BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Pernafasan - Perbedaan Inklinasi Insisivus Pada Pasien Maloklusi Klas I Dan Klas II Skeletal Dengan Pola Pernafasan Normal dan Pernafasan Melalui Mulut

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

  2.1 Pengertian Pernafasan

  Pernafasan (respirasi) adalah proses menghirup udara dari luar yang mengandung oksigen serta menghembuskan udara yang mengandung karbon dioksida sebagai sisa dari oksidasi keluar dari tubuh. Proses ini disebut inspirasi dan menghembuskan udara disebut ekspirasi. Inspirasi terjadi ketika tekanan alveoli dibawah tekanan atmosfir.Otot yang paling penting dalam inspirasi adalah diafragma, bentuknya melengkung dan melekat pada tulang rusuk paling bawah dan otot interkosta eksterna.Ketika diafragma berkontraksi, bentuknya menjadi datar dan menekan dibawahnya yaitu pada isi abdomen dan mengangkat tulang rusuk.Keadaan ini menyebabkan pembesaran rongga toraks dan paru-paru.Meningkatnya ukuran dada menurunkan tekanan intrapleura sehingga paru-paru mengembang.Mengembangnya paru-paru berakibat pada penurunan tekanan alveolus sehingga udara bergerak menurut gradien tekanan dari atmosfir kedalam paru-paru. Hal ini berlangsung terus sampai tekanan menjadi sama dengan tekanan atmosfir. Ekspirasi merupakan fase relaksasi atau kembalinya otot diafragma ke posisi semula yang dikuti oleh turunnya tulang rusuk sehingga rongga toraks menjadi kecil. Sebagai akibatnya, tekanan alveolus menjadi lebih besar daripada tekanan atmosfir, sehingga

  5 udara bergerak dari paru-paru ke atmosfir.

  2.2 Anatomi Saluran Pernafasan Atas

  Sistem pernafasan terdiri dari komponen berupa saluran pernafasan yang dimulai dari hidung, faring, laring, trakea, bronkus, bronkiolusdan alveolus.Saluran pernafasan bagian atas dimulai dari hidung sampai laring dan bagian bawah dari

  5,15

  trakea sampai alveolus. (Gambar 1)

  5 Gambar 1. Anatomi saluran pernafasan

  Hidung merupakan saluran pernafasan teratas.Batang hidung adalah dinding depan hidung yang dibentuk oleh ossa nasalis. Pada hidung, terdapat rongga yang disebut rongga hidung (kavum nasi).Rongga hidung atau kavum nasi dibentuk oleh tulang-tulang serta jaringan lunak dibagian anterior.Septum nasi adalah dinding yang membatasi dua rongga hidung, membagi rongga hidung menjadi kanan dan kiri. Lubang masuk rongga hidung di bagian depan disebut nares anterior dan lubang

  5,15,16 belakang berhubungan dengan nasofaring melalui koana.

  Daerah faring dibagi atas tiga bagian yaitu nasofaring yang terletak dibelakang hidung dan posterior terhadap koana, orofaring yang terletak dibelakang mulut dan posterior terhadap isthmus faucium serta laringofaring terletak dibelakang laring dan posterior terhadap aditus laryngis.Nasofaring merupakan lubang sempit yang terdapat dibelakang rongga hidung.Bagian depan berhubungan dengan rongga hidung melalui koana. Nasofaring berhubungan dengan orofaring pada bagian

  5,15,16

  palatum lunak. Orofaring disebut juga sebagai mesofaring dengan batas atasnya palatum lunak, batas bawah dengan tepi atas epigloti, ke depan dengan rongga mulut

  7,15 sedangkan ke belakang dengan vertebra servikalis.

  Laring merupakan penghubung faring dan trakea, khususnya dalam hubungannya dengan fungsi pernafasan.Laring merupakan struktur yang lengkap dari kartilago tiroid, epiglotis, kartilago krikoid dan dua buah kartilago aritenoid. Laring dilapisi oleh selaput lendir, kecuali pita suara dan bagian epiglotis yang dilapisi oleh

  5,15 sel epitelium berlapis.

2.3 Pola Pernafasan

  Pada pernafasan normal udara masuk dan keluar melalui hidung. Pernafasan melalui mulut terjadi jika ada obstruksi pada saluran nasal atau nasofaring yang menghalangi pernafasan melalui hidung sehingga menyebabkan pernafasan melalui

  1,3,5

  mulut secara terus-menerus. Pola pernafasan terdiri dari :

2.3.1 Bernafas Melalui Hidung

  Pernafasan normal adalah masuk dan keluarnya udara melalui hidung.Hidung berfungsi sebagai saluran untuk udara mengalir ke dan dari paru-paru, penyaring kotoran dan melembabkan serta menghangatkan udara yang ditarik ke dalam paru- paru.Rongga hidung akan melebar saat menarik nafas dan posisi bibir dalam keadaan istirahat menutup tanpa tekanan. Pernafasan normal terjadi, jika udara masuk ke tubuh melalui rongga hidung. Udara yang masuk, kemudian ke faring yang berfungsi sebagai saluran bagi sistem pernafasan dan pencernaan, selanjutnya mengalir ke

  1,5

  trakea dan paru-paru. (Gambar 2)

  Gambar 2. Hubungan antara bibir, gigi

  1

  dan lidah pada pernafasan normal

2.3.2 Bernafas Melalui Mulut

  Pernafasan melalui mulut adalah suatu kondisi dimana udara masuk melalui mulut atau kombinasi hidung dan mulut ke dalam paru-paru, yang terjadi karena adanya kesulitan dalam bernafas melalui hidung, sehingga kebutuhan pernafasan tersebut dipenuhi lewat mulut. Pernafasan melalui mulut dapat terjadi karena adanya

  1-3 penyumbatan sebagian atau total pada saluran pernafasan atas.

  Bernafas melalui mulut sering merupakan reaksi terhadap berbagai jenis obstruksi nasal atau nasofaring.Postur bibir yang terbuka pada waktu istirahat atau bibir yang inkompeten sering dihubungkan dengan bernafas melalui mulut.Menurut Faria dkk, prevalensi pernafasan melalui mulut terjadi apabila pernafasan melalui hidung terganggu akibat pembesaran adenoid dan hipertrofi tonsil, rinitisdan deviasi septum nasal.Untuk mencegah iritasi dari adenoid dan tonsil, lidah menempati posisi anterior dan inferior. Posisi ini mempermudah pertukaran udara melalui kavitas oral,

  1-3,6-8,17,18

  sehingga pasien harus bernafas melalui mulut. (Gambar 3)

  A (Pandangan sagital) B (Pandangan koronal) Gambar 3 : A.

  Lidah yang ke anterior mendorong gigi-gigi atas dan bawah ke labial sehingga menimbulkan overjet dan diastema pada gigi-gigi anterior atas dan bawah.

  Mandibula berotasi ke belakang dan ke bawah untuk menyediakan tempat bagi

  17 posisi lidah yang baru. sebagai akibatnya tinggi wajah meningkat.

  B.

  Lidah terletak di bawah dan di mandibula. Aksi buksinator tidak diimbangi oleh

  17 lidah sehingga palatal konstriksi dan mengakibatkan crossbite posterior.

2.4 Pengaruh Bernafas Melalui Mulut Terhadap Dentoalveolar

  Pernafasan adalah proses pengambilan oksigen (O ) untuk sel-sel tubuh dan

  2

  pembuangan karbon dioksida (CO 2 ) keluar tubuh, sebagai hasil sisa metabolisme. Pernafasan melalui mulut terjadi jika pernafasan tidak dapat dilakukan secara normal melalui hidung. Pernafasan melalui mulut berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan dentoalveolar, sebab pola pertumbuhan kompleks dentoalveolar

  1,11,19 dipengaruhi oleh variasi genetika dan lingkungan.

  Pola pernafasan melibatkan postur rahang dan lidah (dan sedikit mempengaruhi kepala). Bernafas melalui mulut dapat mengubah postur kepala,

  3,6

  rahang dan lidah. Keadaan ini dapat mengubah keseimbangan tekanan pada rahang dan gigi dan mempengaruhi pertumbuhan rahang dan posisi gigi. Seseorang agar dapat bernafas melalui mulut, maka orang tersebut perlu menurunkan mandibula dan

  1,3,17

  lidah dan ekstensi kepala. Jika perubahan postur ini dipertahankan, tinggi wajah akan meningkat, mandibula akan berotasi ke bawah dan ke belakang, gigitan anterior terbuka dan overjet meningkat, serta peningkatan tekanan otot buksinator akan menyebabkan lengkung maksila menjadi sempit. Bernafas melalui mulut yang kronis

  1,12,21 secara jelas akan mengubah posisi gigi-geligi dan lengkung gigi.

  Perubahan postur kepala, posisi rahang dan lidah yang turun merupakan adaptasi awal yang terjadi akibat bernafas melalui mulut. Adaptasi kranioservikal menyebabkan postur kepala menjadi lebih tegak untuk memudahkan proses pernafasan. Penelitian yang dilakukan oleh Miller dkk, menemukan bahwa terjadi peningkatan aktivitas otot milohyoid dan genioglossus sehingga menyebabkan rahang bawah turun dan lidah berada pada posisi yang lebih rendah dari normal serta terjadi peningkatan aktivitas otot orbicularis oris yang menyebabkan bibir atas terangkat dan mulut membuka yang lama-kelamaan dapat menyebabkan kelainan kembang

  1 kraniofasial.

  Menurut Sollow dan Hellsing, bernafas melalui mulut dapat menyebabkan tekanan bibir atas terhadap gigi insisivus maksila berkurang dan tekanan bibir bawah terhadap gigi insisivus mandibula bertambah. Saat membuka mulut, posisi bibir atas tidak dalam keadaan menekan gigi-gigi anterior, sedangkan bibir bawah yang berfungsi menahan tepi insisal gigi-gigi anterior maksila terletak lebih ke depan dari normal. Posisi bibir bawah yang terletak lebih ke depan dari normal merupakan faktor pendorong gigi-gigi anterior maksila bergerak ke labial. Moyers menyebutkan tanda-tanda bernafas melalui mulut adalah lengkung rahang atas sempit dan palatum tinggi, protrusi gigi-gigi anterior, gigi-gigi rahang atas dan rahang bawah berjejal,

  1 crossbite dan relasi gigi molar pertama distoklusi atau neutroklusi.

  Menurut Juliano dkk, pernafasan mulut selama fase pertumbuhan sering mengakibatkan perubahan pertumbuhan dan kelainan perkembangan kranial dan maksilomandibula. Pada umumnya, pernafasan mulut dapat menyebabkan maloklusi gigi yang dapat menyebabkan peningkatan tinggi wajah anterior, palatum sempit dan dalam, open bite dan crossbite. Gigi insisivus maksila menunjukkan inklinasi bukal yang lebih besar pada anak yang bernafas melalui mulut dan ukuran linear pada pada inisivus maksila dan mandibula menunjukkan inklinasi lebih ke anterior pada anak

  2 yang bernafas melalui mulut.

  Menurut Peltomaki T, anak yang bernafas melalui mulut akibat hipertropi adenoid sering dihubungkan dengan tipe wajah adenoid. Ciri-ciri wajah adenoid antaranya adalah bibir yang inkompeten, lengkung maksila yang sempit, gigi insisivus mandibula yang retroklinasi, peningkatan tinggi wajah anterior serta

  9 mandibula yang retrognatik.

  Menurut Bresolin dkk, tinggi palatal dan overjet lebih besar pada anak yang bernafas melalui mulut. Pernafasan melalui mulut dapat menyebabkan peningkatan tinggi wajah, mandibula yang retrognatik, palatum yang dalam dan sempit, dan

  

13

  cenderung memiliki posterior crossbites. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitianAscanio dkk, yang juga menemukan tinggi palatal dan overjet yang besar,

  14 serta prevalensi cross-bite yang tinggi pada kelompok bernafas melalui mulut.

2.5 Radiografi Sefalometri

  William Conrad Roentgen adalah seorang penemu sinar-X pada tahun 1895 merupakan revolusi di bidang radiografi, yang sangat berguna untuk ilmu

  22,23

  pengetahuan. Radiografi sefalometri kemudian dikembangkan oleh Hofrath dan Broadbent dan baru digunakan di klinik pada era 1960-an. Keunggulan radiografi sefalometri dijumpai dalam akurasi dan teknik pengambilan pengukuran kraniofasial.

  Penggunaan alat khusus yaitu sefalostat yang dapat meletakkan posisi kepala pasien secara akurat dan stabil dalam pemaparan radiografi. Radiografi sefalometri merupakan pilar dalam penetapan diagnosa yang komprehensif, penyusunan rencana

  24,25 perawatan dan evaluasi hasil perawatan ortodonti.

  Fungsi radiografi sefalometri dalam bidang ilmu ortodonti digunakan untuk

  23,24

  membantu: 1.

  Diagnosa ortodonti dalam pemaparan struktur skeletal, dental dan jaringan lunak.

2. Klasifikasi abnormalitas skeletal dan dental serta tipe wajah.

  3.

  4. Evaluasi hasil sebelum dan sesudah perawatan ortodonti.

  5. Perkiraan arah pertumbuhan.

  6. Sebagai alat bantu dalam riset yang melibatkan regio kranio-dento-fasial Sefalometri dibagi menjadi menurut analisisnya:

  24 1.

  Sefalogram frontal: Gambaran frontal atau anterior-posterior dari tengokarak kepala

  2. Sefalogram lateral: Gambaran lateral dari tengkorak kepala. Dari sefalogram lateral dapat dilakukan analisa dental dan jaringan lunak.

  Gambar 4 : Sefalogram lateral dan frontal Banyak analisis sefalometri telah dikembangkan untuk mengevaluasi oklusi gigi dan proporsi dentofasial agar terlihat lebih estetis.

  26 Dari sefalometri lateral dapat dilakukan analisis dental untuk melihat inklinasi

  gigi anterior. Titik-titik referensi yang dapat digunakan dalam analisis dental :

  23 • Nasion (N) : titik paling cekung pada pertengahan dahi dan hidung.

  • Sella (S) : titik pertengahan sella turcica
  • Subspinal (A) : titik terdalam pada kurvatura premaksila yang terletak antara spina nasalis anterior dan prostion.
  • Supramental (B) :titik paling dalam antara infradental dan pogonion.
Beberapa analisis sefalometri dental digunakan untuk membuat rencana perawatan ortodonti seperti analisis Tweed, Jaraback, Steiner dan McNamara. Dalam

  23,29 penelitian ini, akan digunakan analisis Steiner dan McNamara.

2.6 Analisis Steiner

  Analisis Steiner diperkenalkan pada tahun 1950.Analisis ini dapat digunakan untuk mengetahui hubungan skeletal, dental dan jaringan lunak melalui sefalometri lateral.Analisis ini digunakan untuk membuat rencana perawatan ortodonti. Sudut dan ukuran linear yang digunakan pada analisis Steiner untuk menentukan hubungan

  2,23,25-28

  dental yaitu I.NA, I.NB dan I.I. ( Gambar 5,6,7) 1.

  Posisi Insisivus Maksila (I.NA)

  • Garis ditarik dari nasion (N) ke titik A dan inklinasi aksial gigi insisivus maksila ditentukan melalui garis yang ditarik dari tepi insisal gigi insisivus maksila ke apeks akar gigi insisivus maksila serta ukuran linear gigi insisivus maksila ditentukan melalui garis yang ditarik dari permukaan gigi insisivus paling labial terhadap garis N-A.
  • Gigi insisivus maksila terhadap garis N-A diukur dalam derajat untuk menentukan hubungan angular gigi-gigi insisivus maksila, sedangkan apabila diukur dalam linear (milimeter, mm), memberikan informasi posisi gigi insisivus lebih di depan/belakang dari garis N-A.
  • Nilai rerata normal derajat dan ukuran linear inklinasi gigi insisivus maksila adalah 22° dan 4 mm.

  Gambar 5. Hubungan gigi insisivus maksila

  25

  terhadap garis N-A, 22 ˚ dan 4 mm (normal) 2.

  Posisi Insisivus Mandibula (I.NB)

  • Garis ditarik dari nasion (N) ke titik B dan inklinasi aksial gigi insisivus mandibula ditentukan melalui garis yang ditarik dari tepi insisal gigi insisivus mandibula ke apeks akar gigi insisivus mandibula serta ukuran linear gigi insisivus mandibula ditentukan melalui garis yang ditarik dari permukaan gigi insisivus paling labial terhadap garis N-B.
  • Gigi insisivus mandibula terhadap garis N-B diukur dalam derajat untuk menentukan hubungan angular gigi-gigi insisivus mandibula, sedangkan apabila diukur dalam linear (milimeter, mm), memberikan informasi posisi gigi insisivus lebih di depan/belakang dari garis N-B.
  • Nilai rerata normal derajat dan ukuran linear inklinasi gigi insisivus mandibula adalah 25° dan 4 mm.

  Gambar 6. Hubungan gigi insisivus mandibula

  25

  terhadap garis N-B, 25 ˚ dan 4 mm (normal) 3.

  Sudut interinsisal (I.I)

  • Sudut interinsisal merupakan perpanjangan garis dari tepi insisal dan apeks akar gigi insisivus maksila dan insisivus mandibula.
  • Pengukuran sudut interinsisal adalah untuk mengetahui inklinasi gigi insisivus dan relasi gigi insisivus maksila dan mandibula.
  • Nilai rerata normal I.I adalah 130˚.
  • Sudut ini kecil bila inklinasi gigi insisivus lebih ke labial dari basis gigi- geligi.

  25 Gambar 7. Sudut Interinsisal (I.I)

2.7 Analisis McNamara

  Menurut McNamara, lebar saluran udara pharynx atas adalah panjang garis dari titik paling posterior pada palatum lunak ke dinding terdekat posterior pharynx dimana garis tersebut sejajar garis gonion (Go) dengan supramental (B). Titik posterior palatum lunak didapat dari palatum lunak dibagi dua melintang ditarik

  29 sejajar ke pinggir luar palatum lunak.

  McNamara mengukur lebar saluran udara pharynx atas pada subjek dewasa

  25,29 laki-laki dan perempuan, dapat dilihat pada tabel 1.

  29 Tabel 1. Pengukuran lebar saluran udara pharynx atas

  Saluran Udara Laki-laki Perempuan SD SD Pharynx atas (mm)

  17.4

  4.3

  17.4

  3.4 Apabila lebar saluran udara pharynx atas lebih kecil daripada normal, ditandai sebagai indikator adanya gangguan pernafasan. Martin Oscar dkk, mendapatkan hasil yang tidak jauh berbeda dengan McNamara dimana lebar pharynx atas pada perempuan adalah 17,5 mm dan pada laki-laki adalah 17,3 mm. Saluran udara

  pharynx atas meningkat sesuai pertambahan umur. Pengukuran lebar saluran udara

pharynx atas pada anak dalam fase gigi bercampur dalam batas normal yaitu

29 12 mm.

Dokumen yang terkait

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang - Analisis Pengaruh Iklim Organisasi dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Dosen Dengan Kepuasan Kerja Sebagai Variabel Intervening Pada Politeknik Negeri Medan

0 0 12

B. Data Balita - Hubungan Kinerja Kader Posyandu, Karakteristik dan Partisipasi Ibu dengan Status Gizi Balita di Kecamatan Bandar Kabupaten Bener Meriah

0 0 24

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kinerja Kader Posyandu 2.1.1. Kader Posyandu - Hubungan Kinerja Kader Posyandu, Karakteristik dan Partisipasi Ibu dengan Status Gizi Balita di Kecamatan Bandar Kabupaten Bener Meriah

0 2 30

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Hubungan Kinerja Kader Posyandu, Karakteristik dan Partisipasi Ibu dengan Status Gizi Balita di Kecamatan Bandar Kabupaten Bener Meriah

0 0 12

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Maloklusi - Prevalensi Maloklusi Berdasarkan Relasi Skeletal pada Kasus Pencabutan dan Non-Pencabutan di Klinik PPDGS Ortodonti FKG USU

1 2 21

Perempuan Ukur mesiodistal gigi insisivus mandibula Ukur jarak distal insisivus lateral- mesial molar pertama permanen maksila dan mandibula (Available space) Prediksi jumlah mesiodistal gigi C, P1, P2 dengan analisisTanaka-Johnston (Required space) Nilai

0 0 23

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Salzmann mendefinisikan oklusi dalam ortodonti sebagai perubahan inter - Prediksi Leeway space dengan menggunakan metode Tanaka-Johnston pada murid Sekolah Dasar Suku Batak di Kota Medan

0 0 16

2.1 Bahan Medikamen dalam Perawatan Saluran Akar - Efek Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Afrika (Vernonia amygdalina) sebagai Bahan Alternatif Medikamen Saluran Akar terhadap Porphyromonas gingivalis (In Vitro)

0 0 17

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Efek Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Afrika (Vernonia amygdalina) sebagai Bahan Alternatif Medikamen Saluran Akar terhadap Porphyromonas gingivalis (In Vitro)

0 0 6

Perbedaan Inklinasi Insisivus Pada Pasien Maloklusi Klas I Dan Klas II Skeletal Dengan Pola Pernafasan Normal dan Pernafasan Melalui Mulut

0 0 18