Pengaruh Kecerdasan Emosional Terhadap Self Regulated Learning Pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara

(1)

PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP SELF

REGULATED LEARNING PADA MAHASISWA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

PUTRI RATNAISKANA PANDIANGAN

101301126

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GANJIL, 2013/2014


(2)

SKRIPSI

PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP SELF

REGULATED LEARNING PADA MAHASISWA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Dipersiapkan dan disusun oleh:

PUTRI RATNAISKANA PANDIANGAN 101301126

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal 9 Juni 2014

Mengesahkan, Dekan Fakultas Psikologi

Prof. Dr. Irmawati, psikolog NIP. 195301311980032001

Tim Penguji

1. Dian Ulfasari, M.Psi., psikolog Penguji I/Pembimbing

NIP. 198108242008122002 ________

2. Sri Supriyantini, M.Si.,psikolog Penguji II

NIP. 196204092000122001 ________

3. Etty Rahmawati, M.Si. Penguji III


(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul:

Pengaruh Kecerdasan Emosional Terhadap Self Regulated Learning Pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara

adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Mei 2014

Putri Ratnaiskana Pandiangan NIM. 101301126


(4)

Pengaruh Kecerdasan Emosional Terhadap Self Regulated Learning Pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara

Putri Ratnaiskana Pandiangan dan Dian Ulfasari

ABSTRAK

Menjadi seorang mahasiswa yang sukses dalam pendidikannya tentu bukanlah suatu hal yang mudah. Dalam prinsip student-learning yang diterapkan di perguruan tinggi diperlukan sebuah strategi belajar seperti self regulated learning yaitu konsep bagaimana seseorang menjadi pengatur bagi belajarnya sendiri. Penerapan self regulated learning berhubungan positif dengan kecerdasan emosional. Kondisi afeksi atau reaksi-reaksi emosional menurut Pintrich dan Groot (1990), dapat memberi perubahan self regulated learning individu dalam pencapaian tujuan dan pengunaan proses-proses metakognitif. Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada pengaruh kecerdasan emosional terhadap self regulated learning pada mahasiswaUniversitas Sumatera Utara.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode korelasional. Jumlah subjek dalam penelitian ini adalah 395 orang yang berasal dari 14 fakultas. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik nonprobabilitas jenis proportional sampling. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala self regulated learning yang disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan 14 kategori strategi self regulated learning yang dikemukakan oleh Zimmerman (dalam Purdie, Hattie & Douglas, 1996) dan skala kecerdasan emosional yang disusun berdasarkan 5 aspek kecerdasan emosional yang dikemukakan oleh Goleman (2005).

Hasil analisa data penelitian dengan menggunakan regresi linear diperoleh bahwa nilai p = 0.000. Hal ini menunjukkan bahwa ada pengaruh kecerdasan emosional terhadap self regulated learning pada mahasiswa Universitas Sumatera Utara.


(5)

The Effect of Emotional Intelligence on Self Regulated Learning in Students at University Of Sumatera Utara

Putri Ratnaiskana Pandiangan and Dian Ulfasari

ABSTRACT

Being a successful student in education is certainly not an easy thing. In the student-learning principle that is applied in college takes a learning strategies such as self regulated learning, which is the concept of how a person becomes a regulator for their own learning. Application of self regulated learning is positively related to emotional intelligence. Affective conditions or emotional reactions according to Pintrich and Groot (1990), can give the individual changes in self regulated learning to achieve the goals and use metacognitive processes. This study aimed to determine whether there is influence of emotional intelligence on self-regulated learning in students at the University of Sumatera Utara.

This study uses a quantitative approach with a correlation method. The number of participants in this study were 395 people from 14 faculties. Sampling technique that is used is proportional non-random sampling. Measuring instruments used in this study are self-regulated learning scale were compiled by researchers based on 14 categories of self-regulated learning strategies proposed by Zimmerman (in Purdie, Hattie & Douglas, 1996) and emotional intelligence scale which is based on five aspects of emotional intelligence proposed by Goleman (2005).

The results of the analysis of research data using linear regression showed that the value of p = 0.000. This showed that there is the influence of emotional intelligence on self regulated learning in students at the University of Sumatera Utara.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya dalam penyelesaian skripsi yang

berjudul “Pengaruh Kecerdasan Emosional Terhadap Self Regulated Learning

Pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara”. Penyusunan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

Peneliti menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, baik dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini sangatlah sulit bagi peneliti untuk menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu, pada kesempatan ini, peneliti mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Ibu Prof. Irmawati selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

2. Kak Dian Ulfasari, M.Psi., psikolog selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan ide, kritik, saran, dan dorongan selama proses penyusunan skripsi ini. Terima kasih buat kesabaran dan perhatiannya.

3. Ibu Sri Supriyantini, M.Si., psikolog dan Ibu Etty Rahmawati, M.Si selaku dosen penguji. Terima kasih atas kesediaan ibu untuk menjadi penguji skripsi dan terima kasih atas masukan yang ibu berikan.

4. Ibu Elvi Andriani Yusuf, M.Psi., psikolog selaku dosen pembimbing akademik yang telah banyak memberikan arahan dan dukungan selama perkuliahan.


(7)

5. Teristimewa untuk orang tua peneliti, ayahanda E. Pandiangan, S.Pd. dan ibunda R. L. Pardosi yang telah membesarkan, memberikan semangat, motivasi dan pengorbanan, dan dukungan yang luar biasa serta selalu menyertai peneliti dalam doa selama menjalani perkuliahan hingga penyelesaian skripsi ini.

6. Untuk abangku Pulo Hardy Christian Pandiangan, S.Kom. dan drg. Chandra Pebriady Hamonangan Pandiangan, adikku Tito Daniel Pandiangan, Ari Prima Pandiangan, dan Dwi Lady Pandiangan yang juga turut mendoakan penulis hingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Terima kasih atas doa, dukungan, perhatian, semangat, dan kasih sayangnya.

7. Seluruh staf pengajar Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmunya kepada peneliti selama menjalani pendidikan. 8. Seluruh Pegawai Fakultas Psikologi, Kak Ari, Kak Devi, Kak Ade, Pak

Iskandar dan Pak Aswan yang selalu memberikan kemudahan dalam mengurus segala keperluan administrasi kemahasiswaan.

9. Sahabat-sahabatku tercinta, Santri Permana Tarigan, Artha Widya Rumahorbo, S.Psi., Tota Fierda Ria Angelina Simbolon, dan Hespita Nora Sidabutar, S.Psi. Terima kasih untuk motivasi, semangat, kasih sayang, perhatian, dan waktu yang berharga, serta semua kebersamaan selama kita berkuliah mulai dari semester 1 hingga saat ini.

10.Untuk Joni Smith Sinambela, M.Si. terima kasih telah mendengarkan setiap keluh-kesah dan senantiasa memberikan semangat bagi peneliti dalam penyelesaian skripsi ini.


(8)

11.Teman-teman seperjuangan angkatan 2010 di Psikologi.

12.Teman-teman yang sudah membantu peneliti dalam menyebar skala penelitian, terutama untuk Maria Panjaitan, Arnold Panjaitan, Hanky Tambunan, Ardi Sianipar, Otni Panjaitan, Trifose Pakpahan, S.Psi., Stefen Sitorus, bang Join Sidabutar, S.Sos., David Siagian, dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

13.Seluruh subjek dalam penelitian ini yang telah banyak membantu peneliti. Terima kasih atas waktu dan kesediaannya dalam membantu peneliti.

14.Semua pihak yang terlibat dalam pengerjaan skripsi ini yang tidak dapat dapat disebutkan satu per satu, dalam kesempatan ini peneliti juga mengucapkan terima kasih. Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas semua kebaikan yang telah diberikan kepada peneliti.

Saya menyadari skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, saya mengharapkan adanya kritik dan saran agar skripsi ini menjadi lebih baik lagi. Harapan saya, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.

Medan, Mei 2014


(9)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II LANDASAN TEORI A. Self Regulated Learning ... 12

1. Definisi Self Regulated Learning... 12

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Self Regulated Learning ... 13

3. Perkembangan Self Regulated Learning ... 17

4. Strategi Self Regulated Learning ... 19

B. Kecerdasan Emosional ... 23

1. Definisi Kecerdasan Emosional ... 23

2. Aspek-Aspek Kecerdasan Emosional ... 24

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional ... 27

4. Ciri-Ciri Kecerdasan Emosional Tinggi dan Rendah ... 30


(10)

D. Dinamika Pengaruh Kecerdasan Emosional Terhadap

Self Regulated Learning ... 34

E. Hipotesis Penelitian ... 37

BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 38

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 38

C. Populasi dan Metode Pengambilan Sampel ... 40

1. Populasi Sampel Penelitian ... 40

2. Metode Pengambilan Sampel Penelitian ... 41

D. Metode Pengumpulan Data ... 43

E. Uji Coba Alat Ukur ... 46

1. Validitas Alat Ukur ... 47

2. Reliabilitas Alat Ukur ... 47

3. Uji Daya Beda Aitem ... 48

4. Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 49

F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian... 52

1. Tahap Persiapan ... 53

2. Tahap Pelaksanaan ... 53

3. Tahap Pengolahan... 54

G. Metode Analisis Data ... 54

1. Uji Normalitas ... 54

2. Uji Linearitas ... 55

BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN A. Analisa Data ... 56

1. Gambaran Umum Subjek Penelitian ... 56

a. Gambaran Umum Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin... 56

b. Gambaran Subjek Berdasarkan Fakultas ... 57


(11)

2. Hasil Penelitian ... 58

a. Hasil Uji Asumsi ... 58

b. Hasil Utama Penelitian ... 60

c. Hasil Penelitian Tambahan ... 62

B. Pembahasan ... 68

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 72

B. Saran ... 72

1. Saran Metodologis ... 73

2. Saran Praktis ... 73

DAFTAR PUSTAKA ... 75


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Mahasiswa Aktif Program S-1 Universitas Sumatera

Utara Tahun 2013/2014... 40

Tabel 2 Pengambilan Sampel Proporsional Pada Masing-Masing Fakultas ... 42

Tabel 3 Blue Print Skala Self Regulated Learning ... 44

Tabel 4 Blue Print Skala Kecerdasan Emosional ... 45

Tabel 5 Blue-Print Skala Self Regulated Learning Setelah Uji Coba ... 49

Tabel 6 Blue Print Skala Self Regulated Learning yang Digunakan Dalam Penelitian ... 50

Tabel 7 Blue Print Skala Kecerdasan Emosional Setelah Uji Coba ... 51

Tabel 8 Blue Print Skala Kecerdasan Emosional yang Digunakan Dalam Penelitian... 51

Tabel 9 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ... 55

Tabel 10 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Fakultas ... 56

Tabel 11 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Tahun Angkatan .. 57

Tabel 12 Nomor Subjek yang Dihapus ... 58

Tabel 13 Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov untuk Uji Normalitas ... 58

Tabel 14 Tabel ANOVA untuk Linearitas ... 59

Tabel 15 Hasil Model Summary Pada Analisa Regresi ... 60

Tabel 16 Tabel ANOVA ... 60

Tabel 17 Hasil Coefficients pada Analisis Regresi Coefficients... 60

Tabel 18 Skor Empirik dan Hipotetik Kecerdasan Emosional ... 61

Tabel 19 Kategorisasi Data Kecerdasan Emosional ... 63

Tabel 20 Skor Empirik dan Hipotetik Self Regulated Learning... 63

Tabel 21 Kategorisasi Data Self Regulated Learning... 65

Tabel 22 Kecerdasan Emosional Berdasarkan Jenis Kelamin ... 66


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Skala Uji Coba Penelitian ... 78

Lampiran 2 Skala Asli Penelitian ... 86

Lampiran 3 Reliabilitas Skala Uji Coba Penelitian ... 92


(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Mahasiswa merupakan suatu kelompok individu dalam masyarakat yang memperoleh statusnya melalui perguruan tinggi tempat mereka menuntut ilmu. Secara administratif, mahasiswa ialah orang yang terdaftar di perguruan tinggi (akademik, institut, universitas), mengikuti semester berjalan dan memiliki kartu mahasiswa untuk pembuktian. Menurut Baharuddin & Makin (dalam Naam, 2009) mahasiswa merupakan subjek yang memiliki potensi untuk mengembangkan pola kehidupannya, dan sekaligus menjadi objek dalam keseluruhan bentuk aktivitas dan kreativitasnya, sehingga diharapkan mampu menunjukkan kualitas daya yang dimilikinya.

Menjadi seorang mahasiswa yang sukses dalam pendidikannya tentu bukanlah suatu hal yang mudah. Sukadji (2001) menyatakan bahwa untuk sukses dalam pendidikan dan berhasil menerapkan ilmu yang diperolehnya, mahasiswa harus menggunakan seluruh potensi yang dimilikinya serta mengatur strategi belajar yang jitu. Mahasiswa yang sukses akan mengatur diri sendiri, mengontrol faktor-faktor yang mempengaruhi proses belajar, menciptakan kondisi yang optimal untuk belajar, dan menghilangkan rintangan yang dapat mengganggu proses belajar (Dembo, 2004).

Dunia mahasiswa bukan lagi dunia sebagaimana layaknya di SMA dulu yang masih dibimbing orang tua atau guru. Dunia mahasiswa sudah menuntut


(15)

individu untuk mandiri dalam segala hal. Di kampus, ketika ada tugas, dosen hanya memberikan gambaran umum tentang tugas tersebut, selebihnya dikembalikan kepada mahasiswa atau ketika dosen menjelaskan pelajaran, mereka hanya memberikan jalan atau gambaran umum kepada mahasiswa. Berbeda dengan guru-guru ketika di SMA, mereka benar-benar membimbing (LDK Al-Uswah, 2010). Oleh karena itu untuk mendapatkan prestasi akademik yang memuaskan di perguruan tinggi, diperlukan adanya kesiapan belajar yang mencakup kesiapan mental dan keterampilan belajar (Ginting, 2003).

Universitas Sumatera Utara (USU) adalah salah satu penyelenggara pendidikan tinggi di Indonesia. Universitas yang terletak di kota Medan ini telah berdiri sejak tahun 1952 dan telah menghasilkan banyak alumni dan dipersiapkan menjadi pusat pendidikan tinggi di kawasan Barat Indonesia. Sebagai Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang menyelenggarakan pendidikan tinggi, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, USU menuntut agar mahasiswa USU mempersiapkan diri menjadi anggota masyarakat dengan kemampuan akademik untuk menerapkan, mengembangkan, memperkaya, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, serta pengembangan aplikasinya untuk meningkatkan kemakmuran masyarakat (Buku Pedoman Peraturan Akademik USU). Untuk dapat mencapai tujuan tersebut tentu saja bukan hal yang mudah, mengingat besarnya tugas dan beban kuliah yang harus ditanggung oleh mahasiswa.


(16)

Di bawah ini komunikasi personal peneliti dengan beberapa mahasiswa tentang beban perkuliahan di USU:

“yang namanya kuliah tiada hari tanpa tugaslah pastinya. Kadang

sepanjang hari itu hanya untuk tugas ajalah, gak di kampus gak di rumah

tugas aja yang mau dikerjain”

(HCT, Komunikasi Personal, 10 Januari 2014)

“dulu mikirnya kuliah itu enak, tugasnya dikit, dan suka-suka. Karena kebetulan aku punya kakak sepupu yang kuliah di salah satu universitas swasta, dan kalo diamat-amati dia selalu santai dan kayaknya gak pernah ada tugas gitu. Jadi aku mikir semua yang kuliah itu gitu. Ternyata gak, kuliah itu benar-benar beda dengan waktu SMA kak. Apalagi kuliahnya di USU, tugasnya banyak banget dan benar-benar menyiksa. Bayangkan dalam seminggu itu, semua dosen kasih tugas. Jadi kadang gak bisa ngatur waktu. Kalo udah kayak gini kak, nanti bawaannya marah-marah sama

sensitif gitu karena otaknya dipaksa terus”

(RM, Komunikasi Personal, 10 Januari 2014).

Dari komunikasi personal yang dilakukan oleh peneliti, diperoleh bahwa ternyata beban perkuliahan di USU itu memang tinggi, terutama untuk mahasiswa program studi S-1 (program sarjana) yang dijadwalkan dapat menyelesaikan studinya dalam 8 (delapan) semester dengan beban kredit 144-148 SKS. Dengan demikian, dibutuhkan suatu strategi belajar yang dapat membantu mahasiswa dalam menghadapi tugas-tugas dan beban perkuliahan tersebut.

Selain itu, berdasarkan Keputusan Rektor Universitas Sumatera Utara No:1178/H5.1.R/SK/KRK/2008 tentang kebijakan akademik Universitas Sumatera Utara, pada bab II pasal 2 mengenai kebijakan umum disebutkan bahwa pelaksanaan pendidikan di lingkungan USU dirancang dengan mempertimbangkan pergeseran paradigma pendidikan yang semula lebih fokus pada pengajaran oleh dosen menjadi fokus pada pembelajaran oleh mahasiswa (student-learning). Menurut Santrock (2004) dalam prinsip student-learning, peserta didik aktif, memiliki tujuan dan mampu mengatur pembelajaran sendiri


(17)

(self regulated learning) yang meliputi beberapa faktor, yaitu metakognitif, tujuan proses pembelajaran, konstruksi pengetahuan, pemikiran strategis, konteks pembelajaran dan sifat proses pembelajaran. Self regulated learning juga merupakan salah satu strategi belajar yang mempunyai peran penting dalam menentukan kesuksesan di perguruan tinggi (Spitzer, 2000).

Zimmerman dan Martinez-Pons (1990) menyatakan bahwa self regulated learning adalah konsep mengenai bagaimana seorang peserta didik menjadi pengatur bagi belajarnya sendiri. Schunk (dalam Schunk & Zimmerman, 1998) menyatakan bahwa self regulated learning dapat dikatakan berlangsung bila peserta didik secara sistematis mengarahkan perilaku, kognisi, dan afeksinya dengan cara memberi perhatian pada instruksi tugas-tugas, melakukan proses dan mengintegrasikan pengetahuan, mengulang-ulang informasi untuk diingat serta mengembangkan dan memelihara keyakinan positif tentang kemampuan belajar dan mampu mengantisipasi hasil belajarnya.

Zimmerman (dalam Woolfolk, 2004) menambahkan bahwa dalam penerapan self regulated learning seorang peserta didik mengaktifkan dan mendorong kognisi (cognition), perilaku (behaviour) dan perasaannya (affect) yang secara sistematis berorientasi pada pencapaian suatu tujuan belajar. Agar mencapai tujuan belajar tersebut, peserta didik yang menerapkan self regulated learning mendekati tugas belajar dengan berbagai strategi manajemen sumber daya seperti memilih atau mengatur lingkungan fisik untuk mendukung belajar dan mengatur waktu mereka secara efektif (Wahyono, 2008).


(18)

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Marpaung (2012) terhadap 270 orang mahasiswa USU menunjukkan bahwa 80 orang (29.6%) memiliki self regulated learning pada kategori rendah, 116 orang (42.9%) pada kategori sedang, dan 74 orang (27.4%) pada kategori tinggi. Hasil ini tentu saja masih jauh dari harapan, terutama bagi mahasiswa yang memiliki self regulated learning pada kategori rendah, mengingat besarnya tanggung jawab serta beban perkuliahan yang ditanggung oleh mahasiswa. Seharusnya mahasiswa USU memiliki self regulated learning yang lebih baik sehingga proses belajarnya dapat berjalan dengan lebih baik. Apalagi mengacu pada visi universitas yaitu “University for Industry”. Untuk dapat mencapai visi tersebut mahasiswa USU harus mampu mengatur proses pembelajarannya dengan baik dengan cara menjadi regulator bagi belajarnya sendiri, sehingga tujuan belajar yang diharapkan dapat tercapai, dan akhirnya akan menjadi lulusan yang kompeten dan siap pakai serta berdayaguna di masyarakat.

Penelitian yang dilakukan Pintrich dan De Groot (dalam Wolters, 1998) menemukan bahwa peserta didik yang menerapkan strategi self regulated learning menunjukkan motivasi intrinsik dan self efficacy serta prestasi yang lebih tinggi. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Spitzer (2000) juga menunjukkan bahwa self regulated learning berkaitan erat dengan performansi akademik pada mahasiswa di mana mahasiswa yang menerapkan strategi self regulated learning mengambil alih afeksi, pikiran dan tingkah lakunya sehingga menunjang prestasi belajar yang baik. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa self regulated learning berhubungan positif dengan self-efficacy (Hodges, Stackpole-Hodges, &


(19)

Cox, 2008; Scott, Dearing, Reynolds, Lindsay, Baird & Hamill, 2008; Schunk & Zimmerman, 2007) dan juga dengan kecerdasan emosional (Declerck, Boone & De Brabander, 2006; Seligson & McPhee, 2004; West & Albrecht, 2007).

Papalia (dalam Gunarsa, 2004) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang dapat mengembangkan regulasi diri adalah proses perhatian dan kesadaran terhadap emosi negatif. Seseorang yang memberikan atensi atau perhatian serta sadar akan emosi negatif adalah individu yang mengenali diri dan memahami emosinya sehingga mampu meregulasi dirinya dengan lebih baik. Selanjutnya, Gilliom (dalam Gunarsa, 2004) mengatakan faktor-faktor yang mempengaruhi regulasi diri adalah regulasi emosional. Seseorang yang mampu meregulasi emosinya dengan baik akan mampu meregulasi diri dalam tugas-tugas tertentu. Hal ini disebabkan karena kondisi emosional akan mempengaruhi bagaimana seseorang dalam berperilaku sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.

Dalam penerapan self regulated learning, kemampuan dalam mengendalikan dan meregulasi emosi menjadi salah satu faktor yang sangat penting, dimana self regulated learning tidak hanya mengarah pada perilaku dan kognisi saja, akan tetapi peran afeksi (perasaan) juga turut berkontribusi dalam mewujudkan tercapainya tujuan belajar. Papalia dan Olds (2001) juga menyatakan bahwa regulasi diri juga berkaitan dengan kemampuan mental serta pengendalian emosi, dimana seluruh perkembangan kognitif, fisik, serta pengendalian emosi dan kemampuan sosialisasi yang baik, membawa seseorang dapat mengatur dirinya dengan baik. Kemampuan dalam meregulasi emosi ini dikenal dengan istilah kecerdasan emosional.


(20)

Kecerdasan emosional adalah kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, memotivasi diri sendiri, serta mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain (Goleman, 2005). Hal ini berkaitan dengan kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan emosional tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan, dan mengatur suasana hati.

Beberapa penelitian telah menunjukkan pentingnya seseorang memiliki kecerdasan emosional. Hasil penelitian Gottman (1997) menunjukkan fakta bahwa pentingnya kecerdasan emosional dalam berbagai aspek kehidupan. Dengan mengaplikasikan kecerdasan emosional dalam kehidupan akan berdampak positif baik dalam kesehatan fisik, keberhasilan akademis, kemudahan dalam membina hubungan dengan orang lain, dan meningkatkan resiliensi (Gottman, 1997).

Berdasarkan komunikasi personal yang dilakukan peneliti terhadap beberapa mahasiswa USU, diperoleh informasi bahwa ternyata mengelola emosi dengan baik memberikan dampak yang baik bagi proses belajarnya.

“pintar saja sebenarnya gak cukup. Tapi bagaimana mengatur diri dan mengatur emosi dengan baik itu gak kalah penting buat saya. Saya gak pintar-pintar kali kok, tapi prestasi saya gak buruk juga, bisa dibilang cukup memuaskan. Kadang-kadang ada hal-hal yang membuat saya bad-mood dan menimbulkan emosi negatif, namun saya selalu berusaha mengatasinya dengan baik agar tidak berdampak pada kuliah saya. Kalo emosinya sudah bagus, tentu akan sangat membantu untuk mengatur

proses belajar saya sendiri.”


(21)

Dalam penerapan self regulated learning pada mahasiswa, kecerdasan emosional menjadi salah satu hal yang penting. Kondisi afeksi atau reaksi-reaksi emosional menurut Pintrich dan Groot (1990), dapat memberi perubahan self regulated learning individu dalam pencapaian tujuan dan pengunaan proses-proses metakognitif. Mahasiswa dengan kecerdasan emosional yang baik memiliki kesadaran akan kekuatan dan kelemahan diri, serta berorientasi ke arah perbaikan diri. Kemampuan ini membantu mahasiswa tersebut dalam menghadapi beban dan tugas-tugas dalam perkuliahan serta mewujudkan proses pembelajaran yang tepat.

Mahasiswa yang mampu mengelola emosinya dengan baik akan mampu menahan diri pada waktu emosinya bergejolak. Dengan demikian mereka akan mengarahkan emosi negatif secara efektif dan mengubahnya menjadi emosi positif bagi kemajuan dirinya. Selain itu, mereka juga memotivasi dirinya untuk belajar lebih baik, meninggalkan atau menjauhi hal-hal yang dapat merugikan dalam belajar (Santoso, 2008). Emosi yang dikelola dengan baik tersebut akan menjadi sumber energi, autensitas, dan semangat yang kuat yang dapat memberikan sumber intuitif bagi mahasiswa. Dengan kemampuan mengelola emosi secara efektif dan baik, seorang mahasiswa akan mampu menjadi pengatur atau regulator bagi proses belajarnya untuk mencapai tujuan yang diharapkan.

Berdasarkan dinamika di atas dapat dilihat bahwa kecerdasan emosional yang dimiliki seseorang akan mempengaruhi bagaimana regulasi diri dalam belajarnya. Dengan demikian peneliti tertarik untuk melihat adakah pengaruh


(22)

kecerdasan emosional terhadap self regulated learning pada mahasiswa Universitas Sumatera Utara.

B. RUMUSAN MASALAH

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Adakah pengaruh kecerdasan emosional terhadap self regulated learning pada mahasiswa Universitas Sumatera Utara?

2. Seberapa besar pengaruh kecerdasan emosional terhadap self regulated learning pada mahasiswa Universitas Sumatera Utara?

C. TUJUAN PENELITIAN

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk:

1. Mengetahui apakah terdapat pengaruh kecerdasan emosional terhadap self regulated learning pada mahasiswa Universitas Sumatera Utara 2. Mengetahui seberapa besar pengaruh kecerdasan emosional terhadap

self regulated learning pada mahasiswa Universitas Sumatera Utara

D. MANFAAT PENELITIAN

Apabila rumusan masalah dalam penelitian ini sudah terjawab dan tujuan penelitian sudah tercapai, maka penelitian yang berjudul “Pengaruh Kecerdasan Emosional Terhadap Self Regulated Learning Pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara” ini diharapkan akan membawa manfaat sebagai berikut:

1) Manfaat teoritis

Manfaat teoritis yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah dapat memberikan kontribusi informasi dalam bidang psikologi secara umum dan


(23)

secara khusus dapat menambah wawasan dalam bidang Psikologi Pendidikan, terutama mengenai pengaruh kecerdasan emosi terhadap self regulated learning pada mahasiswa.

2) Manfaat praktis

Manfaat praktis yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah diharapkan dapat memberikan kontribusi:

a. Bagi peneliti untuk dapat mengembangkan pengalaman langsung dalam meneliti pengaruh kecerdasan emosional terhadap self regulated learning pada mahasiswa.

b. Bagi mahasiswa/pelajar akan pentingnya mengelola emosinya dengan baik sehingga dapat menerapkan self regulated learning dengan cara yang tepat untuk mencapai kesuksesan dalam pendidikannya.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Bab I : Pendahuluan berisikan uraian singkat mengenai latar belakang masalah, rumusan permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II : Landasan Teori berisi teori-teori yang berkaitan dengan variabel yang diteliti yaitu tentang kecerdasan emosional dan self regulated learning, hubungan antar variabel, serta hipotesa penelitian.

Bab III : Metode Penelitian berisi uraian mengenai variabel penelitian, definisi operasional variabel, populasi dan metode pengambilan


(24)

sampel, metode pengumpulan data, uji coba alat ukur, prosedur penelitian dan metode analisa data.

Bab IV : Analisa Data dan Pembahasan berisi uraian mengenai gambaran umum subjek penelitian, hasil penelitian, dan pembahasan. Bab V : Kesimpulan dan Saran berisi mengenai kesimpulan penelitian


(25)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. SELF REGULATED LEARNING

1. Definisi Self Regulated Learning

Self regulated learning terdiri dari dua kata yaitu self regulated dan learning. Self regulated berarti terkelola, sedangkan learning adalah pembelajaran. Jadi dapat disimpulkan bahwa self regulated learning adalah pengelolaan atau pengaturan diri dalam belajar (Diah, 2004).

Zimmerman dan Martinez-Pons (1990) menyatakan bahwa self regulated learning adalah sebuah konsep mengenai bagaimana seseorang peserta didik menjadi regulator atau pengatur bagi belajarnya sendiri. Selain itu, self regulated learning diartikan juga sebagai pengawasan atas perilaku dalam proses belajar sebagai hasil dari proses internal dari tujuan, perencanaan, dan penghargaan diri sendiri atas prestasi yang telah diraih (Friedman, 2006).

Zimmerman (dalam Rose & Winne, 1995) menyatakan bahwa dalam self regulated learning individu dituntut aktif berpartisipasi dalam aktivitas belajarnya, memiliki tujuan dalam belajar serta upaya yang terstruktur didasarkan tujuan yang dimilikinya. Butler dan Winne (1993) menyatakan self regulated learning merupakan upaya aktif individu untuk meraih tujuan yang dibuatnya dalam aktivitas belajar dengan menggunakan strategi yang melibatkan kemampuan kognitif, afektif dan perilaku. Selanjutnya, Zimmerman dan Schunk (dalam Ablard & Lipschultsz, 1998) menegaskan bahwa adalah upaya


(26)

pengelolaan diri dalam belajar yang mengikutsertakan kemampuan metakognisi, motivasi dan perilaku aktif dalam belajar.

Self regulated learning dapat berlangsung apabila peserta didik secara sistematis mengarahkan perilakunya dan kognisinya dengan cara memberi perhatian pada instruksi-instruksi, tugas-tugas, melakukan proses dan menginterpretasikan pengetahuan, mengulang-mengulang informasi untuk mengingatnya serta mengembangkan dan memelihara keyakinan positifnya tentang kemampuan belajar dan mampu mengantisipasi hasil belajarnya (Schunk, dalam Schunk & Zimmerman, 1998).

Berdasarkan definisi self regulated learning yang dikemukakan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa self regulated learning adalah upaya individu untuk mengatur diri dalam belajar yang melibatkan kognisi, afeksi, dan perilaku individu dalam mencapai tujuan belajar.

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Self Regulated Learning

Berdasarkan perspektif sosial kognitif yang dikemukakan Bandura (Zimmerman, 1998) bahwa self regulated learning ditentukan oleh 3 faktor yakni faktor personal, perilaku, dan lingkungan :

a. Faktor personal

Self regulated learning terjadi dimana siswa dapat menggunakan proses personal (kognitif) untuk mengatur perilaku dan lingkungan belajar di sekitarnya secara strategis. Faktor personal melibatkan self efficacy yang mengacu kepada penilaian individu terhadap kemampuannya untuk melakukan suatu tugas, mencapai tujuan, atau mengatasi hambatan dalam


(27)

belajar. Pengetahuan self regulated learning harus memiliki kualitas pengetahuan prosedural dan pengetahuan bersyarat. Pengetahuan prosedural mengacu kepada pengetahuan bagaimana menggunakan strategi, sedangkan pengetahuan bersyarat mengarah kepada pengetahuan kapan dan mengapa strategi tersebut berjalan efektif. Pengetahuan self regulated learning tidak hanya bergantung kepada pengetahuan siswa tetapi juga proses metakognitif pada pengambilan keputusan dan perfoma yang dihasilkan dengan melibatkan perencanaan atau analisis tugas yang berfungsi mengarahkan usaha dalam mengontrol belajar.

Pengambilan keputusan metakognitif tergantung juga kepada tujuan jangka panjang siswa dalam belajar. Tujuan merupakan kriteria yang digunakan siswa untuk memonitor mereka dalam belajar. Tujuan dan pemakaian proses metakognitif dipengaruhi oleh persepsi terhadap self efficacy dan afeksi. Afeksi mengacu kepada kemampuan mengatasi emosi yang timbul dalam diri meliputi kecemasan dan perasaan depresif yang menghalangi pola pikir dalam mencapai tujuan.

Faktor personal melibatkan penggunaan strategi mengatur materi pelajaran (organizing & transforming), membuat rencana dan tujuan yang ingin dicapai (goal setting and planning), mencatat hal-hal penting (keeping record and monitoring), serta mengulang dan mengingat materi pelajaran (rehearsing and memorizing).


(28)

b. Faktor perilaku

Mengacu kepada kemampuan siswa dalam menggunakan strategi self evaluation sehingga mendapatkan informasi tentang keakuratan dan mengecek kelanjutan dari hasil umpan balik. Perilaku siswa dalam berperilaku yang berhubungan dengan self regulated learning yaitu observasi diri (self observation), penilaian diri (self-judgment), dan reaksi diri (self-reaction). Komponen tersebut terdiri dari perilaku yang dapat diamati, dilatih dan saling mempengaruhi. Oleh karena itu, ketiga komponen tersebut dikategorikan sebagai faktor perilaku yang mempengaruhi self regulated learning. Faktor perilaku ini melibatkan penggunaan strategi evaluasi terhadap diri (selfevaluation) dan konsekuensi terhadap diri (self-consequences).

c. Faktor lingkungan

Faktor lingkungan berinteraksi secara timbal balik dengan faktor personal dan perilaku. Mengacu kepada sikap proaktif siswa untuk menggunakan strategi mengubah lingkungan belajar seperti penataan lingkungan belajar, mengurangi kebisingan, dan pencarian sumber belajar yang relevan. Matsumoto (2008), menambahkan bahwa faktor budaya turut mempengaruhi penerapan self regulated learning. Nilai-nilai budaya yang dianut siswa akan berperan dalam menerapkan self regulated learning agar tercapainya tujuan belajar. Individu yang menerapkan self regulated learning biasanya menggunakan strategi mencari informasi (seeking information), mengatur lingkungan belajar (environmental structuring), mencari bantuan sosial


(29)

(seeking social assistance), serta meninjau kembali catatan, tugas, atau tes sebelumnya dan buku pelajaran (review record).

Selain itu, Cobb (2003) menyatakan bahwa self regulated learning dipengaruhi oleh3 faktor yaitu self efficacy, motivasi dan tujuan.

a. Self efficacy

Self efficacy merupakan penilaian individu terhadap kemampuan atau kompetensinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan, atau mengatasi hambatan dalam belajar (Bandura dalam Cobb, 2003). Self efficacy dapat mempengaruhi peserta didik dalam memilih suatu tugas, usaha, ketekunan, dan prestasi. Peserta didik yang memiliki self efficacy yang tinggi akan meningkatkan penggunaan kognitif dan strategi self regulated learning. Peserta didik yang merasa mampu menguasai suatu keahlian atau melaksanakan suatu tugas akan lebih siap untuk berpartisipasi, bekerja keras, lebih ulet dalam menghadapi kesulitan, dan mencapai level yang lebih tinggi. b. Motivasi

Menurut Cobb (2003), motivasi yang dimiliki peserta didik secara positif berhubungan dengan self regulated learning. Motivasi dibutuhkan peserta didik untuk melaksanakan strategi yang akan mempengaruhi proses belajar. Peserta didik cenderung akan lebih efisien mengatur waktunya dan efektif dalam belajar apabila memiliki motivasi belajar. Motivasi yang berasal dari dalam diri seseorang (intrinsic) cenderung akan lebih memberikan hasil positif dalam proses belajar dan meraih prestasi yang baik. Motivasi ini akan lebih kuat dan lebih stabil/menetap bila dibandingkan dengan motivasi yang berasal


(30)

dari luar diri (extrinsic). Walaupun demikian bukan berarti motivasi dari luar diri (extrinsic) tidak penting. Kedua jenis motivasi ini sangat berperan dalam proses belajar. Peserta didik kadang termotivasi belajar oleh keduanya, misalnya mereka mengharapkan pemenuhan kepuasan atas keingintahuannya dengan belajar giat, namun mereka juga mengharapkan ganjaran (reward) dari luar atas prestasi yang mereka capai.

c. Tujuan (goals)

Menurut Cobb (2003) goal merupakan penetapan tujuan apa yang hendak dicapai seseorang. Goal merupakan kriteria yang digunakan peserta didik untuk memonitor kemajuan mereka dalam belajar. Goal memiliki dua fungsi dalam self regulated learning yaitu menuntun peserta didik untuk memonitor dan mengatur usahanya dalam arah yang spesifik. Selain itu goal juga merupakan kriteria bagi peserta didik untuk mengevaluasi performansi mereka. Efek dari goal tergantung atas hasil (outcomes) yang diharapkan. Hasil ini apat dikategorikan menjadi dua orientasi yaitu: orientasi pada pembelajaran (learning) dan orientasi pada penampilan (performance) (Meece dalam Cobb, 2003). Orientasi pada pembelajaran (learning goals) fokus pada proses pencapaian kemampuan dan pemahaman betapapun sulitnya usaha yang harus dilakukan untuk mencapai goal tersebut. Sedangkan orientasi pada penampilan (performance goal) fokus pada pencapaian penampilan yang baik di pandangan orang lain atau penghindaran penilaian negatif dari lingkungan. Menurut Cobb (2003) learning goals menghasilkan prestasi akademik yang


(31)

tinggi dan menunjukkan penggunaan strategi self regulated learning melalui proses informasi yang mendalam (deep).

3. Perkembangan Self Regulated Learning

Schunk dan Zimmerman (1998) menyatakan bahwa kondisi individu, sosial dan lingkungan yang membuat peserta didik memiliki kompetensi self regulated learning pada awalnya berkembang dari pengaruh sosial lalu kemudian beralih pada pengaruh diri sendiri. Selanjutnya, ia menyatakan bahwa kemampuan self regulated learning muncul dalam serangkaian tingkat kemampuan regulasi yang meliputi empat tingkat perkembangan yaitu tingkat pengamatan, persamaan, kontrol diri dan regulasi diri.

Pada level perkembangan pengamatan dan peniruan, kompetensi self regulated learning peserta didik berkembang dari pengaruh sosial yang meliputi guru, orang tua, pelatih dan teman sebaya. Selanjutnya pada level perkembangan kontrol diri dan pengaturan diri, peserta didik sudah mampu menerapkan strategi self regulated learning secara mandiri.

Ada 4 (empat) level perkembangan self regulated learning, antara lain adalah sebagai berikut:

a. Level Pengamatan (observational)

Pada level pengamatan ini, sebagian peserta didik dapat menyerap ciri-ciri utama strategi belajar dengan mengamati model. Dalam hal ini guru yang bertindak sebagai model, menjelaskan bagaimana proses berpikir ketika sedang mengerjakan tugas. Dengan mempersepsikan kesamaan dengan model dan seolah-olah melakukan apa yang dilakukan oleh model akan membuat


(32)

peserta didik (pengamat) termotivasi untuk mengembangkan kemampuan self regulated learning.

b. Level Persamaan (emulative)

Pada level ini peserta didik menunjukkan performansi yang hampir sama dengan kondisi umum dari model. Peserta didik (pengamat) tidak secara langsung meniru model, namun berusaha menyamakan gaya atau pola-pola yang umum saja. Hal ini penting dalam perkembangan self regulatory karena peserta didik perlu menunjukkan strategi secara personal agar masuk ke dalam skema mereka. Pada fase ini bimbingan, umpan balik dan penguatan dari lingkungan sosial perlu diberikan agar peserta didik dapat melanjutkan pembelajaran secara fungsional.

c. Level Kontrol Diri (self controlled)

Peserta didik sudah mampu menggunakan sendiri strategi-strategi belajar ketika mengerjakan tugas. Strategi-strategi yang digunakan sudah terinternalisasi, namun masih dipengaruhi oleh gambaran standar performansi yang ditunjukkan oleh model (seperti bayangan akan performansi model sebelumnya) dan sudah menggunakan proses self reward.

d. Level Pengaturan Diri (self regulated)

Merupakan level terakhir dimana peserta didik mulai menggunakan strategi-strategi yang disesuaikan dengan situasi dan termotivasi oleh tujuan serta self efficacy untuk berprestasi. Peserta didik sudah bisa memilih kapan menggunakan strategi-strategi khusus dan mengadaptasinya untuk kondisi berbeda, dengan sedikit petunjuk dari model atau tidak sama sekali.


(33)

4. Strategi Self Regulated Learning

Strategi self regulated learning merupakan kompilasi dari perencanaan yang digunakan peserta didik untuk mencapai tujuan belajar (Cobb, 2003). Penelitian yang dilakukan oleh Spitzer (2000) menunjukkan bahwa strategi self regulated learning berkaitan erat dengan performansi akademik dimana peserta didik yang menerapkan strategi self regulated learning mengambil alih afeksi, pikiran dan tingkah lakunya sehingga menunjang prestasi belajar yang baik.

Zimmerman dan Martinez-Pons (dalam Purdie, Hattie & Douglas, 1996) melakukan sebuah penelitian dengan metode wawancara yang telah menghasilkan 14 kategori perilaku belajar sebagai strategi self regulated learning sebagai berikut :

a. Evaluasi terhadap kemajuan tugas (self evaluating)

Merupakan inisiatif peserta didik dalam melakukan evaluasi terhadap kualitas tugas dan kemajuan pekerjaannya. Peserta didik memutuskan apakah hal-hal yang telah dipelajari mencapai tujuan yang ditentukan sebelumnya. Dalam hal ini peserta didik membandingkan informasi yang didapat melalui self monitoring dengan beberapa standar atau tujuan yang dimiliki.

b. Mengatur materi pelajaran (organizing & transforming)

Strategi organizing menandakan perilaku overt dan covert dari peserta didik untuk mengatur materi yang dipelajari dengan tujuan meningkatkan efektivitas proses belajar. Strategi transforming dilakukan dengan mengubah materi pelajaran menjadi lebih sederhana dan mudah dipelajari.


(34)

c. Membuat rencana dan tujuan belajar (goal setting & planning)

Strategi ini merupakan pengaturan peserta didik terhadap tujuan umum dan tujuan khusus dari belajar dan perencanaan untuk urutan pengerjaan tugas, bagaimana memanfaatkan waktu dan menyelesaikan kegiatan yang berhubungan dengan tujuan tersebut. Perencanaan akan membantu peserta didik untuk menemu-kenali konflik dan krisis yang potensial serta meminimalisir tugas-tugas yang mendesak. Perencanaan juga memungkinkan peserta didik untuk fokus pada hal-hal yang penting bagi perolehan kesuksesan jangka panjang. Untuk mendapatkan manfaat sebesar mungkin dari perencanaan, maka perencanaan perlu ditinjau kembali secara rutin. d. Mencari informasi (seeking information)

Peserta didik memiliki inisiatif untuk berusaha mencari informasi di luar sumber-sumber sosial ketika mengerjakan tugas ataupun ketika mempelajari suatu materi pelajaran. Strategi ini dilakukan dengan menetapkan informasi apa yang penting dan bagaimana cara mendapatkan informasi tersebut.

e. Mencatat hal penting (keeping record & monitoring)

Strategi ini dilakukan dengan mencatat hal-hal penting yang berhubungan dengan topik yang dipelajari, kemudian menyimpan hasil tes, tugas maupun catatan yang telah dikerjakan.

f. Mengatur lingkungan belajar (environmental structuring)

Peserta didik berusaha memilih dan mengatur aspek lingkungan fisik dengan cara tertentu untuk membantu mereka belajar dengan lebih baik.


(35)

g. Konsekuensi setelah mengerjakan tugas (self consequences)

Strategi ini dilakukan dengan mengatur atau membayangkan reward atau punishment yang didapatkan bila berhasil atau gagal dalam mengerjakan tugas.

h. Mengulang dan mengingat (rehearsing & memorizing)

Peserta didik berusaha mempelajari ulang materi pelajaran dan mengingat bahan bacaan dengan perilaku yang overt dan covert.

i. Meminta bantuan teman sebaya (seek peer asistance)

Bila menghadapi masalah yang berhubungan dengan tugas yang sedang dikerjakan, peserta didik meminta bantuan teman sebaya.

j. Meminta bantuan guru/pengajar (seek teacher assistance)

Bertanya kepada guru atau dosen di dalam atau pun di luar jam belajar dengan tujuan untuk dapat membantu menyelesaikan tugas dengan baik.

k. Meminta bantuan orang dewasa (seek adult assistance)

Meminta bantuan orang dewasa yang berada di dalam dan di luar lingkungan belajar bila ada yang tidak dimengerti yang berhubungan dengan pelajaran . Orang dewasa yang dimaksud dalam hal ini adalah orang yang lebih berpengalaman, bisa saja senior di kampus.

l. Mengulang tugas atau test sebelumnya (review test/work)

Pertanyaan-pertanyaan ujian terdahulu mengenai topik tertentu dan tugas yang telah dikerjakan dijadikan sumber informasi untuk belajar.


(36)

Sebelum mengikuti tujuan, peserta didik meninjau ulang catatan sehingga mengetahui topik apa saja yang akan di uji.

n. Mengulang buku pelajaran (review texts book)

Membaca buku merupakan sumber informasi yang dijadikan pendukung catatan sebagai sarana belajar.

B. KECERDASAN EMOSIONAL

1. Definisi Kecerdasan Emosional

Istilah “kecerdasan emosional” pertama kali dilontarkan pada tahun 1990

oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan. Salovey dan Mayer (dalam Yulisubandi, 2009) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan. Kecerdasan emosional sangat dipengaruhi oleh lingkungan, tidak bersifat menetap, dapat berubah-ubah setiap saat. Untuk itu peranan lingkungan terutama orang tua pada masa kanak-kanak sangat mempengaruhi dalam pembentukan kecerdasan emosional.

Goleman (2005) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, memotivasi diri sendiri, serta mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. Hal ini berkaitan dengan kemampuan lebih yang


(37)

dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. Tidak hanya itu, kecerdasan emosional juga meliputi kemampuan untuk menilai dengan tepat, menghargai, mengekspresikan emosi, sehingga memudahkan dalam berpikir dan meningkatkan prestasi (Goleman, 2006). Dengan kecerdasan emosional tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan, dan mengatur suasana hati. Selanjutnya, Davies (dalam Casmini, 2007) menjelaskan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang untuk mengendalikan emosi dirinya sendiri dan orang lain, membedakan satu emosi dengan lainnya dan menggunakan informasi tersebut untuk menuntun proses berpikir dan berperilaku seseorang. Dari pengertian yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang dalam mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, memotivasi diri sendiri, serta mengelola emosi dengan baik, serta menjalin hubungan dengan orang lain.

2. Aspek-Aspek Kecerdasan Emosional

Goleman (2005) mencetuskan aspek-aspek kecerdasan emosi sebagai berikut :

a. Mengenali emosi diri

Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Aspek mengenali emosi diri terjadi dari: kesadaran diri, penilaian diri, dan percaya diri. Kemampuan ini merupakan


(38)

dasar dari kecerdasan emosional, para ahli psikologi menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Menurut Mayer (Goleman, 2000) kesadaran diri adalah waspada terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati, bila kurang waspada maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh emosi. Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai emosi.

b. Mengelola emosi

Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. Emosi berlebihan, yang meningkat dengan intensitas terlampau lama akan mengoyak kestabilan kita (Goleman, 2009). Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan.

c. Memotivasi diri sendiri

Dalam mengerjakan sesuatu, memotivasi diri sendiri adalah salah satu kunci keberhasilan. Prestasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri individu, yang berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap


(39)

kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang positif, yaitu antusiasme, gairah, optimis dan keyakinan diri. d. Mengenali emosi orang lain

Kemampuan mengenali emosi orang lain sangat bergantung pada kesadaran diri emosi. Empati merupakan salah salah satu kemampuan mengenali emosi orang lain, dengan ikut merasakan apa yang dialami oleh orang lain. Menurut Goleman (2005) kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan empati seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi dan mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan oleh orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap perasan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain.

e. Membina hubungan dengan orang lain

Kemampuan membina hubungan sebagian besar merupakan keterampilan mengelola emosi orang lain. Keterampilan ini merupakan keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan, dan keberhasilan antar pribadi. Orang yang dapat membina hubungan dengan orang lain akan sukses dalam bidang apa pun yang mengandalkan pergaulan yang mulus dengan orang lain.

Goleman (2009) juga menambahkan, aspek-aspek kecerdasan emosi meliputi:


(40)

a. Kesadaran diri

Mengetahui apa yang kita rasakan pada suatu saat dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan untuk diri sendiri memiliki tolak ukur realitas atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat.

b. Pengaturan diri

Menangani emosi kita sedemikian rupa sehingga berdampak positif kepada pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati dan sanggup untuk menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran, mampu pulih kembali dari tekanan emosi.

c. Motivasi

Kemampuan menggunakan hasrat yang paling dalam untuk menggerakkan dan menuntut kita menuju sasaran, membantu kita mengambil inisiatif dan bertindak sangat efektif dan untuk bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi.

d. Empati

Merasakan yang dirasakan orang lain, mampu memahami prespektif mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan bermacam macam orang.

e. Keterampilan sosial

Menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan cermat membaca situasi dan jaringan sosial, berinteraksi dengan lancar menggunakan keterampilan keterampilan ini mempengaruhi dan memimpin, bermusyawarah dan menyelesaikan perselisihan dan untuk bekerja dalam tim.


(41)

Berdasarkan beberapa pendapat yang telah dikemukakan dapat disimpulkan aspek-aspek kecerdasan emosi meliputi kemampuan mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, membina hubungan. Untuk selanjutnya dijadikan indikator alat ukur kecerdasan emosi dalam penelitian, dengan pertimbangan aspek-aspek tersebut sudah cukup mewakili dalam mengungkap sejauh mana kecerdasan emosi subjek penelitian.

3. Faktor-Faktor yang Menpengaruhi Kecerdasan Emosional

Goleman (2009) menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional seseorang yaitu:

a. Lingkungan keluarga

Kehidupan keluarga merupakan sekolah pertama dalam mempelajari emosi. Kecerdasan emosi dapat diajarkan pada saat masih bayi dengan cara contoh-contoh ekspresi. Peristiwa emosional yang terjadi pada masa anak-anak akan melekat dan menetap secara permanen hingga dewasa kehidupan emosional yang dipupuk dalam keluarga sangat berguna bagi anak kelak dikemudian hari.

b. Lingkungan non keluarga

Hal ini yang terkait adalah lingkungan masyarakat dan pendidikan. Kecerdasan emosi ini berkembang sejalan dengan perkembangan fisik dan mental anak. Pembelajaran ini biasanya ditujukan dalam suatu aktivitas bermain peran sebagai seseorang di luar dirinya dengan emosi yang menyertai keadaan orang lain.


(42)

Menurut Le Dove (dalam Goleman, 2009) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi antara lain:

a. Fisik

Secara fisik bagian yang paling menentukan atau paling berpengaruh terhadap kecerdasan emosi seseorang adalah anatomi saraf emosinya. Bagian otak yang digunakan untuk berfikir yaitu konteks (kadang kadang disebut juga neo konteks). Sebagai bagian yang berada dibagian otak yang mengurusi emosi yaitu system limbic, tetapi sesungguhnya antara kedua bagian inilah yang menentukan kecerdasan emosi seseorang.

1) Korteks

Bagian ini berupa bagian berlipat-lipat kira kira 3 milimeter yang membungkus hemisfer serebral dalam otak. Korteks berperan penting dalam memahami sesuatu secara mendalam, menganalisis mengapa mengalami perasaan tertentu dan selanjutnya berbuat sesuatu untuk mengatasinya. Korteks khusus lobus prefrontal, dapat bertindak sebagai saklar peredam yang memberi arti terhadap situasi emosi sebelum berbuat sesuatu.

2) Sistem Limbik

Bagian ini sering disebut sebagai emosi otak yang letaknya jauh di dalam hemisfer otak besar dan terutama bertanggung jawab atas pengaturan emosi dan implus. Sistem limbik meliputi hyppocampus, tempat berlangsungnya proses pembelajaran emosi dan tempat disimpannya


(43)

emosi. Selain itu ada amyglada yang dipandang sebagai pusat pengendalian emosi pada otak.

b. Psikis

Kecerdasan emosi selain dipengaruhi oleh kepribadian individu, juga dapat dipupuk dan diperkuat dalam diri individu. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat dua faktor yang dapat mempengaruhi kecerdasan emosi seseorang yaitu secara fisik dan psikis. Secara fisik terletak dibagian otak yaitu korteks dan sistem limbik, secara psikis meliputi lingkungan keluarga dan lingkungan non keluarga.

4. Ciri-Ciri Kecerdasan Emosi Tinggi dan Rendah

Goleman (1995) mengemukakan karakteristik individu yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi dan rendah sebagai berikut:

a. Kecerdasan emosi tinggi yaitu mampu mengendalikan perasaan marah, tidak agresif dan memiliki kesabaran, memikirkan akibat sebelum bertindak, berusaha dan mempunyai daya tahan untuk mencapai tujuan hidupnya, menyadari perasaan diri sendiri dan orang lain, dapat berempati pada orang lain, dapat mengendalikan mood atau perasaan negatif, memiliki konsep diri yang positif, mudah menjalin persahabatan dengan orang lain, mahir dalam berkomunikasi, dan dapat menyelesaikan konflik sosial dengan cara damai. b. Kecerdasan emosi rendah yaitu bertindak mengikuti perasaan tanpa

memikirkan akibatnya, pemarah, bertindak agresif dan tidak sabar, memiliki tujuan hidup dan cita-cita yang tidak jelas, mudah putus asa, kurang peka terhadap perasaan diri sendiri dan orang lain, tidak dapat mengendalikan


(44)

perasaan dan mood yang negatif, mudah terpengaruh oleh perasaan negatif, memiliki konsep diri yang negatif, tidak mampu menjalin persahabatan yang baik dengan orang lain, tidak mampu berkomunikasi dengan baik, dan menyelesaikan konflik sosial dengan kekerasan.

C. MAHASISWA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Mahasiswa merupakan suatu kelompok individu dalam masyarakat yang memperoleh statusnya melalui perguruan tinggi tempat mereka menuntut ilmu. Secara administratif, mahasiswa ialah orang yang terdaftar di perguruan tinggi (akademik, institut, universitas), mengikuti semester berjalan dan memiliki kartu mahasiswa untuk pembuktian. Salim & Salim (2002) mendefinisikan mahasiswa sebagai orang yang terdaftar dan menjalani pendidikan di perguruan tinggi. Sementara, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mahasiswa adalah orang yang belajar di perguruan tinggi. Rentang usia mahasiswa dapat dibagi atas mahasiswa dari semester I hingga semester IV dengan rentang usia 18-19 sampai dengan usia 20-21 tahun dan mahasiswa semester V hingga semester VI dalam rentang usia 21-22 tahun sampai 24-25 (Winkel, 1997).

Universitas Sumatera Utara adalah salah satu universitas negeri yang terletak di kota Medan. Sejarah Universitas Sumatera Utara (USU) dimulai dengan berdirinya Yayasan Universitet Sumatera Utara pada tanggal 4 Juni 1952. Sejak awal pendiriannya, USU dipersiapkan menjadi pusat pendidikan tinggi di Kawasan Barat Indonesia. Sewaktu didirikan pada tahun 1952, USU merupakan sebuah Yayasan, kemudian beralih status menjadi perguruan tinggi negeri (PTN) pada tahun 1957, dan selanjutnya berubah menjadi perguruan tinggi Badan


(45)

Hukum Milik Negara (PT-BHMN) pada tahun 2003 (Sumber: http://www.usu.ac.id)

Visi Universitas adalah "Menjadi Universitas untuk Industri atau

University for Industry". Misi Universitas adalah menyiapkan mahasiswa menjadi anggota masyarakat dengan kemampuan akademik dan/atau profesional untuk menerapkan, mengembangkan dan memperkaya ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, serta pengembangan aplikasinya untuk meningkatkan kemakmuran masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional dan memperluas partisipasi dalam pembelajaran sesuai dengan kebutuhan nasional untuk pembelajaran, dan memodernisasikan cara penyampaian pembelajaran.

Berdasarkan Keputusan Rektor Universitas Sumatera Utara No:1178/H5.1.R/SK/KRK/2008 tentang kebijakan akademik Universitas Sumatera Utara, pada bab II pasal 2 mengenai kebijakan umum disebutkan bahwa pelaksanaan pendidikan di lingkungan USU dirancang dengan mempertimbangkan pergeseran paradigma pendidikan yang semula lebih fokus pada pengajaran oleh dosen menjadi fokus pada pembelajaran oleh mahasiswa (student-learning). Menurut Santrock (2004) dalam prinsip student-learning, peserta didik aktif, memiliki tujuan dan mampu mengatur pembelajaran sendiri (self regulated learning) yang meliputi beberapa faktor, yaitu metakognitif, tujuan proses pembelajaran, konstruksi pengetahuan, pemikiran strategis, konteks pembelajaran dan sifat proses pembelajaran. Self regulated learning juga


(46)

merupakan salah satu strategi belajar yang mempunyai peran penting dalam menentukan kesuksesan di perguruan tinggi (Spitzer, 2000).

Saat ini, USU memiliki 14 fakultas yaitu Kedokteran, Hukum, Pertanian, Teknik, Kedokteran Gigi, Ekonomi, Sastra, Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Kesehatan Masyarakat, Farmasi, Psikologi, Keperawatan dan Pascasarjana. Jumlah program studi yang ditawarkan sebanyak 136, terdiri dari 19 tingkat doktoral, 32 magister, 18 spesialis, 5 profesi, 47 sarjana, dan 15 diploma. Jumlah mahasiswa terdaftar saat ini lebih dari 33.000 orang.

Berdasarkan definisi yang telah diuraikan di atas, mahasiswa merupakan peserta didik yang terdaftar dan menjalani pendidikan pada perguruan tinggi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa mahasiswa Universitas Sumatera Utara merupakan peserta didik yang terdaftar dan menjalani pendidikan di Universitas Sumatera Utara.

D. DINAMIKA PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL

TERHADAP SELF REGULATED LEARNING

Mahasiswa yang sukses akan mengatur diri sendiri, mengontrol faktor-faktor yang mempengaruhi proses belajar, menciptakan kondisi yang optimal untuk belajar, dan menghilangkan rintangan yang dapat mengganggu proses belajar (Dembo, 2004). Dunia mahasiswa juga bukan lagi dunia sebagaimana layaknya di SMA yang masih dibimbing orang tua dan guru. Mahasiswa dituntut untuk mandiri dalam segala hal, terutama dalam proses belajarnya. Salah satu keterampilan belajar yang mempunyai peran penting dalam menentukan


(47)

kesuksesan di perguruan tinggi adalah kemampuan meregulasi diri dalam belajar atau disebut juga dengan self regulated learning (Spitzer, 2000).

Self-regulated learning adalah sebuah konsep mengenai bagaimana seorang peserta didik menjadi regulator atau pengatur bagi belajarnya sendiri (Zimmerman & Martinez-Pons, dalam Schunk & Zimmerman, 1998). Hal ini berkaitan erat dengan performansi akademik pada mahasiswa di mana mahasiswa yang menerapkan strategi self regulated learning mengambil alih afeksi, pikiran dan tingkah lakunya sehingga menunjang prestasi belajar yang baik (Spitzer, 2000). Dengan kata lain mereka harus mampu menjadi self regulated learners yaitu seseorang yang mampu menggabungkan antara kemampuan akademik dan self control agar membuat belajar menjadi mudah sehingga mereka lebih termotivasi dengan kata lain mereka memiliki kemampuan (skill) dan keinginan untuk belajar (Woolfolk, 2004).

Self-regulated learning dapat berlangsung apabila peserta didik secara sistematis mengarahkan afeksi, perilaku, dan kognisinya dengan cara memberi perhatian pada instruksi-instruksi, tugas-tugas, melakukan proses dan menginterpretasikan pengetahuan, mengulang-mengulang informasi untuk mengingatnya serta mengembangkan dan memelihara keyakinan positifnya tentang kemampuan belajar dan mampu mengantisipasi hasil belajarnya (Schunk, dalam Schunk & Zimmerman, 1998).

Papalia (dalam Gunarsa, 2004) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang dapat mengembangkan regulasi diri adalah proses perhatian dan kesadaran terhadap emosi negatif. Seseorang yang memberikan atensi atau perhatian serta


(48)

sadar akan emosi negatif adalah individu yang mengenali diri dan memahami emosinya sehingga mampu meregulasi dirinya dengan lebih baik. Selanjutnya, Gilliom (dalam Gunarsa, 2004) mengatakan faktor-faktor yang mempengaruhi regulasi diri adalah regulasi emosional (emotional regulation). Seseorang yang mampu meregulasi emosinya dengan baik akan mampu meregulasi diri dalam tugas-tugas tertentu. Hal ini disebabkan karena kondisi emosional akan mempengaruhi bagaimana seseorang berperilaku sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.

Papalia dan Olds (2001) menyatakan bahwa regulasi diri juga berkaitan dengan kemampuan mental serta pengendalian emosi, dimana seluruh perkembangan kognitif, fisik, serta pengendalian emosi dan kemampuan sosialisasi yang baik, membawa seseorang dapat mengatur dirinya dengan baik. Dalam penerapan regulasi diri dalam belajar (self regulated learning), kemampuan dalam mengendalikan dan meregulasi emosi menjadi salah satu faktor yang sangat penting, dimana self regulated learning tidak hanya mengarah pada perilaku dan kognisi saja, akan tetapi peran afeksi (perasaan) juga turut berkontribusi dalam mewujudkan tercapainya tujuan belajar. Kemampuan ini juga dapat membantu mahasiswa dalam menghadapi beban dan tugas-tugas perkuliahan. Kemampuan dalam meregulasi emosi ini dikenal juga dengan istilah kecerdasan emosional.

Goleman (2005) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, memotivasi diri sendiri, serta mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam


(49)

hubungan dengan orang lain. Hal ini berkaitan dengan kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan emosional tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan, dan mengatur suasana hati.

Dalam penerapan self regulated learning pada mahasiswa, kecerdasan emosional menjadi salah satu hal yang penting. Kondisi afeksi atau reaksi-reaksi emosional menurut Pintrich dan Groot (1990), dapat memberi perubahan self regulated learning individu dalam pencapaian tujuan dan pengunaan proses-proses metakognitif. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa self regulated learning berhubungan positif dengan self-efficacy (Hodges, Stackpole-Hodges, & Cox, 2008; Scott, Dearing, Reynolds, Lindsay, Baird & Hamill, 2008; Schunk & Zimmerman, 2007) dan juga dengan kecerdasan emosional (Declerck, Boone & De Brabander, 2006; Seligson & McPhee, 2004; West & Albrecht, 2007). Hal ini menunjukkan bahwa kondisi kecerdasan emosional yang baik akan memberikan kontribusi yang positif terhadap self regulated learning. Mahasiswa dengan kecerdasan emosional yang baik memiliki kesadaran akan kekuatan dan kelemahan diri, serta berorientasi ke arah perbaikan diri. Mereka juga memotivasi dirinya untuk belajar lebih baik, meninggalkan atau menjauhi hal-hal yang dapat merugikan dalam belajar (Santoso, 2008). Dengan demikian, mereka akan mampu menjadi pengatur bagi proses belajarnya sendiri. Sebaliknya, seseorang dengan kecerdasan emosional yang rendah atau buruk tidak akan mampu meregulasi proses belajarnya dengan baik.


(50)

Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat bahwa kecerdasan emosional yang dimiliki oleh seseorang akan mempengaruhi bagaimana self regulated learning sebagai salah satu strategi untuk mencapai keberhasilan dalam akademiknya. Maka dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional mempengaruhi self regulated learning pada mahasiswa.

E. HIPOTESIS PENELITIAN

Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dikemukakan di atas, maka hipotesis yang akan diuji kebenarannya dalam penelitian ini adalah ada pengaruh kecerdasan emosional terhadap self regulated learning pada mahasiswa.


(51)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan salah satu elemen penting dalam suatu penelitian sebab metode penelitian menyangkut cara yang benar dalam pengumpulan data, analisis data, dan pengambilan kesimpulan hasil penelitian (Hadi, 2000).

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode korelasional yang bertujuan untuk melihat pengaruh kecerdasan emosional terhadap self regulated learning pada mahasiswa Universitas Sumatera Utara.

A. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN

Identifikasi variabel penelitian merupakan langkah penetapan variabel-variabel utama yang menjadi fokus dalam penelitian serta penentuan fungsinya masing-masing (Azwar, 2000). Variabel dalam penelitian ini yaitu:

1. Variabel tergantung adalah self-regulated learning 2. Variabel bebas adalah kecerdasan emosional

B. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL PENELITIAN

Definisi operasional merupakan suatu definisi mengenai variabel yang dirumuskan berdasarkan karakteristik-karakteristik variabel tersebut yang dapat diamati (Azwar, 2010). Definisi operasional variabel-variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:


(52)

1. Self-Regulated Learning

Self regulated learning adalah upaya individu untuk mengatur diri dalam belajar yang melibatkan kognisi, afeksi, dan perilaku individu dalam mencapai tujuan belajar yang diterapkan dengan cara meninjau perkembangan prestasi tiap semester, mengatur materi pelajaran agar lebih sederhana dan mudah dipelajari, menetapkan target prestasi yang akan dicapai, mencari tambahan informasi tentang materi pelajaran dari berbagai sumber, mencatat hal-hal penting dari setiap materi pelajaran, mengatur ruangan belajar agar tertata rapi dan nyaman, menetapkan reward atau punishment yang diperoleh apabila berhasil atau gagal dalam mengerjakan tugas, mengulang dan mengingat materi pelajaran yang telah dipelajari sebelumnya, meminta bantuan dari; teman sebaya; guru/pengajar; serta bantuan orang dewasa tentang materi pelajaran yang tidak mengerti, membahas tugas atau soal-soal yang sudah pernah dipelajari, mengulang membaca catatan perkuliahan, dan membaca buku pelajaran di rumah.

Self regulated learning individu akan diukur dengan menggunakan skala Self Regulated Learning berbentuk Likert. Total skor yang diperoleh pada skala tersebut menunjukkan kondisi self regulated learning yang dimiliki oleh individu. Jika nilai skala yang diperoleh tinggi, hal ini menunjukkan bahwa self regulated learning pada individu tersebut baik. Sebaliknya jika nilai skala yang diperoleh rendah, maka menunjukkan self regulated learning yang buruk.

2. Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional adalah kemampuan yang dimiliki seseorang dalam menilai diri sendiri, menyadari kekuatan dan kelemahan diri, menghibur diri


(53)

sendiri, melepaskan kecemasan, bangkit dari perasaan yang menekan, memiliki motivasi yang positif, optimis, berempati, mampu menerima sudut pandang orang lain, peduli terhadap perasaan orang lain, mampu mendengarkan orang lain, dan mampu berinteraksi dengan orang lain.

Kecerdasan emosional individu akan diukur dengan menggunakan skala Kecerdasan Emosional berbentuk Likert. Total skor yang diperoleh pada skala tersebut menunjukkan tingkat kecerdasan emosional yang dimiliki oleh individu.. Jika nilai skala yang diperoleh tinggi, hal ini menunjukkan bahwa individu tersebut memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi. Sebaliknya jika nilai skala yang diperoleh rendah, maka menunjukkan tingkat kecerdasan emosional yang rendah.

C. POPULASI DAN METODE PENGAMBILAN SAMPEL

1. Populasi Penelitian

Populasi adalah keseluruhan elemen yang menjadi objek penelitian sesuai karateristik yang telah ditentukan sebagai responden yang dibutuhkan dalam penelitian. Azwar (2007) mendefinisikan populasi sebagai kelompok subjek yang hendak dikenai generalisasi hasil penelitian. Populasi memiliki karakteristik yang dapat diperkirakan dan diklasifikasikan sesuai dengan keperluan penelitian.

Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa Universitas Sumatera Utara program studi S-1 (Program Sarjana) yang masih aktif. Saat ini terdapat 14 fakultas dengan 47 program studi S-1 (Program Sarjana) di Universitas Sumatera Utara dengan total mahasiswa 31.403 orang.


(54)

Tabel 1. Mahasiswa Aktif Program S-1 Universitas Sumatera Utara Tahun 2013/2014

No. Fakultas Jumlah

1. Fakultas Kedokteran 2013

2. Fakultas Hukum 2803

3. Fakultas Pertanian 4261

4. Fakultas Teknik 3929

5. Fakultas Ekonomi 3845

6. Fakultas Kedokteran Gigi 1059

7. Fakultas Ilmu Budaya 2902

8. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam 1478

9. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 3898

10. Fakultas Kesehatan Masyarakat 1975

11. Fakultas Keperawatan 614

12. Fakultas Psikologi 601

13. Fakultas Farmasi 769

14. Fakultas Ilmu Komputer dan Teknologi Informasi 1256

Total 31403

Sumber: Bagian Akademik Universitas Sumatera Utara

2. Metode Pengambilan Sampel

Sampel adalah sebagian dari populasi yang ingin diteliti (Prasetyo & Jannah, 2005). Karena sampel merupakan bagian dari populasi, maka sampel harus memiliki ciri-ciri yang dimiliki oleh populasinya. Menurut Bailey (dalam Chadwick, Bahr, dan Albrecht, 2010) jumlah sampel minimal adalah sebanyak 30 orang. Chadwick, Bahr, dan Albrecht (2010) mengatakan paling sedikit 100 orang atau 200 orang. Tetapi sebenarnya tidak ada aturan mutlak mengenai penentuan besarnya sampel.

Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik nonprobabilitas jenis proportional sampling. Teknik ini menghendaki cara pengambilan sampel dari tiap-tiap sub populasi dengan memperhitungkan besar kecilnya sub-sub populasi tersebut. Cara ini dapat memberi landasan generalisasi


(55)

yang lebih dapat dipertanggungjawabkan daripada apabila tanpa memperhitungkan besar kecilnya sub populasi.

Mengingat besarnya jumlah populasi dalam penelitian ini, maka peneliti menentukan jumlah sampel menggunakan rumus Slovin (dalam Umar, 1999) sebagai berikut:

Keterangan:

N = Jumlah populasi n = Jumlah sampel

α = Persen kelonggaran ketidaktelitian penelitian karena kesalahan pengambilan

sampel yang masih dapat ditolerir atau diinginkan (dalam penelitian ini digunakan 5% atau 0,05)

Dengan demikian jumlah sampel dalam penelitian ini adalah: 394,9; dibulatkan menjadi 395.

Selanjutnya ditentukan jumlah sampel dari masing-masing fakultas dengan cara proporsional, seperti yang tertera di dalam tabel 2 berikut:


(56)

Tabel 2. Pengambilan Sampel Proporsional Pada Masing-Masing Fakultas

No. Fakultas Populasi Sampel

1. Fakultas Kedokteran 2013 25,3 = 25

2. Fakultas Hukum 2803 35,2 = 35

3. Fakultas Pertanian 4261 53,5 = 54

4. Fakultas Teknik 3929 49,4 = 49

5. Fakultas Ekonomi 3845 48,3 = 48

6. Fakultas Kedokteran Gigi 1059 13,3 = 13

7. Fakultas Ilmu Budaya 2902 36,0 = 36

8. Fakultas Matematika & Ilmu Pengetahuan Alam 1478 18,5 = 19

9. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 3898 49,0 = 49

10. Fakultas Kesehatan Masyarakat 1975 24,8 = 25

11. Fakultas Keperawatan 614 7,7 = 8

12. Fakultas Psikologi 601 7,5 = 8

13. Fakultas Farmasi 769 9,6= 10

14. Fakultas Ilmu Komputer & Teknologi Informasi 1256 15,7 = 16

Total 31403 395

D. METODE PENGUMPULAN DATA

Menurut Azwar (2007), metode pengumpulan data dalam kegiatan penelitian bertujuan mengungkap fakta mengenai variabel yang diteliti. Arikunto (2006) mengatakan bahwa metode tidak ubahnya dengan berbicara masalah evaluasi. Selain itu, Suryabrata (2002) menjelaskan bahwa kualitas data menentukan kualitas penelitiannya, karena itu alat pengambil data harus mendapatkan penggarapan yang cermat.

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk skala, sebagaimana dikemukakan oleh Azwar (2007), yaitu:

a. Stimulusnya berupa pertanyaan atau pernyataan yang tidak langsung mengungkapkan atribut yang hendak diukur, melainkan indikator-indikator perilaku dari atribut yang bersangkutan.

b. Atribut psikologi diungkap secara tidak langsung melalui indikator-indikator perilaku yang diterjemahkan dalam bentuk aitem-aitem.


(57)

c. Respon subjek tidak diklasifikasikan sebagai jawaban benar atau salah. Semua jawaban dapat diterima sepanjang diberikan secara jujur, hanya saja jawaban yang berbeda akan diinterpretasikan berbeda pula.

Penelitian ini menggunakan dua buah skala psikologi yaitu skala self regulated learning dan skala kecerdasan emosional.

1. Skala Self Regulated Learning

Skala ini ini disusun berdasarkan strategi self regulated learning yang dikemukakan oleh Zimmerman (dalam Purdie, Hattie & Douglas, 1996) yang meliputi 14 strategi self regulated learning yaitu :

a. Evaluasi terhadap kemajuan tugas b. Mengatur materi pelajaran

c. Membuat rencana dan tujuan belajar d. Mencari informasi

e. Mencatat hal penting

f. Mengatur lingkungan belajar

g. Konsekuensi setelah mengerjakan tugas h. Mengulang dan mengingat

i. Meminta bantuan teman sebaya j. Meminta bantuan guru/pengajar k. Meminta bantuan orang dewasa l. Mengulang tugas atau test sebelumnya m. Mengulang catatan


(58)

Skala Self Regulated Learning dalam penelitian ini menggunakan model skala Likert. Aitem-aitem dalam skala ini merupakan pernyataan dengan empat pilihan jawaban, yaitu : SS (Sangat Sesuai), S (Sesuai), TS (Tidak Sesuai), dan STS (Sangat Tidak Sesuai). Skala disajikan dalam bentuk pernyataan favourable (mendukung) atau unfavourable (tidak mendukung). Nilai setiap pilihan bergerak dari 1 sampai 4. Bobot penilaian untuk pernyataan favourable adalah SS=4, S=3, TS=2, dan STS=1. Sedangkan bobot penilaian untuk pernyataan unfavourable adalah SS=1, S=2, TS=3, dan STS=4.

Tabel 3. Blue Print Skala Self Regulated Learning

No. Strategi

Self Regulated Learning

Nomor Aitem

Jumlah Persentase (%)

Fav Unfav

1. Evaluasi terhadap kemajuan tugas 1, 6, 26 48, 60 5 7,14

2. Mengatur materi pelajaran 2, 19, 35 30, 59 5 7,14

3. Membuat rencana dan tujuan belajar 4, 23, 40 31, 44 5 7,14

4. Mencari informasi 9, 39, 66 22, 63 5 7,14

5. Mencatat hal penting 3, 37, 65 27, 50 5 7,14

6. Mengatur lingkungan belajar 5, 36, 58 49, 64 5 7,14

7. Konsekuensi setelah mengerjakan tugas 11, 18, 42 29, 53 5 7,14

8. Mengulang dan mengingat 8, 14, 33 28, 54 5 7,14

9. Meminta bantuan teman sebaya 13, 34, 41 55, 67 5 7,14

10. Meminta bantuan guru/pengajar 10, 21, 24 32, 68 5 7,14

11. Meminta bantuan orang dewasa 17, 38, 46 20, 52 5 7,14

12. Mengulang tugas atau test sebelumnya 12, 25, 56 45, 69 5 7,14

13. Mengulang catatan 7, 16, 57 47, 61 5 7,14

14. Mengulang buku pelajaran 15, 43, 51 62, 70 5 7,14

Jumlah 42 28 70 100

Keterangan: Fav=favorable, Unfav=unfavorable 2. Skala Kecerdasan Emosional

Skala ini ini disusun berdasarkan 5 (lima) aspek kecerdasan emosional yang diungkapkan oleh Goleman (2005) yang terdiri dari:

a. Mengenali emosi diri, b. Mengelola emosi, c. Memotivasi diri sendiri,


(1)

VAR00003 95.6400 145.263 .422 .910

VAR00004 95.5500 144.189 .440 .910

VAR00005 95.3500 145.341 .417 .910

VAR00006 95.4000 146.424 .358 .911

VAR00009 95.5400 146.574 .347 .911

VAR00010 95.3600 147.566 .364 .911

VAR00011 95.7600 144.305 .418 .910

VAR00012 95.7500 144.876 .439 .910

VAR00013 95.2000 144.485 .369 .911

VAR00014 95.7600 141.558 .492 .909

VAR00015 95.5200 139.848 .684 .906

VAR00016 95.7200 141.699 .564 .908

VAR00017 95.7100 145.764 .432 .910

VAR00018 95.2500 146.593 .450 .910

VAR00019 95.7100 142.087 .534 .908

VAR00020 95.1200 147.319 .351 .911

VAR00021 95.5000 146.495 .406 .910

VAR00022 95.8700 146.074 .414 .910

VAR00025 95.7000 146.616 .388 .910

VAR00027 95.5900 143.416 .524 .909

VAR00028 95.5000 143.162 .513 .909

VAR00029 95.6800 143.068 .504 .909

VAR00030 95.6300 147.347 .376 .910

VAR00037 95.2000 148.667 .350 .911

VAR00038 95.3300 147.435 .380 .910

VAR00041 95.6500 143.058 .500 .909

VAR00042 95.5600 142.411 .609 .907

VAR00043 95.8900 142.139 .534 .908

VAR00044 95.4400 143.926 .555 .908

VAR00045 95.6000 145.293 .463 .909

VAR00046 95.5300 143.787 .509 .909

VAR00047 94.9400 145.350 .422 .910


(2)

(3)

LAMPIRAN 4. HASIL ANALISIS DATA PENELITIAN

1.

Uji Normalitas Sebaran Variabel Kecerdasan Emosional dan

Self

Regulated Learning

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic Df Sig. Statistic df Sig. Kecerdasan Emosional .046 386 .050 .995 386 .302 Self Regulated Learning .038 386 .200* .994 386 .178 a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.


(4)

Self Regulated Learning

2.

Uji Linearitas Hubungan Kecerdasan Emosional dan

Self Regulated

Learning

ANOVA Table

Sum of Squares df Mean Square F Sig. SRL * KE Between

Groups

(Combined) 22215.580 45 493.680 2.844 .000 Linearity 12862.377 1 12862.377 74.108 .000 Deviation from

Linearity 9353.203 44 212.573 1.225 .165 Within Groups 59011.093 340 173.562


(5)

3.

Uji Hipotesis: Pengaruh Kecerdasan Emosional dan

Self Regulated

Learning

Model Summary

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 .398a .158 .156 13.343

a. Predictors: (Constant), Kecerdasan Emosional

ANOVAb

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig. 1 Regression 12862.377 1 12862.377 72.248 .000a

Residual 68364.297 384 178.032 Total 81226.674 385

a. Predictors: (Constant), Kecerdasan Emosional b. Dependent Variable: Self Regulated Learning

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig. B Std. Error Beta

1 (Constant) 54.169 7.054 7.680 .000

Kecerdasan Emosional .601 .071 .398 8.500 .000 a. Dependent Variable: Self Regulated Learning

4.

Gambaran Kecerdasan Emosional dan

Self Regulated Learning

Subjek

Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin

Group Statistics

Jenis Kelamin N Min Max Mean Std. Deviation Std. Error Mean Kecerdasan

Emosional

Laki-laki 174 70 126 99.14 9.908 .751 Perempuan 212 72 126 99.49 9.400 .646 Self Regulated

Learning

Laki-laki 174 65 153 110.70 15.573 1.181 Perempuan 212 70 161 116.42 13.088 .899


(6)