PERSEPSI PEREMPUAN TENTANG POLIGAMI YANG DILAKUKAN PARA TOKOH AGAMA ISLAM ”USTADZ” (Studi Deskriptif Kualitatif Mengenai Persepsi Perempuan Tentang Poligami Yang Dilakukan Para Tokoh Agama Islam ”Ustadz”).

(1)

PERSEPSI PEREMPUAN TENTANG POLIGAMI YANG DILAKUKAN PARA TOKOH AGAMA ISLAM ”USTADZ”

(Studi Deskriptif Kualitatif Mengenai Persepsi Perempuan Tentang Poligami Yang Dilakukan Para Tokoh Agama Islam ”Ustadz”)

SKRIPSI

Oleh :

Dhinar Kamesworo NPM. 0743110346

YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ”VETERAN” JAWA TIMUR

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

SURABAYA 2011


(2)

Persepsi Perempuan Tentang Poligami Yang Dilakukan Para Tokoh Agama Islam “Ustadz”

(Studi Deskriptif Kualitatif Persepsi Perempuan Tentang Poligami Yang Dilakukan Para Tokoh Agama Islam “Ustadz”)

Oleh:

DHINAR KAMESWORO NPM. 0743110346

Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Pada Tanggal 13 Juni 2011

Mengetahui, Pembimbing

Dra. Dyva Claretta, Msi NPT. 3 6601 94 00251

Tim Penguji 1. Ketua

2.Sekretaris

Dra. Dyva Claretta, Msi NPT. 3 6601 94 00251

3.

Mengetahui, DEKAN


(3)

Persepsi Perempuan Tentang Poligami Yang Dilakukan Para Tokoh Agama Islam “Ustadz”

(Studi Deskriptif Kualitatif Persepsi Perempuan Tentang Poligami Yang Dilakukan Para Tokoh Agama Islam “Ustadz”)

Disusun Oleh: DHINAR KAMESWORO

NPM. 0743110346

Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi

Menyetujui, Pembimbing Utama

Dra. Dyva Claretta, Msi NPT. 3 6601 94 00251

Mengetahui, DEKAN


(4)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Puji syukur kehadirat ALLAH SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya kepada penulis, sehingga penulis bisa menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul ”Persepsi Perempuan Tentang Poligami Yang Dilakukan Para Tokoh Agama Islam ”Ustadz” ”.

Penelitian ini disusun sebagai persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Strata (S1) pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jatim.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Dra. Dyva Claretta M.si, selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk mengoreksi serta memberikan petunjuk dan bimbingannya yang sangat bermanfaat guna penyusunan skripsi ini. Peneliti juga berusaha memberi sebaik mungkin namun demikian, penulis menyadari akan kemampuan dan keterbatasan pengetahuan serta pengalaman penulis. Sehingga masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini, maka dari itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna kesempurnaan proposal ini. Skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa adanya bantuan serta dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis juga mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat :

1. Allah SWT yang selalu melimpahkan Rahmat dan HidayahNYA sehingga penulis di berikan kelancaran dalam menyusun skripsi ini.


(5)

2. Dra. Hj. Suparwati, Msi, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Pembangunan Nasional ”VETERAN” Jawa Timur, Surabaya.

3. Dra. Sumardjijati, M.Si, selaku Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Pembangunan Nasional ”VETERAN” Jawa Timur, Surabaya.

4. Bapak. Juwito, S.Sos, M.Si, selaku Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Pembangunan Nasional ” VETERAN” Jawa Timur, Surabaya.

5. Kedua Orang Tua yang tercinta penulis Drs. H. Suwarno dan Hj. Rudy Juliastuti, yang telah memberikan limpahan cinta, kasih sayang, perhatian, do’a, dan bimbingannya kepada penulis.

6. Kakakku tercinta Ardha Yudhoagiono, S.E yang juga turut memberikan do’a dan semangat demi kelancaran penyusunan skripsi ini.

7. Ibu. Syafrida Nurrahmi F, S.Sos, selaku dosen wali yang senantiasa memberikan dorongan dan sarannya kepada penulis untuk kelancaran studi penulis.

8. Sahabat – sahabat penulis Silania Utami, Firdausi Anidah, Samuel Sulistyo Hadi, Galuh Oke P, yang selalu bimbingan bersama, Marlin Christina NN, Yuliana Dewi, Meta Serilda, Dewi Novita, Uno Fam’s dan teman-teman lainnya yang senantiasa memberikan do’a, dukungan dan semangat.


(6)

9. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional ”VETERAN ” Jawa Timur, Surabaya.

10. Semua Orang yang senantiasa memberikan saran dan kritik guna kebaikan penulis dalam penyusunan skripsi ini.

Akhirnya segala amal baik yang mereka berikan kepada penulis semoga mendapat balasan dari Allah SWT. Dan penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan.


(7)

DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Lembar Persetujuan Skripsi ... ii

Kata Pengantar ... iii

Daftar Isi ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 11

1.3 Tujuan Penelitian ... 11

1.4 Manfaat Penelitian ... 11

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 12

2.1 Landasan Teori ... 12

2.1.1 Komunikasi Interpersonal ... ... 12

2.1.1.1 Hubungan Interpersonal ... 13

2.1.1.2 Efektivitas Komunikasi Interpersonal ... 15

2.1.2 Persepsi ... 18

2.1.2.1 Jenis Persepsi ... 20

2.1.2.2 Ciri – ciri Umum Dunia Persepsi ... 22

2.1.2.3 Faktor – faktor yang Berpengaruh pada Persepsi ... 23


(8)

2.1.3 Perkawinan ... 29

2.1.3.1 Prinsip Perkawinan ... 31

2.1.3.2 Hikmah kawin ... 34

2.1.3.3 Hukum Kawin ... 37

2.1.4 Poligami ... 38

2.1.4.1 Sejarah Poligami ... 39

2.1.4.2 Ayat – ayat dan Hadist Poligami ... 41

2.1.4.3 Hikmah Poligami ... 45

2.1.4.4 Hukum Poligami ... 47

2.1.4.5 Syarat Poligami ... 48

2.1.4.6 Dampak Poligami... 50

2.1.5 Perempuan Dalam Pengertian Islam ... 50

2.1.6 Tokoh Agama Islam... 57

2.2 Kerangka Berpikir ... 59

BAB III METODE PENELITIAN ... 61

3.1 Metode Penelitian ... 61

3.2 Definisi Konseptual ... 62

3.2.1 Persepsi ... 62

3.2.2 Poligami ... 63

3.2.3 Ustadz ... 63

3.2.4 Perempuan ... 64


(9)

3.5 Teknik Pengumpulan Data... 66

3.5 Teknik Analisis Data... 68

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 70

4.1 Gambaran Umum Objek Penelitian dan Penyajian Data ... 70

4.1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian ... 70

4.1.1.1 Perempuan... 70

4.2 Analisis Data ... 74

4.2.1 Persepsi Perempuan Terhadap Poligami Yang Dilakukan Para Tokoh Agama Islam ”Ustadz” ... 74

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 107

5.1 Kesimpulan ... 107

5.2 Saran... 109

DAFTAR PUSTAKA ... LAMPIRAN ...


(10)

ABSTRAKSI

DHINAR KAMESWORO, PERSEPSI PEREMPUAN TENTANG POLIGAMI YANG DILAKUKAN PARA TOKOH AGAMA ISLAM “USTADZ” ( Studi Deskripstif Kualitatif Persepsi Perempuan Tentang Poligami Yang Dilakukan Para Tokoh Agama Islam “Ustadz” )

Penelitian ini didasarkan pada maraknya fenomena para tokoh agama Islam “ustadz” yang melakukan poligami, baik itu secara agama dan hukum Negara maupun secara agama Islam atau secara siri dan dapat menimbulkan persepsi perempuan baik positif maupun negatif. Seperti halnya Aa’ Gym ustadz yang sudah terkenal dengan namanya dan melakukan poligami. Tidak hanya itu saja, namun masih banyak para tokoh agama Islam “ustadz” yang lain melakukan poligami dengan beredarnya informasi melalui media, yang tersebar luas di kalangan masyarakat. Ustadz sebagai panutan masyarakat yang identik dengan memiliki satu orang istri, namun ternyata ustadz yang memiliki istri lebih dari satu juga tidak sedikit.

Persepsi adalah inti komunikasi. Persepsi merupakan proses yang tidak lepas dari kehidupan manusia, sehingga sepanjang hidupnya manusia tidak pernah luput dari kegiatan mempersepsi. Persepsi juga dapat diartikan sebagai pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan – hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi atau menafsirkan pesan. Persepsi dikatakan sebagai proses internal dalam diri manusia yang memungkinkan seseorang untuk memilih, mengorganisirkan, dan menafsirkan rangsangan yang diterimanya dari lingkungannya, dan proses tersebut mempengaruhi perilaku seseorang tersebut. Cara pandang pada penelitian ini akan menentukan bagaimana persepsi perempuan tentang poligami yang dilakukan para tokoh agama Islam “ustadz”.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif yang bertujuan untuk menjelaskan fenomena sedalam – dalamnya melalui pengumpulan data sedalam – dalamnya. Dan jika data yang dikumpulkan sudah mendalam, dan dapat menjelaskan fenomena yang diteliti, maka tidak perlu mencari sampling lainnya. Yang lebih ditekankan dalam penelitian ini adalah persoalan kedalaman ( kualitas ) data, bukannya banyaknya ( kuantitas ) data.

Dari hasil analisis penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa perempuan mempersepsikan poligami yang dilakukan para tokoh agama Islam “ustadz” yaitu poligami mempunyai arti suatu sistem perkawinan antara satu orang pria dengan lebih dari seorang wanita dan poligami merupakan suatu ujian berat bagi seorang laki – laki, jika laki – laki tersebut mengetahuinya. Pada hakekatnya, tidak ada perempuan yang rela dan bersedia untuk dipoligami. Secara psikologis semua istri akan merasa sakit hati bila melihat suaminya berhubungan dengan perempuan lain. Ini disebabkan karena permasalahan ini biasanya yang memicu hancurnya sebuah keluarga, sehingga banyak ungkapan – ungkapan yang muncul di masyarakat mengenai poligami.Sehingga terdapat dua pendapat sehubungan dengan masalah poligami. Pertama, asas perkawinan dalam Islam


(11)

adalah monogami. Mereka beralasan bahwa Allah SWT memperbolehkan poligami dengan syarat harus adil. Kedua, asas perkawinan dalam Islam adalah poligami. Alasannya, terdapat pada surat An-Nisa` ayat 3 dan 129 tidak terdapat pertentangan. Keadilan yang dimaksud adalah keadilan lahiriah yang dapat dikerjakan manusia, tidak hanya adil dalam arti cinta & kasih sayang. Sebagai umat manusia biasa yang memiliki segala kekurangan dan kelebihan. Jika ustadz melakukan poligami sebaiknya berpikir terlebih dahulu sehingga tidak ada yang merasa kecewa dan dikecewakan seperti kaum perempuan yang menjadi pelaku utama dalam poligami tersebut. Ustadz juga merupakan panutan masyarakat, dan menjadi idola bagi kaum perempuan. Ustadz bisa dinilai pantas sebagai contoh dimasyarakat dengan akhlak yang baik, sholeh, dan bahkan identik dengan setia atau memiliki istri hanya satu (menganut monogami).


(12)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pernikahan merupakan suasana baik yang menjurus kepada pembangunan serta ikatan kekeluargaan, memelihara kehormatan dan menjaganya dari segala keharaman, menikah juga merupakan ketenangan dan tuma'ninah, karena dengannya bisa didapat kelembutan, kasih sayang serta kecintaan diantara suami dan istri. Setiap manusia memiliki kebahagiaan keluarga yang selalu bersama dalam setiap waktu. Keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dalam kehidupan manusia, tempat belajar dan menyatakan diri sebagai makhluk sosial dalam interaksi sosial dengan kelompoknya.

Kebahagiaan keluarga dalam pernikahan yang harmonis merupakan dambaan setiap pasangan suami - istri. Kehidupan keluarga yang penuh harmonis akan sangat bergantung dari pertemuan di antara anggota keluarga yang setara dan berkeadilan dengan menghargai posisi dan peran masing – masing keluarga. Ketika seorang laki – laki didaulat sebagai suami yang menikahi seorang perempuan untuk dijadikan istri dan memutuskan untuk membangun rumah tangga dengan melangsungkan pernikahan.

Salah satu masalah utama yang sering terjadi dalam sebuah hubungan perkawinan yaitu tidak adanya keseimbangan dari sisi ekonomi / materi, seksualitas, keotoriteran dalam keluarga, berpoligami dan sebagainya. Hampir setiap masalah yang timbul selalu adanya percekcokan, perbedaan pendapat antara


(13)

suami – istri. Salah satu bentuk permasalahan yang terjadi adanya seorang suami yang menjadi tokoh agama Islam “ustadz” yang identik menganut monogami ( memiliki satu istri ), saat ini menganut poligami ( memiliki istri lebih dari satu ). Dalam kasus poligami ini hubungan perkawinan antara suami untuk menikah lagi memang sangat sulit diterima oleh istri dengan kemajuan zaman saat ini, bahkan begitu banyaknya istri untuk menuntut cerai atau berpisah jika suami ingin menikah lagi.

Saat ini terdapat banyak tokoh agama Islam “ustadz” yang sudah menjadi panutan masyarakat yaitu Aa’ Gym dan Syekh Puji untuk melakukan poligami. Masing – masing kedua tokoh agama Islam “ustadz” ini memiliki selera yang berbeda dalam memilih pasangan untuk dijadikan istri kedua. Aa’ Gym memilih untuk menikah lagi dan memiliki istri, pasti terdapat berbagai alasan. Maka dari itu, dengan persetujuan istri pertama Teh Ninih, Aa’ Gym menikah dengan seorang wanita yang bernama Teh Rini. Pernikahan ini berlangsung hingga Teh Ninih mampu menerima kehadiran orang kedua dalam kehidupan baru bersama sang suami. Pernikahan diam – diam Aa’ Gym yang telah menjadi pembicaraan di kalangan masyarakat, dikarenakan Teh Rini merupakan seorang janda cantik, tinggi semampai, mantan model. Dengan berjalannya waktu dan pemberitaan yang selama ini beredar, Teh Ninih memilih bercerai. Aa’ Gym memberikan talak dua kali dan satu kali rujuk kepada Teh Ninih. Menurut KH Miftah Farid Ketua MUI Bandung, dengan dua kali talak dan satu kali rujuk, maka jika keduanya ingin rujuk harus dinikahkan kembali, sebab masa idahnya juga telah lewat.


(14)

Berbeda dengan Syekh Puji yang telah memilih untuk menikah lagi dengan bocah yang masih berumur 12 tahun. Pernikahan ini sangat kontroversi di kalangan masyarakat, dengan alasan Syekh Puji untuk menikah lagi karena atas dasar agama dan ibadah. Akan tetapi, timbul pertanyaan mengapa harus dengan bocah berumur 12 tahun?. Namun, menurut pandangan Dosen Psikologi Politik Pasca Sarjana Universitas Indonesia (UI) Hamdi Muluk alasan itu hanya untuk melindungi dirinya sendiri. Sebab secara psikologi, perilaku Syekh Puji bisa dikatakan pengidap peadophilia. Paedophilia adalah sifat kejiwaan manusia yang mempunyai ketertarikan kepada anak di bawah umur. Bahkan beredar berita bahwa Syekh Puji ingin menikahi anak berumur 9 dan 7 tahun. Rektor UIN Jakarta, Prof. Azumardi Azra juga berpendapat bahwa agama seharusnya tidak dijadikan alasan pembenaran oleh Syekh Puji. Secara fiqih memang wanita bisa dinikahi setelah dewasa, tandanya ya menstruasi. Tapi ada UU Perkawinan yang mengatur batas umur minimal 17 tahun, kalau di bawah itu ya artinya menikahi anak-anak.

Dalam sebuah keluarga peranan utama yaitu laki – laki memang sangat dominan terhadap perempuan, dan perempuan tidak dapat tampil dalam ruang-ruang publik, tidak boleh keluar rumah untuk memperlihatkan kemampuan dan keahlian yang tersimpan bagi kalangan masyarakat, bahkan mereka dicegah untuk mendapatkan hak-hak memperoleh pendidikan yang layak. Yang mengenaskan justru diperlakukan berbeda lahir karena keyakinan mereka demi menjaga kesucian perempuan, menjauhkannya dari fitnah, mencegahnya dari perlakuan tidak baik dari lelaki yang memiliki niatan buruk dan lain-lain.


(15)

Banyak pandangan yang keliru dapat mengakibatkan penyelewengan atas peran perempuan dalam masyarakat, sehingga perempuan selalu menjadi objek untuk diskriminasi dan eksploitasi pihak lelaki. Lelaki selalu menjadi penentu segala hal tanpa harus perlu melibatkan suara-suara perempuan. Namun, kehadiran kaum perempuan telah memberikan warna tersendiri bagi dinamika kehidupan itu sendiri kendati sumbangsih mereka lebih sering diklaim tidak sedahsyat dengan apa yang telah diraih kaum laki-laki.

Kenyataannya untuk menilai poligami dari segi kacamata yang kita pakai adalah produk modern. Dalam masa modern masih ada pihak ataupun perlakuan yang menempatkan kaum perempuan hanya sekadar sebagai pelengkap. Berabad-abad lamanya perempuan hidup tatanan patriarki yang sungguh tidak berpihak pada asas egaliter sehingga aktivitas yang dilakukan lebih bernuasa pelayan dalam segala aspek; memenuhi kewajiban sebagai ibu rumah tangga, mengasuh anak, dan melayani suami sedangkan perkara – perkara yang ada di luar rumah tangga merupakan wilayah tabu. Poligami dengan berbagai alasan sosial, agama dan ekonomi, sejatinya telah mengelabui masyarakat dan sangat memarjinalkan perempuan. Praktek Poligami yang dilakukan lebih merupakan bentuk eksploitasi seksual daripada penyelamatan perempuan dari kemiskinan dan ketidakadilan.

Dalam sistem sosial, muncul budaya patriarki sebagai bentuk kepercayaan atau ideologi bahwa laki-laki lebih tinggi kedudukannya dibanding perempuan; bahwa perempuan harus dikuasai bahkan dianggap sebagai harta milik laki-laki. Patriarki adalah tata kekeluargaan yang sangat mementingkan garis turunan bapak. Patriarki berkaitan dengan sistem sosial di mana ayah menguasai seluruh


(16)

anggota keluarganya, harta miliknya, serta sumber-sumber ekonomi dan laki - laki juga yang membuat semua keputusan penting bagi keluarga.

Dengan kedudukan lebih tinggi inilah laki – laki memiliki rasa untuk menikahi perempuan lebih dari satu. Akhirnya timbul poligami yang semakin meluas di kalangan masyarakat, dan dampak buruk muncul menjadi sebuah perbincangan bahkan menjadikan berbagai persepsi untuk kaum hawa yaitu perempuan. Namun, adakalanya bahwa istri mengijinkan suami untuk menikah lagi. Bagi suami, memutuskan menikah lagi suami dilatih untuk bersikap adil dalam keluarga terhadap masing – masing istrinya.

Perkawinan poligami dapat mengundang reaksi dari pihak lain terutama keluarga dan masyarakat sekitar. Poligami dapat melahirkan banyak persoalan yang mengancam keutuhan bangunan mahligai rumah tangga dan belum lagi efek domino bagi perkembangan psikologi anak yang lahir dari pernikahan poligami. Mereka merasa kurang diperhatikan, haus kasih sayang dan mereka secara tidak langsung dididik dalam suasana keluarga yang selalu dihiasi dengan pertengkaran orang tuanya.

Pada kenyataannya, terdapat pasangan suami yang melakukan poligami dengan menikahi dua orang perempuan yang satu sama lain dapat menerima. Baik putra – putri dari istri pertama maupun dari istri kedua, sama – sama untuk menerima sang ayah sebagai kepala keluarga yang melakukan poligami. Dalam waktu yang telah dilalui, hubungan perkawinan dengan kedua istrinya tidak menimbulkan masalah. Hal ini akan menciptakan rasa aman dan tenteram dalam keluarga dan kehidupan rumah tangga harus tercipta suasan merasa saling kasih, saling asih, saling cinta, saling melindungi, dan saling sayang pada keluarganya ( Ridwan, 2006 : 132 ).


(17)

Permasalahan poligami dewasa ini semakin bertambah rumit karena banyak terdapat pertentangan oleh berbagai pihak dalam menyetujui diperbolehkannya dilakukan poligami yang berupa diperketatnya persyaratan pelaksanaan poligami. Akan tetapi didalam agama Islam poligami memang diperbolehkan, sehingga di dalam Al – Qur’an hanya ada satu ayat yang memperbolehkan poligami tersebut. Dalil poligami ini firman Allah SWT :

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. an-Nisaa`:3).

Bahwa Allah SWT membolehkan beristri lebih dari satu (polygami), tapi dibatasi sebanyak – banyaknya empat orang, dengan ketentuan mampu berlaku adil antara semua istri itu, baik dalam hal makan, minum, perumahan, giliran, dan sebagainya yang bersifat materi ( Adz – Dzikraa terjemahan dan tafsir : 312 ).

Komunikasi yang timbul dalam permasalahan poligami ini adalah komunikasi interpersonal yang terjadi di dalam keluarga. Komunikasi interpersonal yaitu komunikasi antara orang – orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal ataupun non verbal ( Deddy Mulyana, 2000 : 73 ). Komunikasi interpersonal atau antarpribadi juga merupakan komunikasi yang terjadi dalam keluarga, dimana komunikasi ini berlangsung dalam sebuah interaksi antarpribadi, yaitu antar suami dan istri, ayah dan anak, ibu dan anak, serta anak dan anak.


(18)

apalagi kaum hawa yang berperan sebagai lakon. Persepsi manusia terhadap objek, seseorang, atau kejadian, atau reaksi mereka terhadap hal – hal tersebut didasarkan pada pengalaman masa lalu mereka yang berkaitan dengan orang, objek, atau kejadian serupa ( Riswandi, 2009 : 53 ). Persepsi perempuan sebagai istri yang ingin memiliki suami seperti tokoh agama Islam “ustadz” kebanyakan, selalu memiliki kepribadian baik, sholeh, menganut monogami (hanya memiliki satu istri) dapat menjadi panutan keluarga dan masyarakat, dan sebagainya. Seorang tokoh agama Islam “ustadz” yang memiliki istri lebih dari satu memang selalu menimbulkan kontroversi dan pro kontra dikalangan wanita, ada yang setuju dan ada yang tidak setuju dengan adanya poligami ini. Namun, kebanyakan istri tidak ingin di poligami oleh suami, walaupun dalam Islam poligami memang diperbolehkan.

Persepsi adalah proses internal yang kita lakukan untuk memilih, mengevaluasi dan mengorganisasikan rangsangan dari lingkungan eksternal. Dengan kata lain persepsi adalah cara kita mengubah energi – energi fisik lingkungan kita menjadi pengalaman yang bermakna. Menurut Kenneth A Sereno dan Edward M Bodaken, bahwa persepsi adalah sarana yang memungkinkan kita memperoleh kesadaran akan sekeliling dan lingkungan kita. Sehingga persepsi dapat dikatakan bahwa setiap orang memiliki persepsi berbeda – beda sesuai dengan lingkungan sekitar. Apalagi dengan masalah poligami ini di lingkungan sekitar kita banyak yang terjadi terhadap tokoh agama Islam “ustadz” untuk melakukan poligami.


(19)

Melakukan poligami suami tidak hanya berdasarkan mampu, adil, akan tetapi berpoligami memiliki batas sampai empat orang istri. Berpoligami tidak hanya itu saja yang terjadi, akantetapi banyaknya masalah dan kendala poligami di antara suami – istri. Masalah dalam berpoligami yaitu ketika seorang suami menikah lagi dengan wanita lain, dia tidak berbuat adil dalam hal yang dia mampu, berupa nafkah, mabit, pakaian dan sebagainya. Sebagian suami ada yang tidak dapat mengatur rumah tangganya dengan baik, sehingga dia terkadang berterus terang lebih mencintai salah satu istrinya dari pada yang lain, memuji sebagian istrinya di hadapan istri yang lain dan berbagai kesalahan. Kurangnya kesabaran para perempuan ditambah cemburu yang melampaui batas sehingga menimbulkan permusuhan antar istri.

Berdasarkan contoh kasus di atas antara Aa’ Gym dan Syekh Puji sama – sama memiliki istri lebih dari satu yang telah di setujui oleh istri pertama. Aa’ Gym merupakan panutan masyarakat khususnya ibu – ibu, sehingga kekhawatiran yang di timbulkan sangat besar walaupun sudah di jelaskan mengenai hukum poligami dan dalil poligami. Namun, semua itu pudar dan menghilang setelah masyarakat mengetahui Aa’ Gym melakukan poligami. Poligami yang di lakukan Aa’ Gym berawal untuk memberikan contoh mengenai poligami, pada akhirnya belum bisa memberikan contoh bahwa poligami mudah untuk di lakukan. Istri pertama Aa’ Gym menggugat cerai tanpa di ketahui alasan yang jelas. Di sini dapat di simpulkan bahwa poligami dengan kasus memiliki istri lagi bukan perkara mudah dalam membagi bagian dari segi materi, kasih sayang, dan lain –


(20)

lain tapi ternyata semua itu harus di pikirkan baik buruknya, untuk berbuat adil satu sama lainnya atau tidak bisa berbuat adil.

Begitu pula yang dilakukan Syekh Puji dengan menikahi anak berumur 12 tahun, yang telah mengundang banyak kontroversi di kalangan masyarakat. Poligami yang di lakukan Syekh Puji memang tidak jauh berbeda dengan Aa’ Gym yang mengatasnamakan agama dan ibadah. Namun, dengan menikahi anak di bawah umur merupakan penyakit paedophilia dan telah melanggar UU Perlindungan Anak dengan melakukan hubungan seksual terhadap anak di bawah umur. Dengan begitu kasus poligami yang dilakukan Syekh Puji ini dapat melanggar hukum Negara dan tidak sesuai dengan UU pernikahan yang berlaku di Indonesia. Banyaknya tudingan buruk masyarakat terhadap Syekh Puji untuk menikahi anak di bawah umur hanya demi kepentingan pribadinya. Padahal anak berumur 12 tahun bernama Lutfiana Ulfa ini tidak ingin bercerai dari Syekh Puji.

Melihat fenomena yang terjadi, tokoh agama Islam “ustadz” untuk menikah lagi atau poligami memang bukan hal yang dianggap tidak patut untuk dibicarakan. Dalam hal ini tokoh agama Islam “ustadz” yang telah menjadi panutan masyarakat apalagi perempuan, bahwa untuk memiliki lebih dari satu istri itu dengan alasan agama dan ibadah. Namun, alasan – alasan itu yang akan memiliki banyaknya pro kontra dan kontroversi dikalangan ibu – ibu atau perempuan tentang poligami yang terjadi saat ini. Di lain sisi tidak semua yang terjadi seorang laki – laki u tuk menikah lagi tersebut tidak mampu mempertahankan rumah tangganya dengan keadaan baik, harmonis dan tidak ada komunikasi yang terjalin antara yang satu dengan yang lainnya.


(21)

Dalam penelitian ini yang akan dilakukan penulis yaitu bahwa peranan seorang suami yang menjadi tokoh agama Islam “ustadz” memiliki istri lebih dari satu ( poligami ) yang di hadapkan dengan pro kontra dan kontroversi masyarakat khususnya perempuan yang telah setuju atau tidak setuju dalam poligami. Dari kasus – kasus yang ada mengenai poligami ini, maka persepsi tentang poligami itu sendiri akan berdampak baik atau buruk terhadap perempuan. Sehingga persepsi yang terjadi apakah sesuai dengan apa yang kaum perempuan harapkan atau tidak. Kebanyakan kegagalan persepsi mengenai poligami ini berdasarkan prasangka yang dimiliki setiap orang sesuai dengan yang mereka harapkan. Berprasangka dapat mempengaruhi komunikasi, dan cara terbaik untuk mengurangi prasangka adalah meningkatkan tatap muka dengan mereka dan mengenal mereka lebih baik, meskipun tidak selalu baik dan berhasil dalam segala situasi yang ada.

Dampak buruk mengenai poligami itu sudah menjadi sebuah hal yang berprasangka selalu buruk seperti apa yang dibayangkan setiap perempuan, dengan memiliki suami yang juga memiliki istri lebih dari satu. Dapat dikatakan perempuan atau istri takut bahwa suami akan menikah lagi, dan dengan alasan takut tidak mau dijadikan yang kedua. Berdasarkan sudut pandang perempuan, akan dapat diketahui apakah perempuan setuju atau tidak setuju mengenai poligami tersebut, sehingga dapat diperlihatkan bahwa dampak buruk atau dampak baik dari penelitian yang dilakukan peneliti tersebut.


(22)

11

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang ada, maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimana persepsi perempuan tentang poligami yang dilakukan para tokoh agama Islam “ustadz”?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan persepsi perempuan terhadap poligami yang dilakukan para tokoh agama Islam “ustadz”.

1.4 Manfaat Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Kegunaan Teoritis

Secara ilmu pengetahuan, penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi yang berkaitan dengan persepsi perempuan pada komunikasi interpersonal.

2. Kegunaan Praktis

a. Hasil penelitian ini dapat memberikan pengertian dan penjelasan mengenai poligami dan persepsi perempuan.

b. Memberikan gambaran bagi pembaca, khususnya masyarakat umum mengenai persepsi perempuan tentang tokoh agama Islam ”ustadz” yang berpoligami.


(23)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Komunikasi Interpersonal

Menurut Devito (1989), komunikasi interpersonal adalah penyampaian pesan oleh satu orang dan penerimaan pesan oleh orang lain atau sekelompok kecil orang, dengan berbagai dampaknya dan dengan peluang untuk memberikan umpan balik segera ( Effendy, 2003 : 30 ).

Komunikasi interpersonal adalah komunikasi antara orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal atau nonverbal. Komunikasi interpersonal ini adalah komunikasi yang hanya dua orang, seperti suami istri, dua sejawat, dua sahabat dekat, guru-murid dan sebagainya ( Deddy Mulyana, 2000 : 73 ).

Menurut Effendi, pada hakekatnya komunikasi interpersonal adalah komunikasi antar komunikator dengan komunikan, komunikasi jenis ini dianggap paling efektif dalam upaya mengubah sikap, pendapat atau perilaku seseorang, karena sifatnya yang dialogis berupa percakapan. Arus balik bersifat langsung, komunikator mengetahui tanggapan komunikan ketika itu juga. Pada saat komunikasi dilancarkan, komunikator mengetahui secara pasti apakah komunikasinya positif atau negatif, berhasil atau tidaknya. Jika ia dapat memberikan kesempatan pada komunikan untuk bertanya seluas-luasnya ( Sunarto, 2003 : 13 ).


(24)

Komunikasi interpersonal adalah komunikasi yang membutuhkan pelaku atau personal lebih dari satu orang. R Wayne Pace mengatakan bahwa komunikasi interpersonal adalah Proses komunikasi yang berlangsung antara 2 orang atau lebih secara tatap muka. Komunikasi Interpersonal menuntut berkomunikasi dengan orang lain. Komunikasi jenis ini dibagi lagi menjadi komunikasi diadik, komunikasi publik, dan komunikasi kelompok kecil. Komunikasi Interpersonal juga berlaku secara kontekstual bergantung kepada keadaan, budaya, dan juga konteks psikologikal. Cara dan bentuk interaksi antara individu akan tercorak mengikuti keadaan-keadaan ini.

2.1.1.1 Hubungan Interpersonal

Komunikasi yang efektif ditandai dengan hubungan interpersonal yang baik. Kegagalan komunikasi sekunder terjadi, bila isi pesan kita dipahami, tetapi hubungan di antara komunikan menjadi rusak. Anita Taylor mengatakan Komunikasi interpersonal yang efektif meliputi banyak unsur, tetapi hubungan interpersonal barangkali yang paling penting.

Untuk menumbuhkan dan meningkatkan hubungan interpersonal, kita perlu meningkatkan kualitas komunikasi. Beberapa faktor yang mempengaruhi komunikasi interpersonal adalah: ( Rakhmat, 2003 : 129 – 138 ).

1. Percaya (trust)

Bila seseorang punya perasaan bahwa dirinya tidak akan dirugikan, tidak akan dikhianati, maka orang itu pasti akan lebih mudah membuka dirinya. Percaya pada orang lain akan tumbuh bila ada faktor-faktor sebagai berikut:


(25)

a. Karakteristik dan maksud orang lain, artinya orang tersebut memiliki kemampuan, keterampilan, pengalaman dalam bidang tertentu. Orang itu memiliki sifat-sifat bisa diduga, diandalkan, jujur dan konsisten.

b. Hubungan kekuasaan, artinya apabila seseorang mempunyai kekuasaan terhadap orang lain, maka orang itu patuh dan tunduk.

c. Kualitas komunikasi dan sifatnya mengambarkan adanya keterbukaan. Bila maksud dan tujuan sudah jelas, harapan sudah dinyatakan, maka sikap percaya akan muncul.

2. Sikap suportif

Sikap suportif adalah sikap yang mengurangi sikap defensif dalam komunikasi. Orang bersikap defensif bila ia tidak menerima, tidak jujur, dan tidak empatis. Beberapa ciri perilaku suportif yaitu:

a. Evaluasi dan deskripsi: maksudnya, kita tidak perlu memberikan kecaman atas kelemahan dan kekurangannya.

b. Orientasi maslah: mengkomunikasikan keinginan untuk kerja sama, mencari pemecahan masalah. Mengajak orang lain bersama-sama menetapkan tujuan dan menetukan cra mencapai tujuan.

c. Spontanitas: sikap jujur dan dianggap tidak menyelimuti motif yang pendendam.

d. Empati: menganggap orang lain sebagai persona.

e. Persamaan: tidak mempertegas perbedaan, komunikasi tidak melihat perbedaan walaupun status berbeda, penghargaan dan rasa hormat terhadap perbedaan-perbedaan pandangan dan keyakinan.


(26)

f. Profesionalisme: kesediaan untuk meninjau kembali pendapat sendiri. 3. Sikap terbuka, kemampuan menilai secara obyektif, kemampuan

membedakan dengan mudah, kemampuan melihat nuansa, orientasi ke isi, pencarian informasi dari berbagai sumber, kesediaan mengubah keyakinannya, profesional dll.

Komunikasi ini dapat dihalangi oleh gangguan komunikasi dan oleh kesombongan, sifat malu dll.

2.1.1.2 Efektivitas Komunikasi Interpersonal

Efektivitas Komunikasi Interpersonal dimulai dengan lima kualitas umum yang dipertimbangkan yaitu Keterbukaan (openness), Empati (empathy), Sikap mendukung (supportiveness), Sikap positif (positiveness), dan Kesetaraan (equality).

1. Keterbukaan (Openness)

Kualitas keterbukaan mengacu pada sedikitnya tiga aspek dari komunikasi interpersonal. Pertama, komunikator interpersonal yang efektif harus terbuka kepada orang yang diajaknya berinteraksi. Ini tidaklah berarti bahwa orang harus dengan segera membukakan semua riwayat hidupnya.memang ini mungkin menarik, tapi biasanya tidak membantu komunikasi. Sebaliknya, harus ada kesediaan untuk membuka diri mengungkapkan informasi yang biasanya disembunyikan, asalkan pengungkapan diri ini patut. Aspek keterbukaan yang kedua mengacu kepada kesediaan komunikator untuk bereaksi secara jujur terhadap stimulus yang datang. Orang yang diam, tidak


(27)

kritis, dan tidak tanggap pada umumnya merupakan peserta percakapan yang menjemukan. Kita ingin orang bereaksi secara terbuka terhadap apa yang kita ucapkan. Dan kita berhak mengharapkan hal ini. Tidak ada yang lebih buruk daripada ketidak acuhan, bahkan ketidaksependapatan jauh lebih menyenangkan.

2. Empati (empathy)

Henry Backrack (1976) mendefinisikan empati sebagai ”kemampuan seseorang untuk ‘mengetahui’ apa yang sedang dialami orang lain pada suatu saat tertentu, dari sudut pandang orang lain itu, melalui kacamata orang lain itu.” Bersimpati, di pihak lain adalah merasakan bagi orang lain atau merasa ikut bersedih. Sedangkan berempati adalah merasakan sesuatu seperti orang yang mengalaminya, berada di kapal yang sama dan merasakan perasaan yang sama dengan cara yang sama. Orang yang empatik mampu memahami motivasi dan pengalaman orang lain, perasaan dan sikap mereka, serta harapan dan keinginan mereka untuk masa mendatang. Kita dapat mengkomunikasikan empati baik secara verbal maupun non verbal. Secara nonverbal, kita dapat mengkomunikasikan empati dengan memperlihatkan (1) keterlibatan aktif dengan orang itu melalui ekspresi wajah dan gerak-gerik yang sesuai; (2) konsentrasi terpusat meliputi kontak mata, postur tubuh yang penuh perhatian, dan kedekatan fisik; serta (3) sentuhan atau belaian yang sepantasnya.


(28)

3. Sikap mendukung (supportiveness)

Hubungan interpersonal yang efektif adalah hubungan dimana terdapat sikap mendukung (supportiveness). Suatu konsep yang perumusannya dilakukan berdasarkan karya Jack Gibb. Komunikasi yang terbuka dan empatik tidak dapat berlangsung dalam suasana yang tidak mendukung. Kita memperlihatkan sikap mendukung dengan bersikap (1) deskriptif, bukan evaluatif, (2) spontan, bukan strategic, dan (3) provisional, bukan sangat yakin.

4. Sikap positif (positiveness)

Kita mengkomunikasikan sikap positif dalam komunikasi interpersonal dengan sedikitnya dua cara: (1) menyatakan sikap positif dan (2) secara positif mendorong orang yang menjadi teman kita berinteraksi. Sikap positif mengacu pada sedikitnya dua aspek dari komunikasi interpersonal. Pertama, komunikasi interpersonal terbina jika seseorang memiliki sikap positif terhadap diri mereka sendiri. Kedua, perasaan positif untuk situasi komunikasi pada umumnya sangat penting untuk interaksi yang efektif. Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada berkomunikasi dengan orang yang tidak menikmati interaksi atau tidak bereaksi secara menyenangkan terhadap situasi atau suasana interaksi.

5. Kesetaraan (Equality)

Dalam setiap situasi, barangkali terjadi ketidaksetaraan. Salah seorang mungkin lebih pandai. Lebih kaya, lebih tampan atau cantik, atau lebih atletis daripada yang lain. Tidak pernah ada dua orang yang benar-benar setara


(29)

dalam segala hal. Terlepas dari ketidaksetaraan ini, komunikasi interpersonal akan lebih efektif bila suasananya setara. Artinya,, harus ada pengakuan secara diam-diam bahwa kedua pihak sama-sama bernilai dan berharga, dan bahwa masing-masing pihak mempunyai sesuatu yang penting untuk disumbangkan. Dalam suatu hubungan interpersonal yang ditandai oleh kesetaraan, ketidak-sependapatan dan konflik lebih dillihat sebagai upaya untuk memahami perbedaan yang pasti ada daripada sebagai kesempatan untuk menjatuhkan pihak lain.kesetaraan tidak mengharuskan kita menerima dan menyetujui begitu saja semua perilaku verbal dan nonverbal pihak lain. Kesetaraan berarti kita menerima pihak lain, atau menurut istilah Carl rogers, kesetaraan meminta kita untuk memberikan ”penghargaan positif tak bersyarat” kepada orang lain.

2.1.2 Persepsi

Persepsi adalah inti komunikasi, penafsiran adalah inti persepsi, yang identik dengan penyandian bolak – balik dalam proses komunikasi. Menurut Ujang (2000 : 112) bahwa persepsi adalah bagaimana cara kita memandang dunia sekitar kita. Karena cara atau proses tersebut berbeda untuk tiap individu sesuai keinginan, nilai – nilai, serta harapan masing – masing individu, maka persepsi mengenai suatu hal tersebut tentunya berbeda untuk setiap individu. Selanjutnya, masing – masing individu akan cenderung bertindak dan beraksi berdasarkan persepsinya masing – masing.


(30)

Persepsi biasanya digunakan untuk mengungkapkan tentang pengalaman terhadap sesuatu benda ataupun sesuatu kejadian yang dialami. Persepsi ini didefinisikan sebagai proses yang menggabungkan dan mengorganisir data – data indra kita ( pengindraan ) untuk dikembangkan sedemikian rupa sehingga kita dapat menyadari di sekeliling kita, termasuk sadar akan diri kita sendiri. Definisi lain menyebutkan, bahwa persepsi adalah kemampuan membeda-bedakan, mengelompokkan, memfokuskan perhatian terhadap satu objek rangsang. Dalam proses pengelompokan dan membedakan ini persepsi melibatkan proses interpretasi berdasarkan pengalaman terhadap satu peristiwa atau objek.

Proses pengelompokan, membedakan, dan mengorganisir informasi pada dasarnya dapat terjadi pada tingkatan sensasi. Sensasi sendiri adalah sistem yang mengoordinasi sejumlah peralatan untuk mengamati yang dirancang secara khusus. Dalam proses kerjanya sistem sensasi ini dikerjakan dalam sebuah proses mendeteksi sejumlah rangsang sebagai bahan informasi yang diubah menjadi impuls saraf dan dikirim ke otak melalui benang-benang saraf. Oleh karenanya, secara sederhana proses sensasi ini diartikan sebagai alat penerima ( receptor ) sejumlah rangsang yang akan diteruskan ke otak yang kemudian akan menyeleksi rangsang yang diterima tersebut. Hanya saja dalam sensasi tidak terjadi interpretasi atau pemberian arti terhadap stimulus.

Pada persepsi pemberian arti ini menjadi hal penting dan utama. Pemberian arti ini dikaitkan dengan isi pengalaman seseorang. Dengan kata lain, seseorang menafsirkan satu stimulus berdasarkan mibat, harapan dan


(31)

ketertarikannya dengan pengalaman yang dimilikinya. Oleh karenanya, persepsi juga dapat didefinisikan sebagai interpretasi berdasarkan pengalaman.

2.1.2.1 Jenis Persepsi

Menurut Mulyana dalam bukunya Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar (2001 : 171) pada dasarnya persepsi manusia terbagi menjadi dua, yaitu :

1. Persepsi terhadap objek atau lingkungan fisik

Persepsi tiap orang dalam menilai suatu objek atau lingkungan fisik tidak selalu sama. Terkadang dalam mempersepsi lingkungan fisik, seseorang dapat melakukan kekeliruan, sebab terkadang indera seseorang menipu diri orang tersebut, hal tersebut dikarenakan :

a. Kondisi yang mempengaruhi pandangan seseorang, seperti keadaan cuaca yang membuat orang melihat fatamorgana, pembiasan cahaya seperti dalam peristiwa ketika seseorang melihat bahwa tongkat yang dimasukkan ke dalam air terlihat bengkok padahal sebenarnya tongkat tersebut lurus. Hal inilah yang disebutkan dengan ilusi.

b. Latar belakang pengalaman yang berbeda antara seseorang dengan orang lain.

c. Budaya yang berbeda.

d. Suasana psikologis yang berbeda juga membuat perbedaan persepsi seseorang dengan orang lain dalam mempersepsi suatu objek.


(32)

Persepsi sosial adalah proses menangkap arti objek-objek sosial dengan kejadian-kejadian yang dialami oleh seseorang dalam lingkungan orang tersebut. Persepsi sosial adalah penilaian-penilaian yang terjadi dalam upaya manusia memahami orang lain. Persepsi sosial merupakan sumber penting dalam pola interaksi antar manusia, karena persepsi sosial seseorang menentukan hubungan seseorang dengan orang lain. Hal penting namun bukan tugas yang mudah bahkan mungkin cenderung sulit dan kompleks.

Persepsi sosial dikatakan lebih sulit dan kompleks disebabkan :

a. Manusia bersifat dinamis, oleh karena itu persepsi terhadap manusia dapat berubah dari waktu ke waktu, dan lebih cepat dari persepsi terhadap objek. b. Persepsi sosial tidak hanya menanggapi sifat-sifat yang tampak dari luar

namun juga sifat-sifat atau alasan-alasan internalnya.

c. Persepsi sosial bersifat interaktif karena pada saat seseorang mempersepsi orang lain, orang lain tersebut tidak diam saja, melainkan ikut mempersepsi orang tersebut (Mulyana, 2001: 171-176)

Persepsi sosial terdiri atas tiga elemen, yaitu :

1. Pribadi (person) yaitu persepsi sosial yang dilakukan dnegan cepat ketika melihat penampilan seseorang. Contoh : jenis kelamin, ras, usia, latar belakang etnik, aspek demografi lainnya.

2. Situasi (situation) yaitu persepsi sosial seseorang mengenai keadaan yang sedang dialami berdasarkan pengalaman terdahulu. Contoh : seseorang pernah melewati suatu jalan asing yang dulu pernah ia lewati ketika tersesat.


(33)

3. Perilaku ( behavior ) persepsi sosial yang dibentuk berdasarkan gejala-gejala perilaku orang lain. Contoh : menilai seseorang berdasarkan sifat dan tingkah lakunya.

2.1.2.2 Ciri – ciri Umum Dunia Persepsi

Pengindraan terjadi dalam suatu konteks tertentu, konteks ini disebut sebagai dunia persepsi. Agar dihasilkan suatu pengindraan yang bermakna, ada ciri-ciri umum tertentu dalam dunia persepsi : (Abdul Rahman Saleh, 2009 : 111)

1. Modalitas : rangsang-rangsang yang diterima harus sesuai dengan modalitas

tiap-tiap indra, yaitu sifat sensori dasar dan masing-masing indra (cahaya untuk penglihatan; bau untuk penciuman; suhu bagi perasa; bunyi bagi pendengaran; sifat permukaan bagi peraba dan sebagainya).

2. Dimensi ruang : dunia persepsi mempunyai sifat ruang ( dimensi ruang ); kita dapat mengatakan atas bawah, tinggi rendah, luas sempit, latar depan latar belakang, dan lain-lain.

3. Dimensi waktu : dunia persepsi mempunyai dimensi waktu, seperti cepat

lambat, tua muda dan lain-lain.

4. Struktur konteks, keseluruhan yang menyatu : objek-objek atau gejala-gejala dalam dunia pengamatan mempunyai struktur yang menyatu dengan konteksnya. Struktur dan konteks ini merupakan keseluruhan yang menyatu.

5. Dunia penuh arti : dunia persepsi adalah dunia penuh arti. Kita cenderung

melakukan melakukan pengamatan atau persepsi pada gejala-gejala yang mempunyai makna bagi kita, yang ada hubungannya dalam diri kita.


(34)

2.1.2.3 Faktor – faktor yang Berpengaruh pada Persepsi

Persepsi lebih bersifat pada psikologi daripada merupakan proses pengindraaan saja maka ada beberapa faktor yang memengaruhi : ( Abdul Rahman Saleh 2009 : 128-129).

1. Perhatian yang selektif

Dalam kehidupan manusia setiap saat akan menerima banyak sekali rangsang dari lingkungannya. Meskipun demikian, ia tidak harus menanggapi semua rangsang yang diterimanya untuk itu, individunya memusatkan perhatiannya pada rangsang – rangsang tertentu saja. Dengan demikian, objek – objek atau gejala lain tidak akan tampil ke muka sebagai objek pengalaman.

2. Ciri – ciri rangsang

Rangsang yang bergerak di antara rangsang yang diam akan lebih menarik perhatian. Demikian juga rangsang yang paling besar di antara yang kecil, yang kontras dengan latar belakangnya dan intensitas rangsangnya paling kuat.

3. Nilai dan kebutuhan individu

Seorang seniman tentu punya pola dan cita rasa yang berbeda dalam pengamatannya dibanding seorang bukan seniman. Penelitian juga menunjukkan, bahwa anak – anak dari golongan ekonomi rendah melihat koin lebih besar daripada anak – anak orang kaya.

4. Pengalaman dahulu

Pengalaman – pengalaman terdahulu sangat memengaruhi bagaimana seseorang mempersepsi dunianya. Cermin bagi kita tentu bukan barang baru,


(35)

tetapi lain halnya bagi orang – orang mentawai di pedalaman Siberut atau saudara kita di pedalaman Irian.

2.1.2.4 Proses Persepsi

Dalam proses persepsi terdapat tiga komponen, yaitu : a. Seleksi

Seleksi adalah proses penyaringan oleh indera terhadap rangsangan dari luar, intensitas dan jenisnya dapat banyak atau sedikit.

b. Interpretasi

Interpretasi yaitu proses mengorganisasikan informasi sehingga mempunyai arti bagi seseorang. Interpretasi dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pengalaman masa lalu, motivasi dan lain – lain. Interpretasi juga bergantung pada kemampuan seseorang untuk mengadakan pengkategorian informasi yang diterimanya.

c. Interpretasi dan persepsi kemudian diterjemahkan dalam bentuk tingkah laku sebagai reaksi.

Tahap terakhir dari konsep perceptual ialah bertindak sehubungan dengan apa yang telah dipersepsi. Lingkaran persepsi belum sempurna sebelum menimbulkan suatu tindakan. Tindakan itu bisa tersembunyi dan bisa pula terbuka. Tindakan tersembunyi bisa berupa pembentukan pendapat atau sikap, sedangkan tindakan yang terbuka berupa tindakan nyata sehubungan dengan persepsi itu ( Sobur, 2003 : 464 ).


(36)

Jadi proses persepsi adalah melakukan seleksi, interpretasi, dan pembulatan terhadap informasi yang sampai ( Sobur, 2003 : 447 ).

2.1.2.5 Kekeliruan dan Kegagalan Persepsi

Persepsi sering tidak cermat, sehingga salah satu penyebabnya adalah asumsi atau pengharapan kita. Kita mempersepsi sesuatu atau seseorang sesuai dengan pengharapan kita. Beberapa bentuk kekeliruan dan kegagalan persepsi tersebut adalah sebagai berikut : (Deddy Mulyana, 2001 : 211-230)

1. Kesalahan atribusi

Atribusi adalah proses internal dalam diri kita untuk memahami penyebab perilaku orang lain. Dalam usaha mengetahui orang lain, kita menggunakan beberapa sumber informasi. Kesalahan atribusi bisa terjadi ketika kita salah menaksir makna pesan atau maksud perilaku si pembicara. Atribusi kita juga keliru bila kita menyangka bahwa perilaku seseorang disebabkan oleh faktor internal, padahal justru faktor eksternal yang menyebabkannya atau sebaliknya kita menduga faktor ekternal yang menggerakkan seseorang, padahal faktor internal yang membangkitkan perilakunya. Salah satu sumber kesalahan atribusi lainnya adalah pesan yang dipersepsi tidak utuh atau tidak lengkap, sehingga kita berusaha menafsirkan pesan tersebut dengan menafsirkan sendiri kekurangannya atau “mengisi” kesenjangan dan mempersepsi rangsangan atau pola yang tidak lengkap itu sebagai lengkap.


(37)

2. Efek Halo

Kesalahan persepsi yang di sebut efek halo merujuk pada fakta bahwa begitu kita membentuk suatu kesan menyeluruh mengenai seseorang, kesan yang menyeluruh ini cenderung menimbulkan efek yang kuat atas penilaian kita akan sifat – sifatnya yang spesifik. Efek halo memang lazim dan berpengaruh kuat sekali pada diri kita dalam menilai orang – orang yang bersangkutan. Dalam kehidupan sehari – hari, kita mungkin menemukan suatu sifat positif yang sangat menonjol pada seseorang, misalnya bahwa seseorang itu jujur, atau periang, atau murah hati.

3. Stereotip

Kesulitan komunikasi akan muncul dari penstereotipan, yakni menggeneralisasikan orang – orang berdasarkan sedikit informasi dan membentuk asumsi mengenai merek berdasarkan keanggotaan mereka dalam suatu kelompok. Penstereotipan adalah proses menempatkan orang – orang dan objek – objek ke dalam kategori – kategori yang mapan, atau penilaian mengenai orang – orang atau objek – objek berdasarkan kategori – kategori yang di anggap sesuai, alih – alih berdasarkan karakteristik individual mereka.

Menurut Larry A. Samovar dan Richard E. Porter mendefinisikan stereotip sebagai persepsi atau kepercayaan yang kita anut mengenai kelompok – kelompok atau individu – individu berdasarkan pendapat dan sikap yang lebih dulu terbentuk. Menurut Robert A. Baron dan Paul B. Paulus, stereotip adalah kepercayaan hampir selalu salah bahwa semua anggota suatu kelompok tertentu memiliki ciri – ciri tertentu atau menunjukkan perilaku – perilaku tertentu.


(38)

Ringkasnya, stereotip adalah kategorisasi atas suatu kelompok secara serampangan dengan mengabaikan perbedaan – perbedaan individual.

Mengapa terdapat stereotip? Menurtu Baron dan Paulus, beberapa faktor tampaknya berperan. Pertama, sebagai manusia kita cenderung membagi dunia ini ke dalam dua kategori : kita dan mereka. Orang – orang yang kita persepsi sebagai di luar kelompok kita dipandang sebagai lebih mirip satu sama lain daripada orang – orang dalam kelompok kita sendiri. Karena kita kekurangan informasi mengenai mereka, kita cenderung menyamaratakan mereka semua, dan menganggap mereka sebagai homogen. Kedua, stereotip tampaknya bersumber dari kecenderungan kita untuk melakukan kerja kognitif sesedikit mungkin, dalam berpikir mengenai orang lain. Dengan memasukkan orang kedalam kelompok, kita dapat mengasumsikan bahwa kita mengetahui banyak tentang mereka, dan menghemat tugas kita yang menjemukan untuk memahami mereka sebagai individu. Pada umumnya stereotip bersifat negatif. Stereotip ini tidaklah berbahaya sejauh kita simpan dalam kepala kita. Akan tetapi bahayanya sangat nyata bila stereotip ini di aktifkan dalam hubungan manusia.

4. Prasangka

Suatu kekeliruan persepsi terhadap orang yang berbeda adalah prasangka, suatu konsep yang sangat dekat dengan stereotip. Beberapa pakar cenderung menganggap bahwa stereotip itu identik dengan prasangka, seperti Donald Edgar dan Joe R. Fagin, dapat dikatakan bahwa stereotip merupakan komponen kognitif ( kepercayaan ) dari prasangka, sedangkan prasangka juga berdimensi perilaku. Jadi prasangka ini konsekuensi dari stereotif, dan lebih teramati daripada


(39)

stereotip. Menggunakan kata – kata Ian Robertson, “ Pikiran berprasangka selalu menggunakan citra mental yang kaku yang meringkas apapun yang dipercayai sebagai khas suatu kelompok.

Menurut Richard W. Brislin mendefinisikan prasangka sebagai suatu sikap tidak adil, menyimpang atau tidak toleran terhadap sekelompok orang. Seperti juga stereotip, meskipun dapat positif atau negatif, prasangka umumnya bersifat negatif. Brislin menyatakan bahwa prasangka mencakup hal – hal berikut : memandang kelompok lain lebih rendah; sifat memusihi kelompok lain; bersikap ramah terhadap kelompok lain pada saat tertentu, namun menjaga jarak pada saat lain; berperilaku yang dibenci kelompok lain seperti datang terlambat, padahal mereka menghargai ketepatan waktu. Wujud prasangka yang nyata dan ekstrem adalah diskriminasi, yakni pembatasan atas peluang atau akses sekelompok orang terhadap sumber daya semata – mata karena keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut seperti ras, suku, gender, pekerjaan dan sebagainya.

5. Gegar budaya

Lundstedt mengatakan bahwa gegar budaya adalah suatu bentuk ketidakmampuan menyesuaikan diri yang merupakan suatu reaksi terhadap upaya sementara yang gagal untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dan orang – orang baru. Menurut P. Harris dan R. Moran, gegar budaya adalah suatu trauma umum yang dialami seseorang dalam suatu budaya yang baru dan berbeda karena harus belajar dan mengatasi begitu banyak nilai budaya dan pengharapan baru, sementara nila budaya dan pengharapan budaya lama tidak lagi sesuai. Gegar budaya ini dalam berbagai bentuknya adalah fenomena yang alamiah saja.


(40)

Intensitasnya dipengaruhi oleh berbagai faktor, yang pada dasarnya terbagi dua : yakni faktor internal dan faktor eksternal.

2.1.3 Perkawinan

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pernikahan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum perkawinan masing-masing agama dan kepercayaan serta tercatat oleh lembaga yang berwenang menurut perundang-undangan yang berlaku.

Perkawinan adalah salah satu bentuk ibadah yang kesuciannya perlu dijaga oleh kedua belah pihak baik suami maupun istri. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia sejahtera dan kekal selamanya. Perkawinan memerlukan kematangan dan persiapan fisik dan mental karena menikah / kawin adalah sesuatu yang sakral dan dapat menentukan jalan hidup seseorang. Perkawinan adalah penerimaan status baru, dengan sederetan hak dan kewajiban yang baru, serta pengakuan akan status baru oleh orang lain. Perkawinan merupakan persatuan dari dua atau lebih individu yang berlainan jenis seks dengan persetujuan masyarakat. Menurut Horton dan Hunt, perkawinan adalah pola sosial yang disetujui dengan cara mana dua orang atau lebih membentuk keluarga ( Narwoko – Bagong, 2004 : 229 ).


(41)

Perkawinan dalam pandangan Islam adalah akad yang sangat kuat yang dilakukan secara sadar oleh seorang laki – laki dan seorang perempuan untuk membentuk keluarga yang pelaksanaannya didasarkan pada kerelaan dan kesepakatan kedua belah pihak. Karena itu, perkawinan bukanlah ibadah dalam arti kewajiban melainkan hubungan sosial kemanusiaan semata. Perkawinan akan bernilai ibadah, jika diniatkan untuk mencari ridlo Allah SWT.

2.1.3.1 Prinsip Perkawinan

Berdasarkan kajian terhadap Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad, Khoiruddin Nasution menyimpulkan lima prinsip perkawinan ( Ridwan, 2006 : 130-139 ) :

1. Prinsip Musyawarah dan Demokrasi

Prinsip musyawarah dan demokrasi dalam kehidupan rumah tangga berarti segala aspek kehidupan dalam rumah tangga harus diputuskan dan diselesaikan berdasarkan hasil musyawarah minimal antara suami dan isteri. Sedangkan yang dimaksud demokratis adalah antara suami dan isteri haruslah terbuka untuk menerima pandangan dan pendapat pasangannya. Makna mu’asyarah bi al-ma’ruf adalah suatu pergaulan atau pertemanan, persahabatan atau hubungan kekeluargaan yang dibangun secara bersama – sama dengan cara yang baik yang sesuai dengan tradisi dan situasi masyarakatnya masing – masing tetapi tidak bertentangan dengan norma – norma agama, akal sehat, maupun fitrah manusia. Atas prinsip mu’asyarah bi al-ma’ruf ini, maka relasi suami isteri dalam konteks


(42)

pengambilan keputusan keluarga haruslah diambil secara bersama – sama dengan kedudukan yang seimbang dan setara.

2. Prinsip Menciptakan Rasa Aman dan Tenteram Dalam Keluarga

Prinsip menciptakan rasa aman dan tenteram dalam keluarga berarti kehidupan rumah tangga harus tercipta suasana merasa saling kasih, saling asih, saling cinta, saling melindungi, dan saling sayang dan setiap anggota keluarga berkewajiban untuk menciptakan prinsip ini. Rasa aman dan tenteram bagi anggota keluarga adalah aman dan tenteram secara kejiwaan (psikis) maupun jasmani (fisik). Prinsip kenyamanan dan ketentraman kehidupan rumah tangga ini didasarkan pada ketentuan Al-Qur’an surat ar-Rum ayat 21 yaitu terciptanya keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah.

3. Prinsip Menghindari Adanya Kekerasan

Prinsip menghindari adanya kekerasan (violence) baik kekerasan fisik maupun psikis adalah jangan sampai ada pihak dalam kehidupan rumah tangga yang merasa berhak memukul atau melakukan tindakan kekerasan dalam bentuk apapun dengan dalih atau alasan apapun, termasuk alasan agama, baik kepada atau antar pasangan ( suami – isteri ) atau antara pasangan dengan anak.

4. Prinsip Hubungan Suami dan Isteri Sebagai Hubungan Partner

Prinsip suami dan isteri adalah pasangan yang mempunyai hubungan bermitra, patner dan sejajar (equal). Dasar bagi perumusan prinsip ini adalah ketentuan al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 187.


(43)

5. Prinsip Keadilan

Prinsip keadilan berarti menempatkan sesuatu pada posisi yang semestinya (proporsional). Prinsip keadilan disini antara lain bahwa kalau ada di antara pasangan atau anggota keluarga (anak – anak) yang mendapat kesempatan untuk mengembangkan diri harus didukung tanpa memandang dan membedakan berdasarkan jenis kelamin. Dengan prinsip keadilan, maka masing – masing anggota keluarga sadar bahwa dirinya adalah bagian dari keluarga dengan hak dan kewajiban serta tugas dan fungsi yang berbeda untuk secara bersama – sama dilaksanakan secara konsekuen dan proporsional.

Relasi suami – isteri bukanlah relasi kepemilikan ataupun relasi “atasan” dengan “bawahan”. Kedua pasangan suami – isteri adalah pribadi yang utuh yang memiliki relasi seimbang, sejajar dalam menunaikan hak dan kewajiban. Membangun fondasi kehidupan rumah tangga yang berkeadilan dan bermartabat secara tidak langsung merupakan sebuah upaya untuk memberdayakan dan mengelola seluruh potensi keluarga untuk kesejahteraan keluarga yang bersangkutan.

Dalam kaitannya upaya membangun keluarga yang harmonis dan diliput kasih sayang menuju keluarga yang berkeadilan dan bermartabat, terdapat tiga kata kunci yang harus dipegangi dalam a long life struggle kehidupan berkeluarga: yaitu Mawaddah, Rahmah, dan Sakinah.

a. Mawaddah ( to love each other ), saling mencintai / menyayangi antara satu dengan lainnya. Mawaddah bukanlah sekedar cinta terhadap lawan jenis dengan keinginan selalu ingin berdekatan dengan cinta penuh gelora dan


(44)

menjadikannya terlena dan layu sebelum berkembang, karena melampaui batas kewajaran yang ditentukan oleh agama. Mawaddah adalah saling mencintai dengan cinta plus, karena cintanya penuh dengan kelapangan terhadap keburukan dan kekurangan orang yang dicintainya. Di sini diperlukan kemampuan pendekatan psikologis dan management konflik yang tinggi, seperti prose adaptasi, kompromi – kompromi dan belajar menahan diri.

b. Rahmah ( relieve from suffering through sympathy, to show human

understanding from one another, love and respect one another ), saling simpati, menghormati, dan menghargai antara yang satu dengan lainnya. Sikap Rahmah ini termanifestasikan dalam bentuk perasaan saling simpati, menghormati dan saling mengagumi antara kedua belah pihak sehingga akan muncul kesadaran saling memiliki dan keinginan untuk melakukan yang terbaik bagi pasangannya sebagaimana dirinya ingin diperlakukan.

c. Sakinah ( to be or become tranquil; peaceful; God-inspired peace and mind ), kedamaian dan ketentraman. Sakinah merupakan kesadaran perlunya kedamaian, ketentraman, keharmonisan, kejujuran, dan keterbukaan yang diinspirasikan dan berlandaskan pada spiritualitas ketuhanan.

Kehidupan keluarga merupakan miniatur kecil dari potret kehidupan bangsa pada umumnya, sehingga melihat potret kehidupan sebuah bangsa bisa dilihat dari kehidupan unit terkecil dari masyarakatnya yaitu kehidupan rumah tangga. Dengan demikian membangun karakter dan moralitas bangsa harusnya dimulai


(45)

dari kehidupan rumah tangga sebagai unit terkecil dari masyarakat bangsa pada umumnya.

2.1.3.2 Hikmah Kawin

Islam menganjurkan dan menggembirakan kawin sebagaimana tersebut karena ia mempunyai pengaruh yang baik bagi pelakunya sendiri, masyarakat dan seluruh umat manusia ( Sabiq, 1980 : 18-22 ) :

1. Sesungguhnya naluri seks merupakan naluri yang paling kuat dank eras yang selamanya menuntut adanya jalan keluar. Bilamana jalan keluar tidak dapat memuaskannya, maka banyaklah manusia yang mengalami goncang dan kacau serta menerobos jalan yang jahat.

Dan kawinlah jalan alami dan biologis yang paling baik dan sesuai untuk menyalurkan dan memuaskan naluriah seks ini. Dengan kawin badan jadi segar, jiwa jadi tenang, mata terpelihara dari melihat yang haram dan perasaan tenang menikmati barang yang halal.

2. Kawin, jalan terbaik untuk membuat anak – anak menjadi mulia, memperbanyak keturunan, melestarikan hidup manusia serta memelihara nasab yang oleh Islam sangat diperhatikan. Banyaklah jumlah keturunan mempunyai kebaikan umum dan khusus, sehingga beberapa bangsa ada yang berkeinginan keras untuk memperbanyak jumlah rakyatnya dengan memberikan perangsang perangsang melalui pemberian upah bagi orang – orang yang anaknya banyak.


(46)

3. Selanjutnya, naluri kebapak’an dan keibuan akan tumbuh saling melengkapi dalam suasana hidup dengan anak – anak dan akan tumbuh pula perasaan – perasaan ramah, cinta dan sayang yang merupakan sifat – sifat baik yang menyempurnakan kemanusiaan seseorang.

4. Menyadari tanggung jawab beristri dan menanggung anak – anak menimbulkan sikap rajin dan sungguh – sungguh dalam memperkuat bakat dan pembawaan seseorang. Ia akan cekatan bekerja, karena dorongan tanggung jawab dan memikul kewajibannya, sehingga ia akan banyak bekerja dan mencari penghasilan yang dapat memperbesar jumlah kekayaan dan memperbanyak produksi. Juga dapat mendorong usaha mengekploitasi kekayaan alam yang dikaruniakan Allah bagi kepentingan hidup manusia. 5. Pembagian tugas, dimana yang satu mengurusi dan mengatur rumah tangga,

sedangkan yang lain bekerja di luar, sesuai dengan batas – batas tangung jawab antara suami – istri dalam menangani tugas – tugasnya. Dengan pembagian adil, masing – masing pasangan menunaikan tugasnya yang alami sesuai dengan keridloan Ilahi, dihormati oleh umat manusia dan membuahkan hasil yang menguntungkan.

6. Dengan perkawinan di antaranya dapat membuahkan tali kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cinta antara keluarga dan memperkuat hubungan kemasyarakatan yang memang oleh Islam direstui, ditopang, dan ditunjang. Karena masyarakat yang saling menunjang lagi saling menyayangi akan merupakan masyarakat yang kuat lagi bahagia.


(47)

7. Dalam salah satu pernyataan PBB yang disiarkan oleh harian Nasional terbitan Sabtu 6/6 1959 mengatakan :

“Bahwa orang yang bersuami istri umurnya lebih panjang daripada orang – orang yang tidak besuami istri, baik karena menjanda, tercerai atau sengaja membujang”. Pernyataan itu selanjutnya mengatakan : “Dalam banyak negeri orang – orang kawin pada umur yang masih sangat muda, akan tetapi bagaimanapun juga umur orang – orang yang bersuami istri umumnya lebih panjang”.

2.1.3.3 Hukum Kawin

Hukum perkawinan ( Sabiq, 1980 : 22-26 ) yaitu : 1. Wajib

Bagi yang sudah mampu kawin, nafsunya telah mendesak dan takut terjerumus dalam perzinaan wajiblah dia kawin. Karena menjauhkan diri dari yang haram adalah wajib, sedangkan untuk itu tidak dapat dilakukan dengan baik kecuali dengan jalan kawin.

Kata Qurthuby :

Orang bujangan yang sudah mampu kawin dan takut dirinya dan agamanya jadi rusak, sedang tak ada jalan untuk menyelamatkan diri kecuali dengan kawin, maka tak ada perselisihan pendapat tentang wajibnya ia kawin.

Jika nafsunya telah mendesaknya, sedangkan ia tak mampu membelanjai istrinya, maka Allah nanti akan melapangkan rizkinya.


(48)

2. Sunnah

Adapun bagi orang yang nafsunya telah mendesak lagi mampu kawin, tetapi masih dapat menahan dirinya dari berbuat zina, maka sunnahlah dia kawin. Kawin baginya lebih utama dari bertekun diri dalam ibadah, karena menjalani hidup sebagai pendeta sedikitpun tidak dibenarkan Islam.

3. Haram

Bagi seseorang yang tidak mampu memenuhi bafkah batin dan lahirnya kepada istrinya serta nafsunya pun tidak mendesak, haramlah ia kawin.

Qurthuby berkata : “Bila seorang laki – laki sadar tidak mampu membelanjai istrinya atau membayar maharnya atau memenuhi hak – hak istrinya, maka tidaklah boleh ia kawin, sebelum ia dengan terus terang menjelaskan keadaannya kepadanya, atau sampai datang saatnya ia mampu memenuhi hak – hak istrinya. Begitu pula kalau ia karena sesuatu hal menjadi lemah, tak mampu menggauli istrinya, maka wajiblah ia menerangkan dengan terus terang agar perempuannya tidak tertipu olehnya”.

4. Makruh

Makruh kawin bagi seseorang yang lemah syahwat dan tidak mampu member belanja istrinya, walaupun tidak merugikan istri, karena ia kaya dan tidak mempunyai keinginan syahwat yang kuat. Juga bertambah makruh hukumnya jika karena lemah syahwat itu ia berenti dari melakukan sesuatu ibadah atau menuntut sesuatu ilmu.


(49)

5. Mubah

Dan bagi laki – laki yang tidak terdesak oleh alasan – alasan yang mewajibkan segera kawin atau karena alasan – alasan yang mengharamkan untuk kawin, maka hukumnya mubah.

2.1.4 Poligami

Poligami adalah seorang laki – laki mempunyai dua orang atau lebih istri dimana istri – istri tersebut ada yang dinikahkan secara resmi menurut agama dan Negara maupun yang hanya dinikahkan secara siri dan dengan terjadinya perkawinan poligami tersebut akan menyebabkan rumah tangga itu terbentuk dari dua atau lebih keluarga inti dimana lelaki yang sama menjadi suami bagi beberapa perempuan.

Dalam antropologi sosial, poligami merupakan praktik pernikahan kepada lebih dari satu suami atau istri (sesuai dengan jenis kelamin orang bersangkutan) sekaligus pada suatu saat (berlawanan dengan monogami, di mana seseorang memiliki hanya satu suami atau istri pada suatu saat). Poligami mempunyai arti suatu sistem perkawinan antara satu orang pria dengan lebih dari seorang wanita.

Poligami menurut agama Islam yang tercantum dalam surat An – Nisa’ ayat 3, yaitu Allah SWT membolehkan beristeri lebih dari satu, tapi dibatasi sebanyak – banyaknya empat orang dengan ketentuan mampu berlaku adil antara semua istri itu, baik dalam hal makan, minum, perumahan, giliran dan sebagainya yang bersifat materi ( Adz – Dzikraa juz 1-5 : 312 ). Sehingga Dalil poligami tersebut berbunyi :


(50)

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. an-Nisaa`:3).

2.1.4.1 Sejarah Poligami

Sistem poligami sudah meluas berlaku pada banyak bangsa sebelum Islam sendiri datang. Di antara bangsa – bangsa yang menjalankan poligami, yaitu : Ibrani, Arab Jahiliyah dan Cisilia, yang kemudian melahirkan sebagian besar penduduk yang menghuni Negara – Negara : Rusia, Lithuania, Polandia, Cekoslavia, dan Yugoslavia, dan sebagian dari orang – orang Jerman dan Saxon yang melahirkan sebagian besar penduduk yang menghuni Negara – Negara : Jerman, Swiss, Belgia, Belanda, Denmark, Swedia, Norwegia, dan Inggris.

Tidak benar jika dikatakan bahwa Islamiyah yang mula – mula membawa sistem poligami. Sebenarnya sistem poligami ini hingga dewasa ini masih tetap tersebar pada beberapa bangsa yang tidak beragama Islam, seperti : orang – orang asli Afrika, Hindu, India, Cina dan Jepang. Tidak benar juga jika dikatakan bahwa sistem ini hanya beredar di kalangan bangsa – bangsa yang beragama Islam saja.

Agama Kristen sebenarnya tidak melarang poligami, sebab di dalam Injil tidak ada satu ayat pun dengan tegas melarang hal ini. Jika para pemeluk Kristen bangsa Eropa pertama dulu telah beradat istiadat dengan kawin satu perempuan saja, ini tidak lain disebabkan oleh karena sebagian terbesar bangsa Eropa penyembah berhala yang didatangi oleh agama Kristen pertama kalinya adalah


(51)

terdiri dari orang Yunani dan Romawi yang lebih dulu sudah punya kebiasaan yang melarang poligami.

Setelah mereka memeluk agama Kristen, kebiasaan dan adat moyang mereka ini tetap mereka ini tetap mereka pertahankan dalam agama baru ini. Jadi, sistem monogami yang mereka jalankan ini bukanlah berasal dari agama Kristen yang mereka anut, akan tetapi telah merupakan warisan paganism (agama berhala) dahulu kala. Dari sinilah kemudian gereja mengadakan bid’ah dengan menetapkan larangan poligami dan lalu digolongkan larangan tersebut sebagai aturan agama.

Padahal Kitab Injil sendiri tidak menerangkan sedikit pun tentang sesuatu ayat yang mengharamkan sistem ini. Sebenarnya, sistem poligami ini tidaklah berjalan, kecuali di kalangan bangsa – bangsa yang telah maju kebudayaannya, sedangkan pada bangsa – bangsa yang masih primitif sangat jarang sekali, bahkan boleh dikatakan tidak ada. Hal ini diakui oleh para sarjana sosiologi dan kebudayaan, seperti : Westermark, Hobbers, Heler dan Jean Bourge.

Sistem monogami merupakan sistem yang umum berjalan pada bangsa – bangsa yang kebanyakannya masih primitif, yaitu bangsa – bangsa yang hidup dengan mata pencaharian berburu, bertani, yang biasanya tabiatnya halus, dan bangsa – bangsa yang sedang transisi meninggalkan zaman primitifnya, yang pada zaman modern kini disebut bangsa Agraris. Sistem poligami tidak begitu menonjol pada bangsa – bangsa yang mengalami jurang kebudayaan, yaitu bangsa – bangsa yang telah meninggalkan cara hidup berburu yang primitif dan menginjak kepada zaman beternak dan menggembala dan bagsa – bangsa yang meninggalkan cara hidup memetik buah – buahan kepada zaman bercocok tanam.


(52)

Kebudayaan sarjana sosiologi dan kebudayaan berpendapat bahwa sistem poligami ini pasti akan meluas dan akan banyak bangsa – bangsa di dunia ini menjalankannya, bilamana kemajuan kebudayaan mereka bertambah besar. Jadi, tidak benar anggapan yang dilontarkan orang bahwa poligami berkaitan dengan keterbelakangan kebudayaan. Bahkan, sebaliknya bahwa poligami seiring dengan kemajuan kebudayaan. Dengan demikian, kedudukan sebenarnya sistem poligami menurut sejarah. Begitu pula sebenarnya pendirian agama Kristen. Dan begitu pula bahwa meluasnya sistem poligami seiring dengan kemajuan kebudayaan manusia. ( Sayyid Sabiq, 1980 : 190 – 192 ).

2.1.4.2 Ayat – ayat dan Hadist Poligami

Dengan tibanya Islam, poligami yang tak terbatas ditetapkan menjadi istri saja dengan persyaratan khusus dan sejumlah ketentuan yang dikenakan padanya. Hanya ada satu ayat al-Quran menyebutkan masalah poligami sebagai berikut:

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.(QS. An-Nisa: 3)

Ketentuan tentang poligami di atas diperbolehkan dengan bersyarat. Ayat ini secara lebih khusus merujuk pada keadilan yang harus dilakukan terhadap anak-anak yatim. Ayat ini diturunkan segera setelah Perang Uhud ketika masyarakat Muslim dibebankan dengan banyak anak yatim, janda serta tawanan perang. Menurut Yusuf Ali, maka perlakuan itu diatur dengan prinsip – prinsip


(53)

bahwa dengan cara itu engkau dapat melindungi kepentingan dan hartanya secara adil terhadap mereka dan terhadap anak-anak yatim melaikan juga merupakan penerapan yang umum atas hukum perkawinan dalam Islam. Oleh karena itu, para ulama dan fuqaha muslim telah menetapkan persyaratan berikut bila seseorang ingin menikahi lebih dari seorang istri :

1. Dia harus memiliki kemampuan dan kekayaan cukup untuk membiayai berbagai kebutuhan denga bertambahnya istri yang dinikahinya itu.

2. Dia harus memperlakukan semua istrinya itu dengan adil. Setiap istri diperlakukan secara sama dalam memenuhi hak perkawinan mereka serta gak-hak lainnya.

Bila seorang lelaki merasa tak akan mampu memperlakukannya mereka dengan adil, atau dia tidak memiliki harta untuk membiayai mereka, maka dia harus menahan dirinya sendiri dengan menikahi hanya seorang istri. Imam malik berkata dalam kitabnya Al-Muwattha bahwa Ghaylan bin Salmah memeluk Islam sedangkan dia memiliki sepuluh orang istri. Maka Rasulullah saw bersabda:

“Peliharalah empat orang di antara mereka dan bebaskalah (ceraikanlah) yang lainnya”.

Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah bahwa Dia (Allah SWT) telah menciptakan untukmu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang dan kedamaian. (QS. 30:21). Dengan demikian, maka lelaki sebagai ayah dan perempuan sebagai ibu dari anak-anak mereka hidup bersama membentuk suatu keluarga yang utuh. Setiap orang memiliki perangai yang berbeda, namun bila keramahan, kasih sayang dan


(54)

kedamaian dapat diciptakan dalam keluarga, maka seseorang harus membatasi dirinya sendiri dengan apa yang dapat dikelolanya secara mudah yaitu seorang istri.

Keadaan berikut merupakan pemecahan terbaik bagi diperbolehkannya poligami:

1. Bila istri menderita suatu penyakit yang berbahaya seperti lumpuh, ayan, atau penyakit menular. Dalam keadan ini maka akan lebih baik bila ada istri yang lain untuk memenuhi dan melayani berbagai keperluan si suami dan anak – anaknya. Kehadirannya pun akan turut membantu istri yang sakit itu.

2. Bila istri terbukti mandul dan setelah melalui pemeriksaan medis, para ahli berpendapat bahwa dia tak dapat hamil. Maka sebaiknya suami menikah istri kedua sehingga dia mungkin akan memperoleh keturunan, karena anak merupakan permata kehidupan.

3. Bila istri sakit ingatan. Dalam hal ini tentu suami dan anak-anak sangat menderita.

4. Bila istri telah lanjut usia dan sedemikian lemahnya sehingga tak mampu memenuhi kewajibannya sebagai seorang isri, memelihara rumah tangga dan kekayaan suaminya.

5. Bila suami mendapatkan bahwa istrinya memiliki sifat yang buruk dan tak dapat diperbaiki. Maka secepatnya dia menikahi istri yang lain.

6. Bila dia minggat dari rumah suaminya dan membangkang, sedangkan si suami merasa sakit untuk memperbaikinya.


(55)

7. Pada masa perang di mana kaum lelaki terbunuh meninggalkan wanita yang sangat banyak jumlahnya, maka poligami dapat berfungsi sebagai jalan pemecahan yang terbaik.

8. Selain hal-hal tersebut di atas, bila lalai itu merasa bahwa dia tak dapat bekerja tanpa adanya istri kedua untuk memenuhi hajat syahwatnya yang sangat kuat serta dia memiliki harta yang cukup untuk membiayanya, maka sebaiknya dia mengambil istri yang lain. Ada beberapa daerah tertentu di dunia ini di mana kaum lelakinya secara fisik sangat kuat dan tak dapat dipuaskan hanya denga seorang istri. Dalam hal demikian, maka poligami inilah jawabannya.

Islam melarang poligami tak terbatas yang dipraktekkan oleh orang – orang Jahilliyah Arab maupun bukan Arab. Sudah merupakan kebiasaan para pemimpin dan kepala suku untuk memelihara harem/gundik yang banyak. Bahkan beberapa pengusaha Muslim telah menjadi korban dan melakukan poligami yang tak terbatas pada masa-masa kemudian dari sejarah Islam. Apapun yang mereka lakukan, yang jelas poligami semacam itu tidak diperkenankan dalam Islam. Kalau memang perlu, seorang Muslim dapat menikahi sampai empat haram hukumnya bagi setiap orang, selain Nabi SAW, menikahi lebih dari istri empat pada waktu tertentu.

2.1.4.3 Hikmah Poligami

Berpoligami ini bukan wajib dan bukan sunat, tetapi oleh Islam dibolehkan. Karena tuntutan pembangunan dan pentingnya perbaikan tidak patut


(56)

diabaikan oleh pembuat undang – undang dan dikesampingkan. ( Sabiq, 1980 : 179-188 ).

I. Merupakan karunia Allah dan rahmat- Nya kepada manusia membolehkan adanya poligami dan membataskaan sampai empat saja. Bagi laki – laki boleh kawin dalam waktu yang sama lebih dari seorang istri, dengan syarat sanggup berbuat adil terhadap mereka dalam urusan belanja dan tempat tinggal seperti yang telah diterangkan.

II. Karena itu maka Islam sebagai agama kemanusiaan yang luhur mewajibkan kepada kaum Muslimin untuk melaksanakan pembangunan itu dan menyampaikannya kepada seluruh manusia.

Negara – Negara dewasa ini benar – benar telah menyadari tentang nilai jumlah penduduk yang besar, pengaruhnya terhadap industry dan perang dan perluasan pembangunan. Karena itu untuk dapat menambah besarnya jumlah penduduk digalakkan masalah perkawinan dan kepada penduduk yang memperoleh anak banyak diberikan imbalan.

III. Negara merupakan pendukung agama, dimana ia seringkali menghadapi bahaya peperangan sehingga banyak dari penduduknya yang meninggal. Oleh karena itu haruslah ada badan yang memperhatikan janda – janda para syuhada’ ini, dan tak ada jalan yang baik untuk mengurusi janda – janda itu kecuali dengan mengawini mereka, di samping juga untuk menggantikan jiwa yang telah tiada. Hal ini hanya dapat dilakukan dengan memperbanyak keturunan, dan poligami merupakan salah satu faktor memperbanyak jumlah ini.


(57)

IV. Bahwa kesanggupan laki – laki untuk berketurunan lebih besar daripada perempuan, sebab laki – laki telah memiliki persiapan kerja seksual sejak balig sampai tua, sedangkan perempuan dalam masa haid tidak memilikinya, dimana masa haid ini datang setiap bulan yang temponya terkadang sampai sepuluh hari, dan begitu pula selama masa nifas yang temponya terkadang sampai empat puluh hari ditambah lagi dengan masa hamil dan menyusui.

V. Adakalanya karena istri mandul atau menderita sakit yang tak ada harapan sembuhnya, padahal masih tetap berkeinginan untuk melanjutkan hidup bersama bersuami – istri, padahal suami ingin mempunyai anak – anak sehat lagi pintar dan seorang istri yang dapat mengurus keperluan – keperluan rumah tangganya.

VI. Ada segolongan laki – laki yang mempunyai dorongan seksual besar, yang merasa tidak puas dengan seorang istri saja, terutama sekali orang – orang di daerah tropis. Karena itu, daripada orang – orang ini hidup dengan teman perempuan yang rusak akhlaknya adalah lebih baik diberikan jalan yang halal untuk memuaskan tuntutan nafsunya.

VII. Sebagian dari sebab – sebab khusus dan umum yang menjadi pertimbangan agama Islam, dimana ia merupakan suatu agama dan bukan hanya berlaku bagi suatu generasi saja atau suatu zaman tertentu, tetapi adalah sebagai syari’at yang berlaku bagi segenap manusia sampai dengan hari kiamat, disamping ia juga memperhatikan keadaan tempat dan waktu, tetapi bahwa


(58)

mempertimbangkan kondisi orang – orang juga tidak boleh ditinggalkan untuk diperhatikan.

VIII. Dengan adanya sistem poligami dan melaksanakan ketentuan poligami ini di dalam Islam, merupakan satu karunia besar bagi kelestariannya, yang jauh dari perbuatan – perbuatan sosial yang kotor dan akhlak yang rendah dalam masyarakat yang mengakui poligami.

2.1.4.4 Hukum Poligami

Menurut Mahmud Syaltut, mantan Syekh Al-Azhar, hukum poligami adalah mubah. Poligami dibolehkan selama tidak dikhawatirkan terjadinya penganiayaan terhadap para istri. Kebolehan berpoligami adalah terkait dengan terjaminnya keadilan dan ketiadaan kekhawatiran akan terjadinya penganiayaan terhadap para istri. Dalam tafsir al-Kassyaf, Zamakhsyari mengatakan bahwa poligami dalam Islam suatu rukhshah (kelonggaran ketika darurat), sama halnya dengan rukhshah bagi musafir dan orang sakit yang boleh berbuka puasa. Kelonggaran boleh berpoligami untuk menghindarkan terjadinya perzinaan. Dengan demikian, haram berpoligami bagi seseorang yang merasa khawatir tidak akan berlaku adil. Sebelum ayat poligami turun, banyak sahabat mempunyai istri lebih dari empat. Sesudah turun ayat poligami, Rasul Saw memerintahkan para sahabat untuk hanya memiliki maksimal 4 isteri.


(59)

2.1.4.5 Syarat Poligami

Menurut pasal 5 UU Perkawinan menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi suami yang akan melakukan poligami, yaitu:

a. Adanya persetujuan dari istri;

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan – keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka (material);

c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka (immaterial).

Idealnya, jika syarat-syarat diatas dipenuhi, maka suami dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Namun dalam prakteknya, syarat-syarat yang diajukan tersebut tidak sepenuhnya ditaati oleh suami. Sementara tidak ada bentuk kontrol dari pengadilan untuk menjamin syarat itu dijalankan. Bahkan dalam beberapa kasus, meski belum atau tidak ada persetujuan dari istri sebelumnya, poligami bisa dilaksanakan.

Menurut agama Islam, terdapat dua pendapat sehubungan masalah poligami. Pertama , asas perkawinan dalam Islam adalah monogami. Mereka beralasan bahwa Allah SWT memperbolehkan poligami dengan syarat harus adil. Sedangkan kecenderungan manusia pada dasarnya tidak akan mampu berbuat adil. QS. Al-Nisa`: 129.

“Kamu sama sekali tidak sanggup berlaku adil antara istri – istrimu, walaupun kamu ingin berbuat demikian. Tapi janganlah cenderung secara menyolok kepada istri yang kamu cintai, sehingga kamu biarkan yang lain terkatung – katung. Dan jika kamu memperbaiki suasana pergaulan dan memelihara diri untuk tidak bertindak aniaya terhadap mereka, sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang”.


(1)

banyak ungkapan – ungkapan yang muncul di masyarakat mengenai poligami. Beberapa dampak negatif dari perkawinan poligami ini adalah perceraian, suami akan meninggalkan istri dan anak – anak dari perkawinan sebelumnya. Suami tidak berlaku adil antara keluarga yang satu dengan keluarga yang lainnya dimana suami yang berpoligami lebih mementingkan istri mudanya daripada istri tuanya sehingga suami yang berpoligami tersebut cenderung memperlihatkan sikap yang tidak bertanggungjawab sebagai suami yang berpoligami.

Allah SWT memperbolehkan poligami dengan syarat harus adil. Sedangkan kecenderungan manusia pada dasarnya tidak akan mampu berbuat adil. QS. Al-Nisa`: 129.

“Kamu sama sekali tidak sanggup berlaku adil antara istri – istrimu, walaupun kamu ingin berbuat demikian. Tapi janganlah cenderung secara menyolok kepada istri yang kamu cintai, sehingga kamu biarkan yang lain terkatung – katung. Dan jika kamu memperbaiki suasana pergaulan dan memelihara diri untuk tidak bertindak aniaya terhadap mereka, sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang”.

Keadilan yang dimaksud adalah keadilan lahiriah yang dapat dikerjakan manusia, bukan adil dalam arti cinta & kasih sayang.

Karena itulah, saat ini para tokoh agama Islam “ustadz” melakukan poligami semakin berkembang mulai dari ustadz terkenal hingga bukan ustadz yang melakukan poligami dengan memilih secara agama dan negara dan juga secara siri dan ada pula ustadz yang melakukan poligami dengan menikahi gadis dibawah umur. Jika memang mampu berlaku adil dan bisa memenuhi kebutuhan secara lahir dan bathin, dan juga atas ijin istri terdahulunya poligami dapat dilakukan. Namun, seperti halnya ustadz yang hanya mengungkapkan bisa berlaku adil tapi kenyataannya memilih bercerai juga saat ini banyak terjadi.


(2)

  108

Dengan kejadian – kejadian yang telah terjadi bahwa para tokoh agama Islam “ustadz” hanyalah sebagai umat manusia biasanya yang memiliki segala kekurangan dan kelebihan. Namun, jika harus melakukan poligami sebaiknya berpikir terlebih dahulu sehingga tidak ada yang merasa kecewa dan dikecewakan seperti kaum perempuan yang menjadi pelaku utama dalam poligami ini. Bahwa perlu kita ketahui dan sadari ustadz sebagai panutan masyarakat yang patut dicontoh, karena akhlaknya baik, sholeh dan identik dengan menganut monogami ( hanya memiliki seorang istri saja ).

Pada saat melakukan wawancara, peneliti berusaha mendapatkan jawaban – jawaban sebanyak mungkin. Dan selain jawaban – jawaban dari para informan, peneliti juga berusaha menangkap bahasa non verbal yang dilakukan para informan pada saat mereka menjawab pertanyaan – pertanyaan dari peneliti. Dari kelima informan, semua mempunyai persepsi yang sama tentang pertanyaan – pertanyaan yang diberikan peneliti, tetapi mereka semua mempunyai alasan yanag berbeda satu dengan yang lain.

Pada saat wawancara, peneliti juga memperhatikan bagaimana para informan menjawab pertanyaan – pertanyaan yang diberikan peneliti, dan ternyata mereka memberi jawaban dengan sungguh – sungguh dan juga ramah pada peneliti, walaupun dalam kondisi santai dan terkadang mengeluarkan kata – kata dengan nada bercanda.


(3)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil kegiatan wawancara yang dilakukan oleh peneliti, dapat diketahui bahwa keenam informan perempuan mempersepsikan bahwa poligami adalah seorang laki – laki mempunyai dua orang atau lebih istri dimana istri – istri tersebut ada yang dinikahkan secara resmi menurut agama dan Negara maupun yang hanya dinikahkan secara siri dan dengan terjadinya perkawinan poligami tersebut akan menyebabkan rumah tangga itu terbentuk dari dua atau lebih keluarga inti dimana lelaki yang sama menjadi suami bagi beberapa perempuan. Sedangkan informan kelima sebagai ustadzah menyatakan bahwa poligami tersebut suatu ujian berat yang dialami oleh seorang laki – laki, karena sudah tercantum peringatan yang terdapat didalam surat An-Nisa’ ayat 3.

Poligami yang dilakukan para tokoh agama Islam “ustadz” bukan hal yang tidak patut untuk dibicarakan. Sebagai panutan masyarakat ustadz dapat dinilai pantas sebagai contoh dimasyarakat dengan akhlak yang baik, sholeh, dan bahkan identik dengan setia atau memiliki istri hanya satu (menganut monogami). Para tokoh agama Islam “ustadz” hanyalah sebagai umat manusia biasanya yang memiliki segala kekurangan dan kelebihan. Namun, jika harus melakukan poligami sebaiknya berpikir terlebih dahulu sehingga tidak ada yang merasa


(4)

kecewa dan dikecewakan seperti kaum perempuan yang menjadi pelaku utama dalam poligami ini.

Secara psikologis semua istri akan merasa sakit hati bila melihat suaminya berhubungan dengan perempuan lain. Ini disebabkan karena permasalahan ini biasanya yang memicu hancurnya sebuah keluarga, sehingga banyak ungkapan – ungkapan yang muncul di masyarakat mengenai poligami. Memang nampak sekali bahwa poligami dikalangan masyarakat sangatlah sulit untuk diterima, apalagi perempuan. Banyak yang menolak dan tidak menyetujui adanya poligami tersebut, namun bagi informan 6 bahwa setuju dengan adanya poligami karena informan 6 merupakan istri dari suami yang melakukan poligami. Berdasarkan wawancara kelima informan, bahwa para informan tidak siap atau tidak bersedia dengan perasaan yang mereka miliki jika harus terjadi dengan mereka untuk dipoligami walaupun dengan adanya hukum yang berlaku baik dalam agama dan juga Undang – Undang perkawinan. Pada hakekatnya, tidak ada perempuan yang rela dan bersedia untuk dipoligami.

Hasil kegiatan wawancara tersebut, peneliti dapat menyimpulkan bahwa persepsi perempuan tentang poligami yang dilakukan para tokoh agama Islam “ustadz” berbeda – beda disebabkan antara lain oleh faktor atensi informan, nilai budaya yang melekat pada diri informan, dan tingkat pengalaman tentang poligami informan.

5.2 Saran


(5)

110   

sekitar. Di dalam agama Islam poligami memang diperbolehkan, namun terdapat ketentuan – ketentuan yang berlaku baik di dalam Al – Qur’an maupun oleh Undang – Undang Perkawinan. Karena ustadz merupakan panutan bagi masyarakat khususnya perempuan, walaupun ustadz juga manusia biasa dan sebagai masyarakat yang taat akan peraturan sama seperti kita sebagai makhluk Allah yang paling sempurna.

Sehingga jika para tokoh agama Islam “ustadz” melakukan poligami memang sah – sah saja, namun baik buruk seorang tokoh agama Islam akan di nilai oleh masyarakat luas. Apalagi poligami bagi perempuan merupakan suatu hal yang menyakitkan walaupun poligami tercantum pada surat An-Nisa’ ayat 3.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Buthi, Sa’id Ramadhan, Perempuan Dalam Pandangan Hukum Barat dan

Islam. Yogyakarta : Suluh Press, 2005

Adz-Dzikraa’ Tafsir dan Terjemahan Al-Qur’an dalam Huruf Arab dan Latin Juz

1-5.

Bagong, Narwoko, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta : Kencana, 2004.

Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, 1991.

Kriyantono, Riset Komunikasi. Jakarta : Kencana, 2006.

Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung : Rosda, 2000.

Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender. Purwokerto : Pusat Studi Gender, 2006. Sabiq, Fiqih Sunnah 6 Perkawinan. Bandung : PT. Al-Ma’arif, 1980.

Shaleh, Psikologi Suatu Pengantar dalam Perspektif Islam. Jakarta : Kencana, 2003.