BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 2.1. Kondisi Umum Kota Medan - Ragam Dialek Bahasa Sigulai Masyarakat Simeulue” (Studi Kasus Pada Masyarakat Simeulue Perantau Di Kota Medan)

  BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

2.1. Kondisi Umum Kota Medan

  kedudukan, fungsi dan peranan Kota Medan cukup penting dan strategis secara regional. Bahkan sebagai Ibukota Provinsi Sumatera Utara, Kota Medan sering digunakan sebagai barometer dalam pembangunan dan penyelenggaraan pemerintah daerah.

  Secara geografis, Kota Medan memiliki kedudukan strategis sebab berbatasan langsung dengan Selat Malaka di bagian Utara, sehingga relatif dekat dengan kota- kota/negara yang lebih maju seperti Pulau Penang Malaysia, Singapura dan lain-lain.

  Demikian juga secara demografis Kota Medan diperkirakan memiliki pangsa pasar barang yang relatif besar. Hal ini tidak terlepas dari jumlah penduduknya yang relatif besar dimana tahun 2007 (http//id.wikipedia.org/wiki/Medan diakses pada 23/Januari/2013) diperkirakan telah mencapai 2.083.156 jiwa. Demikian juga secara ekonomis dengan struktur ekonomi yang didominasi sektor tertier dan sekunder, Kota Medan sangat potensial berkembang menjadi pusat perdagangan dan keuangan regional dan nasional.

  Secara administratif wilayah Kota Medan hampir secara keseluruhan berbatasan dengan daerah Kabupaten Deli Serdang, yaitu sebelah barat, selatan dan timur.

  Sepanjang wilayah utara berbatasan langsung dengan Selat Malaka, yang diketahui merupakan salah satu jalur lalu lintas terpadat di dunia. Salah satu tempat persebaran masyarakat Simeulue, didorong adanya penghasilan dan peluang untuk meningkatkan ekonomi masyarakat Simeulue dibanding di tempat-tempat lain, Kabupaten Deli Serdang yang merupakan salah satu daerah kaya dengan Sumber Daya alam (SDA), khususnya di bidang perkebunan dan kehutanan. Karenanya secara geografis Kota Labuhan Batu, Simalungun, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Karo, Binjai dan lain-lain. Kondisi ini menjadikan Kota Medan secara ekonomi mampu mengembangkan berbagai kerjasama dan kemitraan yang sejajar, saling menguntungkan, saling memperkuat dengan daerah-daerah sekitarnya.

2.2. Sejarah Kota Medan

  Kehadiran Kota Medan sebagai suatu bentuk kota memiliki proses perjalanan yang panjang dan kompleks, hal ini dibuktikan dengan berkembangnya daerah yang dinamakan sebagai “Medan” ini menuju pada bentuk kota metropolitan. Hari lahir kota

1 Medan adalah 1 Juli 1590 , sampai saat ini usia Kota Medan telah mencapai 424 Tahun.

  Keberadaan Kota Medan saat ini tidak lepas dari historis yang panjang, dimulai dari dibangunnya Kampung Medan Puteri tahun 1590 oleh Guru Patimpus, kota Medan berkembang semenjak Guru Patimpus membangun kampung tersebut, Guru Patimpus

  1 Perbedaan pendapat mengenai hari lahir Kota Medan tidak dibahas dalam konteks ini, penulis mengutip pernyataan mengenai hari lahir Kota Medan berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh pihak berwenang, dalam hal ini Pemerintahan Kota Medan sebagaimana yang tercantum dalam buku “Medan Dalam Angka” maupun situs elektronik Pemerintahan Kota Medan. adalah seorang putra Karo bermarga Sembiring Pelawi dan beristrikan seorang puteri Datuk Pulo Brayan.

  Dalam bahasa Karo kata Guru berarti “Tabib“ atau “Orang Pintar“, kemudian kata “Pa“ merupakan sebutan untuk seorang Bapak berdasarkan sifat atau keadaan seseorang, sedangkan kata “Timpus” berarti bundelan., bungkus atau balut. Dengan kebiasaan membungkus sesuatu dalam kain yang diselempangkan di badan untuk membawa barang bawaannya (http//id.wikipedia.org/wiki/Medan diakses pada 23/Januari/2013).

  Kota Medan berubah namanya menjadi Kesultanan Deli pada tahun 1669 yang diproklamirkan oleh Tuanku Perungit yang memisahkan diri dari Kesultanan Aceh.

  Perkembangan Kota Medan selanjutnya ditandai dengan perpindahan Ibukota Residen Sumatera Timur dari Bengkalis menuju Medan tahun 1887, sebelum akhirnya status diubah menjadi Gubernemen yang dipimpin oleh seorang Gubernur pada tahun 1915.

  Secara historis, perkembangan Kota Medan sejak awal memposisiskannya menjadi jalur lalu lintas perdagangan. Posisinya yang terletak di dekat pertemuan Sungai Deli dan Batubara, serta adanya kebijakan Sultan Deli yang mengembangkan perkebunan tembakau dalam awal perkembangannya, yang telah mendorong berkembangnya Kota Medan sebagai pusat perdagangan sejak masa lalu.

  Keberadaan Kota Medan tidak lepas dari peran para pendatang asing yang datang ke Medan sebagai pedagang ataupun lainnya, peranan Nienhuys sebagai pemilik modal perkebunan tembakau yang berkawasan di daerah Marylan telah menjadi cikal- bakal pertumbuhan Kota Medan. Nienhuys pada proses perkembangan perkebunan tembakau telah memindahkan pusat peragangan tembakau miliknya ke Medan Putri, yang pada saat sekarang ini dikenal sebagai Kawasan Gaharu.

  Proses perpindahan ini telah dapat menciptakan perkembangan perkembangan Kota Medan seperti saat sekarang ini, sedangkan dijadikannya Medan menjadi ibu kota dari Deli juga telah mendorong Kota Medan berkembang menjadi pusat pemerintahan.

  Utara.

  Gambaran Kota Medan merupakan sekilas penjelasan mengenai keberadaan Kota Medan sebagai kawasan yang menjadi fokus lokasi penelitian ini, sebagai pusat pemerintahan kota Medan yang memiliki 21 daerah kecamatan dan 151 daerah kelurahan (http://id.wikipedia.org/wiki/Medan diakses pada 25/Januari/2013). Dari 21 kecamatan tersebut, hanya beberapa kecamatan saja yang diambil sebagai lokasi penelitian, karena dianggap lokasi tersebut mewakili keberadaan masyarakat Simeulue di Kota Medan.

2.2.1. Medan Sebagai Kota Multikultural

  Sebagai sebuah kota, Medan telah memiliki segalanya untuk disebut sebagai kota metropolitan. Lokasi daerah yang strategis, sehingga menjadi daya tarik penduduk di luar Kota Medan untuk mencari peruntungan, mencari pekerjaan atau sekedar memberikan decak kagum akan akan kemegahan kota ini.

  Kota Medan juga sudah menjadi miniatur Negara Indonesia yang kaya akan keragaman sukunya. Salah satu yang membuat Kota Medan tatap bertahan dengan multikulturalisme-nya adalah karena tidak ada satu suku yang lebih mendominasi suku-suku lainnya di banyak bidang. Misalnya : suku Jawa dari segi kuantitas jauh lebih banyak dibandingkan dengan etnis Tionghoa, namun etnis Tionghoa lebih mendominasi suku-suku lainnya di Kota Medan dalam bidang ekonomi. panggung bagi setiap suku bangsa yang ada di dalamnya untuk mempertunjukan ekspresi budayanya. Di Kota Medan tidak ada satu pun suku bangsa yang merasa ketakutan untuk menjalankan kegiatan agama, berbahasa ataupun melakukan kegiatan yang bernuansa etnis.

  Kemegahan ini pernah diungkapkan oleh Geertz (2000) yakni, melihat kota-kota yang menyimpan rentetan sejarah yang belum terungkap, seperti melihat sebuah sekelumit tabir yang meminta segera harus dituntaskan tentang jati diri, tentang sejarah yang mengaitkannya dengan realitas kini dan masa lampau. Medan memiliki kemegahan itu dengan rentetan sejarah yang menaunginya dan penduduk yang menjadi saksi perkembangan kota ini.

  Penduduk Kota Medan memiliki ciri majemuk yaitu yang meliputi unsur agama, suku etnis, budaya dan keragaman (plural) adat istiadat. Hal ini memunculkan karakter sebagian besar penduduk Kota Medan bersifat terbuka.

  Secara demografi, Kota Medan pada saat ini juga sedang mengalami masa transisi demografi. Kondisi tersebut menunjukkan proses pergeseran dari suatu keadaan di mana tingkat kelahiran dan kematian tinggi menuju keadaan tingkat kelahiran dan kematian semakin menurun.

  Berbagai faktor yang mempengaruhi proses penurunan tingkat kelahiran adalah perubahan pola fikir masyarakat dan perubahan sosal ekonominya, di sisi lain adanya faktor perbaikan gizi, kesehatan yang memadai juga mempengaruhi tingkat kematian. Dalam kependudukan dikenal istilah transisi penduduk, istilah ini mengacu pada suatu proses pergeseran dari suatu keadaan tingkat kelahiran

  Penurunan pada tingkat kelahiran ini disebabkan oleh banyak faktor, antara lain perubahan pola berfikir masyarakat akibat pendidikan yang diperolehnya, dan juga disebabkan oleh perubahan pada aspek sosial ekonomi. Penurunan tingkat kematian disebabkan oleh membaiknya gizi masyarakat akibat dari pertumbuhan pendapatan masyarakat.

  Pada tahap ini pertumbuhan penduduk mulai menurun. Pada akhir proses transisi ini, baik tingkat kelahiran maupun kematian sudah tidak banyak berubah lagi, akibatnya jumlah penduduk juga cenderung untuk tidak banyak berubah, kecuali disebabkan faktor migrasi atau urbanisasi.

  Komponen kependudukan lainnya umumnya menggambarkan berbagai dinamika sosial yang terjadi di masyarakat, baik secara sosial maupun kultural.

  Menurunnya tingkat kelahiran (fertilitas) dan tingkat kematian (mortalitas), meningkatnya arus perpindahan antar daerah (migrasi) dan proses urbanisasi, termasuk arus ulang alik (commuters), mempengaruhi kebijakan kependudukan yang diterapkan.

  Pada akhir proses transisi ini, baik tingkat kelahiran maupun kematian sudah tidak banyak berubah lagi, akibatnya jumlah penduduk juga cenderung untuk tidak banyak berubah, kecuali disebabkan faktor migrasi atau urbanisasi.

  Etnis Simeulue merupakan etnis yang berasal dari kepulauan Simeulue yang tercatat secara adminisitratif berada di bawah naungan pemerintah daerah Naggroe Aceh Darussalam. Keberadaan etnis Simeulue menambah keberagaman etnis di daerah Aceh secara khusus dan keberagaman etnis di Indonesia secara umum.

  Persebaran etnis Simeulue tidak hanya sebatas pada wilayah Aceh melainkan menyebar secara luas pada wilayah lainnya, seperti Kota Medan. Keberadaan etnis Simeulue di Kota Medan secara umum didominasi oleh para generasi muda yang menuntut ilmu di Kota Medan, baik pada tingkatan sekolah lanjutan maupun perguruan tinggi. Sejarah etnis Simeulue di Kota medan ini bermula adanya suatu kesadaran untuk membenahi perekonomian masyarakat yang keinginananya untuk merubah ekonomi dalam kehidupannya. Hal ini Kota Medan yang menjadi tujuan sebagian besar masyarakat Simeulue untuk mencari nafkah untuk keluarganya. Etnis Simeulue ini bukan hanya mencari nafkah untuk keluarganya namun, sebagian masyarakat Simeulue menikah di Kota Medan sehingga mereka menetap dan mempunyai rumah sendiri di Kota Medan.

  2.3.1. Daerah asal Etnik Simeulue yang bermukim di Kota Medan merupakan perpaduan individu dengan latar belakang daerah yang sama yaitu Pulau Simeulue dan terbagi atas daerah asal berupa wilayah ataupun kecamatan di mana individu tersebut berasal. tinggal atau merantau di Kota Medan terbagi atas :

  1. Wilayah Kecamatan Simeulue Barat,

  2. Wilayah Kecamatan Salang,

  3. Wilayah Kecamatan Alafan, dan 4. Wilayah Kecamatan Teluk Dalam.

  Keempat wilayah tersebut mewakili empat varian bahasa Sigulai yang menjadi perhatian dalam penelitian ini, yaitu dialek bahasa Sigulai oleh masyarakat Simeulue di perantauan Kota Medan.

  Keberadaan masyarakat Simeulue di Kota Medan, dalam hal ini yang diwakili oleh empat kecamatan dengan empat varian bahasa Sigulai secara umum menetap pada dua wilayah, yaitu wilayah Medan Timur (Jalan Gaharu) dan wilayah Medan Amplas (Jalan Garu II). Masayarakat Simeulue tidak hanya di wilayah Medan Timur dan wilayah Medan Amplas , namun sebagian kecil masyarakat Simeulue berada di semua wilayah Kota Medan .

  Gambar 2.1

  Peta Persebaran Etnik Simeulue di Kota Medan Sumber : Diolah dari Hasil Penelitian

2.3.2 Latar Belakang Masyarakat Simeulue di Perantauan

  Masyarakat Simeulue yang menetap di Kota Medan didominasi oleh mahasiswa yang menuntut ilmu di beberapa perguruan tinggi negeri maupun swasta, masyarakat Simeulue yang sudah berumah tangga, dan yang sudah bekerja yang terdapat di Kota Medan.

  Medan adalah salah satu pusat kota yang memiliki akses informasi dan teknologi serta pendidikan yang baik sehingga mendukung usaha pencapaian terhadap pendidikan yang layak serta baik kepada individu masyarakat Simeulue yang melanjutkan studi pada tingkat perguruan tinggi.

  Selain didominasi oleh mahasiswa yang menuntut ilmu di berbagai perguruan tinggi di Kota Medan, masyarakat Simeulue lainnya yang menetap di Kota Medan memiliki latar belakang sebagai pengusaha, pekerja sektor swasta, guru, dan lain sebagainya.

  Masyarakat Simeulue yang berada di Kota Medan juga terkadang tinggal di satu tempat. Misalnya : mahasiswa USU yang berasal dari Simeulue yang berkumpul di satu lingkungan kos-kosan di daerah Kampung Susuk, Kelurahan Padang Bulan, Kecamatan Medan Baru, Kota Medan. Mereka berkumpul karena adanya kesadaran akan satu daerah dan senasib di daerah perantauan.

  Jika dilihat dari perkembangannya, jumlah masyarakat Simeulue yang menetap di Kota Medan dari tahun ke tahun semakin bertambah. Baik dari segi pelajar atau pun bekerja yang mencari peruntungan di Kota Medan. Hal itu dikarenakan tingkat persaudaraan yang erat antar sesama masyarakat Simeulue. Masyarakat Simeulue sendiri selalu menggunakan bahasa daerahnya untuk berkomunikasi kepada sesama masyarakat Simeulue yang ada di Kota Medan.

2.4. Kelompok Masyarakat Simeulue di Kota Medan

  lingkup persebaran etnik dan komposisi masyarakat Kota Medan secara umum, hal ini mendukung anggapan dari beragam pihak yang mengatakan bahwasanya Kota Medan merupakan kota multi etnis.

  Menurut Kamanto Sunarto (2004: 125) kelompok sosial merupakan suatu gejala yang penting dalam kehidupan manusia, karena sebagaian besar kegiatan manusia berlangsung di dalamnya.

  Untuk menyatakan keberadaan masyarakat Simeulue di Kota Medan maka diperlukan adanya lembaga atau institusi yang dapat mewadahi keberadaan masyarakat Simuelue di Kota Medan, hingga saat ini terdapat dua kelompok besar yang mewadahi kegiatan masyarakat Simeulue diperantauan Kota Medan, yaitu :

  1. IPPELMAS (Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Aceh Simeulue), merupakan lembaga yang menaungi pelajar dan mahasiswa asal Simeulue yang menetap di Kota Medan, dan

  2. IKASSBARFAN (Ikatan Salang, Simeulue Barat, Alafan), merupakan lembaga yang menaungi keberadaan masyarakat Simeulue di Kota Medan berdasarkan asal wilayah di Pulau Simeulue, mencakup : wilayah Salang, Simeulue Barat dan Alafan. Pada praktiknya lembaga ini tidak menutup keanggotaan pada wilayah yang telah disebutkan (Salang, Simeulue Barat dan Alafan) melainkan juga membuka peluang kepada masyarakat Simeulue lainnya yang berada di Kota Medan namun memiliki asal daerah atau wilayah di luar wilayah Salang, Simeulue Barat dan Alafan.

  Melihat perkembangan kelompok sosial ini maka kita dapat mengidentifikasikan wacana pembentukan kelompok ini dari kriteria milik kelompok milik Bierstedt seorang yaitu ada tidaknya (a) organisasi, (b) hubungan sosial di antara anggota kelompok, dan (c) kesadaran jenis. Berdasarkan ketiga kriteria tersebut Bierstedt kemudian membedakan empat jenis kelompok: kelompok statistik (statistical group), kelompok kemasyarakatan (societal group), kelompok kemasayarakatan (societal group), kelompok sosial (social group), dan kelompok asosiasi (associational group).

  Kelompok sosial berupa ikatan mahasiswa kedaerahan yang berasal dari daerah Simeulue juga merupakan kelompok sosial yang memenuhi ketiga aspek yang dikatakan oleh Bierstedt tadi. Mahasiswa Simeulue berkumpul menjadi suatu kelompok sosial karena adanya organisasi antar sesama, terdapat hubungan sosial di antara masing-masing anggotanya dalam hal asal kampung halaman, dan kesadaran jenis.