JURNAL ILMIAH KEDOKTERAN
Hubungan Gaya Hidup Pada Pasien Hipertensi Dengan
Resiko Terjadinya Stroke
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah arterial yang langsung terus-menerus (Brashers, Valentina, 2008). Tekanan darah melibatkan dua pengukuran, normal: sistole <120 mmHg dan diastole <80 mmHg. Prehipertensi: sistole 120-139 mmHg dan diastole 80-89 mmHg. Hipertensi tahap 1: sistole140-159 mmHg dan diastole 90-99 mmHg. Hipertensi tahap 2: sistole >160 mmHg dan diastole >100 mmHg. (Turner,Rick, 2010).
(2)
yaitu, hipertensi primer dan hipertensi sekunder. Hipertensi primer adalah hipertensi yang belum bertambahnya umur, stres psikologis, dan faaktor keturunan. Sekitar 90% pasien hipertensi masuk dalam kategori ini..Gaya hidup sering merupakan faktor resiko penting bagi timbulnya hipertensi pada seseorang. Gaya hidup modern dengan pola makan dan gaya hidup tertentu, cenderung mengakibatkan terjadinya hipertensi. Beberapa diantaranya adalah konsumsi lemak, konsumsi natrium, merokok, stres emosional, konsumsi alkohol dan obesitas (Anies, 2006).Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang disebabkan oleh beberapa proses patologik yang dapat dikenali, biasanya yang terkait dengan fisiologi ginjal (Graber, Mark,dkk, 2006). Bila faktor penyebab dapat diatasi, tekanan darah dapat kembali normal.
Pada bentuk sekunder dari hipertensi, penyakit parenkim dan penyakit renovaskular adalah faktor penyebab yang paling umum. Kontrasepsi oral telah
(3)
dihubungkan dengan hipertensi ringan yang berhubungan dengan peningkatan substrat rennin dan peningkatan kadar angiotensin II dan aldosteron. Insiden hipertensi meningkat dengan bertambahnya usia. Prevalensi hipertensi ringan sebesar 2% pada usia 25 tahun atau kurang, meningkat menjadi 25% pada usia 50 tahun dan 50% pada usia 70 tahun (Davey, Patrick, 2005). Resiko yang paling banyak terjadi akibat komplikasi dari penyakit hipertensi ialah stroke sehingga peneliti membatasi untuk membahas hanya tentang penyakit stroke.Komplikasi yang sering timbul ialah stroke, penyakit jantung, dan gagal ginjal (Gunawan, Lany, 2007).
Stroke dapat terjadi akibat hemoragi tekanan tinggi di otak atau akibat embolus yang terlepas Jurnal Kesehatan STIKes Santo Borromeus 58
1.2 Rumusa Masalah
(4)
1.2.2 Apa klasifikasi dari hipertensi? 1.2.3 Apa etiologi dari hipertensi?
JURNAL ILMIAH KEDOKTERAN • 163
KADAR ZINC SERUM DAN HITUNG MONOSIT DARAH TEPI PENDERITA KUSTA
MULTIBASILAR LEBIH RENDAH DARIPADA KUSTA PAUSIBASILAR
DI RSUP SANGLAH
Putu Kurniawan Dhana, IGN Darma Putra, Made Wardhana
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum
(5)
ABSTRAK
Zinc (Zn) diketahui memiliki peranan penting dalam sistem imun. Defi siensi zinc dapat menghambat aktivasi dan produksi sitokin Th1 dan menyebabkan disfungsi imunitas seluler. Keadaan ini juga menyebabkan
perubahan limfopoiesis dan hematopoiesis serta apoptosis sel mononuklear darah tepi yang berfungsi
sebagai sel fagosit mononuklear. Penelitian ini bertujuan mengetahui kadar zinc serum dan hitung monosit
darah tepi penderita kusta yang datang ke poliklinik kulit dan kelamin RSUP Sanglah Denpasar. Penelitian
ini menggunakan rancangan penelitian potong lintang. Pengambilan sampel penelitian diambil secara
consecutive sampling dengan jumlah sampel sebesar 75 orang. Rerata kadar zinc serum pada penderita kusta
multibasilar adalah 5,66 (SB11,74) lebih rendah dibandingkan dengan penderita kusta pausibasilar 19,38
(6)
(S|
18,21 dan perbedaan ini secara statistik bermakna dengan P < 0,05. Rerata hitung monosit pada kelompok
kusta multibasilar adalah 7,12 (SB 2,53) lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kusta pausibasilar
7,88 (SB 3,08), tetapi secara statistik tidak bermakna dengan P> 0,05. Analisis regresi logistik menunjukkan pengaruh kadar zinc terhadap kemungkinan terjadinya kusta. Perlu dipertimbangkan koreksi kadar zinc
serum pada penderita kusta melalui pendekatan nutrisi atau pemberian suplemen zinc. [MEDICINA.
2012;43:163-8].
Kata kunci : rerata kadar zinc serum, monosit, kusta ZINC SERUM LEVEL AND PERIPHERAL BLOOD MONOCYTE COUNT OF
MULTIBACILAR LEPROSY PATIENT LOWER THAN PAUCIBACILAR LEPROSY
(7)
IN RSUP SANGLAH
Putu Kurniawan Dhana, IGN Darma Putra, Made Wardhana
Dermatovenerology Department, Medical School, Udayana University/Sanglah Hospital, Denpasar
ABSTRACT
Zinc has been known to have important role in the immune system. Zinc defi ciency can inhibit activation and
production cytokine of Th1 and may cause cellular immunity dysfunction. This conditon also may cause
changes of lymphopoiesis and hematopoiesis also peripheral blood of mononuclear cell as mononuclear fagocyte. The Aim of this study is to know zinc serum status and peripheral blood monocyte count of leprosy patient in Dermato Venerologi policlinic Sanglah hospital Denpasar. This study use cross sectional design.
(8)
Sample of study take by consecutive sampling with sample size contains 75 patient. Mean of zinc serum
status on multibacillary leprosy patient is 5.66 (SB 11.74 ) found lower compare to paucibacillary leprosy patient 19.38 (SB 18.21) and statistically signifi cant with P < 0.05. Mean of peripheral blood monocyte count in multibacillary patient is 7.12 (SB 2.53) lower compare to paucibacillary leprosy patient with 7.88 (SB 3.08), but statistically not signifi cant with P > 0.05. Binary logistic analysis show the infl uence of zinc serum status to probability to have leprosy. This study suggest correction of serum zinc level in leprosy patient through nutritional approach or the granting of a supplement of zinc. [MEDICINA. 2012;43:163-8].
Keywords : mean zinc serum, monocyte, leprosy
ARTIKEL ASLI
(9)
2012
164 • JURNAL ILMIAH KEDOKTERAN PENDAHULUAN
Kusta adalah infeksi granulomatosa kronis yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae (M. leprae) terutama mengenai kulit dan sistem saraf tepi.1 Kusta merupakan penyakit yang dihubungkan dengan stigma sosial yang buruk pada masyarakat. Pengenalan Multidrug theraphy (MDT) oleh World Health Organisation
(10)
(WHO) pada tahun 1982
memberikan hasil pengobatan yang sangat efektif, akan
tetapi penyakit ini masih menjadi masalah kesehatan di dunia, termasuk negara berkembang.2,3
Spektrum klinis kusta tampaknya berhubungan dengan respon imun host. Gejala klinis kusta merupakan refl eksi dari patogenitas
penyakitnya yang tergantung pada keseimbangan antara multiplikasi basil dan
(11)
respon imun seluler host.4 Mycobacterium leprae
bersifat obligat intraseluler, sehingga yang berperan dalam menghambat multiplikasinya adalah sistem imunitas
seluler.5,6 Respon imun host yang meningkatkan respon imun seluler Th1 menginduksi respon protektif melawan
mikobakteria seperti yang
tampak pada kusta pausibasilar, sedangkan respon imun seluler yang rendah dihubungkan
(12)
Th2 yang berhubungan dengan kerentanan terjadinya bentuk kusta multibasilar.7
Berdasarkan beberapa studi yang bersumber dari percobaan binatang dan pengamatan klinis pada manusia, keadaan nutrisi berperan pada perjalanan dan perkembangan penyakit kusta dan diantara elemen nutrisi tersebut, zinc merupakan trace element yang paling penting untuk pertumbuhan organ
(13)
berperan sebagai organ tempat diferensiasi dan maturasi
sel-sel yang terlibat dalam imunitas selular. Hingga tahun 1961 telah dipertimbangkan bahwa defi siensi zinc pada manusia dapat menyebabkan berbagai permasalahan klinis yang signifi kan.8 Keadaan ini juga dapat menyebabkan apoptosis mononuklear darah tepi, termasuk monosit yang berperan sebagai fagosit
mononuklear dan menurunkan produksi sitokin IFN sehingga
(14)
fagositosis yang efektif oleh fagosit mononuklear menjadi terganggu dan menyebabkan terjadinya hambatan regulasi intracellular killing terhadap mikobakteria sehingga
multiplikasi basil meningkat seperti yang tampak pada kusta multibasilar dengan jumlah basil tahan asam yang lebih banyak d" umpai, lesi kulit yang diseminata, pembentukan granuloma yang lebih sedikit yang menggambarkan
(15)
seluler seperti yang d" umpai pada keadaan defi siensi zinc.9 BAHAN DAN METODE Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang dilakukan di poliklinik kulit dan kelamin RSUP Sanglah Denpasar pada bulan
Februari–Maret 2012. Subyek dipilih secara consecutive sampling. Data diperoleh melalui kuesioner. Kriteria inklusi adalah penderita kusta dewasa berusia 15-65 tahun, keadaan umum penderita baik,
(16)
penderita kusta berdasarkan klasifi kasi WHO, bersedia ikut penelitian ini, penderita belum pernah mendapatkan suplemen zinc. Kriteria ekslusi adalah penderita dengan gangguan fungsi hepar dan ginjal,
penderita sering mengkonsumsi alkohol, penderita mengalami diare kronis, penderita wanita yang hamil dan dalam masa laktasi. Besar sampel dihitung berdasarkan asumsi rerata minimal yang dianggap
(17)
interval kepercayaan sebesar 95% dan power penelitian sebesar 80%, maka setelah dihitung diperoleh jumlah minimal adalah 64 orang, pada penelitian ini besar
sampel dikumpulkan sebanyak 75 orang yang terdiri dari
subyek bukan penderita kusta dan subyek penderita kusta berdasarkan klasifi kasi WHO. Pada penelitian ini, didapatkan besar sampel adalah sebesar 75 orang yang terdiri dari 47 orang (62,7%) penderita kusta
(18)
dan 28 orang (37,33%) adalah bukan penderita kusta. Dari 47 penderita kusta, didapatkan distribusi kelompok kusta
berdasarkan klasifi kasi WHO adalah 40 orang (85,11%) termasuk dalam kelompok kusta multibasilar dan 7 orang (14,89%) termasuk dalam kelompok kusta pausibasilar. Bahan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah
serum dan darah penderita kusta yang menjadi sampel penelitian. Pengambilan spesimen
(19)
dilakukan di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah Denpasar. Pemeriksaan sampel dan pengukuran kadar zinc dilakukan di Bagian Biologi Molekular FK Unud Denpasar dan pemeriksaan hitung
monosit darah tepi dilakukan di
JURNAL ILMIAH KEDOKTERAN • 165 Laboratorium Swasta Prodia.
Persiapan sampel,
darah diambil sebanyak 3 cc kemudian dimasukkan ke
dalam tabung serum, kemudian disentrifuge 1000 rpm selama
(20)
10 menit, serum yang ada diambil dan disimpan dalam freezer dengan suhu -800 hingga dilakukan pemeriksaan. Zinc standar diencerkan menjadi 0.5 mM dengan cara : 10 μl zinc standar konsentrasi 100mM + 990 μl di H2O. Sampel serum atau plasma harus dilakukan deproteinasi dengan cara : 50 μl TCA 7% + 50 μl sampel dan kemudian dibaca pada panjang gelombang 560 nm dengan elisa reader. Data dicatat dalam lembar pengumpulan data yang
(21)
telah disusun, dibuat kurva standar dengan menggunakan grafi k regresi linear, pembacaan konsentrasi sampel dihitung melalui standar kurva dengan rumus C = Sa/Sv (nmol/μl atau
Tabel 1. Karakteristik penderita kusta dan bukan penderita kusta
Subyek penelitian Bukan kusta
(n = 28) Kusta (n = 47)
Jenis kelamin Umur
(22)
(tahun)
Indeks bakteri Terapi
Laki - laki Perempuan 15 – 25 26 – 36 37 – 45 46 – 55 56 – 65 0
+ 2 + 3 + 4 + 5
(23)
Belum Sudah
10 (13,33%) 33 (44%) 18 (24%) 14 (18,66%) 2 (2,67%)
21 (28%) 4 (5,33%)
-1 (-1,33%)
(24)
-7 (9,33%) 13 (17,33%) 10 (13,34%) 7 (9,33%) 10 (13,34%) 7 (14,9%) 3 (6,4%) 9 (19,1%) 26 (55,3%) 2 (4,3%) 19 (40,4%) 28 (59,6%)
Tabel 2. Karakteristik kusta pausibasilar dan multibasilar Subyek penelitian
(25)
(n = 7)
Multibasilar (n = 40)
Jenis kelamin U m u r
(tahun) I n d e k s bakteri Terapi Laki – laki Perempuan 15–25
26–36 37–45 46–55
(26)
56-65 0 +2 +3 +4 +5 Belum Sudah 6 (8%) 1 (1,33%) 1 (1,33%) 3 (4%) 2 (2,67%)
(27)
7 (14,9%)
-5 (10,64%) 2 (4,26%) 27 (36%) 13 (17,33%) 6 (8%)
10 (13,33%) 8 (10,67%) 7 (9,33%) 9 (12%)
(28)
-3 (6,4%) 9 (19,1%) 26 (55,3%) 2 (4,3%) 14 (29,79%) 26 (55,32%)
mM) dengan keterangan : Sa = hasil sampel dalam nmol dari perhitungan kurva standar dan Sv = volume sampel yang dimasukkan ke dalam sumur. Untuk perhitungan hitung jenis, monosit darah tepi dilakukan dengan menggunakan metode flowcytometry, metode ini
(29)
digunakan untuk menganalisis partikel–partikel sel darah, hasil pemeriksaan terlihat pada monitor dan langsung dicetak oleh printer. Data diolah dan dianalisis dengan perangkat lunak komputer maupun secara manual dan disajikan dalam bentuk narasi dan tabel. Dilakukan uji t tidak berpasangan dan analisis regresi untuk mengetahui pengaruh zinc terhadap kemungkinan terjadinya kusta.
(30)
Hasil penelitian disajikan pada tabel - tabel berikut ini. Jumlah subyek adalah
sebesar 75 orang yang terdiri dari 47 orang (62,7%) penderita kusta yang berkunjung ke polikulit dan kelamin RSUP Sanglah dan 28 orang (37,3%) adalah bukan penderita kusta. Dari 75 orang tersebut, didapatkan distribusi jenis kelamin terdiri dari 43 orang (57,3%) adalah laki laki dan 32 orang (42,7%) adalah perempuan. Distribusi umur terbanyak adalah pada
(31)
kelompok umur 26–36 tahun. Dari pemeriksaan basil tahan asam (BTA) yang dilakukan didapatkan indeks bakteri terbanyak adalah +4 pada 26 orang penderita kusta.
Dari 47 penderita kusta,
didapatkan distribusi kelompok kusta berdasarkan klasifi kasi WHO adalah 40 orang (85,1%) termasuk dalam kelompok
kusta multibasilar dan 7
MEDICINA • VOLUME 43 NOMOR 3 • SEPTEMBER 2012
(32)
Tabel 3. Analisis bivariat dengan uji t tidak berpasangan rerata
kadar zinc dan hitung monosit darah tepi bukan penderita kusta
dan penderita kusta
Subyek penelitian p (sig) Bukan kusta Kusta
Rerata kadar zinc Rerata hitung
monosit darah tepi 17,52 (SB 14,81)(g/L) 7,58 (SB 1,70)
7,70(SB 13,59) (g/L) 7,23 (SB 2,59)
0,005 0,530
(33)
Tabel 4. Analisis bivariat dengan uji t tidak berpasangan rerata
kadar zinc dan hitung monosit darah kusta pausibasilar dan
multibasilar
Subyek penelitian P (sig) Pausibasilar Multibasilar Rerata kadar zinc
Rerata hitung
monosit darah tepi 19,38 (SB 18.21) (gr/L)
7,89 (SB 3,08) 5,66 (SB 11,75) (gr/L)
(34)
0,012 0,476
Tabel 5. Analisis regresi hubungan kadar zinc serum, hitung
monosit darah tepi dan kusta
Variabel bebas Variable dependent Kusta Hitung monosit
darah tepi Kadar zinc
Hitung monosit darah tepi Koef reg sig
-0, 047 P = 0,009*
-0,067 P = 0,525 Koef reg sig
(35)
0,016 P = 0,392
Keterangan : * signifi kan nilai P < 0,05 orang (14,9%) termasuk dalam
kelompok kusta pausibasilar. Distribusi jenis kelamin
kelompok kusta adalah 33
orang (70,2%) pria dan 14 orang (29,8%) adalah perempuan.
Distribusi umur terbanyak adalah pada kelompok umur 26–36 tahun dan pemeriksaan BTA terbanyak adalah +4 sebanyak 26 orang.
Rerata kadar zinc serum pada kelompok kusta lebih
(36)
rendah dibandingkan dengan kelompok bukan penderita kusta dengan standard deviasi masing – masing pada kelompok kusta adalah 7,70 (SB 13,59) sedangkan pada kelompok bukan penderita kusta adalah 17,52 (SB 14,81). Setelah dilakukan uji hipotesis secara statistik dengan menggunakan uji t independent 2 kelompok diperoleh perbedaan yang bermakna dalam kadar zinc serum antara kelompok kusta dan bukan penderita kusta
(37)
dengan nilai P < 0,05. Rerata kadar zinc
serum pada kelompok kusta multibasilar lebih rendah dibandingkan dengan
kelompok kusta pausibasilar. Setelah dilakukan uji hipotesis secara statistik dengan
menggunakan uji t independent 2 kelompok diperoleh
perbedaan yang bermakna dalam kadar zinc serum antara kelompok kusta multibasilar dan penderita kusta pausibasilar dengan nilai P < 0,05. Rerata
(38)
hitung monosit pada kelompok kusta multibasilar lebih
rendah dibandingkan dengan kelompok kusta pausibasilar. Setelah dilakukan uji hipotesis secara statistik dengan
menggunakan uji t independent 2 kelompok diperoleh hasil perbedaan yang tidak bermakna antara hitung monosit darah tepi antara kelompok kusta multibasilar dan penderita kusta pausibasilar dengan nilai P > 0,05.
(39)
dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel. Dengan menggunakan regresi logistik, tampak bahwa kadar zinc serum berpengaruh
signifi kan terhadap kemungkinan terjadinya kusta dengan nilai P 0,009 < 0,05. Hubungan antara hitung monosit darah tepi terhadap kemungkinan terjadinya kusta dilihat dengan menggunakan uji regresi logistik yang
menunjukkan bahwa hitung monosit darah tepi tidak
(40)
berpengaruh signifi kan terhadap kemungkinan
terjadinya kusta. Hubungan antara kadar zinc serum dengan hitung monosit darah tepi,
dilihat dengan menggunakan uji regresi linear sederhana yang menunjukkan bahwa kadar
zinc serum tidak berpengaruh signifi kan terhadap hitung monosit darah tepi.
DISKUSI
Secara statistik, penyakit
kusta dapat menyerang semua orang dan laki-laki lebih banyak
(41)
terkena dibandingkan dengan wanita, dengan perbandingan 2:1. kasus kusta tipe BB dan
JURNAL ILMIAH KEDOKTERAN • 167 LL (multibasilar) menjadi
lebih sering d" umpai dalam 10 tahun terakhir dan kasusnya lebih sering d" umpai pada pria dibandingkan wanita.3 Pada penelitian ini, hasil yang diperoleh mendukung hasil studi epidemiologi tersebut, tampak distribusi kasus kusta tipe multibasilar lebih banyak ditemukan sejumlah 40 kasus
(42)
(53,33%) dibandingkan dengan kusta pausibasilar sejumlah 7 kasus (9,33%). Kasusnya lebih banyak ditemukan pada pria sebanyak 33 orang (44%) dibandingkan wanita sebanyak 19 orang (18,66%). Berdasarkan penelitian epidemiologi
ternyata faktor nutrisi dan hygiene berperan dalam
perjalanan serta perkembangan penyakit kusta. Pengaruh nutrisi tersebut pada imunitas seluler terutama berhubungan dengan efeknya terhadap timus dan
(43)
organ limfoid. Diantara elemen nutrisi, zinc adalah elemen yang berperan penting dalam pertumbuhan organ timus dan maturasi serta perkembangan imunitas seluler.10 Rendahnya kadar zinc pada penderita
kusta dapat menyebabkan multiplikasi bakteri M.leprae karena menurunnya imunitas seluler yang berperan dalam mengeliminasi mikobakteria.8 Gangguan metabolisme zinc tersebut dapat menyebabkan penyakit dan perburukan
(44)
perkembangan penyakit. Pada penyakit kusta,
terdapat penurunan secara gradual konsentrasi serum zinc sesuai dengan derajat beratnya spektrum klinis kusta. Pasien kusta yang
memiliki spektrum borderline tuberkuloid, borderline
lepromatosa dan lepromatous leprosy memiliki nilai serum zinc yang secara signifi kan lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol yang sehat.11 Imunitas seluler
(45)
yang berfungsi meningkatkan aksi mikrobicidal dari fagosit untuk mengeliminasi mikroba ditemukan menurun pada penyakit kusta dan dapat mempengaruhi bersihan mikobakterial dan aktivitas mikrobicidal. Pada kusta tipe LL, tampak penurunan kadar zinc dibandingkan dengan kusta tipe TT dan konsentrasi terendah ditemukan pada
pasien dengan reaksi ENL, hal ini kemungkinan disebabkan oleh konsumsi zinc tubuh
(46)
oleh kuman kusta. Defi siensi zinc dapat menjadi salah satu faktor yang terlibat dalam supresi imunitas seluler pada kusta multibasilar.12,13 Hasil penelitian ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Haase bahwa gangguan metabolisme zinc yang ditandai dengan rendahnya kadar serum zinc tersebut dapat menyebabkan penyakit dan perburukan perkembangan penyakit dan pada penyakit kusta, terdapat penurunan secara
(47)
gradual konsentrasi serum zinc sesuai dengan derajat beratnya spektrum klinis kusta. Defi siensi zinc juga mempengaruhi imunitas innate dan adaptif. Secara in vivo, aktivitas sel NK, fagositosis makrofag dan netrofi l serta jumlah granulosit menurun
pada keadaan defi siensi zinc.14 Keadaan defi siensi zinc dapat menekan sumsum tulang
serta prekursor limfosit yang imatur yang menunjukkan bahwa rendahnya kadar zinc
(48)
tubuh dapat merubah proses hematopoiesis.15 Pada sumsum tulang, IL 1, IL3, dan IL 6
menginduksi heteromitosis di sumsum tulang. Pada keadaan defi siensi zinc, selain didapatkan penurunan produksi IFN, sekresi IL 6 juga dilaporkan menurun, sehingga dapat menggangu induksi heteromitosis di sumsum tulang.16 Pada penelitian ini, hitung monosit darah tepi tidak berpengaruh signifi kan terhadap kemungkinan
(49)
terjadinya kusta dan kadar
serum zinc tidak mempengaruhi jumlah monosit darah tepi. Hal ini dapat disebabkan karena pada keadaan defi siensi zinc, deplesi bermakna terjadi pada sel eythoid dan lymphoid yang menyebabkan gangguan proses erythopoiesis dan limfoid.
Sebaliknya, myelopoiesis tidak banyak dipengaruhi, hal ini ditunjukkan dengan adanya ekspansi populasi myeloid di sumsum tulang. Juga diamati adanya peningkatan monosit
(50)
yang heterogen diantara populasi myeloid. Hal yang serupa dikatakan terjadi
peningkatan proporsi jumlah absolut sel granulositik dan sel monositik di sumsum tulang baik pada keadaan defi siensi zinc marginal dan defi siensi zinc berat.15 Pada penelitian ini, hitung monosit darah tepi sebagai fagosit mononuklear, sebagai imunitas seluler
non spesifi k, tampaknya tidak berpengaruh terhadap kemungkinan terjadinya kusta,
(51)
karena juga terdapat imunitas seluler lain yang berperan dalam patogenesis penyakit kusta seperti sekresi sitokin subset Th1 seperti IFN, IL 2 yang juga menentukan dan mempengaruhi perjalanan penyakit kusta.17
SIMPULAN Kadar zinc serum
penderita kusta lebih rendah
MEDICINA • VOLUME 43 NOMOR 3 • SEPTEMBER 2012
168 • JURNAL ILMIAH KEDOKTERAN dibandingkan kadar zinc
(52)
serum bukan penderita kusta dan diantara penderita kusta tersebut, kadar zinc serum penderita kusta multibasilar lebih rendah dibandingkan kadar zinc serum kusta pausibasilar. Diperlukan koreksi kadar zinc serum pada penderita kusta melalui pendekatan nutrisi atau
pemberian suplementasi zinc. DAFTAR PUSTAKA
1. Margoles L, Rio Cd, Paredes CF. Leprosy : a modern assessment of an
(53)
ancient neglected disease. Bol Med Hosp Infant mex. 2011;68(2):110–6.
2. Bakker M, Ha# a M, Kwenang A, Van Benthem H, Van Beers SM, Klatser PM, dkk. Prevention of leprosy Using Rifampicin As Chemoprophylaxis. Am. J. Trop. Med. Hyg. The American Society of Tropical Medicine and
Hygiene. 2005;72(4):443–8. 3. Ho CK, Lo KK.
(54)
and response to treatment in Hongkong. Hongkong Med J. 2006;12(3):174–9. 4. Gupta TSC, Sinha PK, Murthy VS, Kumari
GS. Leprosy in an
HIV – infected person. Indian J sex Transm Dis. 2007;28(2):100-2.
5. Goulart I, Bernardes Souza, Marques CR, Pimenta VL, Goncalves MA, Goulart LR. Risk and Protective Factors for Leprosy
(55)
by Epidemiological
Surveillance of Household Contacts. Clinical and vaccine Immunology. 2008;15(1):101–5. 6. Rea TH, Modlin RL. Leprosy. Dalam : Freedberg IM, Elsen AZ, Wolff K, penyunting. Fitzpatricks Dermatology In General Medicine. Edisi ke-7. New York : McGraw-Hill, 2008; h.1786-96.
7. Margoles L, Rio Cd, Paredes CF. Leprosy: a
(56)
modern assessment of an ancient neglected disease. Bol Med Hosp Infant mex. 2011;68(2):110-6.
8. Prasad AS. Impact of The Discovery of Human Zinc Defi ciency on Health. Journal of the American College of Nutrition. 2009; 28 (3):257-65.
9. Gomes GI, Nahn NP, Santos RK, Da Silva WD, Kipnis
TL. The Functional state of the complement System in Leprosy. AM. J. Trop. Med.
(57)
Hyg. The American Society of Tropical Medicine and Hygiene. 2008;78(4):605-10.
10. Shankar AH, Prasad AS. Zinc and Immune Function : The biological basis of altered resistence to infection. The American Journal of Clinical
Nutrition. 2000;68:447s-63s.
11. Haase H, Overbeck S, Rink L. Zinc Supplementation
(58)
prevention of disease : Current status and future perspective. Experimental gerontology. 2007;43:394-408.
12. Arora B, Dhillon MKS, Rajan SR, Sayal SK, Al Das C. Serum Zinc Levels in Cutaneus Disorders. MJAFI. 2002;58:304-6.
13. Overbeck S, Rink L, Haase H. Modulating the Immune Response by Oral Zinc Supplementation : a Single Approach for Multiple
(59)
Disease. Arch, Immunol. Ther. Exp, Rev. 2008;56:15 -30.
14. Helge K, Rink L. Immunity Enhanced by Trace
Elements : Zinc Altered Immune Function. The journal of Nutrition American Society for
Nutritional Sciences. 2003; 133 :1452s–6s.
15. King LE, Fraker PJ. Zinc Defi ciency in Mice Alters Myelopoiesis and Hematopoiesis. American
(60)
Society for Nutritional Sciences. 2002;3301-8.
16. Wieringa FT, D" khuizen MA, West Ce, Ven
Jongekr" g, Muhilal, JWM van der Meer. Reduced Production of Immunoregulatory
cytokines in vitamin A and Zinc defi cient Indonesian Infants. European Journal of Clinical Nutrition.
2004;58:1498-504.
17. Prasad AS. Zinc : Role in Immunity, oxidative stress
(61)
and Chronic Infl amation. Current Opinion in Clinical Nutrition and Metabolic
(62)
(63)
18
Faktor-faktor Yang Melatarbelakangi Persepsi Penderita Terhadap Stigma
Penyakit Kusta
Soedarjatmi *), Tinuk Istiarti**), Laksmono Widagdo**)
*) Rumah Sakit Umum Daerah Tugurejo Kota Semarang **) Bagian Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku FKM UNDIP Semarang
ABSTRACT
Background: By the year of 2006, there were 4.171 registered leprosy cases in Central Java,
(64)
1.989 of them on going treatment, 163 were children and 241 of people deformed due to
leprosy. Lack of knowledge on leprosy cause negative perception toward this disease, so will
increase stigma in the community. This study aims to describe the patients’ perception to
leprosy disease.
Method: This study was a qualitative case study, involved 8 patients selected from leprosy
cases with the criteria of on going treatment in Tugurejo Hospital Semarang. In-depth interview
was conducted to obtain details answers from respondents.
Result: Respondents perceived that leprosy was an infectious disease and it was possible to
be infected to other people easily, especially to those who careless in performing healthy
(65)
behavior. Most of respondents were lack of knowledge of the disease transmission. They
perceived that leprosy is a dangerous disease and lead to death or deformities. Positive
behaviors were depicted as a good self care, regular treatment, and socialization whereas
negative behaviors were described as in-complying treatment, being isolated and giving up
of hopes. All respondents covering their disease and limit their socialization in order to avoid
stigmatization.
Keyword : Perception, Stigmatization, Leprosy
Faktor-faktor Yang Melatarbelakangi... (Soedarjatmi, Tinuk I, Laksmono W)
Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia Vol. 4 / No. 1 / Januari 2009
(66)
PENDAHULUAN
Penyakit kusta mempunyai pengaruh yang luas pada kehidupan penderita mulai dari
perkawinan, pekerjaan, hubungan antar pribadi, kegiatan bisnis sampai kehadiran mereka pada acara –acara keagamaan serta acara di
lingkungan masyarakat (Leprosy Review, 2005). Penyakit kusta juga menimbulkan masalah
yang sangat kompleks, masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, psikologis, budaya,
keamanan dan ketahanan nasional (Depkes RI, 2005). Kecacatan yang berlanjut dan tidak mendapatkan perhatian serta penanganan yang tidak baik akan menimbulkan ketidak mampuan
(67)
melaksanakan fungsi sosial yang normal serta kehilangan status sosial secara progresif,
terisolasi dari masyarakat, keluarga dan temantemannya ( Munir, 2001). Sedangkan secara
psikologis bercak, benjolan-benjolan pada kulit penderita membentuk paras yang menakutkan. Kecacatannya juga memberikan gambaran yang menakutkan menyebabkan penderita kusta
merasa rendah diri, depresi dan menyendiri
bahkan sering dikucilkan oleh keluarganya. Suatu kenyataan bahwa sebagian besar penderita kusta berasal dari golongan ekonomi lemah keadaan tersebut turut memperburuk keadaan (Depkes RI, 2005).
(68)
penyakit yang ditakuti masyarakat dan keluarga. Saat itu telah terjadi pengasingan secara spontan karena penderita merasa rendah diri dan malu (stigma). Disamping itu masyarakat menjauhi karena merasa jijik dan takut hal ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan atau pengertian juga kepercayaan yang keliru terhadap penyakit kusta. Masyarakat masih banyak beranggapan bahwa kusta disebabkan oleh kutukan, gunaguna, dosa, makanan ataupun keturunan. Diera
modern ini muncul istilah “stigmatisasi” yang lebih mencerminkan “kelas” daripada fisik. Proses
inilah yang pada akhirnya membuat para penderita terkucil dari masyarakat, dianggap menjijikan dan harus dijauhi. Sebenarnya stigma ini timbul karena
(69)
adanya suatu persepsi tentang penyakit kusta yang keliru.
Salah satu misi Depertemen Kesehatan
dalam pemberantasan penyakit kusta adalah menghilangkan stigma sosial (ciri negatip yang menempel pada pribadi seseorang karena
pengaruh lingkungannya) dengan mengubah persepsi masyarakat terhadap penyakit kusta melalui pembelajaran secara intensif tentang penyakit kusta (Depkes RI, 2005). Menurunkan stigma dan mengurangi diskriminasi mendorong perilaku masyarakat dalam menerima penderita kusta. Hal ini sangat penting untuk meningkatkan percaya diri penderita dan keluarga dalam
(70)
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)
Tugurejo Semarang merupakan Rumah Sakit kelas B milik Provinsi Jawa Tengah. Terletak di Semarang bagian barat, sebelum menjadi rumah sakit umum merupakan Rumah Sakit Khusus penderita kusta, sampai saat ini RSUD Tugurejo masih memberikan pelayanan penyakit kusta dan menjadi pusat rujukan serta pendidikan penyakit kusta di Jawa Tengah. Data kunjungan rawat jalan penderita kusta setiap tahun meningkat, tahun 2005 adalah 3.839 pasien, tahun 2006 berjumlah 3.975 dan tahun 2007 sebanyak 4.127
kunjungan (RSUD Tugurejo, 2007). Tahun 2007 poli klinik khusus penderita kusta menemukan 192 kasus penderita baru. Jumlah penderita
(71)
rawat inap kkusus kusta tahun 2005 adalah 190 pasien, tahun 2006 sebanyak145 penderita dan tahun 2007 terdapat 130 penderita yang harus dirawat (RSUD Tugurejo, 2007).
Dari pengamatan awal yang telah
dilakukan peneliti ditemukan beberapa perilaku penderita kusta yang berobat di RSUD Tugurejo berbeda dengan penderita penyakit lainnya,
diantaranya mereka selalu mengambil tempat di belakang atau di sudut ruang saat menunggu giliran diperiksa. Sebagian besar mereka menundukkan kepalanya dan penderita laki-laki menggunakan topi. Jika diajak bicara mereka tidak menatap
20
(72)
baju lengan panjang. Survey awal yang dilakukan peneliti pada bulan Oktober 2007 terhadap 10 orang penderita kusta memperoleh hasil bahwa masih ada persepsi negatif penderita kusta
terhadap penyakit kusta
Atas dasar hal tersebut diatas maka perlu diteliti mengenai faktor-faktor yang
melatarbelakangi persepsi penderita terhadap stigma penyakit kusta. Secara Umum penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan faktor-faktor yang melatar belakangi persepsi penderita kusta terhadap stigma penyakit kusta.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode
(73)
studi kasus (Moleong, 2002). Responden dipilih secara porposif terdiri dari penderita kusta yang berobat ke RSUD Tugurejo sebanyak 8 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam, selanjutnya data di analisis dengan content analysis (diskripsi isi) (Bungin, 2005). HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
1. Karakteristik Responden
Gambaran umum responden menunjukkan bahwa responden terbanyak berumur antara 26
tahun sampai 35 tahun dengan jenis kelamin lakilaki. Pada kelompok umur tersebut merupakan
masa produktip dalam kehidupan responden. Dengan terserangnya penyakit kusta responden
(74)
merasa bahwa aktivitas sehari - harinya sangat terganggu oleh penampilannya dikarenakan adanya perubahan pada fisik dan kepercayaan diri yang menurun.
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang mendasar untuk melaksanakan tindakan
(Fisbein-Ajzen, 1975), dilihat dari segi pendidikan sebagian besar responden
berpendidikan Sekolah Menengah Atas, hanya ada satu responden yang tidak bersekolah. Sebagian besar responden tidak bekerja,
selain sulit dalam mencari pekerjaan responden merasa takut apabila pimpinan dan temantemannya mengetahui bahwa responden
(75)
menyadari kelelahan akan mengakibatkan
kekambuhan penyakitnya, dengan tidak bekerja responden menyatakan bahwa tidak mempunyai penghasilan.
Penyakit kusta mempunyai pengaruh yang luas pada kehidupan penderita, mulai dari perkawinan, pekerjaan, hubungan pribadi, kegiatan bisnis sampai kehadiran mereka pada acara-acara di lingkungan masyarakat (Leprosy Review, 2005). Sebagian besar responden telah menderita penyakit kusta antara 1 tahun sampai dengan 5 tahun, dalam kurun waktu sekian lama responden harus selalu berobat dan minum obat seraca rutin, apabila sampai terlambat dalam berobat responden menyatakan penyakitnya
(76)
akan muncul kembali.
2. Faktor-faktor yang melatar belakangi persepsi penderita kusta terhadap stigma penyakit kusta
a. Stigma penyakit kusta menurut persepsi responden.
Stigma adalah hal-hal yang membawa aib,
hal yang memalukan, sesuatu dimana seseorang menjadi rendah diri, malu dan takut karena
sesuatu (Salim, 1996). Hasil wawancara mendalam didapatkan hasil , bahwa semua responden menyatakan masyarakat disekitar tidak mengetahui bahwa responden menderita penyakit kusta dan sebagian keluarga responden, merasa sangat takut dan was-was saat
(77)
mengetahui responden menderita kusta. Untuk mengatasi stigma ini, sebagian besar responden melakukannya dengan tetap bekerja, ada juga dengan cara membatasi diri, menutup diri, tidak memperdulikan lingkungannya, walaupun ada juga yang tetap mengikuti kegiatan di
kampungnya seolah-olah tidak sedang sakit. Untuk menghindari efek stigmatisasi
penderita kusta menggunakan beragam cara agar orang lain tidak mempelajari atau mengetahui
Faktor-faktor Yang Melatarbelakangi... (Soedarjatmi, Tinuk I, Laksmono W)
Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia Vol. 4 / No. 1 / Januari 2009
21
(78)
menyembunyikan secara efektif tentang penyakitnya, mencegah pengungkapan diri
terhadap masyarakat, keluarga dan temantemannya (Dayakisni, 2003). Wawancara
mendalam terhadap responden dalam mengatasi stigma ini diperoleh jawaban bahwa, responden selalu menggunakan pakaian tertutup, seperti berkerudung, memakai baju lengan panjang, rok panjang dan bagi penderita laki-laki
menggunakan jaket, memakai sepatu berkaos kaki dan bertopi juga tidak menceritakan kepada siapapun tentang penyakit yang dideritanya. b. Persepsi penderita terhadap kemudahan kemungkinan terkena penyakit.
(79)
bahwa ketika individu mengetahui adanya kerentanan pada dirinya, dia percaya bahwa
penyakit akan berakibat serius pada organ tubuh. Adanya gejala - gejala fisik mungkin
mempengaruhi persepsi keparahan dan motivasi pasien untuk mengikuti instruksi yang diberikan (Ogen, 1996).
Penyakit kusta adalah penyakit menular
menahun dan disebabkan oleh kuman kusta . Penyakit ini dapat ditularkan dari penderita kusta kepada orang lain, secara teoritis penularan ini dapat terjadi dengan cara kontak yang erat dan lama dengan penderita. Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang tidak mudah semua tergantung dari beberapa faktor, antara lain : faktor sumber
(80)
penularan yaitu tipe penyakit kusta , faktor kuman kusta dan faktor daya tahan tubuh (Depkes,
2005).
Sebagian besar responden mempunyai
persepsi bahwa penyakit kusta dapat menimpa semua orang, sebagian responden menganggap bahwa orang yang jorok dan kondisinya menurun yang dapat tertular penyakit kusta. Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta kepada
orang lain. Sebagian besar responden tidak mengetahui cara penularan penyakit kusta dan
ada yang mengatakan penyakit ini menular melalui udara dan satu responden menyatakan bisa
tertular penyakit kusta apabila golongan darahnya sama dengan penderita, jika tidak sama tidak
(81)
akan tertular.
c. Persepsi penderita terhadap kegawatan penyakit.
Pada penelitian ini, didapatkan jawaban
bahwa sebagian besar responden menganggap kusta merupakan penyakit yang berbahaya dan serius alasan responden adalah penyakit kusta mengakibatkan perubahan bentuk fisik dan kecacatan dimana kecacatan ini bisa menetap seumur hidupnya. Sebagian besar responden berpandangan bahwa penyakit kusta bisa menimbulkan kematian hal ini dikemukakan bahwa gejala yang muncul saat terkena penyakit ini sangat berat, dan saat pertama kali berobat tidak langsung diketahui penyakitnya sehingga
(82)
responden merasa pengobatan yang dilakukan kurang tepat, justru penyakitnya menjadi berat dalam arti lain terlambat berobat untuk penyakit kustanya karena salah dalam mendiagnosa
penyakit.
d. Persepsi penderita terhadap manfaat berperilaku positip.
Penyakit kusta dapat diobati dan bukan penyakit turunan / kutukan, menurut WHO menggunakan hemoterapi dengan Multi Drug Treatment (MDT). Tujuan pengobatan ini adalah untuk mematikan kuman kusta. Pada tipe MB lama pengobatan 12 – 18 bulan dan tipe PB lama pengobatan 6 – 9 bulan. Bila penderita kusta tidak minum obat secara teratur, maka kuman kusta
(83)
dapat menjadi aktif kembali, sehingga timbul gejala-gejala baru pada kulit dan saraf yang dapat memperburuk keadaan (Depkes, 2004). Semua responden menyatakan orang yang menderita penyakit kusta harus berobat secara rutin, karena kalau tidak rutin akan kambuh lagi, perasaan tenang, tidak stres, tidak lelah sangat membantu responden mengurangi frekuensi kekambuhan. Kecacatan yang berlanjut dapat
menimbulkan ketidak mampuan melaksanakan fungsi sosial yang normal, serta kehilangan status sosial secara progresif, terisolasi dari
22
masyarakat, keluarga dan teman-temannya (Munir, 2001).
(84)
Sebagian besar dari responden menyatakan, perawatan diri dengan rajin sangat perlu, supaya cacatnya tidak bertambah parah, dengan
mengoles pelembab di tangan dan kakinya akan mengurangi kekeringan pada kulit yang bisa membuat luka / pecah-pecah. Menurut
responden setiap hari penderita kusta harus
memeriksa anggota badannya apakah terjadi luka atau tidak, karena anggota badan penderita
mengalami mati rasa sehingga kalau terjadi luka tidak terasa sakit, menurut responden
mengetahui terjadinya luka secara dini akan
mengurangi terjadinya kecacatan karena luka bisa cepat diobati sehingga tidak bertambah berat/ menjalar
(85)
e. Persepsi penderita terhadap risiko berperilaku negatip
Dari hasil wawancara yang telah dilakukan menunjukkan bahwa secara umum risiko
berperilaku negatip yaitu tentang hal-hal yang tidak boleh di lakukan, responden mengutarakan bahwa jenis-jenis makanan tertentu tidak boleh dimakan seperti daging kambing, durian, nangka, makanan beralkohol dan keadaan stres, capek / kelelahan harus dihindari karena akan
memunculkan gejala-gejala penyakit kusta (reaksi kusta).
Secara psikologis bercak, benjolan-benjolan pada kulit penderita membentuk paras yang menakutkan, kecacatannya juga memberi
(86)
gambaran yang menakutkan, hal ini menyebabkan penderita kusta merasa rendah diri, depresi dan menyendiri (Depkes RI, 2005).Sebagian besar responden menanggapi bahwa penderita kusta yang selalu mengucilkan diri karena malu itu tidak baik, karena penderita kusta harus berobat,
apabila tidak berobat secara rutin maka tidak akan sembuh dan sebagian lagi menyatakan mengucilkan diri adalah tindakan yang paling tepat agar tidak menjadi bahan pembicaraan
tetangga. Responden lain sebenarnya mengetahui bahwa tindakan mengucilkan diri adalah tidak baik, akan tetapi responden tersebut
melakukannya juga karena malu dan down mentalnya. Berkaitan dengan pandangan
(87)
responden tentang penderita yang tidak berobat semua responden berpendapat bahwa tindakan tersebut merupakan kesalahan besar karena penderita kusta jika tidak berobat selain tidak sembuh akan mengalami reaksi dan bisa menjadi cacat dan sebagian responden menyatakan perlu adanya terapi mental oleh psykolog karena selain fisik yang sakit penderita kusta juga menderita sakit secara mentalnya.
f. Faktor Internal yang melatar belakangi persepsi penderita terhadap stigma
penyakit kusta.
Pada umumnya responden tidak
mengetahui bahwa menderita kusta, informasi tentang penyakit kusta didapat dari orang lain
(88)
seperti petugas kesehatan, saudara atau perangkat desa, sebagian besar responden merasa kaget, takut dan tidak percaya saat
pertama kali mengetahui terserang penyakit kusta dan satu responden berusaha bunuh diri saat
mengetahuinya. Sebagian besar responden mengatakan, keluarga sangat kaget saat
mengetahui responden terserang penyakit kusta, sikap keluarga saat itu selalu mendorong untuk berobat walaupun ada perasaan kecewa, waswas dan takut. Satu responden mengatakan
keluarganya biasa saja dengan penyakit
responden dan tidak merasa bahwa responden menderita penyakit kusta, keluarga mengatakan kalau yang berbahaya itu adalah sakit lepra, hal
(89)
ini karena keluarga tidak mengetahui perbedaan antara kusta dan lepra, dan waktu pertama
responden menderita kusta keluarga mengatakan bahwa baru di beri cobaan dari Allah harus
diterima.
g. Faktor ekternal yang melatar belakangi persepsi penderita terhadap stigma
penyakit kusta.
Stigmatisasi diri sendiri penderita kusta
sangat nyata, orang dengan kusta dapat menjadi malu mungkin karena sikapnya juga
Faktor-faktor Yang Melatarbelakangi... (Soedarjatmi, Tinuk I, Laksmono W)
Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia Vol. 4 / No. 1 / Januari 2009
(90)
kecacatannya dan sikap ini dapat mengisolasikan mereka dari masyarakat, dengan demikian
pendapat bahwa kusta itu menjijikan, memalukan harus ditutupi akan menjadi stigma yang nyata pada penderita, penderita akan mengalami
kesulitan untuk berinteraksi, akan mengucilkan diri dan sikap ini akan menjadi permanen (Leprosy Review, 2005). Semua responden
mengatakan, masyarakat disekitar tempat tinggal dan teman-temannya tidak mengetahui bahwa responden menderita kusta, mereka mengira
responden berpenyakit lain seperti penyakit saraf, diabetes, karena alergi obat atau karena salah obat sehingga masyarakat dan teman responden tidak melakukan tindakan apapun terhadap
(91)
responden.
Stigma menunjukkan “tanda” yaitu tanda yang diberikan dalam bentuk cap oleh
masyarakat terhadap seseorang, orang yang terstigmatisasi menjadi berperilaku seolah-olah mereka dalam kenyataan yang memalukan atau namanya tercemar (Dayakisni, 2003). Efek dari stigmatisasi berakibat dapat membuat
masyarakat / orang lain untuk merubah persepsi dan perilaku mereka terhadap individu yang dikenai stigma, dan pada umumnya
menyebabkan orang yang dikenai stigma untuk merubah persepsi tentang dirinya serta
menjadikan mereka mendifinisikan diri sendiri sebagai orang yang menyimpang. Dari hasil
(92)
wawancara yang telah dilakukan menunjukkan bahwa secara umum masyarakat, keluarga dan teman penderita kusta tidak memberikan suatu tindakan yang mengarah ke stigmatisasi terhadap responden.
Penyakit kusta adalah penyakit menular menahun, disebabkan oleh kuman kusta.
Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe MB kepada orang lain dengan cara penularan langsung. Secara teoritis penularan ini dapat terjadi dengan cara kontak langsung yang erat dan lama dengan penderita (Depkes RI, 2005). Dan cross chek yang dilakukan terhadap keluarga, tetangga dan teman penderita yang selanjutnya disebut sebagai Informan, dengan
(93)
menggunakan wawancara mendalam di peroleh hasil sebagian besar Informan mengatakan bahwa penyakit kusta adalah penyakit menular, bisa
menimpa semua orang dan orang yang kondisi kesehatannya menurun, kurang menjaga
kebersihan adalah orang yang bisa tertular penyakit ini, dan tiga dari lima Informan
mengatakan kontak langsung yang lama adalah cara penularan penyakit kusta selain melalui udara. Sebagian besar menganggap penyakit kusta adalah penyakit yang berbahaya karena penyakit kusta menimbulkan gejala yang berat, bisa menular ke orang lain , dapat merubah bentuk fisik dan bisa menimbulkan kecacatan. Semua Informan mengatakan penyakit kusta
(94)
tidak menyebabkan kematian hanya bisa mengakibatkan kecacatan. Suami responden
mengetahui jika istrinya menderita penyakit kusta dari keluarganya yang juga menderita penyakit ini dan Informan lain mengetahui dari petugas RSUD Tugurejo Semarang, seorang Informan tidak mengetahui bahwa temannya dirawat karena menderita penyakit kusta sehingga wawancara terhadap teman responden tidak penulis lanjutkan. Semua Informan setelah mengetahui berpendapat, harus berobat supaya sembuh dan sikapnya saat itu sangat kecewa, kawatir walau tetap membantu dalam berobat. Mengenai pendapat orang-orang dilingkungan penderita, semua Informan mengatakan bahwa
(95)
lingkungan tidak mengetahui kalau menderita kusta sehingga lingkungan tidak melakukan tindakan apapun terhadap penderita.
SIMPULAN
1. Responden (penderita kusta) dalam penelitian ini berjumlah 8 orang dengan rentang usia 14 – 51 tahun, berjenis kelamin laki-laki sebanyak lima orang dan enam orang berasal dari luar Semarang. Dilihat dari
latar belakang tingkat pendidikan responden, mulai dari tidak bersekolah sampai dengan lulus Sekolah Menengah Atas. Lima orang
24
responden tidak bekerja dan enam orang
(96)
sampai 5 tahun lamanya.
2. Penderita kusta berpersepsi, masyarakat disekitar tempat tinggal dan teman-temannya tidak mengetahui bahwa penderita sedang mengalami sakit kusta, penderita
beranggapan bahwa, tetangga dan temantemannya menyangka penderita berpenyakit
lain seperti penyakit diabetes, penyakit syaraf atau penyakit alergi karena salah minum obat, penderita kusta berpersepsi, sikap
membatasi diri dalam pergaulan, menutupi kekurangannya / kecacatannya merupakan tindakan untuk mengurangi / mengatasi cap buruk / stigma.
(97)
penyakit kusta merupakan penyakit menular, dapat menimpa semua orang, terutama orang yang tidak melaksanakan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). b. Penderita kusta berpersepsi bahwa, penyakit kusta merupakan penyakit yang berbahaya dan serius, bisa menimbulkan kematian atau kecacatan seumur
hidupnya.
c. Penderita kusta berpersepsi untuk berperilaku positip ditunjukkan dengan : berobat secara rutin, melakukan
perawatan diri dengan rajin, dan mau berinteraksi dengan lingkungan.
(98)
negatip yaitu : tidak mau berobat karena malu, mengucilkan/mengisolasikan diri, dan putus asa.
KEPUSTAKAAN
Bungin Burhan. 2005. Analisis Data Penelitian Kualitatif; Pemahaman Filosofis dan
Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Dayakisni Tri, Hudaniah. 2003. Psikologi Sosial. Edisi Revisi. UMM-Press. Malang.
Departemen Kesehatan RI. 2004. Pedoman Kusta Nasional untuk pelaksanaan
pemberantasan kusta di daerah endemik Rendah Direktorat Jendral Pemberantasan
(99)
Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. 2005. Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Cetakan XVII.
Fishbein, M, Ajzen. 1975. I Belief, Attitude, Intention and Behavior an Introduction to
Theory and Research. Philippines : Addison Wesley Publishing.
Leprosy Review. 2005. A journal Contributing to better understanding of Leprosy and its control, Volume 76, Number 2, England.
(100)
Research. Volume 76, Number 4.
Moleong, L.J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya. Bandung. Munir Baderal. 2001. Dinamika Kelompok Penerapannya dalam laboratorium Ilmu Perilaku. Universitas Sriwijaya. Palembang. Ogen Jane. 1996. Health Psychology. Open University Press. Buckingham. Philadelphia. RSUD Tugurejo. 2007. Laporan Kunjungan Rawat Jalan Penderita Kusta Rumah Sakit Umum Daerah Tugurejo. Semarang.
RSUD Tugurejo. 2007. Evaluasi Kunjungan Rawat Inap Penderita Kusta Rumah Sakit Umum Daerah Tugurejo. Semarang.
(1)
FINE, P. & WANDORFF, K. (1997) Leprosy by the year 2000-what is being eliminated.
Lepr Rev ,
201-2.
FROTA, C., FREITAS, M. & FOSS, N. (2010) Seropositi
vity to anti phenolic glycolipid-1 in
leprosy cases,contacts and no known contacts of lep rosy in an endemic and a non endemic
area in northeast Brazil. Trans R Soc Trop Med Hyg, 104
,
(2)
LECHAT, M. (2000) The Source of an infection : an u nsolved issue.
Indian J Lepr, 72
,
169-84.
MEIMA, SMITH & OORTMARSSEN, V. The Future Incidens
of leprosy : a scenario analysis. Bull WHO 2004 ;82 (5):373-80 .
AMIRUDDIN, M. D. (2003)
Studi faktor yang berhubungan denga n terjadinya seropositif infeksi kusta
(3)
aerah endemis kusta di Kabupaten Gresik.
Ilmu Kesehatan Masyarakat Pascasarjana. Surabaya, Airlangga.
NURJANTI, L. & AGUSNI, I. (2002) Berbagai kemungkin
an sumber penularan Mycobacterium leprae.
Berkala Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FK-Unair, 14
,
288-98.
SAENONG, R. (2007) Deteksi mycobacterium leprae dar
i mukosa hidung anak sekolah di
(4)
Selatan dengan metode reaksi rantai polimerase.
Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. Makassar, Universitas Hasanuddin. 10
SEHGAL, V. & JOGINDER (1990) Slit skin smear in lep rosy.
International J of Dermatol, 29
, 9-15.
SENGUPTA, U. (1997) Serodiagnostic test for leprosy .
(5)
12 ,
93-96.
WHO (2009) Global leprosy situation. Wkly Epidemiol Rec,
84 ,
333-340.
WU, Q., YIN, Y., ZHANG.L, CHEN, X. & YU, Y. (2002)
A study on a possibility of predicting
early relapse in leprosy using a ND-O-BSA based ELI SA.
Int J Lepr Other Mycobact Dis, 70
(6)
, 1-8.
YAWALKAR, S. (2002)
Leprosy: for medical practitioners and paramedical workers,
NewDelhi,