PANDANGAN TOKOH AGAMA TERHADAP POLIGAMI LEBIH DARI EMPAT ORANG ISTRI : TELAAH PANDANGAN TOKOH AGAMA DI KECAMATAN LENTENG KABUPATEN SUMENEP TERHADAP POLIGAMI KYAI HAJI MASYHURAT.

PANDANGAN TOKOH AGAMA
TERHADAP POLIGAMI LEBIH DARI EMPAT ORANG ISTRI
(Telaah Pandangan Tokoh Agama di Kecamatan Lenteng Kabupaten Sumenep
Terhadap Poligami Kyai Haji Masyhurat)

SKRIPSI

Oleh :
ARISA HARDIYATI
NIM. C71212132

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
JURUSAN HUKUM PERDATA ISLAM PRODI HUKUM KELUARGA
SURABAYA
2016

ABSTRAK
Skripsi ini adalah hasil penelitian bersifat lapangan (field research)
dengan judul “Pandangan tokoh agama terhadap poligami lebih dari empat orang
istri (telaah pandangan tokoh agama di Kecamatan Lenteng Kabupaten Sumenep

terhadap poligami kyai haji Masyhurat)” untuk menjawab pertanyaan bagaimana
bagaimana pandangan tokoh agama di Kecamatan Lenteng Kabupaten Sumenep
terhadap poligami kyai haji Masyhurat dan bagaimana analisis hukum Islam
terhadap pandangan tokoh agama di Kecamatan Lenteng terhadap poligami kyai
haji Masyhurat.
Data penelitian dihimpun melalui wawancara dengan beberapa tokoh
agama di Kecamatan Lenteng kabupaten Sumenep terhadap poligami kyai haji
Masyhurat dan melihat kenyataan secara langsung atau observasi terhadap
kelangsungan hidup prilaku kyai haji Masyhurat dan selanjutnya dianalisis
dengan teknik deskriptif-deduktif yaitu dengan menggambarkan atau
mendeskripsikan secara jelas tentang pandangan tokoh agama di Kecamatan
Lenteng Kabupaten Sumenep terhadap poligami yang dilakukan oleh kyai haji
Masyhurat. Selanjutnya dianalisis dengan menggunakan pola pikir deduktif
yaitu diawali dengan mengemukakan teori atau dalil yang bersifat umum tentang
poligami, kemudian teori tersebut digunakan sebagai alat untuk menganalisis
pandangan tokoh agama di Kecamatan Lenteng Kabupaten Sumenep terhadap
poligami lebih dari empat orang istri yang dilakukan oleh kyai haji Masyhurat
lalu ditarik kesimpulan yang bersifat khusus.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa dua tokoh agama membolehkan
dan sebagian yang lain tidak membolehkan poligami kyai haji Masyhurat, karena

poligami ki Urat telah menyalahi aturan syariat Islam (terbatas pada empat orang
istri), sebagaimana dalil al-Qur’an dalam surat an-Nisa’ ayat 3 bahwa pendapat
ulama yang mu’tamad adalah empat orang istri sekalipun wawu yang digunakan
dalam ayat tesebut berfaidah lil jam’i akan tetapi faidah dan maksudnya adalah
sebagai wawu li al-takhyir yaitu pilihan antara dua atau tiga atau empat.
Sedangkan, batas maksimal yang diperbolehkan oleh hukum Islam adalah
terbatas empat orang wanita (istri). Begitu juga dengan yang dilakukan oleh kyai
haji Masyhurat, yaitu poligami lebih dari empat orang istri, itu tidak
diperbolehkan, karena hal ini telah menyalahi syari’at Islam, sebagaimana dalam
al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 3, dan juga hadis Rasulullah saw yang
memerintahkan sahabatnya untuk memilih diantara para istrinya, terbatas sampai
empat orang saja dan menceraikan selebihnya.
Dari kesimpulan diatas, penulis dapat menyarankan kepada para tokoh
agama khususnya di Kecamatan Lenteng Kabupaten Sumenep, agar lebih
rensponsif lagi terhadap fenomena di masyarakat yang telah menyimpang dari
aturan syariat, dan bagi masyarakat awam agar tidak selalu mentokohkan tokoh
masyarakat, agar perlu diketahui dahulu dalil dan alasan apa yang digunakan
dalam mengaplikasikan perilakunya tersebut.

v


DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ....................................................................................................i
PERNYATAAN KEASLIAN ...................................................................................ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................................................iii
PENGESAHAN .........................................................................................................iv
ABSTRAK .................................................................................................................v
KATA PENGANTAR ...............................................................................................vi
PERSEMBAHAN ......................................................................................................viii
MOTTO .....................................................................................................................xi
DAFTAR ISI ..............................................................................................................xii
DAFTAR TABEL......................................................................................................xiv
DAFTAR TRANSLITERASI ...................................................................................xv
BAB I

PENDAHULUAN ...................................................................................1
A. Latar Belakang ................................................................................1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ...................................................8
C. Rumusan Masalah ...........................................................................9
D. Kajian Pustaka ................................................................................10

E. Tujuan Penelitian ............................................................................12
F. Kegunaan Hasil Penelitian ..............................................................13
G. Definisi Operasional .......................................................................14
H. Metode Penelitian ............................................................................15
I.

BAB II

Sistematika Pembahasan .................................................................19

POLIGAMI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM
POSITIF .................................................................................................22
A. Pengertian Poligami .........................................................................22
B. Dasar Hukum Poligami ....................................................................24
C. Syarat-syarat Poligami ....................................................................30
D. Makna Adil dalam Poligami ............................................................34
E. Hikmah dan Tujuan Poligami ..........................................................39
F. Batasan Jumlah Berpoligami ...........................................................44
xii


G. Pendapat Mufassir tentang Ayat Poligami......................................47
BAB III

DESKRIPSI PANDANGAN TOKOH AGAMA KECAMATAN
LENTENG TERHADAP POLIGAMI KYAI HAJI MASYHURAT ....52
A. Deskripsi Poligami Kyai Haji Masyhurat........................................52
B. Deskripsi Pandangan Tokoh Agama Kecamatan Lenteng Sebagai
Subjek Penelitian .............................................................................57
1. Profil Kecamatan Lenteng ..........................................................57
2. Deskripsi Pandangan Tokoh Agama ...........................................62
a. Kyai Haji Imam Syafi’i ..........................................................63
b. Kyai Haji Badri Z ...................................................................66
c. Kyai Syukri .............................................................................68
d. Kyai Anwar.............................................................................71
e. Kyai Darorul A’la Masyhurat ................................................74

BAB IV

TELAAH PANDANGAN TOKOH AGAMA DI KECAMATAN
LENTENG KABUPATEN SUMENEP TERHADAP POLIGAMI

KYAI HAJI MASYHURAT ...................................................................77
A. Analisis Hukum Islam Terhadap Pandangan Tokoh Agama di
Kecamatan Lenteng Kabupaten Sumenep terhadap Poligami
Kyai Haji Masyhurat....................................................................... 77

BAB V

PENUTUP ...............................................................................................89
A. Simpulan............................................................................................ 89
B. Saran ...................................................................................................90

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN - LAMPIRAN

xiii

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Poligami adalah ikatan perkawinan dalam hal mana suami mengawini
lebih dari satu istri dalam waktu yang sama.1 Perkataan poligami sendiri
berasal dari bahasa yunani, yaitu polu yang berarti banyak dan gamein yang
berati kawin. Jadi poligami adalah perkawinan yang banyak, atau di
Indonesia terkenal dengan istilah permaduan.2 Berbeda dengan definisi yang
tertuang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah poligami
secara umum adalah sistem yang dipakai bagi seorang laki-laki (suami) yang
kawin lebih dari satu wanita (isteri)3.
Secara umum, poligami adalah perkawinan antara seorang laki-laki
dengan lebih dari seorang wanita dalam waktu yang sama.4 Poligami
termasuk poligini, yaitu perkawinan dengan lebih dari satu istri, dan

poliandri, yaitu perkawinan dengan lebih dari satu suami (Encyclopaedia
Britannica, 2004). Istilah poligami sering dipakai untuk mengacu kepada
poligini saja karena praktek ini lebih sering diamalkan daripada poliandri.
Demikian juga dalam penelitian ini, poligami dipakai sebagai sinonim

poligini.
Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2007), 44.
Umar Said, Hukum Islam di Indonesia, Tanggung Jawab Suami Isteri dalam dan Pasca

Perkawinan (Surabaya: Cempaka, 1996), 40.
3
W.J.S. Purwamadinta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), 763.
4
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan (Yogyakarta: Liberty
Yogyakarta, 2007), 74.
1

2

1

2

Menurut sejarah, pernikahan pada zaman dahulu dilakukan secara
bebas dengan tidak ada pembatasan jumlah wanita yang boleh dinikahi.
Seorang laki-laki boleh menikahi setiap wanita yang dikehendaki. Banyak
orang mengira poligami itu baru dikenal setelah Islam. Mereka beranggapan
bahwa Islamlah yang membawa ajaran poligami. Bahkan, ada yang secara
tegas menuduh Islam sebagai penyebab munculnya poligami dalam sejarah

manusia.5 Padahal, masalah poligami bukanlah masalah baru, masalah ini
berada dan justru banyak terjadi sejak sebelum Islam datang ke permukaan
bumi ini. Dengan artian, bahwa poligami sudah tersebar luas pada banyak
bangsa sebelum Islam itu sendiri datang. Mahmud Syaltut ( w.1963 ), ulama
besar asal Mesir secara tegas menolak poligami sebagai bagian dari ajaran
Islam, dan juga menolak bahwa poligami ditetapkan oleh syari’ah. Di antara
bangsa-bangsa yang menjalankan poligami adalah Ibrani, Arab Jahiliyah (pra
Islam), dan Cisilia serta Saxon.6
Di kalangan bangsa Yunani, Cina, India, Babilonia, Asyiria dan Mesir,
jumlah istri pada praktek poligami tidak terbatas, bahkan, hingga mencapai
130 isteri bagi seorang suami.7 Poligami masa itu dapat disebut poligami tak
terbatas. Lebih dari itu, tidak ada gagasan keadilan di antara para istri.
Suamilah yang menentukan sepenuhnya siapa yang paling ia sukai dan siapa

Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami …, 44.
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah (Terj. Muh Toyib), (Bandung: Ma’arif, 1997), 169. Cisilia adalah
Negara yang kemudian melahirkan sebagian penduduk yang menghuni Negara-negara: Rusia,
Lituania, Cekoslowakia, dan Yugoslowakia. Sedangkan Saxon menduduki sebagian penduduk
Jerman, Belgia, Swiss, Belanda, Denmark, Swedia, Norwegia dan Inggris.
7

Leli Nurrohmah, “Poligami, Saatnya Melihat Realitas dalam Menimbang Poligami”, Jurnal
Perempuan, No. 31 (2003), 33-34.
5

6

3

yang ia pilih untuk dimiliki secara tidak terbatas. Para istri harus menerima
takdir mereka tanpa ada usaha untuk memperoleh keadilan.8
Mengingat bahwa dewasa ini wacana poligami semakin marak
terutama menyangkut substansi poligami dari sudut pandang Hukum Islam,
terutama antara yang pro dan kontra. Selain itu juga, realitas di lapangan
yang memandang negatif terhadap poligami.9
Kedatangan Islam memberikan petunjuk yang benar sesuai syari’at
dalam Al-Qur’an tentang praktek poligami ini. Pada hakikatnya, Islam
datang bukan untuk menghapus praktek poligami, namun, Islam membatasi
kebolehan poligami terbatas pada empat orang istri saja. Sebagaimana firman
Allah SWT dalam surat al-Nisa’ ayat 3 sebagai berikut:
               

              
Artinya: dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hakhak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja,
atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat
kepada tidak berbuat aniaya.10

Amir Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam
dari Fikih, UU NO.1/1974 sampai KHI (Jakarta: Kencana, 2004), 156.
9
Titik Triwulan Tutik, Poligami Perspektif Perikatan Nikah: Telaah Kontekstual Menurut
Hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, (Jakarta: Prestasi Pustaka,
8

2007), 2.
10
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Sygma Examedia Arkanleema,
2009), 77.

4

Ayat tersebut menimbulkan perdebatan di kalangan para ulama’
terkait dengan hukum poligami. Mereka yang mendukung poligami selain
menggunakan dasar ayat tersebut, juga mengaitkannya dengan poligami Nabi
Muhammad saw. Sementara itu, pihak yang menolak poligami juga
mendasarkan penolakannya pada syarat yang sepertinya sulit diterapkan bagi
pelaku poligami, yakni bersikap adil dan beberapa pertimbangannya.11
Selain timbul perbedaan terkait hukum poligami, disini para mufassir
juga memiliki perbedaan penafsiran terkait batasan berpoligami dalam surat
An-Nisa’ ayat 3. Ali al-Sabuni berpendapat, bahwa ayat tersebut
menunjukkan haramnya nikah lebih dari empat. Lain halnya dengan AzZamakhshari (mazhab Syi’ah) dalam memahami kata ‫ رباع‬,‫ثاث‬, ‫ مثى‬mereka
berpendapat bahwa “wawu” mengandung makna dan pengertian Al-jam‘u
(dihimpun

atau penambahan). Dengan demikian, laki-laki yang mampu

berbuat adil kepada para istrinyaboleh menikahi perempuan bukan hanya
empat orang, melainkan sembilan orang sebagai hasil penjumlahan dari
2+3+4.12
Poligami dibolehkan hanya terbatas pada empat orang wanita (istri)
tersebut telah disepakati oleh para ulama’. Sedangkan, poligami yang lebih
dari itu menjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Salah satunya adalah
golongan yang mengatakan bahwa seorang laki-laki memiliki istri sampai

‘Iffah Qanita Nailiya, Poligami; Berkah ataukah Musibah?: Mengungkap Alasan-alasan Nabi
Melarang Ali Berpoligami (Jogjakarta: DIVA Press, 2016), 13.
11

12

Ibid.,28.

5

sembilan (9) orang ini berdasarkan sunnah Nabi saw. Yaitu, beliau memiliki
sembilan (9) orang istri, dan berdasarkan pada huruf “wawu” pada surat alNisa’ ayat 3 tersebut, dipahami sebagai “wawu lil jam‘i” yang artinya wawu
yang berfngsi untuk penjumlahan. Maka dapat dirumuskan dengan 2 + 3 + 4
= 9. Sedangkan golongan yang lain, yaitu penganut mazhab Az-Zahiri
mengatakan, bahwa, laki-laki boleh memiliki istri terbatas pada delapan belas
(18) istri. Alasan demikian didasarkan kepada Imam Al-Qurt}ubi dalam kitab
tafsirnya, mengemukakan bahwa, kata bilangan pada surat al-Nisa’ ayat 3 itu
mengandung pengertian untuk penjumlahan, sehingga bilangan dua menjadi
dua-dua, demikian juga bilangan seterusnya tiga dan empat.

Maka jika

dijumlahkan menjadi (2+2) + (3+3) + (4+4) = 18.13
Para ulama’ ahli Sunnah juga telah sepakat, bahwa apabila seorang
suami mempunyai istri lebih dari empat, maka hukumnya haram. Dan
perkawinan yang kelima dan seterusnya dianggap batal dan tidak sah, kecuali
suami telah menceraikan salah seorang istri yang empat itu, dan telah habis
pula masa ‘iddah-nya. Para ulama’ ahli Sunnah dalam hal membatasi istri
empat orang saja, merujuk pada dalil dari sunnah Rasulullah saw, adalah
hadis yang diriwayatkan oleh Qois bin al-H{ar@ ith ra, beliau berkata:

,‫ ع ْن حْيضة بْت الشم ْردل‬, ‫ ث ا شْيم ع ْن ابْن أ ْب لْي لى‬,‫حد ث ا أ ْح ْد ب ْن إبْرا ْيم الد ْورقي‬
: ‫ فأت ْيت ال ب صلى ال علْيه وسلم‬.‫ أ ْسل ْمت وعْدى ثان ْي ن ْسوة‬:‫الارث قال‬
ْ ‫ع ْن ق ْيش بْن‬
.‫ روا ابن ماجه‬.‫ إ ْخت ْر مْ هن أ ْرب عا‬:‫ ف قال‬,‫ف ق ْلت ذالك‬
13

Al-Qurt}ubi@, Tafsir Al-Qurthuby, Juz III, (Kairo: Dar Al-Sya‘bi, t.t.@), 1587.

6

Artinya: “Ketika masuk Islam saya memiliki delapan istri, saya menemui
Rasulullah dan menceritakan keadaan saya, lalu beliau bersabda: “Pilih empat
diantara mereka”.14

Tokoh agama saat ini merupakan sosok yang dipercayai dan tempat
bertanya para masyarakat awam. Tokoh agama sangat berpengaruh terhadap
pemikiran dan perilaku masyarakat sekitar. Sehingga tidak dapat dipungkiri
bahwa tokoh agama adalah tokoh yang memberikan contoh yang baik
terhadap masyarakatnya baik sifat, ucapan dan perilakunya harus sesuai
dengan syariat Islam.
Oleh karenanya tokoh agama dalam penulisan penelitian ini
merupakan objek dan sekaligus subjek penelitian. Lebih khususnya tokoh
agama yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tokoh agama di Kecamatan
Lenteng Kabupaten Sumenep. Tokoh agama di Kecamatan Lenteng ini
sangatlah banyak, hal ini terlihat dari segi bangunan pesantren dan yayasan
yang berdiri, ada sekitar dua puluh empat pesantren. Sudah sangat jelas,
bahwa kecamatan ini dikelilingi oleh tokoh-tokoh besar yang bisa
membimbing masyarakatnya menuju ajaran yang benar sesuai perintah Allah
SWT (al-Qur’an) dan perilaku-perilaku Nabi Muhammad saw (Hadis).
Akan tetapi, realitanya, para tokoh agama saat ini ketika ada suatu
fenomena sosial yang bertentangan dengan hukum Islam, mereka tidak berani
mengungkapkan kebenaran. Atau mungkin salah satu faktor tokoh agama

14

Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Juz VII (Beirut: Dar al-Fikr, 1405), 44.

7

membungkam, karena fenomena tersebut dilakukan oleh turunan para kyai
yang memiliki peran bagi masyarakat, atau karena kebenaran dan kesalahan
manusia itu hanya Allah SWT semata yang tahu. Apapun faktor yang melatar
belakangi tokoh agama diam dalam merespon fenomena sosial itu,
seharusnya tokoh agama mengungkapkan kebenaran itu walau menyakitkan.
Sebagaimana salah satu dalil yang berbunyi ‫( قل الحق ولو كان مرا‬katakanlah
walau itu pahit). Salah satunya adalah fenomena sosial yang terjadi di desa
Lenteng Barat Kecamatan Lenteng Kabupaten Sumenep. Yaitu pernikahan
poligami lebih dari empat orang istri yang dilakukan oleh kyai haji
Masyhurat.
Kyai haji Masyhurat adalah seorang kyai yang dipercayai orang-orang
desa tersebut, memiliki karo@mah layaknya para waliyullah15. Karena beliau
juga merupakan turunan kyai besar di daerah tersebut. Beliau memiliki
sembilan orang istri (saat ini istri yang ke-dua dan ke-enam telah meninggal
dunia), dan setiap istrinya memiliki kurang lebih dua sampai tiga anak. Satusatunya istri yang masih perawan dinikahi adalah istri yang pertama.16
Sebagaimana yang dipaparkan dalam hukum positif maupun hukum
Islam, ketentuan berpoligami sangatlah ketat dan hanya terbatas pada empat
orang istri saja yang boleh dinikahi oleh seorang laki-laki. Sebagaimana yang
tercantum dalam ayat al-Qur’an surat al-Nisa’ ayat 3.

15
16

Anwar, Wawancara, Sumenep, 10 Juni 2016.
Darorul A’la Masyhurat, Wawancara, Sumenep, 10 Juni 2016.

8

Sedangkan dalam hukum positif yaitu dalam UU No. 1 tahun 1974
tentang Perkawinan dalam pasal 2 sampai pasal 5, diatur tentang syaratsyarat poligami, yatitu harus adil, prosedur poligami, harus mendapat izin
dari pengadilan, dan batasan berpoligami, terabatas sampai empat orang istri.
Begitu juga dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) pasal 55 sampai pasal 59,
telah diatur tatacara berpoligami, syarat-syarat poligami dan batasan
berpoligami.
Mengacu pada aturan dalam hukum positif dan dalam hukum Islam,
sangat jelas terbatas hanya empat orang istri saja, jika laki-laki ingin
melakukan poligami. Mengenai fenomena ini, para tokoh agama tidak ada
satupun yang mulai angkat bicara, padahal sudah sangat jelas hal ini
bertentangan dengan syari’at Islam.
Oleh karenanya, penulis sangat tertarik untuk mengangkat kasus ini
sebagai sampel penelitian. Sehingga judul yang penulis angkat berjudul
“Pandangan Tokoh Agama Terhadap Poligami Lebih dari Empat Orang Istri
(Telaah Pandangan Tokoh Agama di Kecamatan Lenteng Kabupaten
Sumenep Terhadap Poligami Kyai Haji Masyhurat).”

B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Dari

uraian

latar

belakang

masalah

di

atas,

penulis

mengidentifikasikan inti permasalahan yang terkandung di dalamnya sebagai
berikut:

9

1. Deskripsi tentang profil kyai haji Masyhurat
2. Deskripsi tentang poligami kyai haji Masyhurat
3. Poligami lebih dari empat orang istri menurut hukum Islam
4. Poligami lebih dari empat orang istri menurut hukum positiif
5. Pandangan tokoh agama di Kecamatan Lenteng Kabupaten Sumenep
terhadap poligami yang dilakukan oleh kyai haji Masyhurat.
Dengan adanya suatu permasalahan di atas, maka untuk memberikan
arah yang jelas dalam penelitian, penulis membatasi pada masalah-masalah
berikut ini:
1. Deskripsi tentang pandangan tokoh agama di Kecamatan Lenteng
Kabupaten Sumenep terhadap poligami kyai haji Masyhurat.
2. Analisis hukum Islam terhadap pandangan tokoh agama di Kecamatan
Lenteng Kabupaten Sumenep terhadap poligami kyai haji Masyhurat.

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas maka penulis
merumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana pandangan tokoh agama di Kecamatan Lenteng Kabupaten
Sumenep terhadap poligami kyai haji Masyhurat?
2. Bagaimana analisis hukum Islam terhadap pandangan tokoh agama di
Kecamatan Lenteng Kabupaten Sumenep terhadap poligami kyai haji
Masyhurat?

10

D. Kajian Pustaka
Kajian tentang “Pandangan Tokoh Agama Terhadap Poligami Lebih
Dari Empat Orang Istri (Telaah Pendapat Tokoh Agama di Kecamatan
Lenteng Kabupaten Sumenep Terhadap Poligami kyai haji Masyhurat)” ini
belum pernah sebelumnya dibahas oleh peneliti lain, akan tetapi peneliti
menemukan beberapa penelitian dalam poligami yang terjadi, diantaranya
sebagai berikut:
1. Skripsi yang ditulis oleh Yuliatul Fitriyah yang berjudul Studi Kasus
tentang Poligami Lebih dari Empat Orang Istri oleh Kyai Haji Masyhurat
di Desa Lenteng Barat Kecamatan Lenteng Kabupaten Sumenep: Analisis
Hukum Islam yang terbit ditahun 2004. Skripsi ini merupakan studi
lapangan tentang proses pelaksanaan, faktor dan analisis hukum islam
terhadap poligami yang dilakukan oleh kyai haji Masyhurat di desa
lenteng barat. Kyai haji Masyhurat merupakan sumber primair dalam
penelitian itu, karena kyai haji Masyhurat adalah sebagai subjek dan
objek penelitian. Sedangkan dalam penelitian penulis, subjek dan objek
dalam penelitian ini adalah tokoh agama dan pandangan tokoh agama di
Kecamatan Lenteng terhadap poligami kyai haji Masyhurat yang lebih
dari empat orang istri.17
2. Skripsi yang ditulis oleh Inneke Dwi Shanti yang berjudul tentang
Penolakan Izin Poligami Terhadap Wanita Hamil di Luar Nikah

Yuliatul Fitriyah, “Studi Kasus tentang Poligami Lebih dari Empat Orang Istri oleh Kyai Haji
Masyhurat di Desa Lenteng Barat Kecamatan Lenteng Kabupaten Sumenep: Analisis Hukum
Islam” (Skripsi—IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2004), 57.
17

11

(Studi Kasus No. 68 / Pdt.G / 2003 / PA. Mlng), yang terbit ditahun 2009.
Skripsi ini berisi tentang hasil penelitian bahwa hakim menolak
permohonan izin poligami terhadap wanita hamil di luar nikah, karena
dasar pertimbangan hukum hakim, bahwa fakta hukum, Pemohon bukan
laki-laki yang menghamili wanita yang akan dinikahinya, dan Pemohon
mempunyai istri yang sehat jasmani dan rohani, tidak cacat fisik
atau berpenyakit yang sulit disembuhkan, dan tetap dapat melayani
Pemohon, serta dapat memberikan keturunan. Hakim menegaskan
bahwa permohonan izin yang dilakukan Pemohon tidak mendatangkan
kemaslahatan, tetapi menimbulkan kemud}aratan.18
3. Skripsi selanjutnya yakni ditulis oleh M. Subehan yang berjudul Analisis
Hukum Islam Terhadap Penolakan Izin Poligami karena Istri tidak dapat
Memenuhi Kebutuhan Biologis: Putusan Verstek di Pengadilan Agama
Kabupaten Kediri, yang terbit tahun 2007. Skripsi hasil penelitian bahwa
hakim menolak izin poligami karena istri tidak dapat memenuhi
kebutuhan biologis sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang
nomor 7 1989, sebagaimana yang diubah dengan Undang-Undang nomor
3 tahun 2006 pasal 49 dan 89 jo Undang-Undang nomor 1 tahun 1974
pasal 4 dan 5 jo Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1975 pasal 41 jo
Kompilasi Hukum Islam pasal 57 dan 58 jo HIR 125. Menurut hukum
Islam, putusan hakim Pengadilan Agama Kabupaten Kediri tidak

Inneke Dwi Shanti, “Penolakan Permohonan Izin Poligami terhadap Wanita Hamil di Luar
Nikah (Studi Kasus No. 68/Pdt.G/2003/PA. Mlg)” (Skripsi--IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2009),
60.
18

12

bertentangan dengan hukum Islam, bila mengacu kepada Kompilasi
Hukum Islam, bahkan telah disebutkan bahwasannya apabila seorang
suami yang hendak beristri lebih dari seorang, maka harus memenuhi
syarat alternatif yang telah ditentukan dalam perundang-undangan.19
Sedangkan dalam penelitian ini, penulis membahas tentang
pandangan tokoh agama di Kecamatan Lenteng Kabupaten Sumenep
terhadap poligami lebih dari empat orang istri yang dilakukan oleh kyai
haji Masyhurat. Penelitian ini belum ada yang mengkaji sebelumnya di
beberapa Skripsi. Meskipun sudah ada, akan tetapi terdapat perbedaan,
yaitu membahas tentang poligami secara umum, sedangkan dalam
penelitian ini membahas poligami lebih dari empat orang istri.

E. Tujuan Penelitian
Sebagaimana rumusan masalah tersebut, maka penelitian ini bertujuan
untuk:
1. Mengetahui deskripsi pandangan tokoh agama di Kecamatan Lenteng
Kabupaten Sumenep terhadap poligami lebih dari empat orang istri yang
dilakukan oleh kyai haji Masyhurat.

M. Subehan, “Analisis Hukum Islam terhadap Penolakan izin Poligami karena Istri Tidak dapat
Memenuhi Kebutuhan Biologis (Putusan Verstek di PA. Kediri)” (Skripsi--IAIN Sunan Ampel,
Surabaya, 2007), 70.
19

13

2. Mengetahui analisis hukum Islam terhadap pandangan tokoh agama di
Kecamatan Lenteng Kabupaten Sumenep terhadap poligami kyai haji
Masyhurat.

F. Kegunaan Hasil Penelitian
Kegunaan penelitian ini dapat ditempuh melalui dua aspek yaitu:
1. Aspek Keilmuan (Teoritis)
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan
memperkaya khazanah keilmuan hukum keluarga, sehingga dapat
memberikan kontribusi akademis, yaitu peningkatan dan pengembangan
di bidang studi hukum keluarga dan selanjutnya menyangkut pandangan
Islam untuk menciptakan keluarga yang sakinah dan harmonis.
2. Aspek Terapan/ Praktis
Hasil studi ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan penulisan karya
ilmiah berbentuk skripsi dan sebagai bahan bacaan khususnya dalam
masalah hukum keluarga Islam. Begitu juga, dapat digunakan sebagai
bahan acuan dalam menerapkan hukum keluarga Islam, terlebih bagi
seluruh kalangan, agar terciptanya keluarga yang bahagia, dan sebagai
pelajaran untuk diajarkan pada fakultas hukum keluarga Islam.

14

G. Definisi Operasinoal
Sesuai dengan judul skripsi ini, yaitu Pandangan Tokoh Agama
Terhadap Poligami Lebih Dari Empat Orang Isteri (Telaah Pandangan Tokoh
Agama di Kecamatan Lenteng Kabupaten Sumenep Terhadap Poligami Kyai
Haji Masyhurat) ada beberapa kata yang perlu peneliti jelaskan secara
operasional terhadap kata-kata tersebut:
Hukum Islam

: Menurut Amir Syarifuddin, hukum Islam
adalah seperangkat peraturan berdasarkan
wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang
tingkah laku manusia mukallaf, yang diakui
dan diyakini berlaku, dan mengikat untuk
semua umat yang beragama.20 Dalam
konteks ini, hukum Islam yang dimaksud
yaitu Al-Qur’an dan Hadis, pandangan para
ulama’ dan mufassir, dan KHI (Kompilasi
Hukum Islam).

Tokoh Agama

: Tokoh agama yang dimaksud dalam
penelitian ini yaitu orang yang memiliki
pesantren

dan

yayasan

di

kecamatan

Lenteng. Tokoh agama dalam penelitian ini
merupakan subjek yang akan peneliti teliti.

Amir Syarifuddin, Pengertian dan Sumber Hukum Islam: dalam Falsafah Hukum Islam
(Jakarta: Kencana, 2001), 14.
20

15

Poligami kyai haji Masyhurat

: Kyai haji Masyhurat adalah salah satu
tokoh masyarakat di desa Lenteng Barat
Kecamatan Lenteng Kabupaten Sumenep.
Kyai haji Masyhurat atau yang lebih akrab
dikenal dengan panggilan “ki Urat” adalah
seorang kyai yang melakukan poligami lebih
dari empat orang istri. Hingga saat ini, ia
memiliki sembilan orang istri (dua orang
istri telah meninggal dunia). Kesemua istri
tersebut tinggal bersamanya dalam satu
rumah.21

H. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat lapangan (field

research). Untuk menunjang penelitian ini, maka dibutuhkan beberapa
metode sebagai berikut:
1. Data Yang dikumpulkan
Data yang peneliti kumpulkan di lapangan adalah perilaku kyai
haji Masyhurat terhadap poligami dan pandangan tokoh agama terhadap
poligami yang dilakukan oleh kyai haji Masyhurat.
2. Sumber Data

21

Darorul A’la Masyhurat, Wawancara, Sumenep, 10 Juni 2016

16

Sumber yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a. Sumber primer yaitu data yang diperoleh atas hasil wawancara
dengan beberapa tokoh agama di Kecamatan Lenteng Kabupaten
Sumenep.
b. Sumber sekunder yaitu melihat kenyataan secara langsung atau
observasi terhadap kelangsungan hidup kyai haji Masyhurat, dan
sumber data yang berupa kitab-kitab yang menjadi dasar acuan dan
bacaan lain, yang memiliki keterkaitan dengan bahan skripsi. Yaitu:
1) Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, Bandung:
Cv. Nuansa Aulia, 2011.
2) Sayyid Quthb, Tafsi@r fi@ Z}ila@lil Qur’an di Bawah Naungan Al-

Qur’an jilid 2. Jakarta: Gema Insani Press, 2001.
3) Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab: Ja’fari,

Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali (Terj. Masykur A.B), Cet, 1.
Jakarta: Lentera, 2002.
4) Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah (Terj. Muh. Toyib), Bandung: Ma’arif,
1997.
5) Leli Nurohmah, “Poligami, Saatnya Melihat Realitas, dalam
Menimbang Poligami”, Jurnal Perempuan, No. 31. 2003.
6) Amir Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia: studi kritis

perkembangan hukum islam dari fikih, UU No.1/1974 sampai
KHI. Jakarta: Kencana, 2004.

17

7) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan, 76-77.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling
strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah
mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka
peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar data yang
ditetapkan.22
a. Wawancara
Dalam

penelitian

ini

peneliti

menggunakan

teknik

pengumpulan data wawancara terhadap beberapa tokoh agama di
Kecamatan Lenteng Kabupaten Sumenep. Wawancara dilakukan
terutama karena ada anggapan bahwa hanya respondenlah yang paling
tahu tentang dirinya, sehingga informasi yang tidak dapat diamatinya
atau tidak dapat diperoleh dengan alat lain, akan diperoleh dengan
cara wawancara, misalnya informasi tentang tanggapan, keyakinan,
perasaan, cita-cita. Seperti yang di amati oleh peneliti tentang
bagaimana pandangan tokoh agama di Kecamatan Lentteng terhadap
poligami yang dilakukan oleh kyai haji Masyhurat.
b. Observasi
Metode ini penulis gunakan untuk menghimpun data
penelitian berupa pengamatan perilaku poligami kyai haji Masyhurat

22

Sugiyono, Metode penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, Cet. 8 (Bandung: Alfabeta, 2009), 224.

18

dan deskripsi para tokoh agama di Kecamatan Lenteng Kabupaten
Sumenep, secara langsung ke tempat penelitian.
c. Dokumenter
Metode ini digunakan untuk penulis dalam mencari data-data
berupa foto, kenang-kenangan, surat-surat dan sebagainya untuk
memberikan gambaran terhadap sosiologi yang terjadi di desa Kec.
Lenteng, Kab. Sumenep.
4. Teknik Pengolahan Data
Setelah semua data yang diperlukan terkumpul, maka teknik
pengolahan data yang penulis lakukan yaitu:
a. Editing, yaitu pemeriksaan kembali terhadap data-data yang
diperoleh.23 Setelah data terkumpul, maka kegiatan selanjutnya adalah
memeriksa kembali mengenai kelengkapan dan kejelasan data tentang
pandangan tokoh agama terhadap poligami lebih dari empat orang
istri yang dilakukan oleh kyai haji Masyhurat.
b. Organizing, yaitu kegiatan mengatur dan menyusun bagian-bagian
sehingga seluruhnya menjadi satu kesatuan yang teratur. Kegiatan ini
dilakukan untuk menyusun data dengan sistematis untuk memperoleh
gambaran yang jelas tentang pandangan tokoh agama di Kec.
Lenteng, Kab. Sumenep terhadap poligami lebih dari empat orang
istri yang dilakukan oleh kyai haji Masyhurat.

23

Bandung Waluyo, Penetapan Hukum dalam Praktek (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), 50.

19

5. Teknik Analisis data
Data yang berhasil dihimpun dari data primer akan dianalisis
secara kualitatif yakni berupa bentuk kalimat, uraian-uraian, bahkan
dapat berupa cerita pendek.24 Dengan tataran analisis deskriptif yang
bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi,
berbagai situasi atau variabel yang timbul di masyarakat yang menjadi
objek penelitian.25 Metode ini digunakan untuk menggambarkan atau
mendeskripsikan

secara

jelas

tentang

pandangan tokoh agama di

Kecamatan Lenteng Kabupaten Sumenep terhadap poligami yang
dilakukan oleh kyai haji Masyhurat. Selanjutnya

dianalisis

dengan

menggunakan pola pikir deduktif, yaitu diawali dengan mengemukakan
teori atau dalil yang bersifat umum tentang poligami, kemudian teori
tersebut digunakan sebagai alat untuk menganalisis pandangan tokoh
agama di Kecamatan Lenteng Kabupaten Sumenep terhadap poligami
lebih dari empat orang istri yang dilakukan oleh kyai haji Masyhurat,
kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat khusus.

I. Sistematika Pembahasan
Sistematika

pembahasan

dipaparkan

dengan

tujuan

untuk

memudahkan pembahasan masalah-masalah dalam penelitian ini. Dan agar

24
25

Bandung Waluyo, Penetapan Hukum dalam Praktek ...124.
Ibid., 48.

20

dapat dipahami permasalahannya lebih sistematis dan kronologis, maka
pembahasan ini akan disusun penulis sebagai berikut:
Bab Pertama, bab ini memuat pendahuluan yang meliputi latar
belakang masalah, rumusan masalah, identifikasi dan batasan masalah,
rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil
penelitian, definisi

operasional,

metode penelitian, dan sistematika

pembahasan.
Bab kedua, sebagai landasan teori umum tentang poligami di dalam
hukum Islam dan hukum positif akan dijelaskan secara rinci mengenai
pengertian poligami dan dasar hukum poligami, syarat-syarat poligami,
makna adil dalam poligai, batasan poligami, serta hikmah dan tujuan
poligami.
Bab ketiga, menjelaskan tentang data penelitian lapangan yang berisi
tentang deskripsi poligami kyai haji Masyhurat dan deskripsi para tokoh
agama di Kecamatan Lenteng Kabupaten Sumenep.
Bab keempat, menjelaskan tentang telaah pandangan tokoh agama di
Kec. Lenteng, Kab. Sumenep terhadap poligami kyai haji Masyurat yang
akan dijelaskan secara rinci mengenai deskripsi pandangan tokoh agama
terhadap poligami lebih dari empat orang istri dan analisis hukum Islam
terhadap pandangan tokoh agama di Kec. Lenteng Kab. Sumenep terhadap
poligami kyai haji Masyhurat.

21

Bab kelima, yakni penutup yang berisi kesimpulan dan saran.
Kesimpulan ini merupakan jawaban dari pokok masalah yang ada pada bab
pertama yang selanjutnya penyusun memberikan sumbang sarannya sebagai
refleksi atas realitas yang ada saat ini.

BAB II
POLIGAMI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

A. Pengertian Poligami
Kata poligami berasal dari bahasa Yunani, yaitu gabungan dari
kata polus atau poli yang bermakna banyak, dan gamein atau gamos
artinya kawin atau perkawinan. Jika kedua kata ini digabungkan akan
mengandung arti perkawinan yang banyak. Kalau dipahami dari gabungan
kata tersebut, benar jika mengatakan bahwa poligami adalah perkawinan
banyak dan tidak terbatas jumlah banyaknya (seseorang yang akan
dinikahi) 26 . Sedangkan dalam bahasa Arab, poligami disebut dengan

ta‘adud al-zauja@t yang artinya berbilangnya pasangan27.
Secara istilah, menurut Abdur Rahman Ghazali poligami adalah
seorang laki-laki beristri lebih dari seorang, akan tetapi dibatasi hanya
empat orang, apabila melebihi empat orang maka mengingkari kebaikan
yang disyariatkan oleh Allah SWT yaitu untuk kemaslahatan hidup bagi
suami istri28. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
poligami adalah ikatan perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau
mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang besamaan29.

Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 84.
Arij Abdurrahman As-Sanan, Memahami Keadilan dalam Poligami, (Jakarta: PT. Global Media
Cipta Publishing, 2003), 25.
28
Abdur Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenada Media, 2003), 131.
29
Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1986), 169.
26

27

22

23

Menurut Soemiyati, poligami dalah perkawinan antara seorang
laki-laki dengan lebih dari seorang wanita dalam waktu yang sama 30 .
Menurut Soerjono Soekamto, poligami adalah suatu pola perkawinan
dimana seorang suami diperkenankan untuk menikah lebih dari seorang
wanita31. Dan menurut pandangan Wojowarsito bahwa poligami adalah
suatu sistem perkawinan antara seorang laki-laki dengan lebih dari
seorang wanita32.
Poligami memiliki dua makna yaitu pertama, seorang laki-laki
mempunyai istri lebih dari satu orang dalam waktu yang sama, dan yang
kedua seorang perempuan memiliki suami lebih dari satu orang pada saat
yang sama pula. Dengan demikian, poligami dengan istilah yang pertama
disebut sebagai poligini dan yang kedua disebut dengan poliandri33.
Namun, pengertian itu mengalami pergeseran sehingga kata
poligami digunakan untuk laki-laki memiliki istri banyak, sedangkan
istilah poligini sendiri saat ini sudah tidak lazim digunakan34.
Sedangkan lawan kata dari poligami yaitu monogami. Monogami
adalah suatu bentuk perkawinan tunggal, artinya seorang laki-laki hanya
menikah dengan satu orang perempuan dan sebaliknya. Dalam

Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam ..., 75.
Soekamto Soerjono, Kamus Hukum Adat, (Bandung: Risalah Gusti, 1998), 206-207.
32
Wojowarsito, Kamus Umum Inggris Indonesia, (Surabaya: ARKOLA, 2010), 305.
33
Bibit Suprapto, Lika-liku Poligami, (Jakarta: Anggota IKAPI, 2000), 71.
34
Achmad Kazari, Nikah sebagai Perikatan, (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 1995), 159.
30

31

24

realitasnya, monogami lebih banyak dipraktikkan karena dirasa paling
sesuai dengan tabiat manusia35.
Dari beberapa pengertian tersebut, dapat ditarik suatu konklusi
bahwa yang dimaksud dengan poligami adalah suatu bentuk perkawinan
antara seorang laki-laki (suami) menikah dengan lebih dari seorang
perempuan (istri) dalam waktu yang bersamaan.

B. Dasar Hukum Poligami
Poligami pada mulanya (pra Islam) tidak mengenal batasan
berpoligami, seorang laki-laki pada masa itu dapat mengawini beberapa
perempuan sekehendaknya, karena mereka menganggap perempuan itu
bukanlah manusia, melainkan sebagai benda bergerak dan juga dapat
diwariskan jika pemiliknya meninggal, sebagaimana ibu tiri bisa
diwariskan oleh anak suaminya.
Perkawinan yang diajarkan dalam Islam yaitu dapat membentuk
keluarga yang saki@nah, mawaddah dan warah}mah. Namun hal ini akan
sangat sulit dilaksanakan jika dalam suatu hubungan rumah tangga
seorang suami memiliki lebih dari seorang istri, karena akan mungkin
terjadi sedikit banyak perselisihan. Islam memandang bahwa poligami
akan lebih banyak mengandung resiko daripada manfaatnya. Menurut
fitrahnya, manusia itu mempunyai watak cemburu, iri hati dan suka
mengeluh. Watak-watak tersebut akan mudah timbul dengan kadar tinggi,
Siti Musdah Mulia, Pandangan Islam tentang Poligami, (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan
Gender, 1999), 2-3.
35

25

jika hidup dalam kehidupan keluarga yang melakukan praktik poligami.
Dengan demikian poligami bisa menjadi sumber konflik antara suami
dengan istri-istri dan anak-anaknya. Karena itu hukum asal perkawinan
menurut Islam adalah monogami, sebab dengan perkawinan monogami
maka akan mudah menetralisasi sifat atau watak cemburu dan mengeluh
dalam kehidupan keluarga yang monogamis.36
Islam datang untuk meluruskan kebiasaan tersebut, yaitu dengan
membatasi empat orang istri. Islam tidak melarang poligami, tetapi juga
tidak mewajibkannya. Sebab, jika dilarang atau diwajibkan tentu sulit
untuk melaksanakannya, maka hal ini diletakkan pada posisi muba@h}
(diperbolehkan), dengan syarat mampu berbuat adil di antara istri-istri.
Sebagaimana firman Allah SWT menerangkan poligami dalam surat AlNisa’ ayat 3 yang berbunyi:
             
                
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.
kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.37
Ayat ini berbicara tentang perlakuan terhadap anak yatim. Dimana
sebagai wali laki-laki bertanggung jawab mengelolah kekayaan anak
36
Masyfuk Zuhdi, Masa@il Fiqhiyyah, (Terj. Idrus Al-Kaff), (Jakarta: CV. Haji Masagung, 1992),
12.
37
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya ..., 77.

26

yatim perempuan tersebut, akan tetapi ia tidak mampu mencegah dirinya
dari ketidak adilan dalam mengelola harta tersebut. 38 Ayat ini turun
setelah perang Uhud, dimana banyak sekali pejuang muslim yang gugur,
mengakibatkan banyak pula anak yatim yang mesti mendapat
pengawasan dari orang tua yang bertanggung jawab. Salah satu jalan
untuk mencegah persoalan tersebut ialah dengan perkawinan. Dalam hal
ini Al-Qur’an telah memberikan ketentuan yang amat jelas, sehingga anak
yatim itu memperoleh hak-haknya kembali.39
Asal usul turunnya (asba@b al-nuzu@l) al-Nisa’ ayat 3 tersebut adalah
karena untuk memberantas kebiasaan buruk orang-orang Arab yang
memelihara anak yatim, maka walinya tidak akan mengawininya dengan
laki-laki lain agar dengan kekuasaan mengurus kekayaan harta benda dari
perempuan yatim tersebut berada di tangan walinya. Sementara itu
walinya sendiri tidak bersedia mengawininya karena menganggap bahwa
perempuan yatim itu adalah rendah, walaupun ada yang bersedia
mengawininya, itu hanya bertujuan agar dapat menguasai harta bendanya
saja tanpa memperdulikan kewajibannya sebagai suami.
Khusus mengenia asba@b al-nuzu@l surat al-Nisa’ ayat 3 tersebut, alS}a@bu@ni@ mengemukakan bahwa al-Bukhori meriwayatkan dari ‘Urwah bin
Zubair sesungguhnya ia pernah bertanya kepada Aisyah tentang firman
Allah SWT di atas. lalu Aisyah berkata: hai anak saudaraku, si yatim ini
Amin Wadud, al-Qur’an Menurut Perempuan: Membaca Kembali Kitab Suci dengan Semangat
Keadilan, (Jakarta: Pt. Global Media Cipta Publishing, 2006), 143.
39
Fadlurrahman, Islam Mengangkat Martabat Wanita, (Gresik: Putra Pelajar, 1999), 66.
38

27

berada di bawah perwaliannya dan hartanya tercampur menjadi satu. Wali
itu tertarik pada harta dan kecantikan wajah si yatim, lalu hendak
mengawinininya. Tetapi cara ini tidak adil mengenai pemberian mahar
untuk si yatim, ia tidak memberinya seperti yang diberikan kepada wanita
lain. Maka perbuatan demikian dilarang, lain halnya kalau dia bisa adil.
padahal mereka terbiasa memberi mahar tinggi, begitulah lalu mereka
disuruh mengawini perempuan yang cocok dengan mereka selain anak
yatim itu.40
Pendapat senada dikemukakan al-Jasshas yang menurutnya ayat 3
surat al-nisa’ diatas berkenaan dengan anak yatim yang dinikahi walinya.
Maka menurut al-Jasshas, larangan menikahi anak yatim ini begitu kuat.41
Begitu juga dengan al-T}abari yang mengatakan bahwa ayat 3 surat
al-Nisa’ tersebut terkait erat dengan nasib perempuan dan anak yatim.
Menurutnya, diantara pendapat ulama yang mendekati kebenaran adalah
pendapat yang mengatakan bahwa makna ayat ini terkait dengan
kekhawatiran tiadanya wali yang bisa berbuat adil terhadap anak yatim.
Maka kalau demikian, kekhawatiran ini dengan sendirinya berlaku juga
pada cara menyikapi wanita. Maka “janganlah berpoligami, kecuali pada
wanita yang mungkin kamu bisa berlaku adil dua, sampai empat”.
Sebaliknya, kalau ada kekhawatiran tidak bisa berlaku adil ketika
poligami, maka cukuplah dengan menikahi budak wanita yang
Muhammad Ali As-Sabuni, Rawa@i‘ al-Baya@n Tafsi@r Aya@t al-Ahkam, Juz II (Beirut: Dar al-Fikr,
tt), 420
41
Al-Jass}as, Ahka@m al-Qur’an, (Beirut: Dar Al-Kitab al-Islamiyah, tt), 54.
40

28

dimilikinya, sebab hal ini akan lebih memungkinkan tidak akan berbuat
penyelewengan.42
Ayat tersebut sangat jelas tidak menganjurkan untuk berpoligami,
tetapi hanya membolehkan (mengizinkan) dengan syarat yang ketat. Akan
tetapi banyak orang yang salah mengartikan penafsiran ayat tersebut
dengan

pemahaman

bahwa

ajaran

Islamlah

satu-satunya

yang

membolehkan poligami. Padahal tidak demikian Islam justru memberikan
persyaratan dan batasan tertentu kepada suami yang hendak melakukan
poligami. Seorang suami yang akan melakukan poligami harus dapat
berbuat adil dan terbatas pada empat orang istri saja. Adil yang dimaksud
dalam hal ini ialah perlakuan adil dalam memperlakukan isteri seperti
pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah bukan
batiniyah.
Redaksi yang dipakai dalam al-Qur’an untuk menerangkan
bolehnya

sesuatu

biasanya

menggunakan

kata-kata

“La@

Juna@h}a

‘Alaikum”, “Uh}illa Lakum” dan gaya bahasa lain yang menunjukkan
boleh. Tapi dalam kasus ini redaksi al-Qur’an muncul dengan bentuk
perintah Allah “Fankih}u@” sebagai jawab syarat dari “Wa in Khiftum”. Ini
berarti Allah SWT menghendaki terlaksananya perintah yang lebih
penting daripada sekedar bolehnya poligami, yaitu merealisasikan

Ibnu Jarir al-Tabari, Ja@mi‘ al-Baya@n fi Tafsi@r al-Qur’an, jilid IV, (Beirut: Darl al-Fikr, 1958),
155-157
42

29

keadilan yang ditujukan bagi wali dalam pengurusan anak-anak yatim
yang di bawah perwaliannya.43
Islam juga memberikan peringatan kepada semua yang melakukan
poligami jangan sampai cenderung atau berpihak pada sebagian istri dan
membiarkan sebagian lain. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat
al-Nisa’ ayat 129:
             
          
Artinya: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara
isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena
itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai),
sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu
Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.44
Sayid Sabiq berpendapat bahwa ayat tersebut di atas isinya
meniadakan kesanggupan berlaku adil kepada sesama istri, adil yang
dimaksud adalah adil dalam masalah lahiriyah yang dapat dikerjakan oleh
manusia bukan adil dalam hal cinta dan kasih sayang, sebab masalah ini
diluar kemampuan seseorang.45 Sebagaimana hadis Nabi saw:

ِ ِ
ِ
ِ ِ
‫ك‬
ُ ‫اَلل ُهم َ َذا ق ْس ِم ْي فْي َما أَْمل‬
ُ ‫ك فَ َا َ لُ ْم ِن فْي َما َْل‬
“Ya Allah, inilah pembagianku (terhadap istri-istriku) yang aku miliki.
Karena itu, janganlah Engkau mencela aku mengenai sesuatu yang

Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, (Jogjakarta: Graha Ilmu, 2011), 88.
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya ..., 93.
45
Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah ..., 173.
43

44

30

Engkau miliki tetapi tidak aku miliki (Hr. Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan
ibnu majah)”.46
Imamiyah dan Syafi’i mengatakan bahwa manakala salah seorang
dari keempat istri itu diceraikan dalam bentuk talak raj‘i maka laki-laki
itu tidak boleh melakukan akad nikah dengan wanita lain sebelum istri
yang dicerai itu habis masa ‘iddah-nya.47
Dengan adanya penjelasan tersebut di atas, tampaknya telah jelas
bahwa poligami bukan hanya sarana pemuas nafsu belaka, akan tetapi
kebolehan poligami sebenarnya mempunyai maksud dan jangkauan yang
lebih luas yaitu demi kemaslahatan manusia pada umumnya.

C. Syarat-Syarat Poligami