PENGEMBALIAN MAHAR PENGAJARAN AL QUR’AN PADA CERAI GUGAT : STUDI TENTANG HUKUM ISLAM.

PENGEMBALIAN MAHAR PENGAJARAN AL QUR’AN
PADA CERAI GUGAT
(Studi tentang Hukum Islam)

TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat
Memperoleh Gelar Magister dalam Program Studi Ilmu Keislaman
Konsentrasi Shari’ah

Oleh
Mawaddah
NIM: F0.5.4.11.077

PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2016

ABSTRAK
Tesis ini adalah hasil penelitian kepustakaan (library research) dengan judul
“Pengembalian Mahar Pengajaran al Qur’an pada Cerai Gugat (Studi tentang Hukum

Islam)”. Penelitian ini untuk menjawab tiga permasalahan yaitu : bagaimana

pendapat imam Madhab tentang mahar pengajaran al Qur’an?, bagaimana
pengembalian mahar menurut imam Madhab dalam cerai gugat?, dan bagaimana
pengembalian mahar pengajaran al Qur’an pada cerai gugat menurut imam Madhab?

Guna menjawab permasalahan di atas, maka penelitian yang di lakukan di
sini mengunakan metode “deskriptif analisis“ yaitu dengan metode ini dapat
digunakan untuk menganalisis dan memaparkan pandangan ulama’ tentang
pengembalian mahar pengajaran al Qur’an pada cerai gugat baik dari segi argumen
maupun dalilnya sehingga dapat diketahui bagaimana pengembalian mahar
pengajaran al Qur’an pada cerai gugat. Melalui metode ini juga penulis berupaya
secara sistematis dan objektif dengan menggunakan pendekatan tekstual dan
kontekstual. Pendekatan tekstual dimaksudkan untuk memberikan pemaknaan teks
dari sisi redaksi/gramatikalnya sedangkan pendekatan kontekstual dimaksudkan
untuk menelaah pembahasan historisnya. Dan dalam mencari data baik data primer
maupun sekunder penulis melakukan pengumpulan data dengan studi perpustakaan
(library research) yakni pengumpulan data melalui penelusuran terhadap data-data
kepustakaan.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa konsep mahar berupa jasa

(mengajarkan al Qur’an) dalam hukum Islam ini terkait dengan pendapat imam
madzhab tentang mahar jasa. Pendapat-pendapat tersebut yaitu: a) Imam Abu
Hanifah, tidak membolehkan terutama mahar berupa jasa dalam membacakan atau
mengajarkan ayat-ayat al-Qur’an karena mahar yang berupa jasa tidak termasuk
harta yang tidak boleh mengambil upah darinya, sehingga tidak sah untuk dijadikan
mahar, namun darinya wajib dibayar mahar mithil. b) Imam Malik, membolehkan
karena jasa patut menjadi mahar, sama halnya dengan harta. c) Imam Syafi'i,
membolehkan karena mahar yang berupa jasa atau manfaat yang dapat diupahkan
sah dijadikan mahar. d) Imam Ahmad Hambali, membolehkan karena mahar berupa
manfaat seperti halnya mahar berupa benda, dengan syarat manfaat harus diketahui.
Pengembalian mahar adalah terjadinya perceraian antara suami isteri
sebelum terjadi hubungan suami isteri (bersetubuh) dan perceraian tersebut
datangnya dari pihak isteri atau si isteri mengajukan gugatan cerai karena suaminya
cacat atau sebaliknya ataupun memang sejak awal si isteri telah mengembalikan
maharnya.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa dalam hukum Islam pengembalian
mahar pengajaran al Qur’an (mahar jasa) pada cerai gugat (khulu’) itu sama saja
dengan pengembalian mahar materi. Dalam mahar pengajaran al Qur’an ini dhitung
dengan upah pengajarannya. Suami berkewajiban memberikan upah pengajarannya,
apabila ia belum mengajarkan dan mengeluarkan talak sebelum melakukan hubungan

suami istri, serta jika talak terjadi setelah mengajarkan maka ia bisa meminta
kembali setengahnya dalam bentuk upah jika perpisahan terjadi dari pihak mempelai
lelaki, jika perpisahan terjadi dari pihak mempelai perempuan, maka mempelai lelaki
bisa meminta kembali seluruh upahnya.
vi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................

i

PERYATAAN KEASLIAN...........................................................................

ii

PESETUJUAN PEMBIMBING....................................................................

iii


PENGESAHAN TIM PENGUJI ..................................................................

iv

MOTTO............................................................................................................. v
ABSTRAK ....................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ..................................................................................... vii
DAFTAR TRANSLITASI .............................................................................

x

DAFTAR ISI .................................................................................................... xii
BAB I

: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ......................................... 7
C. Rumusan Masalah .................................................................. 8
D. Tujuan Penelitian .................................................................. 8
E. Kegunaan Penelitian .............................................................. 9

F. Kerangka Teoretik ................................................................ 9
G. Kajian Pustaka ...................................................................... 16
H. Metode Penelitian ................................................................. 17
I.

BAB II

Sistematika Pembahasan ...................................................... 19

: TINJAUAN UMUM TENTANG MAHAR DAN CERAI GUGAT

A. Tinjauan Umum tentang Mahar ........................................... 21
xii

1. Sejarah Mahar pada Masa Arab Pra-Islam ...................... 21
2. Pengertian dan Dasar Hukum Mahar ............................... 22
3. Fungsi Mahar ................................................................... 30
4. Syarat-syarat dan Kadar (jumlah) Mahar ........................ 33
5. Macam-macam dan Bentuk Mahar ................................. 39
6. Rusak dan Gugurnya Mahar ............................................ 56

7. Penyebab Gugur atau Pengembalian Mahar .................... 60
B. Tinjauan Umum tentang Cerai Gugat ................................. 63
1. Pengertian Cerai Gugat ................................................... 63
2. Alasan-alasan Cerai Gugat .............................................. 66
3. Prosedur Cerai Gugat ...................................................... 67
4. Akibat Cerai Gugat ......................................................... 71
5. Perbedaan Cerai Gugat dan Khulu’ ................................
BAB III

72

: MAHAR PENGAJARAN AL QUR’AN DAN CERAI
GUGAT(KHULU’) DALAM HUKUM ISLAM
A. Pendapat imam Madhab tentang Mahar Pengajaran al
Qur’an .................................................................................. 83
B. Pendapat imam Madhab tentang Cerai Gugat
(khulu’)................................................................................. 97

BAB IV : ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG PENGEMBALIAN
MAHAR PENGAJARAN AL QUR’AN PADA CERAI GUGAT

(KHULU’)
A. Analisis Pendapat imam Madhab tentang Mahar
Pengajaran al Qur’an............................................................. 101
B. Analisis Pendapat imam Madhab tentang Pengembalian
Mahar pada Cerai Gugat (khulu’) ......................................... 110
xiii

C. Analisis Pendapat imam Madzab tentang Pengembalian
Mahar Pengajaran al Qur’an pada Cerai Gugat (khulu’)….. 114
BAB V

: PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................ 119
B. Saran ...................................................................................... 120

DAFTAR PUSTAKA

xiv

1


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Islam diyakini sebagai agama yang menebar rahmatan lil ‘a>lami>n
(rahmat bagi seluruh alam) dan salah satu bentuk rahmatNya adalah
ketentuan atau hukum perkawinan. Pengaturan tersebut penting karena
perkawinan bertujuan

untuk memenuhi

h}ajat tabi>’at kemanusiaan,

berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam suatu ikatan perkawinan
untuk membentuk keluarga yang saki>nah1, mawaddah wa rah}mah2 (tentram,
penuh dengan cinta kasih dan sayang) agar dapat melahirkan keturunan yang
salih dan berkualitas menuju terwujudnya rumah tangga bahagia.
Perkawinan dalam Islam tidaklah semata-mata sebagai hubungan
atau kontrak keperdataan biasa, akan tetapi ia merupakan suatu ibadah

kepada Allah dan harus berdasarkan ketentuan shari’at Allah dan RasulNya.
Maka amatlah tepat jika kompilasi menegaskannya sebagai akad yang sangat

1

Sakinah berarti ketenteraman yang merupakan kebutuhan batin. Tanpa terpenuhinya
kebutuhan ini manusia akan sulit mencapai kebahagiaan hidup. Ketenteraman akan dapat
diperoleh manusia bila dilengkapi oleh mawaddah (cinta) dan rah{mah (kasih sayang) didalam diri
pasangan yang menikah. Sakinah lebih luas kandungan maknanya dan lebih mencakup tujuan
perkawinan itu yaitu ketenteraman batin/ jiwa. lihat Ismah Salman, Keluarga Sakinah dalam
‘Aisyiyah: Diskursus Jender di Organisasi Perempuan Muhammadiyah (Jakarta: PSAP, 2005), 58.
2
Sedangkan Mawaddah merupakan perasaan yang timbul dalam diri seseorang, namun
tidak mencakup pada seluruh kondisi. Orang yang memiliki perasaan mawaddah, akan mendorong
untuk mau berkorban bagi orang yang dicintainya. Ikrimah berpendapat bahwa mawaddah lebih
erat kaitannya dengan kebutuhan biologis (seks). Kecenderungan hati seseorang kepada lawan
jenisnya mendorong ia untuk melakukan hubungan seks dan melahirkan rah{mah yaitu keturunan
tempat dia menyalurkan kasih sayang seterusnya. Ibid

1


2

kuat

(mi>tha>qan

ghali>da} n)

untuk

mentaati

perintah

Allah,

dan

melaksanakannya merupakan ibadah.3

Selain shari’at mengatur tata laksana perkawinan, shari’at juga
mengatur masalah mahar. Pemberian mahar memiliki beberapa hikmah
antara lain menunjukkan kesungguhan seorang laki-laki untuk menikahi
seorang wanita, sebagai bukti cinta dan kasih sayang seorang suami kepada
istrinya, dan menunjukkan tanggung jawab suami kepada istrinya.
Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon
mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak
bertentangan dengan hukum Islam (ps. 1 huruf d. KHI). Hukumnya wajib,
yang menurut kesepakan para ulama’ merupakan salah satu syarat sahnya
nikah.4 KHI telah merumuskan pada pasal 30 “calon mempelai pria wajib
membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan
jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak”. Penentuan besarnya mahar
didasarkan atas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran
Islam (ps. 31 KHI).
Tidak ada ketentua hukum yang disepakati ulama’ tentang batas
maksimal pemberian mahar, demikian juga batas minimalnya.5 Yang jelas,
meskipun sedikit wajib ditunaikan.
Mahar bisa dilakukan secara kontan/tunai pada saat akad nikah atau
bisa dihutang untuk dibayarkan dikemudian hari setelah akad. Mahar

3

lihat Kompilasi Hukum Islam pasal 2
Ibn Rusyd, Bida>yah al Mujtahid, juz 2, (Semarang: Usaha Keluarga, tt.), 14.
5
Ibid., 14.

4

3

tersebut bisa saja berasal dari harta milik suami atau dari pemberian orang
lain atau dari hutang kepada orang lain dan bahkan dengan pengajaran al

Qur’a>n.

‫ جاء م أ إل سو ه ص ه ع يه س م ف الت‬: ‫عن س ل بن سع لساع قا‬
‫ يا سو ه ج ت هب لك نفسي ف ظ إلي ا سو ه ص ه ع يه س م فصع‬:
‫ل ظ في ا صوَبه ثم طأطأ سو ه ص ه ع يه س م أسه ف ا أ ل أ أنه لم‬
‫ي ض في ا شي ا ج ست ف ا جل من أصحابه ف ا يا سو ه إ لم ب ا ي ن لك حاج‬
‫فز ِج ي ا ف ا ف ل ع من شيئ ؟ ف ا ا ه يا سو ه ف ا هب ل أه ك‬
‫فانظ هل تج شي ا ف هب ثم جع ف ا ا ه ما ج شي ا ف ا سو ه ص‬
‫ه ع يه س م نظ لو خات ا من ح ي ف هب ثم جع ف ا ا ه يا سو ه ا‬
‫(قا س ل ماله ء) ف ا نصفه ف ا سو ه‬
‫ ل ن ه‬. ‫خات ا من ح ي‬
‫ل سته لم‬
‫ل سته لم ي ن ع ي ا م ه شيئ‬
‫ ما تص ع با‬: ‫ص ه ع يه س م‬
‫طا مج سه قا ف آ سو ه ص ه‬
‫ي ن ع يك م ه شيئ فج س ل جل حت‬
‫ معي سو‬: ‫ ما معك من ل آ ؟ قا‬: ‫ع يه س م موليا فام به ف عي ف ا جاء قا‬
‫ نعم قا هب ف‬: ‫ ت أهن عن ظ ق ك ؟ قا‬: ‫ك سو ك (ع ها) ف ا‬
. ‫م ت ا ب ا معك من ل آ‬
“Dari Sahl ibn Sa’id al-Sa>’idiy, ia berkata: “Ada seorang wanita
datang kepada Rasu>lulla>h saw dengan berkata, “Ya Rasulullah! saya
datang untuk menyerahkan diri kepada tuan (untuk dijadikan istri).”
Rasul memandang wanita itu dengan teliti, lalu beliau menekurkan
kepala. Ketika wanita itu menyadari bahwa Rasul tidak tertarik
kepadanya, maka ia pun duduklah. Lalu salah seorang sahabat beliau
berdiri dan berkata, “Ya Rasulullah! Seandainya tuan tidak
membutuhkannya, nikahkanlah dia dengan saya.” Rasul bertanya,
“Adakah engkau mempunyai sesuatu?” Jawab orang itu, “Demi
Allah, tidak ada apa-apa ya Rasulullah.” Rasul berkata, “Pergilah
kepada sanak keluargamu, mudah-mudahan engkau memperoleh apaapa.” Lalu orang itu pergi. Setelah kembali ia berkata, “Demi Allah
tidak ada apa-apa.” Rasulullah berkata, “Carilah walaupun sebuah
cincin besi!” Orang itu pergi kemudian kembali lagi. Ia berkata,
“Demi Allah ya Rasulullah, cincin besipun tidak ada. Tetapi saya
mempunyai sarung yang saya pakai. (Menurut Sa’ad, ia tidak
mempunyai kain lain selain yang ia pakai). Wanita itu boleh
mengambil dari sebagia yang ada padanya.” Rasul berkata, “Apa
yang dapat engkau lakukan dengan sarungmu itu. Kalau engkau
pakai, tentu ia tidak berpakaian,”. Lalu orang itu pun duduk dan lama
termenung, kemudia ia pergi, ketika Rasul melihatnya pergi, beliau
menyuruh agar orang itu dipanggil kembali. Setelah ia datang, beliau
6

Muslim, S{ah}ih} Muslim, jilid 1, (Jakarta: Da>r al Ihya>’ al Kutub al ‘Arabyah, tt.), 596.

4

bertanya, “Apakah kamu ada sesuatu dari al Qur’an?”. Maka ia
menjawab, “saya hafal surat ini dan surat ini.” Ia menyebutkan nama
beberapa surat dalam al Qur’an. Rasul bertanya lagi, “kamu dapat
membacanya di luar kepala?” “ya”. Rasulullah saw bersabda;
“Pergilah, sungguh aku akan menikahkan kamu dengannya, dengan
mahar apa yang kamu miliki dari al Qur’an.”(HR. Muslim)

Hadith tersebut menunjukkan tidak adanya batasan secara tegas
mengenai berapa jumlah minimal mahar yang diberikan mempelai laki-laki
kepada mempelai wanita, bahkan pada akhirnya mahar dibayar dengan cara
jasa mengajarkan atau membaca sebagian surat al Qur’an.
Selain Islam mengatur masalah tentang mahar, Islam juga mengatur
masalah perceraian. Perceraian dapat terjadi antara sepasang suami istri yang
tidak mungkin lagi dapat hidup bersama juga harus dilaksanakan berdasarkan
aturan shari’at. Dengan adanya shari’at ini bukan berarti Islam
menganjurkan adanya perceraian, tetapi merupakan upaya mencegah
kesewenangan dan bagaimanapun juga perceraian tidak boleh dilakukan
setiap saat yang dikehendaki tanpa alasan yang benar. Karena pada
prinsipnya perceraian dalam Islam dilarang, ini dapat dilihat pada isyarat
Rasulullah saw. Bahwa perceraian atau talak adalah perbuatan halal yang
paling dibenci oleh Allah.

)‫لحاكم‬

‫بن ماجه‬

‫أبو‬

( . ‫ه لطا‬

‫بغض لحا ل‬

“sesuatu perbuatan yang halal yang paling dibenci oleh Allah adalah
talak (perceraian)”. (Riwayat Abu> Da>wu>d, ibn Ma>jah, dan al H{ak> im).

7

Abu Daud Sulaiman, Sunan Abi Daud (Beirut: Dar Al Kutub Al-’Ilmiyah, 1996), 120

5

Isyarat

tersebut

menunjukkan

bahwa

perceraian

atau

talak

merupakan alternatif terakhir sebagai “pintu darurat” yang boleh ditempuh
manakala bahtera kehidupan rumah tangga tidak dapat lagi dipertahankan
keutuhan dan kesinambungannya.8
Adapun cerai (t}alaq) adalah hak seorang suami, tetapi apabila ada
seorang suami yang nushu>z, dengan tidak melaksanakan kewajibannya
sebagai seorang suami ( misalnya ; tidak memberi nafkah ) atau berlaku
kasar kepada istri dan istri tidak ridho serta sudah mengkomunikasikan
kepada suaminya dengan cara yang baik, maka hal tersebut bisa menjadi
alasan syar'i bagi istri untuk mengajukan cerai gugat ( khulu>'), dengan
ketentuan istri mengembalikan mahar yang telah diterima dari suaminya saat
akad nikah dahulu atau setelahnya atau yang senilai dengan mahar tersebut.
Namun semua itu seyogyanya dilakukan setelah adanya komunikasi yang
optimal dalam rangka mencari solusi perbaikan dan tidak membuahkan hasil.

Khulu>’ adalah pembatalan ikatan pernikahan dengan memberikan
imbalan dan menggunakan kata khulu’ (gugat cerai). Khulu>’ dibolehkan
oleh para ‘ulama baik yang dahulu maupun yang belakangan. Dalil
kebolehannya adalah firman Allah dalam al Qura>n.
                .....
                
        

8
9

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2003), 269.
Al Qur’an, 2: 229

6

“Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah
kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak
akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir
bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukumhukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran
yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukumhukum Allah. Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa
melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang z}alim”
(al-Baqarah, 2:229)10
Begitu juga, hadith Ibn ‘Abba>s ra. Menyebutkan :

‫ يها سهو‬:‫ه ع يهه سه م ف الهت‬
‫ ف ا‬. ‫اسا‬
‫سهو ه صه‬

‫لف ف‬

‫ك‬

‫َ م أ ثابت بن قيس تت ل يَ ص‬

‫ ل‬،‫ ثابت بن قيس ما عيب ع يه ف خ ق ا ين‬،‫ه‬

‫ ف ا‬.‫ نعم‬:‫ ت ين ع يه ح ي ته؟ قالت‬: ‫ه ع يه س م‬
)

‫عن بن ع ا‬

‫ل ا‬

( . ‫ط ا تط ي‬

‫سو ه ص‬

‫ ق ل لح ي‬:‫ه ع يه س م‬

Dari ibnu ‘Abbas, ia berkata : Istri Thabit ibn Qais datang kepada
Nabi saw, lalu ia berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku tidak
mencela Thabit bin Qais (suamiku) tentang akhlaq dan agamanya,
tetapi aku tidak menyukai kekufuran dalam Islam”. Kemudian
Rasulullah SAW bertanya, “Maukah kamu mengembalikan kebunmu
kepadanya ?”. Ia menjawab, “Ya”. Lalu Rasulullah SAW bersabda
(kepada Thabit), “Terimalah kebunmu itu dan talaklah dia sekali”.
(HR. Bukha>riy)
Dengan demikian, seorang istri yang menuntut cerai dari suaminya
harus mengembalikan mahar yang diberikan kepadanya. Ia juga harus
menggugurkan hak-haknya di masa mendatang, seperti hak nafkah selama
iddah, nafkah mut’ah (nafkah untuk istri yang dicerai tanpa alasan setelah
masa iddah) dan mahar yang belum sempat terbayar.

Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta:
CV Darus Sunnah, 2002), 37.
11
Muslim, S{ah}ih} Muslim, jilid 1, (Jakarta: Da>r al Ihya>’ al Kutub al ‘Arabyah, tt.), 605..
10

7

Untuk itu penulis ingin mengkaji dan meneliti lebih dalam tentang
pengembalian mahar al Qur’an pada cerai gugat dengan harapan dapat
dijadikan bahan untuk penyusunan program hukum.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan cakupan yang dapat
muncul dalam penelitian, maka penulis melakukan identifikasi dan
memberikan batasan masalah sebagai berikut:
1. Mahar : mas kawin12. Mas kawin adalah pemberian wajib dari calon suami
kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan
rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya atau suatu
pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik
dalam bentuk benda maupun jasa (memerdekakan, mengajar, dan lain
sebagainya).13 Mas kawin dalam pembahasan kali ini adalah mas kawin
pengajaran al Qur’an.
2. Cerai gugat : khulu’. Perceraian yang terjadi atas permintaan isteri dengan
memberikan tebusan atau iwadl kepada dan atas persetujuan suaminya.
3. Studi : mempelajari dan menyelidiki. Yang dimaksud dalam penulisan ini
adalah mengetahui dan mempelajari bagaimana pengembalian mahar pada
cerai gugat dalam uraian hukum Islam.
12

Pius A Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola,

2011), 29.

13

Lihat Kamus Istilah Fiqh, 184. Lihat Zakiyah Daradjat dkk, Ilmu Fiqh (Jakarta: Depag
RI, 1985) Jilid 3, 83. Lihat pula H. Abdurrahman Ghazali, Fiqih Munakahat (Jakarta: Prenada
Media, 2003), 84.

8

4. Hukum Islam : Artinya permasalahan tersebut akan penulis analisis
dengan hukum Islam (aturan hukum Islam) yan didalamnya mencakup
pengembalian mahar pengajaran al Qur’an pada cerai gugat.
Dengan memahami identifikasi masalah yang telah penulis tentukan,
dapat ditarik sebuah konklusi bahwa penelitian ini didesain oleh penulis
dengan batasan mengetahui mahar pengajaran al Qur’an menurut imam
Madhab dan bagaimana pengembalian mahar pengajaran al Qur’an pada
cerai gugat dalam analisis hukum Islam.

C. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, maka terdapat permasalahan
sebagai berikut :
1. Bagaimana pendapat imam Madhab tentang mahar pengajaran al
Qur’an?
2. Bagaimana pendapat imam Madhab tentang pengembalian mahar
dalam cerai gugat (khulu’)?
3. Bagaimana pengembalian mahar pengajaran al Qur’an pada cerai gugat
(khulu’) dalam hukum Islam?

D. Tujuan Penelitian
1. Untuk menjelaskan pendapat imam Madhab tentang mahar pengajaran
al Qur’an

9

2. Untuk menjelaskan pengembalian mahar dalam cerai gugat secara
umum. Sehingga diperoleh gambaran secara lengkap tentang
pengembalian mahar dalam cerai gugat
3. Untuk menjelaskan bagaimana cara pengembalian mahar pengajaran al
Qur’an pada cerai gugat (khulu’) dalam hukum Islam

E. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
keilmuan dunia ke-Islaman kedua mengenai mahar pengajaran al Qur’an
dalam perkawinan. Dalam perkawinan, mahar pengajaran al Qur’an ini
mengingat kurang adanya perhatian dalam memahami lebih jauh esensi
mahar pengajaran al Qur’an yang telah disampaikan dalam Hadith.
2. Kegunaan Praktis
Melalui hasil analisa ini diharapkan memberikan sumbangan
pengetahuan bagi masyarakat Muslim, khususnya bagi yang melakukan
cerai gugat. Sehingga mengetahui cara mengembalikan mahar pengajaran
al Qur’an.

F. Kerangka Teoretik
1. Mahar dalam Perkawinan
a.

Pengertian dan Hukum Mahar
Dalam istilah ahli fiqh, disamping perkataan “mahar” juga

10

dipakai perkataan : “s}adaq” , nih}lah; dan fari>d}ah” dalam bahasa
indonesia dipakai dengan perkataan maskawin.14
Mahar,

secara

etimologi,

artinya

maskawin.

Secara

terminologi, mahar ialah pemberian wajib dari calon suami kepada
calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan
rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya. Atau
suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon
istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa (memerdekakan,
mengajar, dan lain sebagainya).15
Ima>m Sya>fi’iy mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu
yang wajib diberikan oleh seorang laki-laki kepada perempuan
untuk dapat menguasai seluruh anggota badannya.16
Jika istri telah menerima maharnya, tanpa paksaan, dan tipu
muslihat, lalu ia memberikan sebagian maharnya maka boleh
diterima dan tidak disalahkan.Akan tetapi, bila istri dalam memberi
maharnya karena malu, atau takut, maka tidak halal menerimanya.
Allah Swt. Berfirman:
         

14

Kamal Muhktar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan (Jakarta: Bulan Bintang,

1994), 81.

15

Lihat Kamus Istilah Fiqh, 184. Lihat Zakiyah Daradjat dkk, Ilmu Fiqh (Jakarta: Depag
RI, 1985) Jilid 3, 83. Lihat pula H. Abdurrahman Ghazali, Fiqih Munakahat (Jakarta, Prenada
Media, 2003), 84.
16
Lihat Abdurrahma>n al-Jazi>riy, Al-Fiqh ‘ala> Madza>hib al-‘Arba’ah, juz 4, (Bairu>t
Libanon: Da>r al Kutub al ‘ilmiyah, 1990). 94.

11

        
Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang
lain, sedang kamu telah memberikan seseorang diantara
mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil
kembali daripadanya barang sedikit pun. Apakah kamu akan
mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan
dengan (menanggung) dosa yang nyata? (QS. Al Nisa>’: 20)18
Dalam ayat selanjutnya, Allah Swt. Berfirman
         
 
Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal
sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain
sebagai suami-istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah
mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. (QS. Al Nisa>’:
21)20
Karena mahar merupakan syarat sahnya nikah, bahkan Imam
Malik

mengatakannya

sebagai

rukun

nikah,

maka

hukum

memberikannya adalah wajib.21
Allah berfirman:
   
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.....(QS. Al Nisa>’: 4)23

17

Al Qur’an, 4: 20.
Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta:
CV Darus Sunnah, 2002), 82.
19
Al Qur’an, 4: 21.
20
Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta:
CV Darus Sunnah, 2002), 82.
21
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat (Jakarta : Rajawali Pers, 2010), 38.
22
Al Qur’an, 4: 4
23
Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta:
CV Darus Sunnah, 2002), 78.
18

12

2. Syarat-syarat Mahar
Mahar yang diberikan kepada calon istri harus memenuhi syaratsyarat sebagai berikut.
a.

Barang berharga. Tidak sah mahar dengan yang tidak berharga
walaupun tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar, mahar
sedikit, tapi bernilai tetap sah disebut mahar.

b.

Barangnya suci dan bisa diambil manfaat. Tidak sah mahar dengan
memberikan khamar, babi, atau darah, karena semua itu haram dan
tidak berharga.

c.

Barangnya bukan barang ghasab. Ghasab artinya mengambil barang
milik orang lain tanpa seizinnya namun tidak termasuk untuk
memilikinya

karena

berniat

untuk

mengembalikannya

kelak.

Memberikan mahar dengan barang hasil ghasab tidak sah, tetapi
akadnya tetap sah.
d.

Bukan barang yang tidak jelas keadaannya.Tidak sah mahar dengan
memberikan barang yang tidak jelas keadaannya, atau tidak
disebutkan jenisnya.24

3. Kadar (jumlah) mahar
Agama tidak menetapkan jumlah minimum dan begitu pula
jumlah maksimum dari maskawin. Hal ini disebabkan oleh perbedaan
tingkatan kemampuan manusia dalam memberikannya. Orang yang kaya
mempunyai kemampuan untuk memberi maskawin yang lebih besar
24

Lihat Al-Jaziri, al Fiqh ‘ala>, 103.

13

jumlahnya kepada calon istrinya. Sebaliknya, orang yang miskin ada yang
hampir tidak mampu memberinya.25 Oleh karena itu, pemberian mahar
diserahkan menurut kemampuan yang bersangkutan disertai kerelaan dan
persetujuan masing-masing pihak yang akan menikah untuk menetapkan
jumlahnya. Kamal

Mukhtar menyabutkan, “janganlah

hendaknya

ketidaksanggupan membayar maskawin karena besar jumlahnya menjadi
penghalang bagi berlangsungnya suatu perkawinan,” sesuai dengan sabda
nabi:

‫ جاء م أ إل سو ه ص ه ع يه س م‬: ‫عن س ل بن سع لساع قا‬
‫ يا سو ه ج ت هب لك نفسي ف ظ إلي ا سو ه ص ه ع يه س م‬: ‫ف الت‬
‫فصع ل ظ في ا صوَبه ثم طأطأ سو ه ص ه ع يه س م أسه ف ا أ‬
‫ل أ أنه لم ي ض في ا شي ا ج ست ف ا جل من أصحابه ف ا يا سو ه إ لم‬
‫ب ا ي ن لك حاج فز ِج ي ا ف ا ف ل ع من شيئ ؟ ف ا ا ه يا سو ه‬
‫ف ا هب ل أه ك فانظ هل تج شي ا ف هب ثم جع ف ا ا ه ما ج شي ا‬
‫ف ا سو ه ص ه ع يه س م نظ لو خات ا من ح ي ف هب ثم جع ف ا ا‬
‫(قا س ل ماله ء) ف ا‬
‫ ل ن ه‬. ‫ه يا سو ه ا خات ا من ح ي‬
‫ل سته لم ي ن ع ي ا‬
‫ ما تص ع با‬: ‫نصفه ف ا سو ه ص ه ع يه س م‬
‫طا مج سه قا‬
‫ل سته لم ي ن ع يك م ه شيئ فج س ل جل حت‬
‫م ه شيئ‬
‫ ما معك‬: ‫ف آ سو ه ص ه ع يه س م موليا فام به ف عي ف ا جاء قا‬
‫ ت أهن عن ظ ق ك‬: ‫ معي سو ك سو ك (ع ها) ف ا‬: ‫من ل آ ؟ قا‬
. ‫ نعم قا هب ف م ت ا ب ا معك من ل آ‬: ‫؟ قا‬
“Dari Sahl ibn Sa’id al-Sa>’idiy, ia berkata: “Ada seorang wanita
datang kepada Rasu>lulla>h saw dengan berkata, “Ya Rasulullah! saya
datang untuk menyerahkan diri kepada tuan (untuk dijadikan istri).”
Rasul memandang wanita itu dengan teliti, lalu beliau menekurkan
kepala. Ketika wanita itu menyadari bahwa Rasul tidak tertarik
kepadanya, maka ia pun duduklah. Lalu salah seorang sahabat beliau
berdiri dan berkata, “Ya Rasulullah! Seandainya tuan tidak
membutuhkannya, nikahkanlah dia dengan saya.” Rasul bertanya,
“Adakah engkau mempunyai sesuatu?” Jawab orang itu, “Demi
Allah, tidak ada apa-apa ya Rasulullah.” Rasul berkata, “Pergilah
kepada sanak keluargamu, mudah-mudahan engkau memperoleh apa25
26

Kamal Muhktar, Asas-asas, 82.
Muslim, S{ah}ih} Muslim, jilid 1, (Jakarta: Da>r al Ihya>’ al Kutub al ‘Arabyah, tt.), 596.

14

apa.” Lalu orang itu pergi. Setelah kembali ia berkata, “Demi Allah
tidak ada apa-apa.” Rasulullah berkata, “Carilah walaupun sebuah
cincin besi!” Orang itu pergi kemudian kembali lagi. Ia berkata,
“Demi Allah ya Rasulullah, cincin besipun tidak ada. Tetapi saya
mempunyai sarung yang saya pakai. (Menurut Sa’ad, ia tidak
mempunyai kain lain selain yang ia pakai). Wanita itu boleh
mengambil dari sebagia yang ada padanya.” Rasul berkata, “Apa
yang dapat engkau lakukan dengan sarungmu itu. Kalau engkau
pakai, tentu ia tidak berpakaian,”. Lalu orang itu pun duduk dan lama
termenung, kemudia ia pergi, ketika Rasul melihatnya pergi, beliau
menyuruh agar orang itu dipanggil kembali. Setelah ia datang, beliau
bertanya, “Apakah kamu ada sesuatu dari al Qur’an?”. Maka ia
menjawab, “saya hafal surat ini dan surat ini.” Ia menyebutkan nama
beberapa surat dalam al Qur’an. Rasul bertanya lagi, “kamu dapat
membacanya di luar kepala?” “ya”. Rasulullah saw bersabda;
“Pergilah, sungguh aku akan menikahkan kamu dengannya, dengan
mahar apa yang kamu miliki dari al Qur’an.”(HR. Muslim)
Ima>m Sya>fi’iy, Ahmad, Isha>q, Abu> Thaur, dan Fuqaha>’ Madi>nah
dari kalangan Ta>bi’i>n berpendapat bahwa mahar tidak ada batas
minimalnya. Segala sesuatu yang dapat menjadi harga bagi sesuatu yang
lain dapat dijadikan mahar. Pendapat ini juga dikemukakan oleh ibn
Wahab dari kalangan pengikut Ima>m Ma>lik.
Sebagian fuqaha>’ yang lain berpendapat bahwa mahar itu ada
batas terendahnya. Ima>m Ma>lik dan para pengikutnya mengatakan bahwa
mahar itu paling sedikit seperempat dinar emas murni, atau perak seberat
tiga dirham, atau bisa dengan barang yang sebanding berat emas perak
tersebut.
Ima>m Abu> H{ani>fah berpendapat bahwa paling sedikit mahar itu
adalah sepuluh dirham. Riwayat yang lain ada yang mengatakan lima
dirham, ada lagi yang mengatakan empat puluh dirham.
Pangkal silang pendapat ini, menurut ibnu Rusyd, terjadi karena

15

dua hal, yaitu:
1. Ketidak jelasan akad nikah itu sendiri antara kedudukannya sebagai
salah satu jenis pertukaran, karena yang dijadikan adalah kerelaan
menerima ganti, baik sedikit maupun banyak, seperti halnya dalam jual
beli dan kedudukannya sebagai ibadah yang sudah ada ketentuan.
Demikian itu, karena ditinjau dari segi bahwa dengan mahar itu lakilaki dapat memiliki jasa wanita untuk selamanya, maka perkawinan itu
mirip dengan pertukaran. Tetapi, ditinjau dari segi adanya larangan
mengadakan persetujuan untuk meniadakan mahar, maka hal itu mirip
dengan ibadah.27
2. Adanya pertentangan antara qiyas yang menghendaki adanya
pembatasan mahar dengan mafhu>m hadith yang tidak menghendaki
adanya pembatasan. Qiya>s yang menghendaki adanya pembatasan
adalah seperti pernikahan itu ibadah, sedangkan ibadah itu sudah ada
ketentuannya.28
Mereka berpendapat bahwa sabda Nabi Saw., “nikahlah
walaupun hanya dengan cincin besi” adalah dalil bahwa mahar itu tidak
mempunyai batasan terendahnya. Karena, jika memang ada batas
terendahnya tentu beliau menjelaskannya.29

27

H. Abd. Rahman Ghazali, Fiqih, 88-89.
Ibid., 88-89.
29
Bandingkan dengan Ibn Rusyd, Bida>yah al-Mujtahid wa Niha>yah al-Muqtas}id, (Bairut:
Da>r al-Fikr,t.t.), Juz 2, 14-15.
28

16

G. Kajian Pustaka
Pada dasarnya kajian pustaka ini adalah deskripsi ringkas tentang
penelitian yang sudah pernah dilakukan peneliti sebelumnya, sehingga tidak
ada pengulangan atau duplikasi. Dalam penelusuran awal sampai saat ini
penulis belum menemukan penelitian atau tulisan yang sama. Adapun
beberapa

penelitian

yang

membahas

tentang

pengembalian

mahar

diantaranya:

Pertama, dalam penelitian skripsi Muhammad Khisom pada tahun
2005 yang meneliti “Analisis Hukum Islam Terhadap Putusan Pengadilan
Agama Sidoarjo tentang Pengembalian Mahar dan Pemberian Suami
Terhadap Istri”.30

Kedua, Muhammad Rozak pada tahun 2007 meneliti “Studi Analisis
Hukum Islam Terhadap Pandangan KH. Abdullah Faqih Langitan Tuban
tentang Mahar al Qur’an dan alat Shalat. Skripsi ini membahas tentang
pandangan KH. Abdullah Faqih, pengasuh ponpes Langitan terhadap Mahar
al Qur’an dan alat Shalat, respon masyarakat sekitar, yakni masyarakat
kelurahan Babat terhadap pandangan Kiai Langitan dan mencoba untuk
melakukan analisis terhadap permasalahan tersebut.31
Dari beberapa hasil karya yang penulis sebutkan di atas dapat
disimpulkan bahwa penelitian yang penulis tulis saat ini adalah berbeda.
30

Muhammad Khisom, “Analisis Hukum Islam Terhadap Putusan Pengadilan Agama
Sidoarjo tentang Pengembalian Mahar dan Pemberian Suami Perhadap Istri” (Skripsi—IAIN
Sunan Ampel, Surabaya, 2005), 8.
31
Muhammad Rozak, “Studi Analisis Hukum Islam Terhadap Pandangan KH. Abdullah
Faqih Langitan Tuban tentang Mahar al Qur’an dan alat Shalat”, (Skripsi—IAIN Sunan Ampel,
surabaya, 2007), 10.

17

Misalnya pembahasan yang pertama diatas yang dilakukan oleh Muhammad
Khisom menggunakan metode penelitian pada pengadilan agama sedangkan
penulis menggunakan studi library, hal ini jelas berbeda dengan pembahasan
yang penulis tulis.

Sama halnya dengan penelitian Muhammad Rozak,

meskipun penelitian tersebut adalah meneliti tentang mahar al Qur’an,
namun yang dimaksud penulis adalah mahar pengajaran al Qur’an. Jelas
sangat berbeda dengan penelitian penulis.

H. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research),
yaitu sebuah penelitian tentang pengembalian mahar pengajaran al
Qur’an pada cerai gugat. Untuk mencapai target yang diinginkan,
maka penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu
penelitian yang dapat menghasilkan data deskriptif dari kata-kata
tertulis, atau lisan dari beberapa orang yang dapat diamati.32
Data sepenuhnya diambil dari dari khazanah kepustakaan dengan
melakukan survey buku, tulisan-tulisan atau yang lainnya.
2. Sumber Data
Sebagai sumber data primer (primary sources) dalam
penelitian ini adalah berbagai penelitian tentang pengembalian mahar

32

3.

Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991),

18

dalam cerai gugat yang banyak dibahas oleh ulama-ulama terdahulu di
dalam khazanah kajian hukum Islam.
Peneliti juga akan mencari pembahasan tentang pengembalian
mahar dalam cerai gugat secara umum yang tertuang dalam al
Qur’an/Hadith. Setelah menemukannya, maka penulis mencoba
mendalami pengembalian pengajaran al Qur’an pada cerai gugat.
Peneliti akan menjelajahi kitab-kitab hadith yang berkaitan dengan
pembahasan seperti kutub al tis’ah.33
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan studi perpustakaan
(library research) yakni pengumpulan data melalui penelusuran
terhadap data-data kepustakaan.
4. Teknik Analisis Data
Setelah data terkumpul lalu diklasifikasikan sesuai dengan
proporsinya kemudian diolah dengan menggunakan metode deskriptif
analisis. Dengan metode ini dapat digunakan untuk menganalisis dan
memaparkan

pandangan

ulama’

tentang

pengembalian

mahar

pengajaran al Qur’an pada cerai gugat baik dari segi argumen maupun
dalilnya sehingga dapat diketahui bagaimana pengembalian mahar
pengajaran al Qur’an pada cerai gugat. Melalui metode ini juga
penulis berupaya secara sistematis dan objektif dengan menggunakan
33

Lihat sembilan buku tentang hadith-hadith Nabi, khususnya yang berkaitan dengan
mahar. Lihat S{ah}ih> Bukha>ry>, S{ah}ih> Muslim, Sunan Abu> Da>wud, Sunan Tirmiz}i,> Sunan Nasa>’i,
Sunan ibn Ma>jah, Musnad Ahmad, Muwatt}o’ Ma>lik, Sunan al Da>rimy>, dalam Lidwa Pustaka iSoft, Kitab 9 Imam Hadith. Lihat www.lidwapustaka.com

19

pendekatan
dimaksudkan

tekstual

dan

kontekstual.

untuk

memberikan

redaksi/gramatikalnya

sedangkan

Pendekatan

pemaknaan

teks

pendekatan

tekstual
dari

sisi

kontekstual

dimaksudkan untuk menelaah pembahasan historisnya.

I.

Sistematika Pembahasan
Penelitian ini akan disusun dalam lima bab; satu bab pendahuluan,
tiga bab pembahasan dan satu bab penutup.

Bab Pertama, pendahuluan yang meliputi : latar belakang masalah,
identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
kegunaan penelitian, kerangka teoritik, kajian pustaka, dan metode
penelitian. Dalam metode penelitian ini meliputi : jenis penelitian, sumber
data, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data, kemudian
sistematika pembahasan.

Bab kedua, adalah tinjauan umum tentang mahar dan cerai gugat
yang terdiri dari dua sub bab yang meliputi : tinjauan umum tentang mahar,
meliputi ; pertama sejarah mahar pada masa Arab pra-Islam, kedua
pengertian dan dasar hukum mahar, ketiga fungsi mahar, keempat syaratsyarat dan kadar (jumlah) mahar, kelima macam-macam dan bentuk mahar,
keenam gugur/rusaknya mahar, dan ketujuh penyebab gugur atau
pengembalian mahar. Dan tinjauan umum tentang cerai gugat, meliputi ;
pertama pengertian cerai gugat, kedua alasan-alasan cerai gugat , ketiga

20

prosedur cerai gugat, keempat akibat cerai gugat, kelima perbedaan cerai
gugat dan khulu’.

Bab ketiga, mahar al Qur’an dan cerai gugat (khulu’) dalam hukum
Islam, yang meliputi : pertama pendapat imam madhab tentang mahar
pengajaran al Qur’an dan yang kedua pendapat imam madhab tentang cerai
gugat (khulu’).

Bab keempat, analisis pendapat imam madhab tentang pengembalian
mahar pengajaran al Qur’an pada cerai gugat (khulu’) yang terdiri dari tiga
sub bab, yang pertama meliputi analisis tentang analisis pendapat imam
Madhab tentang mahar pengajaran al Qur’an, yang kedua analisis hokum
Islam tentang pengembalian mahar pada cerai gugat (khulu’). Kemudian
yang ketiga analisis hukum Islam tentang pengembalian mahar pengajaran al
Qur’an pada cerai gugat (khulu’).

Bab kelima, yaitu penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.

21

BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG MAHAR DAN CERAI GUGAT

A. Tinjauan Umum tentang Mahar
1. Sejarah Mahar pada Masa Arab Pra-Islam
Al Qur’an menghapus adat kebiasaan pra-Islam mengenai mahar
dan mengembalikannya kepada kedudukan yang asasi dan alami. Di masa
pra Islam para ayah dan ibu para gadis menganggap maskawin adalah hak
mereka sebagai imbalan atas pendidikan dan perawatan mereka. Dalam
kitab-kitab tafsir disebutkan bahwa apabila seorang bayi wanita lahir
maka biasanya orang yang mengucapkan selamat kepadanya dengan
mengatakan “hannian laka al na>fi’ah” (selamat semoga ia menjadi
sumber kekayaan bagimu). Hal ini menunjukkan bahwa kelak si gadis
akan dikawinkan dan mahar akan menjadi milik si ayah sepenuhnya.1
Pada masa ini juga terdapat adat kebiasaan lain yang dalam
praktiknya digunakan untuk merampas hak wanita atas maskawinnya.
Salah satu dari adat kebiasaan itu adalah pewarisan istri. Apabila seorang
pria meninggal, maka para ahli warisnya, seperti anak laki-lakinya atau
saudara laki-lakinya mewarisi istrinya persis sebagaimana mereka
mewaris harta dari laki-laki yang meninggal itu. Setelah kematian si pria,
putranya atau saudara laki-lakinya menganggap bahwa hak atas
perkawinan tersebut masih terus berlaku. Si pewaris memandang dirinya
1

Morteza Mutahhari, Wanita dan Hak-haknya dalam Islam terj. M. Hashem (Bandung:
Pustaka, 1985), 167.

21

22

berhak untuk mengawinkan si wanita warisan tersebut dengan siapa saja
yang dikehendakinya dan mengambil maskawin dari perkawinan itu. Bisa
pula ia sendiri mengambilnya sebagai istri tanpa maskawin lagi atas
dasar kekuatan maskawin yang telah diberikan oleh almarhum dulunya.2
Namun adat seperti ini telah dihapus dengan turunnya firman Allah QS.
An Nisa’: 19
             
            

           

“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai
wanita dengan jalan paksa4 dan janganlah kamu menyusahkan mereka
karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu
berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji
yang nyata. dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila
kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu
tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan
yang banyak”.5
2. Pengertian dan Dasar Hukum Mahar
a. Pengertian mahar secara etimologi

2

Afdawaiza, Konsep S{aduq sebagai Mahar dalam al Qur’an, Al Qur’an dan Hadith 5,
Januari 2004, 48-49.
3
Al Qur’an, 4:19
4
Ayat ini tidak menunjukkan bahwa mewariskan wanita tidak dengan jalan paksa
dibolehkan. Menurut adat sebagian Arab Jahiliyah apabila seorang meninggal dunia, maka
anaknya yang tertua atau anggota keluarganya yang lain mewarisi janda itu. janda tersebut boleh
dikawini sendiri atau dikawinkan dengan orang lain yang maharnya diambil oleh pewaris atau
tidak dibolehkan kawin lagi.
5
Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta:
CV Darus Sunnah, 2002), 81.

23

Dalam bahasa Arab mahar adalah bentuk mufrad sedang
bentuk jama’nya adalah muhu>run yang secara lughah (etimologi)
berarti maskawin.6
Sedangkan menurut Ima>m ibn al Qa>sim mahar disebut juga
dengan istilah s}adaq yang secara etimologi berarti sebutan suatu
benda yang wajib diberikan sebab adanya nikah.7 Benda yang
diberikan itu disebut s}adaq karena memberika kesan bahwa pemberi
sesuatu itu benar-benar menunjukkan rasa cinta dengan ditandai
adanya pernikahan.8
Dalam istilah ahli fiqh disamping dipakai istilah fari>da} h dan
‘ajrun. Dalam bahasa Indonesia dipakai istilah maskawin. Sebagian
ulama’ menyebut maskawin menjadi 8 istilah yang dihimpun dalam
syair yaitu “s}adaq”, “mahar”, “nih}lah”, “fari>d}ah”, “haba”, “’ajr”,

“’aqr”, dan “’ala>’iq”.9
Kata s}adaq dengan fath}ah s}adnya dan dengan kasrah (s}ida>q)
diambil dari kata “s}idqun” (kebenaran) untuk membenarkan cinta
suami terhadap calon istrinya. S}adaq (mahar) bisa juga diartikan
penghormatan kepada istri. Bentuk jamak dari s}adaq adalah as}diqah
untuk jamak sedikit dan s}udu>q untuk jamak banyak.10

6

Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia (Jakarta: PT . Hidakarya Agung, 1977), 431.
‘Ali ibn Qa>sim al Gha>zi, al Baju>ri, juz II, (Surabaya: Da>r al Nas}r al Mis}riyyah, t.t), 118.
8
Zainuddin bin Abd. ‘Azi>z al Malaibary, Fath}u al Mu’in, (Surabaya: al Hidayah, t.t).

7

107.

9

Abu Bakar, I’a>nah al T{a>libi>n, J.3, (Surabaya: al Hidayah, t.t), 346.
Abu Louis Ma’luf, al Munjid fi> al Lughah wa al A’la>m, (Beirut: Da>r al Masyriq, t.t),

10

777.

24

b. Pengertian mahar secara terminologi
Pengertian mahar secara terminologi sebagaimana dijelaskan
al Ja>ziriy sebagai berikut :

‫ل ا في م اب‬

‫أ في ع‬

‫يجب ل‬

‫نحو لك‬

‫ل‬

‫ما مع ا صطاحا ف و سم ل ا‬

‫ن ا فاس‬

‫في لوطع بش‬

‫است تا‬

“Adapun makna shadaq secara istilah adalah nama untuk sebuah harta
yang wajib diberikan kepada wanita dalam akad nikah sebagai
perimbangan karena memanfaatkan wanita tersebut untuk bersenangsenang, juga dalam wati subhat, nikah fa>sid, atau yang semisal dengan
itu”.
Menurut Sayyid Sabiq mahar adalah pemberian wajib dari
suami pada istri sebagai jalan yang menjadi istri berhati senang dan
ridha menerima kekuasaan suaminya kepada dirinya.12
Al Hamdani dalam risalah nikah menyatakan : maskawin atau
mahar ialah pemberian seorang suami kepada seorang istri
sebelumnya, sesudah atau pada waktu berlangsungnya akad sebagai
pemberian wajib yang tidak diganti dengan lainnya.13
Sebagaimana ‘ulama’ Hana>fiyyah mendefinisikan mahar
sebagai berikut :

‫لو ء‬

‫ل ا‬

‫هو ما يستح ه ل أ بع‬

‫ل‬

“mahar adalah sesuatu yang berhak dimiliki oleh seorang wanita
sebab adanya akad nikah atau wati’”.

t.t), 78.

11

Abdurrahma>n al Ja>ziriy, Madhahib al ‘Arba’ah, J. IV, (Kairo: Mu’assasah al Mukhta>r,

12

Sayyid Sabiq, Fiqh al Sunnah, J.7, alih bahasa M. Thalib, (Bandung: Da>r al Ma’a>rif,

1990), 53.

13

Al Hamdani, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam, terj. Agus Salim, (Jakarta:
Pustaka Amani, 1989), 110.
14
Wahbah al Zuh}aili, al Fiqh al Isla>mi wa Adillatuhu, j.9, (Beirut: Da>r al Fikr, t.t), 6758.

25

Sedangkan menurut sebagian ‘ulama’ Ma>likiyyah mahar
adalah :

‫هو ما يجعل ل ز ج في نظي است ا به‬

‫ل‬

“mahar adalah sesuatu yang dijadikan (dibayarkan) kepada istri
sebagai imbalan atas jasa pelayanan seksualitas”
Ma>likiyyah memandang bahwa mahar yang diwajibkan dalam
nikah sebagai alat pembayaran bagi istri atas pelayanan jasa
seksualitas pada suami, dan ini merupakan pandangan yang materialis.
Imam Zakariyya> al Ans}a>riy mendefinisikan s}ida>q (mahar)
sebagai berikut :

‫كا ضا‬

‫تفويط ب ع ق‬

‫ء‬

‫ما جب ب ا‬

“sesuatu yang diwajibkan sebab nikah, persetubuhan atau hilangnya
manfaat budu’ dengan terpaksa seperti terjadinya susunan”
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) mahar adalah
pemberian calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita baik
berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan
hukum Islam.
Dr. Hamuda dalam bukunya The Family Structure in Islam
menyatakan bahwa mahar merupakan bentuk pembayaran yang
bersifat simbolis. Simbol tanggung jawab dari pihak lelaki untuk

15
16

54.

Ibid, 6758.
Zakariyah al Anshari, Fath} al Wahha>b, J.2,(Da>r al Ihya>’ al Kutub al ‘Arabiyyah, t.t),

26

menjamin keamanan hak dan kesejahteraan keluarga setelah
perkawinan terwujud.17
Apabila diperhatikan pengertian-pengertian tentang mahar di
atas adalah harta yang diberikan oleh suami kepada isteri sebagai
pemberian wajib dalam ikatan perkawinan yang sah dan merupakan
tanda persetujuan serta kerelaan mereka untuk hidup sebagai suami
istri.
c. Dasar hukum mahar
Suatu kelebihan syari’at Islam dengan syari’at yang lainnya
antara lain dalam hal memuliakan wanita. Dalam hukum Islam
diwajibkan seorang laki-laki yang hendak nikah dengan seorang
wanita untuk memberikan mahar. Meskipun pemberian mahar
tersebut hanya sebagai simbol atas kecintaan (cinta kasih) seorang
calon suami bahwa dia benar-benar mencintai calon istrinya.
Demikian juga calon istri, bahwa penerimaan mahar tersebut sebagai
simbol tentang tanggung jawab seorang wanita terhadap harta atau
apa saja yang diamanatkan suami kepadanya.
Perintah pembayara