Pandangan Tokoh Perempuan Terhadap Putus

Pandangan Tokoh Perempuan Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 46/PUU-VIII/2010, Tanggal 17 Februari 2012 ( Studi Kasus di Pengurus Muslimat NU dan Aisiyah Kota Malang )

Dr. Dra. Hj. Tutik Hamidah, M.Ag. dan Didin Chonyta Tohir S.HI

ABSTRAK

Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 46 PUU VIII/2010 menyatakan , “ Pasal

43 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” harus dibaca , “ Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata

dengan keluarga ayahnya” Putusan tersebut telah direspon oleh MUI dengan mengeluarkan fatwa tentang

“Kedudukan Anak Hasil Zina Dan Perlakuan Terhadapnya”. Di dalam fatwa tersebut, dijelaskan bahwa anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah, waris, dan nafaqah dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya, hanya mempunyai hubungan nasab, waris, dan nafaqah dengan ibunya dan keluarga ibunya. Terdapat pertentangan antara Putusan Mahkamah Konstitusi dengan Fatwa MUI tersebut. Mahkamah Konstitusi berdasarkan undang-undang yang berlaku di Indonesia, sedangkan fatwa MUI lebih mengedepankan fiqh. Jika dicermati, baik putusan Mahkamah Konstitusi maupun Fatwa MUI mengandung kelemahan, kurang komperhensif di dalam memandang permasalahan. Putusan Mahkamah Konstitusi tampak mengabaikan ajaran agama ( Islam ) yang berprinsip menjaga nasab. Frasa “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan” seharusnya diberi penjelasan sebagai anak “Kedudukan Anak Hasil Zina Dan Perlakuan Terhadapnya”. Di dalam fatwa tersebut, dijelaskan bahwa anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah, waris, dan nafaqah dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya, hanya mempunyai hubungan nasab, waris, dan nafaqah dengan ibunya dan keluarga ibunya. Terdapat pertentangan antara Putusan Mahkamah Konstitusi dengan Fatwa MUI tersebut. Mahkamah Konstitusi berdasarkan undang-undang yang berlaku di Indonesia, sedangkan fatwa MUI lebih mengedepankan fiqh. Jika dicermati, baik putusan Mahkamah Konstitusi maupun Fatwa MUI mengandung kelemahan, kurang komperhensif di dalam memandang permasalahan. Putusan Mahkamah Konstitusi tampak mengabaikan ajaran agama ( Islam ) yang berprinsip menjaga nasab. Frasa “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan” seharusnya diberi penjelasan sebagai anak

Meskipun masalah tersebut sangat terkait dengan perempuan, tetapi masih relative sedikit perempuan yang mengemukakan pandangannya terhadap masalah tersebut. Sebab itu penelitian ini membahas masalah tersebut dari sudut pandang tokoh perempuan, yaitu pengurus Muslimat NU dan Aisiyah Kota Malang. Rumusan masalahnya adalah, pertama , bagaimana pandangan pengurus Muslimat NU dan Aisiyah Kota Malang tentang pencatatan perkawinan pada pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan No.1 tahun 1974 yang dikukuhkan oleh putusan MK 46/PUU-VIII/2010, tentang Uji Materiil UU Perkawinan pada pasal 2 ayat (1), dan Pasal 43 ayat (1)?. Kedua, b agaimana pandangan pengurus Muslimat NU dan Aisiyah Kota Malang tentang hak-hak isteri dalam perkawinan yang tidak dicatat atau nikah siri ? ketiga, bagaimana pandangan pengurus Muslimat NU dan Aisiyah Kota Malang tentang hubungan keperdataan ( nafkah, nasab dan waris) anak yang dilahirkan di luar perkawinan sebagaimana putusan MK 46/PUU-VIII/2010, tentang Uji Materiil UU Perkawinan pada pasal 2 ayat (1), dan Pasal 43 ayat (1)?

Makalah ini menyimpulkan bahwa fatwa MUI No. 11 tahun 2012 tentang Kedudukan Anak hasil Zina dan Perlakuan terhadapnya, memiliki spirit yang sama dengan Putusan MK yaitu melindungi anak dari penelantaran. Perbedaannya adalah pada poin nasab anak. Rekomendasi yang diajukan adalah dalam poin nasab, berdasarkan kemaslahatan anak dan watak hukum Islam yang selalu menghindari madlarat dan masyaqah, MUI harus memihak kepada kepentingan anak. Jenis penelitian adalah yuridis empiris, sumber data adalah pengurus Muslimat NU dan Aisiyah Kota Malang dengan system purposive random sampling, yaitu empat orang Muslimat NU dan empat orang pengurus Aisiyah.

Penelitian ini menyimpulkan, pertama Semua informan mendukung putusan Mahkamah Konstitusi tentang kewajiban pencatatan perkawinan. Pencatatan perkawinan sebagaimana ketentuan perundangan diterima sebagai kewajiban yang Penelitian ini menyimpulkan, pertama Semua informan mendukung putusan Mahkamah Konstitusi tentang kewajiban pencatatan perkawinan. Pencatatan perkawinan sebagaimana ketentuan perundangan diterima sebagai kewajiban yang

Keywords: Putusan Mahkamah Konsitusi, NU, Muhamadiyah

A. KONTEKS PENELITIAN

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, tanggal 17 Februari 2012, karena adanya permohonan uji materi Undang-undang Perkawinan Pada Pasal 2 ayat (2), dan Pasal 43 ayat (1), telah memicu kontroversi di antara tokoh-tokoh masyarakat, ada kelompok yang mendukung, bahkan sangat mengapresiasi dan ada kelompok yang protes dengan memberi catatan yang cukup mendasar. Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPA I) dan Ketua Komisi Nasional (Komnas) Perempuan merupakan kelompok yang mendukung dan

mengapresiasi putusan tersebut. 1 Sedangkan organisasi masyarakat Islam dan khususnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) merupakan kelompok yang memrotes

dengan memberi catatan substansial 2 . Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut bisa

1 Pernyataan Sikap Komnas Perempuan terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pasal 43 ayat(1)Undang-undangN0.1tahun1974tentangPerkawinan.

http://www.komnasperempuan.or.id/2012/02/pernyataan-sikap-komnas -perempuan-terhadap-putusan- mahkamah-konstitusi-tentang-pasal-43-ayat-1-uu-no-1-tahun-1974-tentang-perkawinan/ Diakses pada tanggal 10-11-2012; Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Aris Merdeka Sirait mengapresiasi putusan MK, http://www.indopos.co.id/index.php/berita-utama/41-banner-berita-utama/1879- telantarkan-anak-luar-nikah-penjara-mengancam

2 Rais Am PBNU KH. Sahal Mahfudh menginstruksikan kepada panitia Munas Alim Ulama NU 2012 untuk mengkaji kembali batas ketaatan warga kepada pemerintah terkait keputusan Mahkamah 2 Rais Am PBNU KH. Sahal Mahfudh menginstruksikan kepada panitia Munas Alim Ulama NU 2012 untuk mengkaji kembali batas ketaatan warga kepada pemerintah terkait keputusan Mahkamah

Isi putusan Mahkamah Konstitusi yang sangat menghentak tersebut adalah tentang pencatatan perkawinan dan kedudukan anak yang dilahirkan di luar perkawinan. Dua hal yang berhubungan langsung dengan hukum perkawinan Islam, dan terutama posisi perempuan dalam hukum perkawinan Islam. Meskipun demikian, dari publikasi mass media, belum banyak perempuan yang menyuarakan pendapatnya mengenai putusan tersebut. Lebih banyak laki-laki yang menyuarakan pandangannya, meskipun sesungguhnya putusan tersebut lebih merupakan problem perempuan. Sebab itu, penelitian ini akan meneliti pandangan tokoh perempuan, yaitu pengurus Muslimat NU dan Aisiyah Kota Malang terhadap putusan MK Nomor 46/PUU- VIII/2010, tanggal 17 Februari 2012, tentang Uji Materi Undang-undang Perkawinan Pada Pasal 2 ayat (2), dan Pasal 43 ayat (1) yang menjadi kontroversi di masyarakat. Apakah mereka mendukung, menolak atau mengajukan pandangan lain.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana pandangan pengurus Muslimat NU dan Aisiyah Kota Malang tentang pencatatan perkawinan pada pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan No.1 tahun 1974 yang dikukuhkan oleh putusan MK 46/PUU-VIII/2010, tentang Uji Materiil UU Perkawinan pada pasal 2 ayat (1), dan Pasal 43 ayat (1)?

Konstitusi (MK) mengenai status hukum anak luar nikah yang dinilai bertentangan dengan syariat Islam. (NU online 3/4/2012) http://lbm.lirboyo.net/kontroversi-putusan-mk-tentang-anak-di-luar- nikah/ ; Fatwa MUI No. 11 tahun 2012 tanggal 10 Maret 2012 tentang “Kedudukan Anak Hasil Zina Dan Perlakuan Terhadapnya”

2. Bagaimana pandangan pengurus Muslimat NU dan Aisiyah Kota Malang tentang hak-hak isteri dalam perkawinan yang tidak dicatat atau nikah siri ?

3. Bagaimana pandangan pengurus Muslimat NU dan Aisiyah Kota Malang tentang hubungan keperdataan ( nafkah, nasab dan waris) anak yang dilahirkan di luar perkawinan sebagaimana putusan MK 46/PUU-VIII/2010, tentang Uji Materiil UU Perkawinan pada pasal 2 ayat (1), dan Pasal 43 ayat (1)?

C. TUJUAN PEMBAHASAN

1. Mengetahui pandangan pengurus Muslimat NU dan Aisiyah Kota Malang tentang pencatatan perkawinan pada pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan No.1 tahun 1974 yang dikukuhkan oleh putusan MK 46/PUU-VIII/2010, tentang Uji Materiil UU Perkawinan pada pasal 2 ayat (1), dan Pasal 43 ayat (1)?

2. Mengetahui pandangan pengurus Muslimat NU dan Aisiyah Kota Malang tentang hak-hak isteri dalam perkawinan yang tidak dicatat atau nikah siri ?

3. Mengetahui pandangan pengurus Muslimat NU dan Aisiyah Kota Malang tentang hubungan keperdataan ( nafkah, nasab dan waris) anak yang dilahirkan di luar perkawinan sebagaimana putusan MK 46/PUU-VIII/2010, tentang Uji Materiil UU Perkawinan pada pasal 2 ayat (1), dan Pasal 43 ayat (1)?

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Teoritis Pembaharuan hukum keluarga Islam dalam masyarakat modern adalah sebuah keniscayaan. Sebab jika tidak dilakukan pembaharuan, maka tentu akan mengalami gap antara das solen dan das sein. Antara realitas masyarakat, pranata hukum dan tujuan syariah. Dalam rangka melaksanakan pembaharuan tersebut, dibutuhkan penelitian tentang kondisi masyarakat yang terkait dengan hukum keluarga. Penelitian ini akan memberi kontribusi teoritis dalam mendesain pembaharuan hukum Islam. Dengan penelitian akan diketahui dinamika yang terjadi di masyarakat terkait dengan hukum keluarga Islam.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini bisa dimanfaatkan oleh Mahkamah Agung dengan perangkat peradilannya dan Direktorat Jendral Bimas Islam untuk membuat kebijakan dalam rangka meningkatkan pelayanan yang terkait dengan hukum perkawinan.

E. DEFINISI OPERASIONAL

1. Pandangan: sikap seseorang yang terbentuk atas dasar pandangan hidupnya, pengetahuannya dan pengalamannya. Pandangan seseorang terhadap suatu masalah terbentuk karena pemahaman yang mendalam terhadap masalah tersebut, dan akan mempengaruhi pilihan-pilihannya dan tindakannya.

2. Pengurus Mulimat NU: pengurus Muslimat Nahdlatul ‘Ulama. Sebuah organisasi perempuan yang besar di Indonesia yang merupakan organisasi keagamaan perempuan, yang mana ideologi dan amaliah keagamaannya meng ikuti ‘ulama NU. Muslimat NU memiliki aktifitas di berbagai bidang, seperti keagamaan, pendidikan, kesehatan, penerbitan, ekonomi dan lain-lain.

3. Pengurus Aisyiyah: Organisasi perempuan keagamaan Aisyiyah adalah organisasi yang besar, sebanding dengan Muslimat NU. Ideologi dan amaliah keagamaannya mengikuti ulama Muhammadiyah. Organisasi ini juga memiliki aktifitas di berbagai bidang, seperti keagamaan, pendidikan, kesehatan, ekonomi, penerbitan dan lain-lain.

F. PENELITIAN TERDAHULU

1. Lina Nur Anisa, Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 46/PUU-VIII/2010 Tentang Kedudukan Anak Di Luar Nikah (Studi pandangan Hakim Pengadilan Agama dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Malang).Tesis pada Sekolah Pascasarjana UIN Maliki, Program Studi Ahwal Syakhsyiyyah. Fokus penelitian nya adalah, “Bagaimana pandangan Hakim PA dan MUI Kota Malang tentang kedudukan anak yang lahir di luar perkawinan”.

Kesimpulannya adalah menurut Hakim PA dan MUI kota Malang, anak yang Kesimpulannya adalah menurut Hakim PA dan MUI kota Malang, anak yang

2. Ali Wafa, Memaknai Anak di Luar Perkawinan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi. 3 Rumusan masalah penelitian ini meneliti makna “Anak di Luar

Perkawinan” dalam putusan Mahkamah Konstitusi. Jenis penelitian normative yuridis. Kesimpulan penelitian adalah bahwa yang dimaksud “Anak di luar Perkawinan” dalam putusan MK adalah anak yang terlahir dari perkawinan siri atau yang tidak dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA).

3. Drs. H. Syamsul Anwar, SH., MH dan Drs. Isak Munawar, M.H. “Nasab Anak di Luar Perkawinan Paska Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Pebruari 2012 Menurut Teori Fikih dan

Perundang- 4 undangan” Penelitian yuridis normative, rumusan masalahnya adalah, “Bagaimana status hukum anak yang dilahirkan dalam perkawinan

poligami di bawah tangan” Kesimpulan penelitian adalah bahwa status hukum anak yang dilahirkan dalam perkawinan poligami di bawah tangan tidak termasuk dalam pengertian anak yang lahir di luar perkawinan. Karena anak ini menurut UU Perkawinan N0.1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (1) adalah anak sah.

Penelitian-penelitian yang sudah disebutkan di atas memiliki titik singgung dengan penelitian ini, yaitu tema besarnya adalah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010. Namun tinjauan ketiga penelitian diatas dengan penelitian ini adalah berbeda. Disebabkan penelitian ini akan mengeksplorasi pandangan tokoh perempuan secara komperhensif terkait materi putusan MK tersebut. Yaitu tentang bagaimana kedudukan perkawinan di bawah

3 http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/ARTIKEL%20.Memaknai Anak Di luar Perkawinan dalam Putusan Mahkamah Konstitusipdf

http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/ARTIKEL%20NASAB%20ANAK%20DI%20LUAR%20PER KAWINAN.pdf

4 .http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/ARTIKEL%20NASAB%20ANAK%20DI%20LUAR%20PE

RKAWINAN.pdf diakses tanggal 1 juli 2013.

tangan atau siri, apa hak-hak isteri dalam perkawinan siri dan bagaimana kedudukan anak yang lahir di luar perkawinan menurut pandangan tokoh perempuan di kota Malang.

G. SISTEMATIKA PEMBAHASAN

Pembahasan dalam penelitian ini diorganisasikan ke dalam bab dan sub bab, untuk menjadikan pembahasan sistematis, jelas dan focus. Bab 1, Pendahuluan, terdiri dari beberapa sub bab, yaitu konteks penelitian, rumusan masalah, tujuan pembahasan, manfaat penelitian, definisi operasional, penelitian terdahulu dan sistematika pembahasan. Bab satu merupakan desain dari seluruh pembahasan.

Bab 2, Kajian Teori. Memaparkan teori-teori yang terkait dengan focus penelitian, yang akan dijadikan dasar dan arah di dalam memahami dan menganalisis data lapangan. Bab ini terdiri dari beberapa sub bab. Yaitu, Deskripsi Putusan Mahkamah Konstitusi, Sahnya Perkawinan versus Pencatatan Perkawinan, Anak di luar Perkawinan versus Anak Zina

Bab 3, Metode Penelitian yang terdiri dari beberapa sub bab, yaitu Jenis Penelitian, Pendekatan Penelitian, Sumber data, Metode Pengumpulan data dan Metode Analisis data.

Bab 4, Paparan Data dan Temuan Penelitian Bab 5, Kesimpulan, Implikasi penelitian dan Saran.

BAB II KAJIAN TEORI

A. Deskripsi Putusan MK

Adalah Macica Muchtar alias Hj. Aisyah binti H. Ibrahim Mochtar menikah di bawah tangan (siri) dengan Drs. Moerdiono, menteri sekretaris Negara pada zaman orde baru, pada tahun 1992. Pada waktu itu, Moerdiono sudah beristeri. Dengan demikian status perkawinannya adalah poligami di bawah tangan. Dari perkawinan tersebut lahir seorang anak laki-laki bernama Muhammad Iqbal Ramadlan. Perkawinan ini tidak berlangsung lama, pada tahun 1998 mereka bercerai. Selanjutnya Moerdiono tidak mengakui perkawinannya tersebut dan menolak mengakui anaknya. Disebabkan perkawinannya di bawah tangan, maka Macica tidak bisa menuntut secara hukum mengenai keberadaan perkawinannya, status anaknya, maupun hak nafkah untuk dirinya dan anaknya. Banyak jalan yang sudah ditempuh unuk memperjuangkan status perkawinannya dan anaknya, seperti mengajukan ke KPAI, karena mantan Adalah Macica Muchtar alias Hj. Aisyah binti H. Ibrahim Mochtar menikah di bawah tangan (siri) dengan Drs. Moerdiono, menteri sekretaris Negara pada zaman orde baru, pada tahun 1992. Pada waktu itu, Moerdiono sudah beristeri. Dengan demikian status perkawinannya adalah poligami di bawah tangan. Dari perkawinan tersebut lahir seorang anak laki-laki bernama Muhammad Iqbal Ramadlan. Perkawinan ini tidak berlangsung lama, pada tahun 1998 mereka bercerai. Selanjutnya Moerdiono tidak mengakui perkawinannya tersebut dan menolak mengakui anaknya. Disebabkan perkawinannya di bawah tangan, maka Macica tidak bisa menuntut secara hukum mengenai keberadaan perkawinannya, status anaknya, maupun hak nafkah untuk dirinya dan anaknya. Banyak jalan yang sudah ditempuh unuk memperjuangkan status perkawinannya dan anaknya, seperti mengajukan ke KPAI, karena mantan

Uji materi yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi oleh Macica Muchtar adalah dengan mengemukakan bahwa dengan adanya pasal 2 ayat (2) dan pasal 43 ayat (1), Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya, UUP) hak-hak dasarnya dan anaknya sebagai warga Negara dirugikan. Pasal 2 ayat (1) UUP berbunyi, “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu” sedangkan ayat (2) berbunyi, “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-und angan yang berlaku”. Pasal 43 ayat (1) berbunyi, “anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Hak dasar Macica dan

anaknya yang dirugikan adalah berdasarkan Undang-undang Dasar RI 1945 (UUD ’45) pasal 28 B ayat (1) yang berbunyi, “setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”, dan pasal 28 B ayat (2) yang berbunyi, “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan

berkembang serta berhak at as perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”, dan pasal 28 D ayat (1) yang berbunyi, “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,

perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. 6 Dengan berlakunya pasal 2 ayat (2) dan pasal 43 ayat (1) UUP tersebut,

maka hak-nya untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah serta hak anak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi; hak pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di depan hukum, sebagaimana disebutkan dalam UUD RI ’45, menjadi hilang. Akibatnya status perkawinannya dengan Moerdiono yang dilakukan secara sah sesuai syariat Islam, dianggap tidak sah. Demikian pula anak yang lahir dari perkawinan itu, dianggap tidak sah. Dengan hilangnya status sah

5 Macica Mochtar http://selebriti.kapanlagi.com/indonesia/m/machica_mochtar/ diakses pada 1 juli 2013.

http://video.kapanlagi.com/hot- news/machicamochtar-8-tahunberjuang-demi-hakanak.html

Macica 8 Tahun

6 Putusan Mahkamah Konstitusi RI hal. 27.

perkawinannya tersebut, maka ia dan anaknya tidak memiliki hubungan perdata, baik nasab, nafkah maupun waris dengan Mordiono.

Terhadap uji materi pasal 2 ayat (2) UUP tentang pencatatan perkawinan, MK mengemukakan jawaban berdasarkan penjelasan umum angka 4 huruf b UUP bahwa, pertama , pencatatan perkawinan bukan faktor yang menentukan sah-nya perkawinan; kedua , pencatatan merupakan kewajiban administrasi yang diwajibkan berdasarkan undang-undang. Kewajiban-kewajiban administrasi tersebut dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu dari perspektif Negara, pencatatan dimaksud diwajibkan dalam rangka memenuhi fungsi Negara untuk memberikan jaminan perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak-hak asasi manusia yang bersangkutan yang merupakan tanggung jawab Negara dan harus dilakukan sesuai prinsip Negara hukum

sebagaimana yang dimuat dalam pasal 28 I ayat (4) dan ayat (5) UUD RI ’45 7 . Sekiranya pencatatan tersebut dianggap pembatasan, maka pembatasan tersebut

dipandang tidak bertentangan dengan UUD RI ’45, karena pembatasan dimaksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain. Kedua, pencatatan secara administrative yang dilakukan oleh Negara dimaksudkan agar perkawinan sebagai perbuatan hukum penting yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas, dan dikemudian hari perkawinan itu dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta otentik. Dengan argument tersebut, MK berpendapat bahwa pasal 2 ayat (2) UUP tidak bertentangan dengan

UUD RI ’45 8 . Adapun terhadap uji materi pasal 43 ayat (1) UUP MK mengabulkan dengan

putusan Mahkamah Konstitusi ( MK ) Nomor 46/PUU-VIII/2010, tanggal 17 Februari 2012. Amar putusan tersebut berbunyi 9 :

7 UUD NKRI 1945 pasal 28 I ayat (4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Dan ayat (5) Untuk menegakan dan

melindungi hak assi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.

8 Putusan MK ha. 33-34. 9 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, Tanggal 17 Februari 2012, Tentang Uji

Materiil Undang-undang Perkawinan Pada Pasal 2 ayat (2), dan Pasal 43 ayat (1)

“ Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “ Anak yang dilahirkan di luar

perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya ”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki- laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca , “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya ”

Berdasarkan putusan MK tersebut, anak yang dilahirkan di luar perkawinan, yang semula menurut pasal 43 ayat (1) UUP hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu saja, mempunyai jalan untuk mendapatkan hak-hak perdata dari ayah biologis, asalkan dapat membuktikan kebenarannya melalui ilmu pengetahuan dan teknologi, misalnya dengan tes DNA atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya. Keputusan tersebut berdasarkan argument bahwa secara alamiah tidak mungkin seorang perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dan spermatozoa baik melalui hubungan seksual maupun cara lain berdasarkan perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan. Oleh karena itu tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan Berdasarkan putusan MK tersebut, anak yang dilahirkan di luar perkawinan, yang semula menurut pasal 43 ayat (1) UUP hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu saja, mempunyai jalan untuk mendapatkan hak-hak perdata dari ayah biologis, asalkan dapat membuktikan kebenarannya melalui ilmu pengetahuan dan teknologi, misalnya dengan tes DNA atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya. Keputusan tersebut berdasarkan argument bahwa secara alamiah tidak mungkin seorang perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dan spermatozoa baik melalui hubungan seksual maupun cara lain berdasarkan perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan. Oleh karena itu tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan

adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak 10 .

B. Sahnya Perkawinan Versus Pencatatan Perkawinan

Sahnya perkawinan menurut UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan di dalam pasal 2 ayat (1), “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing- masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Pasal tersebut dijelaskan di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) 11 pasal 5, “perkawinan adalah sah apabila

dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan”. Penjelasan tentang rukun perkawinan menurut

hukum Islam, yang merupakan dasar sah-nya suatu perkawinan dijelaskan di dalam pasal 14 yaitu, adanya calon suami, calon isteri, wali nikah, dua orang saksi, ijab dan Kabul. Dengan demikian sah-nya suatu perkawinan berdasarkan adanya lima rukun tersebut, yang mana pencatatan tidak termasuk di dalamnya. Perkawinan sudah dinyatakan sah menurut hukum Islam tanpa adanya pencatatan.

Adapun kedudukan pencatatan perkawinan sebagaimana disebutkan di dalam pasal 2 ayat (2) Undang-undang Perkawinan, di dalam KHI pasal 5 disebutkan secara

10 Putusan MK hal. 35-36. 11 Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah hukum keluarga Islam yang meliputi bidang perkawinan,

kewarisan dan perwakafan, yang ditulis dalam bentuk pasal-pasal sebagaimana undang-undang, berjumlah 229 pasal untuk umat Islam di Indonesia. Meskipun belum berbentuk undang-undang, namun KHI secara efektif telah menjadi pedoman Pengadilan Agama berdasarkan Inpress No. 1 tahun 1991 yang mana Presiden menginstruksikan kepada Menteri Agama untuk menyosialisasikan KHI untuk digunakan instansi Pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya.

eksplisit merupakan suatu keharusan demi menjamin ketertiban perkawinan masyarakat Islam, bahkan ditegaskan di dalam pasal 6 ayat (2), bahwa perkawinan yang tidak dicatat, tidak memiliki kekuatan hukum. Pencatatan perkawinan dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 2 tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 tahun 1954, sebab itu, perkawinan harus dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat Nikah dan hanya dapat dibuktikan dengan

Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah 12 .

Meskipun peraturan perundangan sudah tegas mewajibkan pencatatan perkawinan, namun masih banyak masyarakat yang melakukan perkawinan di bawah tangan alias tidak dicatat. Sebagian besar adalah mereka yang poligami sebagaimana

kasus Moerdiono-Macica tersebut diatas dan perkawinan di bawah umur 13 . Hal ini merupakan problem yang rumit, apalagi poligami dan perkawinan di bawah umur

sering berakhir dengan perceraian 14 . Sebagai akibatnya banyak janda dan anak yang lahir dari perkawinan tersebut yang dirugikan karena tidak mendapat jaminan hukum.

Jika banyak janda dan anak yang terlantar, tidak mendapat jaminan hukum, maka akan berakibat pada pertumbuhan dan perkembangan yang tidak positif. Anak bisa tumbuh, berkembang dengan baik hanya dalam keluarga yang baik. Maka bisa dibayangkan beban hidup yang ditanggung oleh ibu dalam mengasuh dan membesarkan anaknya seorang diri. Hal itu masih ditambah dengan pandangan masyarakat yang negative terhadap perkawinan di bawah tangan.

Mayoritas ahli hukum menyatakan bahwa sah-nya perkawinan dan pencatatan perkawinan yang diatur dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 bisa

berjalan seiring atau tidak mengandung problem dalam pelaksanaannya 15 . Namun

12 Lihat KHI pasal 6 dan 7. 13 Belum

http://puslitbang 1, balitbangdiklat.kemenag.go.id/index.php?option=c diakses tanggal 1 juli 2013. 14 Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat.Jakarta: Sinar Grafika,

ada sanksi

15 Abdul Manan,. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008. Hal. 13. D rs. H. Syamsul Anwar, SH., MH dan Drs. Isak Munawar, M.H. “Nasab

jika dicermati lebih dalam, sesungguhnya dalam dua ketentuan tersebut muncul kejanggalan. Misalnya akan muncul pertanyaan, bagaimana suatu perkawinan yang dipandang sah menurut undang-undang bisa tidak diakui sendiri ketidak-sah-annya oleh undang-undang yang sama. Sebab perkawinan yang dilaksanakan menurut syariat Islam atau adat dipandang sah menurut pasal 2 ayat (1) Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, namun sekaligus juga diingkari ke-sah-annya menurut pasa 2 ayat (2), dan tidak memiliki kekuatan hukum, karena tidak dicatat. Salah seorang hakim mahkamah konstitusi dalam menetapkan putusan perkara ini, mengemukakan pandangan yang berbeda (councuring opinion), yaitu Farida Indriyati. Menurut Indriyati dua pasal tersebut saling menghalangi satu sama lain. Dalam pelaksanannya pasal 2 ayat (1) terhalang pelaksanaannya oleh ayat 2 dan sebaliknya ayat (2) juga terhalang oleh ayat (1). Kondisi ini disebabkan tidak sinkronnya antara norma agama dan norma hukum. Sahnya suatu perkawinan berdasarkan norma agama, sedang perlindungan hukum harus berdasarkan pencatatan. Perlindungan hukum tidak bisa dilaksanakan tanpa adanya akte nikah, yang mana hanya bisa diperoleh dengan melaksanakan pernikahan di depan Pegawai Pencatat Nikah. Sebab itu, Indriyati mengharapkan adanya sinkronisasi norma-norma

agama dan hukum 16 . Dikarenakan kondisi tidak sinkron ini merugikan perempuan dan anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Kerugian tersebut berupa

perkawinannya dipandang tidak sah, yang mengakibatkan kedudukan anaknya juga tidak sah, yang oleh karena itu, anak tidak memiliki hubungan perdata dengan ayah. Kerugian lebih lanjut adalah isteri tidak memiliki hak terhadap harta bersama.

C. Anak Di Luar Perkawinan Versus Anak Zina

Anak di Luar Perkawinan Paska Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Pebruari

Perundang- undangan” hal. 9-10. http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/ARTIKEL%20NASAB%20ANAK%20DI%20LUAR%20PER

KAWINAN.pdf diakses tanggal 1 juli 2013.

16 Putusan MK, dalam concurring opinion putusan MK hal. 40-45. Didukung oleh Komnas Perempuan dalam Pernyataan Sikap Komnas Perempuan terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi tentang

Pasal43ayat(1)Undang-undangN0.1tahun1974tentangPerkawinan. http://www.komnasperempuan.or.id/2012/02/pernyataan-sikap-komnas -perempuan-terhadap-putusan- mahkamah-konstitusi-tentang-pasal-43-ayat-1-uu-no-1-tahun-1974-tentang-perkawinan/ Diakses pada tanggal 10-11-2012

Apa pengertian anak yang dilahirkan di luar perkawinan di dalam putusan MK dan di dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan meliputi anak zina, yaitu anak yang kelahirannya tanpa perkawinan ke dua orang tuanya? ataukah hanya anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang tidak dicatat saja? Pengertian anak yang dilahirkan di luar perkawinan ini menjadi polemic diantara ahli hukum. Putusan MK memberi

kesan kepada ormas Islam dan MUI 17 , bahwa pengertian anak yang dilahirkan di luar perkawinan itu termasuk anak zina. Sebab itu MUI segera mengeluarkan fatwa

tentang kedudukan Anak Zina. Yang intinya menyatakan bahwa anak zina tidak memiliki hubungan nasab dengan laki-laki yang menjadi sebab kelahirannya dan keluarganya. Anak zina hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Dengan kata lain, ormas Islam dan MUI memaknai anak yang dilahirkan di luar perkawinan itu, adalah anak yang dilahirkan di dalam perkawinan yang tidak

dicatat atau dibawah tangan 18 . Mereka menyatakan bahwa putusan MK tersebut secara implicit menuju kepada legalisasi zina 19 . Sebaliknya Mahfud MD, ketua MK

pada waktu itu, memberi penjelasan bahwa dasar terpenting dalam putusan MK adalah, semua orang yang berbuat, dia harus bertanggung jawab. Laki-laki yang menjadi sebab kelahiran seorang anak, harus bertanggung jawab terhadap hidup dan

kehidupan anak tersebut, tanpa memperhatikan bagaimana status perkawinannya 20 . Jadi, anak zina juga mempunyai hubungan perdata dengan ayah yang menjadi sebab

kelahirannya dan keluarga ayahnya.

17 Mukti Arto, “Diskusi Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 46/PUU-VIII/2010” http://badilag.net/data/ARTIKEL/DISKUSI%20HUKUM.pdf diakses pada 1juli 2013 dan 17 Drs. H.

Syamsul Anwar, SH., MH dan Drs. Isak Munawar, M.H. “Nasab Anak di Luar Perkawinan Paska Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Pebruari 2012 Menurut Teori Fikih dan Perundang- undangan” hal. 9-10. http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/ARTIKEL%20NASAB%20ANAK%20DI%20LUAR%20PER KAWINAN.pdf diakses tanggal 1 juli 2013.

18 Jumni Nelly, , Nasab Anak Luar Nikah Perspektif Hukum Islam dan Hukum Perkawinan Nasional.

Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum Uin Suska Pekanbaru, Riau., hal. 54. 19 Putusan MK tentang Anak Luar Nikah, Legalkan Zina http://www.itoday.co.id/politik/putusan-mk-

tentang-anak-di-luar-nikah-legalkan-zina, diakses 3 juli 2013dan Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010, tidak legalkan perzinahan http://id.berita.yahoo.com/mk-putusan-nomor-46-puu-viii-2010-tidak- 085210375.html

20 MK dituding Legalkan zina, http://revisi.joglosemar.co/berita/mk-dituding-legalkan-zina-67643.html

Selain itu, menurut hakim konstitusi Indriyati dalam councoring opinion -nya, jika perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan syariat Islam atau di bawah tangan dipandang sah menurut undang-undang, maka seturut dengan itu, anak yang dilahirkan dalam perkawinan di bawah tangan juga harus dipandang anak sah. Dengan demikian yang dimaksud anak yang dilahirkan di luar perkawinan itu bukan anak yang lahir dalam perkawinan, melainkan anak zina, yaitu anak yang lahir tidak dalam perkawinan. Sejalan dengan Indriyati, Syamsul Anwar menyatakan, bahwa

UUD NKRI 1945 pasal 29 B ayat (1) menyatakan, “setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”. Berdasarkan pasal 29 B ayat (1) tersebut, kata kunci yang harus diperhatikan adalah “melalui perkawinan yang sah”. Adapun perkawinan yang sah harus dirujuk kepada UUP No.

1 tahun 1974 pasal 2 ayat (1), yaitu “ perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing- masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Anwar

menegaskan bahwa berdasarkan undang-undang, setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan keturunan dengan jalan perkawinan yang sah. Tidak melegalkan memperoleh keturunan dengan jalan kumpul kebo atau zina. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud anak yang dilahirkan di luar perkawinan adalah anak yang lahir dari perkawinan di bawah tangan, bukan anak yang lahir tanpa perkawinan. Polemic ini menjadi panas, sebab di dalam UUP No. 1 tahun 1974 tidak ada penjelasan yang eksplisit tentang pengertian anak yang dilahirkan di luar

perkawinan 21 . Putusan MK didukung oleh ketua KPAI, Aris Merdeka Sirait, dengan

menyatakan, “ jadi putusan MK kemarin memberikan hak keperdataan yang selama ini tidak diakui negara. Makanya akta lahirnya itu tidak mencantumkan nama ayah.

Dan ini tentu akan berimplikasi tidak mendapatkan “hak waris” dan tidak bisa mencantumkan siapa bapaknya, nah .. itukan merugikan anaknya. Di dalam konvensi

PBB juga pengakuan keperdataan dalam bentuk identitas nama dan kewarganegaraan itu harus diberikan oleh Negara, tidak harus bergantung pada sah tidaknya

21 Abdul.Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada

Media Group 2008 hal 41.

perkawinan. Tetapi juga sebagai hak konstitusi, hak keperdataan, itu adalah hak yang sangat mendasar dan konstitusional” 22 . KPAI menyatakan hamper 50 juta anak di

Indonesia yang tidak memiliki akta kelahiran karena berbagai sebab, antara lain karena pernikahan tidak sah atau kawin siri. Angka ini hampir separoh dari total jumlah anak di bawah usia 5 tahun. Sebab itu Aris Merdeka Sirait sangat mendukung putusan MK, yang bisa dijadikan landasan advokasi untuk anak di luar pernikahan untuk memperoleh hak keperdataannya.

D. KONFRONTASI FATWA MUI DAN PUTUSAN MK

Posisi ulama harus berada di garis terdepan di dalam menjaga moral masyarakat dan menegakkan ajaran Islam. Sebab itu, melalui fatwa tersebut, MUI telah melaksanakan perannya sebagai penjaga moral ummat dengan menutup pintu zina. Butir kedua, tentang Ketentuan Hukum dalam fatwa MUI menyatakan:

1. Anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah, waris, dan nafaqah dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya.

2. Anak hasil zina hanya mempunyai hubungan nasab, waris, dan nafaqah dengan ibunya dan keluarga ibunya.

3. Anak hasil zina tidak menanggung dosa perzinaan yang dilakukan oleh orang yang mengakibatkan kelahirannya.

4. Pezina dikenakan hukuman hadd oleh pihak yang berwenang , untuk kepentingan menjaga keturunan yang sah ( hifzh al-nasl) .

5. Pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman ta’zir lelaki pezina yang mengakibatkan lahirnya anak dengan mewajibkannya untuk:

Komnas Pa: 249 Anak Kasus Perceraian Tak Diakui Ayahnya http://www.antarajawabarat.com/lihat/cetak/36884 diakses 4 juli 2013 Komnas Pa: 249 Anak Kasus Perceraian Tak Diakui Ayahnya http://www.antarajawabarat.com/lihat/cetak/36884 diakses 4 juli 2013

b. memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah . Hukuman sebagaimana dimaksud nomor 5 bertujuan melindungi anak, bukan untuk mensahkan hubungan nasab antara anak tersebut dengan lelaki yang

mengakibatkan kelahirannya 23 .

Spirit dari fatwa tersebut adalah menjaga nasab yang merupakan prinsip ajaran Islam.serta menutup rapat-rapat pintu zina. Bagi ummat Islam, sesungguhnya tidak mengherankan, ketentuan-ketentuan dalam fatwa MUI tentang anak hasil zina yang tampak keras, bahkan mengesankan tidak manusiawi tersebut. Sebab ajaran Islam merupakan zona bebas zina. Tidak ada celah sekecil apapun yang bisa mengizinkan atau mengakibatkan zina. Semua pintu yang bisa menyebabkan terjadinya zina ditutup rapat-rapat. Hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan hanya diizinkan melalui satu pintu, dan satu-satunya, yaitu perkawinan. Sebab itu memang ajaran Islam tidak mengenal hubungan nasab lewat jalan zina. Larangan zina

di dalam al- 24 Qur’an surat al-Isra’(17):32 , tidak sekedar diungkapkan dengan kalimat, “janganlah kamu berzina”, tetapi “ janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya

zina itu perbuatan keji dan sejelek- jeleknya jalan”. Zina juga merupakan perbuatan jarîmah hudûd , dimana hukumannya sudah dijelaskan di dalam al- Qur’an, yaitu seratus kali cambuk bagi yang masih bujang, belum menikah baik laki-laki maupun

perempuan 25 , dan rajam, dilempar batu sampai mati bagi yang sudah menikah atau janda dan duda. 26 Seturut dengan larangan zina, ajaran Islam juga melarang ber-

23 fatwa MUI No. 11 tahun 2012 tanggal 10 Maret 2012 tentang “Kedudukan Anak Hasil Zina Dan

Perlakuan Terhadapnya”

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk “ (QS. Al-Isra : 32).

ج ئام ا نم حا َلك ا جاف يناَزلا يناَزلا Qur’an surat al-Nûr(24):2.

26 Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, ( t.t. Dâr al-Fikr, t.th.) juz II, hal. 346

27 khalwat 28 , menganjurkan menjaga pandangan dan menutup aurat . Di sisi lain, ajaran Islam sangat menganjurkan perkawinan. Sangat banyak ayat al- Qur’an yang

menganjurkan perkawinan, bahkan perkawinan dipandang sebagai salah satu tanda kekuasaan Allah SWT. Yang di dalamnya terwujud kehidupan yang tenang, saling

mencintai dan mengasihi. 29 Perkawinan dalam hadist dipandang sebagai sunnah para Nabi, bagi yang tidak menyukai sunnah Nabi, dianggap tidak termasuk golongan

Nabi 30 . Hukum keluarga di dalam fiqh (baca: hukum Islam) mengatur perkawinan dengan sangat rinci, mulai dari ketentuan memilih pasangan, melamar, rukun dan

syarat perk awinan, hak dan kewajiban suami isteri, talak, ‘iddah, ruju’, pengasuhan anak, waris dan hal-hal yang sangat detil terkait dengan topik-topik tersebut.

Hikmah dilarang zina sudah begitu jelas, sehingga tidak memerlukan penjelasan lagi. Dalam perkawinan melahirkan kemuliaan, mengasah dan mengembangkan potensi-potensi baik akan tumbuh naluri ayah dan ibu untuk mengasuh, melindungi anaknya, berbeda dengan zina yang menyebabkan konflik batin dan penyakit yang sangat berbahaya. Tidak ada agama yang melegalkan zina sebagaimana tidak ada agama yang tidak memuliakan perkawinan.

Di sisi lain, anak hasil zina, sebagai manusia Indonesia, mempunyai hak-hak konstitusional sebagaimana dijamin oleh UUD NRI 1945. Pasal 28B ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Dalam paradigma menjamin hak-hak konstitusional, putusan MK memuat keterangan hukum yang bertentangan dengan fatwa MUI, sebagai berikut :

27 Khalwat : berduaan laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim di tempat sepi, yang rentan merangsang nafsu birahi.

28 ى ع َنه ب نب ض يل ا نم ظ ام َا َن تني ني ي ا َن ج ف نظف ي َنهراصبأ نم نضضغي انم ل لق ينب أ َن ناوْ ينب أ َن ناوْ أ َن تلوعب ءانبأ أ َن ئانبأ أ َن تلوعب ءابآ أ َن ئابآ أ َن تلوع ل َا َن تني ني ي ا َن بويج أ َن ئاسن أ َن تاوْأ surat an-Nur (24) : 30-31. 29 َكفتي وقل ايَ كل يف َ ً حر ً َ وم مكنيب لعج ا يل اونكستل اًجا أ مكسفنأ نم مكل ق ْ أ هتايآ نم )

Surat an-Nur (30): 21. 30 ينم سي ف يتنس نع بغر ن ف يتنس اكنلا

“Secara alamiah, tidaklah mungkin seorang

perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dan spermatozoa baik melalui hubungan seksual ( coitus ) maupun melalui cara lain berdasarkan perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan. Oleh karena itu, tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki

hubungan dengan perempuan tersebut sebagai ibunya. 31 ”

Bahwa anak yang diperlakukan secara berbeda dengan anak-anak yang lain, bukan karena kesalahan yang dilakukan anak tersebut, adalah tindakan diskriminasi kepada anak. Terkait hak-hak anak terhadap ayah biologisnya, putusan MK menyatakan :

“Adalah tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang

menyebabkan terjadinya kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak dan bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap lelaki tersebut sebagai bapaknya. Lebih-lebih manakala berdasarkan perkembangan teknologi yang ada memungkinkan dapat dibuktikan bahwa seorang anak itu merupakan anak dari laki-laki

tertentu. 32 ” Disamping itu, lembaga-lembaga yang bekerja di lapangan terkait dengan

masalah anak juga mengeluarkan pernyataan yang bertentangan dengan fatwa MUI tersebut. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam siaran persnya, secara

31 putusan MK N0. 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 tentang Uji Materiil Undang-undang

Perkawinan Pada Pasal 2 ayat (2), dan Pasal 43 ayat (1).

32 putusan MK N0. 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 tentang Uji Materiil Undang-undang

Perkawinan Pada Pasal 2 ayat (2), dan Pasal 43 ayat (1).

tegas menghimbau MUI untuk meninjau kembali fatwanya dan melakukan kajian yang mendalam, sebab fatwa MUI tentang anak hasil zina tersebut dipandang melukai anak. Mereka juga menyebutkan bahwa jumlah anak yang akte kelahirannya tidak tercantum bapaknya sangat banyak, yang mengakibatkan penderitaan dalam

hidup anak 33 . Demikian pula Komisi Nasional (Komnas) Perempuan secara tegas mendukung putusan MK, menyatakan "Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang

anak di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata kepada ayah biologisnya, meminimalkan terjadinya kekerasan berlapis pada perempuan atau ibu," kekerasan berlapis itu diantaranya adalah stigma masyarakat, sebagai single parent yang harus mengasuh dan menanggung biaya hidup anaknya sendirian. Komnas Perempuan menginformasikan bahwa tahun 2011, menerima pengaduan kasus anak di luar nikah sebanyak sembilan belas kasus. Dari seluruh kasus yang diadukan, tak satu pun laki laki yang memenuhi tanggung jawabnya atas status hukum dan dukungan nafkah bagi

anak yang dilahirkan 34 .

Benar, bahwa fatwa MUI juga dijamin oleh undang-undang, yaitu pasal 29 U UD 1945 ayat (2) yang berbunyi, “ Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing masing dan untuk beribadat menurut

agamanya dan kepercayaannya itu”. Sebab itu semua kelompok yang mendukung putusan MK untuk mengakui hubungan anak dengan ayah biologis sebagaimana

dengan ibunya, berdasarkan konstitusi, tidak boleh mengabaikan prinsip-prinsip menjaga nasab, menutup pintu zina dan memuliakan lembaga perkawinan sebagaiamana ajaran Islam. Artinya pengakuan terhadap anak hasil zina dan perlindungan hukum terhadap hak-haknya, harus sejalan dengan prinsip menjaga nasab dalam Islam. Di sisi lain, pelaksanaan pasal 29 UUD RNI 1945 ayat (2) tidak

33 Terkait Status Anak Zina, Kak Seto MInta Tinjau Ulang Fatwa MUI, http://depoklik.com/2012/03/16/terkait-status-anak-zina-kak-seto-minta-tinjau-ulang-fatwa-mui/Seto

34 Pernyataan Sikap Komnas Perempuan terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pasal 43 ayat (1) Undang-undang N0. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

http://www.komnasperempuan.or.id/2012/02/pernyataan-sikap-komnas -perempuan-terhadap-putusan- mahkamah-konstitusi-tentang-pasal-43-ayat-1-uu-no-1-tahun-1974-tentang-perkawinan/ Diakses pada tanggal 10-11-2012 http://www.komnasperempuan.or.id/2012/02/pernyataan-sikap-komnas -perempuan-terhadap-putusan- mahkamah-konstitusi-tentang-pasal-43-ayat-1-uu-no-1-tahun-1974-tentang-perkawinan/ Diakses pada tanggal 10-11-2012

demokratis.” Dengan demikian, berdasarkan konstitusi, melaksanakan ajaran agama, dalam konteks Negara Indonesia, juga harus memperhatikan ketentuan perundang- undangan. Pada titik ini, berarti agama dituntut untuk mampu melakukan transformasi dalam konteks ke-Indonesiaan. Kebebasan beragama, meskipun agama yang dianut oleh mayoritas, tidak bisa lepas dari ketentuan perundang-undangan. Argumentasi yang dikemukakan oleh kelompok-kelompok yang menolak fatwa MUI, sebagaimana dikemukakan diatas, secara obyektif, bisa diterima akal sehat. Sebab itu perlu direspon secara logis proporsional dan sedapat mungkin tidak apologetic. Sebab ajaran Islam tidak bertentangan dengan akal sehat.

BAB III METODE PENELITIAN

A. PENDEKATAN dan JENIS PENELITIAN

1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan 35 yuridis empiri. Pendekatan yuridis digunakan untuk menganalis Putusan Mahkamah Konstitusi RI

No. 46/PUU-VIII/2010 tentang peraturan perundang-undangan mengenai kedudukan anak di luar nikah. 36 Sedangkan pendekatan empiris digunakan untuk menganalis,

bukan semata-mata sebagai suatu seperangkat aturan perundang-undangan yang bersifat normatif belaka, akan tetapi hukum dilihat sebagai perilaku masyarakat yang menggejala dan mempola kehidupan masyarakat yang selalu berinteraksi dan berhubungan dengan aspek kemasyarakatan, seperti: politik, ekonomi, sosial dan budaya. Berbagai penemuan data dilapangan yang bersifat individual akan dijadikan

35 Pendekatan dari sudut kaidah-kaidah pelaksanaan peraturan yang berlaku dalam masyarakat 36 Soemitro, Ronny Hanitijo (1982). Metode Penelitian Hukum, (Ghalia Indonesia, 1982). Hlm. 9 35 Pendekatan dari sudut kaidah-kaidah pelaksanaan peraturan yang berlaku dalam masyarakat 36 Soemitro, Ronny Hanitijo (1982). Metode Penelitian Hukum, (Ghalia Indonesia, 1982). Hlm. 9

2. Jenis Penelitian