Konsep Politik Islam Sayyid Quthb dalam tafsir Fi Zhilal Qur’an

(1)

TAFSIR FI ZHILAL QUR’AN

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Untuk memenuhi persyaratan memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh :

FUAD LUTHFI NIM : 101033221828

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1432 H./2011 M.


(2)

TAFSIR FI ZHILAL AL-QUR’AN

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Untuk memenuhi persyaratan memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh

FUAD LUTHFI NIM: 101033221828

Pembimbing

Dr. Sirojuddin Aly, MA. NIP. 195406052001121001

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1432 H./2011 M.


(3)

Skripsi yang berjudul “Konsep Politik Islam Sayyid Quthb Dalam Tafsir Fi Zhilal Al-Qur'an” telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 11 Agustus 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Program Strata Satu (S1) pada program studi Ilmu Politik.

Bekasi, 18 Agustus 2011

Tim Penguji,

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota

Ali Munhanif, Ph.D M. Zaki Mubarok, M.Si

NIP. 150253408 NIP.197309272005011008

Penguji,

Penguji I Penguji II

Ali Munhanif, Ph.D Dr. Nawiruddin, MA

NIP. 150253408

Pembimbing,

Dr. Sirojuddin Aly, MA NIP. 195406052001121001


(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa ada karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan dan karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 25 Agustus 2011


(5)

iii

Skripsi ini mengkaji konsep politik Islam yang digagas oleh Sayyid Quthb, pemikir dan tokoh pergerakan Islam asal Mesir yang sangat terkenal, baik di kalangan Dunia Islam maupun Dunia Barat. Sayyid Quthb sengaja dipilih karena ia dipandang sebagai salah seorang tokoh dan arsitek politik

al-Ikhwan al-Muslimin di Mesir. Ia biasa disebut sebagai pejuang dakwah

Islam (mujahid da’wah), atau tokoh yang secara formal disebut sebagai pemikir dan da’i (rijal al-fikr wa al-da’wah).

Pemikiran Sayyid Quthb mempengaruhi banyak kalangan cendekiawan Islam. Karya-karyanya memperoleh audensi besar dari masyarakat Islam dunia. Beberapa karya pentingnya telah disalin ke dalam berbagai bahasa, termasuk ke dalam bahasa Indonesia. Kitab Ma’alim fi al-Thariq, karya Quthb, pernah

menggemparkan banyak kalangan di dunia Islam; dan Fi Zhilal al-Qur’an, tafsir

al-Qur’an yang merupakan karya terbesar Sayyid Quthb, cukup populer dan berpengaruh di kalangan masyarakat Muslim dunia, termasuk Indonesia dalam segala aspeknya. Tafsir Fi Zhilal al-Qur'an sendiri merupakan hasil dari

dinamika akademis, politik, dan sosial. Ia tidak semata-mata rekreasi intelektual dalam mendekati Al-Qur’an dari perspektif ilmu pengetahuan. Namun, juga menggunakan pendekatan atas dasar pengalaman hidup sang penulis. Tidak mengherankan kalau kitab tafsir ini berpengaruh besar terhadap umat Islam di seluruh dunia, terutama mereka yang aktif dalam gerakan politik.

Bertolak dari uraian di atas, maka penulis mengkhususkan mengangkat bidang politik dari pemikiran Sayyid Quthb dalam sebuah karya ilmiah dengan tema Konsep Politik Islam Sayyid Quthb Dalam Tafsir Fi Zhilal Al-Qur'an."

Tema pokok gagasan konsep politik Sayyid Quthb yang tertuang dalam Tafsir Fi Zhilal al-Qur'an adalah: pertama, konsepsi al-Quran mengenai

kehidupan; kedua, kedaulatan Tuhan; ketiga, tujuan negara; keempat,

prinsip-prinsip pemerintahan; kelima, konsep kewarganegaraan, dan keenam,

prinsip-prinsip pengaturan kebjaksanaan negara.

Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan menggunakan metode library research (metode pustaka) yaitu dengan mencari

data-data dari berbagai literatur dan sumber yang ada kaitannya dengan masalah di atas. Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan teknik analisis, yaitu dengan menjelaskan hal-hal yang berhubungan dengan konsep politik Islam untuk kemudian dianalisis bagaimana konsep politik Islam menurut Sayyid Quthb. Sumber primer sebagai data pokok dalam penelitian ini adalah tafsir Fi Zhîlâl al-Qur'ân karya Sayyid Quthb dan karya-karya keislamannya yang lain, di

antaranya adalah : Ma’âlim Fi al-Tharîq dan Ayat-ayat Pilihan Tafsir Fî Zhilâl


(6)

iv

ميحرلا نمحرلا ها مسب

Alhamdulllah, penulis panjatkan puji syukur yang tak ternilai oleh apa pun atas limpahan rahmat, karunia dan izin-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang penulis beri judul “KONSEP POLITIK ISLAM SAYYID QUTHB DALAM TAFSIR FI ZHILAL AL-QUR'AN". Shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw

Dengan selesainya skripsi ini, merupakan kebahagiaan yang tak terhingga bagi penulis meskipun dalam penyelesaiannya selalu mendapat rintangan-rintangan baik dari diri sendiri maupun dari luar, namun berkat kasih sayang-Nya, rintangan-rintangan tersebut dapat teratasi. Dan juga tak lupa adanya bantuan dari berbagai pihak baik moril maupun materil, yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan beribu-ribu terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :

1. Bapak Dr. Sirojuddin Aly, MA yang telah susah payah membimbing penulis dalam penyusunan skripsi ini sehingga skripsi ini bisa rampung, semoga Allah membalas semua jasa beliau.

2. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA.

3. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. Dr. Bahtiar Effendy, MA.


(7)

v Bapak M. Zaki Mubarok, M. Si.

5. Seluruh staf pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang telah mencurahkan ilmunya yang sangat berarti bagi penulis selama menempuh pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Ayahanda Penulis KH. M. Natsir dan Ibunda H. Nurmalihah, S.Pd.I yang tak pernah lelah mendoakan dan memotivasi penulis selama ini, semoga Allah SWT mengampuni dosa keduanya dan menyayangi keduanya sebagaimana keduanya menyayangi penulis di aktu kecil.

7. Kanda Hj. Rifqiyah, Lc., Ahmad Fathoni, SH.I dan Najmuddin, SE.I serta adik-adikku Eneng Himayati, Lc dan Nurul Atiq yang banyak memberikan motivasi dan bantuan moril kepada penulis dengan tanpa pamrih dan penuh kasih sayang.

8. Pimpinan dan segenap staf Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas kepada penulis.

9. Teman-teman Jurusan Ilmu Politik B angkatan 2001, yang selalu memotivasi penulis sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

10.Semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak penulis sebutkan di sini, namun tidak mengurangi hormat dan ta’zhim penulis kepada mereka.


(8)

vi

baik mereka dibalas oleh Allah SWT, dan mudah-mudahan skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semuanya. Amin ya Robbal ‘Alamin.

Bekasi, 16 Agustus 2011


(9)

HALAMAN PENGESAHAN ………i

LEMBAR PERNYATAAN ………..ii

ABSTRAK ………iii

KATA PENGANTAR ……….iv

DAFTAR ISI………vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ………1

B. Kajian Kepustakaan ………...5

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ………..5

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……….6

E. Metode Penelitian ………7

F. Sistematika Penulisan ……….8

BAB II BIOGRAFI SAYYID QUTHB DAN KARYANYA A. Riwayat Hidup………10

B. Karya-karya Sayyid Quthb………...14

C. Tafsir Fi Zhilal al-Qur’an ………16

BAB III TEORI POLITIK ISLAM A. Dasar-dasar Teori Politik Islam ………..19

B. Hakekat dan Karakteristik Negara Islam ………..22

C. Teori Kekhilafahan dalam Islam ……….24


(10)

QUR’AN

A. Konsepsi al-Qur’an Mengenai Kehidupan ………...27

B. Kedaulatan Tuhan ………32

C. Tujuan Negara ………..37

D. Prinsip-prinsip Pemerintahan ……….41

E. Konsep Kewarganegaraan………45

F. Prinsip-prinsip Pengaturan Kebijaksanaan Negara ………..63

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan……….70

B. Saran ………..72


(11)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sayyid Quthb merupakan salah satu tokoh politik Islam yang sangat concern dengan pergerakan Islam dan memiliki pengaruh yang cukup luas di dunia Islam. Sebagai tokoh politik Islam dan aktivis pergerakan Islam, Sayyid Quthb merupakan salah seorang tokoh yang sangat terkenal dan popular. Popularitas Quthb bahkan menyamai pendahulunya, Hasan al-Banna, pendiri gerakan al-Ikhwan al-Muslimin. Sayyid Quthb disebut sebagai tokoh ideology Ikhwan karena ia berperan besar dalam memformulasi ideology (fikrah) Ikhwan

dan mensosialisasikan dalam gerakan-gerakannya.1

Sejak bergabung dengan Ikhwan pada tahun 1953, Sayyid Quthb berperan besar dalam mengembangkan dan memajukan Ikhwan. Ia mencoba memperjelas dan mempertegas tujuan dan cita-cita Ikhwan kea rah terwujudnya system Islam. Dalam setiap kesempatan, Quthb selalu mengajak kaum muslim melawan semua system yang disebutnya jahiliyyah, baik yang ada di negeri-negeri Islam maupun

negeri-negeri lain, selanjutnya digantikan dengan fikrah atau system Islam, tak

terkecuali juga dalam bidang politik. Untuk mewujudkan cita-cita ini, tentu saja Sayyid Quthb harus berhadapan dengan konspirasi-konspirasi jahat penguasa dari Negara luar dan di dalam negerinya yang tak menghendaki system Islam tegak di

1 M. Amin Rais,

Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta, (Bandung: Mizan, 1997), h. 197; “Gerakan-gerakan Islam Internasional dan Pengaruhnya Bagi Gerakan Islam Indonesia,”


(12)

dunia ini. Berkali-kali ia disiksa dan dijebloskan ke dalam penjara sampai akhirnya dieksekusi di tiang gantungan oleh rezim pengasa Mesir pada tahun 1966.2

Dengan melihat sepintas latar belakang kehidupan seperti disebutkan di atas, maka tak seorangpun dapat menyangkal keberadaan Sayyid Quthb sebagai pemikir dan aktivis politik Islam (rijal al-fikr wa al-da’wah siyasi Islam). Sebagai

politikus Islam, Sayyid Quthb memperlihatkan komitmennya yang tinggi terhadap perjuangan dan semangat menegakkan politik Islam, yaitu perjuangan dan semangat untuk mewujudkan system Islam, baik pada tataran individu maupun social dan cultural. Semangat ini terlihat jelas dalam semua tulisan Quthb, terutama dalam karya master piece-nya yang sangat terkenal, Fi Zhilal al-Qur’an.

Menurut Sayyid Quthb, masyarakat dunia kontemporer dihadapkan dengan dua pilihan konsep politik, yakni sistem jahiliyah dan Islam. Konsep

politik yang pertama merupakan produk masyarakat sekular dan konsep yang disebutkan pada uruta kedua merupakan produk 'agama'. Karena pilihan ini diberikan oleh negara adikuasa yang memimpin dunia, maka pilihan ini menjadi polemik di kalangan cendekiawan Muslim.3

Peradaban Barat yang telah maju, setelah berusaha membebaskan diri dari cengkraman 'agama' (gereja), tentunya menjadi bangga dengan kesuksesannya sekarang dan melihat penyebab kemajuannya adalah berkat keberhasilan sekularisasi di dunia Barat. Pada dunia yang serba serbinya diwarnai dengan materialisme dan dualisme, pilihan ini diberikan atas nama kemajuan dan

2 A. Ilyas Ismail,

Paradigma Dakwah Sayyid Quthub; Rekonstruksi Pemikiran Dakwah

Harakah, (Jakarta: Penamadani, 2006), h. 17-18.

3 A. Ilyas Ismail,


(13)

pembangunan, pihak kedua hanya bisa menerima atau menolak tentunya dengan konsekwensi; menyokong sebagai kawan atau menentang sebagai lawan.4 Lalus bagaimanakah dengan pendapat cendekiawan Islam? Sayyid Quthb dan pembaharu Islam lainnya seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Hasan al-Banna meyakini bahwa kelemahan kaum Muslim diakibatkan oleh dominasi Eropa dan penyimpangan dari ajaran Islam sejati.

Untuk membangkitkan Islam, menurut Sayyid Quthb, umat Islam harus bertekad untuk kembali memahami ajaran Islam secara kaffah (menyeluruh).

kembali kepada Al-Qur'ân dan al-Sunnah, seperti yang dicontohkan oleh Rasullullah SAW dan sahabat-sahabatnya.5

Pemerintahan Islam yang dibina Nabi Muhammad SAW dan khalifah Rasyidin menunjukkan perwujudan suatu tatanan Islam yang komprensif, konkrit dan historis. Akan tetapi di bawah penguasa berikutnya, dunia Islam menjadi lemah disebabkan beberapa faktor, antara lain: perebutan kekuasaan, yang berkuasa bukan Arab, perpecahan soal-soal sekunder, kurang para ilmuan praktis taklid buta pada otoritas. Hal tersebut terbukti pada abad ke 13 dunia Islam sangat buta dan rentan terhadap invasi bangsa Mongol dan tentara Salib meskipun dibawah Mamluk dan Dinasti Usmaniyah dunia Islam sempat bangkit namun sempat tidak lama, dan tidak terbendung agresi Eropa disemua sektor. Akhirnya dunia Islam harus tunduk kepada dunia Barat sampai akhir abad ke 19. Awal abad ke 20 lahirnya kebangkitan Islam yang dipelopori oleh cendikiawan-cendekiwan terkemuka umat Islam mulai sadar akan

4 Muhsin al-Mayli,

Pergulatan Mencari Islam; Perjalanan Religius Roger Garaudy, (terj.)

Rifyal Ka’bah (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 107-108 5 Sayyid Quthb,


(14)

ketertinggalannya dari dunia Barat mereka bangkit berusaha merebut kembali kejayaan dunia Islam tempo dulu dengan terbentuknya berbagai macam organisasi oleh tokoh-tokoh pejuang dan ulama-ulama terkemuka, salah satu contohnya adalah Sayyid Quthub dengan garakan Ikhwan al-Muslimin-nya.6

Sayyid Quthb mempertegas tentang politik negara atau pemerintahan Islam, ia menyebutkan :" Pemerintahan Islam itu supra nasional, meskipun dia menolak dipergunakannya istilah imperium. Wilayah negara meliputi seluruh dunia Islam dengan sentralisasi kekuasaan. pada pemerintahan pusat, yang di kelola atas prinsip persamaan penuh antara semua umat Islam yang terdapat di seluruh penjuru dunia Islam tanpa adanya fanatisme ras dan kedaerahan, bahkan dalam banyak hal tidak pula mengenal fanatisme keagamaan."7

Dengan demikian menurut penilaian Sayyid Quthb pemerintah Islam bercorak manusiawi, terutama dengan persepsinya yang kuat tentang kesatuan manusia serta tujuannya yang menghendaki agar seluruh umat manusia terhimpun dibawah bendera persaudaraan atau persamaan.

Sebagai tokoh pembaharuan Sayyid Quthb melontarkan ide-ide yang berbeda dengan pembaharuan-pembaharuan sebelumnya, beliau meletakkan dasar-dasar konsep pergerakan politik yang konkrit, bahkan tidak jarang beliau melakukan tindak progresif dan tegas dalam mewujudkan konsep-konsep tersebut, sehingga organisasinya sering mendapatkan tantangan dari pemerintah setempat. Pengaruh Ikhwanul Muslimin yang beliau pimpin

6 A. Ilyas Ismail,

Paradigma Dakwah Sayyid Quthub,h. 79-80.

7 Munawir Sadzali,

Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta: UI Press, 1991) , h.149.


(15)

tidak saja di Mesir, tetapi telah menjalar ke dunia Islam lain, seperti Pakistan yang menjadi negara Islam tidak luput dari pengaruh ide-idenya.

Bertolak dari uraian di atas, maka penulis mengangkat masalah tersebut dalam sebuah karya ilmiah dengan judul: “KONSEP POLITIK ISLAM SAYYID QUTHB DALAM TAFSIR FÎ ZHILÂL AL-QUR'ÂN".

B. Kajian Kepustakaan (Literatur Review)

Sepanjang pengetahuan penulis, belum ada cendekiawan Islam yang menulis secara khusus pemikiran politik Islam Sayyid Quthb. Kalaupun ada tulisan ataupun karya ilmiah yang mengetengahkan pemikiran sosok Sayyid Quthb hanya sekilas lalu membahas tentang corak penafsiran al-Qur’ân dalam tafsir Fî Zhilâl al-Qur’ân, seperti yang dibahas dalam buku karya Taufik Adnan

Amal yang berjudul Rekonstruksi Sejarah al-Qur’ân atau gerakan dakwah Sayyid

Quthb yang dikaitkan dengan terorisme seperti karya Abegabriel dan kawan-kawan dalam Negara Tuhan. Sedangkan penulis berupaya untuk mengungkapkan

pemikiran politik Sayyid Quthb yang tertuang dalam karya tafsir terkenalnya tersebut. Dengan demikian, apa yang diupayakan oleh penulis ini bukan merupakan suatu pengulangan dari apa yang telah dipublikasikan atau ditulis oleh penulis lain.

C. Batasan dan Rumusan Masalah

Bertolak dari latar belakang di atas dan keterbatasan kemampuan jangkauan penulis untuk menganalisis pemikiran Sayyid Quthb yang begitu luas cakupannya dalam berbagai bidang keilmuwan dan kehidupan, maka penulis hanya membatasi dan merumuskan masalah diseputar konsep politik Islam


(16)

menurut Sayyid Quthb sebagaimana yang dijelaskannya dalam tafsir Fî Zhilâl al-Qur'ân.

Berdasarkan kenyataan-kenyataan yang ada, maka dalam pembahasan ini penulis merumuskan konsep politik Islam menurut Sayyid Quthb sebagaimana yang dijelaskannya dalam tafsir Fî Zhilâl al-Qur'ân dalam suatu rumusan:

1. Bagaimana konsep al-Qur’an mengenai kehidupan? 2. Bagaimana bentuk kedaulatan Tuhan?

3. Bagaimana tujuan Negara?

4. Bagaimana prinsip-prinsip pemerintahan? 5. Bagaimana konsep kewarganegaraan?

6. Bagaimana prinsip-prinsip pengaturan kebijaksanaan negara? D. Tujuan dan Manfaat

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini mengetahui konsep politik Islam menurut Sayyid Quthb sebagaimana yang dijelaskannya dalam tafsir Fî Zhilâl al-Qur'ân dengan poin tujuan, yaitu:

1. Untuk mengetahui konsep al-Qur’an mengenai kehidupan menurut Sayyid Quthb sebagaimana yang dijelaskannya dalam tafsir Fî Zhilâl al-Qur'ân..

2. Untuk mengetahui kedaulatan Tuhan menurut Sayyid Quthb sebagaimana yang dijelaskannya dalam tafsir Fî Zhilâl al-Qur'ân.

3. Untuk mengetahui tujuan Negara menurut Sayyid Quthb sebagaimana yang dijelaskannya dalam tafsir Fî Zhilâl al-Qur'ân.

4. Untuk mengetahui prinsip-prinsip pemerintahan menurut Sayyid Quthb sebagaimana yang dijelaskannya dalam tafsir Fî Zhilâl al-Qur'ân.


(17)

5. Untuk mengetahui konsep kewarganegaraan menurut Sayyid Quthb sebagaimana yang dijelaskannya dalam tafsir Fî Zhilâl al-Qur'ân.

6. Untuk mengetahui prinsip-prinsip pengaturan kebijakan Negara menurut Sayyid Quthb sebagaimana yang dijelaskannya dalam tafsir Fî Zhilâl al-Qur'ân.

Adapun manfaat penelitian ini adalah:

1. Secara teoritis, sebagai bahan rujukan bagi peneliti lain dalam mengembangkan teori konsep politik Islam, terutama konsep pemikiran dari Sayyid Quthb.

2. Untuk dapat memberikan informasi kepada dunia akademis, khususnya cendekiawan politik, tentang konsep politik Islam menurut Sayyid Quthb sebagaimana yang dijelaskannya dalam tafsir Fî Zhilâl al-Qur'ân.

3. Untuk menambah pengetahuan penulis tentang konsep pemikiran politik Islam.

E. Metode Penelitian.

Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan menggunakan metode library research (metode pustaka) yaitu dengan mencari

data-data dari berbagai literatur dan sumber yang ada kaitannya dengan masalah di atas. Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan teknik analisis, yaitu dengan menjelaskan hal-hal yang berhubungan dengan konsep politik Islam menurut Sayyid Quthb.

Sumber primer sebagai data pokok dalam penelitian ini adalah tafsir Fi Zhîlâl al-Qur'ân karya Sayyid Quthb dan karya-karya keislamannya yang lain, di


(18)

antaranya adalah : Ma’âlim Fi al-Tharîq dan Ayat-ayat Pilihan Tafsir Fî Zhilâl

al-Qur’ân.

Adapun sumber data sekundernya adalah buku-buku tentang politik Islam yang dianggap representatif untuk dijadikan perbandingan dalam pemikiran tentang masalah-masalah yang berada dalam wilayah kajian politik Islam, yaitu:

Jihad Menurut Sayyid Quthub dalam Tafsir Zhilal, karya Muhammad Chirzin; Paradigma Dakwah Sayyid Quthub; Rekonstruksi Pemikiran Dakwah Harakah,

karya A. Ilyas Ismail; Gerakan-gerakan Internasional dan Pengaruhnya Bagi Gerakan Islam di Indonesia, karya M. Amien Rais; Perkembangan Modern dalam Islam karya Azyumardi Azra; Ideologi, Politik, dan Pembangunan karya Deliar

Noer dan karya-karya ilmiah lain yang membahas tentang politik sebagai bahan sekunder lainnya.

Sedangkan tehnik penulisan penelitian ini merujuk pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.

F. Sistematika Penulisan.

Adapun yang akan penulis bahas dalam bab 1 adalah: Latar Belakang Masalah, Kajian Pustaka, Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, dan Sistemtika Penulisan.

Dalam bab II, penulis akan menerangkan Kondisi Umat Islam pada Masa Sayyid Quthb, Riwayat Hidup Sayyid Quthb, karya-karya Intelektual dan Ikhwan al-Muslimun dan politik kenegaraan Mesir.


(19)

Dalam bab III penulis akan membahas kerangka teori politik Islam yang meliputi: dasar-dasar teori politik Islam, hakekat dan karakteristik Negara Islam, teori kekhalifahan, dan hakekat demokrasi dalam Islam

Dalam bab IV, penulis akan membahas konsep politik Islam menurut Sayyid Quthb sebagaimana yang dijelaskannya dalam Kitab Tafsir Fî Zhilâl al-Qur'ân yang meliputi pembahasan mengenai konsep al-Qur'ân mengenai

kehidupan, kedaulatan Tuhan, tujuan Negara, prinsip-prinsip pemerintahan, konsep kewarganegaraan, dan prinsip-prinsip pengatuyan kebijaksanaan Negara.

Dalam bab V, adalah Penutup, penulis akan menguraikan Kesimpulan dan Saran-saran.


(20)

BIOGRAFI SAYYID QUTHB DAN KARYANYA

A. Riwayat Hidup

Sayyid Quthb lahir di daerah Asyut, Mesir tahun 1906, di sebuah desa dengan tradisi agama yang kental.1 Dengan tradisi yang seperti itu, maka tak heran jika Quthb kecil menjadi seorang anak yang pandai dalam ilmu agama. Tak hanya itu, saat usianya masih belia, ia sudah hafal Qur'ân. Bakat dan kepandaian menyerap ilmu yang besar itu tak disia-siakan terutama oleh kedua orang tua Quthb. Berbekal persedian dan harta yang sangat terbatas, karena memang ia terlahir dalam keluarga sederhana, Quthb dikirim ke Halwan. Sebuah daerah pinggiran ibukota Mesir, Cairo.2

Kesempatan yang diperolehnya untuk lebih berkembang di luar kota asal tak disia-siakan oleh Quthb. Semangat dan kemampuan belajar yang tinggi ia tunjukkan pada kedua orang tuanya. Sebagai buktinya, ia berhasil masuk pada perguruan tinggi Tajhisziyah Dar al Ulum, sekarang Universitas Cairo. Kala itu, tak sembarang orang bisa meraih pendidikan tinggi di tanah Mesir, dan Quthb beruntung menjadi salah satunya. Tentunya dengan kerja keras dan belajar. Tahun 1933, Quthb mendapat menyabet gelar Sarjana Pendidikan.3

Tak lama setelah itu ia diterima bekerja sebagai pengawas pendidikan di Departemen Pendidikan Mesir. Selama bekerja, Quthb menunjukkan kualitas dan hasil yang luar biasa, sehingga ia dikirim ke Amerika untuk menuntut ilmu lebih 1 Ensiklopedi Islam, Jilid 4 (Jakarta: Ichtra Baru van Hoeve, 2005), h. 90.

2 Abegabriel,

Negara Tuhan, (Yogyakarta: IRNIS, 2006), h. 257.

3

Ibid., h. 90


(21)

tinggi dari sebelumnya.Quthb memanfaatkan betul waktunya ketika berada di Amerika, tak tanggung-tanggung ia menuntut ilmu di tiga perguruan tinggi di negeri Paman Sam itu. Wilson's Teacher's College, di Washington ia jelajahi, Greeley College di Colorado ia timba ilmunya, juga Stanford University di California tak ketinggalan diselami pula.4

Seperti keranjingan ilmu, tak puas dengan yang ditemuinya ia berkelana ke berbagai negara di Eropa. Itali, Inggris dan Swiss dan berbagai negara lain dikunjunginya. Tapi itupun tak menyiram dahaganya. Studi di banyak tempat yang dilakukannya memberi satu kesimpulan pada Sayyid Quthb. Hukum dan ilmu Allah saja muaranya. Selama ia mengembara, banyak problem yang ditemuinya di beberapa negara. Secara garis besar Sayyid Quthb menarik kesimpulan, bahwa problem yang ada ditimbulkan oleh dunia yang semakin matre dan jauh dari nilai-nilai agama.

Alhasil, setelah lama mengembara, Sayyid Quthb kembali lagi ke asalnya. Bak pepatah, sejauh-jauh bangau terbang, pasti akan pulang ke kandang. Ia merasa, bahwa Qur'ân sudah sejak lama mampu menjawab semua pertanyaan yang ada. Ia kembali ke Mesir dan bergabung dengan kelompok pergerakan Ihkawanul Muslimin. Di sanalah Sayyid Quthb benar-benar mengaktualisasikan dirinya. Dengan kapasitas dan ilmunya, tak lama namanya meroket dalam pergerakan itu. Tapi pada tahun 1951, pemerintahan Mesir mengeluarkan larangan dan pembubaran Ikhwanul Muslimin.5

4 Ensiklopedi Islam, Jilid 4, h. 91

5 Jamhari (Ed.),

Gerakan Salafi Radikal di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindopersada, 2004),

h. 165


(22)

Saat itu Sayyid Quthb menjabat sebagai anggota panitia pelaksana program dan ketua lembaga dakwah. Selain dikenal sebagai tokoh pergerakan, Quthb juga dikenal sebagai seorang penulis dan kritikus sastra. Kalau di Indonesia semacam H.B. Jassin lah. Banyak karyanya yang telah dibukukan. Ia menulis tentang banyak hal, mulai dari sastra, politik sampai keagamaan. Empat tahun kemudian, tepatnya Juli 1954, Sayyid menjabat sebagai pemimpin redaksi harian Ikhwanul Muslimin al-Fikr al-Jadid. Tapi harian tersebut tak berumur lama, hanya dua bulan, karena dilarang

beredar oleh pemerintah.6

Tak lain dan tak bukan sebabnya adalah sikap keras, pemimpin redaksi, Sayyid Quthb yang mengkritik keras Presiden Mesir kala itu, Kolonel Gamal Abdel Naseer. Saat itu Sayyid Quthb mengkritik perjanjian yang disepakati antara pemerintahan Mesir dan negara Inggris. Tepatnya 7 Juli 1954. Sejak saat itu, kekejaman penguasa bertubi-tubi diterimanya. Setelah melalui proses yang panjang dan rekayasa, Mei 1955, Sayyid Quthb ditahan dan dipenjara dengan alasan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah. Tiga bulan kemudian, hukuman yang lebih berat diterimanya, yakni harus bekerja paksa di kamp-kamp penampungan selama 15 tahun lamanya. Berpindah-pindah penjara, begitulah yang diterima Sayyid Quthb dari pemerintahnya kala itu.7

Hal itu terus di alaminya sampai pertengahan 1964, saat presiden Irak kala itu melawat ke Mesir. Abdul Salam Arief, sang presiden Irak, meminta pada 6 Yusuf Qardhawy,

Syaikh Muhammad al-Ghazali yang Saya Kenal; Setengah Abad

Perjalanan Pemikiran dan Gerakan Islam, (terj.) Aunur Rafiq Shaleh (Jakarta: Robbani Press, 1999),

h. 13. 7

Ibid.


(23)

pemerintahan Mesir untuk membebaskan Sayyid Quthb tanpa tuntutan. Tapi ternyata kehidupan bebas tanpa dinding pembatas tak lama dinikmatinya. Setahun kemudian, pemerintah kembali menahannya tanpa alasan yang jelas. Kali ini justru lebih pedih lagi, Sayyid Quthb tak hanya sendiri. Tiga saudaranya dipaksa ikut serta dalam penahanan ini. Muhammad Quthb, Hamidah dan Aminah, serta 20.000 rakyat Mesir lainnya.8

Alasannya seperti semua, menuduh Ikhwanul Muslimin membuat gerakan yang berusaha menggulingkan dan membunuh Presiden Naseer. Ternyata, berjuang dan menjadi orang baik butuh pengorbanan. Tak semua niat baik dapat diterima dengan lapang dada. Hukuman yang diterima kali ini pun lebih berat dari semua hukuman yang pernah diterima Sayyid Quthb sebelumnya. Ia dan dua orang kawan seperjuangannya dijatuhi hukuman mati.

Meski berbagai kalangan dari dunia internasional telah mengecam Mesir atas hukuman tersebut, Mesir tetap saja bersikukuh seperti batu. Tepat pada tanggal 29 Agustus 1969, ia syahid di depan algojo-algojo pembunuhnya.

8 Ali Abdul Halim Mahmud,

Ikhwanul Muslimin; Konsep Gerakan Terpadu, jilid I (terj.) Syafril halim (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), h. 41.


(24)

B. Karya-karya Sayyid Quthb

Dalam karya tulisnya, ia mulai menulis beberapa jilid buku Taswîr al-Fanni Fi al-Qur’ân (Disiplin Ilmu dalam al-Qur’ân) pada tahun 1939.9 Tulisan ini

mengupas indahnya seni yang terdapat di dalam ayat-ayat al-Qur’ân. Pada tahun 1945 ia menulis sebuah kitab bertajuk Masyâhidul Qiyâmah Fi al-Qur’ân (Kesaksian Hari

Kiamat) yang isinya menggambarkan peristiwa hari kiamat dalam al-Qur`ân. Dan pada tahun 1948, Sayyid Quthb menghasilkan sebuah buku berjudul al-‘Adâlah al-Ijtimâ’iyyah Fi al-Islâm atau Keadilan Sosial dalam Islam. Dalam kitab ini, ia tegas

menyatakan bahwa keadilan masyarakat sejati hanya akan tercapai bila masyarakat menerapkan sistem Islam.10

Dari balik lembaran-lembaran buku itu Sayyid Quthb bermaksud

mengarahkan manusia kepada suasana Qur’âni, yaitu suasana baru yang dapat mereka rasakan sebagai hidangan lezat sebagaimana suasana diturunkannya al-Qur’ân itu sendiri. Dan dengan metode penyampaian yang segar, Sayyid Quthb mencoba menyingkapkan tabir yang menyelimuti manusia mengenai rahasia-rahasia dan arti-arti yang belum pernah diterangkan sebelumnya. Dengan membaca karya-karyanya, orang-orang mengetahui secara dalam apa makna yang terkandung dalam setiap huruf, kata, dan kalimat yang diterangkannya. Ia menganjurkan agar setiap muslim 9Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul,

Keindahan Alqur’ân

yang Menakjubkan: Buku Bantu Memahami Tafsir Fî Zhilâlil Qur’ân, Penerjemah: Bahrun Abu Bakar

(Jakarta: Robbani Press, 2004)

10 Abu Hassan dalam kata pengantar buku Sayyid Quthb, Fiqih Dakwah, Maudhu’at fi al -Da’wah wa al-Harakah, (terj.), Suwardi Effendi, Ah. Rosyid Asyrofi (Jakarta: Pustaka Amani, 1995), h. ii


(25)

selalu berada dalam suasana Qur’âni, dengan menghirup udara al-Qur’ân dan harus melangkah dalam perjalanan hidupnya bersama al-Qur’ân.

Dalam menghadapi paham komunisme dan kapitalisme, Sayyid Quthb menulis al-Salam Alami wa al-Islam (Perdamaian Dunia dan Islam), Ma’rakatu al -Islam wa al-Ra’sumaliyah (Pertikaian Islam dan Kapitalisme). Dalam menghadapi

penyelewengan kebudayaan dan kesalahan-kesalahan paham-paham tersebut, ia juga menulis sebuah karya berjudul al-Islam wa Musykilatu al-Madharah (Islam dan

Problematika Kebudayaan). Dan dalam menghadapi kepercayaan-kepercayaan yang sesat, ia menulis karya berjudul Kashaishu al-Tashawuri al-Islami wa Muqawamatihi

(Ciri-ciri Penggambaran Islam dan Pembendungannya), Hadza al-Din (Inilah Islam),

dan al-Mustaqbalu Lihadza al-Din (Masa Depan Ditangan Islam). Sedangkan sebagai

dasar pijakan dan langkah-langkah politik dinamis, ia menulis Ma’alim fi al-Thariq

(Petunjuk Jalan). Pesan utama yang ditekankan Quthb di dalam tulisan-tulisannya adalah konsep al-Tauhid dari sudut al-Uluhiyyah. Menurutnya inti dari Tauhid

Uluhiyyah adalah hak Allah dari sudut al-Hakimiyyah dan al-Tasyri’ (pembuatan

peraturan). Dan karenanya, menurut Quthb ikrar Lailahaillallah adalah pernyataan

revolusi terhadap seluruh kedaulatan yang berkuasa di atas muka bumi-Nya. Maka seluruhnya itu mesti dikembalikan kepada hak-Nya.11

11 Sayyid Quthb,

Masa Depan Di Tangan Islam, (terj.), t.p., (Malaysia: IIFSO, 1982), h. 9. 13


(26)

C. Tafsir FîZhilâl Al-Qur'ân

Tafsir Zhilâl (demikian biasa orang menyebut tafsir Fi Zhilal Al-Qur’ân)

adalah tafsir yang fenomenal. la hadir dengan sosoknya yang khas, berbeda dengan umumnya kitab tafsir. la sarat dengan tuangan perenungan pengarangnya, Sayyid Quthb, yang dalam dan cerdas. Melalui goresan penanya yang diisi dengan tinta seorang ilmuwan dan darah seorang syahid, Ahmed Hasan Farhatt mengatakan bahwa ayat-ayat Qur’ân yang turun lima betas abad lampau ini, kini seakan kembali hidup dan menemukan kekuatan maknanya. Ayat ayat Qur’ân, yang bertebaran dalam lembaran lembaran mushaf dengan berbagai tema yang terkadang dipahami tidak saling berhubungan, berhasil dihimpun, dijalin, dan disinergikan hingga muncullah dari sana daya doktrinnya yang kuat, daya pemanduannya yang jelas, dan daya pencerahannya yang menggairahkan, dengan komprehensivitas dan universalitas nilai nilai ajarannya yang paripurna.12

Tafsir ini merupakan rujukan terpercaya bagi para aktivis Islam. Tafsir Fî Zhilâl al-Qur’ân karya Sayyid Quthb di kalangan para aktivis Islam, memang mempunyai tempat spesial. Ia bukan hanya sederetan kata demi kata tentang tafsir

al-Qur’ân, tapi juga merupakan saksi nyata dari kehidupan mufassirnya sendiri. Karya ini merupakan perpaduan dari hasil perenungan dan pengalaman seorang Sayyid

12Shalah Abdul Fatah Al-Khalidi,

Pengantar Memahami Tafsir Fî Zhilâlil Qur’ân (Jakarta: Penerbit : Era Intermedia , 2004)


(27)

Quthb, dan cukup laris pula dikutip dan ditelaah orang.13 Karya masterpiece sang syahid Sayyid Quthb ini adalah tafsir paling monumental abad ke-20.

Tafsir ini ditulis dengan metodologi yang sama sekali baru dan mencoba menghadirkan al-Qur’ân dengan semangat dan nuansa seperti ketika ia pertama kali diturunkan kepada Rasulullah saw., agar wahyu ini bekerja sebagaimana ia dahulu bekerja: membangun sebuah komunitas kecil yang mendiami gurun tandus jazirah Arab dan mengubah para penggembala kambing itu menjadi pembangun peradaban dan pemimpin umat manusia.

Al-Qur’ân adalah telaga tempat umat ini dapat menemukan kebesarannya. Dan yang menulis tafsir ini, adalah seorang yang telah melanglang buana selama lebih dari empat tahun dalam dunia pemikiran dan kebudayaan, membaca semua karya pemikiran manusia, untuk kemudian kembali kepada al-Qur’ân dan menemukan semua yang ia cari di sana; dalam lembaran-lembaran wahyu yang selama ini ada di sisinya. Sayyis Quthb merampungkan tafsir ini di dalam penjara selama kurun waktu lebih dari sepuluh tahun, kemudian mengakhiri hidupnya di tiang gantungan sebagai syahid. Ia membayar keyakinannya dengan darahnya. Dan tafsir ini adalah lukisan keyakinannya. Ia adalah tafsir iman atas al-Qur’ân. Dalam versi atau terbitan Dârusy-Syuruq Kairo Mesir, karya ini dikemas menjadi enam jilid besar. Sementara edisi Indonesianya menjadi tiga belas jilid dan diterbitkan oleh penerbitan

13 Muhammad Quraish Shihab dalam karya tafsir al-Qur’ânnya yang berjudul

Tafsir

al-Mishbah banyak mengutip pendapat-pendapat Sayyid Quthb dalam menjelaskan arti kata dan maksud

ayat-ayat yang terkandung al-Qur’ân. Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh, (Jakarta: Lentera, 2002).


(28)

Robbani Press sebuah penerbit yang akrab sebagai penerbit buku fikrah dan harakah Islamiyah.

Banyak buku tafsir al-qur’ân yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Misalnya, Tafsir Ibnu Katsîr, Tafsir Jalâlain, Tafsir Al-Shabûni, dan Tafsir Fî Zhilâl al-Qur’ân. Tiap-tiap kitab Tafsir mempunyai ciri khas masing-masing. Ciri yang

sangat menonjol pada tafsir Fî Zhilâl al-Qur’ân adalah kuatnya gambaran artistik

yang menurut pendapat Sayyid Quthb, menjadi ciri khas utama uslub (ungkapan)

Alqur’ân.14 Dan penulis dalam skripsi ini mencoba untuk mengungkapkan sisi pemikiran politik Islam yang yang terkandung di dalam Tafsir Fî Zhilâl al-Qur’ân

sebagaimana akan diuraikan pada bab-bab berikutnya.

14 Sayyid Quthb,

Tafsir fî Zhilâl al-Qur’ân,jilid I(Jakarta: Gema Insani Press, 2005), h. 15. 16


(29)

17

TEORI POLITIK ISLAM

A. Dasar-dasar Teori Politik Islam

Islam adalah agama universal, agama yang membawa misi rahmatan lil âlamîn. Islam juga memberikan konsep kepada manusia mengenai persoalan yang

terkait dengan urusan duniawi, seperti, bagaimana mengatur sistem perekonomian, penegakan hukum, dan sebagainya, termasuk tentang konsep politik.1 Salah satu bukti tercatat dalam sejarah, ketika Nabi hijrah ke kota Madinah beliau mampu menyatukan masyarakat yang majemuk, terdiri dari berbagai agama dan peradaban yang berbeda dalam satu tatanan masyarakat madani. Dan perjanjian yang beliau deklarasikan dengan orang-orang Yahudi

adalah satu cermin terbentuknya ‘negara’ yang berciri demokrasi. Perjanjian itu

mengandung kebijaksanaan politik Nabi untuk menciptakan kestabilan bernegara.2

Politik yang dimaksud, sebagaimana ungkap Ramlan Surbakti dimaknai sebagai upaya manusia meraih kesempurnaannya atau perjalanan menuju kemaslahatan. Atau, dalam bahasa Aristoteles mengajarkan bagaimana bertindak tepat dan hidup bahagia. Dengan pemahaman ini, politik bernilai luhur, sakral dan tidak bertentangan dengan agama. Setiap manusia yang beragama niscaya

1 Amin Rais, Pengantar Buku Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin, dalam Utsman

Abdul Mu’iz Ruslan, Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin; Studi Analisis Evaliatif terhadap

Proses Pendidikan Politik “Ikhwan” untuk Para Anggota Khususnya, dan Seluruh Masyarakat

Mesir Umumnya, dari Tahun 1928 hingga 1954, (terj.), Salafuddin Abu Sayyid, Hawin Murtadho

(Solo: Era Intermedia: 2000), h. 2.

2 Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan kemodernan (Jakarta: Paramadina, 1992), h. 195.


(30)

berpolitik. Karena itu berpolitik merupakan sesuatu yang inheren dengan kemanusiaan.3

Pemikiran politik di kalangan umat Islam, khususnya dalam sistem pergantian kepala negara (khalîfah) mencuat pada saat Nabi saw wafat.

Munculnya pemikiran di bidang ini paling awal jika dibandingkan dengan pemikiran dalam bidang teologi dan hukum. Sebab, kebutuhan akan adanya seorang pemimpin untuk meneruskan misi yang dibangun Nabi sangat mendesak dan tidak bisa ditunda. Sehingga tidak mengherankan kalau masyarakat Madinah sibuk memikirkan penggantinya, dan penguburan Nabi menjadi soal kedua bagi mereka.4 Dalam bab ini penulis ingin membaca dan mengkaji kembali konsep politik dalam Islam yang diyakini sebagai ajaran hudan (petunjuk) dan

menaburkan kemaslahatan bagi kehidupan manusia.

Pemikiran di bidang politik sebagai cikal bakal diskursus konsep politik Islam baru muncul pada periode dinasti 'Abbasiyah.5 Karya-karya intelektual muslim (Sunni) sebelumnya lebih terfokus pada persoalan fiqh, kalam, dan hadis. Hal ini terjadi karena meskipun faktor yang menyebabkan munculnya kelompok-kelompok atau aliran-aliran dalam Islam adalah persoalan politik, tetapi wacana intelektual yang mengemuka lebih awal adalah masalah teologi yang kemudian diikuti masalah hukum.

Sebenarnya pemikiran politik Islam sejak awal sampai dengan masa Ibn Taimiyah merupakan produk teori yang lahir dari kelompok dalam tubuh umat Islam, dan secara umum merupakan tanggapan pada suasana sejarah yang

3 Ramlan Surbakti,

Memahami Ilmu Politik (Jakarta: Grafindo, 1992), h. 2. 4 Ira M. Lapidus,

Sejarah Sosial Ummat Islam, (terj.) Ghufron A. Mas’adi (Jakarta: RajaGrafindo Persada: 1999), h. 81.

5


(31)

spesifik. Dua dari kelompok tersebut adalah Khawârij dan Syi'ah, mereka mengajukan pandangannya tentang ciri-ciri pemerintahan Islam pada awal sejarah negara Islam dengan menghasilkan teori imâmah bagi Syi'ah yang bersifat mistis,

dan kecendrungan berpikir revolusioner bagi Khawârij. Kelompok yang ketiga hadir adalah Sunni yang mengedepankan teori kekhilafahannya.6

Munawir Sjadzali berpendapat, terdapat dua ciri umum mengenai gagasan politik dari para pemikir di atas. Pertama, pada pendapat mereka tampak jelas

adanya pengaruh alam pikiran Yunani, terutama pandangan Plato meskipun kadar pengaruh itu tidak sama antara satu pemikir dengan pemikir yang lain. Kedua,

selain al-Farabi, mereka mendasarkan pemikirannya atas penerimaan terhadap sistem kekuasaan yang ada pada zaman mereka masing-masing.7

Sedangkan, para pemikir politik Islam pada periode pembaharuan (purifikasi) dapat dikategorikan dalam tiga varian besar, yaitu: pertama,

Kelompok Konservatif Ciri yang menonjol dari kelompok ini adalah adanya aksioma ideologis yang dibangun berdasarkan ajaran Islam bahwa, Islam adalah agama yang sempurna, lengkap, komprehensip, dan berlaku universal untuk seluruh umat manusia di semua tempat dan waktu. Tokoh kelompok ini, Sayyid Quthb, Hasan al-Bannâ, Hasan al-Turabî, dan Abul A'lâ al-Maududî. Kedua,

Kelompok Modernis. Kelompok ini mengajukan upaya reformasi dalam rangka menemukan kembali rasionalisme, saintisme, dan progesivisme dalam Islam. Tokoh kelompok ini, Jamaluddîn al-Afghanî dan Muhammad 'Abduh. Dan ketiga,

Kelompok Liberal. Kelompok ini pada intinya ingin melihat perubahan

6 Sjechul Hadi Permono,

Islam dalam Lintasan Sejarah Perpolitikan; Teori dan Praktek (Surabaya: Aulia, 2004), h. 196.

7 Munawir Sjadzali,

Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta: UI


(32)

fundamental dalam pola berpikir umat Islam yang dianggap stagnan dengan mengedepankan semangat dekonstruksi pemikiran Islam yang telah mapan. Tokoh kelompok ini adalah 'Ali 'Abd al-Râziq dan Thahâ Husein.8

B. Hakekat dan Karakteristik Negara Islam

Masalah negara merupakan urusan duniawi yang bersifat umum, karena itu ia termasuk wilayah ijtihad umat Islam. Mereka harus berusaha untuk menjadikan al-Qur'ân sebagai sistem yang konkrit supaya dapat diterjemahkan dalam pemerintahan sepanjang zaman.9

Dalam rangka menyusun teori politik mengenai konsep negara yang ditekankan bukanlah struktur "negara Islam", melainkan substruktur dan tujuannya. Struktur negara termasuk wilayah ijtihad kaum muslimin sehingga bisa

berubah. Sementara substruktur dan tujuannya tetap menyangkut prinsip-prinsip bernegara secara Islami. Namun penting untuk dicatat, bahwa al-Qur'ân mengandung nilai-nilai dan ajaran yang bersifat etis mengenai aktifitas sosial-politik umat manusia. Ajaran ini mencakup prinsip-prinsip tentang keadilan, persamaan, persaudaraan, musyawarah, dan lain-lain. Untuk itu, sepanjang negara berpegang kepada prinsip-prinsip tersebut maka pembentukan "negara Islam" dalam pengertian yang formal dan ideologis bukanlah kebutuhan yang urgen.10

Dalam dunia Islam, menurut Din Syamsuddin, secara umum ditemukan tiga bentuk paradigma tentang hubungan agama dan negara.11 Paradigma pertama

memecahkan masalah dikotomi dengan mengajukan konsep bersatunya agama

8

Ibid., h. 25

9 Tijani Abd. Qadir Hamid,

Pemikiran Politik dalam Al-Qur’ân, (terj.) Abdul Hayyie al-Kattani (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. vii.

10 Abdulaziz Sachedina,

Beda tapi Setara; Pandangan Islam tentang Non-Islam, (terj.) Satrio Wahono (Jakarta: Serambi, 2004), h. 70.

11 M. Din Syamsuddin, "Usaha Pencarian konsep Negara dalam sejarah Pemikiran Politik


(33)

dan negara. Paradigma kedua memandang agama dan negara berhubungan secara simbiotik, yaitu berhubungan erat secara timbal balik dan saling memerlukan. Paradigma ketiga bersifat sekuralistik. Paradigma ini menolak baik hubungan integralistik maupun simbiotik antara agama dan negara. Dalam konteks Islam, paradigma sekuralistik menolak pendasaran agama pada negara, atau paling tidak menolak determinasi Islam akan bentuk tertentu pada negara.12

Beberapa kalangan pemikir muslim berpendapat bahwa Islam tidak meletakkan suatu pola baku tentang teori negara yang harus dijalankan umat. Seorang pemikir muslim Prancis, Roger Garaudy, berpendapat bahwa Islam sebagai agama tidak menentukan suatu sistem pemerintahan tertentu bagi kaum muslim, karena logika tentang kesesuaian agama ini untuk sepanjang masa dan tempat menuntut agar permasalahan yang selalu berubah secara evolusi diserahkan kepada akal pikiran manusia menurut kepentingan umum yang telah digariskan agama.13

Dari pandangannya dapat disimpulkan, masyarakat Islam bukanlah masyarakat politik. Akan tetapi selalu ada peluang bagi masyarakat untuk mewujudkan bentuk pemerintahan Islam yang sesuai dengan konteks budaya. Ia sebenarnya tidak bermaksud mengatakan bahwa Islam tidak menganjurkan pembentukan suatu negara. Sebaliknya, Islam memandang penting kekuasaan politik. Tetapi hal ini tidak berarti pembentukan negara merupakan salah satu ajaran dasar Islam. Dengan lain ungkapan, kekuasaan politik diperlukan umat Islam, tetapi bukan karena tuntutan agama, melainkan tuntutan situasi sosial dan politik itu sendiri.

12 Abu Zahra,

Politik Demi Tuhan, h.33. 13 Muhsin al-Mayli,

Pergulatan Mencari Islam, Perjalanan Religious Roger Garaudy, (terj.) Rifal Ka’bah (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 216.


(34)

C. Teori Kekhalifahan dalam Islam

Secara histories kekhilafahan sebagai sistem politik baru muncul sepeninggal nabi, seperti yang baru disinggung di atas. Naiknya Abu Bakar sebagai khalifah rasul Allah (pengganti rasul sebagai pemimpin umat), maka

bermulalah sistem itu dalam sejarah Islam, sekalipun ada sekelompok umat yang menolak pengangkatan Abu Bakar, yang kemudian menggumpal dalam kelompok

syi’ah. Atas usul ‘Umar dalam perundingan di Tsaqifah Bani Sa’idah, sementara

jenazah nabi masih belum lagi terkubur, Abu Bakar ditetapkan sebagai kepala komunitas (negara) Muslim di Madinah.

Muhammad sebagai nabi dan rasul tidak dapat digantikan, tetapi sebagai pemimpin umat harus ada penggantinya, sebab tanpa pemimpin formal komunitas baru itu akan berantakan. Maka khalifah sebagai penerus kepemimpinan

Muhammad harus dibaca dalam konteks sejarah seperti ini. Dalam kaitan ini, sekitar lima abad setelah nabi, muncullah teori al-Mawardi (w. 1058) yang dimulai dengan kalimat: al-imama maudhu’atun likhilafat al-nubuwwa fi hirasa al-din wa siyasa al-dunya (Kepemimpinan dilembagakan sebagai pengganti

(posisi) kenabian untuk menjaga agama dan mengatur dunia).14

Sebelum al-Mawardi, al-Baqillani (w. 1013) telah pula merumuskan teori tentang masalah kepemimpinan pasca nabi ini, terutuma juga untuk menyangkal

klaim syi’i, untuk kekhalifahan yang hanya berdasarkan akhbar al-ahad

(otoritas-otoritas yang meragukan), bukan khabar mutawatir (informasi yang otoritatif).

Karena dari sisi nashsh (dalil agama) lemah, maka teori syi’i menurut al-Baqillani

harus ditolak. Yuris ini menggunakan ungkapan: “Jika penetapan/penunjukkan

14 Jalaluddin Rakhmat,

Islam Alternatif; Ceramah-ceramah di Kampus (Bandung: Mizan,


(35)

tidak sah, maka pemilihan menjadi sah” (izda fasada alnashsh shahha al-ikhtiyar).15Artinya pemilihan Abu Bakar di Tsaqifah adalah sah menurut syari’at,

klaim di luar itu harus ditolak.

Polemik sunni-syi’i mengenai sistem kekuasaan telah menghabiskan

energi umat selama berabad-abad, dan belum ada penyelesaian, karena masing-masing pihak membangun teori mereka berdasarkan kepentingan politik kekuasaan. Pembenaran al-Qur’ân terhadap pendirian mereka sebenarnya adalah uapaya penelikungan Kitab Suci ini untuk urusan duniawi. Karena al-Qur’ân tidak tegas-tegas memberi panduan untuk sistem politik, dan memang tidak perlu mengingat perubahan zaman, tetapi setidak-tidaknya prinsip syura dan doktrin

“yang termulia di antara kamu di sisi Allah adalah kamu yang paling bertaqwa,”16

Berdasarkan apa yang secara ringkas penulis sampaikan di atas, menurut penulis, tentang teori kekhilafahan dan yang terkait dengan itu, bagi umat yang datang kemudian terbuka pintu yang sangat lebar untuk berijtihad dalam semua lapangan, termasuk dalam teori politik. Karena al-Qur’ân telah memberikan prinsip syura dan posisi setara bagi manusia di depan Tuhan dan sejarah, maka

bukanlah sebuah dosa untuk mengembangkan sistem demokrasi yang dikawal oleh wahyu dan nilai-nilai kenabian.

D. Hakekat Demokrasi dalam Islam

Mayoritas penduduk Timur Tengah adalah beragama Islam. Oleh karena itu, penting untuk dibahas keterkaitan antara demokrasi dan Islam. Menurut Esposito, dalam hubungan demokrasi dan Islam, terdapat tiga aliran.

15

Ibid., h. 244.


(36)

1. Aliran pemikiran yang berpendapat, bahwa Islam di dalam dirinya demokratis tidak hanya prinsip Shura (musyawarah), tapi juga karena konsep-konsep: ijtihad (independent reasoning) dan ijma’ (consensus/permufakatan).17

2. Aliran pemikiran yang menolak gagasan Islam dan demokrasi. Shaykh Fadlallah Nuri mengemukakan satu kunci gagasan demokrasi, persamaan

semua warganegara adalah “imposible” dalam Islam.18. Sayyid Qutb

menekankan bahwa sebuah negara Islam harus berlandaskan pada prinsip

musyawarah sebagaimana tercantum dalam al Qur’ân. Ia percaya syariat sudah sangat lengkap sebagai suatu sistem moral dan hukum, sehingga tidak diperlukan legislasi lain. Sedang Shaykh Muhammad Mutawwali al-Sha’rawi mengatakan Islam tidak bisa dipadukan dengan demokrasi. Sementara Ali Benhajd menegaskan bahwa konsep demokrasi harus digantikan dengan prinsip-prinsip pemerintahan yang Islami. Para teoritisi politik Barat saja

sudah mulai memandang demokrasi sebagai ”sebuah sistem yang cacat” (a flawed system).19

3. Aliran ketiga ini menyetujui prinsip-prinsip demokrasi dalam Islam, tapi lain pihak mengakui perbedaan diantara keduanya. Menurut Maududi, dalam demokrasi sekuler Barat, pemerintahan dibentuk dan diubah dengan pelaksanaan pemilihan umum.

17 Hamid Enayat, Reaksi Politik Sunni dan Syi’ah: Pemikiran Politik Islam Modern

Menghadapi Abad Ke-20 (Bandung: Pustaka, 1988), h. 201.

18 John Esposito,

Ancaman Islam: Mitos atau Realitas? Menggugat Tesis Huntington, h.

436 19


(37)

25

KONSEP POLITIK ISLAM

DALAM TAFSIR FÎ ZHILÂL AL-QUR’ÂN

Inti konsep pemikiran Sayyid Quthb tentang politik yang dapat disimpulkan dari kitab Tafsir Fi Zhilal al-Qur‟an, menurut A. Ilyas Ismail berupa

gagasan tentang hakimiyyah, jahiliyyah dan tajhil, perjuangan Islam atau perang

suci (jihad), serta revolusi Islam (tsaurat al-Islamiyyah)1 yang dijabarkan dalam

metode konsep politik dalam al-Qur’ân mengenai kehidupan, kedaulatan Tuhan, tujuan negara, prinsip-prinsip pemerintahan, konsep kewarganegaraan, dan prinsip-prinsip kebijaksanaan negara.

A. Konsep al-Qur’ân Mengenai Kehidupan

Sayyid Quthb dalam tafsir Fî Zhilâl al-Qur‟ân mengatakan bahwa

kehidupan umat Islam dewasa ini tidak akan sejahtera ketika tidak mengikuti jejak para pendahulu mereka.2 Pendapat tersebut bias dilihat Sebagaimana ketika ia menafsirkan al-Qur'ân surat Âli Imrân ayat 103,







































“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah

1 A. Ilyas Ismail,

Paradigma Dakwah Sayyid Quthb; Rekonstruksi Pemikiran Dakwah

Harakah, (Jakarta: Penamadani, 2006), h. 68-69.

2 Sayyid Quthb,

Tafsir Fi Zhilal Al-Qur'an; Di bawah Naungan Al-Qur'an,(terj.) As’ad


(38)

berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.”

Menurut Sayyid Quthb, kehidupan adalah ciptaan Allah, ditentukan oleh takdir-Nya. Ia bukan tuhan, bukan kekuatan yang muncul dalam dirinya, tidak tumbuh dan ditumbuhkan oleh kemauannya sendiri, tidak terikat oleh kekuatan lain. Ia juga bukan sesuatu yang ada secara kebetulan atau tiba-tiba, ia tidak bergerak secara sporadik tak tentu arah. Alam juga bukan pencipta, tetapi ia diciptakan dan dijadikan oleh Allah seiring dengan kemunculan kehidupan. Allah telah menyiapkan bumi untuk jenis kehidupan yang tumbuh di dalamnya. Dan untuk pengelolaan itu Allah telah menurunkan al-Qur’ân sebagai sumber dari segala sumber hukum umat manusia yang menuntunnya pada kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat.3

Kenyataannya, umat banyak yang tidak lagi berpegang kepada sumber itu, kecuali hanya slogan. Padahal, di dalam Al-Qur'ân terdapat petunjuk-petunjuk bagaimana terbentuknya suatu masyarakat ideal dan praktik Nabi Muhammad saw. dengan masyarakat Qur'âni itu nyata sebagai realitas sosial dan berkelanjutan pada masa-masa berikutnya. Hal itu sejalan dengan pemikiran sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Taimiyah4 bahwa Allah memberikan petunjuk bagi tercapainya masyarakat Qur'âni. Hal tersebut sebagaimana firman Allah dalam surah An-Nûr/24: 55 berikut:

























3

Ibid, h. 357 – 359.

4 M. Amin Rais, “Kata Pengantar

,”dalam John J. Donohue dan John L. Esposito, Islam


(39)















“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik.”

Sayyid Quthb mengomentari ayat di atas bahwa itu janji Allah kepada Rasulullah saw. yang akan menjadikan umatnya sebagai penguasa-penguasa di muka bumi. Sehingga, negara-negara menjadi makmur dan rakyat menjadi patuh. Dan, janji itu terjelma sebelum Nabi Muhammad saw. wafat, yaitu bermula dari penaklukan Mekah, Bahrain, dan seluruh Jazirah Arab dan Yaman.5

Pendapat politik Sayyid Quthb di atas, sejalan dengan pendapat Ibnu Taimiyah yang berkomentar atas ayat itu bahwa kebaikan penguasa bergantung kepada kesungguhannya mengikuti al-Qur'ân dan sunnah Rasul-Nya serta mengajak rakyatnya untuk mengikutinya. Dan, Allah menjadikan kebaikan penguasa itu pada empat hal: (1) mendirikan shalat; (2) menunaikan zakat; (3) amar ma'ruf; (4) nahi mungkar. Sang pengusa mengajak mendirikan shalat berjamaah bersama para pembantunya dan menyuruh rakyatnya mendirikan shalat serta menghukum mereka yang teledor melaksanakannya sesuai dengan hukum Allah. Dengan tegaknya ketentuan al-Qur'ân itu, akan dicapai masyarakat Qur'âni yang dapat menegakkan hablum min Allah (hubungan vertikal) dan

5 Sayyid Quthb,

Beberapa Studi Tentang Islam, (terj.) A. Rachman Zainuddin (Jakarta: Media Dakwah, 1982), h. 9.


(40)

hablunminanas (hubungan horizontal) yang berarti memadukan dua

kemaslahatan.6

Masyarakat Qur'âni itu akan tampak pada ketertundukan mereka terhadap supremasi hukum al-Qur'ân. Dan, al-Qur'ân meletakkan prinsip-prinsip dasar dalam mengatur dan mengendalikan masyarakat muslim. Prinsip-prinsip tersebut adalah justice (keadilan), deliberation (syura), equality (persamaan), dan freedom

(kebebasan). Orientasi politik Islam menurut al-Qur'ân menekankan pada tauhîd, syarî’ah, dan program ketakwaan.

Menurut sayyid Quthb, Allah SWT tidak hanya menurunkan ajaran dan doktrin bagi umat manusia, tetapi juga menurunkan nabi-Nya untuk memberi contoh dan memimbing umat manusia menuju kepada keadilan Islam dunia. Kalau kita perhatikan, proses yang dilakukan Nabi saw. dalam membentuk masyarakat Qur'âni, yang sebelumnya terkenal dengan masyarakat jahili, ada lima jalan yang ditempuhnya.7

Pertama, Nabi saw. membangun aqidah umat selama berada di Mekah

untuk mempersiapkan diri menerima tanggung jawab mengemban tugas risalah dan khalifah. Proses ini dilakukan paling lama sekitar 23 tahun. Setelah matang, Nabi saw. mengutus mereka untuk menyebarkan misi dakwah, seperti Mush'ab bin Umair dikirim ke Madinah dan sebagian dikirim ke Ethiopia. Ketika dakwah sudah menampakkan hasilnya dan tidak ada satu rumah pun di Madinah melainkan sudah ada orang yang masuk Islam, maka keadan ini sangat tepat bagi umat Islam di Mekah (yang selalu ditindas kaum jahiliyah) untuk berhijrah meninggalkan tempat asalnya.

6 Nurcholis Madjid,

Khazanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), h. 89. 7 Sayyid Quthb, Ma‟alim fi a

l-Thariq (Salamiyah, Kuwait: Ittihad Islami al-‘Alami, 1368 H), h. 11-19.


(41)

Kedua, Nabi saw. memerintahkan kepada seluruh sahabat agar berhijrah

ke Madinah. Dan, yang menarik adalah bahwa sesampai di Madinah, pertama yang dilakukan Nabi saw. untuk pembinaan umat adalah membangun masjid Nabawi sebagai sentral kegiatan dan aktivitas umat Islam. Penempaan kaderisasi terus berlanjut di masjid tersebut.

Ketiga, Nabi saw. mempersaudarakan antarumat Islam. Mereka yang

berasal dari Mekah disebut Muhajirin, sementara yang berasal dari Madinah disebut Anshar. Hal itu dilakukan untuk merekatkan umat Islam sehinga tidak mudah diadu domba.

Keempat, Nabi saw. membuat "Piagam Madinah" untuk mengatur

hubungan dengan masyarakat Etnis lain, yaitu ahlul kitab dari bangsa Yahudi, sekaligus upaya pembentengan bagi masyarakat muslim.

Kelima, Nabi saw. melakukan ekspedisi perang bagi siapa saja yang ingin

memaksakan kehendaknya untuk merusak tatanan masyarakat muslim. Maka, beliau tampil sebagai penglima perang. Dengan demikian, terbentuklah masyarkat muslim Madinah yang mengejawantahkan Allah pada ayat di atas.

Ajaran al-Qur'ân selalu berpijak kepada umat manusia, artinya bahwa Al-Qur'ân selalu memperhatikan maslahat dan kepentingan umat manusia, karena itu para ulama sepakat bahwa apabila konsep al-Qur'ân ditetapkan dalam suatu masyarakat tertentu akan mendapatkan paling tidak lima hal pokok:

1. Terjaga agamanya 2. Terjaga jiwanya 3. Terjaga hartanya 4. Terjaga akalnya


(42)

5. Terjaga kehormatannya.8

Demikian uraian singkat tentang cita-cita Islam dalam membentuk masyarakat Qur'âni sebagaimana yang dijelaskan oleh Sayyid Quthb dalam kitab tafsirnya. Kesimpulan penulis, sebenarnya apa yang dicita-citakan oleh Sayyid Quthb sama dengan para pemikir Islam lainnya, yaitu mendambakan suatu tatanan masyarakat yang berlandaskan hukum al-Qur’ân dan Sunnah Rasul, demi membentuk manusia yang lebih makmur dan berperadaban dan kita tidak perlu terlibat analisa dikotomis ala Barat yang menempatkan umat Islam pada kondisi pemahaman yang formalistik, substanstivistik, dan fundamentalis.

B. Kedaulatan Tuhan

Kata daulat dalam bahasa Indoensia berasal dari bahasa Arab yaitu daulah (ةلودلا). Dalam bahasa Indonesia, daulat berarti kekuasaan. Kedaulatan

pula mempunyai arti kekuasaan tertinggi atas pemerintahan negara atau daerah. Seperti contoh "Kedaulatan negara itu telah lama diakui oleh dunia internasional".9 Dalam bahasa Arab, kata daulah berarti kekuasaan seorang imam

(presiden) atau khalifah pada wilayah kekuasaan, kewajiban-kewajiban (kebijakan yang menjadi kewajibannya), dan hak-haknya.10

Sebuah bangsa tanpa berdaulat berarti bangsa tersebut tidak memiliki kuasaan untuk menentukan nasib mereka, malah bisa ditindas dan dipaksa untuk melakukan sebuah kebijakan atau sebuah keputusan. Kepimpinan tanpa berdaulat berarti seorang pemimpin yang tidak memiliki kekuasaan atas sesuatu yang

8 Tijani Abdul Qadir Hamid,

Pemikiran Politik dalam al-Qur‟an, (terj.) Abdul Hayyie al-Kattani (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 133

9 Departement Pendidikan Nasional,

Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), h. 240.

10 A. Ilyas Ismail,

Paradigma Dakwah Sayyid Quthub; Rekonstruksi Pemikiran Dakwah Harakah, (Jakarta: Penamadani), h. 158.


(43)

dipimpin. Ini dapat diibaratkan seperti kepimpinan yang hanya sebuah patung

puppet.11

Teori kedaulatan selanjutnya dibagi menjadi beberapa jenis. Teori yang paling dominan adalah kedaulatan Tuhan dan kedaulatan rakyat.

Seperti yang telah diterangkan di atas, kata kedaulatan berarti kekuasaan tertinggi. Apabila kata daulat itu disandarkan pada kata Tuhan, maka ia mempunyai arti kekuasaan tertinggi adalah Tuhan.12 Pemerintahan yang berdaulatkan Tuhan adalah sebuah pemerintahan yang meletakan pucuk kekuasaannya pada Tuhan.

Teori kedaulatan Tuhan adalah sebuah teori yang dikemukakan tokoh penganut-penganut teori teokrasi.13 Sebagian dari mereka adalah Augustinus (354-430 M) dan Thomas Aquinas (1225-1274 M). Pendapat mereka sebenarnya sama. Tuhan ditetapkan sebagai pemilik kekuasaan yang tertinggi.14 Akan tetapi persoalan yang diperdebatkan adalah siapa di dunia ini yang mewakili Tuhan, Raja ataukah Paus?15

Agustinus adalah orang yang paling awal memberi gagasan ini. Beliau berpendapat bahwa Paus adalah orang yang mewakili Tuhan di dunia, atau bisa dimaksud dengan di suatu negara. Pemikiran beliau ini tertulis di dalam sebuah karya tulisnya yang berjudul City of God (Kerajaan Tuhan).16

11

Puppet: Patung yang digerakkan oleh orang lain yang berkuasa. Ibid., h. 263 12

Ibid. 13

Teokratik berasal dari bahasa Inggris; theocracy. Maksudnya adalah sebuah

pemerintahan yang dipimpin oleh pemimpin yang relegius. 14 Muhsin al-Mayli,

Pergulatin Mencari Islam; Perjalanan Religius Roger Garaudy, (Rifyal Ka’bah)(Jakarta: Paramadina, 1996), h.125

15 Paus adalah seorang pemimpin umat Katolik Roma di dunia. Seorang Paus dianggap sebagai ketua agama yang mendapat wahyu dari Tuhan untuk mengatur urusan agama maupun kadang-kala urusan pemerintahan.

16 Muhsin al-Mayli,


(44)

Thomas Aquinas berpendapat bahwa kekuasaan raja dan Paus itu sama, hanya saja perbedaannya berada ditugasnya yaitu raja di lapangan keduniawian, sedangkan Paus di lapangan keagamaan. Perkembangan selanjutnya adalah teori yang dibawa oleh Marsilius. Marsilius mengajarkan teori baru yaitu kekuasaan tidak dimiliki seorang Paus, akan tetapi dimiliki negara atau raja. Menurut ajaran Marsilius, raja adalah wakil daripada Tuhan untuk melaksanakan kedaulatan atau memegang kedaulatan di dunia ini.17

Sejarah munculnya teori ini adalah sebuah dampak dari teori kedaulatan raja dan kedaulatan negara, karena pada zaman sedang maraknya kedaulatan raja dan negara, banyak dari kalangan raja-raja yang melakukan penindasan pada rakyat kecil. Dengan munculnya teori kedaulatan rakyat, maka raja atau pemimpin tidak dapat lagi sewenang-wenangnya menindas rakyat kecil.

Sekarang teori kedaulatan rakyat lebih dikenal dengan demokrasi.18 Akan tetapi, perlu diketahui bahwa kedaulatan rakyat bukan berarti demokrasi, hanya saja demokrasi seharusnya memiliki kedaulatan rakyat, karena demokrasi adalah sejenis sistem pemerintahan yang mengandung kedua kedaulatan, yaitu kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum.

Menurut Sayyid Quthb, dalam sudut pandang Islam, kedaulatan di tangan Allah SWT. Allah sajalah yang berhak menetapkan hukum bukan manusia. Perintah dan larangan Allah merupakan hukum yang mutlak ditaati dan diemban manusia. Dengan demikian, menurut Sayyid Quthb dalam tafsirnya, demokrasi

17 Ibid.

18 Demokrasi adalah sebuah sistem pemerintahan yang diperintah rakyat. Demokrasi biasanya dianggap sebagai lawannya monarki yang mana pemerintahannya diperintah oleh raja absolut. Kebanyakan ahli filosofis politik sekarang percaya bahwa demokrasi adalah sistem yang paling baik, karena dapat membela rakyat kecil. Lihat: Anders Uhlin, Oposisi Berserak; Arus

Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia, (terj.) Rofik Suhud (Bandung: Mizan,


(1)

67 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Konsep politik Islam menurut Sayyid Quthb dalam kitab tafsirnya Fi Zhilal Al-Qur’an dapat disimpulkan dalam pernyataan, yaitu:

Pertama, politik Islam harus menciptakan suatu tatanan kehidupan masyarakat yang berlandaskan hukum al-Qur’ân dan Sunnah Rasul, demi membentuk manusia yang lebih makmur dan berperadaban dan tidak perlu terlibat analisa dikotomis ala Barat yang menempatkan umat Islam pada kondisi pemahaman yang formalistik, substanstivistik, dan fundamentalis..

Kedua, dalam sudut pandang politik Islam, kedaulatan berada di ‘tangan’ Allah SWT. Allah sajalah yang berhak menetapkan hukum bukan manusia. Perintah dan larangan Allah merupakan hukum yang mutlak ditaati dan diemban manusia. Dengan demikian, menurut Sayyid Quthb dalam tafsirnya, demokrasi bertentangan dengan Islam, bahkan pertentangan ini bersifat mendasar dan memasuki bidang akidah apabila meyakini manusia sebagai sumber dan pembuat hukum bukan Allah.

Ketiga, tujuan negara menurut al-Qur’an bahwa dalam hal apapun negara tidak boleh melepaskan begitu saja dan harus ada campur tangan dari Negara demi menjaga dan menjamin ketentraman dan kesejahteraan seluruh warga Negara di seluruh alam semesta ini.

Keempat, pemerintah yang adil adalah pemerintahan yang dapat melayani rakyatnya dengan baik, yang menjatuhkan hukuman dengan tepat dan meletakkan


(2)

rakyat pada posisi yang tepat, sehingga rakyat mendapat hak dan keperluan yang cukup, adalah pemerintah yang telah menunaikan amanah dan tanggung jawab dengan betul.

Kelima, dalam konsep kewarganegaraan, Pemimpin Negara Islam (atau Negara) berkewajiban untuk mendidik dan membimbing rakyat dalam mengarungi kehidupan dunia yang fana ini menuju kehidupan akhirat yang kekal. Negara juga berkewajiban untuk menjaga kemaslahatan umum. Secara singkat kewajiban-kewajiban tersebut dapat diungkapkan dalam kalimat hirasat al-din wa siyasat al-dunya.

Keenam, Menurut Mahmud al-Murakiby komponen-komponen pengatur kebijakan negara terdiri dari: 1) Kepala negara (hâkim), merupakan lembaga tinggi negara yang memiliki kebijakan-kebijakan politik internal dan eksternal; 2) Jamâ'ah ahl al-hal wa al-'Aqd, merupakan lembaga tertinggi dalam negara yang memiliki wewenang untuk mengangkat dan menurunkan kepala Negara; 3) Majlis al-Syûrâ', merupakan lembaga perkumpulan wakil masyarakat yang telah dipilih dan dipercaya sebagai penyalur aspirasi masyarakat untuk disampaikan kepada kepala Negara, 4) Dîwân al-Madzhâlim, merupakan sebuah lembaga keamanan masyarakat; 5) Sulthah tanfîdziyah, merupakan pemegang kebijakan politik, sosial dan ekonomi internal sebuah negara. Lembaga ini dipimpin oleh seorang perdana menteri (Wazîr al-Wuzarât, Chief of Ministry) yang membawahi beberapa menteri departemen; dan 6) Dîwân al-Hisbah li ad-Daulah. Lembaga ini berfungsi sebagai pengontrol debet-kredit keuangan negara yang digunakan oleh perangkat negara di atas.


(3)

69

B. Saran

1. Bagi para akademiki, terutama para cendekiawan politik Islam, ketika mewacanakan konsep politik Islam yang ditawarkan Sayyid Quthub berdasarkan penafsirannya terhadap al-Qur’an hendaknya dilakukan melalui pemahaman yang lebih terbuka, daripada mengkedepankan ‘praduga’ pemahaman yang mengasumsikan bahwa Sayyid Quthb dalam pemikirannya sangat literal terhadap nash-nash ajaran Islam..

2. Hendaknya kecenderungan para akademisi dan aktivis gerakan Islam untuk melukiskan politik Islam sebagai wajah tunggal yang berdimensi transnasional sebagaimana yang dianjurkan dalam pemikiran politik Sayyid Qutub dirubah dengan menunjukkan keragaman dan dimensi lokal dari peresentasi Islamisme dalam ruang-waktu sejarah.


(4)

112

Abegabriel, Negara Tuhan. Yogyakarta: IRNIS, 2006.

al-Khalidi, Shalah Abdul, Pengantar Memahami Tafsir Fi Zhilalil Al-Qur’an, (terj.) Salafuddin Abu Sayyid. Solo: Era Intermedia, 2001.

al-Mayli, Muhsin, Pergulatin Mencari Islam; Perjalanan Religius Roger Garaudy, (terj). Rifyal Ka’bah. Jakarta: Paramadina, 1996.

Boisard, Marcel A., Humanisme dalam Islam, (terj.) M. Rasjidi. Jakarta: Bulan Bintang, 1980.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2001.

Dewan Bahasa dan Pustaka, Kamus Dewan Edisi Keempat (Ampang: Dawama, 2005)

Effendy, Bahtiar, Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1998.

Enayat, Hamid, Reaksi Politik Sunni dan Syi’ah: Pemikiran Politik Islam Modern Menghadapi Abad Ke-20. Bandung: Pustaka, 1988.

Ensiklopedi Islam, Jilid 4. Jakarta: Ichtra Baru van Hoeve, 2005.

Esposito, John, Ancaman Islam: Mitos atau Realitas? Menggugat Tesis Huntington, (terj.). Bandung: Mizan, 1996.

Gholib, Achmad, Teologi dalam Perspektif Islam. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2004.

Hamid, Tijani Abdul Qadir, Pemikiran Politik dalam al-Qur’an, (terj.) Abdul Hayyie al-Kattani. Jakarta: Gema Insani Press, 2001.

Hardiman, Fransisco Budi, Kritik Ideologi; Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan. Jakarta: Kanisius, 2002.

Ismail, A. Ilyas, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub; Rekonstruksi Pemikiran Dakwah Harakah. Jakarta: Penamadani, 2006.

Jamhari, Ed. Gerakan Salafi Radikal Di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindopersada, 2004.

Komunitas Kajian Ilmiyah Lirboyo 2005, Formulasi Nalar Fiqh. Kediri: Purna Siswa III Aliyah, 2005.


(5)

112

113

Lapidus Ira M., Sejarah Sosial Ummat Islam, (terj.) Ghufron A. Mas’adi. Jakarta: RajaGrafindo Persada: 1999.

Mahmud, Ali Abdul Halim, Ikhwanul Muslimin Konsep Gerakan terpadu, (terj.), Syafril Halim, Jilid. I-II. Jakarta: Gema Insani Press, 1997.

Madjid, Nurcholis, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan kemodernan. Jakarta: Paramadina, 1992.

______, Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1989.

Majlis Musyawarah PP. al-Falah, Hasil Keputusan Bahtsul Masa-il Kubro 06. Kediri: MMPA, 2006.

Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UIP, 2001. Poedjawijatna, I.R., Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat. Jakarta: Rineka Cipta,

2002.

Permono, Sjechul Hadi, Islam dalam Lintas Sejarah dan Perpolitikan: Teori dan Praktek. Surabaya: Aulia, 2004.

_________, Konsepsi Umum, Pemerintahan Islami. Surabaya: Aulia, 2004. Qardhawy, Yusuf, Syaikh Muhammad al-Ghazali yang Saya Kenal; Setengah

Abad Perjalanan Pemikiran dan Gerakan Islam, (terj.) Surya Darma. Jakarta: Rabbani Press, 1997.

Quthb, Sayyid, Tafsir Fi Zhilal Al-Qur'an; Di bawah Naungan Al-Qur'an. Jakarta: Gema Insani Press, 2008, Jilid.I-XII.

_________, Ma’alim fi al-Thariq. Salamiyah. Kuwait: Ittihad Islami al-‘Alami, 1368 H.

_________, Beberapa Studi Tentang Islam, terj. A. Rachman Zainuddin (Jakarta: Media Dakwah, 1982),

Rakhmat, Jalaluddin, Islam Alternatif; Ceramah-ceramah di Kampus. Bandung: Mizan, 2004.

Rosyada, Dede, dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003)

Ruslan, Usman Abdul Muiz, Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin: Study Analisa Evaluatif Terhadap Proses Pendidikan Politik Ikhwan untuk Para


(6)

112

Anggota Khususnya dan Seluruh Masyarakat Mesir Umumnya Dari Tahun 1928 hingga 1954, (Solo: Intermedia, 2000),

Sachedina, Abdulaziz, Beda tapi Setara; Pandangan Islam tentang Non-Islam, (terj.) Satrio Wahono, (Jakarta: Serambi, 2004)

Salim, Abdul Muin, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur’’an, (Jakarta: RajaGrafindo Perss, 2007).

Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur'an Fungsi dan Peranan Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung:Mizan: 1996),

_______________, Tafsir al-Mishbah. Jakarta: Lentera, 2002.

Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta: UI Press, 1991)

Soehino, Ilmu Negara, (Yogyakarta: Liberty, 2000)

Surbakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik (Jakarta: Grafindo, 1992)

Uhlin, Anders Oposisi Berserak; Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia, (terj.) Rofik Suhud. Bandung: Mizan, 1998.

Zahra, Abu (ed) dalam, Politik Demi Tuhan (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999) Zainuddin, A. Rahman, Sub Makalah Sejarah Pemikiran Islam, dari buku