajar dan Membelajarkan. Terjemahan Munandir. Jakarta: Rajawali.

Gulo. (2008). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Grasindo

Hadi R. (2012). Pengembangan Model Internalisasi Nilai Kejujuran Melalui

Pembelajaran Kewirausahaan Berbasis Etika Bisnis. Disertasi: UPI Bandung.

Hakam, A.K. (2000). Pendidikan Nilai. Bandung: MKDU Press.

---. (2010). Pengembangan Model Pembudayaan Nilai Moral di Sekolah Dasar

(Studi Kasus pada SDN Bandungrejosari I Kota Malang). Disertasi: UPI

Bandung.

Hayat, B. & Yusuf, S. (2010). Bencmark Internasional Mutu Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Hergenhahn B.R. & Olson M.H. (2008). Theories of Learing (Teori Belajar). Alih Bahasa Tri Wibowo. Jakarta: Kencana.

Hollingsworth, P. & Lewis, G. 2008. Pembelajaran Aktif: Meningkatkan Keasyikan

Kegiatan di Kelas. Pengalih Bahasa Dwi Wulandari. Jakarta: Indeks.

Howard, Craig C. (1991). Theories of General Education: A Critical Approach. London: Macmillan.

Hudojo, H. (1988). Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: PPLPTK Dirjen Dikti Depdibud.

---. (2005). Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang: UM Press.

Hurlock, B.E. (1998). Child Development (Perkembangan Anak). Alih Bahasa Tjandrasa dan Zarkasih.Jakarta: Erlangga.


(56)

224

Hutagalung, Inge. (2007). Pengembangan Kepribadibadian: Tinjauan Praktis Menuju

Pribadi Positif. Jakarta: Indeks.

Izutsu T. (1993). Konsep-Konsep Etika Religius dalam Qur’an (Ethico-Religious

Concepts in the Qur’an). Terjemahan Agus Fahri Husein. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

Jacobsen D.A., Eggen P. & Kauchak D. (2009). Methods for Teaching. Penerjemah: Achmad Fawaid & Khoirul Anam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Jasmine, J. (2007). Mengajar dengan Metode Kecerdasan Majemuk: Implementasi

Multiple Intelligences. Bandung: Nuansa.

Joni, T. R. (1996). Pembelajaran Terpadu. Jakarta: Dirjen Dikti.

Joyce, B. Weil, M. & Calhoun, E. (2009). Models of Teaching (Model-model

Pengajaran). Penerjemah Achmad Fawaid & Ateilla Mirza. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Kaur, B. Har, Y.B. & Kapur, M. (2009). Mathematical Problem Solving: Year Book

2009Associatin of Mathematics Educators. Singapore: World Scientific

Co.Pte.Ltd.

Kemendiknas. (2010). Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa (Bahan

Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-nilai Budaya untuk Membentuk Daya Saing Bangsa dan Karakter Bangsa). Jakarta: Puskur

Balitbang Kemendiknas.

Kesuma, D. Triatna, C. & Permana, J. (2011). Pendidikan Karakter: Kajian Teori dan

Praktik di Sekolah. Bandung: Rosdakarya.

Koentjaraningrat (1990). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Komalasari K. (2010). Pembelajaran Kontekstual: Konsep dan Aplikasi. Bandung: Refika Aditama.

Lembar Negara Republik Indonesia No.78. (2003). Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Lickona, T.(1991). Mendidik Untuk Membentuk Karakter: Bagaimana Sekolah Dapat

MemberikanPendidikan Tentang Sikap Hormat dan Bertanggungjawab. New

York: A Bantam Books Publishing History.

---. (1992). Educating for Character. New York: A Bantam Books Publishing History.


(57)

225

Mason, J. Burton, L. Stacey, K. (1985). Thinking Mathematically. England: Addison-Wesley Publishing Company.

Megawangi, R. (2004). Pendidikan Karakter: Solusi yang tepat untuk membangun

bangsa. Jakarta: BPMIGAS.

Muhsetyo, G. (2008). Pembelajaran Matematika SD. Jakarta: Universitas Terbuka. Mulyana, R. (2004). Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta.

Na-Ayudha, AOJ. (2008). Model Pembelajaran Nilai-Nilai Kemanusiaan Terpadu:

Pendekatan yang Efektif untuk Mengembangkan Nilai-nilai Kemanusiaan atau Budi Pekerti dapa Peserta Didik. Jakarta: Yayasan Pendidikan Sathya Sai

Indonesia.

Nik Pa, N.A. (2009). Nilai dan Etika dalam Pendidikan Matematika. Kuala Lumpur: Universiti Malaya.

Phenix. (1964). Realism of Meaning. New York: Mc Graw-Hill

Purwanto, N. (1995). Ilmu Pendidikan Teori dan Praktis. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Polya, G. (1973). How to Solve it, A New Aspect of Mathematical Methode. New Jersey: Princeton University Press.

Reid, Gavin. (2009). Memotivasi Siswa di Kelas: Gagasan dan Strategi. Penerjemah Hartati Widiastuti. Jakarta: Indeks

Rusman. (2011). Model-Model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: Rajawali Pers.

Sabandar, J. (2010). “Thinking Classroom dalam Pembelajaran Matematika di Sekolah”

dalam Teori, Paradigma, Prinsip, dan Pendekatan Pembelajaran MIPA dalam

Konteks Indonesia. Bandung: FPMIPA UPI.

Sagala. (2010). Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta

Sanjaya, W. (2011). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media.

Sauri, S. (2011). Filsafat dan Teosofat Akhlak. Bandung: Rizqi Press.

Sauri, S. & Firmansyah,H. (2010). Meretas Pendidikan Nilai. Bandung: Arfino Raya. Schunk, D.H. dkk (2012). Motivasi dalam Pendidikan: Teori, Penelitian, dan Aplikasi.


(58)

226

Seniati, L. Yulianto, A. & Setiadi, B.N. (2009). Psikologi Eksperimen. Jakarta: Indeks. Slameto. (1995). Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka

Cipta

Slavin R.E. (2005). Cooperatif Learning (Teori, Riset dan Praktik). Penerjemah Narulita Yusron. Bandung: Nusa Media.

Stevenson, F.W. (1995). Exploratory Problems in Mathematics. Virginia: NCTM

Sobel, A.M. & Maletsky, M.E. (2004). Mengajar Matematika. Alih Bahasa Suyono. Jakarta: Erlanga.

Soedarsono, S. (2009). Karakter Mengantar Bangsa Dari Gelap Menuju Terang. Jakarta: Gramedia.

Soedjadi, R. (2000). Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia (Konstatasi keadaan

masa kini menuju harapan masa depan). Jakarta: Dirjen Dikti Depdiknas.

Shubhi, A.M. (2001). Filsafat Etika: Tanggapan Kaum Rasionalis dan Intuisionalis

Islam. Jakarta: Serambi.

Sugiyono. (2009a). Metode Penelitian. Bandung: Alfabeta. ---. (2009b). Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Sujono. (1988). Pengajaran Matematika untuk Sekolah Menengah. Jakarta: Ditjen Dikti. Sumaatmadja, N. (2002). Pendidikan Pemanusiaan Manusia Manusiawi. Bandung: CV

Alfabeta.

Sumaatmadja, N. (2005). Manusia dalam Konteks Sosial, Budaya dan Lingkungan

Hidup. Bandung: CV. Alfabeta Bandung

Sumanto, Kusumawati, H. & Aksin, N. (2008). Gemar Matematika 6: untuk Kelas VI

SD/MI. Jakarta: Pusat Perbukuan

Suseno, M.F.(1987). Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Suryabrata. (2011). Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Tim. (2012). Peringatan 20 Tahun Sekolah Dasar Kanaan Banjarmasin. Banjarmasin: Yayasan Kanaan.


(1)

Fadillah. (2010). Pengembangan Model Pembinaan Nilai Kejujuran Melalui Pendidikan

Matematika Sebagai Upaya Meningkatkan Kecerdasan Moral Peserta Didik.

Disertasi. UPI Bandung

Gagne, R.M. (1983). The Conditions of Learning. Tokyo: Holt-Saunders.

Gardner, H. (2003). Multiple Intelligences(Kecerdasan Majemuk: Teori dalam Praktek). Alih Bahasa Alexander Sindoro. Batam: Interaksa.

Gravemeijer, K.P.E. (1994). Developing Realistic Mathematics Education. Utrecht: FreudentalInstitute.

Gredler M.E.B. (1991). Belajar dan Membelajarkan. Terjemahan Munandir. Jakarta: Rajawali.

Gulo. (2008). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Grasindo

Hadi R. (2012). Pengembangan Model Internalisasi Nilai Kejujuran Melalui

Pembelajaran Kewirausahaan Berbasis Etika Bisnis. Disertasi: UPI Bandung.

Hakam, A.K. (2000). Pendidikan Nilai. Bandung: MKDU Press.

---. (2010). Pengembangan Model Pembudayaan Nilai Moral di Sekolah Dasar

(Studi Kasus pada SDN Bandungrejosari I Kota Malang). Disertasi: UPI

Bandung.

Hayat, B. & Yusuf, S. (2010). Bencmark Internasional Mutu Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Hergenhahn B.R. & Olson M.H. (2008). Theories of Learing (Teori Belajar). Alih Bahasa Tri Wibowo. Jakarta: Kencana.

Hollingsworth, P. & Lewis, G. 2008. Pembelajaran Aktif: Meningkatkan Keasyikan

Kegiatan di Kelas. Pengalih Bahasa Dwi Wulandari. Jakarta: Indeks.

Howard, Craig C. (1991). Theories of General Education: A Critical Approach. London: Macmillan.

Hudojo, H. (1988). Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: PPLPTK Dirjen Dikti Depdibud.

---. (2005). Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang: UM Press.

Hurlock, B.E. (1998). Child Development (Perkembangan Anak). Alih Bahasa Tjandrasa dan Zarkasih.Jakarta: Erlangga.


(2)

224

Hutagalung, Inge. (2007). Pengembangan Kepribadibadian: Tinjauan Praktis Menuju

Pribadi Positif. Jakarta: Indeks.

Izutsu T. (1993). Konsep-Konsep Etika Religius dalam Qur’an (Ethico-Religious Concepts in the Qur’an). Terjemahan Agus Fahri Husein. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

Jacobsen D.A., Eggen P. & Kauchak D. (2009). Methods for Teaching. Penerjemah: Achmad Fawaid & Khoirul Anam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Jasmine, J. (2007). Mengajar dengan Metode Kecerdasan Majemuk: Implementasi

Multiple Intelligences. Bandung: Nuansa.

Joni, T. R. (1996). Pembelajaran Terpadu. Jakarta: Dirjen Dikti.

Joyce, B. Weil, M. & Calhoun, E. (2009). Models of Teaching (Model-model

Pengajaran). Penerjemah Achmad Fawaid & Ateilla Mirza. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Kaur, B. Har, Y.B. & Kapur, M. (2009). Mathematical Problem Solving: Year Book

2009Associatin of Mathematics Educators. Singapore: World Scientific

Co.Pte.Ltd.

Kemendiknas. (2010). Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa (Bahan

Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-nilai Budaya untuk Membentuk Daya Saing Bangsa dan Karakter Bangsa). Jakarta: Puskur

Balitbang Kemendiknas.

Kesuma, D. Triatna, C. & Permana, J. (2011). Pendidikan Karakter: Kajian Teori dan

Praktik di Sekolah. Bandung: Rosdakarya.

Koentjaraningrat (1990). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Komalasari K. (2010). Pembelajaran Kontekstual: Konsep dan Aplikasi. Bandung: Refika Aditama.

Lembar Negara Republik Indonesia No.78. (2003). Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Lickona, T.(1991). Mendidik Untuk Membentuk Karakter: Bagaimana Sekolah Dapat

MemberikanPendidikan Tentang Sikap Hormat dan Bertanggungjawab. New

York: A Bantam Books Publishing History.

---. (1992). Educating for Character. New York: A Bantam Books Publishing History.


(3)

Mason, J. Burton, L. Stacey, K. (1985). Thinking Mathematically. England: Addison-Wesley Publishing Company.

Megawangi, R. (2004). Pendidikan Karakter: Solusi yang tepat untuk membangun

bangsa. Jakarta: BPMIGAS.

Muhsetyo, G. (2008). Pembelajaran Matematika SD. Jakarta: Universitas Terbuka. Mulyana, R. (2004). Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta.

Na-Ayudha, AOJ. (2008). Model Pembelajaran Nilai-Nilai Kemanusiaan Terpadu:

Pendekatan yang Efektif untuk Mengembangkan Nilai-nilai Kemanusiaan atau Budi Pekerti dapa Peserta Didik. Jakarta: Yayasan Pendidikan Sathya Sai

Indonesia.

Nik Pa, N.A. (2009). Nilai dan Etika dalam Pendidikan Matematika. Kuala Lumpur: Universiti Malaya.

Phenix. (1964). Realism of Meaning. New York: Mc Graw-Hill

Purwanto, N. (1995). Ilmu Pendidikan Teori dan Praktis. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Polya, G. (1973). How to Solve it, A New Aspect of Mathematical Methode. New Jersey: Princeton University Press.

Reid, Gavin. (2009). Memotivasi Siswa di Kelas: Gagasan dan Strategi. Penerjemah Hartati Widiastuti. Jakarta: Indeks

Rusman. (2011). Model-Model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: Rajawali Pers.

Sabandar, J. (2010). “Thinking Classroom dalam Pembelajaran Matematika di Sekolah” dalam Teori, Paradigma, Prinsip, dan Pendekatan Pembelajaran MIPA dalam

Konteks Indonesia. Bandung: FPMIPA UPI.

Sagala. (2010). Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta

Sanjaya, W. (2011). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media.

Sauri, S. (2011). Filsafat dan Teosofat Akhlak. Bandung: Rizqi Press.

Sauri, S. & Firmansyah,H. (2010). Meretas Pendidikan Nilai. Bandung: Arfino Raya. Schunk, D.H. dkk (2012). Motivasi dalam Pendidikan: Teori, Penelitian, dan Aplikasi.


(4)

226

Seniati, L. Yulianto, A. & Setiadi, B.N. (2009). Psikologi Eksperimen. Jakarta: Indeks. Slameto. (1995). Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka

Cipta

Slavin R.E. (2005). Cooperatif Learning (Teori, Riset dan Praktik). Penerjemah Narulita Yusron. Bandung: Nusa Media.

Stevenson, F.W. (1995). Exploratory Problems in Mathematics. Virginia: NCTM

Sobel, A.M. & Maletsky, M.E. (2004). Mengajar Matematika. Alih Bahasa Suyono. Jakarta: Erlanga.

Soedarsono, S. (2009). Karakter Mengantar Bangsa Dari Gelap Menuju Terang. Jakarta: Gramedia.

Soedjadi, R. (2000). Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia (Konstatasi keadaan

masa kini menuju harapan masa depan). Jakarta: Dirjen Dikti Depdiknas.

Shubhi, A.M. (2001). Filsafat Etika: Tanggapan Kaum Rasionalis dan Intuisionalis

Islam. Jakarta: Serambi.

Sugiyono. (2009a). Metode Penelitian. Bandung: Alfabeta. ---. (2009b). Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Sujono. (1988). Pengajaran Matematika untuk Sekolah Menengah. Jakarta: Ditjen Dikti. Sumaatmadja, N. (2002). Pendidikan Pemanusiaan Manusia Manusiawi. Bandung: CV

Alfabeta.

Sumaatmadja, N. (2005). Manusia dalam Konteks Sosial, Budaya dan Lingkungan

Hidup. Bandung: CV. Alfabeta Bandung

Sumanto, Kusumawati, H. & Aksin, N. (2008). Gemar Matematika 6: untuk Kelas VI

SD/MI. Jakarta: Pusat Perbukuan

Suseno, M.F.(1987). Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Suryabrata. (2011). Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Tim. (2012). Peringatan 20 Tahun Sekolah Dasar Kanaan Banjarmasin. Banjarmasin: Yayasan Kanaan.


(5)

Turmudi. (2009). Taktik dan Strategi Pembelajaran Matematika. Jakarta: Leuser Cita Pustaka.

Uyanto, S.S. (2009). Pedoman Analisis Data dengan SPSS. Yogyakarta: Graha Ilmu. Van de Walle, J.A. (2008). Matematika Sekolah Dasar dan Menengah: Pengembangan

Pengajaran. Alih Bahasa: Suyono. Jakarta: Erlangga.

Wiramihardja, S.A. (2006). Pengantar Filsafat: Sistematika Filsafat, Sejarah Filsafat,

Logika dan Filsafat Ilmu (Epistemologi), Metafisika dan Filsafat Manusia, Aksiologi. Bandung: PT. Refika Aditama.

Yusuf, S.Y. & Nurihsan, J.N. (2008). Teori Kepribadian. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Yunus, M. (1975). Akhlak Menurut Al-Qur’an dan Hadist Nabi SAW. Jakarta: CV Al-Hidayah.

Zamroni (2000). Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Bigraf Publishing. Zhang, X. (2005). China’s Mathematics Teachers and Teacher Education. Quaderni

diRicerca in Didattica, No.15. Palermo: Departement of Mathematics, University


(6)

228