PANDANGAN TOKOH AGAMA DAN BUDAYA MASYARAKAT TERHADAP PEMAKAIAN ALAT KONTRASEPSI

PANDANGAN TOKOH AGAMA DAN
BUDAYA MASYARAKAT TERHADAP
PEMAKAIAN ALAT KONTRASEPSI
Hartini
Jurusan Antropologi FISIP Unhalu
Email : hartini@yahoo.com

Abstract
Reproduction health care for husband and wife provides equal right in
deciding the best medical practice related to reproduction’s function
and process. However, the reality shows the irony of the fact that using
contraception’s tool is mostly dominated by women. It is due to the
strong perception of religious figures and social figures on the usage of
contraception that is most suitable for women and it is considered as taboo
for men to practice the sort of reproduction health care.
Pemeliharaan kesehatan reproduksi suami dan istri sebagai keluarga
mempunyai hak yang sama untuk menentukan tindakan yang terbaik
berkaitan dengan fungsi dan proses memfungsikan alat reproduksinya.
Namun dalam kenyataannya kewajiban pemeliharaan kesehatan reproduksi
khususnya dalam pemakaian alat kontrasepsi lebih banyak didominasi
perempuan. Hal ini terjadi karena masih kuatnya pandangan tokoh agama

dan tokoh masyarakat tentang pemakaian alat kontrasepsi yang dianggap
hanya pantas dilakukan oleh perempuan dan masih dianggap tabu jika
laki-laki menggunakan alat kontrasepsi.
Keywords : kesehatan reproduksi, agama, masyarakat, alat kontrasepsi

Pendahuluan
Dalam rangka pemeliharaan kesehatan reproduksi suami dan istri
sebagai keluarga mempunyai hak untuk menentukan tindakan yang terbaik
berkaitan dengan fungsi dan proses memfungsikan alat reproduksinya.
Segala sesuatu yang mempengaruhi sikap dan perilaku dalam berbagai
142

Hartini, Pandangan Tokoh Agama dan Budaya Masyarakat...

143

bentuk anjuran, meskipun dengan tujuan mulia, hak memutuskan tetap
berada pada pasangan suami istri. Namun dalam kenyataannya kewajiban
pemeliharaan kesehatan reproduksi khususnya dalam pemakaian alat
kontrasepsi lebih banyak didominasi perempuan, walaupun dalam proses

pemutusannya melibatkan laki-laki, namun laki-laki lebih cenderung bersifat
pasif. Hal ini terjadi karena masih kuatnya pandangan tokoh masyarakat
dan tokoh agama tentang pemakaian kontrasepsi laki-laki khususnya
secara sosial budaya. Hal ini karena masyarakat masih menganggap tabu/
kurang mendukung jika laki-laki menggunakan alat kontrasepsi. Selain
itu perilaku sebagian besar tokoh masyarakat dan suami yang belum bisa
menerima KB bagi laki-laki terutama Vasektomi. Dengan menggunakan
alasan bahwa agama tidak memperbolehkan. Hal yang serupa disampaikan
oleh laki-laki bahwa bila laki-laki menggunakan alat kontrasepsi dianggap
tidak perkasa lagi, selain itu dalam hubungan seksual dianggap tidak kuat
dan bapak jika berselingkuh tidak ketahuan. Ada pula yang menganggap
KB itu urusan ibu-ibu. Seperti yang dituturkan oleh sebagian ulama, bahwa
kontrasepsi belum diprogramkan dan dianggap haram, kecuali bila terdesak
misal anak sudah banyak dan tidak satu pun metode KB yang cocok
Tidak mudah bagi masyarakat untuk menerima laki-laki berpartisipasi aktif dalam program keluarga berencana (KB) karena berbagai
alasan, salah satunya adalah hambatan budaya yang masih dominan
terhadap tabunya pemakaian alat kontrasepsi pada laki-laki, khususnya
kontrasepsi mantap. Hal ini didukung pendapat BKKBN (2007) bahwa
kesertaan laki-laki untuk menggunakan alat kontrasepsi masih rendah.
Hal ini terjadi karena faktor sosial budaya masyarakat yang beranggapan

bahwa KB adalah urusan perempuan sehingga laki-laki tidak perlu berperan
secara aktif dalam KB.
Hasil penelitian Kusumaningrum (2009) menyatakan bahwa adanya aksesibilitas laki-laki terhadap informasi mengenai KB yang rendah
serta aksesibilitas laki-laki terhadap sarana pelayanan kontrasepsi rendah,
mengakibatkan kesertaan laki-laki untuk menggunakan alat kontrasepsi
sangat rendah. Rendahnya aksebilitas ini juga didukung oleh masih terfokusnya puskesmas pada pelayanan kesehatan untuk ibu dan anak
saja, sehingga laki-laki merasa enggan untuk konsultasi dan mendapat
pelayanan, demikian pula terbatasnya jumlah sarana pelayanan yang dapat

144 Egalita Jurnal Kesetaraan dan Keadilan Gender, Volume VI No. 2 Juni 2011, hlm. 142-154

memenuhi kebutuhan laki-laki serta waktu buka sarana pelayanan tersebut.
Menurut New comb dalam Notoatmodjo (2003) selama ini laki-laki hanya
menunjukkan sikap mendukung penggunaan alat kontasepsi pada wanita,
belum menunjukkan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak sebagai
pengguna alat kontrasepsi tersebut.
Bertrand (1994) memaparkan bahwa diberbagai negara, faktor
sosial ekonomi dan faktor budaya masih sangat menentukan norma
ukuran keluarga. Karakteristik sosial-demografi dan psikososial dapat
mempengaruhi keinginan ukuran keluarga pada tingkat individu.

Pelayanan KB yang siap tersedia tidak hanya dapat memenuhi permintaan
untuk mengatur jarak atau membatasi kelahiran, tetapi juga menciptakan
suatu permintaan jasa dalam menyediakan pelayanan alternatif untuk
meneruskan childbearing dan keberhasilan pencegahan kehamilan.
Dalam memperkenalkan cara-cara kontrasepsi kepada masyarakat
khususnya laki-laki tidak mudah untuk segera menerima karena
menyangkut pengambilan keputusan oleh masyarakat untuk menerima
cara-cara kontrasepsi tersebut. ada empat tahap untuk mengambil keputusan
menerima inovasi tersebut, yaitu tahap pengetahuan (knowledge), tahap
persuasi (persuasion), tahap pengambilan keputusan (decision), dan tahap
konfirmasi (confirmation). Melalui tahap-tahap tersebut, inovasi bisa
diterima maupun ditolak.
Inovasi akan ditolak jika inovasi tersebut dipaksakan oleh pihak
lain, inovasi tersebut tidak dipahami, atau inovasi tersebut dianggap
sebagai ancaman terhadap nilai-nilai penduduk. Selanjutnya akan terjadi
penerimaan secara selektif yaitu ada beberapa inovasi yang diterima / diterima sebagian sedangkan beberapa inovasi lainnya ditunda atau bahkan
ditolak. Jadi penerimaan inovasi tidak pernah bersifat menyeluruh tetapi
bersifat selektif dengan berbagai pertimbangan.

Partisipasi Suami Istri Dalam KB

Peran atau partisipasi suami istri dalam Keluarga Berencana (KB)
antara lain menyangkut :
a. Pemakaian alat kontrasepsi
b. Tempat mendapatkan pelayanan
c. Lama pemakaian
d. Efek samping dari penggunaan kontrasepsi

Hartini, Pandangan Tokoh Agama dan Budaya Masyarakat...

145

e.Siapa yang harus menggunakan kontrasepsi
Peran suami istri dalam hal berkomunikasi mengenai kontrasepsi
antara lain :
a. Suami memakai kontrasepsi
b. Istri memakai kontrasepsi tapi tidak dibicarakan dengan
suami
c. Suami istri tidak memakai kontrasepsi, tapi dibicarakan antara
suami istri
d. Suami istri tidak memakai dan tidak dibicarakan antara suami

istri.
Peningkatan partisipasi pria dalam KB dan kesehatan reproduksi
adalah langkah yang tepat dalam upaya mendorong kesetaraan gender.
Partisipasi pria dalam kesehatan reproduksi adalah tanggung jawab pria
dalam kesehatan reproduksi, terutama dalam pemeliharaan kesehatan dan
kelangsungan hidup ibu dan anak, serta berprilaku seksual yang sehat dan
aman bagi dirinya, istri, dan keluarganya.
Dalam kurun waktu 30 tahun keberhasilan program KB masih
banyak didominasi oleh peran serta wanita dalam penggunaan alat dan
metode kontrasepsi. Pada tahun 2002 tercatat tingkat pemakaian kontrasepsi
adalah 60,3%. Kontribusi pria terhadap angka tersebut hanya 1,3% saja
yang terdiri dari kondom (0,9%) dan vasektomi (0,4%). Ini berarti 59%
pemakai kontrasepsi adalah wanita.
Ada banyak faktor yang menyebabkan rendahnya peserta KB pria
antara lain:
a. Kondisi lingkungan sosial budaya, masyarakat dan keluarga
yang masih menganggap partisipasi pria belum atau
tidak penting dilakukan serta pandangan yang cenderung
menyerahkan tanggung jawab pelaksanaan KB dan kesehatan
reproduksi sepenuhnya kepada para wanita.

b. Pengetahuan, kesadaraan Pasangan Usia Subur (PUS) dan
keluarga dalam KB pria rendah.
c. Keterbatasan jangkauan (aksesibilitas) dan kualitas pelayanan
KB pria.
Meskipun dari dua metode KB pria telah tersedia berbagai
merek kondom dan telah dikembangkan beberapa teknik

146 Egalita Jurnal Kesetaraan dan Keadilan Gender, Volume VI No. 2 Juni 2011, hlm. 142-154

vasektomi yang relatif lebih baik, namun seringkali menjadi
alasan utama yang dikemukakan dari berbagai pihak mengapa
kesertaan pria dalam KB rendah adalah terbatasnya metode
atau cara kontrasepsi yang tersedia.
d. Dukungan politis dan operasional masih rendah di semua
tingkatan.
Hal tersebut di atas membahas tentang partisipasi pria secara
langsung dalam ber-KB (sebagai peserta KB pria dengan
menggunakan salah satu cara atau metode pencegahan
kehamilan), namun ada pula partisipasi pria secara tidak
langsung dalam ber-KB. Partispasi pria secara tidak langsung

salah satunya dengan cara mendukung istri dalam ber-KB.
Apabila disepakati istri yang akan ber-KB, peranan suami
adalah memberikan dukungan dan kebebasan kepada istri
untuk menggunakan kontrasepsi atau cara/metode KB,
adapun dukungannya meliputi :
• Memilih kontrasepsi yang cocok, yaitu kontrasepsi yang
sesuai dengan keinginan dan kondisi istrinya.
• Membantu istrinya dalam menggunakan kontrasepsi
secara benar, seperti mengingatkan saat minum pil KB
dan mengingatkan istri untuk kontrol.
• Membantu mencari pertolongan bila terjadi efek samping
maupun komplikasi dari pemakaian alat kontraspsi.
• Mengantar istri ke fasilitas pelayanan kesehatan untuk
kontrol atau rujukan.
• Mencari alternatif lain bila kontrasepsi yang digunakan
saat ini terbukti tidak memuaskan.
• Membantu menghitung waktu subur, apabila menggunakan
metode pantang berkala.
• Menggunakan kontrasepsi bila keadaan kesehatan istri
tidak memungkinkan

Selain faktor-faktor tersebut masih banyak faktor lain yang
mempengaruhi pemilihan jenis kontrasepsi seperti tingkat pendidikan,
pengetahuan, kesejahteraan keluarga, agama, dan dukungan dari suami/
istri. Faktor-faktor ini nantinya juga akan mempengaruhi keberhasilan

Hartini, Pandangan Tokoh Agama dan Budaya Masyarakat...

147

program KB. Hal ini dikarenakan setiap metode atau alat kontrasepsi yang
dipilih memiliki efektivitas yang berbeda-beda. Dalam rangka pemeliharaan
kesehatan reproduksi suami dan istri sebagai keluarga mempunyai hak untuk
menentukan tindakan yang terbaik berkaitan dengan fungsi dan proses
memfungsikan alat reproduksinya. Segala sesuatu yang mempengaruhi
sikap dan perilaku dalam berbagai bentuk anjuran, meskipun dengan tujuan
mulia, hak memutuskan tetap berada pada pasangan suami istri.

Pandangan Agama Terhadap Pemakaian Alat Kontasepsi
KB bukan hanya masalah demografi dan klinis tetapi juga
mempunyai dimensi sosial-budaya dan agama, khususnya perubahan

sistim nilai dan norma masyarakat, seperti yang diatur dalam UU
No.10 tahun 1992, tentang Pembangunan Kependudukan dan Keluarga
Sejahtera. Dalam undang-undang tersebut juga telah dinyatakan bahwa
penyelenggaraan pengaturan kelahiran, dilakukan dengan cara yang dapat
dipertanggungjawabkan dari segi kesehatan, etik dan agama yang dianut
penduduk yang bersangkutan (Pasal 17 ayat 2).
KB perlu mendapat dukungan masyarakat, termasuk tokoh agama,
walaupun awalnya mendapat tantangan akhirnya program KB didukung
tokoh agama dengan pemahaman bahwa KB tidak bertentangan dengan
agama dan merupakan salah satu upaya dalam pengaturan masalah
kependudukan untuk memerangi kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan
dan ketidakpedulian masyarakat, sehingga dapat mendukung pembangunan
bangsa. Di pihak lain, peserta KB yan lebih dari 22,5 juta banyaknya juga
memerlukan pegangan, pengayoman dan dukungan rohani yang kuat dan
ini hanya bisa diperoleh dari pemimpin agama.
Program KB juga telah memperoleh dukungan dari Departemen
Agama Republik Indonesia. Hal ini terlihat dengan penandatanganan
bersama Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN),
Memorandum of Understanding (MoU) Nomor 1 Tahun 2007 dan Nomor:
36/HK.101/F1/2007 tentang Advokasi, Komunikasi, Informas dan Edukasi

Program KB Nasional melalui Peran Lembaga Keagamaan, pada 9 Februari
2007, yang berlaku sampai dengan 31 Desember 2009.
Dalam Islam masih terdapat kontroversi mengenai KB, dimana ada
yang memperbolehkan dan sebaliknya. Alasan yang dikemukakan adalah
Al Qur’an tidak membolehkan pemakaian alat kontrasepsi yang dianggap

148 Egalita Jurnal Kesetaraan dan Keadilan Gender, Volume VI No. 2 Juni 2011, hlm. 142-154

sebagai membunuh bayi, atau agama Islam menginginkan agar Islam
mempunyai umat yang besar dan kuat. Para ulama yang memperbolehkan
KB sepakat bahwa KB yang dibolehkan syariat adalah usaha pengaturan
atau penjarangan kelahiran atau usaha pencegahan kehamilan sementara
atas kesepakatan suami-istri karena situasi dan kondisi tertentu untuk
kepentingan (maslahat) keluarga. Jadi jelas bahwa Islam membolehkan
KB karena penting untuk menjaga kesehatan ibu dan anak, menunjang
program pembangunan kependudukan lainnya dan menjadi bagian dari
hak asazi manusia. Agama selain Islam di Indonesia umumnya mendukung
KB. Agama Hindu memandang bahwa setiap kelahiran harus membawa
manfaat, maka kelahiran harus diatur jaraknya dengan ber KB. Agama
Buddha, yang memandang setiap manusia pada dasarnya baik, tidak
melarang umatnya ber-KB demi kesejahteraan keluarga. Agama Kristen
Protestan tidak melarang umatnya ber-KB, yang mana sedikit berbeda
dengan agama Katolik yang memandang kesejahteraan keluarga diletakkan
dan diwujudkan dalam pemahaman holistik sesuai dengan kehendak Allah.
Untuk mengatur kelahiran anak, suami-istri harus tetap menghormati dan
menaati moral Katolik. Gereja Katolik hanya menerima abstinensia dan
pantang berkala (hubungan seksual hanya dilakukan pada masa tidak subur
dalam siklus bulanan seorang wanita) sebagai metode keluarga berencana
yang sesuai dengan pandangan gereja dan menolak secara tegas metode
KB lainnya.

Partisipasi Pemakaian Alat Kontrasepsi pada Laki-laki
Dreman and Robey (1998) menyatakan bahwa pendidikan menunjukkan pengaruh yang lebih kuat terhadap fertilitas daripada variabel
lain. Pendidikan merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan
pengetahuan dan persepsi seseorang terhadap pentingnya sesuatu hal,
termasuk pentingnya keikutsertaan dalam KB. Ini disebabkan seseorang
yang berpendidikan tinggi akan lebih luas pandangannya dan lebih mudah
menerima ide dan tata cara kehidupan baru (BKKBN, 1980).
Hubungan antara pendidikan dengan pola pikir, persepsi dan
perilaku masyarakat memang sangat signifikan, dalam arti bahwa semakin
tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin rasional dalam pengambilan
berbagai keputusan. Peningkatan tingkat pendidikan akan menghasilkan
tingkat kelahiran yang rendah karena pendidikan akan mempengaruhi

Hartini, Pandangan Tokoh Agama dan Budaya Masyarakat...

149

persepsi negatif terhadap nilai anak dan akan menekan adanya keluarga
besar. Orang tua dalam keluarga tentu saja menginginkan agar anaknya
berkualitas dengan harapan dikemudian hari dapat melanjutkan cita-cita
keluarga, berguna bagi masyarakat dan negara. Untuk sampai pada cita-cita
tersebut tentu saja tidak mudah, dibutuhkan strategi dan metode yang baik.
Apakah mungkin menciptakan anak yang berkualitas di tengah waktu yang
terbatas, karena kesibukan bekerja, dan apakah mungkin menciptakan anak
berkualitas di tengah kondisi keuangan atau pendapatan yang terbatas.
Dalam hubungan dengan pemakaian kontrasepsi, pendidikan
akseptor dapat mempengaruhi dalam hal pemilihan jenis kontrasepsi yang
secara tidak langsung akan mempengaruhi kelangsungan pemakaiannya.
Penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan yang dimiliki
mempunyai pengaruh yang kuat pada perilaku reproduksi dan penggunaan
alat kontrasepsi. Berdasarkan SDKI 2002-2003, pemakaian alat kontrasepsi
meningkat sejalan dengan tingkat pendidikan. Sebesar 45% wanita yang
tidak sekolah menggunakan cara kontrasepsi modern, sedangkan wanita
berpendidikan menengah atau lebih tinggi yang menggunakan cara
kontrasepsi modern sebanyak 58%. Jadi, secara umum semakin tinggi
tingkat pendidikan wanita, semakin besar kemungkinannya memakai alat/
cara KB modern.
Menurut BKKBN (2005) upaya peningkatan partisipasi lakilaki terkendala oleh beberapa ketentuan peraturan daerah yang belum
mengakomodir jenis kontrasepsi mantap laki-laki, seperti halnya aspek
biaya yang harus ditanggung peserta terlalu tinggi, karena masuk rumpun
tindakan operasi di rumah sakit umum daerah (RSUD). Di lain pihak biaya
bantuan yang tersedia dari BKKBN jumlahnya terbatas dan tidak mampu
menutupi biaya yang ditetapkan daerah. Penggunaan dana Asuransi
keluarga miskin (ASKES GAKIN) belum lancar sebagaimana diharapkan.
Kesepakatan antara pihak asuransi dengan pihak BKKBN sebagai
penyedia data dan distribusi Kartu Askes masih mewarnai permasalahan
di lapangan.
Pelayanan Kontrasepsi mantap juga terkendala oleh ketersediaan
dan kesiapan tenaga pelayanan. Dukungan sarana pelayanan juga
menjadi kendala di beberapa daerah, tenaga terlatih sudah banyak yang
alih tugas dan peralatan kurang lengkap. Terbatasnya akses pelayanan

150 Egalita Jurnal Kesetaraan dan Keadilan Gender, Volume VI No. 2 Juni 2011, hlm. 142-154

KB laki-laki dan kualitas pelayanan KB laki-laki belum memadai juga
merupakan aspek yang mempengaruhi rendahnya partisipasi laki-laki
dalam Keluarga Berencana. Selain itu menurut BKKBN (2007) faktorfaktor yang mempengaruhi rendahnya partisipasi laki-laki dalam KB,
antara lain terbatasnya sosialisasi dan promosi KB laki-laki, adanya
persepsi bahwa wanita yang menjadi target program KB, terbatasnya
akses pelayanan KB laki-laki, tingginya harga yang harus dibayar untuk
ber KB, ketidaknyamanan dalam penggunaan KB laki-laki (kondom),
terbatasnya metode kontrasepsi laki-laki, rendahnya pengetahuan lakilaki terhadap KB, kualitas pelayanan KB laki-laki belum memadai, istri
tidak mendukung suami ber-KB, adanya stigmatisasi tentang KB lakilaki di masyarakat, kondisi politik, sosial budaya masyarakat, agama, dan
komitmen pemerintah masih belum optimal dalam mendukung KB lakilaki dimana penerapan program kebijakan partisipasi laki-laki di lapangan
masih belum optimal.
Berdasarkan hasil penelitian kualitatif yang dilakukan Wijayanti
(2004) secara sosial budaya menunjukkan hasil bahwa semua responden
menyatakan metode KB bagi laki-laki belum membudaya atau belum
umum dilakukan oleh masyarakat di desa Timpik Kecamatan Susukan
Kabupaten Semarang. Kondisi sosial budaya masyarakat yang patrilinial
yang memungkinkan kaum perempuan berada dalam sub ordinasi
menyebabkan pengambilan keputusan dalam KB didominasi oleh kaum
laki-laki.
Menurut Bertrand (2007) budaya dominasi laki -laki (budaya
patriarkhi) didasari oleh kekuatan dan kekuasaan materi. Menyimak hasil
penelitian BKKBN (1998) tentang faktor sosial, ekonomi dan budaya
menerangkan bahwa nilai budaya, seperti pandangan terhadap banyak
anak adalah banyak rejeki, preferensi jenis kelamin anak, dan pandangan
agama yang dianut secara inferensial tidak menunjukkan pengaruh yang
signifikan.
Di daerah pedesaan anak mempunyai nilai yang tinggi bagi keluarga.
Anak dapat memberikan kebahagiaan kepada orang tuanya selain itu akan
merupakan jaminan di hari tua dan dapat membantu ekonomi keluarga,
banyak masyarakat di desa di Indonesia yang berpandanga bahwa banyak
anak banyak rejeki, selain itu pandangan mayoritas budaya masyarakat di

Hartini, Pandangan Tokoh Agama dan Budaya Masyarakat...

151

dunia ini menunjukkan kecenderungan untuk lebih menyenangi kelahiran
anak laki-laki, dibandingkan kelahiran anak perempuan. Preferensi jenis
kelamin laki-laki terutama terjadi di kalangan budaya orang-orang Islam,
Cina, India, dan di Indonesia, budaya ini ditemukan di masyarakat Batak,
dan Bali. Preferensi anak laki-laki, nampaknya menjadi hambatan untuk
mewujudkan cita-cita dua anak harus dianggap ideal dan juga untuk
mengurangi tingkat fertilitas di China modern. Adat kebiasaan atau adat
dari suatu masyarakat yang memberikan nilai anak laki-laki lebih dari anak
perempuan atau sebaliknya. Hal ini akan memungkinkan satu keluarga
mempunyai anak banyak. Keinginan untuk mendapatkan anak lakilaki atau perempuan tidak terpenuhi kemungkinan dapat menyebabkan
suami akan menceraikan istrinya dan kawin lagi agar terpenuhi keinginan
memiliki anak laki-laki ataupun anak perempuan. Disinilah norma adat
istiadat perlu diluruskan karena tidak banyak menguntungkan bahkan
banyak bertentangan dengan kemanusiaan. Bagi para pemeluk agama
merencanakan jumlah anak adalah menyalahi kehendak Tuhan. Kita boleh
mendahului kehendak Tuhan apalagi mencegah kelahiran anak dengan
anak dengan menggunakan alat kontrasepsi supaya tidak hamil. Langkah
utama untuk mengatasi hal ini adalah menemui tokoh-tokoh atau ulama
dari agama tersebut untuk menjelaskan bahwa merencanakan keluarga
untuk membantu Keluarga kecil adalah tidak bertentangan dengan agama.
Faktor yang mempengaruhi partisipasi laki-laki dalam Keluarga
Berencana dapat menggunakan pendekatan faktor perilaku. Sedangkan
faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku ada 3 faktor utama, yaitu :
faktor predisposisi (predisposing factors), faktor pemungkin (enabling
factors), dan faktor penguat (reinforcing factors). Faktor predisposisi
merupakan faktor anteseden terhadap perilaku yang menjadi dasar
atau motivasi bagi perilaku. Yang termasuk kendala faktor ini adalah
pengetahuan, sikap, keyakinan, nilai, adat istiadat (budaya) dan persepsi,
berkenaan dengan motivasi seseorang atau kelompok untuk bertindak.
Faktor predisposisi sebagai preferensi pribadi yang dibawa seseorang atau
kelompok ke dalam suatu pengalaman belajar. Preferensi ini mungkin
mendukung atau menghambat perilaku sehat, dalam setiap kasus, faktor
ini mempunyai pengaruh. Berbagai faktor demografis seperti status sosial
ekonomi, umur, jenis kelamin, dan ukuran keluarga penting sebagai faktor

152 Egalita Jurnal Kesetaraan dan Keadilan Gender, Volume VI No. 2 Juni 2011, hlm. 142-154

demografis. Faktor pemungkin adalah faktor antesenden terhadap perilaku
yang memungkinkan suatu motivasi atau aspirasi terlaksana. Termasuk
di dalam faktor pemungkin adalah keterampilan dan sumber daya pribadi
atau komuniti. Seperti tersedianya pelayanan kesehatan, keterjangkauan,
kebijakan, peraturan perundangan. Faktor penguat merupakan faktor
penyerta (yang datang sesudah) perilaku yang memberikan ganjaran,
insentif, atau hukuman atas perilaku dan berperan bagi menetap atau
lenyapnya perilaku itu, yang termasuk ke dalam faktor ini adalah faktor
sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, sikap dan perilaku para
petugas termasuk petugas kesehatan. Faktor penguat adalah faktor yang
menentukan apakah tindakan kesehatan memperoleh dukungan atau tidak.
Sumber penguat tentu saja tergantung pada tujuan dan jenis program. Di
dalam pendidikan pasien, penguat mungkin berasal dari perawat, dokter,
pasien lain, dan keluarga. Apakah penguat ini positif ataukah negatif
bergantung pada sikap dan perilaku orang lain yang berkaitan, yang
sebagian diantaranya lebih kuat daripada yang lain dalam mempengaruhi
perilaku
Partisipasi laki-laki dalam kesehatan reproduksi adalah tanggung
jawab laki-laki dalam kesehatan reproduksi terutama dalam pemeliharaan
kesehatan dan kelangsungan hidup ibu dan anak, serta berprilaku seksual
yang sehat dan aman bagi dirinya, istri, dan keluarganya. Peningkatan
partisipasi laki-laki dalam KB dan kesehatan reproduksi adalah langkah
yang tepat dalam upaya mendorong kesetaraan gender.

Kesimpulan
Ditinjau dari sudut keadaan agama dan sosial budaya masyarakat
yang menganggap bahwa partisipasi laki-laki dalam ber KB belum atau
tidak penting dilakukan, hal ini terjadi karena muunculnya pandangan
yang cenderung menyerahkan tanggung jawab pelaksanaan KB dan
kesehatan reproduksi sepenuhnya kepada para wanita. Selain itu laki-laki
juga beranggapan bahwa KB adalah urusan perempuan sehingga pria tidak
perlu berperan secara aktif.

DAFTAR PUSTAKA
BKKBN. 2000. Pedoman Penggarapan Peningkatan Partisipasi Pria.
BKKBN. Jakarta

Hartini, Pandangan Tokoh Agama dan Budaya Masyarakat...

153

BKKBN. 2001. Fakta, Data dan Informasi Kesenjangan Gender di
Indonesia. BKKBN. Jakarta.
BKKBN. 2005. Peningkatan Akses dan Kualitas Pelayanan KB. BKKBN.
Bandung.
BKKBN. 2007. Gender dalam Program KB dan KR. http://gemapria.
bkkbn.go.id/artikel02-21.html
Bertrand. 2007. Kerangka Pikir Konseptual Permintaan KB serta Dampak
Pada Fertilitas. Dalam : BKKBN. Peningkatan Akses dan Kualitas
Pelayanan KB. BKKBN. Bandung.
Dreman and Robey. 1998. Male Participation in Reproductive Health.
Network. Spring. 18(3) : 11-5.
Dwijayanti, Riski. 2006. Analisis Respon Masyarakat Desa terhadap
Program KB dalam Rangka Peningkatan Kualitas Sumber Daya
Manusia di desa Cihideung Udik kabupaten Bogor. http://dikti.
go.id/pkm/pkmi-award/pdf/pkmi06-016.pdf.
Ekarini, S.M. 2008. Analisis Faktor-Faktor yang berpengaruh Terhadap
Partisipasi Pria dalam KB di Kecamatan Selo Kabupaten
Boyolali.
Tesis S2, Universitas Diponegoro. Tidak
Dipublikasikan.
Kusumaningrum, R. 2009. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemilihan
Jenis Kntrasepsi yang Digunakan Pada Pasangan Usia Subur.
Universitas Diponegoro, Semarang. Tugas Akhir S1. Tidak
dipublikasikan
Notoatmodjo, S. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta.
Jakarta.
Suprihastuti, dkk. 2000. Analisis Data Sekunder SDKI 97 Pengambilan
Keputusan Penggunaan Alkon Pria di Indonesia. D.I.
Yogyakarta.
Undang-Undang Nomor 10 tentang Pembangunan Kependudukan dan
Keluarga Sejahtera. 1992
Wijayanti, Titik. 2004. Studi Kualitatif Alasan Akseptor Laki-Laki tidak

154 Egalita Jurnal Kesetaraan dan Keadilan Gender, Volume VI No. 2 Juni 2011, hlm. 142-154

Memilih MOP sebagai Kontrasepsi Pilihan di desa Timpik
kecamatan Susukan kabupaten Semarang. Program Studi Diploma
IV Kebidanan Stikes Ngudi Waluyo. Ungaran.

Dokumen yang terkait

EFEKTIFITAS BERBAGAI KONSENTRASI DEKOK DAUN KEMANGI (Ocimum basilicum L) TERHADAP PERTUMBUHAN JAMUR Colletotrichum capsici SECARA IN-VITRO

4 157 1

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

APRESIASI IBU RUMAH TANGGA TERHADAP TAYANGAN CERIWIS DI TRANS TV (Studi Pada Ibu Rumah Tangga RW 6 Kelurahan Lemah Putro Sidoarjo)

8 209 2

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

FENOMENA INDUSTRI JASA (JASA SEKS) TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU SOSIAL ( Study Pada Masyarakat Gang Dolly Surabaya)

63 375 2

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

PROSES KOMUNIKASI INTERPERSONAL DALAM SITUASI PERTEMUAN ANTAR BUDAYA STUDI DI RUANG TUNGGU TERMINAL PENUMPANG KAPAL LAUT PELABUHAN TANJUNG PERAK SURABAYA

97 602 2

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26