BAB II LANDASAN TEORI A. Self Regulated Learning 1. Definisi Self Regulated Learning - Gambaran Strategi Self Regulated Learning Siswa Sekolah Menengah Pertama di Masyarakat Pesisir Percut Sei Tuan

BAB II LANDASAN TEORI A. Self Regulated Learning

1. Definisi Self Regulated Learning

  Zimmerman (Woolfolk, 2004) mengatakan bahwa self-regulation merupakan sebuah proses dimana seseorang peserta didik mengaktifkan dan menopang kognisi, perilaku, dan perasaannya yang secara sistematis berorientasi pada pencapaian suatu tujuan. Ketika tujuan tersebut meliputi pengetahuan maka yang dibicarakan adalah self-regulated learning.

  Self-regulated learning merupakan suatu proses pengaturan diri dan

  strategi yang melibatkanmetakognisi, motivasional, dan behavioral dalam mengoptimalkan proses pembelajaran (Zimmerman, 1990). Secara metakognisi, siswa membuatperencanaan, mengatur, mengorganisir, mengontrol, dan mengevaluasi tujuan.Siswa bertanggung jawab dalam keberhasilan dan kegagalan, memilikiketertarikan intrinsik dalam menghadapi tugas yang mengacu kepadamotivasional. Serta secara behavioral, siswa mencari bantuan dan masukan, menciptakan lingkungan belajar yang optimal, dan memberikan instruksi sertapenguatan terhadap dirinya (Aronson, 2002).

  Selain itu, self-regulated learning dapat berlangsung apabila peserta didik secara sistematis mengarahkan perilakunya dan kognisinya dengan cara memberi menginterpretasikan pengetahuan, mengulang-ulang informasi untuk mengingatnya serta mengembangkan dan memelihara keyakinannya positif tentang kemampuan belajar dan mampu mengantisipasi hasil belajarnya (Zimmerman dalam Schunk & Zimmerman, 1989).

  Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa self-regulated learning adalah proses bagaimana seorang peserta didik mengatur pembelajarannya sendiri dengan mengaktifkan kognitif, afektif dan perilakunya sehingga tercapai tujuan belajar.

2. Perkembangan Self-Regulated Learning

  Schunk dan Zimmerman (dalam Woolfolk, 2004) mengemukakan model perkembangan self-regulated learning. Berkembangnya kompetensi self-regulated

  learning dimulai dari pengaruh sumber sosial yang berkaitan dengan kemampuan

  akademik dan kemudian berkembang secara bertahap dimana awalnya dipengaruhi oleh lingkungan dan akhirnya dipengaruhi oleh diri sendiri.

  a.

  Level pengamatan (observasional) Peserta didik yang baru awalnya memperoleh hampir seluruh strategi-strategi belajar dari proses pengajaran, modeling, pengerjaan tugas, dan dorongan dari lingkungan sosial. Pada level pengamatan ini, sebagian peserta didik dapat menyerap ciri-ciri utama strategi belajar dengan mengamati model, walaupun hampir seluruh peserta didik membutuhkan latihan untuk menguasai kemampuan self-regulated b.

  Level persamaan (emultive) Pada level ini peserta didik menunjukkan performansi yang hampir sama dengan kondisi umum dari model. Peserta didik tidak secara langsung meniru model, namun berusaha menyamai gaya atau pola-pola umum saja. Oleh karena itu, mungkin saja menyamai tipe pertanyaan model tapi tidak meniru kata-kata yang digunakan oleh model.

  c.

  Level kontrol diri (self controlled) Peserta didik sudah menggunakan dengan sendiri strategi-strategi belajar ketika mengerjakan tugas. Strategi-strategi yang digunakan sudah terinternalisasi, namun masih dipengaruhi oleh gambaran standar performansi yang ditujukan oleh model dan sudah menggunakan proses

  self reward .

  d.

  Level pengaturan diri (self regulated) Merupakan level terakhir dimana peserta didik mulaimenggunakan strategi-strategi yang disesuaikan dengan situasi dan termotivasi oleh tujuan serta self efficacy untuk berprestasi. Peserta didik memilih kapan menggunakan strategi- strategi khusus dan mengadaptasi untuk kondisi yang berbeda dengan sedikit petunjuk dari model atau tidak ada.

3. StrategiSelf-Regulated Learning

   Dalam proses belajar yang baik, maka perlu adanya strategi- strategi untuk Zimmerman (dalam Schunk & Zimmerman, 1998) ditemukan empat belas strategi

  self-regulated learning sebagai berikut: 1.

  Evaluasi terhadap diri (self –evaluating) Merupakan inisiatif peserta didik dalam melakukan evaluasi terhadap kualitas dan kemajuan pekerjaannya.

  2. Mengatur dan mengubah materi pelajaran (organizing and transforming) Peserta didik mengatur materi yang dipelajari dengan tujuan meningkatkan efektivitas proses belajar. Perilaku ini dapat bersifat covert dan overt.

  3. Membuat rencana dan tujuan belajar (goal setting & planning) Strategi ini merupakan pengaturan peserta didik terhadap tugas, waktu dan menyelesaikan kegiatan yang berhubungan dengan tujuan tersebut.

  4. Mencari informasi (seeking information) Peserta didik memiliki inisiatif untuk berusaha mencari informasi di luar sumber-sumber sosial ketika mengerjakan tugas.

  5. Mencatat hal penting (keeping record & monitoring) Peserta didik berusaha mencatat hal-hal penting yang berhubungan dengan topik yang dipelajari.

  6. Mengatur lingkungan belajar (environmental structuring) Peserta didik berusaha mengatur lingkungan belajar dengan cara tertentu sehingga membantu mereka untuk belajar dengan lebih baik.

  7. Konsekuensi setelah mengerjakan tugas (self consequating) Peserta didik mengatur atau membayangkan reward dan punisment bila

  8. Mengulang dan mengingat (rehearsing & memorizing) Peserta didik berusaha mengingat bahan bacaan dengan perilaku overt dan covert .

  9. Meminta bantuan teman sebaya (seek peer assistance) Bila menghadapi masalah yang berhubungan dengan tugas yang sedang dikerjakan, peserta didik meminta bantuan teman sebaya.

  10. Meminta bantuan guru/pengajar (seek teacher assistance) Bertanya kepada guru di dalam atau pun di luar jam belajar dengan tujuan untuk dapat membantu menyelesaikan tugas dengan baik.

  11. Meminta bantuan orang dewasa (seek adult assistance) Meminta bantuan orang dewasa yang berada di dalam dan di luar lingkungan belajar bila ada yang tidak dimengerti yang berhubungan dengan pelajaran.

  12. Mengulang tugas atau test sebelumnya (review test/work) Pertanyaan-pertanyaan ujian terdahulu mengenai topik tertentu dan tugas yang telah dikerjakan dijadikan sumber infoemasi untuk belajar.

  13. Mengulang catatan (review notes) Sebelum mengikuti tujuan, peserta didik meninjau ulang catatan sehingga mengetahui topik apa saja yang akan di uji.

  14. Mengulang buku pelajaran (review texts book) Membaca buku merupakan sumber informasi yang dijadikan pendukung catatan sebagai sarana belajar.

4. Aspek- Aspek dari Self-Regulated Learning

  Menurut Borkowski dan Throp (dalam Boekaerts, 1996) bahwa banyak penelitian sepakat bahwa aspek yang paling mendasar dari self-regulated learning adalah keterfokusan pada tujuan. Sedangkan menurut Zimmerman (1990) self-

  regulated learning terdiri dari 3 aspek umum dalam pembelajaran akademis,

  yaitu: a.

  Kognisi dalam self-regulated learning adalah kemampuan siswamerencanakan, menetapkan tujuan, mengatur, memonitor diri, danmengevaluasi diri pada berbagai sisi selama proses penerimaan. Proses inimemungkinkan mereka untuk menjadi menyadari diri, banyak mengetahuidan menentukan pendekatan dalam belajar.

  b.

  Motivasi dalam self-regulated learning yaitu dimana siswa merasakanself- efficacy yang tinggi, atribusi diri dan berminat pada tugas intrinsik.

  c.

  Perilaku dalam self regulated learning ini merupakan upaya siswa untuk memilih, menstruktur, dan menciptakan lingkungan yang mengoptimalkan belajar. Mereka mencari nasihat, informasi dan tempat di mana mereka . yang paling memungkinkan untuk belajar Sesuai aspek diatas, selanjutnya Wolters (2003) menjelaskan secara rinci penerapan strategi dalam setiap aspek self regulated learning sebagai berikut.

  Pertama, strategi untuk mengontrol atau meregulasi kognisi meliputi macam- macam aktivitas kognitif dan metakognitif yang mengharuskan individu terlibat untuk mengadaptasi dan mengubah kognisinya. Strategi pengulangan (rehearsal), elaborasi (elaboration), dan organisasi (organization) dapat digunakan individu untuk mengontrol kognisi dan proses belajarnya.

  Kedua, strategi untuk meregulasi motivasi melibatkan aktivitas yang penuh tujuan dalam memulai, mengatur, atau menyelesaikan aktivitas tertentu atau sesuai tujuan. Regulasi motivasi adalah semua pemikiran, tindakan atau perilaku dimana siswa berusaha mempengaruhi pilihan, usaha, dan ketekunan tugas akademisnya. Regulasi motivasi meliputi mastery self-talk, extrinsicself-

  

talk ,relative self-talk,relevance enhancement,situasional

interestenhancement,self-consequating , dan penyusunan lingkungan (environment structuring ).

  Ketiga, strategi untuk merugulasi perilaku merupakan usaha individu untuk mengontrol sendri perilaku yang terlihat. Sesuai penjelasan Bandura (Zimmerman, 1989) bahwa perilaku adalah aspek dari pribadi (person), walaupun bukan self”internal yang direpresentasikan oleh kognisi, motivasi dan afeksi.

  Meskipun begitu, individu dapat melakukan observasi, memonitor, dan berusaha mengontrol dan meregulasinya dan seperti pada umumnya aktivitas tersebut dapat dianggap sebagai self-regulatorybagi individu. Regulasi perilaku meliputi regulasi usaha (effort regulation), waktu dan lingkungan (time/study environment), dan pencarian bantuan (help-seeking).

5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Self Regulated Learning

  Cobb (2003) menyatakan bahwa self regulated learning dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya adalah self efficacy, motivasi dan tujuan.

  a.

  Self efficacy

  Self efficacy merupakan penilaian individu terhadap kemampuan atau

  kompetensinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan, atau mengatasi hambatan dalam belajar (Bandura dalam Cobb, 2003). Self efficacy dapat mempengaruhi peserta didik dalam memilih suatu tugas, usaha, ketekunan, dan prestasi. Peserta didik yang memiliki self efficacy yang tinggi akan meningkatkan penggunaan kognitif dan strategi self regulated learning. Peserta didik yang merasa mampu menguasai suatu keahlian atau melaksanakan suatu tugas akan lebih siap untuk berpartisipasi, bekerja keras, lebih ulet dalam menghadapi kesulitan, dan mencapai level yang lebih tinggi.

  b. Motivasi Menurut Cobb (2003), motivasi yang dimiliki peserta didik secara positif berhubungan dengan self regulated learning. Motivasi dibutuhkan peserta didik untuk melaksanakan strategi yang akan mempengaruhi proses belajar. Peserta didik cenderung akan lebih efisien mengatur waktunya dan efektif dalam belajar apabila memiliki motivasi belajar. Motivasi yang berasal dari dalam diri seseorang (intrinsic) cenderung akan lebih memberikan hasil positif dalam proses belajar dan meraih prestasi yang baik. Motivasi ini akan lebih kuat dan lebih

  

(extrinsic) . Walaupun demikian bukan berarti motivasi dari luar diri (extrinsic)

tidak penting. Kedua jenis motivasi ini sangat berperan dalam proses belajar.

  Peserta didik kadang termotivasi belajar oleh keduanya, misalnya mereka mengharapkan pemenuhan kepuasan atas keingintahuannya dengan belajar giat, namun mereka juga mengharapkan ganjaran (reward) dari luar atas prestasi yang mereka capai.

  c. Tujuan (goals) Menurut Cobb (2003) goal merupakan penetapan tujuan apa yang hendak dicapai seseorang. Goal merupakan kriteria yang digunakan peserta didik untuk memonitor kemajuan mereka dalam belajar. Goal memiliki dua fungsi dalam self

  

regulated learning yaitu menuntun peserta didik untuk memonitor dan mengatur

  usahanya dalam arah yang spesifik. Selain itu goal juga merupakan kriteria bagi peserta didik untuk mengevaluasi performansi mereka.

B. Siswa Sekolah Menengah Pertama ( Tahap Operasional Formal)

  Menurut Piaget (dalam Papalia, Olds, &Feldman, 2001) siswa Sekolah Menengah Pertama merupakan remaja yang berada pada tahap operasional formal dalam tahap perkembangan kognitif Piaget. Individu yang berada pada tahap operasional formal ini berusia antara 11 sampai 14 tahun. Pada usia tersebut remaja mengembangkan kapasitas untuk berpikir secara abstrak. Mereka sudah dapat berpikir mengenai apa yang akan terjadi, tidak hanya berfikir apakah ini. Mereka bisa mengembangkan kemungkinan- kemungkinanyang akan terjadi pada kesimpulan. Konsep berpikir seperti ini bisa disebut dengan hypothetical- deductive reasoning.

  Menurut Lefrancois (1993) kemampuan yang juga mulai berkembang pada tahap operasional formal adalah kemampuan metakognitif. Pada tahap perkembangan kognitif sebelumnya yaitu tahap operasional konkrit, kemampuan kognitif sama sekali belum ada. Seiring dengan berkembangnya kemampuan kognitif maka individu juga bisa menganalisa performansi mereka, memprediksi kemungkinan kesuksesan mereka, serta mampu mengubah strategi jika diperlukan, mengevaluasi tugas, dan memonitor kegiatan mereka, khususnya dalam belajar.

C. Masyarakat Pesisir

1. Definisi Masyarakat Pesisir Pengertian masyarakat pesisir tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat.

  Oleh karena itu terlebih dahulu memahami tentang definisi masyarakat. Masyarakat merupakan sekelompok manusia yang telah hidup lama dan bekerja sama, sehingga mereka dapat mengatur diri dan menganggap diri mereka sebagai kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu yang diharuskan dengan jelas. Pada hakikatnya pengertian masyarakat mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: a)Adanya sejumlah manusia yang hidup bersama. b) Bercampur atau bersama- sama untuk waktu yang cukup lama. c) Menyadari bahwa mereka merupakan satu kesatuan. d) Menyadari bahwa mereka bersama-sama diikat oleh perasaan anggota yang satu dengan yang lainnya. e) Menghasilkan suatu kebudayaan tertentu (Audiyahira, 2011).

  Masyarakat pesisir didefinisikan sebagai kelompok orang atau suatu komunitas yang tinggal di daerah pesisir dan sumber kehidupan perekonomiannya bergantung secara langsung pada pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir. Mereka terdiri dari nelayan pemilik, buruh nelayan, pembudidaya ikan, pedagang ikan, pengolah ikan. Dalam bidang non-perikanan, masyarakat pesisir bisa terdiri dari penjual jasa transportasi dan lain-lain (Nikijuluw, 2001).

  Masyarakat pesisir adalah masyarakat yang memiliki tempramental dan karakter watak yang keras dan tidak mudah di atur. Realitas pendidikan di masyarakat pesisir mengalami proses kemunduran, anak-anak menjadi putus sekolah dan lebih memilih bekerja sebagai nelayan untuk mencari nafkah (Audiyahira, 2011).

1. Karakteristik Masyarakat Pesisir

  Masyarakat di pesisir pantai secara umum mempunyai karakteristik yaitu sebagian besar merupakan nelayan tradisional dengan penghasilan pas-pasan, tergolong keluarga miskin yang disebabkan oleh faktor alamiah; yaitu semata- mata bergantung pada hasil tangkapan yang bersifat musiman.Faktor non alamiah berupa keterbatasan teknologi alat penangkap ikan sehingga berpengaruh terhadap pendapatan keluarga. Rendahya pendapatan keluarga berdampak terhadap ketersediaan pangan keluarga, ketersediaan rumah yang layak, dan pendidikan yang rendah untuk anak-anaknya (Kusnadi 2003).

  Selain itu karakteristik masyarakat pesisir dapat dilihat dari beberapa aspek diantaranya aspek pengetahuan, kepercayaan (teologis), dan posisi nelayan sosial. Dilihat dari aspek pengetahuan, masyarakat pesisir mendapat pengetahuan dari warisan nenek moyangnya misalnya mereka untuk melihat kalender dan penunjuk arah maka mereka menggunakan rasi bintang. Sementara, dilihat dari aspek kepercayaan, masyarakat pesisir masih menganggap bahwa laut memilki kekuatan magic sehingga mereka masih sering melakukan adat pesta laut atau sedekah laut. Namun, dewasa ini sudah ada dari sebagian penduduk yang tidak percaya terhadap adat-adat seperti pesta laut tersebut. Mereka hanya melakukan ritual tersebut hanya untuk formalitas semata. Begitu juga dengan posisisosial nelayan, pada umumnya nelayan tergolong kasta rendah(Nikijuluw, 2001).

  Karateristik sosial ekonomi masyarakat pesisir dapat dilihat dari faktor mata pencaharian dan lingkungan pemukiman. Mata pencaharian sebagian besar penduduk di wilayah pesisir adalah di sektor pemanfaatan sumberdaya kelautan, seperti nelayan, petani ikan (budidaya tambak dan laut), penambangan pasir, kayu mangrove dll. Sebagian besar penduduk wilayah pesisir memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Lingkungan pemukiman masyarakat pesisir, khususnya nelayan masih belum tertata dengan baik dan terkesan kumuh (Fakhrudin, 2008).

  Apabila berbicara tentang karateristik budaya masyarakat pesisir disini akan menyangkut gaya hidup. Gaya hidup masyarakat pesisir ingin mengikuti gaya hidup masyarakat di perkotaan namun tidak sepenuhnya dapat terikuti. Hal ini lebih jelas terlihat dari kalangan generasi mudanya. Selain itu ada istilah “biar kondisi rumahmu tumbang asalkan tetap makan enak. Ini merupakan sebuah gambaran penilaian yang sering diberikan oleh pihak luar kepada masyarakat pesisir. Gambaran lain tentang masyarakat pesisiradalah masyarakat pesisirkecenderungan untuk hidup boros. Penghasilan hari ini dihabiskan hari ini juga, sehingga akhirnya nelayan tetap berada dalam keadaan yang tidak baik karena tidak pasti penghasilan yang mereka peroleh dan apakah hari ini atau esok mereka akan memperoleh penghasilan atau tidak terkadang tidak begitu dipikirkan(Nikijuluw, 2001).

  Masyarakat pesisir merupakan suatu komunitas yang hidup di wilayah pesisir dan menggantungkan hidupnya dengan sumberdaya pesisir. Masyarakat pesisir termasuk masyarakat yang masih terbelakang dan berada dalam posisi marginal, masyarakat pesisir tidak mempunyai banyak cara dalam mengatasi masalah yang hadir. Masalah kompleks yang dihadapi masyarakat pesisir adalah kemiskinan, keterbatasan pengetahuan untuk pengelolaan sumberdaya dan teknologi.

2. Pendidikan Masyarakat Pesisir

  Pendidikan seharusnya menjadi perhatian penting didalam masyarakat yangdiprioritaskan pada masyarakat pesisir, hal ini terbukti dengan tingkat pendidikan yang rendahpada masyarakat pesisir, rata-rata tingkat pendidikan masyarakat pesisir berhenti sampai batas SMP atau SMA saja. Hal ini dipengaruhi dengan beberapa faktor diantaranya yaitu, faktor ekonomi, faktor a. Faktor Ekonomi Kurangnya informasi dan pengetahuan yang menjadikan pola ekonomi masyarakat pesisir menjadi stagnan (tetap pada posisi), sehingga perkembangan ekonomi masyarakat pesisir kurang berkembang. Hal ini disebabkan karena cara mendapatkan penghasilan yang singkat, dalam hal ini adalah sebagai seorang nelayan (untuk mendapatkan penghasilan tanpa harus membutuhkan ijazah atau legalitas dari akademika) dan penghasilan yang selalu digantungkan setiap hari, sehingga mempengaruhi pola keuangan dalam keluarga. Secara sederhananya (pendapatan satu hari dihabiskan untuk satu hari itu) hal ini terjadi karena pemikiran bahwa kekayaaan laut yang terus tersedia setiap harinya, sehingga tidak terlalu untuk memikirkan hari esok. Pola tersebut sulit untuk dikembangkan secara jangka panjang, dengan pola seperti itu kebutuhan pokok lebih dipentingkan daripada kebutuhan pendidikan.Anggapan kurang pentingnya pendidikan dipengaruhi oleh masa depan yang sudah pasti bagi masyarakat pesisir yaitu bekerja sebagai seorang nelayan, selain itu kurangnya berkembanganya ekonomi keluarga membuat anak-anak di masyarakat pesisir untuk mandiri (bekerja mencari uang sendiri)daripadamenempuh pendidikan.

  b. Faktor Lingkungan Lingkungan masyarakat pesisir sudah mengenalkan cara mendapatkan uang dengan mudah bahkan semenjak anak-anak pun sudah pendidikan yang seharusnya dialami oleh anak-anak di masyarakat pesisir berubah menjadi perilaku selayaknya orang dewasa yang berusaha untuk menghasilkan uang sendiri. Lingkungan anak-anak lebih terbiasa untuk melakukan perilaku orang dewasa. Pola seperti ini mengarahkan anak- anak untuk mengisi kesibukanya dengan kegiatan menghasilkan uang sendiri daripada mengisi keseharianya dengan pendidikan.

  c. Faktor Keluarga Pentingnya peran keluarga dalam melihat pendidikan sebagai hal yang penting terhadap masa depan anaknya. Dalam masyarakat pesisir orang tua menganggap pendidikan kurang penting. Hal ini dapat dilihat ketika anak-anak yang sudah menginjak usia produktif atau 17 tahun ke atas banyak yang disuruh untuk bekerja daripada melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi. Hal tersebut dipengaruhi oleh pola pikir orangtua yang secara turun-temurun yang lebih mementingkan mencari uang. Selain itu, faktor ekonomi yang kurang membuat orangtua berpikir dua kali untuk menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang yang lebih tinggi.

3. Kemiskinaan Masyarakat Pesisir

  Secara umum, kemiskinaan masyarakat pesisir disebabkan olehtidak terpenuhinya hak hak dasar masyarakat, antara lain kebutuhan akan pangan, kesehatan, pendidikan, perkerjaan dan infrastruktur. Selain itu kurangnya kesempatan berusaha, kurangnya akses terhadap informasi, teknologi dan masyarakat miskin semakin lemah. Pada saat yang sama, kebijakan Pemerintah selama ini kurang berpihak pada masyarakat pesisir sebagai salah satu pemangku kepentingan di wilayah pesisir.

4. Permasalahan di Masyarakat Pesisir

  Menurut Dahuri (2001), di dalam pembangunan masyarakat pesisir, sesuai sifat, situasi dan kondisi yang ada, ditemukan berbagai permasalahan sebagai berikut: 1. Desa pantai pada umumnya terisolasi.

  2. Sarana pelayanan dasar termasuk prasarana fisik masih terbatas.

  3. Kondisi lingkungan kurang terpelihara.

  4. Air bersih dan sanitasi jauh dari cukup.

  5. Keadaan perumahan umumnya masih jauh dari layak huni.

  6. Keterampilan yang dimiliki penduduk umumnya terbatas pada masalah penangkapan ikan sehingga kurang mendukung diversifikasi kegiatan.

  7. Pendapatan penduduk rendah.

  8. Peralatan melaut yang dimiliki terbatas.

  9. Permasalahan modal.

  10. Waktu dan tenaga yang tersita untuk kegiatan penangkapan ikan cukup besar sehingga kurang mempunyai kesempatan untuk mencari usaha tambahan maupun memperhatikan keluarga.

  11. Kurang pengetahuan tentang pengelolaan kehidupan ikan maupun

  12. Pada umumnya keadaan lingkungan alam sekitar pantai kurang mendukung usaha pengembangan kegiatan pertanian.

  13. Karena kurangnya waktu senggang, umumnya mereka kurang bergaul, kekeluargaan lemah dan kurang perhatian pada lembaga-lembaga masyarakat di desa maupun dalam pembangunan desanya.

  14. Kegiatan ekonomi masyarakat umumnya masih tradisional, terbatas pada satu produk saja yaitu ikan.

  Dari berbagai permasalahan kehidupan yang ada di masyarakat pesisir yaitu sebagian besar merupakan nelayan tradisional dengan penghasilan pas- pasan, tergolong keluarga miskin dan sebagian besar penduduknya memiliki tingkat pendidikan yang rendah, tentunya hal iniberdampak pada pendidikan yang rendah untuk anak-anaknya. Ditengah kemiskinan dan kesulitan tersebut, tetap ada siswa yang meneruskan sekolah hingga ketingkat yang lebih tinggi dimasyarakat peisir. Mereka tetap yakin bahwa mereka mampu untuk bertahan dan bangkit dari kondisi tersebut. Hal ini terjadi karena keyakinan, motivasi,tujuan serta persepsi siswa tentang sekolah tinggi yang menjadikan regulasi diri sebagai salah satu cara agar siswa mampu memenuhi tuntutan kehidupan tersebutsehingga terhindar dari kegagalan di sekolah dan mampu untuk beradaptasi terhadap kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupannya.