PPemberian Kredit dengan Jaminan Hak Tanggungan yang Objeknya Hak Guna Bangunan(Studi pada Bank Internasional Indonesia, Tbk Cabang Medan)

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT A. Pengertian Kredit dan Perjanjian Kredit Istilah kredit berasal dari bahasa Yunani yaitu “credera” yang mempunyai

  arti kepercayaan. Dengan demikian apabila seseorang memperoleh kredit berarti dia telah memperoleh kepercayan dari pihak yang memberikan kredit. Hal yang sama juga ikemukan oleh Subekti dalam bukunya yang mengatakan kredit berarti Kepercayaan. Menurut Subekti pula apabila seseorang nasabah mendapat kredit

  14 dari Bank berarti dia adalah seorang yang menadpat kepercayaan dari Bank.

  Sedangkan menurut O.P. Simorangkir, kredit adalah pemberian prestasi (misalnya uang, barang) dengan balasan prestasi (kontra prestasi) akan terjadi pada waktu mendatang. Dan kredit dalam arti luas didasarkan atas komponen komponen

  15 kepercayaan, resiko dan pertukaran ekonomi dimasa-masa mendatang.

  Selain itu Thomas Suyatno menyatakan bahwa istilah kredit berasal dari bahasa Yunani (Credere) yang berarti kepercayaan ( truth atau faith). Oleh karena itu dasar dari kredit ialah kepercayaan. Seseorang atau suatu badan yang memberikan kredit (kreditur) percaya bahwa penerima kredit (debitur) pada masa

  16 yang akan datang akan sanggup memenuhi segala sesuatu yang telah dijanjikan.

                                                               14 R. Subekti, R Tjirosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Cet ke-31 (Jakarta : Pradnya Paramitha, 2001), hal1 15 O.P. Simorangkir, Seluk Beluk Bank Komersial, cetakan kelima, (Jakarta : Aksara Persada Indonesia, 1988), hal 91 16 Thomas Suyatno et.al. Dasar-dasar Perkreditan, PT.Gramedia, Jakarta, 1990, hal. 11.

  Pada Pasal 1 butir 2 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, kredit diartikan : penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam- meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

  Pengertian perjanjian kredit, dari berbagai jenis perjanjian yang diatur dalam Bab V sampai dengan XVIII Buku III KUH Perdata tidak terdapat ketentuan tentang perjanjian kredit bank. Bahkan dalam undang-undang perbankan sendiri tidak mengenal istilah perjanjian kredit bank. Perjanjian kredit, meminjam aturan dalam KUH Perdata yaitu salah satu dari bentuk perjanjian yang dikelompokkan dalam perjanjian pinjam meminjam sebagaimana diatur dalam HGB 1754 KUH Perdata, sehingga landasan aturan yang dipergunakan dalam membuat perjanjian kredit tentunya tidak dapat dilepaskan dari ketentuan yang ada pada Buku III KUH Perdata.

  Sistem yang dianut oleh Buku III KUH Perdata lazimnya disebut sistem terbuka, dalam artian mengandung suatu asas kebebasan berkontrak membuat perjanjian. Sebagaimana ditegaskan dalam HGB 1338 ayat (1) KUH Perdata “ Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya “. Maksudnya adalah bilamana suatu perjanjian telah dibuat secara sah, yakni tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan maka perjanjian itu mengikat kedua belah pihak serta tidak dapat ditarik kembali kecuali atas kemufakatan dari kedua pihak itu sendiri dan atau karena alasan- alasan tertentu yang telah ditetapkan Undang-Undang.

  Perjanjian kredit sebagai perjanjian pinjam meminjam uang, menurut Buku III KUH Perdata mempunyai sifat formil, salah satunya adalah perjanjian pinjam mengganti yang diatur dalam Bab Ketiga belas Buku Ketiga KUH Perdata.

  Menurut Marhainis Abdul Hay ketentuan HGB 1754 KUH Perdata tentang perjanjian pinjam mengganti, mempunyai pengertian yang identik dengan perjanjian kredit bank sebagai konsekuensi logis dari pendirian ini harus

  17

  dikatakan bahwa perjanjian kredit bersifat riil. Hal ini dapat disimpulkan seperti yang tercantum dalam HGB 1754 KUH Pedata diartikan sebagai berikut : “Perjanjian pinjam mengganti adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula. “

  18 Ketentuan HGB 1754 KUHPerdata itu Wiryono Prodjodikoro,

  ditafsirkan sebagai persetujuan yang bersifat “riil” . Hal ini dapat dimaklumi, oleh karena HGB 1754 KUH Perdata tidak menyebutkan bahwa pihak ke 1 “mengikat diri untuk memberikan” . Suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis, melainkan bahwa pihak ke 1 “ memberikan “ suatu jumlah tertentu barangbarang yang menghabis karena pemakaian. Bila pendirian Marhainis Abdul Hay tersebut dihubungkan dengan penafsiran Wiryono Prodjodikoro, atas HGB 1754 KUH Perdata diatas, maka sebagai konsekuensi logisnya, berarti perjanjian kredit bank

                                                               17 Marhainis Abdul Hay, Hukum Perbankan Di Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1999, hal.210. 18 Wiryono Prodjodikoro, Pokok-pokok Hukum Perdata Tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu , Bandung, Sumur bandung, 1981, hal. 137. adalah perjanjian yang bersifat riil, yaitu perjanjian yang baru terjadi kalau barang yang menjadi pokok perjanjian telah diserahkan.

  Biasanya dalam perjanjian pinjam meminjam uang, pihak kreditur meminta kepada debitur agar menyediakan jaminan berupa sejumlah harta kekayaannya untuk kepentingan pelunasan sejumlah utang, apabila setelah jangka

  19 waktu yang diperjanjikan ternyata debitur tidak melunasi.

  Pinjam-meminjam merupakan persetujuan, yang berarti harus dibuat memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian agar mempunyai kekuatan mengikat kedua belah pihak. Syarat sahnya perjanjian yang dimaksud adalah sebagaimana diatur dalam HGB 1320 KUH Perdata yaitu :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2.

  Adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian; 3. Suatu hal tertentu; dan 4. Suatu sebab yang halal.

  Dua syarat pertama dinamakan syarat subyektif karena mengenai orang atau subyek yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat berikutnya dinamakan syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari

  20

  perbuatan hukum yang dilakukan. Suatu perjanjian yang mengandung cacat pada subyeknya atau tidak memenuhi syarat subyektif, maka perjanjian itu dapat dibatalkan, sedangkan suatu perjanjian yang mengandung cacat pada obyeknya atau tidak dipenuhi syarat obyektif akibatnya perjanjian tersebut adalah batal demi hukum. Karena suatu perjanjian sudah disepakati oleh para pihak, seakan-akan

                                                               19 20 Gatot Supramono, Perbankan Dan Masalah Kredit, Djambatan, Jakarta, 1997, hal. 75.

  R.Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1993, hal. 17. menetapkan Undang-undang bagi mereka sendiri dan perjanjian itu tidak

  21

  mengikuti pihak ketiga yang berada di luar perjanjian. Kesepakatan untuk membuat suatu perikatan maksudnya antara kreditur dengan debitur dalam perjanjian pinjam meminjam uang tidak diperkenankan adanya unsur kekhilafan, paksaan maupun penipuan. Kedua belah pihak harus cakap dalam arti dewasa dan tidak ditaruh di bawah pengampuan, ada obyek yang diperjanjikan dan dalam membicarakan sebab yang halal, kita harus melihat tujuan dari perjanjian itu dibuat. Tujuan merupakan sebab dari adanya perjanjian, dan sebab yang disyaratkan Undang-undang, yaitu harus dihalalkan oleh undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.

  Dengan lahirnya perjanjian tersebut menimbulkan suatu hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak. Kewajiban debitur adalah mengembalikan pinjamannya pada waktu yang telah dijanjikan. Oleh karena prestasi saat pemberian dengan saat pengembalian terdapat tenggang yang lama, maka diperlukan suatu kepercayaan bank kepada debitur bahwa kredit yang dilepaskan kelak kemudian hari dikembalikan sebagaimana waktu yang dijanjikan.

  Sutan Remy Sjahdeni, mengatakan bahwa perjanjian kredit merupakan perjanjian baku karena hampir seluruh klausula-klausulanya atau isi perjanjian sudah dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir oleh pemakainya dan pihak lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Adapun yang belum dibakukan hanya beberapa hal, misalnya

                                                               21 J. Satrio, Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hal. 358

  yang menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu, dan beberapa hal

  22 yang spesifik dari obyek yang diperjanjikan.

  Perjanjian baku atau standard ini mengandung kelemahan, karena syarat- syarat yang ditentukan secara sepihak dan pihak lainnya terpaksa menerima

  23

  keadaan itu karena posisinya yang lemah. Pitlo mengemukakan bahwa latar

  24 belakang tumbuhnya perjanjian baku adalah keadaan sosial ekonomi.

  Perusahaan yang besar, perusahaan pemerintah mengadakan kerjasama dalam suatu organisasi dan untuk kepentingannya mereka menentukan syarat secara sepihak. Pihak lawan pada umumnya mempunyai kedudukan lemah baik posisinya maupun karena ketidaktahuannya.

  Asas essensial dari perjanjian yaitu kesepakatan untuk saling mengikatkan diri atau juga disebut asas konsensualisme, yang mengandung arti kemauan para pihak untuk saling berprestasi, ada kemauan untuk saling mengikatkan diri. Kemauan ini membangkitkan kepercayaan bahwa perjanjian itu dipenuhi. Asas kepercayaan ini bersumber dari moral, asas ini mempunyai hubungan dengan asas kebebasan berkontrak dan asas kekuatan mengikat perjanjian yang terdapat dalam HGB 1338 ayat (1) KUHPerdata. Asas kebebasan berkontrak berhubungan dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan apa dan dengan siapa perjanjian itu diadakan. Suatu perjanjian dapat dikatakan sah apabila perjanjian tersebut memenuhi persyaratan HGB 1320 KUHPerdata, jadi apabila ada perjanjian yang ternyata tidak memenuhi syarat yang ditetapkan HGB 1320

                                                               22 Sutan Remy Sjahdeni, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia , Jakarta, Institut Bankir Indonesia, 1993, hal. 66. 23 24 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung, 1983, hal. 32.

  Ibid , hal. 33. KUHPerdata tersebut, maka perjanjian tersebut dimungkinkan bisa dibatalkan atau bisa pula batal demi hukum.

  Bertitik tolak dari uraian di atas dapat diartikan bahwa perjanjian kredit terbit dari perjanjian pinjam meminjam antara bank atau kreditur dengan debitur.

  Perjanjian tersebut lahir sejak tercapainya kata sepakat setelah pihak bank atau kreditur menyampaikan syarat-syarat tertentu dan disepakati oleh debitur. Oleh karena prestasi saat pemberian uang dari bank kepada nasabah dengan prestasi pengembalian uang dari debitur kepada kreditur terdapat tenggang waktu yang dapat menimbulkan suatu risiko bagi bank, maka bank harus mempunyai kepercayaan kepada debitur bahwa debitur akan mampu mengembalikan pinjamannya sesuai dengan waktu yang dijanjikan.

B. Jenis-Jenis Kredit dan Bentuk Perjanjian Kredit Bank

  Kredit yang diberikan oleh bank atau lembaga keuangan lainnya pada awalnya memiliki jenis yang sama atau mirip. Seiring perkembangan ekonomi dan dunia usaha, maka tiap-tiap lembaga keuangan termasuk bank menawarkan kredit dengan jenis yang berbeda-beda. Jenis-jenis kredit ini oleh Munir Fuady

  25

  digolongkan berdasarkan kriteria, antara lain: 1.

  Penggolongan berdasarkan jangka waktu Apabila jangka waktu digunakan sebagai kriteria, maka suatu kredit dapat dibagi dalam :

                                                               25 Munir Fuady, Hukum Perkreditan Kontempoter, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 14 a.

  Kredit jangka pendek, yakni kredit yang jangka waktunya tidak melebihi satu tahun, b.

  Kredit jangka menengah, yakni kredit yang mempunyai jangka waktu antara 1 sampai 33 tahun, c.

  Kredit jangka panjang, yakni kredit yang mempunyai jangka waktu di atas tiga tahun.

2. Penggolongan berdasarkan dokumentasi

  Berdasarkan dokumentasinya kredit dapat dibagi atas : a. Kredit dengan perjanjian tertulis, b. Kredit tanpa surat perjanjian, yang mana dapat dibagi ke dalam

1) Kredit lisan. Tetapi ini sudah sangat jarang dilakukan.

  2) Kredit dengan instrumen surat berharga, misalnya kredit yang hanya lewat dokumen promes (promissory note), obligasi (bond), kartu kredit, dan sebagainya.

  3) Kredit cerukan (overdraft). Kredit ini timbul karena :

a) Penarikan/pembebanan giro yang melampaui saldonya.

  b) Penarikan/pembebanan R/C yang melampaui plafonnya 3.

  Penggolongan berdasarkan bidang ekonomi Dalam hal ini suatu kredit dapat dibagi ke dalam : a.

  Kredit untuk sektor pertanian, perburuhan, dan sarana pertanian; b. Kredit untuk sektor pertambangan; c. Kredit untuk sektor perindustrian; d. Kredit untuk sektor listrik, gas, dan air; e.

  Kredit untuk sektor konstruksi; f. Kredit untuk sektor perdagangan, restoran, dan hotel; g.

  Kredit pengangkutan, perdagangan, dan komunikasi; h. Kredit untuk sektor jasa; i. Kredit untuk sektor lain-lain.

4. Penggolongan berdasarkan tujuan penggunaan a.

  Kredit konsumtif, merupakan kredit yang diberikan kepada debitur untuk keperluan konsumsi seperti kredit profesi, kredit perumahan, kredit kendaraan bermotor, pembelian alat-alat rumah tangga, dan lain sebagainya; b.

  Kredit produktif, yang terdiri dari : 1)

  Kredit investasi, yang dipergunakan untuk membeli barang modal atau barang-barang tahan lama, seperti tanah, mesin, dan sebagainya.

  Namun demikian, sering juga kredit ini digolongkan ke dalam kredit investasi yang disebut sebagai Kredit Bantuan Proyek; 2)

  Kredit Modal Kerja (Working Capital Credit/Kredit Eksploitasi), yang dipergunakan untk membiayai modal lancar yang habis dalam pemakaian, seperti untuk barang dagangan, bahan baku, overhead produksi, dan sebagainya;

  3) Kredit Likuiditas, yang diberikan dengan tujuan untuk membantu perusahaan yang sedang kesulitan likuiditas.

  Misalnya kredit likuiditas dari Bank Indonesia yang diberikan untuk bank- bank yang memiliki likuiditas di bawah bentuk uang.

  5. Penggolongan berdasarkan objek yang ditransfer Berdasarkan objek yang ditransfer, kredit dapat dibagi atas : a.

  Kredit uang (money credit), dimana pemberian dan pengembalian kredit dilakukan dalam bentuk uang; b.

  Kredit bukan uang (non money credit, Mercantule Credit, Merchant

  Credit ), dimana diberikan dalam bentuk barang dan jasa, dan pengembaliannya dilakukan dalam bentuk uang.

  6. Pengolongan berdasarkan waktu pencairan Berdasarkan waktu pencairannya, kredit dapat dibagi ke dalam : a.

  Kredit tunai (cash credit), dimana pencairan kredit dilakukan atau pemindahbukuan ke dalam rekening debitur; b.

  Kredit tidak tunai (non cash credit), dimana kredit tidak dibayar pada saat pinjaman dibuat, termasuk ke dalam penggolongan ini misalnya : 1)

  Garansi bank atau stand by L/C. Dalam hal ini bank akan membayar apabila terjadi perbuatan tertentu, misalnya jika pada suatu saat pihak pemohon garansi tidak melaksanakan kewajiban kepada pihak lain, maka dalam hal seperti ini bank lah yang akan membayarkannya;

  2) Letter of Credit, yang merupakan jaminan kepada penjual/pengirim barang dimana bank akan membayar sejumlah uang jika dokumen- dokumen tertentu dipenuhi oleh penjual/pengirim barang.

  7. Penggolongan menurut cara penarikan Apabila dilihat dari segi penarikannya, maka suatu kredit dapat dibagi ke dalam: a.

  Kredit sekali jadi (alfopend), yakni kredit yang pencairan dananya dilakukan sekaligus, misalnya secara tunai ataupun secara pemindahbukuan; b. Kredit rekening koran, dalam hal ini baik penyediaan dana maupun penarikan dana tidak dilakukan sekaligus, melainkan secara tidak teratur kapan saja dan berulangkali. Penarikan dana oleh nasabah dilakukan dengan melalui pemindahbukuan, penarikan cek, bilyet, giro, atau perintah pemindahbukuan lainnya; c. Kredit berulang-ulang (revolving loan), kredit semacam ini biasanya diberikan terhadap debitur yang tidak memerlukan kredit sekaligus, melainkan secara berulang-ulang sesuai kebutuhan, asalkan masih dalam batas maksimum dan masih dalam jangka waktu yang diperjanjikan.

  Berbeda dengan kredit rekening koran, maka kredit berulang-ulang ini lebih dibatasi (tidak dalam arti seluas-luasnya), terutama dalam hal penarikan dan penyetoran; d.

   Kredit bertahap, merupakan kredit yang pencairan dananya dilakukan

  secara bertahap dalam beberapa termin, misalnya tranche I, II, III, IV; e. Kredit tiap transaksi (self-liquidating atau eenmalige transactie crediet), merupakan kredit yang diberikan untuk satu transaksi tertentu, dimana pengembalian kredit diambil dari hasil transaksi yang bersangkutan.

  Berbeda dengan revolving credit, maka kredit eenmalige ini tidak ditarik dananya secara berulang-ulang, melainkan sekaligus saja, yakni untuk tiap transaksi saja.

8. Penggolongan dilihat dari pihak krediturnya

  Apabila dilihat dari segi pihak pemberi kredit, maka suatu kredit dapat digolongkan ke dalam : a.

  Kredit terorganisasi (Organized Credit), yakni kredit yang diberikan oleh badan-badan yang terorganisir secara legal dan memang berwenang memberikan kredit, misalnya bank, koperasi, dan sebagainya; b. Kredit tidak terorganisasi (Unorganized Credit), merupakan kredit yang diberikan oleh seseorang atau sekelompok orang, ataupun badan yang tidak resmi untuk memberikan kredit. Kredit ini dapat dipilah-pilah menjadi kategori berikut : 1)

  Kredit Rentenir, yakni kerdit yang diberikan oleh perorangan atau badan tidak resmi untuk memberikan kredit, yang sering dijuluki lintah darat;

  2) Kredit Penjual, merupakan kredit yang diberikan oleh penjual kepada pembeli dalam suatu jual beli, dimana barang segera diserahkan sementara harga barang dibayar kemudian secara kredit.

  3) Kredit Pembeli, yang maksudnya adalah kredit yang juga terbit dari jual-beli dimana uang pembelian segera diserahkan sementara barangnya diserahkan kemudian hari, misalnya seperti yang sering dipraktekkan dalam pembelian bahan bangunan, dan lain-lain.

  9. Penggolongan berdasarkan negara asal kreditur Apabila ditinjau dari segi asal negara darimana krediturnya berada, maka suatu kredit dapat digolongkan sebagai berikut : a.

  Kredit domestik (domestic/onshore credit), merupakan kredit yang kreditur atau kreditur utamanya berasal dari dalam negeri; b.

  Kredit luar negeri (foreign/offshore credit), merupakan kredit dengan kreditur atau kreditur utamanya berasal dari luar negeri.

10. Penggolongan berdasarkan jumlah kreditur

  Berdasarkan berapa banyak jumlah krediturnya, maka suatu kredit dapat dibagi ke dalam : a.

  Kredit dengan kreditur tunggal, yakni kredit yang krediturnya hanya satu orang atau satu badan hukum saja, ini sering disebut dengan Single Loan;

  b.

   Kredit sindikasi, merupakan kredit dimana pihak krediturnya terdiri dari

  beberapa badan hukum, dimana biasanya salah satu di antara kreditur tersebut bertindak sebagai Lead Creditor/Lead Bank.

  Perjanjian kredit merupakan kesepakatan para pihak, dengan demikian maka bentuknya juga tergantung kepada para pihak yang mengikatkan dirinya dalam perjanjian. Suatu perjanjian kredit dapat dibuat secara lisan atau tertulis, asalkan pada pokoknya telah memenuhi syarat-syarat dalam membuat perjanjian sebagaimana yang diatur dalam HGB 1320 KUHPerdata. Praktek yang lazim pada masyarakat sekarang dalam membuat perjanjian kredit adalah secara tertulis. Hal ini dikarenakan dari sudut pembuktian perjanjian secara lisan sulit untuk dijadikan sebagai alat pembuktian apabila dikemudian hari terjadi masalah. Akan berbeda apabila perjanjian dibuat secara tertulis yang mana lebih memudahkan para pihak dalam mengingat isi perjanjian termasuk mengenai hak dan kewajiban para pihak.

  Namun bagaimanapun, perjanjian kredit yang dibuat secara lisan tetap diakui sebagai bentuk perjanjian kredit, sepanjang dapat dibuktikan dengan baik oleh para pihak.

  Sutarno berpendapat bahwa dasar hukum perjanjian kredit secara tertulis mengacu pada HGB 1 ayat (11) UU Perbankan. Meskipun dalam HGB itu tidak ada penekanan perjanjian kredit harus dibuat secara tertulis namun dalam organisasi bisnis modern dan mapan untuk kepentingan administrasi yang rapi dan teratur dan demi kepentingan pembuktian sehingga pembuatan bukti tertulis dari suatu perbuatan hukum menjadi suatu keharusan, maka kesepakatan perjanjian kredit harus tertulis. Dasar hukum lain yang mengharuskan perjanjian kredit dalam bentuk tertulis adalah Instruksi Presidium Kabinet No. 15/EK/IN/10/1966 tanggal 10 Oktober 1966, yang didalamnya menegaskan : “Dilarang melakukan pemberian kredit tanpa adanya perjanjian kredit yang jelas antara bank dengan debitur atau antara Bank Sentral dengan Bank-Bank lainnya”. Juga dalam Surat Bank Indonesia yang ditujukan kepada segenap Bank Devisa No.

  03/1093/UPK/KPD tanggal 29 Desember 1970, khususnya butir (4) yang pada

  26 intinya berbunyi untuk pemberian kredit harus dibuat suatu perjanjian kredit.

  Dalam penjelasan HGB 8 ayat (2) huruf a UU Perbankan, ditentukan bahwa pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis. Dalam HGB 21 Rancangan Undang-Undang Perkreditan Perbankan telah ditentukan bentuk perjanjian kredit, yaitu secara tertulis dalam bentuk standar yang dibuat oleh Bank Indonesia dan sesuai dengan

                                                               26 Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Penerbit Alfabeta, Bandung, 2003, hal. 99 kelaziman di dunia perbankan. Setiap perjanjian kredit yang dibuat wajib memuat sekurang-kurangnya :

1. Identitas kreditur dan debitur secara benar, lengkap, dan jelas; 2.

  Tujuan penggunaan kredit; 3. Jumlah uang dan jenis mata uang tertentu; 4. Jangka waktu perjanjian; 5. Besar dan tata cara perhitungan bunga; 6. Jaminan kredit; 7. Hak dan kewajiban kreditur dan debitur; 8. Syarat-syarat penarikan kredit; 9. Hal-hal yang menimbulkan kewajiban materiil bagi debitur; dan 10.

  Pernyataan debitur bahwa debitur telah mengerti dan meyetujui isi perjanjian kredit.

  Perjanjian kredit merupakan ikatan atau bukti tertulis antara bank dengan debitur sehingga harus disusun dan dibuat sedemikian rupa agar setiap orang mudah mengetahui bahwa perjanjian yang dibuat itu merupakan perjanjian kredit. Perjanjian ktedit termasuk salah satu jenis/bentuk akta yang dibuat sebagai alat bukti. Dalam praktek bank dan juga dalam kamus hukum ada dua bentuk perjanjian kredit yang tertulis, yaitu: 1.

  Perjanjian kredit yang dibuat di bawah tangan, dinamakan akta di bawah tangan. Akta di bawah tangan ini sesuai HGB 1874 KHPerdata adalah surat atau tulisan yang dibuat oleh para pihak tidak melalui perantaraan pejabat yang berwenang (pejabat umum) untuk dijadikan alat bukti.

  Dengan demikian semua perjanjian yang dibuat di antara para pihak sendiri dikategorikan sebagai akta di bawah tangan. Jadi akta di bawah tangan dapat dibuat oleh siapa saja, bentuknya bebas, terserah bagi para pihak yang membuat dan tempat membuatnya dimana saja diperbolehkan. Suatu perjanjian kredit antara bank dengan nasabah juga dapat dibuat dengan akta di bawah tangan, sesuai dengan asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam HGB 1338 KUHPerdata. Yang terpenting bagi akta di bawah tangan itu terletak pada tandatangan para pihak, hal ini sesuai dengan ketentuan HGB 1876 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa barangsiapa yang terhadapnya dimajukan suatu tulisan (akta) di bawah tangan, diwajibkan secara tegas mengakui atau memungkiri tandatangannya. Kalau tanda tangan sudah diakui, maka akta di bawah tangan berlaku sebagai bukti sempurna seperti akta otentik bagi para pihak yang membuatnya. Sebaliknya jika tanda tangan itu dipungkiri oleh pihak yang telah membubuhkan tandatangan maka pihak yang mengajukan akta di bawah tangan itu harus berusaha mencari alat-alat bukti lain yang membenarkan bahwa tandatangan tadi dibubuhkan oleh pihak yang memungkiri. Selama tanda tangan terhadap akta di bawah tangan masih dipersengketakan kebenarannya, maka tidak mempunyai banyak manfaatyang diperoleh bagi pihak yang mengajukan akta di bawah tangan.

  2. Perjanjian kredit yang dibuat oleh dan di hadapan notaris, yang dinamakan akta otentik atau akta notariil. Menurut HGB 1868 KUHPerdata, akta otentik adalah akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang yang dibuat oleh atau di hadapan pegawai yang berkuasa (pegawai umum) untuk itu, tempat dimana akta dibuatnya. Perjanjian kredit saat ini lazimnya sudah menggunakan akta notaril. Yang menyiapkan dan membuat perjanjian ini adalah seorang notaris, namun dalam praktek semua syarat dan ketentuan perjanjian kredit disiapkan oleh para pihak dan kemudian diberikan kepada notaris untuk dirumuskan dalam bentuk akta otentik. Pemberian kredit yang dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta otentik biasanya untuk pemberian kredit dalam jumlah yang besar dengan jangka waktu menengah atau panjang, seperti kredit investasi, kredit modal kerja (termasuk di dalamnya kredit yang diberikan kepada kontraktor), dan kredit sindikasi.

  Melihat kedua macam akta tersebut, pada prakteknya hampir semua perjanjian kredit antara bank dengan debiturnya dibuat dalam bentuk akta otentik.Alasan utamanya tentu demi menjamin legalitas dari perjanjian itu, sebab kekuatan pembuktian akta otentik adalah sempurna.

  Selain dari bentuk-bentuk di atas, sebagai suatu bentuk perkembangan dari perjanjian tertulis, maka dalam perjanjian kredit bank dikenal pula istilah kontrak baku (standard form atau standaart contract). Perjanjian kredit dalam bentuk kontrak baku yaitu suatu bentuk perjanjian yang dibuat dan disiapkan oleh salah satu pihak (dalam hal ini biasanya oleh pihak bank) dalam bentuk ketentuan- ketentuan tertentu yang kemudian diberikan kepada pihak lainnya untuk ditandatangani. Pihak yang disodori perjanjian hanya mempunyai dua pilihan, menerima (dalam bentuk membubuhkan tandatangan) atau menolak perjanjian, yang saat ini lazim disebut dengan semboyan “take it or not”. Poin-poin perjanjian dibuat oleh pihak bank untuk kemudian diberikan kepada nasabah debitur untuk diterima sebagai perjanjian yang mengikat keduanya. Praktek ini sudah diberlakukan hampir pada semua perjanjian, tidak hanya kredit, meski keabsahannya sampai saat ini masih dipertentangkan.

C. Hapusnya Perjanjian Kredit

  HGB 1381 KUH Perdata mengatur cara hapusnya perikatan, dapat diberlakukan pada perjanjian kredit bank. Umumnya perjanjian kredit bank

  27

  berakhir karena :

  1. Pembayaran Pembayaran (lunas) ini merupakan pemenuhan prestasi dari debitur, baik pembayaran utang pokok, bunga, denda, maupun biaya-biaya lainnya yang wajib dibayar lunas oleh debitur. Pembayaran lunas ini baik karena jatuh tempo kreditnya atau karena diharuskannya debitur melunasi kreditnya secara seketika dan sekaligus. HGB 1382 KUH Perdata menyebutkan kemungkinan pembayaran utang (pelunasan) dilakukan oleh pihak ketiga kepada pihak berpiutang (kreditur), sehingga terjadi penggantian kedudukan atau hak-hak kreditur oleh pihak ketiga. Berdasarkan HGB 1400 KUH Perdata, terjadinya subrogasi bisa karena perjanjian atau subrogasi demi undang-undang yang diatur lebih lanjut dalam HGB 1401- 1402 KUH Perdata.

  Pembaruan utang terjadi dengan jalan mengganti utang lama dengan utang baru, debitur lama dengan debitur baru, dan kreditur lama dengan kreditur baru.

                                                               27 Mariam Darus Badrulzaman, dkk, Op.Cit, hal 279.

  Bila utang lama diganti dengan utang baru terjadilah penggantian objek perjanjian yang disebut dengan novasi objektif, utang lama lenyap.

  2. Subrogasi (Subrogatie) HGB 1382 KUH Perdata menyebutkan kemungkinan pembayaran utang

  (pelunasan) dilakukan oleh pihak ketiga kepada pihak berpiutang (kreditur), sehingga terjadi penggantian kedudukan atau hak-hak kreditur oleh pihak ketiga.

  Berdasarkan HGB 1400 KUH Perdata, terjadinya subrogasi bisa karena perjanjian atau subrogasi demi undang-undang yang diatur lebih lanjut dalam HGB 1401- 1402 KUH Perdata.

  3. Pembaruan Hutang (Novasi) Pembaruan utang terjadi dengan jalan mengganti utang lama dengan utang baru, debitur lama dengan debitur baru, dan kreditur lama dengan kreditur baru.

  Bila utang lama diganti dengan utang baru terjadilah penggantian objek perjanjian yang disebut dengan novasi objektif, utang lama lenyap. Dalam hal ini terjadi pergantian subjeknya, maka jika diganti debiturnya disebut novasi subjekti pasif, jika diganti krediturnya disebut novasi subjektif aktif. Pada umumnya pembaruan utang yang terjadi dalam dunia perbankan adalah dengan mengganti atau meperbarui perjanjian kredit bank yang ada dengan perjanjian kredit yang baru.

  Otomatis perjanjian kredit yang lama berakhir dan tidak berlaku lagi. HGB 1413 KUH Perdata menyebutkan 3 cara untuk melakukan novasi, yaitu:

  a) Dengan membuat suatu perikatan utang baru yang menggantikan perikatan utang lama yang dihapuskan karenanya, b)

  Dengan cara expromissie, yakni mengganti debitur lama dengan debitur baru, c) Mengganti debitur lama dengan debitur baru sebagai akibat perjanjian baru yang diadakan

  4. Perjumpaan Utang (Kompensasi) Kompensasi adalah perjumpaan dua utang, yang berupa benda-benda yang ditentukan menurut jenis (generieke ziken), yang dipunyai oleh dua orang atau pihak secara timbale balik, dimana masing-masing pihak berkedudukan baik sebagai kreditur maupun debitur terhadap orang lain, sampai jumlah terkecil yang ada diantara kedua utang tersebut. Dasarnya disebutkan dalam HGB 1425 KUH Perdata. Dikatakan jika dua orang saling berhutang satu pada yang lain maka terjadilah antara mereka suatu perjumpaan utang-piutang, dengan mana utang- hutang antara kedua orang tersebut dihapuskan. Kondisi ini dijalankan bank dengan cara mengkonpensasi barang jaminan debitur dengan utangnya kepada bank, sebesar jumlah jaminan tersebut yang diambil alih tersebut.

D. Asas-Asas atau Prinsip-Prinsip Pemberian Kredit

  Pemberian kredit oleh bank kepada nasabah debitur tentunya memiliki asas atau prinsip. Layaknya perjanjian pada umumnya maka pmberian kredit yang dituangkan dalam bentuk perjanjian pun wajib mengikuti asas dan prinsip kontrak yang baik. Namun selain asas atau prinsip kontrak yang baik pada umumnya, dalam pemberian kredit juga terdapat prinsip-prinsip yang harus diperhatikan sesuai dengan fungsi perbankan dan perkreditan. Pada dasarnya ada dua prinsip

  28

  utama yang menjadi pedoman dalam pemberian kredit, yaitu :

  1. Prinsip kepercayaan Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa pemberian kredit oleh bank kepada nasabah debitur selalu didasarkan pada kepercayaan. Bank mempunyai kepercayaan bahwa kredit yang diberikannya bermanfaat bagi nasabah debitur sesuai dengan peruntukannya, dan terutama sekali bank percaya nasabah debitur yang bersangkutan mampu melunasi utang kredit beserta bunga dalam jangka waktu yang telah ditentukan.

  2. Prinsip kehati-hatian Bank dalam menjalankan kegiatan usahanya, termasuk pemberian kredit kepada nasabah debitur harus selalu berpedoman dan menerapkan prinsip kehati- hatian. Prinsip ini antara lain diwujudkan dalam bentuk penerapan secara konsisten berdasarkan itikad baik terhadap semua persyaratan dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemberian kredit oleh bank yang bersangkutan.

  Sementara itu, selain kedua prinsip umum tersebut, berdasarkan penjelasan HGB 8 UU Perbankan, yang mesti dinilai oleh bank sebelum memberikan kredit adalah watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari nasabahdebitur, yang kemudian dikenal dengan sebutan dengan Prinsip 5 C,

  29

  yaitu:

                                                               28 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Penerbit Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005, hal. 61 29 Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hal. 246

  1. Penilaian watak (Character) Penilaian watak atau kepribadian calon debitur dimaksudkan untuk mengetahui kejujuran atau itikad baik calon debitur untuk melunasi atau mengembalikan pinjamannya, sehingga tidak akan menyulitkan bank di kemudian hari. Hal ini dapat diperoleh terutama didasarkan kepada hubungan yang telah terjalin antara bank dan calon (debitur) atau informasi yang diperoleh dari pihak lain yang mengetahui moral, kepribadian, dan perilaku calon debitur dalam kehidupan kesehariannya.

  2. Penilaian kemampuan (Capacity) Bank harus meneliti tentang keahlian calon debiturnya dalam bidang usahanya dan kemampuan manajerialnya, sehingga bank yakin bahwa usaha yang akan dibiayainya dikelola oleh orang-orang yang tepat, sehingga calon debiturnya dalam jangka waktu tertentu mampu melunasi atau mengembalikan pinjamannya.

  Kalau kemampuan bisnisnya kecil, tentu tidak layak diberikan kredit dalam skala besar. Demikian juga jika trend bisnisnya menurun, maka kredit juga semestinya tidak diberikan. Kecuali jika penurunan itu karena kekurangan biaya sehingga dapat diantisipasi bahwa dengan tambahan biaya lewat peluncuran kredit, maka

  trend atau kinerja bisnisnya tersebut dipastikan akan semakin membaik.

  3. Penilaian modal (Capital) Bank harus melakukan analisis terhadap posisi keuangan secara menyeluruh mengenai masa lalu dan yang akan datang, sehingga dapat diketahui kemampuan permodalan calon debitur dalam menunjang pembiayaan proyeek atau usaha calon debitur yang bersangkutan. Dalam praktek selama ini bank jarang sekali memberikan kredit untuk membiayai seluruh dana yang diperlukan nasabah. Nasabah wajib menyediakan modal sendiri, sedangkan kekurangannya itu dapat dibiayai dengan kredit bank. Jadi bank fungsinya adalah hanya menyediakan tambahan modal, biasanya lebih sedikit dari pokoknya.

  4. Penilaian agunan (Collateral) Untuk menanggung pembayaran kredit macet, calon debitur umumnya wajib menyediakan jaminan berupa agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang nilainya minimal sebesar jumlah kredit yang diberikan kepadanya. Untuk itu sudah seharusnya bank wajib meminta agunan tambahan dengan maksud jika calon debitur tidak dapat melunasi kreditnya, maka agunan tambahan tersebut dapat dicairkan guna menutupi pelunasan atau pengembalian kredit atau pembiayaan yang tersisa.

  5. Penilaian prospek usaha (Condition of Economy) Bank harus menganalisis keadaan pasar di dalam dan di luar begeri baik masa lalu maupun yang akan datang, sehingga masa depan pemasaran dari hasil proyek atau usaha calon debitur yang akan dibiayai bank dapat diketahui. Selain Prinsip 5 C tersebut, dalam pemberian kredit kepada nasabah debitur, bank juga

  30

  menerapkan prinsip lain, yaitu Prinsip 5 P, yaitu :

  1. Party (Para Pihak) Para pihak merupakan titik sentral yang diperhatikan dalam setiap pemberian kredit. Untuk itu pihak pemberi kredit harus memperoleh suatu

                                                               30 Ibid., hal 248

  “kepercayaan” terhadap para pihak, dalam hal ini debitur. Bagaimana karakternya, kemampuannya, dan sebagainya.

  2. Purpose (Tujuan) Tujuan dari pemberian kredit juga sangat penting diketahui oleh pihak kreditur. Harus dilihat apakah kredit akan digunakan untuk hal-hal yang positif yang benar-benar dapat menaikkan income perusahaan. Dan harus pula diawasi agar kredit tersebut benar-benar diperuntukkan untuk tujuan seperti diperjanjikan dalam perjanjian kredit.

  3. Payment (Pembayaran) Harus pula diperhatikan apakah sumber pembayaran kredit dari calon debitur cukup tersedia dan cukup aman, sehingga dengan demikian diharapkan bahwa kredit yang akan diluncurkan tersebut dapat dibayar kembali oleh debitur yang bersangkutan. Jadi harus dilihat dan dianalisis apakah setelah pemberian kredit nanti, debitur punya sumber pendapatan, dan apakah pendapatan tersebut mencukupi untuk membayar kembali kreditnya.

  4. Profitability (Perolehan Laba) Unsur perolehan laba oleh debitur tidak kurang pula pentingnya dalam suatu pemberian kredit. Untuk itu kreditur harus mengantisipasi apakah laba yang akan diperoleh oleh perusahaan lebih besar daripada bunga pinjaman dan apakah pendapatan perusahaan dapat menutupi pembayaran kredit, cash flow, dan sebagainya.

  5. Protection (Perlindungan) Diperlukan suatu perlindungan terhadap kredit oleh perusahaan debitur.

  Untuk itu perlindungan dari kelompok perusahaan, atau jaminan dari holding, atau jaminan pribadi pemilik perusahaan penting untuk diperhatikan. Terutama untuk berjaga-jaga sekiranya terjadi hal-hal di luar skenario atau di luar prediksi semula.

  Di samping prinsip-prinsip di atas, beberapa prinsip lain dalam hal pemberian kredit yang berhubungan dengan debitur yang harus diperhatikan oleh

  31

  suatu bank adalah sebagai berikut :

  1. Prinsip Matching Prinsip ini maksudnya harus match antara pinjaman dengan aset perseroan.

  Jangan sekali-kali memberikan pinjaman berjangka waktu pendek untuk kepentingan pembiayaan/investasi yang berjangka panjang. Karena hal tersebut akan mengakibatkan terjadinya mismatch.

  2. Prinsip Kesamaan Valuta Maksudnya penggunaan dana yang didapatkan dari suatu kredit sedapat- dapatnya haruslah digunakan untuk membiayai atau investasi dalam mata uang yang sama. Sehingga resiko gejolak nilai valuta dapat dihindari. Meskipun untuk itu tersedia apa yang disebut dengan currency hedging.

  3. Prinsip Perbandingan Antara Pinjaman dan Modal Disini maksudnya adalah harus ada hubungan yang prudent antara jumlah pinjaman dengan besarnya modal. Jika pinjamannya terlalu besar disebut perusahaan yang high gearing. Sebaliknya jika pinjamannya kecil dibandingkan

                                                               31 Ibid ., hal. 250

  dengan modalnya disebut low gearing. Pos permodalan yang akan didapat oleh perusahaan tidaklah fixed, yaitu dalam bentuk dividen, sementara biaya terhadap suatu pinjaman yaitu dalam bentuk bunga relatif tetap. Karena itu kelangsungan suatu perusahaan akan terancam jika antara jumlah pinjaman dengan besarnya modal tidak reasonable.

  4. Prinsip Perbandingan Antara Pinjaman dan Aset Alternatif lain untuk menekan resiko dari suatu pinjaman adalah dengan memperbandingkan antara besarnya pinjaman dengan aset, yang juga dikenal dengan gearing ratio.

Dokumen yang terkait

Kajian Hukum Terhadap Kedudukan Bank Selaku Pemegang Hak Tanggungan Atas Berakhirnya Sertipikat Hak Guna Bangunan Diatas Hak Pengelolaan (Hpl) Yang Menjadi Objek Jaminan (Studi : Pt Bank Internasional Indonesia, Tbk Cabang Medan Diponegoro)

2 72 128

Hak Atas Tanah Sebagai Jaminan Utang Dalam Perjanjian Kredit Dengan Hak Tanggungan (Studi Kasus Pada PT. Bank Rakyat Indonesia, TBK Cabang Medan)

6 143 108

PPemberian Kredit dengan Jaminan Hak Tanggungan yang Objeknya Hak Guna Bangunan(Studi pada Bank Internasional Indonesia, Tbk Cabang Medan)

3 124 100

Kekuatan Eksekusi Hak Tanggungan Sebagai Jaminan Pengembalian Utang Pembiayaan Bermasalah Dalam Praktik PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk Cabang Medan

1 107 141

Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Hak Tanggungan Dan Upaya Penyelesaian Kredit Macet Atas Jaminan Hak Tanggungan (Studi Pada PT.Bank Negara Indonesia Tbk Cabang Kabanjahe)

1 63 129

Pelaksanaan Pembebanan Hak Tanggungan Atas Tanah Sebagai Jaminan Kredit Pada PT. Bank Dipo Internasional Cabang Medan

0 63 137

Akibat Hukum Dalam Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Hak Tanggungan Yang Objeknya Hak Guna Bangunan Pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Kantor Cabang Pembantu Asia Unit Cemara Medan

10 122 96

Kedudukan Hukum Terhadap Hak Tanggungan Yang Objeknya Berstatus Hak Milik Ketiga (Studi Bank Rakyat Indonesia Persero Tbk Cabang Panyabungan)

0 27 108

Kajian Hukum Terhadap Kedudukan Bank Selaku Pemegang Hak Tanggungan Atas Berakhirnya Sertipikat Hak Guna Bangunan Diatas Hak Pengelolaan (Hpl) Yang Menjadi Objek Jaminan (Studi : Pt Bank Internasional Indonesia, Tbk Cabang Medan Diponegoro)

0 0 15

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Hak Atas Tanah Sebagai Jaminan Utang Dalam Perjanjian Kredit Dengan Hak Tanggungan (Studi Kasus Pada PT. Bank Rakyat Indonesia, TBK Cabang Medan)

0 0 19